PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kandungan Gizi dan Senyawa antioksidan Keong Mata Lembu (Turbo setosus Gmelin 1791) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Dewi Merdekawati NRP C351100131
ABSTRACT DEWI MERDEKAWATI. Nutrition Content and Antioxidant Compound of the Rough Turban Snails (Turbo setosus Gmelin 1791). Supervised by TATI NURHAYATI and AGOES M. JACOEB. One of the commodities produced from the sea that has bioactive compounds is the rough turban snails (Turbo setosus). Empirically, it is believed to have efficacy as a drug to increase stamina and vitality. This organism has an economic potential that requires research to find out the existence of its bioactive compounds. The aims of this study were to determine the physical and chemical characteristics of the rough turban snail, to perform the extraction and purification of antioxidant compounds, and to characterize and identify the antioxidant compounds selected in the rough turban snail. The experiment was conducted with several stages: sample preparation, extraction antioxidant compounds, fractionation by TLC and identification of antioxidant compound by LC-MS. The meat of the rough turban snails were potential as a source of protein, carbohydrate, minerals, and had a low fat content. It had sixteen kinds of amino acids and twenty one kinds of fatty acids, where arginine (1,57 %) was the highest and had an important role to the male reproductive health. Saturated fatty acids is dominated by fatty acids palmitic (C16:0) is 5,76 %. Unsaturated fatty acids are dominated by fatty acids arachidonic (C20:4, n-6) is 3,70 %. Phytochemical of ethyl acetate extract of the rough turban snails meat were flavonoid and triterpenoid. The bioactive compounds in the meat of the rough turban snails with ethyl acetate solvent was kahalalide F and had an IC50 best antioxidant activity in fraction 7 at 2078.43 ppm.
Keywords: antioxidant, nutrients, Turbo setosus.
RINGKASAN DEWI MERDEKAWATI. Kandungan Gizi dan Senyawa Antioksidan Keong Mata Lembu (Turbo setosus Gmelin 1791). Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan AGOES M. JACOEB. Salah satu komoditi laut yang mempunyai senyawa bioaktif adalah keong mata lembu (Turbo setosus). Keong mata lembu termasuk klas Gastropoda dari ordo Archaeogastropoda yang banyak ditemukan di Perairan Ujung Genteng Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Hewan ini secara empiris dipercaya memiliki khasiat untuk meningkatkan stamina dan vitalitas pria. Pemanfaatan keong mata lembu oleh masyarakat setempat umumnya dilakukan dengan cara direbus. Organisme ini mempunyai potensi ekonomis dan perlu diteliti diantaranya tentang keberadaan kandungan senyawa bioaktif yang terdapat di dalamnya. Tujuan penelitian ini adalah menentukan karakteristik fisik dan kimia, ekstraksi dan purifikasi senyawa antioksidan, serta mengkarakterisasi dan mengidentifikasi senyawa antioksidan terpilih keong mata lembu. Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Tahap pertama adalah preparasi dan analisis komponen kimia meliputi komposisi proksimat, mineral, vitamin, asam amino, taurin, asam lemak, dan kolesterol. Tahap kedua adalah ekstraksi bahan aktif keong mata lembu. Tahap ketiga adalah identifikasi bahan aktif keong mata lembu. Keong mata lembu segar (Turbo setosus) yang berasal dari Perairan Ujung Genteng memiliki kadar air 74,81 %, protein 15,97 %, lemak 0,02 %, abu 0,82 %, dan karbohidrat 6,81 %. Keong mata lembu kering memiliki kadar air 10,15 %, protein 70,34 %, lemak 2,20 %, abu 6,87 %, dan karbohidrat 10,06 %. Hasil analisis mineral makro dan mikro pada daging segar adalah kalium 724,65 ppm; kalsium 227,98 ppm; magnesium 448,24 ppm; besi 14,66 ppm; seng 9,96 ppm; tembaga 0,54 ppm; dan selenium <0,002 ppm dan daging kering adalah kalium 8.225,29 ppm; kalsium 4.056,71 ppm; magnesium 1.987,29 ppm, besi 98,68 ppm; seng 48,17 ppm; tembaga 4,43 ppm; dan selenium <0,002 ppm. Hasil analisis kandungan beberapa jenis vitamin pada daging segar adalah vitamin A 90,07 mcg/100 g; vitamin B12 2,72 mcg/100 g; vitamin D tidak terdeteksi; vitamin E 2,37 mcg/100 g dan daging kering adalah vitamin A 70,27 mcg/100 g; vitamin B12 0,48 mcg/100 g; vitamin D tidak terdeteksi; vitamin E 9,72 mcg/100 g). Daging keong mata lembu mengandung 16 jenis asam amino. Asam amino esensial sebesar 7,35 % didominasi oleh arginin sebesar 1,57 %. Asam amino non esensial sebesar 8 % didominasi oleh asam glutamat sebesar 2,94 %. Daging keong mata lembu mengandung 21 jenis asam lemak. Asam lemak jenuh didominasi oleh asam lemak palmitat (C16:0) yaitu 5,76 %. Asam lemak tidak jenuh didominasi oleh asam lemak arakidonat (C20:4n6) yaitu 3,70 %. Kandungan EPA dan DHA keong mata lembu segar (2970 mg/100 g; tidak terdeteksi). Kandungan kolesterol pada daging segar yaitu 96,22 mg/100 g) dan kering (60,33 mg/100 g). Hasil uji fitokimia menunjukkan ekstrak kasar keong mata lembu mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, steroid, dan triterpenoid (n-heksana, etil asetat, methanol). Rendemen ekstrak kasar keong mata lembu kering yang terbesar adalah ekstrak kasar methanol 16,75 %. Ekstrak kasar etil asetat memiliki
aktivitas antioksidan dengan IC50 sebesar 1.578,43 ppm. Aktivitas antioksidan yang tertinggi hasil fraksinasi terdapat pada fraksi 7 dengan IC50 sebesar 2.078,43 ppm. Fraksi 7 memiliki berat molekul 1.426. Dugaan senyawa bioaktif yang terkandung pada fraksi 7 adalah Kahalalide F.
Kata kunci: antioksidan, kandungan gizi, Turbo setosus
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KANDUNGAN GIZI DAN SENYAWA ANTIOKSIDAN KEONG MATA LEMBU (Turbo setosus Gmelin 1791)
DEWI MERDEKAWATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar master pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Nurjanah MS
Judul Tesis Nama NIM
Kandungan Gizi dan Senyawa Antioksidan Keong Mata Lembu (Turbo setosus Gmelin 1791) Dewi Merdekawati C351100131
Disetuj ui oleh
Komisi Pembimbing
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si Ketua
Dr. If. Agoes M. Jacoeb Dipl.-Biol.
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.
Tanggal Ujian : 4 Juli 2013
Tanggal Lulus:
2 3 SEP 20 ' 3
Judul Tesis : Kandungan Gizi dan Senyawa Antioksidan Keong Mata Lembu (Turbo setosus Gmelin 1791) Nama : Dewi Merdekawati NIM : C351100131
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si Ketua
Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb Dipl.-Biol. Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor
Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian : 4 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih pada penelitian ini berjudul “Kandungan Gizi dan Senyawa Antioksidan Keong Mata Lembu (Turbo setosus Gmelin 1791)”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar master di Program Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah bersedia membantu dan memberi dukungan, khususnya kepada Ibu Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Agoes M. Jacoeb Dipl.-Biol. sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, saran dan motivasi kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Nurjanah MS selaku penguji sidang tesis yang telah memberikan banyak masukan demi perbaikan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, kakak, sanak keluarga dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas doa dan semangat yang diberikan. Kesempurnaan tesis ini tidak terlepas dari segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pihakpihak yang memerlukan.
Bogor, September 2013
Dewi Merdekawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang, pada tanggal 16 Agustus 1987. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara dari Bapak Patman Yahya dan Ibu Triyani Sari Nasution. Penulis memulai pendidikan formal di TK Kemala Bhayangkari 1 lulus tahun 1993, Sekolah Dasar di SDN 004 Pekanbaru lulus pada tahun 1999, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 8 Pekanbaru lulus tahun 2002 dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 4 Pekanbaru lulus pada tahun 2005. Penulis diterima Universitas Riau melalui jalur PBUD pada tahun 2005 dan memilih Jurusan Teknologi Hasil Perikanan dan tamat pada tahun 2009. Selama di UNRI penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (2007-2008). Pada tahun 2010, penulis meneruskan pendidikan pascarsajana di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Penulis melakukan penelitian dengan judul “Kandungan Gizi dan Senyawa Antioksidan Keong Mata Lembu (Turbo setosus Gmelin 1791)”. Sebagian tesis sudah di kirim ke jurnal Teknologi dan Industri Pangan dengan judul “Kandungan Mineral dan Proksimat Keong Mata Lembu (Turbo setosus Gmelin 1791)”.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Hipotesis
1 1 2 3 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keong Mata Lembu (Turbo setosus Gmelin 1791) 2.2 Komponen Bioaktif 2.3 Radikal Bebas 2.4 Antioksidan 2.5 Ekstraksi
5 5 6 8 9 11
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel 3.3.2 Ekstraksi bahan aktif 3.3.3 Fraksinasi lanjutan 3.3.4 Identifikasi senyawa aktif 3.4 Analisis 3.4.1 Analisis rendemen 3.4.2 Analisis proksimat 3.4.3 Analisis vitamin 3.4.4 Analisis mineral 3.4.5 Analisis asam amino 3.4.6 Analisis taurin 3.4.7 Analisis asam lemak 3.4.8 Analisis kolesterol 3.4.9 Analisis fitokimia 3.4.10 Analisis aktivitas antioksidan 3.4.11 Analisis toksisitas metode Brine Shrimp Lethality Test 3.5 Analisis Data
12 12 12 12 14 14 16 17 19 19 19 22 25 28 29 30 33 34 36 37 37
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Keong Mata Lembu 4.1.1 Karakteristik fisik 1) Identifikasi keong mata lembu 2) Morfologi keong mata lembu 3) Rendemen daging keong mata lembu 4.1.2 Karakteristik kimia 1) Kandungan proksimat 2) Vitamin 3) Mineral dan logam berat 4) Asam amino dan taurin 5) Asam lemak 6) Kolesterol 4.2 Hasil Ekstraksi Senyawa Aktif Keong Mata Lembu 4.2.1 Rendemen ekstrak keong mata lembu 4.2.2 Kandungan fitokimia ekstrak keong mata lembu 4.2.3 Aktivitas antioksidan ekstrak kasar keong mata lembu 4.2.4 Toksisitas ekstrak kasar keong mata lembu 4.3 Pemurnian Ekstra Terpilih 4.3.1 Fraksi ekstrak terpilih 4.3.2 Aktivitas antioksidan fraksi keong mata lembu 4.3.3 Identifikasi senyawa fraksi teraktif
39 39 39 39 39 41 41 41 45 46 50 53 56 57 57 58 60 61 63 63 64 66
5 SIMPULAN DAN SARAN
68
DAFTAR PUSTAKA
69
LAMPIRAN
79
DAFTAR TABEL
1 Kondisi dan spesifikasi operasi alat LC-MS
18
2 Kandungan proksimat daging keong mata lembu
41
3 Kandungan gizi dari beberapa jenis moluska bernilai ekonomis penting
42
4 Kandungan vitamin A, B12, D dan E pada daging keong mata lembu
46
5 Hasil analisis kandungan mineral dan logam berat (ppm) daging keong mata lembu segar dan kering
48
6 Kandungan asam amino dan taurin (%b/b) daging keong mata lembu segar dan kering
51
7 Komposisi asam lemak daging keong mata lembu segar dan kering (%b/b) dalam lemak
54
8 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar daging keong mata lembu
59
9 Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar keong mata lembu dengan jenis pelarut berbeda
60
10 Hasil uji toksisitas ekstrak kasar keong mata lembu
62
DAFTAR GAMBAR
1 Roadmap penelitian keong mata lembu
4
2 Keong mata lembu
5
3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan
10
4 Diagram alir penelitian
13
5 Peta lokasi penelitian
14
6 Bagan kerja ekstraksi daging keong mata lembu (T. setosus)
16
7 Pengukuran morfometrik keong mata lembu
39
8 Keong mata lembu: (a) utuh; (b) setelah preparasi; (c) daging segar (d) setelah dikeringkan
40
9 Pemisahan menggunakan KLT dengan eluen terbaik (kloroform:etil asetat:asam format 3:7:0,5)
64
10 Aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi-fraksi keong mata lembu
65
11 Dugaan struktur senyawa bioaktif pada fraksi 7 dari ekstrak etil asetat keong mata lembu
66
DAFTAR LAMPIRAN
1 Nilai rata-rata hasil analisis proksimat daging keong mata lembu
80
2 Kromatogram vitamin A,B12,D dan E daging keong mata lembu
80
3 Kromatogram standar asam amino keong mata lembu
84
4 Kromatogram asam amino daging keong mata lembu segar
86
5 Kromatogram asam amino daging keong mata lembu kering
90
6 Kromatogram standar taurin daging keong mata lembu
92
7 Kromatogram taurin daging keong mata lembu kering
94
8 Kromatogram taurin daging keong mata lembu segar
95
9 Kromatogram standar asam lemak
96
10 Kromatogram asam lemak daging keong mata lembu segar
98
11 Kromatogram asam lemak daging keong mata lembu kering
100
12 Kromatogram standar kolesterol keong mata lembu
102
13 Kromatogram kolesterol daging keong mata lembu kering
104
14 Kromatogram kolesterol daging keong mata lembu segar
105
15 Hasil rendemen ekstrak kasar keong mata lembu dari berbagai pelarut
106
16 Kurva standar spektrum absorbansi
106
17 Perhitungan persen inhibisi dan IC50 pada BHT dan ekstrak kasar keong mata lembu
107
18 Kurva hubungan antara log konsentrasi dan mortalitas ekstrak kasar metanol keong mata lembu
109
19 Hasil fraksinasi dengan kromatografi lapis tipis preparatif dari ekstrak etil asetat keong mata lembu
109
20 Perhitungan persen inhibisi (IC50) hasil fraksinasi keong mata lembu
110
21 Kromatogram hasil LC-MS fraksi 7 dari ekstrak etil asetat keong mata lembu
111
17
1
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Lingkungan lautan dikenal kaya akan keanekaragaman sumberdaya hayati yang mempunyai potensi yang besar untuk aplikasi bioteknologi, obat-obatan dan pangan (Fahmi et al. 2012). Sekitar 55.000 jenis gastropoda menempati habitat laut yang tersebar dari pantai hingga ke laut dalam. Keong sudah dikonsumsi oleh manusia sebagai makanan selama ribuan tahun dan di banyak negara Eropa terutama Prancis, keong dikonsumsi dalam jumlah besar (Milinsk et al. 2003). Negara-negara Asia yaitu Korea dan Jepang juga menangkap keong untuk dikonsumsi dan dagingnya dianggap lezat (Qun et al. 2004; Xie et al. 2007). Keong mata lembu (Turbo setosus Gmelin 1791) salah satu anggota ordo Archaeogastropoda yang banyak ditemukan di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa. Habitat keong mata lembu adalah pecahan batu karang, dataran karang mati yang ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan laut, dan pasir kasar pada dataran terumbu karang yang terbawa oleh hempasan gelombang air laut (Soekendarsi 2004). Keong mata lembu mempunyai nilai ekonomis bagi masyarakat di sekitar Perairan Ujung Genteng, keberadaannya cukup melimpah, harga relatif murah dan dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Keong mata lembu diperdagangkan dalam bentuk segar, rebus, dan sate. Sejenis keong dari genus yang sama yaitu keong batulaga mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi karena cangkangnya, namun keong batulaga pada masa ini sudah sulit didapat sehingga keong tersebut dalam daftar hewan yang dilindungi (S.K. Menteri Kehutanan No. 12 Tahun 1987). Keong mata lembu secara empiris dipercaya memiliki khasiat untuk meningkatkan stamina dan vitalitas (aprodisiaka). Menurut Adeyeye dan Afolabi (2003) keong laut merupakan makanan yang bergizi tinggi karena mengandung mineral dan protein tinggi, serta kaya akan asam amino lisin dan rendah kolesterol. Organisme ini mempunyai potensi ekonomis dan perlu diteliti terutama tentang komponen-komponen yang berasal dari protein, lemak, karbohidrat,
2
mineral, asam amino, dan asam lemak serta keberadaan kandungan senyawa bioaktif. Pemahaman komposisi kimia sangat penting untuk memberikan informasi mengenai kandungan gizi dan memastikan kualitas keong mata lembu sebagai bahan pangan. Khasiat dan manfaatnya secara empiris yang mampu memberikan efek menyehatkan bila dikonsumsi memberikan dugaan bahwa di dalam daging keong mata lembu terdapat suatu komponen yang bersifat antioksidan. Antioksidan adalah zat yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah terjadinya proses oksidasi (Swasono et al. 2007). Antioksidan berfungsi mengatasi atau menetralisir radikal bebas sehingga diharapkan dengan pemberian antioksidan tersebut proses tua dihambat atau paling tidak “tidak dipercepat” serta dapat mencegah terjadinya kerusakan tubuh dari timbulnya penyakit degeneratif (Kosasih et al. 2006). Beberapa penelitian tentang gastropoda telah dilakukan, yaitu Kamil (1998) melaporkan bahwa ekstrak keong mas mengandung komponen alkaloid, flavonoid, steroid dan/triterpenoid. Keong mas juga mengandung komponenkomponen lainnya yaitu asam amino bebas dan karbohidrat. Hasil penelitian Prabowo (2009) menunjukkan bahwa uji fitokimia terhadap ekstrak keong matah merah (Cerithidea obtusa) yang mempunyai aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa keong matah merah mengandung senyawa bioaktif golongan alkaloid dan flavonoid. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang lebih lengkap untuk menentukan komposisi gizi, komponen kimia, ekstraksi, aktivitas antioksidan, dan identifikasi senyawa bioaktif dari keong mata lembu. Roadmap penelitian ini disajikan pada Gambar 1. 1.2 Perumusan Masalah Keong mata lembu mempunyai nilai ekonomis bagi penduduk lokal. Menurut pengalaman empiris keong mata lembu telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber bahan pangan dan obat-obatan yaitu untuk meningkatkan stamina dan vitalitas. Radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif pada umumnya merupakan senyawa oksidan yang kuat. Radikal bebas dapat dihasilkan dari hasil metabolisme tubuh dan faktor eksternal misalnya asap rokok,
3
hasil penyinaran ultraviolet, zat pemicu radikal dalam makanan, dan polutan lain. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas bersifat kronis, yaitu dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penyakit tersebut menjadi nyata. Contoh penyakit yang sering dihubungkan dengan radikal bebas adalah jantung koroner, hipertensi, kanker, katarak dan menurunnya fungsi ginjal. Untuk mencegah atau mengurangi penyakit kronis karena radikal bebas diperlukan antioksidan. Kerusakan akibat radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif dalam tubuh dapat diatasi dengan konsumsi antioksidan secara optimal. Komposisi kimia dan senyawa bioaktif dari keong mata lembu belum banyak diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian senyawa bioaktif dari keong mata lembu (T. setosus). 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah 1) Menentukan karakteristik fisik dan kimia keong mata lembu; 2) Ekstraksi dan purifikasi senyawa antioksidan keong mata lembu; 3) Mengkarakterisasi dan mengidentifikasi senyawa antioksidan terpilih keong mata lembu. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian diharapkan: 1) Memperoleh informasi tentang kandungan gizi dari keong mata lembu. 2) Mendapatkan analisis antioksidan terbaik untuk ekstrak keong mata lembu. 3) Membuka peluang tentang pemanfaatan keong mata lembu sebagai sumber senyawa bioaktif yang berperan sebagai bahan dasar obat-obatan dan sebagai sumber bahan pangan. 1.5 Hipotesis Hipotesis pada penelitian adalah: 1) Kandungan nilai gizi mempengaruhi karakteristik fisik dan kimia keong mata lembu sebagai sumber bahan pangan. 2) Ekstraksi dengan jenis pelarut yang tingkat kepolarannya berbeda memberikan pengaruh terhadap aktivitas antioksidan keong mata lembu. 3) Ekstrak daging keong mata lembu memiliki potensi sebagai antioksidan.
