HAKEKAT BELAJAR KOMPETITIF DALAM KEDIKLATAN
Oleh Rahmat Domu, S.Pd. M.Si Widyaiswara Muda pada BDK Manado
Sebelum penulis memaparkan tentang hakikat belajar kompetitif dalam kediklat, penulis akan memaparkan terlebih dahulu tentang hakikat belajar. Karena pada dasarnya belajar kompetitif dalam kediklatan merupakan bagian dari hakikat belajar itu sendiri. Belajar
merupakan
proses
yang
berlangsung
terus-menerus
sepanjang hidup seseorang, baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Melalui peristiwa atau pengalaman yang telah dilaluinya, manusia memperoleh tingkah laku yang baru sehingga dengan tingkah laku itu manusia dapat mengadakan penyesuaian dengan tuntutan hidupnya. Belajar dalam arti
sempit atau
tradisional, yaitu menambah
dan
mengumpulkan sejumlah ilmu pengetahuan, sedangkan belajar dalam pengertian yang luas meliputi pengamatan, pengenalan, pengertian, perbuatan, ketrampilan, perasaan, minat, motivasi, penghargaan dan sikap dari Pserta Diklat didik. Jadi belajar itu tidak hanya menitik beratkan
kepada bidang intelektual saja, melainkan juga mencakup seluruh pribadi peserta didik tersebut. Nana Sudjana mengemukakan, bahwa “Belajar adalah suatu proses yang diarahkan kepada suatu tujuan, proses memahami, mengamati sesuatu yang dipelajari sehingga terjadi perubahan.6 Belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan proses belajar tersebut dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berupa pengetahuan, pemahaman sikap dan tingkah laku, ketrampilan, kebiasaan serta perubahan aspek-aspek lain yang ada pada individu yang belajar. Sedangkan Winarto Surakmad menyatakan bahwa “Bahwa sebagai proses perubahan tingkah laku yang terjadi dalam situasi belajar dan ditandai dengan adanya motif-motif yang diterapkan serta diterima oleh peserta diklat Belajar dipandang sebagai suatu proses, dimana widyaiswara terutama melihat apa yang terjadi selama peserta
diklat
menjalani
pengalaman-pengalaman belajar. Yang diperhatikan adalah pola-pola perubahan tingkah laku selama pengalaman belajar itu berlangsung. Jadi dengan
belajar
manusia
melakukan
perubahan-perubahan
kualitatif
sehingga tingkah lakunya terus berkembang. Untuk membimbing dan mengarahkan perkembangan tingkah laku yang baru yang sesuai dan
6
Nana Sudjana, Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung : Sinar Baru, 1990, hal .18
2
benar-benar dibutuhkan di dalam hidup ini, manusia harus dibawa ke dalam operasional edukatif. Hal tersebut di atas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Cronbach yang mengatakan bahwa “Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman belajar.8 Belajar dapat juga dipandang sebagai hasil di mana seorang widyaiswara memfokuskan perhatiannya kepada bentuk terakhir dari berbagai pengalaman interaksi belajar. Dari sini timbul klasifikasi hasil yang perlu dimiliki oleh seorang Peserta diklat, seperti hasil dalam bentuk sikap, hasil dalam bentuk ketrampilan dan hasil dalam bentuk-bentuk konsep. Hasil dari kegiatan belajar dapat disebut sebagai prestasi belajar. Jadi belajar itu adalah proses yang dilakukan secara sadar oleh manusia menuju pada perubahan tingkah laku, sikap dan pengetahuan dengan melakukan latihan untuk memperoleh pengalaman. Proses belajar mengajar harus selamanya disesuaikan dengan perbedaan individu yang sedang belajar. Salah satu perbedaan tersebut adalah yang menyangkut masalah model belajar. Model belajar merupakan salah satu dari sifat karakteristik individu yang belajar. Tidak semua peserta diklat belajar dengan cara atau model yang sama. Pada dasarnya peserta diklat belajar tidak secara kelompok, akan tetapi secara individu, menurut model masing-masing. Sekalipun ia berada
