P
EMBENTUKAN
PEMIMPIN BERPARADIGMA GOOD GOVERNANCE MELALUI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Oleh : Kasim A. Usman, S.Ag, M.Pd Widyaiswara BDK Manado Abstrak Krisis multidimensi yang terjadi di Negara kita disebabkan karena berbagai factor diantaranya : (1) Sirnanya Jiwa Ksatria Dari Para Penegak Hukum, (2) Hancurnya Moral Aparatur Negara karena korupsi, (3) Lunturnya Nilai Kejujuran, dan Kebenaran dan (4) Hilangnya Kemampuan Membaca Perubahan Zaman. Untuk itu sangat diperlukan kepemimpinan nasional yang dapat mengatasi permasalahan yang terjadi.Para pemimpin nasional harus memiliki moral dan etika kepemimpinan yang dilandasi sangat diperlukan kepemimpinan nasional yang dapat mengatasi permasalahan yang terjadi. Para pemimpin nasional harus memiliki moral dan etika kepemimpinan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang mampu menyesuaikan dengan segala kemajuan demokrasi Keterpurukan bangsa Indonesia Upaya mempersiapkan sumber daya aparatur yang mampu mewujudkan prinsip-prinsip good governance, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Seperti yang tercantum dalam salah satu konsiderannya, secara substansi peraturan pemerintah ini memang telah diarahkan untuk menghasilkan output (lulusan) dalam rekrutmen pegawai yang mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance. Key Word : Kepemimpinan dan Pendidikan Pelatihan Aparatur
A. Latar Belakang Seorang pemimpin memiliki peranan strategis untuk menentukan jalannya kinerja suatu lembaga atau instansi.Baik buruknya sebuah instansi, banyak ditentukan oleh kualitas pemimpin dengan bentuk kepemimpinan yang dijalankannya.Jika dilihat dari pentingnya peranan seorang pemimpin, maka pemimpin haruslah terus berkembang dalam rangka untuk memenuhi perubahan kebutuhan dan tuntutan-tuntutan baru yang berbeda di masyarakat.
Kepemimpinan pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang. Tidak ada seorangpun yang tidak memiliki potensi untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan tidak harus berkaitan langsung dengan orang lain atau suatu organisasi. Kepemimpinan dimulai dari diri sendiri. Sementara itu tidak ada yang tidak mau untuk memimpin diri sendiri. Sehingga setiap orang akan menjadi pemimpin, minimal untuk dirinya sendiri. Dewasa ini masih banyak pemimpin bangsa yang masih kurang menunjukkan moral dan etika sebagai seorang pemimpin. Kebebasan moral dan etika sesuai perkembangan diasumsikan sebagai kemajuan demokrasi, sehingga tidak keliru apabila dikatakan sebagai kebebasan yang keblabasan dan tidak mencerminkan budaya bangsa Indonesia.Kurangnya kualitas moral dan etika kepemimpinan nasional berdampak terhadap memburuknya kondisi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya bangsa. Karakter kepemimpinan nasional sebagai aparatur pemerintah sepertinya mengalami degradasi, hal tersebut tercermin dengan adanya indikasi kemerosotan tanggung jawab, moral dan etika kepemimpinan, yang pada akhirnya menyebabkan kepemimpinan tidak lagi kompherensif,integrated dan balanced. Harga diri dan rasa malu seperti sirnatatkala melakukan suatu tindakan yang menurut masyarakat banyak itu merupakan kesalahan bahkan merupakan perbuatan yang tabu. Hal yang menjadikan contoh misalnya kita lihat di berbagai media, bahwa masih banyak para pemimpin nasional di seluruh bidang dan tingkatan jabatannya problema yang sama yakni berurusan dengan hukum. Sikap tidak bertanggung jawab tentangapa yang sudah dilakukan dengan berbagai macam alasan pembenaran. Terjadi beberapa kasus KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), khususnya melakukan korupsi dengan tidak pandang bulu demi keuntungan pribadi dan tidak melihat situasi serta kondisi wilayahnya yang kekurangan pangan.Padahal sebelumnya merekatelah mengangkat sumpah dan janji akan memajukan dan meningkatkan kondisi daerahnya sehingga terhindar dari masalah kekurangan pangan pada khususnya. Dengan kondisi bangsa yang belum sepenuhnya pulih dari berbagai krisis multi dimensi sangat diperlukan kepemimpinan nasional yang dapat mengatasi permasalahan yang terjadi. Para pemimpin nasional harus memiliki moral dan etika kepemimpinan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang mampu menyesuaikan dengan segala kemajuan demokrasi sehingga akan mencerminkan kepemimpinan nasional yang dapat mewujudkan cita-cita maupun tujuan