4
Keong Mata Lembu (Turbo setosus Gmelin 1791)
Moluska perairan dangkal dari Timur Laut Taiwan (Shu 2003)
Biologi reproduksi dan upaya pemijahan keong mata lembu Turbo spp. (Soekendarsi 2004)
Kelimpahan spesies dari keong Turbo spp. yang dimakan di area intertidal Semenanjung Hengchun, Taiwan Selatan (Ming 2004)
Secara empiris dimanfaatkan
Dimasak
Meningkatkan stamina dan vitalitas
Analisis kimia: - analisis proksimat - analisis asam amino - analisis asam lemak - analisis mineral - analisis vitamin - analisis taurin - analisis kolesterol
Direbus
Dimakan mentah
Mengandung bahan aktif yang dapat menyehatkan
Ekstraksi keong mata lembu
- Uji fitokimia - Uji aktivitas antioksidan - Fraksinasi ekstrak terpilih - Uji aktivitas antioksidan fraksi terpilih
Identifikasi senyawa terpilih dengan LC-MS
Gambar 1 Roadmap penelitian keong mata lembu.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keong Mata Lembu (Turbo setosus Gmelin 1791) Keong mata lembu (Turbo setosus Gmelin 1791) merupakan salah satu anggota ordo Archaeogastropoda primitif dari subkelas Gastropoda, filum Mollusca. Ciri-ciri umum keong mata lembu menurut Kilburn (2000) adalah sebagai berikut: cangkangnya cukup tebal, mempunyai ukuran kecil sampai sedang, operkulumnya tebal dan mengalami pengapuran yang cukup tebal dan sebagian dari operkulumnya muncul ke permukaan dari mulut cangkang. Bentuk keong mata lembu dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Keong mata lembu (www.marinespecies.org). Anatomi umum keong ordo Archaeogastropoda yaitu di kepala terdapat sepasang tentakel, sepasang peduncula ocular, sepasang bintik mata yang terdapat pada bagian kepala dan sebuah mulut yang kecil, pendek dan tidak aktif digerakkan. Pada bagian ujung dan bagian bawah mulutnya terdapat celah, memberikan penampakan adanya dua bibir lateral. Diantara rongga mulutnya terdapat banyak gigi-gigi radula, merupakan salah satu ciri dari semua Gastropoda yang mempunyai kemampuan makan memarut (scraping) seperti pada keong lola (Yonge 1928). Menurut Soekendarsi (2004) keong mata lembu memiliki satu jenis sistem reproduksi sehingga dapat dibedakan antara sistem reproduksi jantan dan sistem reproduksi betina. Dengan demikian kelamin keong mata lembu (Turbo setosus Gmelin 1791) adalah terpisah atau dioecious. Kadar oksigen terlarut pada habitat keong mata lembu adalah 3-5 ppm, sedangkan pH air laut berkisar 7-8. Salinitas
6
air laut adalah 32 ppt hingga 33 ppt. Substrat keong mata lembu adalah pecahan batu karang, dataran karang mati yang ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan laut, dan pasir kasar pada daerah dataran terumbu karang yang terbawa oleh hempasan gelombang air laut. Pada substrat habitat keong mata lembu, didapat beberapa jenis hewan air lain yang hidup bersama dengan keong mata lembu yaitu hewan-hewan kelas Nematoda; Oligochaeta; Polichaeta; Diptera; Crustacea; dan Gastropoda lainnya. 2.2 Komponen Bioaktif Senyawa bioaktif dapat diperoleh dengan cara isolasi, identifikasi, struktur ilusidasi dan mempelajari karakteristik produk kimia yang dihasilkan dari organisme hidup. Metabolit sekunder diproduksi oleh organisme hidup yang didefinisikan sebagai senyawa produk alami yang tidak termasuk dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi yang normal pada organisme dan tidak begitu penting dalam hidup. Senyawa yang dihasilkan dari metabolit sekunder tergolong dalam biokimia yang tidak mengalami perubahan sampai fungsinya diperlukan. Senyawa metabolit sekunder digunakan sebagai alat interaksi antar organisme, dan sering juga digunakan sebagai pertahanan, sistem imun, antifungi, antibakteri, dan sitotoksik alami (Wojnar 2008). Beberapa senyawa metabolit khususnya struktur dan aktivitas biologisnya telah berhasil diisolasi dari hewan-hewan laut. Senyawa metabolit tersebut mempunyai potensi sebagai obat. Senyawa bioaktif yang menarik diteliti umumnya diisolasi dari spons laut, ubur-ubur, terumbu karang, moluska, echinodermata, dan krustasean. Senyawa bioaktif yang telah diisolasi dari hewan laut yaitu steroid, terpenoid, isoprenoid, nonisoprenoid, quinon, dan nitrogen heterosiklik (Bhakuni dan Rawat 2005). Beberapa senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi sudah berhasil diisolasi dari spons. Didemnin B merupakan senyawa hasil isolasi dari Trididemnum solidum dan dilaporkan mempunyai aktivitas antitumor dan antivirus. Spons Luffariella variabilis mengandung senyawa Luffariellolida yang berkhasiat antiinflamasi (David dan Oscar 1993). Callyspongia sp. merupakan salah satu jenis spons yang banyak tumbuh di perairan wilayah Indonesia. Spons ini adalah salah satu biota laut yang mengandung berbagai metabolit sekunder
7
yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat (Satari 1999). Isolat dari spons ini dilaporkan
memiliki
aktivitas
antikanker,
antimikroba,
dan
antiparasit
(Amir dan Budiyanto 1996). Hanani et al. (2005) melaporkan uji aktivitas antioksidan
menggunakan
metode
DPPH
menunjukkan
bahwa
ekstrak
Callyspongia sp. mempunyai IC50 sebesar 41,21 µg/mL. Ekstrak Callyspongia sp. mempunyai aktivitas antioksidan, dan senyawa yang berkhasiat sebagai antioksidan termasuk golongan alkaloid. Chandran (2009) melaporkan hasil uji ekstrak insang Perna viridis terhadap S. aureus dan S. paratyphi. Data tersebut menunjukkan adanya aktivitas antibakteri yaitu memperlihatkan zona hambatan maksimum 19 mm pada uji terhadap S. aureus serta aktivitas minimum 11 mm pada S. paratyphi. Ekstrak insang Perna viridis memiliki aktivitas antijamur dan menunjukkan zona hambat maksimum 13 mm terhadap A. flavus serta memiliki aktivitas minimum terhadap Mucor sp. dengan zona hambat 11 mm. Hafiluddin (2011) melaporkan lintah laut mengandung senyawa alkaloid, steroid, saponin, fenol, karbohidrat dan senyawa gula pereduksi. Nilai aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh dari ekstrak kasar daging lintah laut dengan rendemen sebesar yaitu 5,08 %, menghasilkan IC50 sebesar 441,12 ppm. Senyawa yang berperan sebagai antioksidan dalam lintah laut diduga termasuk golongan skualen. Waranmaselembun (2007) melaporkan bahwa kerang mas ngur dari Kei-Maluku Tenggara memiliki senyawa aktif dari golongan steroid, alkaloid, dan saponin yang mempunyai aktivitas sebagai inhibitor topoisomerase I sehingga berkolerasi dengan senyawa antikanker. Kerang tersebut juga mempunyai nutrisi tinggi misalnya protein sebesar 56,08 %; karbohidrat 21 %; lemak 5,95 %; air 7,84 %; abu 7,80 % dan serat kasar 1,25 %. Asam aminonya cukup lengkap dengan spesifikasi jumlah total asam amino non esensial (AANE) lebih besar daripada asam amino esensial (AAE); asam glutamat dan sistein serta asam amino rantai panjang misalnya leusin dan isoleusin ditemukan dalam jumlah tinggi melebihi asam amino sejenis pada tepung ikan.
8
Salamah et al. (2008) melaporkan bahwa dari hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kijing taiwan menunjukkan hasil positif pada uji alkaloid dan flavonoid, tetapi negatif pada uji steroid. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa antioksidan berupa alkaloid dan flavonoid dari ekstrak kijing taiwan bersifat polar karena terekstrak dari pelarut metanol. Hasil uji efek antioksidan yang paling tinggi diperoleh dari maserasi selama 72 jam dengan nilai IC50 sebesar 166,64 ppm. Daluningrum (2009) melaporkan bahwa kerang darah memiliki senyawa aktif alkaloid dan steroid yang diekstrak dengan etil asetat. Kerang darah memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus dengan zona hambat sebesar 7 mm dan bakteri E. coli dengan zona hambat 4 mm. Kamil (1998) melaporkan bahwa ekstrak keong mas mengandung komponen alkaloid, flavonoid, steroid /triterpenoid. Keong mas juga mengandung komponen-komponen lain misalnya asam amino bebas dan karbohidrat. Prabowo (2009) melaporkan bahwa uji ekstrak keong matah merah (Cerithidea obtusa) mempunyai aktivitas antioksidan dan berdasar uji fitokimia menunjukkan bahwa keong matah merah mengandung senyawa bioaktif golongan alkaloid dan flavonoid. Anand et al. (2010) melaporkan bahwa keong kuda (Pleuroploca trapezium) memiliki kandungan protein sekitar 8-10%, karbohidrat sekitar 4-5 %, mineral 2-3 % dan lemak 1-2 %. Keong ini juga kaya akan sumber mineral yaitu sodium sebesar 120 mg dan mengandung asam lemak omega 3 yaitu asam eicosapentaenoic acid (EPA). Keong ini juga memiliki aktivitas antioksidan ekstrak metanol yang baik dengan nilai IC50 sebesar 4.021 μg/mL. 2.3 Radikal Bebas Para ahli biokimia menyebutkan bahwa radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Senyawa ini terbentuk di dalam tubuh, pembentukannya dipicu oleh bermacam-macam faktor. Radikal bebas bisa terbentuk, misalnya ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini, sering kali terjadi kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk radikal bebas, misal anion superoksida, hidroksil, dan lain-lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah
9
berubah menjadi radikal bebas. Misalnya hidrogen peroksida (H2O2), ozon, dan lain-lain. Kedua kelompok senyawa tersebut sering diistilahkan sebagai senyawa oksigen reaktif (SOR) atau reactive oxygen species (ROS) (Winarsi 2007). Radikal bebas (free radical) adalah suatu senyawa atau molekul yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari pasangan dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada disekitarnya (Soeatmaji 1998). Serangan radikal bebas terhadap molekul sekelilingnya akan menyebabkan terjadinya reaksi berantai yang kemudian menghasilkan senyawa radikal baru (Sadikin 2001). Dampak reaktivitas senyawa radikal bebas bermacam-macam, mulai dari kerusakan sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif, hingga kanker. Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan oleh rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar malondialdehid (MDA) dalam plasma (Zakaria et al. 2000; Winarsi et al. 2003). 2.4 Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan.
Senyawa
menginaktivasi
ini
memiliki
berkembangnya
berat
reaksi
molekul
oksidasi,
kecil,
dengan
tetapi cara
mampu
mencegah
terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya kerusakan sel akan dihambat (Winarsi 2007). Menurut Anand et al. (2010) antioksidan merupakan zat kimia yang dapat mengikat radikal bebas dan terlibat dalam pencegahan penyakit jantung, kanker dan lain-lain. Antioksidan secara garis besar dikelompokkan menjadi dua yaitu antioksidan enzimatis dan non enzimatis. Antioksidan enzimatis diantaranya adalah enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase, vitamin (E, C, A dan β-karoten), dan senyawa lain (flavonoid, albumin, bilirubin, seruloplasmin). Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan utama (primer) terhadap kondisi stres oksidatif. Antioksidan non enzimatis dibagi dalam 2 kelompok yaitu (1) antioksidan larut lemak, misal tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon dan bilirubin; (2) antioksidan larut air, misal asam askorbat,
10
asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat heme. Senyawa-senyawa ini berfungsi menangkap senyawa oksidan serta mencegah terjadinya reaksi berantai (Winarsi 2007). Stres oksidatif dapat dihambat oleh kerja enzim-enzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan non-enzimatik. Menurut Belleville-Nabet (1996) secara fisiologis terdapat dua sistem pertahanan tubuh: (a) Sistem pertahanan preventif dilakukan oleh kelompok antioksidan sekunder. Pembentukan senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau jika sudah terbentuk senyawa itu dirusak. (b) Sistem pertahanan melalui pemutusan reaksi radikal berantai dilakukan oleh kelompok antioksidan primer. Menurut Mega (2010) pengujian anti radikal bebas senyawa-senyawa bahan alam/sintesis dapat dilakukan secara reaksi kimia menggunakan DPPH (difenil pikril hidrazil) sebagai senyawa radikal bebas yang stabil dengan melihat proses peredaman panjang gelombang maksimumnya pada spektrofotometer UV-Vis. Peredaman warna ungu merah (absorbansi pada 517±20 nm) dikaitkan dengan kemampuan sebagai anti radikal bebas (free radical scavanger). Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 3. Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 517 nm. Larutan DPPH berwarna ungu gelap, ketika ditambah senyawa antioksidan maka warna larutan akan berubah menjadi kuning cerah. Penurunan absorbansi akan menunjukkan adanya aktivitas scavenging dengan berkurangnya warna ungu. Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode DPPH adalah IC50 (inhibition concentration). Nilai IC50 merupakan konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan menyebabkan reduksi terhadap aktivitas DPPH sebesar 50 % (Molyneux 2004).
Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas)
Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)
Gambar 3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan.
11
2.5 Ekstraksi Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan suatu padatan atau cairan. Proses ekstraksi mula-mula menimbulkan penggumpalan ekstrak dalam pelarut kemudian terjadi kontak antar muka bahan dan pelarut sehingga pada bidang muka terjadi pengendapan massa dengan cara difusi. Bahan ekstraksi yang telah bercampur dengan pelarut menembus kapiler dalam suatu bahan padat dan melarutkan ekstrak larutan dengan konsentrasi lebih tinggi yang terbentuk di bagian dalam bahan ekstraksi. Difusi akan menimbulkan keseimbangan konsentrasi larutan dengan larutan di luar bahan (Bernasconi et al. 1995). Berdasarkan wujud bahannya, ekstraksi dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu (1) ekstraksi padat cair, digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut dari campurannya dengan zat padat yang tidak dapat larut; (2) ekstraksi cair-cair, digunakan untuk memisahkan dua zat cair yang saling bercampur, dengan menggunakan pelarut dapat melarutkan salah satu zat (McCabe et al. 1999). Pemilihan metode ekstraksi bergantung pada sumber bahan alam dan senyawa yang ingin diisolasi. Beberapa tujuan dari ekstraksi adalah untuk mengetahui senyawa bioaktif, mengetahui keberadaan senyawa dalam organisme, hubungan struktur senyawa dalam organisme, identifikasi seluruh senyawa bioaktif yang ada pada organisme (Sarker et al. 2006). Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang dihaluskan sesuai dengan syarat-syarat farmakope (umumnya terpotong-potong atau berupa serbuk kasar) disatukan dengan bahan pengekstraksi. Selanjutnya rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna) dan diaduk kembali. Waktu maserasi pada umumnya 5 hari. Selama waktu tersebut, keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk dalam cairan telah tercapai sehingga penarikan zat yang disari oleh cairan penyari telah optimal. Keseimbangan konsentrasi bahan lebih cepat dalam cairan melalui pengadukan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut (Voight 1994).
12
3
METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011 - November 2012. Sampel diambil dari Perairan Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Identifikasi keong mata lembu dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong; preparasi, ekstraksi dan uji antioksidan di Laboratorium Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP); uji fitokimia dan BSLT di Laboratorium Kimia Analitik Institut Pertanian Bogor (IPB). Analisis asam amino, taurin, kolesterol, dan vitamin dilakukan di Laboratorium Saraswanti Indo Genetech; analisis proksimat, mineral, asam lemak, EPA, DHA, dan triptofan di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor; KLT Preparatif di Laboratorium Biofarmaka Institut Pertanian Bogor (IPB) serta identifikasi senyawa antioksidan dilakukan di Balai Pengkajian Bioteknologi (Biotech Center-BPPT) Serpong. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mesin penepung (Dreadmill), TLC alumunium sheets silica gel 60 Fe254, rotary evaporator merek Heidolph WB2000, spektrofotometer UV-VIS merek Hitachi U-2800, AAS model varian AA-30, HPLC merek Waters Coorporation USA, Camag Linomat 5 dan GC merek Shimadzu 2010 plus. Bahan yang digunakan pada penelitian ini berupa keong mata lembu (Turbo setosus). Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis kimia yaitu: n-heksana (p.a), etil asetat (p.a) dan metanol (p.a), kloroform (p.a), asam format glacial, dan DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil). 3.3 Prosedur Penelitian Penelitian ini terbagi atas tiga tahap, yaitu (1) pengambilan, preparasi dan analisis komponen kimia keong mata lembu. (2) ekstraksi bahan aktif keong mata lembu. (3) Identifikasi bahan aktif keong mata lembu. Langkah-langkah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
13
Keong Mata Lembu
Pelepasan cangkang
Pemisahan cangkang, jeroan dan daging
Daging
Kering
Segar
Analisis proksimat, mineral (K, Ca, Mg, Fe, Zn, dan Se), asam amino,taurin, asam lemak, kolesterol, dan vitamin
Ekstraksi bertingkat (Gambar 6)
Antioksidan fraksi terbaik
Ekstrak kasar
Analisis rendemen, fitokimia, uji antioksidan, dan toksisitas
Fraksinasi: KLT KLT preparatif
Antioksidan terbaik
Identifikasi LC-MS
Senyawa aktif
Gambar 4 Diagram alir penelitian.
14
3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel Tahap pertama penelitian ini dimulai dari pengambilan dan preparasi sampel serta persiapan bahan dan alat untuk pengujian kandungan gizi dan ekstraksi senyawa aktif. Sampel diambil dari Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi (Gambar 5). Sampel selanjutnya diidentifikasi dan ditentukan morfometriknya. Tahap preparasi sampel dimulai dengan proses pencucian keong mata lembu dan pemisahan dari cangkangnya. Setelah itu daging keong mata lembu dikeringkan selama 33 jam pada suhu 50-60 °C dengan oven. Setelah kering daging keong mata lembu dihaluskan menggunakan mesin penepung (Dreadmill) dengan saringan sebesar 60 mesh selama 45 menit.
Gambar 5 Peta lokasi penelitian di Ujung Genteng Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat 3.3.2 Ekstraksi bahan aktif Ekstraksi daging keong mata lembu dilakukan dengan fraksinasi bertingkat metode Quinn (1988) diacu dalam Darusman et al. (1995) dengan berbagai perbedaan kepolaran pelarut. Tujuannya adalah untuk mengekstrak komponen dalam keong mata lembu sesuai dengan tingkat kepolarannya sehingga komponen bioaktif yang belum diketahui sifatnya dapat diekstrak secara optimal pada salah
15
satu pelarut yang digunakan. Bubuk keong mata lembu yang dihasilkan ditimbang sebanyak 50 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar dan ditambah dengan 150 mL n-heksana p.a. Campuran dikocok dengan bantuan shaker selama 24 jam kemudian disaring. Fraksinasi menggunakan pelarut n-heksana p.a dilakukan sampai larutan berwarna jernih. Hasil penyaringan ditampung dalam labu dan dievaporasi sampai pekat. Fraksi ini merupakan fraksi dengan tingkat kepolaran rendah. Residu dari fraksinasi heksana p.a kemudian dilarutkan dengan pelarut etil asetat p.a. Residu hasil fraksinasi dengan heksana p.a ditambah dengan 150 mL pelarut etil asetat p.a. Selanjutnya campuran dikocok dengan shaker selama 24 jam dan kemudian disaring. Fraksinasi dengan pelarut etil asetat p.a dilakukan hingga larutan menjadi jernih. Hasil penyaringan ditampung dalam labu dan dievaporasi sampai pekat. Fraksi ini merupakan fraksi dengan tingkat kepolaran sedang. Fraksinasi terakhir menggunakan pelarut metanol p.a. Residu hasil fraksinasi dengan etil asetat p.a ditambah dengan pelarut metanol p.a sebanyak 150 mL. Campuran dikocok dengan shaker selama 24 jam, kemudian disaring. Fraksinasi dengan pelarut methanol p.a dilakukan hingga larutan menjadi jernih. Prosedur lengkap dari proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 6. Filtrat yang terkumpul dipisahkan antara pelarut dan ekstraknya menggunakan vacum rotary evaporator pada suhu 40-50 oC hingga diperolah ekstrak kasar berbentuk pasta. Ekstrak kasar tersebut diuji aktivitas antioksidannya sehingga diperoleh informasi mengenai jenis pelarut yang dapat memperoleh senyawa bioaktif dari daging keong mata lembu. Ekstrak kasar keong mata lembu yang memiliki aktivitas antioksidan terbaik dianalisis secara fitokimia untuk mengetahui golongan senyawa bioaktif pada ekstrak tesebut serta uji Brine Shrimp Lethality Bioassay (BSLT) untuk mengetahui toksisitasnya. Serbuk daging keong mata lembu ditimbang untuk mengetahui rendemen yang didapatkan dengan rumus:
endemen
(b/v)
berat ekstrak kering 100 berat awal serbuk keong mata lembu
16
Sampel keong mata lembu kering 50 g
Maserasi dengan n-heksana p.a 150 mL pada suhu ruang
Disaring
Filtrat
Residu
Maserasi dengan etil asetat p.a 150 mL pada suhu ruang
Dievaporasi
Ekstrak kasar n-heksana
Sampai bening
Sampai bening
Residu
Disaring
Filtrat
Maserasi dengan metanol p.a 150 mL pada suhu ruang
Dievaporasi
Ekstrak kasar Etil asetat
Sampai bening
Disaring
Filtrat
Residu
Dievaporasi
Ekstrak kasar metanol
Gambar 6 Bagan kerja ekstraksi daging keong mata lembu (Quinn 1988 diacu dalam Darusman et al. 1995). 3.3.3 Fraksinasi lanjutan Fraksi yang memiliki aktivitas antioksidan terbaik kemudian dipisahkan dengan kromatografi lapis tipis. Fase diam yang digunakan adalah silika gel 60 F254. Eluen yang digunakan yaitu berdasarkan tingkat kepolarannya dari polaritas rendah (non polar) sampai polaritas tinggi (polar). Eluen yang digunakan yaitu
17
n-heksana, kloroform, dikhlorometan, etil asetat, etanol dan metanol. Pencarian eluen terbaik dimulai dengan menggunakan eluen tunggal sampai dengan eluen campuran atau perbandingan. Sebanyak 10 mL eluen dimasukkan ke dalam chamber dan ditutup, kemudian dibiarkan beberapa menit sampai larutan menjadi jenuh. Ekstrak kasar yang terpilih sebanyak 0,02 g dilarutkan dalam 0,5 mL pelarutnya, kemudian ditotolkan pada garis bagian bawah yang ditandai pada plat kromatografi lapis tipis sepanjang 10 cm menggunakan pipa kapiler dan dikeringkan beberapa menit plat dimasukkan ke dalam chamber dengan posisi agak tegak, sampel yang ditotolkan berada pada bagian bawah dan diusahakan tidak terendam oleh eluen. Chamber ditutup dan ditunggu sampai sampel terbawa eluen pada batas atas. Plat kromatografi lapis tipis dikeluarkan dan dikeringkan. Selanjutnya plat dilihat hasilnya dengan menggunakan sinar UV 254 nm dan 366 nm. Setelah ditemukan eluen terbaik, dilanjutkan dengan kromatografi preparatif. Prosedur yang dilakukan hampir sama dengan KLT namun dengan ukuran yang lebih besar. Pembuatan preparat dengan menggunakan silika gel 60 F254 yang dipasang pada lempeng kaca dengan ukuran 20x20 cm. Eluen terbaik yang diperoleh disiapkan sebanyak 20 mL dan dimasukkan ke dalam chamber. Larutan sampel ditotolkan pada plat KLT dan dimasukkan ke dalam chamber, setelah dilihat hasilnya dengan sinar UV 254 nm, kemudian setiap fraksi atau masing-masing Rf (Retardation factor) yang dihasilkan dikerok dan dikumpulkan. Hasil pengerokan dilarutkan dengan pelarut yang sama dengan sampel terpilih. Hasil dari masing-masing fraksi diuji aktivitas antioksidannya untuk memilih fraksi terbaik. 3.3.4 Identifikasi senyawa aktif Fraksi terpilih dengan aktivitas antioksidan terbaik dilanjutkan dengan melihat komponen senyawa yang terdapat didalamnya menggunakan Liquid chromatography mass spectrometry (LC-MS) Agilent Technologies. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan bobot molekul. Analisis yang dilakukan pada tahap identifikasi senyawa aktif ini yaitu memilih senyawa yang memiliki puncak tinggi dan dicocokkan dengan senyawa yang ada pada library LC-MS dengan kemiripan >90 %.
18
Tabel 1 Kondisi dan spesifikasi operasi alat LC-MS Kondisi LC Alat HPLC Column Flow rate Injection Suhu Eluent (fase gerak) Gradient method Time (min) 0 1 6 6,7 7 9 MS Capillary voltage Sample cone voltage Desolvation T Source T Desolvation gas Cone gas
Spesifikasi dan program pengaturan UPLC- qToF-MS/MS System (Waters) UPLC Acquity SDS (Waters) Acquity UPLC BEH C18 1.7um, 2.1x50 mm 0.3 mL/min 5 uL 40 °C A: H2O+0.1 % formic acid, B: Acetonitrile + 0.1 % formic acid %A 95 95 0 0 95 95 XEVO – G2QTOF (waters), ESI positif 3 kV 38 V 300 °C 110 °C 500 L/h 16 L/h
%B 5 5 100 100 5 5
Cara kerja LC adalah sama dengan HPLC, mula-mula eluen diambil melalui pompa. Eluen ini kemudian dimasukkan ke dalam katup injeksi berputar. Sampel dimasukkan ke dalam katup injeksi dengan bantuan mikrosiring yang kemudian bersama-sama dengan eluen masuk ke dalam kolom. Hasil pemisahan dideteksi oleh detektor kemudian direkam. Tekanan eluen diatur dengan pengatur dan pengukur tekanan. Pompa pemasuk eluen pada tekanan konstan hingga tekanan kurang lebih 4500 psi dengan laju alir rendah. Analit bersama dengan eluen dari syringe pump atau LC dimasukkan ke dalam cappilary. Analit dan eluen disemprotkan (spray) melalui taylor cone, sehingga terbentuk tetesan-tetesan droplet. Droplet yang mengalami pemecahan (coulombic explosion) tersebut akan masuk ke dalam cone dimana sisi kiri dan kanannya sudah mengalir gas nitrogen. Gas ini berfungsi agar analit yang terjadi stabil dalam bentuknya dan tidak
19
terganggu oleh pengaruh gas oksigen. Droplet yang masuk ke dalam cappilary transfer akan dianalisis melalui mass spectrofotometer. 3.4 Analisis Analisis yang dilakukan pada tahap ini meliputi analisis rendemen, analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan karbohidrat), vitamin (A, B12, D, dan E), analisis asam amino, taurin, asam lemak, dan kolesterol (AOAC 2005), analisis mineral (SNI 01-2891-1992), fitokimia (Harborne 1987), analisis antioksidan (Molyneux 2004), dan toksisitas (Carballo 2002). 3.4.1
Analisis rendemen daging keong mata lembu (Hustiany 2005) Rendemen adalah persentase bagian tubuh yang dapat dimanfaatkan.
Daging keong mata lembu utuh ditimbang beratnya baik sebelum
maupun
sesudah diambil cangkang dan jeroannya kemudian dikeringkan menggunakan oven. Daging keong mata lembu yang telah kering ditimbang kembali untuk mengetahui penurunan berat setelah dikeringkan.
Rendemen merupakan
persentase perbandingan antara bagian yang digunakan dengan berat utuh daging keong mata lembu segar. endemen
berat bagian yang digunakan (gram) berat keong mata lembu (gram)
3.4.2 Analisis proksimat (AOAC 2005) Daging keong mata lembu segar dan kering diuji komposisi kimianya yang terdiri atas kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat dan serat kasar. 1) Analisis kadar air (AOAC 950.46) Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prosedur analisis kadar air sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105 oC, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian dioven pada suhu 100-105 oC selama 6 jam lalu didinginkan hingga mencapai suhu ruang dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (C). Tahap ini diulangi hingga
20
dicapai bobot yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus: Kadar ir ( ) 2) Analisis kadar abu (AOAC 920.153) Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode oven. Prinsipnya adalah pembakaran atau pengabuan bahan-bahan organik yang diuraikan menjadi air (H2O) dan karbondioksida (CO2) tetapi zat anorganik tidak terbakar. Zat anorganik ini disebut abu. Prosedur analisis kadar abu sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dipanaskan di dalam tanur selama 1 jam pada suhu 100 oC, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Contoh ditimbang sebanyak 0,1 g dalam cawan yang sudah dikeringkan dan dibakar sampai timbul asap. Cawan beserta isinya dipanaskan di dalam tanur pada suhu 550 oC selama 2 jam, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang bobot cawan dan sampel (B). Cawan dan sampel dipanaskan lagi selama 2 jam pada suhu 550 oC lalu didinginkan di dalam desikator dan bobot cawan dan sampel ditimbang. Tahap pemanasan dan penimbangan diulangi sampai didapat bobot yang konstan. Kadar abu dihitung dengan rumus: Kadar bu ( )
3) Analisis kadar lemak (AOAC 960.39) Analisis kadar lemak dilakukan dengan metode sokhlet. Prinsipnya adalah lemak yang terdapat dalam sampel diekstrak dengan menggunakan pelarut lemak non polar. Prosedur analisis kadar lemak sebagai berikut: labu lemak yang akan digunakan dioven selama 30 menit pada suhu 100-105 °C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g (B) lalu dibungkus dengan kertas saring, ditutup dengan kapas bebas lemak dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi sokhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak yang telah dioven dan diketahui bobotnya. Pelarut heksana atau pelarut lemak lain dituangkan sampai sampel terendam dan dilakukan refluks atau ektraksi lemak selama 5-6 jam atau sampai pelarut lemak
21
yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut lemak yang telah digunakan, disuling dan ditampung setelah itu ekstrak lemak yang ada dalam labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105 °C selama 1 jam, lalu labu lemak didinginkan dalam desikator dan ditimbang (C). Tahap pengeringan labu lemak diulangi sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar lemak dihitung dengan rumus: Kadar lemak ( ) 4) Analisis kadar protein (AOAC 954.01) Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl. Prinsipnya adalah senyawa nitrogen dalam protein diubah menjadi amonium sulfat oleh H2SO4 pekat. Amonium sulfat yang terbentuk diuraikan dengan larutan NaOH pekat (sekitar 30 % b/v). Amoniak yang dibebaskan diikkat dengan asam borat berlebih, kemudian dititrasi dengan larutan HCl. Prosedur analisis kadar protein sebagai berikut: contoh ditimbang sebanyak 0,51 g cuplikan, dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL, ditambahkan dengan 2 g campuran selenium dan 25 mL H2SO4 pekat, kemudian dipanaskan di atas pemanas listrik atau pembakar bunsen sampai mendidih lalu larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam).
Larutan dibiarkan dingin, kemudian
diencerkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, ditepatkan sampai tanda tera. Sebanyak 5 mL larutan dimasukkan ke dalam alat penyuling, lalu ditambahkan 5 mL NaOH 30 % dan segera tutup labu destilasinya, selanjutnya disuling selama lebih kurang 10 menit, sebagai penampung digunakan 10 mL larutan asam borat 2 %. Ujung pipa dibilas dengan air suling, lalu dititrasi dengan larutan HCl 0,01 N dan dilakukan penetapan blanko. Kadar protein dihitung dengan rumus:
Kadar Nitrogen ( )
(
1
–
2)
N 0 014 fk fp
22
Keterangan : Wcontoh = bobot cuplikan (g) V1
= volume HCl 0,01 N yang digunakan pada penitrasan contoh (mL)
V1
= volume HCl 0,01 N yang digunakan pada penitrasan blanko
NHCl
= normalitas HCl
fk
= faktor konversi untuk protein (6,25 untuk produk perikanan)
fb
= faktor pengenceran
5) Analisis kadar karbohidrat Karbohidrat dalam sampel dihidrolisis dengan HCl menjadi gula monomernya. Gula monomer bereaksi dengan fenol membentuk kompleks fenolgula monomer yang berwarna merah dan diukur dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 490 nm. Analisis sampel dilakukan dengan cara menimbang 0,05-0,1 g cuplikan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 mL H2SO4 pekat lalu didiamkan. Larutan ditera ke labu 100 mL kemudian disaring. Larutan sampel dipipet 1 mL, kemudian ditambahkan 1 mL air akuades, 1 mL larutan fenol 5 %, lalu divortex. Selanjutnya 5 mL asam sulfat pekat ditambahkan kedalamnya dengan cepat (dispenser) dan didiamkan selama 10 menit, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 490 nm.
karbohidrat
konsentrasi (ppm) mg sampel
P
3.4.3 Analisis Vitamin (AOAC 2005) Kandungan vitamin yang dianalisis pada daging keong mata lembu segar dan kering meliputi vitamin A, B12, D dan E. 1) Vitamin A, D, dan E (AOAC 985.27) Sebanyak 2 g contoh dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse 50 mL, kemudian ditambah 5 mL larutan ethanol-ascorbic acid 0,1 % dan 2 mL KOH 50 %. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 70 oC selama 30 menit, dan divortex tiap 10 menit setelah itu didinginkan dengan air mengalir. Setelah larutan dingin, ditambah dengan 7 mL dd H2O, 5 mL n-heksana lalu dikocok selama 5 menit dan didiamkan sampai terpisah. Lapisan n-heksana dipisahkan, dimasukkan ke dalam
23
sentrifuse dan dikocok selama 5 menit. Lapisan n-heksana dipisahkan lagi dan digabungkan ke gelas kimia. Larutan yang telah terpisahkan, kemudian diuapkan sampai kering dalam lemari asam gelap. Setelah kering, dilarutkan dengan metanol HPLC grade dan dipindahkan ke labu ukur 50 mL, dihimpitkan dengan metanol HPLC grade sampai tanda tera, disaring dengan penyaring 0 45 μm lalu dimasukkan ke vial autosampler dan siap untuk diinjeksi ke HPLC. Penyiapan larutan fase gerak dilakukan dengan menyiapkan metanol gradien grade, larutan disaring dengan penyaring 0,45 µm lalu dilakukan ultrasonik selama 15 menit dan siap dipakai untuk HPLC. Perhitungan kadar vitamin A, D, dan E:
Keterangan: Csp
= konsentrasi contoh, dinyatakan dalam µg/g (ppm)
Asp
= area contoh
Ast
= area standar
Cst
= konsentrasi standar, dinyatakan dalam µg/mL (ppm)
Vsp
= volume pelarutan sampel, dinyatakan dalam mL
Wsp
= bobot contoh, dinyatakan dalam g Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis vitamin A, D, dan E:
Merek
: waters coorporation, USA
Kolom
: Oktadesilsilana (RP-18)
Fase gerak
: Metanol:dapar fosfat (4:96)
Laju alir
: 0,7 mL/menit
Panjang gelombang : vitamin A 325 nm, vitamin D 264 nm, dan vitamin E 292 nm Nama standar
: vitamin A Retinyl palmitate produksi Supelco; vitamin D Ergocalcipherol produksi Sigma; vitamin E = Tocopherol produksi Sigma.
24
2) Vitamin B12 (AOAC 2011.10) Sebanyak 1 g contoh dimasukkan ke dalam tabung ulir 25 mL (A), ditambah 5 mL H2SO4 0,1 M lalu dikocok.
Selanjutnya campuran dipanaskan dalam
penangas air pada suhu 100 oC selama 30 menit, divortex setiap 10 menit dan didinginkan. Larutan yang telah dingin, dimasukkan dalam labu ukur 10 mL (B). Pada tabung A ditambah 1,4 mL CH3COONa 2 M, lalu divortex dan dimasukkan ke dalam labu B kemudian ditambah 2 mL papain 0,1 % (untuk contoh berprotein tinggi) lalu divortex. Campuran
dimasukkan ke dalam labu B ditambahkan
dengan akuades hingga tanda tera kemudian disaring dengan Whatman No 42 dan membran 0,45 µm, setelah itu disuntikkan ke HPLC. Perhitungan vitamin B12:
Keterangan: Csp
= konsentrasi contoh, dinyatakan dalam mg/kg
Asp
= luas area contoh
Ast
= luas area standar
Cst
= konsentrasi larutan standar dalam mg/L
Vsp
= volume pelarutan sampel, dinyatakan dalam mL
Wsp
= bobot contoh, dinyatakan dalam g
Fp
= faktor pengenceran Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis vitamin B12:
Merek
: waters coorporation, USA
Kolom
: oktadesilsilana (C18)
Laju alir
: 0,7 mL/menit
Fase gerak
: air : acetonitril : TFA 0,025% (gradient)
Panjang gelombang : 361 nm Nama standar
: Cyanocobalamine produksi Supelco
25
3.4.4 Analisis mineral dan logam berat (SNI 01-2891-1992) Mineral yang dianalisis pada sampel keong mata lembu (Turbo setosus) meliputi: kalsium, kalium, magnesium, besi, selenium, seng, kadmium, merkuri dan timbal yang dianalisis dengan metode spektrofotometer serapan atom. 1) Analisis mineral kalsium, magnesium, kalium, dan seng Prosedur analisis kadar mineral kalsium adalah sebagai berikut: sampel yang telah kering ditimbang sebanyak 1-2 g, kemudian dihancurkan dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 100 mL yang telah dibilas dengan HCl 1 N. Sampel ditambahkan dengan 25 mL HCl 1 N dan disimpan selama 24 jam. Setelah penyimpanan, sampel dikocok dengan shaker dan disaring dengan kertas whatman no 1. Ekstrak sampel dipipet sebanyak 1 mL, ditambahkan 2 mL larutan lantanium oksida dan ditambahkan HCl 1 N sampai volume menjadi 10 mL, kemudian ditera dengan penambahan akuades sampai volume menjadi 50 mL. Larutan diukur absorbansinya dengan AAS masing-masing pada panjang gelombang 422,7 nm untuk kalsium; 285,2 untuk magnesium; 766,5 nm untuk kalium dan 213,9 nm untuk seng. 2) Analisis mineral besi Prosedur analisis mineral besi adalah sebagai berikut: sampel yang telah kering ditimbang sebanyak 1-2 g, kemudian dihancurkan. Larutan asam campuran disiapkan yang dibuat dari HNO3, H2SO4, dan HClO4 dengan perbandingan 5:1:2. Sampel yang telah hancur ditambah 10 mL larutan asam campuran, kemudian dipanaskan di dalam ruang asam menggunakan api kecil selama 2 jam. Kemudian api dibesarkan sampai larutan menjadi jernih dan didinginkan.
Larutan
ditambahkan akuades sampai volume 50 mL dan disaring dengan kertas saring pencucian asam whatman no 1. Ekstrak dipipet sebanyak 10 mL, ditambah 1 mL hidrokuinon dan 1 mL orto-phenatrolin kemudian ditambah sodium sitrat sampai pH 3,5. Larutan diencerkan dengan akuades sampai volume 50 mL dan dipanaskan dalam water bath selama 1 jam. Larutan deret standar diperlukan dengan pereaksi yang sama dengan ekstrak sampel. Absorbansinya diukur dengan AAS pada panjang gelombang 248,3 nm.
26
3) Analisis mineral tembaga Prosedur analisisnya sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak 25 g dalam gelas piala 250 mL yang terlebih dahulu dicuci dengan HNO3 6 N. Sampel dikeringkan di dalam oven pada suhu 110-125 oC selama 8-24 jam. Selanjutnya sampel dipindahkan ke dalam tungku pada suhu 350 oC selama 1-2 jam untuk mencegah terjadinya proses pembakaran cepat yang menyebabkan sampel dapat terhambur ke luar. Suhu dinaikkan hingga 450 oC selama 12-24 jam. Apabila sampel abu belum putih sempurna, maka ditambah 0,25-1 mL HNO3 pekat, kemudian diuapkan di atas hot plate. Sampel dipanaskan kembali pada suhu 450 oC di dalam tungku selama 30-60 menit sampai abu benar-benar putih. Abu dilarutkan dalam 2 mL HNO3 pekat, kemudian diencerkan dengan akuades hingga 25 mL dan dididihkan di atas hot plate. Larutan disaring dengan kertas saring No. 42 yang terlebih dahulu dicuci dengan HNO3 10 % dan akuades, filtratnya ditampung dan diencerkan dengan akuades hingga 50
mL.
Absorbansinya diukur dengan AAS pada panjang gelombang 324,7 nm. 4) Analisis logam berat Prosedur analisisnya sebagai berikut: sampel yang telah dihomogenkan ditimbang sebanyak 5 g dan dimasukkan ke dalam labu. Leher labu dibilas dengan 5 mL akuades sebanyak 20 buah batu didih, 10-20 mg V2O5, dan 20 mL H2SO4 dengan HNO3 dengan perbandingan 1:1. Labu dihubungkan dengan kondensor dan digoyang-goyang hingga tercampur. Air dingin dialirkan melalui kondensor selama pencampuran dilakukan, kemudian dipanaskan dengan api kecil sampai mendidih (sekitar 6 menit) dan diakhiri dengan pemanasan kuat (api besar) selama 10 menit. Selama reaksi berlangsung, labu terus digoyang-goyang. Alat pemanas dimatikan dan kondensor dicuci dengan 15 mL akuades. Dua tetes ditambah H2O2 melalui kondensor ke dalam labu dan dicuci dengan 15 mL akuades. Larutan dalam labu didinginkan pada suhu kamar dengan cara menempatkan dalam gelas yang berisi air. Labu diangkat dari kondensor dan leher labu dibilas dengan akuades. Labu dibilas hati-hati dengan akuades kemudian ditera sampai volume 50 mL.