nasional yang dilandasi oleh ketaqwaan, kejujuran dan transparansi di segala sektor serta selalu mengedepankan masalah kejujuran dan kebenaran dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Disamping itu seorang pemimpin yang bermoral dan beretika juga harus mampu melakukan kerja sama, saling mengisi dan saling koreksi dalam memecahkan suatu permasalahan bangsa dengan pola sikap dan perilakunya sehingga akan selalu menjadi panutan dan tauladan bagi rakyat / masyarakat. Kepemimpinan yang baik tidak akan membohongi masyarakat dengan mengatas namakan rakyat untuk mencari keuntungan pribadi, kelompok maupun golongannya, akan tetapi seorang pemimpin nasional yang mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau golongannya. Disamping kondisi moral dan etika, perlunya seorang pemimpin nasional yang memiliki kecerdasan intelektual.Pemimpin nasional harus menjadi bagian integral dari kepemimpinan nasional secara keseluruhan yang
selalu berorientasi pada terciptanya interaksi harmonis dengan masyarakat yang bertumpu pada paradigma nasional dan mempunyai kemampuan merespon perubahan zaman. Dengan demikian diperlukan seorang pemimpin nasional yang memiliki kriteria yang sinergis antara kecerdasan intelektual (Intelectual Quotient), kecerdasan emosional (Emotional Quotient) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quantient) yang serasi, selaras dan seimbang dengan harapan dapat menjadi pemimpin nasional yang mampu berpikir secara logis, dinamis dan integratif dengan pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang mencerminkan kepribadian pemimpin bangsa sehingga tercipta para pemimpin yang kuat dengan pengertian bahwa pemimpin yang kuat tersebut tidak otoriter dan berpandangan sempit tetapi harus juga memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi untuk membangun bangsa yang lebih baik. Dengan memperhatikan peran pemimpin yang dapat mengimplementasikan pada pola pikir, pola sikap dan pola tindak kenegarawannya yang senantiasa mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan, dengan dilengkapi sikap moral dan etika dalam menjalankan kepemimpinannya maka kondisi tersebut akan dapat mewujudkan tujuan demi kepentingan negara dan bangsa khususnya dalam hal ini yaitu masalah peningkataan ketahanan pangan nasional. Sinergitas peran kepemimpinan nasional dengan berbagai elemen yang ada dan dijalankan sesuai dengan tujuan bersama dalam meningkatkan kondisi ketahanan pangan yang pada saat ini masih memerlukan perhatian secara berlebih diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat dan rakyat Indonesia dimanapun berada.Paradigma kepemimpinan merupakan sesuatu yang sangat dinamis.Masalahnya selalu hidup dan aktual untuk dikaji dari generasi ke generasi. Pada di era kepemimpinan pasangan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) mencanangkan pola kepemimpinan yang mengarah kepada kepemerintahan yang baik yang dikenal dengan istilah Good Governance.Seluruh anggota .Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) diarahkan kepada tiga agenda utama dalam masa jabatannya.Mereka bertekad mewujudkan Indonesia yang (peace, justice, democracy and prosperity) aman dan damai, adil dan demokrasi, serta mewujudkan kesejahteraan yang melimpah dan merata.Kebijakan yang mulia ini tentu saja membutuhkan landasan moral dan etik kepemimpinan yang baik.Kepemerintahan yang baik (good governance) butuh landasan yang kuat.Mungkin nilai itu berasal dari revitalisasi nilai-nilai yang telah ada atau dari hasil harmonisasi nilai yang telah ada dengan nilai global yang saat ini melanda dunia termasuk Indonesia.Yang terpenting adalah memandang etika dan moral atau akhlaqul karimah sebagai tonggak yang dapat menopang tegaknya Bangsa dan Negara Indonesia. Pepatah Arab yang cukup terkenal di Indonesia mengatakan “Innamal umamu akhlaqu maa baqiat fain humu jahabat akhlaquhum jahabu” Artinya suatu umat akan kuat karena berpegang teguh pada moralitas yang ada, namun apabila moral diabaikan maka tunggulah kehancuran umat tersebut. Untuk itulah kita perlu menyadari bahwa krisis yang melanda Bangsa Indonesia saat ini (krisis keuangan, krisis pangan, krisis minyak, dan krisis lainnya) tidak terlepas dengan kemerosotan moral dan etika kepemimpinan di Negara kita.Kasus penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan di Lembaga Yudikatif telah menghancurkan harapan bangsa Indonesia untuk menegakkan supremasi hukum dan keadilan.Demikian pula kasus penyelewengan dan suap di lembaga legislative telah memusnahkan segala impian rakyat yang telah menunjuk wakilnya