27
Larutan blanko dan kurva standar disiapkan lalu ditambahkan 100 mL larutan pengencer ke dalam masing-masing labu. Larutan pengencer dibuat dengan cara sebanyak 50 mL HNO3 dan 67 mL H2SO4 dipipet ke dalam labu ukur 1000 mL yang berisi 300-500 mL akuades kemudian ditera sampai volume 1000 mL. Output pompa diatur sampai mencapai kira-kira 2 L udara/menit dengan mengatur kecepatan pompa lalu ditambahkan 20 mL larutan pereduksi ke dalam masing-masing labu. Larutan pereduksi dibuat dengan cara 50 mL H2SO4 dipipet dan ditambah 300 mL akuades kemudian didinginkan pada suhu kamar. Sebanyak 15 g NaCl, 25 g SnCl2, dan 15 g hidroksil aminasulfat ditimbang, kemudian semua bahan dilarutkan dalam larutan H2SO4 sampai volume 500 mL. Gas inlet adapter dihubungkan dan dilakukan aerasi selama 1 menit. Absorpsi larutan blanko dan larutan standar dicatat lalu diplotkan dalam kurva. Larutan sampel dipipet 25 mL dari labu, kemudian ditambahkan dengan 75 mL larutan pengencer. Output pompa diatur sampai mencapai kira-kira 2 liter udara/menit dengan mengatur kecepatan pompa lalu ditambahkan 20 mL larutan pereduksi yang telah dibuat ke dalam larutan yang akan diperiksa. Gas inlet adapter dihubungkan dan dilakukan aerasi selama 1 menit. Absorpsi larutan sampel dicatat. Konsentrasi merkuri pada sampel yang diperiksa dapat ditentukan berdasarkan kurva tersebut. Bila didapat konsentrasi merkuri dalam sampel yang diperiksa menyimpang dari kurva, maka dilakukan penentuan kembali dengan memakai volume larutan standar yang lebih kecil. Kadar masing-masing mineral dalam bahan dihitung dengan rumus: Kadar mineral (ppm)
Keterangan : Abs
= absorbansi yang terbaca pada AAS
V
= volume pengenceran
Slope
= slope regresi kurva dari masing-masing mineral
W
= bobot sampel (g)
28
3.4.5 Analisis asam amino (AOAC 975.44) Komposisi asam amino ditentukan dengan High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Sebelum digunakan, perangkat HPLC harus dibilas dulu dengan eluen yang akan digunakan selama 2-3 jam. Begitu pula dengan syringe yang akan digunakan juga harus dibilas dengan akuades. Analisis asam amino menggunakan HPLC terdiri atas 4 tahap yaitu (1) tahap pembuatan hidrolisat protein; (2) tahap pengeringan; (3) tahap derivatisasi; dan (4) tahap injeksi serta analisis asam amino. 1) Tahap pembuatan hidrolisat protein Tahap preparasi sampel adalah pembuatan hidrolisat protein. Prosedurnya sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak 0,2 g dan dihancurkan. Hancuran sampel ditambah dengan HCl 6 N sebanyak 5-10 mL, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC selama 24 jam. Tujuannya untuk menghilangkan gas atau udara yang ada pada sampel agar tidak mengganggu kromatogram yang dihasilkan, juga untuk mempercepat reaksi hidrolisis. Hidrolisat protein yang telah dipanaskan kemudian disaring dengan milipore berukuran 45 µ. 2) Tahap pengeringan Larutan pengering dibuat dari campuran antara metanol, natrium asetat, dan trimetilamim dengan perbandingan 2:2:1. Pengeringan dilakukan dengan gas nitrogen untuk mempercepat pengeringan dan mencegah oksidasi. 3) Tahap derivatisasi Larutan derivatisasi sebanyak 30 μL ditambahkan pada hasil pengeringan. Larutan derivatisasi dibuat dari campuran antara larutan metanol, pikoiotisianat, dan trietilamin dengan perbandingan 3:3:4. Proses derivatisasi dilakukan agar detektor mudah untuk mendeteksi senyawa yang ada pada sampel, selanjutnya dilakukan pegenceran dengan cara menambahkan 10 mL asetonitil 60 % atau buffer fosfat 0,1 M lalu dibiarkan selama 20 menit. Hasil pengenceran disaring kembali menggunakan milipore berukuran 0,45 µ. 4) Injeksi ke HPLC Hasil saringan diambil sebanyak 20 μL untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Penghitungan konsentrasi asam amino dilakukan dengan cara membandingkan
29
kromatogram
sampel
dengan
standar,
pembuatan
kromatogram
standar
menggunakan asam amino yang mengalami perlakuan yang sama dengan sampel. Kandungan masing-masing asam amino pada bahan dapat dihitung dengan rumus: Konsentrasi asam amino
Luas areal sampel Luas areal standar
obot sampel
Keterangan : konsentrasi standar asam amino (5 μg)
C FP
= faktor pengenceran (10 mL)
BM
= bobot molekul dari masing-masing asam amino (g/mol) Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis asam amino:
Merek
: waters coorporation, USA
Kolom
: accQtag column (3,9 x 150 mm)
Temperatur
: 37 oC
Fase gerak
: acetonitril 60 % - AccqTag Eluent A, sistem gradien komposisi
Laju alir
: 1,0 mL per menit
Detektor
: fluorescense, Eksitasi = 250 nm, emisi = 395 nm
Volume penyuntikan
: 5 uL
Nama standar
: Amino acid standar produksi Thermo Scientific
3.4.6 Analisis taurin (AOAC 997.05) Kandungan taurin dapat dianalisis menggunakan alat HPLC dengan beberapa tahapan sebagai berikut: sampel ditimbang sebanyak 1 g dan dimasukkan ke labu ukur 100 mL, kemudian ditambah 80 mL air suling dan 1 mL pereaksi Carrez 1 lalu kocok hingga homogen. Sampel yang telah homogen kemudian ditambah 1 mL pereaksi Carrez 2, kemudian kocok hingga homogen. Sampel yang telah ditambah pereaksi Carrez 1 dan 2 kemudian diencerkan dengan cara menambahkan air suling sampai tanda tera labu ukur dan kocok hingga homogen. Sampel disaring menggunakan kertas saring Whatman. Filtrat ditampung dengan erlenmeyer dan disimpan ditempat gelap. Tahap selanjutnya adalah tahap derivatisasi yaitu dengan mengambil 10 mL ekstrak sampel dimasukkan ke labu takar 10 mL, kemudian ditambahkan 1 mL
30
buffer natrium karbonat dan 1 mL larutan dansil klorida. Sampel didiamkan selama 2 jam lalu dikocok dan ditambahkan 0,5 mL larutan metilamin hidroklorida dan air suling sampai tanda tera (10 mL), kemudian dikocok kembali hingga homogen. Hasil derivatisasi diambil sebanyak 20 μL kemudian diinjeksikan ke HPLC untuk mengetahui kandungan taurin pada sampel. Kandungan taurin dalam100 gram bahan dapat dihitung dengan rumus :
Keterangan : Csp
= konsentrasi contoh, dinyatakan dalam mg/100 g
Asp
= luas area contoh
Astd
= luas area standar
Cstd
= konsentrasi larutan standar dalam mg/L
Vsp
= volume pelarutan sampel, dinyatakan dalam mL
Wsp
= bobot contoh, dinyatakan dalam g
10
= konversi dalam 100 g sampel Kondisi alat HPLC saat berlangsungnya analisis taurin:
Merek
: waters coorporation, USA
Kolom
: oktadesilsilana (C18)
Laju alir
: 1 mL/menit
Fase gerak
: Bufer Natrium Asetat 0,01 M pH 4,2 : Asetonitril (84:16)
Detektor
: Flourescence : eksitasi 330 nm, emisi 530 nm
Nama standar : Amino acid standar produksi Thermo Scientific 3.4.7 Analisis asam lemak (AOAC 963.22) Asam lemak merupakan komponen lemak. Kandungan asam lemak dapat ditentukan dengan metode gas kromatografi didasarkan pada partisi komponenkomponen dari suatu cairan di antara fasa gerak berupa gas dan fasa diam berupa zat padat atau cairan yang tidak mudah menguap yang melekat pada bahan pendukung inert. Komponen-komponen yang dipisahkan harus mudah menguap pada suhu pemisahan yang dilakukan sehingga suhu operasi biasanya lebih tinggi
31
dari suhu kamar dan biasanya dilakukan derivatisasi untuk contoh yang sulit menguap. Dalam hal analisis asam lemak, maka mula-mula lemak/minyak dihidrolisis menjadi asam lemak, kemudian ditransformasi menjadi bentuk esternya yang bersifat lebih mudah menguap. Dalam metode ini, transformasi dilakukan dengan cara metilasi sehingga diperoleh metil ester asam lemak (FAME). Metil ester asam lemak (FAME) ini dianalisis dengan alat kromatografi gas. Identifikasi tiap komponen dilakukan dengan membandingkan waktu retensinya dengan standar pada kondisi analisis yang sama. Waktu retensi dihitung pada kertas rekorder sebagai jarak dari garis pada saat muncul puncak pelarut sampai ke tengah puncak komponen yang dipertimbangkan. Penentuan kandungan komponen dalam contoh dapat dilakukan dengan teknik standar eksternal atau internal standar. Luas puncak dari masing-masing komponen adalah berbanding lurus dengan jumlah komponen tersebut dalam contoh, untuk meminimalkan kesalahan akibat volume injeksi, preparasi sampel, pengenceran dan sebagainya, lebih baik digunakan teknik standar internal, disamping itu koreksi terhadap respon detektor dan interaksi antar komponen dalam matrik contoh selama melewati kolom juga harus dilakukan. (a) Preparasi contoh (hidrolisis dan esterifikasi) Contoh lemak ditimbang sebanyak 20-30 mg atau minyak dalam tabung tertutup teflon, ditambah 1 mL NaOH 0,5 N ke dalam metanol dan dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Sebanyak 2 mL BF3 16 % dan 5 mg/mL standar internal ditambahkan. Larutan tersebut lalu dipanaskan lagi selama 20 menit, Sampel yang telah dingin ditambah 2 mL NaCl jenuh dan 1 mL n-heksana, lalu dikocok dengan baik. Lapisan n-heksana dipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung yang berisi 0,1 g Na2SO4 anhidrat, dibiarkan 15 menit. Fase cair dipisahkan dan selanjutnya diinjeksikan ke kromatografi gas. (b) Analisis komponen asam lemak sebagai FAME Pelarut sebanyak 1 µL diinjeksikan ke dalam kolom. Bila aliran gas pembawa dan sistem pemanasan sempurna, puncak pelarut akan nampak dalam kurang dari 1 menit. Sampel diinjeksikan 5 µL campuran standar FAME setelah pena kembali ke nol (baseline), jika semua puncak sudah keluar, sebanyak 5 µL
32
sampel yang telah dipreparasi (A) diinjeksikan. Waktu retensi dan puncak masing-masing komponen diukur, jika rekorder dilengkapi dengan integrator, waktu retensi dan luas puncak langsung diperoleh dari integrator dan membandingkan waktu retensinya dengan standar untuk mendapatkan informasi mengenai jenis dari komponen-komponen dalam contoh. Metode internal standar, jumlah dari masing-masing komponen dalam sampel dapat dihitung dengan cara sebagai berikut :
Keterangan : Cx = kosentrasi komponen x Cs = kosentrasi standar internal Ax = luas puncak komponen x As = luas puncak standar internal R = respon detektor terhadap komponen x relatif terhadap standar Pada metode standar, dilakukan preparasi yang sama, hanya contoh dan standar dilakukan secara terpisah, tidak ada penambahan larutan standar ke dalam contoh. Jumlah kandungan komponen dalam contoh dihitung sebagai berikut: x s
standar
contoh
Gram contoh Kondisi alat kromatografi gas pada saat dilakukan analisis : Merek
: shimadzu 2010 plus
Kolom
: cyanopropil methylsil (capilary column)
Dimensi kolom
: p=60m,ø dalam = 0,25 mm, 25 µm Film Tickness
Laju alir N2
: 20 mL/menit
Laju alir H2
: 30 mL/menit
Laju alir udara
: 200 – 250 mL/menit
Suhu injektor
: 200 oC
Suhu detektor
: 240 oC
Temperatur
: terprogram
33
Suhu oven
: awal 125 oC diam 5 menit akhir 225 oC diam 7 menit rata-rata 3 oC/menit
Ratio
: 1 : 80
Volume injeksi
: 1 µL
Linier velocity
: 20 cm/sec
Nama standar
: FAME Mix 37 components produksi Supelco
3.4.8
Analisis kolesterol (AOAC 994.10) Analisis kolesterol menggunakan metode kromatografi gas. Analisis ini
terdiri dari beberapa tahap yaitu penyabunan, ekstraksi, dan tahap derivatisasi. Analisis kolesterol dimulai dari tahap penyabunan yaitu dengan cara menimbang 2-3 g sampel kemudian dimasukkan ke erlenmeyer dan ditambah 40 mL etanol 95 % dan 8 mL KOH 50 %, kemudian sampel distirrer dan direfluks dengan suhu 70 °C selama kurang lebih 10 detik. Sampel selanjutnya ditambahkan 60 mL etanol 95% melalui atas kondensor dan didiamkan sampai suhu ruangan. Tahap ekstraksi yaitu dimulai dengan hasil dari penyabunan ditambah 100 mL toluene, distirrer selama 30-60 detik. Hasil saringan ditambah 110 mL KOH 1 M lalu dikocok, fase air dibuang dan ditambah 40 mL KOH 0,5M dikocok lagi, fase air dibuang dan diulangi pencucian dengan air 3 kali. Lapisan toluene disaring melalui glass wool dan dimasukkan ke erlenmeyer yang berisi 20 g Na2SO4 anhidrat kemudian dikocok dan didiamkan selama 15 menit. Ekstrak dipipet sebanyak 25 mL kemudian dilarutkan residu dalam 3 mL DMF. Tahap derivatisasi yaitu dimulai dengan memipet sebanyak 1 mL larutan standar dan sampel, masing-masing ditambahkan 0,2 mL HMDS+0,1 mL TMCS dikocok selama 30 menit, didiamkan selama 15 menit sampai tidak keruh kemudian ditambah 1 mL 5α-cholestane internal standar + 10 mL H2O dikocok selama 30 detik. Lapisan heptanes (lapisan atas) diambil kemudian diinjeksikan ke GC. Perhitungan banyaknya kolesterol dalam sampel sebagai berikut:
mg kolesterol/100 g sampel
( spl/ I spl) ( std/ I std)
std g sampel
toluene ekstrak
M
34
Kondisi kromatografi pada saat analisis kolesterol : Fase diam (kolom) : kolom 5 % phenyl-methyl silicone Gas pembawa
: hidrogen-helium
Detektor
: FID (Flame Ionizazion Detector)
Suhu injektor
: 250 °C
Suhu detektor
: 300 °C
Suhu kolom
: 190 °C, ditahan 2 menit, dinaikkan 20 °C/menit sampai 230 °C, ditahan 3 menit dinaikkan 40 °C/menit sampai 25 °C, ditahan 25 menit.
Nama standar
: Cholesterol produksi Sigma
3.4.9 Analisis fitokimia (Harborne 1987) Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar keong mata lembu. Analisis fitokimia yang dilakukan terdiri dari alkaloid, steroid/triterpenoid, saponin, flavonoid, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, biuret, ninhidrin. 1) Alkaloid Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi dragendorf, meyer, dan wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi meyer terbentuk endapan putih kekuningan, dengan pereaksi wagner membentuk endapan coklat dan dengan pereaksi dragendorf membentuk endapan merah sampai jingga. Pereaksi meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 HgCl2 dengan 0,5 g kalium iodida lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 mL dalam labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi wagner dibuat dengan cara 10 mL akuades dipipet kemudian ditambah 2,5 g iodin dan 2 g kalium iodida, selanjutnya dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 mL dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Pereaksi dragendorf dibuat dengan cara 0,8 g bismut subnitrat ditambah dengan 10 mL asam asetat dan 40 mL air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 g kalium iodida dalam 20 mL air. Sebelum digunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20 mL asam asetat glasial dan 100 mL air. Pereaksi berwarna jingga.
35
2) Steroid/triterpenoid Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung reaksi. Anhidrida asetat sebanyak 10 tetes dan asam sulfat pekat sebanyak 3 tetes ditambahkan ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif sampel mengandung steroid dan triterpenoid yaitu terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau. 3) Saponin Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan sampel mengandung saponin. 4) Flavonoid Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 mL amil alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume sama) dan 4 mL alkohol, kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif menunjukkan bahwa sampel mengandung flavonoid, yaitu terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol. 5) Fenol hidrokuinon Sebanyak 1 g sampel diekstrak dengan 20 mL etanol 70 %. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambah 2 tetes larutan FeCl3 5 %. Hasil uji positif sampel mengandung senyawa fenol, yaitu terbentukya larutan berwarna hijau atau hijau biru. 6) Molisch Sebanyak 1 mL larutan sampel ditambah 2 tetes pereaksi molisch dan 1 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Hasil uji positif menunjukkan sampel mengandung karbohidrat dan ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan cairan. 7) Benedict Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 mL pereaksi benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Hasil uji positif menunjukkan sampel mengandung gula pereduksi yaitu terbentuknya larutan berwarna hijau, kuning atau endapan merah bata.
36
8) Biuret Larutan sampel sebanyak 1 mL ditambah pereaksi biuret sebanyak 4 mL. Campuran dikocok dengan seksama. Hasil uji positif menunjukkan sampel mengandung senyawa peptida yaitu terbentuknya larutan berwarna ungu. 9) Ninhidrin Larutan sampel sebanyak 2 mL ditambah beberapa tetes larutan ninhidrin 0,1 %. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Hasil uji positif menunjukkan sampel mengandung asam amino, yaitu terbentuknya larutan berwarna biru. 3.4.10 Analisis aktivitas antioksidan (Molyneux 2004) Ekstrak keong mata lembu dari hasil ekstraksi bertingkat dan hasil pemurnian dilarutkan dalam metanol dengan konsentrasi 200, 400, 600 dan 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai pembanding dan kontrol positif, dibuat dengan cara dilarutkan dalam pelarut metanol p.a. dengan konsentrasi 2, 4, 6 dan 8 ppm. Larutan DPPH yang akan digunakan dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 1 mM. Masing-masing sampel uji dan pembanding diambil 4,50 mL dan direaksikan dengan 500 μL larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda dan telah diberi label. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800 pada panjang gelombang 516 nm. Absorbansi dari larutan blanko juga diukur untuk melakukan perhitungan persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan mereaksikan 4,50 mL pelarut metanol dengan 500 μL larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Nilai persentase aktivitas antioksidan dihitung dengan rumus: inhibisi( )
bsorbansi blanko bsorbansi sampel bsorbansi blanko
Nilai konsentrasi contoh (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor concentration 50 %) dari
37
masing-masing contoh dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan contoh (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT) yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50 %. 3.4.11 Analisis toksisitas metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) (Carballo et al. 2002) Pada uji ini digunakan larva udang Artemia salina (Golden West Supreme Plus Great Salt Lake, USA) sebagai hewan uji. Mula-mula telur A. salina diteteskan di dalam air laut di bawah lampu TL 40 watt selama 48 jam. Sebanyak 10 ekor larva A. salina dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian dimasukkan larutan ekstrak sampel dengan berbagai variasi konsentrasi dan ditambahkan air laut buatan sampai volume 5 mL. Air laut buatan tanpa pemberian ekstrak (0 ppm) digunakan sebagai kontrol. Semua tabung reaksi diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam di bawah penerangan lampu TL 40 watt. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan menghitung jumlah A. salina yang mati pada tiap konsentrasi. Penentuan harga LC50 (ppm) dilakukan menggunakan analisis probit dan persamaan regresi. 3.5 Analisis Data Data pengamatan kandungan gizi dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh dengan ulangan sebanyak 2 kali (n=2). Hasil yang disajikan merupakan nilai ratarata±standar deviasi (SD). Rancangan yang digunakan pada analisis aktivitas antioksidan hasil fraksinasi, yaitu menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan yang digunakan adalah fraksi dengan 3 kali ulangan. Model matematis rancangan percobaan tersebut. Model matematis rancangan percobaan tersebut menurut Steel dan Torrie 1995 adalah: Yij = μ + Pi + εij
38
Keterangan : Yij : Nilai pengamatan (respon) dari faktor perlakuan fraksi ke-i dan ulangan ke-j μ
: Nilai rata-rata yang sesungguhnya
Pi
: Pengaruh perlakuan fraksi ke-i
εij : Pengaruh galat pada perlakuan fraksi ke-i dan ulangan ke-j
39
40
Keong mata lembu mempunyai ciri fisik yaitu memiliki cangkang berwarna coklat dan hijau dengan pola lurik-lurik halus dan tekstur yang tebal dan keras. Sebagian besar organ penyusun tubuh keong mata lembu dilapisi mantel yang tipis. Bagian daging memiliki warna coklat dengan pola loreng dan memiliki tekstur daging yang kenyal dan lebih keras dibandingkan dengan bagian jeroaannya. Sebagian besar organ pencernaan yang melingkar-lingkar dapat dikenali dengan mudah, umumnya berwarna coklat dan organ tersebut menempati sepertiga tubuhnya. Keong mata lembu jantan dapat dibedakan dari keong mata lembu betina, yaitu keong mata lembu jantan memilik gonad berwarna putih hingga putih susu, sedangkan keong mata lembu betina gonadnya berwarna hijau sampai hijau tua. Daging keong mata lembu setelah dikeringkan memiliki warna coklat terang. Karakteristik keong mata lembu (Turbo setosus) pada saat hidup, setelah preparasi dan setelah dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 8.
Betina
Jantan
(a)
(c)
Jantan
Betina
(b)
(d)
Gambar 8 Keong mata lembu : (a) utuh, (b) setelah preparasi (daging dan jeroan) (c) daging segar (d) serbuk daging kering.
41
3) Rendemen daging keong mata lembu Hasil pengukuran rendemen daging keong mata lembu menunjukkan bahwa daging keong mata lembu segar setelah preparasi diperoleh 3.602 g (11,02 %) dari 32.679 g keong mata lembu utuh, kemudian mengalami penurunan setelah proses pengeringan menjadi 589.449 g (1,80 %) dengan kadar air sekitar 10,15 %. Penurunan rendemen pada daging keong mata lembu disebabkan adanya penguapan kandungan air selama proses pengeringan. Rendemen daging segar keong mata lembu yang dihasilkan pada penelitian ini lebih kecil (11,02 %), jika dibandingkan dengan rendemen daging segar kerang pokea sebesar 21,63 % (Yenni 2012). Hal ini disebabkan keong mata lembu memiliki cangkang lebih besar dan tebal namun daging yang dihasilkan sedikit. Penurunan rendemen pada daging keong mata lembu disebabkan adanya penguapan kandungan air selama proses pengeringan dengan menggunakan oven. 4.1.2 Karakteristik kimia Karakterisasi kimia bertujuan untuk mengetahui kandungan gizi yang terdapat pada keong mata lembu. Karakteristik kimia meliputi: 1) Kandungan proksimat Komposisi proksimat menggambarkan persentase komposisi lima unsur dasar meliputi air, protein, lemak, karbohidrat, dan abu. Penghitungan kandungan gizi dari daging keong mata lembu berdasarkan berat basah. Kandungan gizi daging keong mata lembu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kandungan proksimat daging keong mata lembu Proksimat (%) Protein Lemak Abu Karbohidrat Air
Segar 15,97±0,02 0,02±0,00 0,82±0,03 6,81±0,01 74,81±0,18
Kering 70,34±0,13 2,20±0,01 6,87±0,12 10,06±0,04 10,15±0,69
Nilai ditunjukkan sebagai rata-rata±standar deviasi dengan pengujian dua kali ulangan
Kandungan gizi dari daging keong mata lembu secara umum tidak jauh berbeda dengan kandungan gizi dari jenis moluska lainnya. Jenis gastropoda tanah memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan jenis gastropoda laut meskipun dari masing-masing jenis gastropoda ini memiliki perbedaan dalam hal
42
makanan dan lingkungan hidup. Faktor yang mempengaruhi variabilitas dalam kandungan gizi dari daging gastropoda yaitu jenis, ukuran (umur), tingkat kematangan seksual, suhu, jenis makanan, lokasi (pengambilan sampel) dan musim (Periyasamy et al. 2011). Kandungan gizi dari beberapa jenis moluska lainnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 2 menunjukkan bahwa komposisi proksimat daging keong mata lembu dapat digolongkan sebagai hasil perikanan yang berprotein tinggi (lebih dari 50 %) dan tinggi karbohidrat (lebih dari 20 %) serta lemak rendah (dibawah 5 %) sehingga baik untuk dikonsumsi khususnya bagi penderita penyakit hati (Ademolu et al. 2004; Milinsk et al. 2006 dan Primadhani 2006). Kandungan gizi keong mata lembu setara dengan beberapa jenis moluska maupun echinodermata yang telah dikonsumsi dan secara empiris dipercaya sebagai aprodisiaka serta mampu mengobati berbagai penyakit (Witjaksono 2005 dan Nurjanah et al. 2005). Tabel 3 Kandungan gizi dari beberapa jenis moluska lain bernilai ekonomis penting Spesies
Air
Protein
Lemak
Abu
Karbohidrat
Turbo setosus
74,81
15,97
0,02
0,82
6,81
Littorina littorea
79,9
8,3
2,2
1,4
8,2*
Zlatanos et al. (2009)
Patella coerulea
78,0
9,2
2,4
2,6
7,8*
Zlatanos et al. (2009)
Bursa spinosa
55,54
24,18
3,91
1,0
6,25
Babu et al. (2010)
Pleuroploca trapezium
80,0
10,0
2,0
3,0
5,0
Anand et al. (2010)
Discodoris sp
83
12,31
0,44
1,87
2,38
Hafiluddin et al. (2011)
82,76
10,73
0,34
0,65
5,52
B.Violacea celebensis *: by difference
Literatur Penelitian ini
Yenni (2012)
Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung di dalam bahan pangan dan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut. Hasil analisis proksimat kadar air daging segar keong mata lembu adalah 74,81 %, setelah mengalami proses pengeringan dengan oven suhu 50-60 °C mempunyai kadar air sebesar 10,15 %. Kadar air daging segar keong mata lembu tidak jauh berbeda dengan kadar air yang ditemukan pada Cymbium melo, sebagaimana
43
dilaporkan oleh Palpandi (2010) yaitu memiliki kadar air 76,55-83,48 %. Kadar air tertinggi pada hewan tersebut terdapat pada jaringan tubuh (83,48 %), diikuti bagian mantel (80,53 %) dan bagian kaki (76,55 %). Kadar air pada keong mata lembu kering pada penelitian ini adalah 10,15 %. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Ehigiator et al. (2012) pada Tympanotonus fuscatus sebesar 10,37 %. Hasil yang berbeda dilaporkan oleh Hafiluddin et al. (2011) pada Discodoris sp. sebesar 11,17 % dan Bello (2013) pada Penaeus notialis sebesar 16,09 %. Menurut Bassey et al (2011) pengetahuan tentang kadar air bahan makanan berfungsi sebagai indeks yang berguna untuk menjaga kualitas, kerentanan terhadap infeksi, jamur, dan kadar air yang rendah dapat memperpanjang masa simpan dari spesies ini. Kadar air tersebut berada di bawah nilai kadar air maksimum untuk ekstraksi. Menurut Setyowati (2009) kadar air maksimum harus 11 %. Kadar protein dari daging segar keong mata lembu sebesar 15,97 %. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein pada Bursa spinosa yaitu sebesar 24,18 % (Babu et al. 2010). Hasil pengukuran kadar protein daging kering keong mata lembu sebesar 70,34 %. Ehigiator et al. (2012) melaporkan nilai protein dari Tympanotonus fuscatus sebesar 68,46 %. Periyasamy et al. (2011) menunjukkan bahwa nilai protein dari daging kering Babylonia spirata yaitu 53,86 %. Devanathan dan Srinivashan (2011) melaporkan nilai protein dari Babylonia spirata berkisar 48-68 %. Hasil penelitian Palpandi (2010) menjelaskan kandungan protein maksimum Cymbium melo yang ditemukan pada bagian mantel (30,19 %) dan minimum pada jaringan tubuh lainnya (20,87 %). Hasil analisis kadar lemak dari daging keong mata lembu segar adalah 0,02 %. Babu et al. (2010) melaporkan kadar lemak dari Bursa spinosa sebesar 3,91 %. Nurjanah et al. (2008) melaporkan kadar lemak dari Solen spp sebesar 0,32 % dan Zlatanos et al. (2006) melaporkan kadar lemak dari Loligo vulgaris sebesar 0,9 %. (Babu et al. 2010). Hasil tersebut lebih rendah dibandingkan dengan kadar lemak pada spesies moluska lainnya. Perbedaan kadar lemak dapat dipengaruhi oleh jenis spesies, tingkat kematangan gonad dan umur suatu spesies. Hal ini sesuai dengan
44
pernyataan Majewska et al. (2009) bahwa suatu spesies yang sudah matang gonadnya akan mengalami peningkatan kadar lemak. Hasil pengukuran kadar lemak daging kering keong mata lembu adalah sebesar 2,20 %. Bassey et al. (2011) melaporkan nilai kadar lemak pada Pomecia polludosa dan Ergeria radiata memiliki rata-rata 6,03-7,60 %. Kandungan lemak keong mata lembu pada penelitian ini termasuk rendah dan dapat dikategorikan dalam tipe rendah lemak dan diindikasikan bahwa spesies ini tidak akan mudah menjadi tengik (Abulude et al. 2006). Karbohidrat dikenal sebagai sumber energi penting untuk aktivitas dan merupakan komponen penting isomer dari sejumlah struktur material pada keong yaitu sebagai jaringan penghubung. Selain itu, karbohidrat juga berfungsi sebagai unsur penting dari molekul makro DNA/material genetik, molekul makro yang berperan dalam sintesis protein, D-galactose sebagai cadangan utama karbohidrat yang terdapat pada hati dan otot, dan glikogen digunakan dalam pemeliharaan metabolisme selama tahap gametogenesis dan bertelur (Ansari et al. 1981; Martin et al. 1991 ). Wang et al. (2011) melaporkan bahwa lektin pada moluska memiliki keunikan sebagai agen sistem kekebalan tubuh bagi moluska terhadap berbagai patogen. Sebelumnya Wang et al. (2007) melaporkan bahwa lektin rekombinan yaitu rCflec-1 dari kerang Chlamys farreri dapat menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan Micrococcus luteus. Ito et al. (2011) melaporkan bahwa lektin dari Achatina fulica dapat menggumpalkan sel darah merah dan eritrosit dari domba dan kelinci. Hasil analisis kadar karbohidrat dari daging keong mata lembu segar sebesar 6,81 % dan kadar karbohidrat daging keong mata lembu kering sebesar 14,84 %. Babu et al. (2010) melaporkan bahwa kandungan karbohidrat dari Bursa spinosa segar berkisar 3,4-7,7 %. Periyasamy et al. (2011) juga melaporkan bahwa kandungan karbohidrat dari daging Babylonia spirata kering adalah 16,65 % dan Anand et al. (2010) menunjukkan bahwa kandungan karbohidrat dari daging Pleuroploca trapezium kering sebesar 4,307 %. Pigott dan Tucker (1990) mengatakan bahwa beberapa hewan moluska mengandung karbohidrat antara 3-5 %. Kadar karbohidrat keong mata lembu yang
45
tinggi diduga berhubungan dengan ketersediaan makanan bagi keong mata lembu. Karbohidrat ini berasal dari fitoplankton dan mikroalga sebagai sumber bahan makanannya. Kondisi tempat hidup keong mata lembu terutama substrat yang kemungkinan bebas dari pencemaran menyebabkan ketersediaan makanan bagi keong menjadi tinggi. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai kadar abu dari daging keong mata lembu segar sebesar 0,82 % hampir sama dengan nilai kadar air Bursa spinosa yaitu 0,86 % dan lebih kecil dari kadar abu tambelo yaitu sebesar 2,07 % (Babu et al. 2010, Leiwakabessy 2011). Kadar abu daging keong mata lembu kering sebesar 6,87 % lebih kecil dibandingkan dengan kadar abu dari Tympanotonus spp sebesar 10,50 % (Adebayo-Tayo dan Ogunjabi 2008), kablang (Nerita albicilla) 9,17 % dan kerang mas ngur 7,88 % (Royani dan Waranmaselembun 2007). Menurut Charles (2005) pada umumnya hewan memperoleh asupan mineral dari tumbuhan dan kemudian menumpuknya didalam jaringan tubuhnya. Setiap organisme memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengabsorbsi dan mengeluarkan mineral sehingga hal ini dapat memberikan pengaruh terhadap nilai kadar abu dalam masing-masing bahan. 2) Vitamin Nilai vitamin pada keong mata lembu disajikan pada Tabel 4. Kromatogram vitamin A, B12, D dan E keong mata lembu segar dan kering disajikan pada Lampiran 2. Kandungan vitamin A pada daging keong mata lembu segar adalah 90,07 mcg/100 g dan kandungan vitamin A pada daging keong mata lembu kering adalah 70,27 mcg/100 g. Kandungan vitamin A yang menurun pada daging keong mata lembu disebabkan oleh proses pengeringan atau pemanasan menggunakan suhu yang cukup tinggi. Almatsier (2003) mengatakan bahwa proses pengeringan dengan menggunakan matahari dan cara dehidrasi lain menyebabkan kehilangan sebagian dari vitamin A. Vitamin A banyak terkandung dalam hasil perairan yaitu diantaranya terdapat pada ikan sardin kaleng (250 mcg/100 g), minyak ikan (24000 mcg/100 g) dan minyak hati ikan hiu (2100 mcg/100 g). Kandungan vitamin E pada daging keong mata lembu segar adalah 2,37 mg/100 g dan kandungan vitamin E pada daging keong mata lembu kering adalah 9,72 mg/100 g. Kandungan vitamin E yang meningkat pada daging keong
46
mata lembu diduga karena sifat dari vitamin E yang tahan panas dan tidak larut dalam air sehingga tidak hilang karena proses pengeringan. Menurut Andrawulan dan Koswara (1989) pada proses pemasakan yang normal dilaporkan tidak kehilangan vitamin E. Tabel 4 Kandungan vitamin A, B12, D dan E pada daging keong mata lembu Vitamin Vitamin A (mcg/100g) Vitamin B12 (mcg/100g) Vitamin D (mcg/100g) Vitamin E (mg/100g)
Segar 90,07 2,72 ~ 2,37
Kering 70,27 0,48 ~ 9,72
~ : tidak terdeteksi
Kandungan vitamin B12 daging keong mata lembu segar adalah 0,48 mcg/100 g dan kandungan vitamin B12 daging keong mata lembu kering adalah 2,72 mcg/100 g. Kandungan vitamin B12 daging keong mata lembu kering lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian dari Anand (2010) pada daging Pleuroploca trapezium yaitu 0,2509 mcg/100g. Vitamin B12 banyak terkandung pada hasil perairan diantaranya terkandung pada ikan sardin (14,4 mcg/100g), ikan tuna (3 mcg/100g), ikan kembung (2,4 mcg/100g) dan ikan bandeng (3,4 mcg/100g). 3) Mineral dan logam berat Analisis mineral dilakukan bertujuan untuk mengetahui kandungan beberapa mineral baik mineral makro dan mikro. Mineral ini diuji karena peranannya sebagai antioksidan dalam sistem pertahanan tubuh terhadap reaksi oksidasi radikal bebas. Mineral ini tergabung dalam enzim antioksidan yang berperan melindungi membran sel dan komponen-komponen dalam sitosol (Nurjanah et al. 2005). Sebagai salah satu mineral imunitas yang berfungsi untuk maturasi, diferensiasi, proliferasi dan aktivasi sel T (Rink dan Kirchner 2000). Hasil analisis mineral pada keong mata lembu (Turbo setosus) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 memperlihatkan kandungan mineral makro pada daging keong mata lembu segar dan kering yang didominasi oleh kalium (K) sebesar 724,65 ppm dan 8225,29 ppm. Hasil serupa dilaporkan oleh Anand et al. (2010) bahwa kandungan mineral pada Pleuroploca trapezium didominasi oleh kalium sebesar 78,5 ppm
47
(berat kering). Hasil berbeda dilaporkan oleh Zarai et al. (2010) bahwa kandungan mineral pada Hexaplex trunculus didominasi oleh kalsium 674,40 ppm. Menurut Ando et al. (2010) kandungan kalium yang seimbang dalam darah dapat mencegah tekanan darah tinggi. Unsur kalium (K) bersama natrium memegang peranan dalam pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam basa. Bersama kalsium, kalium berperan dalam transmisi saraf dan relaksasi otot. Fungsi kalium di dalam sel sebagai katalisator dalam banyak reaksi biologik, terutama dalam metabolisme energi dan sintesis glikogen dan protein. Unsur magnesium (Mg) merupakan unsur mineral terbanyak kedua yang terkandung pada daging keong mata lembu. Kandungan magnesium pada daging keong mata lembu segar dan kering sebesar 448,24 ppm dan 4056,71 ppm. Kandungan magnesium pada keong mata lembu lebih tinggi bila dibandingkan pada daging Pleuroploca trapezium sebesar 3,11 mg/100g (Anand et al. 2010). Magnesium adalah kation nomor dua paling banyak setelah natrium di dalam cairan intraselular. Magnesium memegang peranan penting dalam lebih dari tiga ratus jenis sistem enzim di dalam tubuh. Magnesium mencegah kerusakan gigi dengan cara menahan kalsium di dalam email gigi. Kandungan kalsium daging keong mata lembu segar dan kering adalah 905,02 ppm dan 4056,71 ppm. Unsur kalsium (Ca) merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu 1,5-2 % dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg. Kalsium memiliki peranan penting dalam tubuh yaitu untuk pembentukan tulang dan gigi khususnya pada saat masa pertumbuhan dan ibu hamil. Kandungan mineral mikro terbesar pada daging keong mata lembu segar dan kering yaitu besi (Fe) sebesar 14,66 ppm dan 98,68 ppm. Hasil serupa dilaporkan oleh Anand et al. (2010) bahwa kandungan mineral mikro pada Pleuroploca trapezium didominasi oleh besi sebesar 0,025 ppm. Hasil berbeda dilaporkan oleh Zarai et al. (2010) bahwa kandungan mineral mikro pada Hexaplex trunculus didominasi oleh seng sebesar 112,80 ppm.
48
Tabel 5 Hasil analisis kandungan mineral dan logam berat (ppm) daging keong mata lembu segar dan kering Parameter
Segar
Kering
Hexaplex trunculus*
Pleuroploca trapezium**
Mineral makro Kalium (K)
724,65±16,91
8225,29 ±241,73
224,80
78,5
Kalsium (Ca)
227,98±2,81
4056,71 ±240,40
674,40
8.09
Magnesium (Mg)
448,24±16,22
1987,29 ±65,47
178,70
3,11
Mineral mikro Besi (Fe)
14,66±0,37
98,68 ±4,41
81,00
0,025
Seng (Zn)
9,96±0,01
48,17 ±4,82
112,80
0,008
Tembaga (Cu)
0,54±0,04
4,43 ±0,14
31,00
~
Selenium (Se)
<0,002±0,00
<0,002±0,00
~
~
<0,0002±0,00
<0,0002±0,00
<0,01±0,00
<0,01±0,00
<0,001±0,00
<0,001±0,00
Logam berat Mercuri (Hg) Timbal (Pb) Kadmium (Cd)
Nilai ditunjukkan sebagai rata-rata±standar deviasi dengan pengujian dua kali ulangan. * : Zarai et al. (2010) (berat basah) ** : Anand et al. (2010) (berat kering) ~ : tidak tersedia
Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh hewan. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Besi berperan dalam proses respirasi sel, yaitu sebagai kofaktor bagi enzim-enzim yang terlibat di dalam reaksi oksidasi-reduksi (Ademolu et al. 2004; Fagbuaro et al. 2006). Kandungan seng (Zn) pada daging keong mata lembu segar dan kering adalah 9,96 ppm dan 48,17 ppm. Seng memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh. Seng berperan dalam sistem kerja enzim dan hormon. Seng juga berperan dalam pengembangan fungsi reproduksi laki-laki dan pembentukan sperma. Seng berperan pula dalam detoksifikasi alkohol dan metabolisme vitamin A. Ini berarti seng terkait dengan berbagai fungsi vitamin A. Seng juga berperan dalam fungsi kekebalan, yaitu dalam fungsi sel T dan dalam pembentukan
49
antibodi oleh sel B. Kebutuhan harian yang direkomendasikan untuk mengkonsumsi seng untuk orang dewasa menurut NRC, USA adalah 15 mg (Almatsier 2003; Anand et al. 2010). Seng (Zn) sangat bermanfaat dalam mempercepat proses penyembuhan maag dan mengatasi masalah ketidaksuburan pada pria dan impotensi. Seng juga baik untuk mengatasi masalah alzheimer (Suzuki 2004). Mengingat seng berperan dalam reaksi-reaksi yang luas, maka kekurangan seng akan berpengaruh banyak terhadap jaringan tubuh terutama pada saat pertumbuhan. Kandungan tembaga (Cu) pada daging keong mata lembu segar dan kering adalah 0,54 ppm dan 4,43 ppm. Dalam melakukan fungsinya dalam tubuh, tembaga banyak berinteraksi dengan seng, molibden, belerang dan vitamin C. Fungsi utama tembaga adalah sebagai bagian dari enzim dimana tembaga berkaitan dengan reaksi yang menggunakan oksigen dan radikal oksigen. Enzim memegang peranan dalam mencegah anemia. Kekurangan tembaga dikaitkan dengan albinisme, yaitu kekurangan warna kulit dan rambut (Arifin 2008). Selenium adalah mineral mikro yang merupakan bagian esensial dari enzim glutation peroksidase. Selenium bekerja sama dengan vitamin E dalam perannya sebagai antioksidan. Selenium juga merupakan bagian dari kompleks asam amino RNA (Almatsier 2003; Muchtadi 2009). Hasil penelitian pada hewan percobaan menunjukkan kekurangan selenium menimbulkan gejala pertumbuhan lambat; dystrophy otot dan necrosis jantung, ginjal dan hati. Bagi daerah/negara yang tingkat kandungan selenium dalam tanahnya rendah seperti Australia, maka mengkonsumsi ikan menjadi faktor yang amat penting untuk mencegah kekurangan selenium (Warta Pasar Ikan 2007). Kandungan Selenium pada daging keong mata lembu kecil dari 0,002 ppm. Hasil ini jauh berbeda dengan hasil penelitian Kagawa (1999) yang menyatakan bahwa kandungan mineral selenium dalam produk perikanan untuk kerangkerangan sebesar 0,016 mg/100 g. Hal ini mengindikasikan bahwa keong mata lembu
bukan
merupakan
sumber
pangan
yang
kaya
akan
selenium.
Gokce et al. (2004) menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi keragaman komposisi mineral meliputi umur, jenis, ukuran, habitat, letak geografis dan kondisi lingkungan.
50
Hasil analisis kandungan logam berat pada keong mata lembu adalah Pb <0,01 ppm, Cd <0,001 ppm dan Hg <0,0002 ppm. Hasil analisis kandungan logam berat pada daging keong mata lembu ini menunjukkan bahwa keong mata lembu aman untuk dikonsumsi. Kandungan logam berat yang sangat kecil disebabkan oleh habitat dari keong mata lembu ini sendiri yang berada jauh dari pusat industri dan kegiatan manusia yang menyebabkan pencemaran pada air laut. Kandungan logam berat pada daging keong mata lembu masih diambang batas aman menurut FAO (1992) untuk kandungan logam berat moluska yaitu Pb 0,56,0 ppm, Cd 0,05-5,5 ppm dan Hg 0,5 ppm, sedangkan menurut WHO (1989) yaitu Pb 2,0 ppm, Cd 1,0 ppm dan Hg 0,5 ppm. Menurut SNI 7387:2009 kandungan logam cemaran dalam ikan dan produk perikanan termasuk jenis moluska yaitu kadmium 1,0 mg/kg, merkuri 1,0 mg/kg, timbal 1,5 mg/kg, dan arsen 1,0 mg/kg. 4) Asam amino dan taurin Hasil analisis asam amino daging keong mata lembu dengan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC) disajikan pada Tabel 6. Kromatogram standar asam amino keong mata lembu disajikan pada Lampiran 3, sedangkan kromatogram asam amino keong mata lembu segar dan kering disajikan pada Lampiran 4 dan 5. Keong mata lembu memiliki 16 jenis asam amino. Kadar tertinggi asam amino daging keong mata lembu adalah asam glutamat, yaitu untuk daging segar 2,94 % dan daging kering 8,50 % sedangkan kadar terendah asam amino daging keong mata lembu adalah histidin, yaitu untuk daging segar 0,27 % dan daging kering 1,07 %. Hasil analisis asam amino daging keong mata lembu pada Tabel 6 menunjukkan bahwa kandungan asam amino esensial didominasi oleh arginin, lisin dan leusin yaitu 1,57 %, 1,19 % dan 1,15 %. Miletic et al. (1991) melaporkan bahwa asam amino esensial pada Perna conalicus didominasi oleh arginin (1,0 %), lisin (1,0 %), dan leusin (0,8 %) dengan jumlah asam amino esensial sebesar 5,2 %. Jika dibandingkan dengan asam amino ikan tuna dan abalone yang merupakan salah satu komoditi perikanan yang bernilai ekonomis penting, jenis asam amino yang dihasilkan keong mata lembu tidak jauh berbeda.