dalam memperjuangkan kesejahteraan bersama.Dan masih banyak lagi fenomena yang menunjukkan bahwa rapuhnya moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi penyebab terbesar dari krisis multidimensi di Indonesia saat ini. Sekarang pertanyaannya adalah apa yang menjadi penyebab moral dan etika itu tidak fungsional. Jawabannya adalah selama ini pembangunan yang digalakkan lebih banyak ditekankan dan terfokus pada upaya mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang maksimal. Sementara aspek moralitas dan etika yang berdasarkan nilai – nilai keagamaan seolah – olah terabaikan oleh penentu kebijakan untuk dimasukkan dalam proses dan implementasi pembangunan. Pembangunan tanpa dilandasi moral dan etika sudah barang tentu akan berdampak munculnya individu dan kelompok yang tidak sehat secara psikologis dan sosial. Munculnya wacana dan perdebatan tentang kepemimpinan tampaknya adalah cerminan dari "kegemasan" publik yang meningkat terhadap realitas kepemimpinan di negeri ini. Kian banyak kalangan yang berpandangan, satu masalah pokok negara atau bangsa ini sejak masa reformasi adalah kepemimpinan. Sementara demokrasi membawa ledakan ekspektasi, tetapi pada saat yang sama kepemimpinan yang silih berganti gagal memenuhi harapan publik. Sejak angin reformasi berhembus di penghujung Tahun 1997, terjadi proses perubahan yang fundamental dalam paradigma administrasi negara. Paradigma pembangunan yang menekankan pemerintah berperan besar, identik KKN, sentralistis dan top down, mulai dialihkan paradigmanya. Sementara itu, paradigma good governance atau kepemerintahan yang baik menekankan pada pentingnya pemerintah berpartner dengan swasta dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintah dan perlunya mewujudkan prinsip-prinsip keterbukaan, pemberantasan KKN, transparansi, akuntabel dan supremasi hukum dalam setiap penyelenggaraan negara, serta upaya perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) serta adanya kebebasan pers yang bertanggung-jawab, terus berproses mencari wujud dan model yang mampu mengakomodir semua aspirasi rakyat secara utuh, prinsip-prinsip tersebut menjadi bagian dari kewajiban penyelenggara Negara. Upaya mempersiapkan sumber daya aparatur yang mampu mewujudkan prinsip-prinsip good governance, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Seperti yang tercantum dalam salah satu konsiderannya, secara substansi peraturan pemerintah ini memang telah diarahkan untuk menghasilkan output(lulusan) dalam rekrutmen pegawai yang mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance. B. Permasalahan Berbagai problematika bermunculan sehubungan dengan pembentukan aparatur negara yang memiliki karakteristik pemimpin yang baik.Publik pada umumnya menilai bahwa hancurnya sendi-sendi kehidupan manusia Indonesia dan hancurnya bangsa Indonesia disebabkan oleh para pelaku ingkup didalamnya aparatur negara yang tidak memiliki karakter sebagai pemimpin yang baik.
Penulis berasumsi bahwa ada beberapa prahara penyebab hancurnya bangsa Indonesia, antara lain: 1. Sirnanya Jiwa Ksatria Dari Para Penegak Hukum. Para penegak hukum bangsa yang tidak memiliki jiwa ksatria akan cenderung pengecut, terkadang bersembunyi dibalik kebohongan, dan semena-mena serta tidak bertanggung jawab. Akibatnya perlindungan kepada rakyat Indonesia yang memerlukan keadilan di lembaga peradilan jadi sirna, bahkan mungkin sebaliknya rakyat yanag mencari keadilan justru menjadi korban.Supermasi hukum yang didengunkan oleh pengambil keputusan laksana mata pisau, tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.sehingga muncul apa yang disebut pengadilan jalanan,sekelompok orang ramai-ramai maling motor lalu dibakar. Itu refleksi dari ketidakpuasan rakyat terhadap sikap hukum selama ini.Dimana rakyat melihat, kalau yang kecil salah hukum cepat-cepat ditegahkan, yang besar (penguasa dan pengusaha) yang melakukan tindak pidana melalukan kesalahan,meraka (penegak hukum) diam pura-pura tidak mengerti, inilah yang melukai rasa keadilan. Prahara ini menuntut reformasi birokrasi harus serius dalam rangka melahirkan ksatria-ksatria bangsa Indonesia yang dapat diandalkan.