51
Keterkaitan dengan penggunaan keong mata lembu sebagai bahan pangan maka ditinjau dari komposisi asam amino yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa umumnya asam-asam amino ini mempunyai kegunaan besar bagi kesehatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung diantaranya adalah arginine, isoleusin, leusin, lisin, treonin, phenilalanin, asam aspartat, asam glutamat, alanine, glisin, dan serin. Tabel 6 Kandungan asam amino dan taurin (% b/b) daging keong mata lembu segar dan kering Parameter
Segar
Kering
Perna canalicus*
Ikan Tuna**
Abalone**
Asam amino esensial 2,77±0,19 2,23±0,01
0,5
0,08
0,82
Valina
0,73±0,02 0,69±0,06
0,5
0,09
0,37
Metionina
0,48±0,01
1,55±0,02
0,3
0,05
0,13
0,06
0,18
Treonina
Isoleusina
0,68±0,10
2,18±0,01
0,5
Leusina
1,15±0,08
3,90±0,01
0,8
0,10
0,24
Fenilalanina
0,61±0,02
2,00±0,32
0,4
0,04
0,26
Lisina
1,19±0,53
2,55±0,21
1,0
0,33
0,76
13,4
0,23
Histidina
0,27±0,04
1,07±0,16
0,2
Arginina
1,57±0,06
5,46±0,54
1,0
~
2,99
23,71
5,2
14,15
5,98
Σ
7,35
asam amino nonesensial Asam aspartat
1,77±0,09
5,21±0,21
1,3
0,01
0,09
Asam glutamat
2,94±0,18
8,50±0,00
1,7
0,09
1,09
Serina
0,77±0,05
2,39±0,15
0,7
0,05
0,95
Glisina
0,89±0,43
4,10±0,26
1,1
0,09
1,74
0,23
0,98
Alanina
1,10±0,01
3,51±0,07
0,6
Tirosina
0,55±0,05 8
1,69±0,28 25,39
0,4
0,04
0,57
5,8
5,42
0,51
114,36±0,00
8,47±0,00
Σ Taurina Triptofan
0,13±0,11 1,33±0,04 11,0 19,57 129,84 58,90 Total Asam amino Nilai ditunjukkan sebagai rata-rata±standar deviasi dengan dua kali pengujian ulangan Nilai asam amino dinyatakan % dalam 100 gr sampel *: Miletic et al. (1991) (berat basah) **: Okozumi & Fujii (2000) (berat basah)
6,49
Arginin penting untuk kesehatan reproduksi pria karena 80 % cairan semen terdiri dari arginin. Arginin berperan dalam membantu detoksifikasi hati pada sirosis hati dan fatty liver, meningkatkan sistem imun, menghambat pertumbuhan
52
sel tumor dan kanker serta membantu pelepasan hormon pertumbuhan (Supamas 2011). Lisin digunakan di dalam tubuh untuk penyerapan kalsium serta pembentukan tulang dan pertumbuhan otot misalnya mobilisasi lemak untuk digunakan sebagai energi. Lisin juga bermanfaat dalam menjaga keseimbangan nitrogen serta membantu menjaga badan pada saat stress berat dan kondisi yang melelahkan. Lisin juga diperlukan dalam membentuk antibodi, hormon (GH, testosteron, hormon insulin), enzim, kolagen dan untuk memperbaiki jaringan yang rusak dan juga membantu dalam membangun protein otot yang baru, dan manfaatnya untuk kardiovaskular meliputi pemeliharaan kesehatan pembuluh darah. Kekurangan lisin akan menyebabkan kekacauan enzim, kehilangan energi, kerontokan rambut, berat badan menurun, tidak berselera dan hilang kosentrasi (Cat 2006). Leusin bermanfaat dalam pengaturan gula darah, pertumbuhan dan perbaikan jaringan kulit, tulang dan otot, membantu dalam penyembuhan luka, mengatur energi serta membantu penguraian di dalam otot (Cat 2006). Asam amino non esensial pada daging keong mata lembu didominasi oleh asam glutamat yaitu 2,94 % (Tabel 6). Asam glutamat adalah asam amino non esensial yang dapat disintesis dari gugus amida pada molekul glutamin yang diubah menjadi karboksilat melalui proses hidrolisis asam atau basa. Asam glutamat bermanfaat untuk menahan konsumsi alkohol berlebih, mempercepat penyembuhan luka pada usus, meningkatkan kesehatan mental dan meredam depresi (Linder 1992). Asam glutamat bertindak sebagai prekursor pengantar saraf gamma aminoasam butirat. Glutamat yang berasal dari makanan diperlukan bersama dengan sistin dan glisin untuk produksi glutathion, suatu molekul antioksidan yang memainkan peranan penting dalam mekanisme daya tahan tubuh serta perbaikan kerusakan sel dan jaringan tubuh. Asam glutamat bersama dengan glutamin dan asparagin merupakan simpanan asam amino di dalam tubuh. Kandungan taurin daging keong mata lembu segar dan kering adalah sebesar 114,36 mg/100 g dan 8,47 mg/100 g. Hasil analisis taurin pada daging keong mata lembu segar dan kering disajikan pada Gambar 9. Kromatogram standar taurin keong mata lembu disajikan pada Lampiran 6, sedangkan
53
kromatogram taurin keong mata lembu kering dan segar disajikan pada Lampiran 7 dan 8. Kandungan taurin pada daging keong mata lembu segar lebih rendah dibandingkan dengan cumi-cumi (364 mg/100g), udang (63 mg/100g), mackerel (168 mg/100g), remis (421 mg/100g), dan kijing lokal (87 mg/100g) (Okuzumi dan Fujii 2000). Hasil penelitian Dall et al. (1991) menunjukkan bahwa tiga jenis gastropoda yaitu Zafra sp., Rissoidae dan Pseudoliotia sp. memiliki kandungan taurin masing-masing adalah 4,9 mg/100g, 2,1 mg/100g dan 3,2 mg/100 g, hal ini menunjukkan bahwa keong mata lembu cenderung memiliki kandungan taurin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gastropoda lainnya. 5) Asam Lemak Hasil analisis asam lemak menunjukkan bahwa berdasarkan analisis kualitatif kandungan asam lemak pada daging keong mata lembu segar dan kering berbeda (Tabel 7). Daging keong mata lembu segar mengandung 21 jenis asam lemak yang terdiri dari 11 jenis asam lemak jenuh (SFA), 6 jenis asam lemak tidak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acid (MUFA) dan 4 jenis asam lemak tidak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acid (PUFA). Daging keong mata lembu kering mengandung 26 jenis asam lemak yang terdiri dari 11 jenis asam lemak jenuh, 6 jenis asam lemak tidak jenuh tunggal dan 9 jenis asam lemak tidak jenuh ganda. Kromatogram standar asam lemak disajikan pada Lampiran 9, sedangkan kromatogram asam lemak keong mata lembu segar dan kering disajikan pada Lampiran 10 dan 11. Total kandungan asam lemak yang paling besar pada daging keong mata lembu segar dan kering adalah asam lemak dari jenis SFA yaitu asam palmitat (C16:0) masing-masing sebesar 5,13 % dan 6,63 %. Kandungan asam palmitat keong mata lembu tidak jauh berbeda dengan kandungan asam palmitat Hexaplex trunculus sebesar 6,21 % (Zarai et al. 2011), yang dikonsumsi dan sebagai salah satu produk perikanan yang bernilai ekonomis tinggi di negara Tunisia. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Zlatanos et al. (2009) dan Babu et al. (2010) yang mengemukakan bahwa profil asam lemak pada moluska lainnya biasanya didominasi oleh SFA, contoh yang ditemukan pada Littorina littorea dan Bursa
54
spinosa yaitu kandungan maksimum asam lemak SFA sebesar 47,8 % dan 38,73 %. Tabel 7 Komposisi asam lemak daging keong mata lembu segar dan kering (% b/b) dalam lemak Jenis asam lemak
Segar
Patella coerulea*
Kering
Hexaplex trunculus**
SFA Laurat, C12:0
0,04±0,01
~
0,11±0,02
~
Miristat, C14:0
0,34±0,04
0,40±0,01
9,40±0,50
1,23±0,10 0,37±0,00
Pentadekanoat, C15:0
0,44±0,01
0,45±0,02
2,30±0,30
Palmitat, C16:0
5,76±0,88
6,63±0,52
28,70±1,90
6,21±0,50
Heptadekanoat, C17:0
0,64±0,14
0,66±0,11
~
0,73±0,03
Stearat, C18:0
2,36±0,52
2,20±0,52
9,10±0,40
6,01±0,40 3,39±0,09
Arakidat, C20:0
0,18±0,04
0,09±0,02
0,37±0,04
Heneikosanoat, C21:0
0,03±0,00
0,02±0,00
~
~
Behenat, C22:0
0,32±0,09
~
~
1,65±0,05
Trikosanoat, C23:0
0,05±0,01
0,03±0,00
~
0,00±0,00
0,13±0,06
0,04±0,04
~
5,79±00
10,30
10,52
0,16±0,19
0,48±0,32
0,03±0,00
0,00±0,00 1,35±0,30
Lignoserat, C24:0 Total SFA MUFA Miristoleat, C14:1 Palmitoleat, C16:1
0,24±0,18
0,14±0,00
0,30±0,03
Cis-10-Heptadekanoat, C17:1
0,07±0,01
0,06±0,00
0,38±0,04
0,37±0,01
Oleat, C18:1n9c
2,09±0,22
2,13±0,03
7,10±0,30
3,08±0,42
Cis-11-Eikosenoat, C20:1
0,11±0,01
0,10±0,02
1,60±0,10
3,29±0,10
0,04±0,01
0,04±0,02
~
1,65±0,43
2,72
2,94
Linoleat, C18:2n6c
0,64±0,12
1,55±0,20
0,91±0,10
0,83±0,01
Linolenat, C18:3n3
0,16±0,09
0,37±0,06
~
3,07±0,50 ~
Erukat, C22:1n9 Total MUFA PUFA
g-linolenat, C18:3n6
~
0,04±0,00
~
Cis-8,11,14-Eikosetrienoat, C20:3n6
~
0,17±0,04
0,15±0,03
1,71±0,20
Cis-13,16-Dokosadienoat, C22:2
~
0,02±0,00
~
4,08±0,53
3,70±2,22
5,76±0,40
0,18±0,02
11,59±0,30
2,97±0,33
1,54±0,62
1,20±0,10
7,76±0,11
~
0,15±0,07
~
8,84±0,16
Total PUFA
7,47
9,61
PUFA/SFA
0,73
0,91
Σn3
3,14
2,06
4,34 1,38
7,53 3,65
Arakidonat, C20:4n6 Eikosapentaenoat, C20:5n3 (EPA) Dokosaheksaenoat, C22:6n3 (DHA)
Σn6 n6/n3 ~ : tidak terdeteksi * : Zlatanos et al. (2009) (berat basah)
**: Zarai et al. (2010) (berat basah)
55
Palpandi et al. (2010) melaporkan bahwa jenis asam lemak SFA yaitu asam palmitat (C16:0) dan asam stearat (C18:0) merupakan asam lemak utama yang ditemukan pada Cymbium melo yang berkisar 6-15 % pada masing-masing bagian tubuh. Lipid hewani terutama mengandung asam lemak jenuh rantai panjang, yaitu asam palmitat (C16:0) dan asam stearat (C18:0). Asam lemak tidak jenuh jenis MUFA pada daging keong mata lembu segar dan kering didominasi oleh asam oleat yaitu masing-masing sebesar 2,09 % dan 2,13 %. Kandungan asam oleat pada keong mata lembu mendekati kandungan asam oleat pada Octopus vulgaris (2,63 %) dan Loligo vulgaris (2,72 %) (Zlatanos 2006). Asam oleat (MUFA) memiliki sifat lebih stabil dan lebih baik perannya dibandingkan PUFA. Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) memiliki kelemahan, yaitu dapat menurunkan High Density Lipoprotein (HDL) dan Low Density Lipoprotein (LDL), sedangkan MUFA mampu menurunkan LDL dan meningkatkan HDL. Asam lemak ini juga memiliki potensi untuk menghadang produksi senyawa eikosanoid yaitu stimulan pertumbuhan tumor (Pranoto 2006). Asam lemak esensial merupakan komponen penting dari lipid struktural dan berkontribusi dengan ketentuan sifat membran seperti fluiditas, fleksibilitas, permeabilitas dan modulasi dari membran terikat protein (Palpandi 2010). Fungsi utama asam lemak esensial adalah produksi prostaglandin, prostasiklin, tromboksan, dan leukotrien. Senyawa-senyawa ini mengatur regulasi metabolisme tubuh, yaitu kecepatan jantung, mengatur tekanan darah, pembekuan darah, fungsi kekebalan dan rangsangan sistem saraf, kontraksi otot, kesuburan, dan pembuahan. Asam lemak tidak jenuh ganda jenis PUFA pada daging keong mata lembu segar dan kering didominasi oleh asam arakhidonat yaitu sebesar 3,70 % dan 5,76 %. Asam lemak tidak jenuh ganda adalah sumber energi dan juga berfungsi dalam tubuh sebagai komponen membran, modulator dari ekspresi gen dan prekursor untuk eicosanoids (agen penyembuhan diri). Asam arakidonat adalah prekursor utama eicosanoids pada mamalia dan ikan, efektif dalam meningkatkan kualitas telur dan kelangsungan hidup pada tahapan awal hidup ikan (Tocher 2003).
56
Asam lemak omega-3 yang mempunyai arti khusus adalah asam α-linolenat serta turunannya EPA dan DHA. Kandungan EPA pada daging keong mata lembu segar sebesar 2,97 % sedangkan DHA untuk daging keong mata lembu segar tidak terdeteksi karena kandungannya yang sangat kecil. Hal serupa juga dilaporkan oleh Zlatanos et al. (2009) yaitu kandungan DHA juga tidak ditemukan pada limpet (Patella coerulea), sedangkan untuk EPA pada periwinkle dan limpet kandungannya lebih rendah sebesar 1,5 % dan 1,2 %. Daging keong mata lembu kering mengandung EPA dan DHA sebesar 1,54 % dan 0,15 %. Kandungan asam lemak pada keong mata lembu yang tidak terlalu tinggi disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu rendahnya kandungan lemak pada keong mata lembu. Bonnet et al. (1974) menyatakan bahwa kandungan lipid yang terdapat pada moluska adalah disebabkan lipid bukan merupakan cadangan energi utama pada hewan tersebut. Asam lemak EPA dan DHA berfungsi sebagai pembangun sebagian besar korteks cerebral otak dan pertumbuhan organ lainnya (Rahman et al. 1994). Penelitian epidemiologi terbaru menunjukkan bahwa asam lemak omega-3 dapat mencegah penyakit kardiovaskular, mengubah tingkat lipid plasma yang baik termasuk menurunkan trigliserida, menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi ringan, serta menghambat aterosklerosis (pengerasan arteri) dalam uji coba berbagai hewan. Kekurangan asam lemak omega-3 menimbulkan gangguan saraf dan penglihatan, menghambat pertumbuhan pada bayi dan anak-anak, kegagalan reproduksi serta gangguan pada kulit, ginjal dan hati (Wierzbecki et al. 2006 dan Almatsier 2003). Asam lemak omega-3 mengimbangi fungsi asam arakhidonat yang dapat menyebabkan peradangan dan berakhir dengan trombosis dan artritis bila produksi metabolit-metabolitnya menumpuk. 6) Kolesterol Kandungan kolesterol daging keong mata lembu segar dan kering adalah sebesar 96,22 mg/100 g dan 60,3 mg/100 g. Kandungan kolesterol pada daging keong mata lembu lebih tinggi bila dibandingkan dengan biota perairan lainnya seperti ikan tuna (50 mg/100 g), udang (132 mg/100 g), kepiting (53 mg/100 g), scallop (50 mg/100 g), dan kekerangan (125 mg/100 g) (Okuzumi dan Fujii 2000).
57
Analisis kolesterol pada keong mata lembu menggunakan alat kromatografi gas. Kromatogram standar kolesterol keong mata lembu disajikan pada Lampiran 12, sedangkan kromatogram kolesterol keong mata lembu kering dan segar disajikan pada Lampiran 13 dan 14. Kolesterol mempunyai peranan untuk mengatur fungsi tubuh sebagai komponen fungsional dari lipoprotein dan biomembran. Kolesterol juga penting sebagai bahan dasar untuk biosintesis asam empedu, biosintesis hormon andrenocortical, hormon laki-laki dan perempuan serta hormon steroid yang lain (Okuzumi dan Fujii 2000). 4.2 Hasil Ekstraksi Senyawa Aktif Keong Mata Lembu Ekstraksi senyawa aktif keong mata lembu bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai rendemen, kandungan fitokimia, aktivitas antioksidan, dan toksisitas ekstrak kasar keong mata lembu. 4.2.1 Rendemen ekstrak keong mata lembu Ekstraksi keong mata lembu dilakukan dengan metode maserasi melalui ektraksi bertingkat. Pelarut yang digunakan bertingkat dari non polar hingga polar yaitu, heksana, etil asetat dan metanol. Rendemen ekstrak kasar keong mata lembu terbesar yaitu pada ekstrak metanol sebesar 16,75 % diikuti ekstrak heksana sebesar 2,41 % dan ekstrak etil asetat 1,36 %. Bentuk ekstrak yang dihasilkan pelarut heksana yaitu pasta berwarna kuning kecoklatan, pelarut etil asetat berbentuk cair berwarna hijau pekat dan pelarut metanol berbentuk pasta berwarna coklat pekat. Hess et al. (2005) menyatakan bahwa ekstraksi dari jenis kerang-kerangan
akan
menghasilkan
rendemen
ekstrak
berkisar
antara
0,11 - 0,60 % dari berat awal bahan baku. Ekstrak kasar etil asetat memiliki rendemen yang rendah dibandingkan dengan ekstrak kasar n-heksana dan metanol. Sreejamole dan Radhakrishnan (2010) melaporkan kondisi yang sama, yaitu ekstrak kasar etil asetat dari P. viridis juga yang terendah yaitu hanya 1,8 %. Nurhayati et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak etil asetat spons Petrosia sp. juga memiliki rendemen terendah yaitu 1,36 %.
58
Rendemen yang dihasilkan pelarut metanol pada keong mata lembu lebih besar dibandingkan dengan kerang pisau (Solen sp.) yaitu 12,786 % (Nurjanah et al. 2011), keong pepaya (Melo sp.) yaitu 12,53 % (Suwandi et al. 2010), Perna viridis yaitu 6,4 % (Sreejamole dan Radhakrishnan 2010) dan tambelo (Bactronophorus thoracites) yaitu 5,72 % (Leiwakabessy 2011). Menurut Coulson dan Richardson (1999) ada empat faktor penting yang berpengaruh pada proses ekstraksi, yakni ukuran partikel, pelarut, suhu dan pengadukan. Ukuran partikel berpengaruh terhadap luas permukaan yang menentukan kontak bahan dan pelarut, pelarut berpengaruh terhadap kesesuaian komponen yang akan diekstrak, suhu dan pengadukan berpengaruh terhadap kelarutan komponen yang akan diekstrak. 4.2.2 Kandungan fitokimia ekstrak keong mata lembu Kandungan fitokimia ekstrak keong mata lembu dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong mata lembu menunjukkan bahwa ekstrak kasar metanol didominasi oleh senyawa alkaloid dan saponin. Hal ini diduga kedua senyawa ini merupakan senyawa polar karena senyawa yang terbawa pada proses ekstraksi adalah senyawa yang mempunyai polaritas sesuai dengan pelarutnya. Menurut Wiryowidagdo (2000) golongan senyawa metabolit sekunder yang larut dalam pelarut polar adalah golongan alkaloid, antosianin, glikosida, saponin, tanin, dan juga golongan karbohidrat. Alkaloid merupakan golongan metabolit sekunder yang terbesar. Alkaloid mencakup senyawa basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, sebagai bagian dari siklik. Alkaloid berfungsi sebagai antioksidan, juga sebagai enzim pada sistem biologis misalnya sistem syaraf pusat (Ruiz et al. 2005), antitumor, diuretik,
simpatomimetik,
antihipertensi,
antidepresan,
dan
antimikroba
(Henriques et al. 2004). Saponin dapat berfungsi sebagai antimikroba, antiinflamatori, serta mempunyai toksisitas rendah. Selain itu, saponin juga diketahui mempunyai aktivitas melawan luka nanah dan patogenik pada Candida spp. dan manusia (Ruiz et al. 2005).
59
Tabel 8 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar daging keong mata lembu Uji fitokimia
Jenis pelarut Etil Heksana Metanol asetat
Alkaloid: a. Wagner b. Meyer c. Dragendrof
-
-
+ + +
Steroid/triterpenoid
+
+
-
Saponin
-
-
+
Flavonoid
-
+
-
Fenol hidrokuinon Molisch
-
+
-
Benedict
-
+
-
Biuret Ninhidrin
-
-
+ +
Standar (warna)
Endapan coklat Endapan putih kekuningan Endapan merah sampai jingga Perubahan dari merah menjadi biru/hijau Terbentuk busa Lapisan amil alkohol berwarna merah/kuning/hijau Warna hijau atau hijau biru Warna ungu antara 2 lapisan Warna hijau/kuning/ endapan merah bata Warna ungu Warna ungu
Ekstrak kasar etil asetat keong mata lembu (Tabel 8) didominasi oleh senyawa flavonoid dan triterpenoid. Hal ini karena pelarut etil asetat bersifat semi polar sehingga memiliki kemampuan melarutkan senyawa polar dan non polar. Flavonoid adalah senyawa yang mengandung karbon 15 yang membentuk susunan C6-C3-C6 dengan dua cincin benzena yang dihubungkan oleh suatu rantai propana.
Flavonoids
mempunyai
banyak
aktivitas
sebagai
enzim
dan
memproduksi sistem sel, antitumor, pelindung hati, serta antiinflamantori. Senyawa triterpenoid secara alami dihasilkan oleh hewan dan tumbuhan. Fungsi biologis triterpenoid
yaitu sebagai efek kemopreventif kanker,
antimikroba, antijamur, dan aktivitas antiparasit (Okwu 2001). Senyawa terpenoid dikenal pula sebagai salah satu golongan senyawa kimia dalam tanaman yang memiliki aktivitas antikanker dan antioksidan (Lisdawati et al. 2006). Setzer (2008) menyatakan bahwa triterpenoid alami memiliki aktivitas antitumor karena mempunyai kemampuan menghambat kinerja enzim topoisomerase II dengan cara berikatan dengan sisi aktif enzim yang akan mengikat DNA dan membelahnya sehingga enzim menjadi terkunci dan tidak dapat mengikat DNA. Berdasarkan hasil uji fitokimia, ekstrak kasar n-heksana keong mata lembu mengandung senyawa steroid. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang terdapat pada ekstrak n-heksana bersifat non polar. Steroid merupakan golongan senyawa
60
triterpenoid yang dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21 yaitu sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D (Harbone 1987). Sterol utama pada bahan hewani adalah kolesterol. Sterol ditemukan sebagai senyawa dominan dalam bivalvia dan moluska. Steroid dapat digunakan sebagai antiinflamatori, pembius lokal, insektisida, dan berperan penting sebagai hormon seksual (Sreejamole dan Radhakrishnan 2010). 4.2.3 Aktivitas antioksidan ekstrak kasar keong mata lembu Hasil analisis IC50 aktivitas antioksidan keong mata lembu (Turbo setosus) dapat dilihat pada Tabel 9. Besarnya daya peredaman radikal bebas DPPH dilakukan pengukuran absorbansi dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 516 nm. Panjang gelombang ini didapatkan berdasarkan kurva standar spketrum absorbansi larutan DPPH (Lampiran 16) yang menunjukkan serapan maksimum dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800. Pengukuran absorbansi dilakukan pada setiap sampel antioksidan yang dibuat dengan berbagai konsentrasi. Secara teoritis, semakin tinggi konsentrasi ekstrak, persentase penghambatan ekstrak terhadap aktivitas radikal bebas DPPH juga semakin tinggi. Tabel 9 Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar keong mata lembu dengan jenis pelarut berbeda Sampel
% Inhibisi
IC50 (ppm)
200 ppm
400 ppm
600 ppm
800 ppm
Ekstrak heksana
0,84
0,81
0,76
0,74
2.542,59
Ekstrak etil asetat
0,78
0,71
0,68
0,62
1.578,43
Ekstrak metanol
0,81
0,76
0,72
0,69
2.088,19
Tabel 9 menunjukkan bahwa ekstrak kasar keong mata lembu mempunyai nilai aktivitas antioksidan tertinggi pada pelarut etil asetat, disusul oleh metanol dan heksana. Nilai IC50 dari ekstrak kasar daging keong mata lembu masih lebih tinggi dari nilai IC50 BHT yang digunakan sebagai standar yaitu 6,54 ppm. Perbedaan nilai aktivitas antioksidan pada berbagai pelarut disebabkan oleh kandungan senyawa antioksidan yang berbeda pada setiap ekstrak kasar. Aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat bersifat semipolar sehingga diduga mengandung
61
senyawa aktif antioksidan baik yang bersifat hidrofilik maupun lipofilik. Hasil fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak kasar etil asetat mengandung flavonoid dan triterpenoid. Flavonoid merupakan senyawa aktif yang berperan sebagai antioksidan hidrofilik dan lipofilik (Middleton et al. 2000). Nazeer dan Naqash (2011) melaporkan bahwa ekstrak etil asetat Loligo duvauceli memiliki persentase penghambatan radikal bebas DPPH tertinggi (58%) dibandingkan dengan ekstrak kasar lainnya. Nurhayati et al. (2009) menemukan pada ekstrak kasar spons Petrosia sp. bersifat semi polar karena hanya ekstrak spons etil asetat yang mempunyai nilai IC50 kurang dari 200 ppm. Hal serupa juga dikemukakan oleh Fajriah et al. (2007) bahwa ekstrak kasar etil asetat dari benalu lobi-lobi memiliki nilai IC50 lebih rendah (17,60 ppm) dibandingkan dengan ekstrak metanol (25,40 ppm) dan ekstrak n-heksana (>200 ppm). Nilai aktivitas antioksidan keong mata lembu tiap-tiap pelarut dapat dilihat pada Lampiran 17. Aktivitas antioksidan keong mata lembu tidak berbeda bila dibandingkan dengan aktivitas antioksidan dari beberapa jenis moluska lainnya, misalnya kerang pisau (Solen spp) 1.391,08 – 2.008,52 ppm (Nurjanah et al. 2011), Pleuroploca trapezium sebesar 4021 ppm (Anand et al. 2010) dan keong pepaya (Melo sp.) 1.156 – 2.799 ppm (Suwandi et al. 2010). Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 kurang dari 50 μg/mL kuat apabila nilai I
50
antara 50-100 μg/mL sedang
apabila nilai IC50 berkisar antara 100-150 μg/mL dan lemah apabila nilai I berkisar antara 150-200 μg/mL (Molyneux 2004).
50
ktivitas antioksidan keong
mata lembu yang lemah dimungkinkan karena pada ekstrak kasar keong mata lembu masih banyak terdapat senyawa lainnya yang dapat mengurangi aktivitas antioksidannya. 4.2.4 Toksisitas ekstrak kasar keong mata lembu Metode awal yang sering digunakan untuk menentukan kebenaran adanya kandungan senyawa metabolit sekunder aktif dalam suatu sampel adalah uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) menggunakan cara Meyer. Metode ini ditujukan terhadap tingkat mortalitas larva udang Artemia salina L. yang disebabkan oleh ekstrak uji. Suatu ekstrak dianggap toksik apabila memiliki nilai LC50 <1000 ppm sedangkan untuk senyawa murni digolongkan
62
toksik apabila LC50 nya <200 ppm (Meyer et al. 1982). Hasil uji toksisitas ekstrak metanol keong mata lembu tertera pada Tabel 10. Hasil uji sitotoksik menggunakan metode BSLT menunjukkan bahwa dari ketiga ekstrak kasar keong mata lembu yang diuji, hanya ekstrak kasar metanol yang mempunyai sifak toksik. Fraksi metanol adalah fraksi yang paling polar dibandingkan pelarut yang lain. Ekstrak kasar metanol mempunyai LC50 sebesar 879,71 ppm atau kurang dari 1000 ppm. Hal ini menunjukkan ekstrak metanol bersifat toksik terhadap udang Artemia salina L. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian Juniarti et al. (2009) berdasarkan hasil uji sitotoksik pada ekstrak metanol daun saga lebih aktif dibandingkan ekstrak dengan pelarut lain yang kurang polar (heksana dan etil asetat) dengan nilai LC50 606,736 ppm. Tabel 10 Hasil uji toksisitas ekstrak kasar keong mata lembu Konsentrasi 500 600 700 800 900 1000
Log konsentrasi 2,70 2,78 2,85 2,90 2,95 3
% Mortalitas 3,33 10 13,33 16,67 63,33 76,67
Probit 3,12 3,72 3,87 4,01 5,33 5,71
LC50 (ppm)
879,71
Tabel 10 menunjukkan bahwa semakin besar nilai konsentrasi ekstrak, mortalitas pada A.salina juga semakin besar. Hal ini sesuai dengan Harborne (1994) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka sifat toksiknya akan semakin tinggi. Hasil kontrol dengan air laut (mortalitas 0 %), menunjukkan bahwa larva udang yang mati disebabkan oleh senyawa toksik pada ekstrak. Nilai LC50 ektrak metanol keong mata lembu lebih kecil dibandingkan dengan ekstrak E. alvarezii (Nurhayati et al. 2006) dan ekstrak teripang (Albuntana et al. 2011). Sifat toksik dari ekstrak metanol keong mata lembu diperkirakan mengandung golongan senyawa metabolit sekunder yang bersifat polar. Menurut Wiryowidagdo (2000) golongan senyawa metabolit sekunder yang larut dalam pelarut polar adalah golongan antosianin, glikosida, saponin, tanin dan juga golongan karbohidrat. Hasil fitokimia memperlihatkan bahwa ekstrak metanol keong mata lembu mengandung saponin.
63
Menurut Zhang et al. (2006) saponin merupakan senyawa glikosida kompleks yang kerangka dasarnya berhubungan dengan struktur gugus glukosa dan triterpenoid. Senyawa saponin dihasilkan sebagai salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri secara kimiawi. Senyawa tersebut selain diduga digunakan sebagai pertahanan diri dari predator, juga diyakini memiliki efek biologis termasuk diantaranya sebagai antijamur, sitotoksik melawan sel tumor, hemolisis, aktivitas kekebalan tubuh dan antikanker. Senyawa saponin bersifat larut dalam air, sehingga senyawa aktif tersebut terkonsentrasi pada pelarut yang bersifat polar (Wu et al. 2007). Metode BSLT biasa dilakukan pada tahap pendahuluan dalam penapisan bahan-bahan yang diperkirakan memiliki sifat antitumor atau antikanker sebelum melangkah kepada uji in vitro menggunakan sel lestari tumor. Uji toksisitas larva udang memiliki kemampuan untuk mendeteksi 14 dari 24 Euphorbiaceae yang aktif terhadap uji leukimia in vivo mencit dan mendeteksi 2 dari 6 ekstrak Euphorbiaceae yang aktif terhadap uji karsinoma nasofaring (Widjahati et al. 2004). Metode ini juga digunakan sebagai bioassay guided fractionation bahan alam, metode pro-skrinning penelitian sel tumor di Cell Culture Laboratory of the Purdue Cancer Center, Purdue University (Alam 2002). 4.3 Pemurnian Ekstrak Terpilih Pemurnian ekstrak terpilih bertujuan untuk mendapatkan fraksi ekstrak terpilih, aktivitas antioksidan dari fraksi terpilih dan pendugaan senyawa bioaktif berdasarkan bobot molekul. 4.3.1
Fraksi ekstrak terpilih Fraksinasi senyawa menggunakan teknik kromatografi lapis tipis (KLT)
dilakukan untuk memisahkan senyawa yang ada pada ekstrak kasar keong mata lembu yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi, yaitu etil asetat dengan IC50 1507,76 ppm. Hasil pemisahan menggunakan KLT diperoleh eluen terbaik, yaitu campuran
eluen
kloroform:etil
asetat:asam
format
(3:7:0,5).
Fraksinasi
menggunakan KLT dan pengamatan dengan sinar UV 254 nm dan 366 nm menghasilkan 8 spot yang disajikan pada Gambar 9. Hasil fraksinasi menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif didapatkan 8 fraksi pada ekstrak kasar dengan pelarut etil asetat, dengan eluen terbaik yang
65
67
Menurut Suarez et al. (2003) senyawa ini secara in vitro memiliki aktivitas sitotoksik dan aktivitas antitumor secara in vivo dengan mekanisme menginduksi kematian sel melalui “oncosis” yang diawali oleh depolarisasi membran lisosomal di prostat dan sel kanker payudara.
68
5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Keong mata lembu mempunyai ciri fisik yaitu cangkang berwarna coklat dan hijau dengan pola lurik-lurik halus serta tekstur yang tebal dan keras. Daging berwarna coklat dengan tekstur kenyal. Keong mata lembu jantan memiliki gonad berwarna putih hingga putih susu dan keong mata lembu betina memiliki gonad berwarna hijau sampai hijau tua. Hasil morfometrik keong mata lembu yaitu panjang cangkang 59,210 mm dan lebar cangkang 31,264 mm. Jika dilihat dari komposisi kandungan gizi keong mata lembu dapat digolongkan sebagai hasil perikanan tinggi protein (>50 %) yaitu 63,37 %, karbohidrat (>20 %) yaitu 27,01 %, mineral (K; Mg; Fe; Zn), asam amino (arginin; asam glutamat), dan rendah lemak (<5 %) yaitu 0,08 % (berdasarkan berat kering). Aktivitas antioksidan terbaik daging keong mata lembu adalah menggunakan pelarut etil asetat. Kandungan fitokimia pada ekstrak etil asetat daging keong mata lembu yang berperan sebagai antioksidan adalah flavonoid dan triterpenoid. Hasil identifikasi senyawa aktif dari fraksi 7 (IC50 2078,43 ppm) adalah senyawa kahalalide F yang memiliki aktivitas antitumor dan antikanker. Kandungan gizi dan aktivitas antioksidan dalam keong mata lembu diduga memiliki interaksi sinergis untuk meningkatkan kesehatan manusia termasuk pengalaman empiris masyarakat tentang mengkonsumsi keong mata lembu dapat meningkatkan stamina dan vitalitas.
5.2 Saran Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah bahwa keong ini dikonsumsi dalam bentuk rebus dan sate maka perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh perebusan dan pengolahan terhadap kandungan gizinya. Selain itu perlu dilakukan pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode lain, demikian juga pengembangan penelitian tentang kandungan senyawa bioaktif yang berasal dari protein, karbohidrat, dan mineral keong mata lembu.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abulude FO, Lawal LO, Ehikhamen G, Adesanya WO, Ashafa SI. 2006. Chemical composition and functional properties of some prawns from the coastal area of Ondo State, Nigeria. Elect J Environ Agric Food Chem. 5(1): 1235-1240. Adebayo-Tayo BC, Ogunjobi AA. 2008. Comparative effects of oven drying and sundrying on the microbiological, proximate nutrient and mineral composition of Tympanotonus spp. (periwinkle) and Crassostrea spp. (oyster). Elect J Environ Agric Food Chem. 7(4): 2856-2862. Ademolu KO, Idowu AB, Mafiana CF, Osinowo OA. 2004. Performance, proximate, and mineral analyses of African giant land snail (Archachatina marginata) fed different nitrogen sources. African J Biotechnol. 3(8): 412417. Alam G. 2002. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) sebagai bioassay dalam isolasi senyawa bioaktif dari bahan alam. MFF. 6(2):432-436. Albuntana A, Yasman, Wardhana W. 2011. Uji toksisitas ekstrak 4 jenis teripang suku Holothuridae dari Pantai Penjaliran Timur, Kepulauan Seribu, Jakarta menggunakan BSLT. JITKT. 3(1): 65-72. Almatsier S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT.Gramedia Pustaka Utama. Amir I, Budiyanto A. 1996. Mengenal spons laut (Demospongiae) secara umum. Oceana. 21(2):15-31. Anand P, Chellaram C, Kumaran S, Shantini F. 2010. Biochemical composition and antioxidant activity of Pleuroploca trapezium meat. J Chem Pharm Res. 2(4):526-535. Andayani R, Yovita L, Maimunah. 2008. Penentuan aktivitas antioksidan, kadar fenolat total dan likopen pada buah tomat (Solanum lycopersicum l). JSTF. 13(1):31-37. Ando K, Matsui H, Fujita M, Fujita I. 2010. Protective effect of dietary potassium against cardiovascular damage in salt-sensitive hypertension: posible role of antioxidant action. Nutrition. 8(1): 59-63. Arifin Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan metode analisisnya. JLP. 27(3): 99-105.
70
Ariffin F, Heong Chew S, Bhupinder K, Karim A, Huda N. 2011. Antioxidant capacity and phenolic composition of fermented Centella asiatica herbal teas. J Sci of Food and Agric. 91(15):2731-2739. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis (18 Edn). Mayland (USA): Association of Official Analytical Chemist Inc. Babu A, Kesavan K, Annaduri D, Rajagopal S. 2010. Bursa spinosa A mesogastropod fit for human consumption. Adv J Food Sci Technol. 2(1):79-83. Bassey SCO, Eteng MU, Eyong EU, Ofem OE, Akunyoung EO, Umoh IB. 2011. Comparative nutritional and biochemical evaluation of Ergeria radiata (clams) and Pomecia palludosa (gastropods). Res J Agric Biol Sci. 7(1): 98104. Bello BK. 2013. Effect of processing method on the proximate and mineral composition of prawn (Penaeus notialis). J Global Biosci. 2(2): 42-46. Belleville-Nabet F. 1996. Zat gizi antioksidan penangkal senyawa radikal pangan dalam sistem biologis. Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan: Reaksi Biomolekuler, Dampak terhadap Kesehatan dan Penangkalan. CFNS-IPB dan Kedutaan Besar Prancis-Jakarta. Bernasconi G, Gerster H, Hauser H, Stauble H, Schneifer E. 1995. Teknologi Kimia Bagian 2. Handojo L. Pradnya Paramita, penerjemah; Jakarta (ID). Hal 177-185. Bhakuni DS, Rawat DS. 2005. Bioactive Marine Natural Products. New York(USA): Springer Bonnet JC, Sidwell VD, Zook EG. 1974. Chemical and nutritive values of several fresh and canned finfish, crustaceans and molluscs: Part II. Fatty acid composition. Mar Fish Rev. 36:8-14. Carballo JL, Hernadez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravalos MD. 2002. A comparison between two brine shrimp assay to detect in vitro cytotoxicity in marine natural product (methodology article). Bioorganic Mar Chem Biotech. 2(1):1-5. Cat B. 2006. Amino acid protein suplemen. Dietary Amino Acids Benefits.
[email protected] [14 Juli 2012]. Chandran B, Rameshkumar G, Ravichandran S. 2009. Antimicrobial activity from the gill extraction of Perna viridis Linnaeus 1758. Glob J of Biotechnol Biochem. 4(2):88-92.
71
Charles La, Sriroth K, Huang T. 2004. Proximate composition, mineral contents, hydrogen cyanide and phytic acid of 5 cassava genotypes. Food Chem. 92:615-620. ChemSpider. 2012. The free chemical database 2012. United Kingdom: RSC. http://www.chemspider.com. [23 Desember 2012]. Daluningrum IPW. 2009. Penapisan awal komponen bioaktif dari kerang darah (Anadara granosa) sebagai Senyawa Antibakteri [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Darusman LK, Sajuti D, Komar, Pamungkas. 1995. Ekstraksi komponen bioaktif sebagai obat dari kerang-kerangan, bunga karang dan ganggang laut di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Buletin Kimia. 1(2):39-48. David HA, Oskar RZ. 1993. Marine Biotechnology. New York(USA): Plenum Press. Devanathan K, Srinivasan M, Periyasamy N, Balakrishnan S. 2011. Nutritional value of gastropod Babylonia spirata from Thazhanguda, Southeast Coast of India. Asn Pac J Tropic Biomdcn. 3(5):249-252. Ehgiator FAR, Oterai EA. 2012. Chemical composition and amino acid profile of a caridean prawn (Macrobrachium vallenhovenii) from Ovia River and tropical periwinkle (Tympanotonus fuscatus) from Benin River, Edo State, Nigeria. IJRRAS. 11(1): 162-167. Fagbuaro O, Oso JA, Edward JB, Ogunleye RF. 2006. Nutritional status of four species of giant land snails in Nigeria. J Zhejiang University Sci B. 7(9): 686-689. Fajriah S, Darmawan A, Sundowo H, Artanti N. 2007. Isolasi senyawa antioksidan dari ekstrak etil asetat benalu Dendrophthoe pentandra L. Miq yang tumbuh pada inang lobi-lobi. JKI. 2(1):17-20. FAO Fisheries and Aquaculture Department. 1992. The State Of World Fisheries and Aquaculture 2006. FOOD and Agriculture Organization of the United Nations. Electronic Publishing Policy and Support Branch, Rome. ISSN 1020-5489. Garcia-Rocha M, Bonay P, Aulia J. 1996. The antitumoral compound kahalalideF acts on cell lysosomes. Cancer Lett. 99:43-50. Gokce MA, Tazbozan O, Celik M, Tabakoglu S. 2004. Effects of cooking method on the proximate composition and mineral contents of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Food Chem. 84: 9-12.