2. Hancurnya Moral Aparatur Negara karena korupsi Sejak awal pemerintah telah berupaya memberantas korupsi. Jauh sebelum reformasi birokrasi digelar pemerintah telah berusaha membentas korupsi. Ini terbukti di zaman pemerintahan orde baru pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tertanggal 29 Maret 1971 dan diperbaharui lagi dengan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini mengamanatkan dengan tegas disebut pada pasal: 1a.barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. b.barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara. Dengan sanksi hukum yang disebutkan dalam pasal 28 yakni; hukuman penjara seumur hidup atau penjaraselama-lamanya 20 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 30 (tiga puluh) juta rupiah.
Namun apa dan siapa yang salah?.Pernahkah para koruptor jerah dengan sanksi yang diberlakukan.Hal ini diperparah lagi dengan upaya perlindungan hukum terhadap pelaku dari para pembela dan pengacara yang menganut asas praduga tak bersalah. Para korupsi seolaholah dilindungi, pada hal kalau kita maknai pasal 29 dari undang-undang di atas yang menyebutkan Barang siapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara langsung tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 5 (lima)juta rupiah Memaknai pasal 29 ini sebenarnya diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia termasuk para pembela dan pengara karena mereka juga adalah rakyat inidonesia. Kenyataan berbicara lain, yang dikenakan pasal 29 adalah rakyat saja. Sehingga apa yang terjadi korupsi tambah meraja lelah, korupsi jadi berjamaah dan lain-lain sebagainya. Sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama. Juga tidak gampang mengukur kadarnya sebagai penyakit sistem, penyakit manusia, atau penyakit budaya suatu masyarakat yang berada dalam sistem yang sama. korupsi, seakan-akan merupakan serbuk halus yang tertabur dalam mata rantai, sehingga tidak bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang yang memiliki infrastruktur budaya yang memang mendarah daging secara lebih menyeluruh pada kehidupan masyarakat kita. Jika sudah sampai pada tingkat klimaksseperti itu, kita mungkin hanya mampu berteriak “Wahai para Koruptor…” padahal tidak secara otomatis kita sendiri jugamungkin koruptor. Citra bersih seseorang dalam imajinasipublik, kekhusyukan kita dalam beribadah, status mulia kita dalam kegiatan keagamaan, tidak serta merta mengandung makna bahwa kita berada di luar lingkaran, diluar jaringan sistem korupsi.Maka bagi yang bertugas memberantas korupsi, perlu mengaktifkan terus menerus kewaspadaan diri untuk menjamin bahwa dalam berbagai konteks dan nuansa itu langkahlangkah kita benar-benar bebas dari potensikorupsi. Dalam kondisi yang berbeda tapi dengan logika yang sama di era sekarang pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tantang percepatan pemberantasan korupsi, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dikeluarkannya undang-undang Republik Indonesia nomor 30 tahun 2002tentangkomisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun Badan Hukum ini dengan problematikanya sendiri sulit mempercepat pemberantasan korupsi. 3. Lunturnya NilaiKejujuran, dan Kebenaran. Secara historis Indonesia digambarkan pernah memiliki zaman keemasan.Itupun harus kita akui dan aminkan.Namun fenomena itu diwarnai ketidakjujuran, dan ketidakbenaran dalam penataan tataran kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertarungan nilai-nilai luhur yang selama ini membuat bangsa Indonesia menjadi kuat tampaknya akan semakin berat karena kuatnya pengaruh interfrensi yang menjerumuskan Indonesia ke dalam pengabaian nilai-nilai kejujuran, dan kebenaran.
Kehadiran para pemimpin dengan kehebatan intelektualnya bukanlah jaminan menjadikan dia pemimpin yang menjujung tinggi kejujuran dan kebenaran. Sejarah telah membuktikan selama ini pembentukan SDM kita hanya berorientasi pada pengisian otak, pendidikan dan pelatihan tiap hari, pendidikan keterampilan disana sini, tapi hati sering kosong, agama dangkal, keyakinan rapuk, akhirnya moral rendah. Pantas, yang dipercaya mengurus laut mala jadi bajak laut, yang dipercaya mengurus hutan ramai-ramai jadi orang hutan, yang dipercaya mengurus hukum mala bikin hukum laksana pisau, itu yang melukai rasa keadilan. kita kehilangan jati diri ke-Indonesia-an. Itulah sebabnya pertikaian faham neoliberal versus sosialisme (kerakyatan) akan terus bergema apabila para intelektualtidak mampu menjujung kejujuran dan kebenaran. 4. Hilangnya Kemampuan Membaca Perubahan Zaman. Indonesia tidak dapat hidup hanya dalam keajegan cara pandang di berbagai bidang. Indonesia harus bangun dari tidur panjangnya.Bangsa Indonesia perlu dinamika yang tertata rapi dalam koridor cita-cita bangsa menjadi Indonesia yang sesungguhnya, yaitu bangsa yang baik. Mengapa mengutamakan kebaikan, karena nilai kebaikan yang kuat akan mempererat hubungan antar anggota masyarakat yang pada gilirannya akan memperkuat kerjasama internal untuk mendorong peningkatan ekonomi dan sosial secara nyata. Menjadi baik tidak berarti mudah dibodohi oleh orang-orang jahat yang tidak ingin Indonesia menjadi besar.Kesadaran massal bangsa Indonesia memerlukan dukungan dari manusia-manusia Indonesia unggulan.Dibalik fenomena ini ternyata kita bangsa Indonesia kehilangan kemampuan dalam membaca perubahan yang terjadi disekeliling kita.Perubahan zaman bergerak begitu cepat dari semua sendi kehidupan. Di bidang pendidikan kita sudah tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Keterpurukan kualitas sumber daya manusia terbukti dari angka yang dikemukakan oleh Human Development Index (HDI) yang memaparkan bahwa kualitas mutu pendidikan negara kita berada pada urutan 117 dari 135 negara, berarti kualitas pendidikan di negeri ini jauh di bawah negara-negara Asia seperti Thailand, Malaysia, Philipina, Hongkong dan Korea Selatan. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai usaha dan upaya dalam rangka peningkatan mutu pendidikan yang pada prinsipnya akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Tuntutan SDM yang berkualitas menjadi keharusan dalam tataran dunia global. Karena dengan SDM yang berkualitas akan diperoleh keuntungan tertentu yang bertujuan untuk menangkal serbuan tenaga asing, serta mampu bersaing di pasar bebas. Pada era globalisasi dewasa ini keunggulan suatu bangsa sangat ditentukan oleh keunggulan setiap personal bangsa itu sendiri, dan keunggulan tersebut secara formal harus melalui suatu pendidikan di sekolah. Tatkala kita tidak pandai membaca perubahan yang terjadi maka ini akan menjadi salah satu penyebab hancurnya bangsa Indonesia. 5. MinimnyaPeranan PemimpinYang Spiritual.
Para pemimpin negeri, para anggota dewan, para gubernur, bupati, walikota, camat,hingga lurahatau kepala desa, adalah penguasa kepemimpinan dunia. Namun mereka belum tentu berperan sebagai pemimpin spiritual. Semua golongan agama dan kepercayaan di negeri ini niscaya memahami pentingnya memelihara bumi dengan segala isinya yang akan melahirkan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia dengan sebab-akibat, dunia tanpa batas, dan dunia elementer yang sering digunakan sebagai rujukan melihat masa depan. Karena di negeri ini sangat dominan pengaruh alam khayali (imajinasi), maka seringkali kepercayaan kita kepada para pemimpin spiritual menjadi sangat rendah, bahkan cenderung tidak percayasama sekali. Di era globalisasi sekarang ini kita sangat sulit mengetahui atau menemui pemimpin spiritual yang murni, asli, dan iklhas.