72
Hafiluddin, Nurjanah, Nurhayati T. 2011. Kandungan gizi dan karakterisasi senyawa bioaktif lintah laut (Discodoris sp.). JIPK. 3(1):1-6. Han JY, Xing DM, Sun H, Lu H, Li M, Du LJ. 2002. Comparison of flavonoids, terpenoids and the natural complex of them by Ginkgo biloba on antioxidant effect. China Pharmacol Bull. 18:115–117. Hanani E Mun‟im ekarini . 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons Callyspongia sp dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian. 2(3):127-133. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung (ID): ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Hardiningtyas SD. 2012. Aktivitas Antioksidan dan Efek Hepatoprotektif Ekstrak Daun Api-Api Putih (Avicennia marina) [tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Henriques AT, Limberger RP, Kerber VA. Moreno PRH. In: Farmacognosia: da planta ao medicamento, 5 ed.; Simões C M O et al., Eds. Editoras of the Universidades Federais de Santa Catarina and Rio Grande do Sul: Porto Alegre/Florianópolis, Brazil, 2004, Chapter 29, 765-792. Hess P, Nguyen L, Aasen J, Keogh M, Kilcoyne, McCarron P, Aune T. 2005. Tissue distribution, effects of cooking and parameters affecting the extraction of azaspiracids from mussels, Mytilus edulis, prior to analysis by liquid cromatography coupled to mass spectrometry. Toxicon. 46:62-71. Hustiany R. 2005. Karakteristik produk olahan kerupuk dan surimi dari daging ikan patin (Pangasius sutchi) hasil budidaya sebagai sumber protein hewani. Media Gizi & Keluarga. 29(2):66-74. Ito S, Shimizu M, Nagatsuka m, Kitajima S, Handa M, Tsuchiya T. 2011. High molecular weight lectin isolated from the mucus of the giant africa snail (Achatina fulica). Biosci Biotech Bioch. 75: 20-25 Juniarti, Osmeli D, Yuhernita. 2009. Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test) dan antioksidan (1,1-diphenyl-2pikrilhydrazyl) dari ekstrak daun saga (Abrus precatorius L.). Makara Sains. 1(13):50-54. Kagawa Y. 1999. 4th Amanded Japaness Food Content Tables, 485-486. Di dalam: Okuzumi M dan Fujii T, editor. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and Cuttlefish. Tokyo: National Cooperative Assosiation of Squid Processor. Kilburn D. 2000. Shallow-Water “ rchaeogastropods” of outheast Introduction. Phuket Mar Biol Center Spec Pub. 21(3):595-601.
sia:
n
73
Kosasih EN, Tony S, Hendro H. 2006. Peran Antioksidan pada Lanjut Usia. Jakarta (ID): Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia. Kunusaki, N. 2000. Nutritional properties of squid and cuttlefish. In : Masayo Okuzumi and Tateo Fujii (Eds.), nutritional and functional properties of squid and cuttlefish. 35th Anniversary commemorative publication, p. 2259. Leiwakabessy J, Purwaningsih S, Hardjito L. 2011. Komposisi kimia dan identifikasi senyawa antioksidan dari tambelo (Bactronophorus thoracites). Seminar Nasional dan Pertemuan Ilmiah ke-3 Masyarakat Pengolah Hasil Perikanan Indonesia: Dengan Tema Peningkatan Peran Pengolahan Hasil Perikanan dalam Mengantisipasi Lonjakan Produksi Perikanan Nasional. Bogor. 6-7 Oktober 2011. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Cetakan I. Parakkasi A, penerjemah; Linder MC, editor. Jakarta (ID): UI Press. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism. Lisdawati V, Wiryowidagdo S, Kardono B. 2006. Brine Shrimp Letahlity Test dari berbagai fraksi ekstrak daging buah dan kulit biji mahkota dewa. Bul Penel Kesehatan. 34(3):111-118. Majewska D, Jakubowska M, Ligocki M, Tarasewicz Z, Szczerbin D, Karamucki T, Sales J. 2009. Physicochemical characteristics, proximate analysis and mineral composition of ostrich meat as influenced by muscle. Food Chem. 117:207-211. Marinova E, Toneva A, Yanishlieva N. 2008. ynergistic antioxidant effect of αtocopherol and myricetin on the autooxidation of tryacylglycerols of sunflower oil. Food Chem. 106(2):628-633. Martin DW, Mayes A, Granner DK, Rodwell VM. 1991. Biokimia. Andry H, penerjemah. Jakarta (ID): ECG. Terjemahan dari: Harper’s Review of Biochemistry. McCabe WL, Smith JC, Hariot, Peter. 1999. Operasi Teknik Kimia Jilid 2, Jasjfi, E, penerjemah; Jakarta (ID): Erlangga. Mega IM, Swastini DA. 2010. Screening fitokimia dan aktivitas antiradikal bebas ekstrak metanol daun gaharu (Gyrinops versteegii). JK. 4(2):187-192. Meyer BN, Ferrigni NR, Putnam JE, Jacobsen LB, Nichols DE, Mclaughlin JL. 1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Planta Med. 45(5):31-34.
74
Middleton E Jr, Kandaswami C, Theoharides TC. 2000. The effects of plant flavonoids on mammalian cells: implications for inflammation, heart disease, and cancer. Pharmacol Rev. 52:673–751. Miletic I, Miric M, Lalic Z, Sobajic S. 1991. Composition of lipids and proteins of several species of molluscs, marine and terrestrial, from the Adriatic Sea and Serbia. Food Chem. 41(3): 303-308. Milinsk MC, Padre RdG, Hayashi C, de Souza NE, Matsushita M. 2003. Influence of diets enriched with different vegetable oils on the fatty acid profiles of snail Helix aspersa maxima. Food Chem. 82(4): 553-558. Milinsk MC, Padre RdG, Hayashi C, de Oliveira CC, Visentainer JV, de Souza NE, Matsushita M. 2006. Effects of diets enriched with different vegetable oils on the fatty acids profiles of snail Helix aspersa maxima. Food Chem. 82: 553-558. Ming HC, Yuh WC, Axel A, Keryea S, Jan JL. 2004. Species and abundance of the edible turban snails Turbo spp. in intertidal area of Hengchun Peninsula, southern Taiwan. Coll and Res. 14(1):1-9. Molyneux P. 2004. The use of the stable free radicals diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin J Sci Technol. 26(2):211-219. Muchtadi D. 2009. Pengantar Ilmu Gizi. Bandung (ID): CV. Alfabeta. hlm.20-56. Murniasih T. 2005. Substansi kimia untuk pertahanan diri dari hewan laut tak bertulang belakang. Oseana. 30(2):19-27. Nazeer RA, Naqash SY. 2011. In vitro antioxidant activity of two molluscs, Loligo duvauceli Orbigny and Donax cuneatus Linnaeus, by solvent extraction methods. Mediterr J Nutr Metab. Original article. Nurhayati A, Abdulgani N, Febrianto R. 2006. Uji toksisitas ekstrak Euchema alvarezii terhadap Artemia salina sebagai studi pendahuluan potensi antikanker. Akta Kimindo. 2(1):41-46. Nurhayati T, Aryanti D, Nurjanah. 2009. Kajian awal potensi ekstrak spons sebagai antioksidan. JKN 2 (Edisi Khusus):43-51. Nurjanah, Zulhamsyah, Kustiyariyah. 2005. Kandungan mineral dan proksimat kerang darah (Anadara granosa) yang diambil dari Kabupaten Boalemo, Gorontalo. BTHP. 7(2): 15-24. Nurjanah, Kustiariyah, Rusyadi S. 2008. Karakteristik gizi dan potensi pengembangan kerang pisau (Solen spp) di Perairan Kabupaten Pamekasan, Madura. JPK. 13(1):41-51.
75
Nurjanah, Abdullah A, Izzati L. 2011. Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif kerang pisau (Solen spp.). JIK. 16(3):119-124. Okuzumi M, Fujii T. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and Cuttlefish. National Cooperative Association of Squid Processors. Japan. Okwu DE. 2001. Evaluation of the chemical composition of medicinal plants belonging to Euphorbiaceae Pak. Pakistan Vet J. 14: 160-162. Palpandi C, Vairamani S, Shanmugam A. 2010. Proximate composition and fatty acid profile of different tissues of the marine neogastropod Cymbium melo (Solander, 1786). Ind J Fish. 57(3):35-39. Periyasamy N, Srinivasan M, Devanathan K, Balakrishnan S. 2011. Nutritional value of gastropod Babylonia spirata (Linnaeus, 1758) from Thazhanguda, Southeast coast of India. Asn Pac J Trop Biomedcn. S249-S252. Piggot MG, tucker WB. 1990. Seafood: Effects of Technology on Nutrition. New York (USA): Marcel Dekker Inc. Pokorny J, Yanishlieva N, Gordon M. 2001. Antioxidant in Food: Practical Application, CRC Press Cambridge, New York Poutiers JM. 1988. FAO Species Identification Guide for Fishery Purposes. The Living Marine Resources of the Western Central Pacific. Carpenter KE, Niem VH (editor). Volume 1. Seaweeds, Corals, Bivalves and Gastropods. Rome(IT): FAO. Pp. 1-686 Purwaningsih S. 2012. Aktivitas antioksidan dan komposisi kimia keong mata merah (Cerithidea obtusa). IK. 17(1):39-48. Qun FZ, Gui BJ, Zhong YL, Li LN, Chun GY, Yong WN. 2004. Survey of butyltin compounds in 12 types of foods collected in China. Food Additives and Contaminants. 21(12): 1162-1167. Rink L, Kirchner H. 2000. Zinc-altered immune function and cytokine production. Nutr 130 Suppl: 1407S-1411S. Riguera R. 1997. Isolating bioactive compounds from marine organisms. J Mar Biotechnol. 5:187–193. Royani DS, Hardjito L, Santoso J. 2007. Penapisan inhibitor topoisomerase I dan komposisi kimia dari siput laut Nerita albicilla. JPP. 10(1):42-46. Ruiz C, Falcocchio S, Xoxi E, Ly V, Nicolosi G, Javier PFI, Diaz P, Saso P. 2005. Inhibition of Candida rugosa lipase by saponins, flavonoids and alkaloids. J Bios Biotechnol Biochem. 63:539-560.
76
Sadikin M. 2001. Pelacakan dampak radikal bebas terhadap makromolekul. Di dalam: Kumpulan Makalah Pelatihan Radikal Bebas dan Antioksidan dalam Kesehatan. Jakarta (ID): Fakultas Kedokteran UI. Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen bioaktif dari kijing taiwan (Anodonta woodiana Lea.) sebagai senyawa antioksidan. BTHP. 11(2):119-133. Sarker SD, Latif Z, Gray AI. 2006. Methods in Biotechnology. Natural Products Isolation. Second edition. Totowa(New Jersey): Humana Press. Satari RR. 1999. Penelitian produk alam laut di Indonesia, arah dan prospek. Sem Nas Kimia Bahan Alam. 29-37. Setyowati S. 2009. Unit corn mill. http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimiaindustri/teknologi-proses/unit-corn-mill/ [10 Mei 2012]. Setzer WN. 2008. Non-intercalative triterpenoid inhibitors of topoisomerase II: a molecular docking study. The Open Bioac Comp J. 1:13-17. Soeatmaji DW. 1998. Peran stress oksidatif dalam patogenesis angiopati mikro dan makro DM. Medica. 5(24): 318-325. Soekendarsi E. 2010. Kualitas perairan habitat keong mata lembu Turbo argyrostoma Linnaeus 1758. JMI. 1:53-58. Shu CL, Shyh MC. 2003. Shallow-water marine shells from northeastern Taiwan. Coll and Res. 16:29-59. Sreejamole K, Radhakrishnan C. 2010. Preliminary qualitative chemical evaluation of the extracts from mussel Perna viridis. Int J Pharm Sci Rev Res. 5(2):38-42. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Suarez Y, Gonzalez L, Cuadrado A, Berciano M, Lafarga M, Munoz A. 2003. A new marine derived compound, induces oncosis in human prostate and breast cancer cells. Mol Cancer Ther. 2(9):863-872. Supamas. 2011. Asam amino non esensial. Jakarta (ID): Surya Pagoda Mas http://www.supamas.com [14 Juli 2012]. Suwandi R, Nurjanah, Tias FN. 2010. Aktivitas antioksidan dan komponen bioaktif dari keong pepaya (Melo sp.). AJSP. 4(2):16-20.
77
Suzuki T. 2004. Karakteristik Nutrisi Produk Perikanan. ICA/ICFO/IKPI Seminar for Promotion of Sustainable Development of Fisheries in Indonesia. Hotel Aryaduta 16-19 Maret. Jakarta. Swasono RT, Thamrin W, Lina SM. 2007. Aktivitas antioksidan dan toksisitas senyawa bioaktif dari ekstrak rumput laut hijau Ulva reticulata Forsskal. JIKI. 5(1): 31-36. Tocher DR. 2003. Metabolism and functions of lipids and fatty acids in teleost fish. Rev Fish Sci. 11:107 – 184. Venugopal V. 2009. Marine Products for Healthcare: Functional and Bioactive Nutraceutical Compounds from the Ocean. New York (USA): CRC Press. Hlm 116. Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Wang H, Song LS, Li CH, Zhao JM, Zhang H, Ni DJ. 2007. Cloning and characterization of a novel C-type lectin from zhikong scallop (Chlamys farreri). Mol Immunol. 44: 722-731. Wang L, Huang M, Zhang H, Song L. 2011. The immune role of C-type lectin in mollusc. ISJ. 8: 241-246. Waranmaselembun C, Hardjito L, Baskoro MS. 2007. Penapisan inhitor topoisomerase I dan komposisi kimia dari kerang laut Atactodea striata. JPP. 10(1):32-36. Widjhati R, Supriyono A, Subintoro. 2004. Pengembangan senyawa bioaktif dari biota laut. Forum Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Depertemen Kelautan dan Perikanan; hal.13. Winarsi HD, Muchtadi FR, Zakaria, Purwantara B. 2003. Status antioksidan wanita premenopause yang diberi minuman suplemen „ usumeno‟. Prosiding Seminar Nasional PATPI. Yogyakarta: 22-23 Juli 2003. Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta (ID): Kanisius. Wiryowidagdo S. 2000. Kimia dan Farmakologi Bahan Alam. Jakarta (ID): Dirjen Dikti-VI, 399 hlm. Witjaksono HT. 2005. Komposisi kimia ekstrak dan minyak dari lintah laut (Discodoris boholensis) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
78
Wojnar JM. 2008. Isolation of new secondary metabolites from New Zealand marine invertebrates. [thesis]. Chemistry Department. Victoria University of Wellington. WoRMS. 2009. WoRMS taxon details: Turbo setosus Gmelin 1791. http://www.marinespecies.org/aphia.php?p=taxdetails&id=413432. [15 Mei 2013]. World Health Organization. 1989. Heavy Metals-Environmental Aspects. Environment Health Criteria. No. 85. Geneva, Switzerland. Wu JYH, Yi HF, Tang HM, Wu ZR, Zhou. 2007. Hillasides A and B, two new cytotoxic triterpene glycosides from the sea cucumber Holothuria hilla Lesson. Asn Nat Prod Res. 9(7):609-615. Xie SH, Wang Z, Xu SY. 2007. Characteristics of Bellamya purificata snail foot protein and enzymatic hydrolysates. Food Chem. 101(3): 1188-1196. Yenni. 2012. Pengaruh Perebusan terhadap Kandungan Gizi Kerang Pokea (Batissa violacea celebensis Martens 1897) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yonge CM. 1928. Feeding mechanisms in the invertebrates. Biol Rev Biol Proc Cambridge Phil Soc. 3:21-76. Zakaria FR, Susanto H, Hartoyo A. 2000. Pengaruh konsumsi jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap kadar malonaldehida dan vitamin E plasma pada mahasiswa Pesantren Ulil Albaab Kedung Badak, Bogor. JTIP. 11(1):36-40. Zarai Z, Frikha F, Baiti R, Miled N, Gargouri Y, Mejdoub H. 2011. Nutrient composition of the marine snail (Hexaplex trunculus) from the Tunisian Mediterranian coasts. J Sci Food Agric. 91:1265-1270. Zhang YS, Yi HY, Tang HF. 2006. Cytotoxic sulfated triterpene glycosides from the sea cucumber Pseudocolochirus violaceus. Chem Biodiver. 3:807-817. Zlatanos S, Laskaridis K, Feist C, Sagredos A. 2006. Proximate composition, fatty acid analysis and protein digestibility-corrected amino acid score of three Mediterranean cephalopods. Mol Nutr Food Res. 50:967-970. Zlatanos S, Laskaridis K, Sagredos A. 2009. Determination of proximate composition, fatty acid content and amino acid profile of five lessercommon sea organisms from the Mediterranean Sea. Int J Food Sci Technol. 44:1590-1594.
79
81
83
85
86
Lampiran 4 Kromatogram asam amino daging keong mata lembu segar a. Kromatogram asam amino daging keong mata lembu ulangan 1
87
b. Kromatogram asam amino daging keong mata lembu ulangan 2
88
89
106
Lampiran 15 Hasil rendemen ekstrak kasar keong mata lembu dari berbagai pelarut Jenis pelarut Heksan Etil asetat Metanol
Berat sampel kering (g) 50 50 50
U1 1,3177 0,6021 5,7789
Berat ekstrak (g) U2 U3 1,1282 1,1745 0,6964 0,7370 10,7163 8,626
Ratarata 1,2068 0,6785 8,3737
Rendemen (%) 2,4136 1,3570 16,7475
a. Ekstrak heksana endemen ekstrak
1 3177 100 50
2 6354
0 6021 100 50
1 2042
5 7789 100 50
11 5578
b. Ekstrak etil asetat endemen ekstrak c. Ekstrak metanol endemen ekstrak
Absorbansi
Lampiran 16 Kurva standar spektrum absorbansi 0,098 0,097 0,096 0,095 0,094 0,093 0,092 0,091 0,09 514
515
516 517 518 519 Panjang gelombang (nm)
520
521
107
Lampiran 17 Perhitungan persen inhibisi dan IC50 pada BHT dan ekstrak kasar keong mata lembu a. Persen inhibisi dan IC50 pada BHT Kons (ppm)
Ulangan
Absorb rata-rata 1,0230 0,8850 0,6970 0,5400 0,4103
Blanko 2 4 6 8
BHT
% inhibisi 0 13,4897 31,8671 47,2141 59,8892
Pers regresi linear
IC50
y = 7,7273x-0,5213
6,54
70 y = 7,7273x - 0,5213 R² = 0,9932
60 % inhibisi
50 40 30 20 10 0 0
2
4
6
8
10
Konsentrasi (ppm)
b. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak n-heksana Kons (ppm)
Ulangan Blanko
200 400 600 800
Ekstrak kasar nheksana
Absorb rata-rata 0,8550 0,8430 0,8093 0,7627 0,7403
%inhibisi
15
% inhibisi 0 1,4035 5,3411 10,7992 13,4113
Pers regresi linear
IC50
y = 0,0207x-2,6316
2.542,59
y = 0,0207x - 2,6316 R² = 0,9841
10 5 0 0
200
400
600
Konsentrasi (ppm)
800
1000
108
c. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak etil asetat Kons (ppm)
Ulangan Blanko
200 400 600 800
%inhibisi
Ekstrak kasar etil asetat
Absorb rata-rata 0,8630 0,7260 0,6943 0,6360 0,6013
35 30 25 20 15 10 5 0
% inhibisi 0 8,5380 16,4522 20,8967 27,9142
Pers regresi linear
IC50
y = 0,025x+10,487
1.578,43
y = 0,025x + 10,487 R² = 0,9864
0
200
400
600
800
1000
Konsentrasi (ppm)
d. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak metanol Kons (ppm)
Ulangan Blanko
200 400 600 800
Ekstrak kasar metanol
Absorb rata-rata 0,8550 0,8093 0,7593 0,7163 0,6910
% inhibisi 0 5,3411 11,1891 16,2183 19,1813
Pers regresi linear
IC50
y = 0,0233x+1,345
2.088,19
25 y = 0,0233x + 1,345 R² = 0,9805
%inhibisi
20 15 10 5 0 0
200
400
600
Konsentrasi (ppm)
800
1000
110
Lampiran 20 Perhitungan persen inhibisi (IC50) hasil fraksinasi keong mata lembu a) Nilai standar deviasi hasil fraksinasi Fraksi
1 2793,92 3741,33 4169,55 3612,54 4859,84 3897,84 2087,81 4384,44
Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 4 Fraksi 5 Fraksi 6 Fraksi 7 Fraksi 8
Ulangan 2 2757,55 3743,96 4160,18 3634,05 4772,64 3871,6 2077,25 4347,16
3 2773,02 3722,21 4199,66 3654,4 4818,57 3889,12 2070,22 4366,7
Rata-rata
Stadev
2774,83 3735,833 4176,463 3633,663 4817,017 3886,187 2078,427 4366,1
18,25243 11,87121 20,62797 20,93268 43,62075 13,36367 8,853837 18,64724
b) Persen inhibisi dan IC50 pada fraksi 7 Ulangan
Ulangan
Kons (ppm)
Blanko 200 400 600 800 200 400 600 800 200 400 600 800
1
Ekstrak kasar etil asetat
2
3
Absorb rata-rata 0,8857 0,861 0,827 0,780 0,779 0,861 0,828 0,78 0,727 0,86 0,826 0,779 0,725
% inhibisi 0 2,8217 6,6591 11,9639 17,9458 2,9312 6,6516 12,0631 18,0383 2,7149 6,5611 11,8778 17,9864
Pers regresi linear
IC50
y = 0,0253x + 2,8217
2087,81
y = 0,0254x – 2,7621
2077,25
y = 0,0256x – 2,9977
2070,22
c) Analisis statistik aktivitas antioksidan (nilai IC50) fraksi dan ekstrak SK PERLAKUA N GALAT TOTAL
DB 8 18 26
JK
KT
28337780.02 15059.05 28352839.07
3542222.503 836.6139519
F HITUNG 4233.9988
P Value 0.00
F TABEL 2.51