C. Pemecahan Masalah Demi terwujudnya good governance dari aparatur Negara jelas kita harus menguraikan
indikator- indikator satu demi satu, sebagai berikut: 1. Jiwa Ksatria Dari Para Penegak Hukum Untuk menumbuhkan sifat kesatria para penegah hukum agar mereka menjadi pemimpin/ pemerintahan yang baik harus melalui pendidikan dan pelatihan yang memadai sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya pada instansi yang lebih tinggi dan berkompeten.Dari sanalah muncul yang memiliki sifat kesatria yang dilandasi oleh moral dan etika.Dengan etika yang merupakan refleksi dari moral ketaqwaan yang bersumber dari Pancasila. Etika yang berhimpitan dengan “moral ketaqwaan” mampu melahirkan pemimpin yang sadar akan keterbatasan kekuasaannya. Mengakui dan mendukung adanya keterbatasan penggunaan kekuasaan pasti akan mencetak pimpinan yang mampu menghindari penyalahgunaan kewenangan. Pemimpin yang secara sadar menghindari terjadinya pemerintahan otoriteristik dan kekuasaan absolute . Etika yang berlandaskan ketaqwaan akan menghasilkan gaya kepimipinan responsive – akomodatif – yang menyatu dengan gaya kepemimpinan proaktif- ekstraktif sehingga pemimpin menjadi berwibawa dan dipatuhi.Dengan moral dan etika kepemimpinan yang berlandaskan “ketaqwaan “ akan terbentuk komitmen atau rasa tanggung jawab seorang pemimpin untuk mewujudkan tugas pokok dan fungsinya serta peranannya ke dalam perilaku yang mempercepat tercapainya tujuan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean government) dan kepemerintahan yang baik (good governance). . 2. Moral Aparatur Negara karenaKorupsi Upaya menangangi hancurnya moral aparatur negara karena korupsiadalah membangun komitmen. Pertama, penerapan sanksi tanpa pilih kasih terhadap pelaku korupsi.Tindakan itu dilakukan agar membuat si pelaku jerah. Kita sebenarnya bisa
meniru penerapan hukum terhadap pelaku korupsi di Negara lain.Misalnya Negara Arab Saudi dengan sanksi potong tangan dll, atau negara Cina. Pemimpin Cina ketika pertama kali dilantik menjadi penguasa pernah berujar “hari ini saya dilantik menjadi pemimpin kalian, maka saya mohon sediakan 100 (seratus) peti mati, dimana 99 buah peti mati saya hadiakan buat para koruptor, dan 1 buah peti mati untuk saya jika saya korupsi. Ini yang penulis istilahkan membangun komitmen.Mau atau tidak para pemimpin kita berkata seperti itu. Kedua; Substansi pemberantasan korupsi bukanlah pada proses penindakan,tapilebih padaupaya pencegahan. Karena pada prinsipnya penindakan terhadap koruptordilakukan setelah adanya tindakan korupsi.Tapi kalau kita melakukanpencegahan lebih awal itu akan menutup peluang semaksimal mungkin bagi terjadinya korupsi. Budaya antikorupsi tumbuh melalui promosi dan penanaman nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, dan malu berbuat curang.Akarnya bisa dari agama dan tradisi setempat.Jalurnya bisa melalui sekolah, keluarga, ataupun berbagai bentuk kampanye lainnya.Motornya bisa Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, tentu tak akan efektif tanpa keterlibatan seluruh lapisan masyarakat. Upaya yang terakhir pencegahan terjadinya korupsi pada aparatur negara adalah pengembangan budaya antikorupsi dari jalur reformasi birokrasi melalui pendidikan dan pelatihan. 3. Nilai Kejujuran, dan Kebenaran. Bila ingin mendambakan aparatur negara dalam melaksanakan pemerintahan yang baik dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kebenaran, maka upayanya adalah membangun karakter, etika dan moral dari setiap personal.Kita tidak bisa menafikan bahwa kita memerlukan pemimpin yang baik yang memiliki kemapanan intelektual dan performance yang prima, tapi hendak personal yang komplit itu hari diimbangi dengan karakter, etika dan moral yang baik. Sarana yang dapat digunakan untuk membentuk karakter itu tak lain adalah pendidikan dan pelatihan. 4. Kemampuan Membaca Perubahan Zaman Aparatur negara yang baik seharusnya mampu membaca perubahan zaman.Kita hidup dalam persaingan yang tinggi, dan kita selalu tertinggal dari berbagai segi.Salah satunya kita telah tertinggal dari segi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Untuk menunjang pelaksanaan kepemerintahan yang baik dari aparatur negara tentu saja memerlukan sember daya aparatur yang profesional. Profesional dalam arti kata bukan saja mampu melaksanakan tugasnya secara baik berdasarkan norma-norma profesinya, namun mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance seperti akuntabilitas, transparasi, keterbukaan dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku dalam setiap pelaksanaan tugasnya (penegakkan supremasi hukum) dan perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM). Untuk mempersiapkan sumber daya aparatur yang mampu mewujudkan
prinsip-prinsip good governance tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 Tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Seperti yang tercantum dalam salah satu konsiderannya, secara substansi peraturan pemerintah ini memang telah diarahkan untuk menghasilkan lulusan dalam rekrutmen pegawai yang mampu menerapkan prinsip-prinsip good governance. 5. Peranan pemimpin yangspiritual Menambakan pemimpin yang spiritual bukanlah hal yang mudah laksana membalikkan telapa tangan.Ini memelurkan energi yang besar.Negara ini memerlukan pemimpin yang spiritual sehingga mereka mampu memelihara alam dan seluruh isinya dengan baik dan benar.Membentuk karakter seperti itu memang agak sulit.Salah satu sarana yang dapat digunakan adalah pendidikan dan pelatihan.Karena salah satu hakekat dari pendidikan dan pelatihan menyentuh dimensi spiritual. Dari sekian banyak pemecahan masalah kuncinya adalah pendidikan dan Pelatihan (Diklat). Yang mungkin jadi pertanyaan adalah apakah diklat menjadi solusi terakhir dari semua problematika yang dihadapi oleh aparatur negara dalam upaya mewujudkan good governance? Jawabannya adalah “ya” karena pada hakikatnya pendidikan dan pelatihan (Diklat) adalah proses transformasi kualitas sumber daya manusia (SDM) yang menyentuh ernpat dimensi utama yaitu; dimensi spiritual, intelektual, mental, dan phisikal. Melalui Diklat yang menyentuh empat dimensi inilah memungkinkan pegawai negeri sipil (PNS) yang berkedudukan sebagai aparatur negara untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaman tugas negara, pemerintah, dan pembangunan dapat terwujud.Mental banyak terkait dengan kepribadian yang tercermin dari perbuatan / tingkah laku, sikap dan moralitas seseorang."Patterns of behavior based on the absolute value of the good" yaitu: pedoman tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai kebaikan yang mutlak.Segala totalitas tindakan atau perilaku manusia (termasuk pada tatanan kultur dan struktur) dengan kriteria dan tolok ukur kebaikan dan keburukan, sedangkan moral lebih menekankan pada norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya dan tentang apa yang baik dan yang buruk atau tentang apa yang benar dan apa yang salah. Ciri-ciri khas nilai moral adalah a) berkaitan dengan tanggung jawab; b) berkaitan dengan hati nurani; c) bersifat inperatif/perintah; dan d) bersifat formal. D. Penutup Prasyarat penting mewujudkan Kepemimpinan yang kuat dan efektif adalah Moral Kepemimpinan.Moral berkaitan dengan baik atau tidak baiknya suatu tindakan, sikap dan tingkah laku seorang manusia, serta tindakan, sikap dan tingkah laku tersebut dapat diterima oleh semua orang sebagai suatu yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan bersama.Moral Kepemimpinan adalah baik buruknya tindakan, sikap dan tingkah laku manusia yang
menjalankan kepemimpinan.Oleh sebab itu seseorang yang ingin menjadi Pemimpin yang baik dan berhasil harus memiliki Moral Kepemimpinan.Dengan demikian Moral Kepemimpinan juga menjadi salah satu penentu atau prasyarat Kualitas seorang Pemimpin agar berhasil dalam menggerakkan pembangunan di segala bidang kehidupan. Dengan Pendidikan dan Pelatihan maka dihasilkan Kepemimpinan yang memiliki moral yang benar-benar mampu mewujudkan Good Governance agar terwujud Clean Government, yang dapat menggerakkan roda pembangunan yang pada akhirnya tercapai tujuan nasional.Dalam kehidupan bangsa sekarang, yang menjadi permasalahan adalah apa dan bagaimana moral kepemimpinan yang semestinya, agar dapat menjadi landasan utama mewujudkan Good Governance. Referensi : B. Wilfridus. (2010) Inovasi dan Perubahan Organisasi. Jakarta: Universitas Terbuka Kartini.K (2004).Pemimpin Dan Kepemimpinan. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia.Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Suprapti, W., Sri Ratna.(2001). Pengenalan dan Pengukuran Potensi Diri.Bahan Ajar Diklatpim Tingkat IV. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara – RI. Sedarmayanti.(2009). Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, danKepemimpinan Masa Depan. Bandung: Refika Aditama