8
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan (Jakarta : CV. Rajawali, 1987), hal. 247
3
dalam kelompok, caranya belajar berbeda dari Pserta Diklat yang lain dalam menguasai bahan pelajaran tertentu. Model belajar ini berkaitan erat dengan pribadi seseorang, yang tertentu dipengaruhi oleh pendidikan dan riwayat perkembangannya. Dalam
proses
belajar
mengajar
ciri-ciri
kepribadian
peserta
diklat
dipengaruhi dalam belajar dan hasil belajar. Setiap peserta diklat berbeda secara individu dalam caranya belajar. Setiap peserta diklat
berbeda
secara individu salam caranya belajar. Perbedaan individu ini harus dipertimbangkan dalam strategi mengajar agar setiap peserta diklat dapat berkembang sepenuhnya. Menurut S. Nasution, gaya atau model belajar adalah “Cara yang konsisten yang dilakukan oleh seseorang peserta diklat dalam menangkap stimulasi atau informasi, cara mengingat berpikir dan memecahkan soal”.9 Jadi
model
belajar
adalah
cara
peserta
diklat
berinteraksi
dan
menggunakan perangsang-perangsang yang diterimanya dalam proses belajar. Pada peneliti menemukan adanya berbagai model belajar pada Peserta diklat yang digolongkan menurut kategori-kategori tertentu. Mereka menyimpulkan, bahwa tiap Peserta diklat belajar menurut cara sendiri yang disebut sebagai model belajar dan kesesuaian model mengajar dengan model belajar mempertinggi efektivitas belajar yang pada akhirnya akan memperbaiki prestasi belajar.
9
S. Nasution, Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mengajar, (Jakarta : Bina Aksara, 1987) hal. 94
4
Menurut
Grasha
dan
Riechman
yang
dikutio
oleh
Tresna
Sastrawijaya ada enam model belajar dari model interaksi social yaitu : a) Model belajar bersaing (Competitive) Peserta diklat
yang mempunyai gaya belajar demikian dalam
mempelajari suatu pelajaran selalu ditunjukkan kearah pencapaian prestasi agar lebih baik dari teman sekelas yang lain. Mereka merasa harus berkompetisi dengan peserta diklat
lain untuk mendapatkan
hadiah, misalnya berupa nilai, perhatian dan kejuaraan. b) Model belajar bekerja sama (Collaboration) Peserta diklat yang mempunyai gaya belajar demikian, selalu merasa bahwa akan lebih bisa banyak berhasil dengan baik bila saling tukarmenukar pikiran dengan teman sekelas, dengan widyaiswara untuk bekerja sama dalam belajar. c) Model belajar menyendiri (Avoidance) Peserta
yang memiliki model belajar menyendiri tak tertarik
mempelajari pelajaran di dalam kelas secara tradisional. Mereka tidak suka berpartisipasi aktif dengan teman sekelas maupun widyaiswara. Merek tak tertarik sebagai beban menghadapi hal-hal yang terjadi di dalam kelas. d) Model belajar Partisipasi (Participant) Peserta diklat demikian mempunyai ciri khas yaitu mereka merasa senang mengikuti pelajaran di kelas. Mereka merasa bertanggung jawab dan berpartisipasi aktif untuk mengambil bagian sebanyak5
banyaknya dalam setiap kegiatan yang ada hubungannya dengan tugas-tugas dalam kediklatan. e) Model Belajar menggantungkan diri pada orang lain Model belajar dependen ditandai oleh sifat-sifat peserta diklat yang hanya
sedikit
menunjukkan
semangat
ingin
tahu,
hanya
mau
mempelajari apa yang diperintahkan selalu ingin diberitahukan mengenai apa yang harus dikerjakan serta memandang widyaiswara sebagai satu-satunya sumber dan pendorong belajar. f)
Model belajar mandiri (Independent) Peserta diklat yang mempunyai gaya belajar independen ditandai oleh sifat suka berpikir untuk kemajuan diri sendiri, suka belajar sesuai kecepatan dan kesempatan masing-masing. Mereka suka mempelajari materi yang mereka pandang penting dan mereka mempunyai keyakinan akan kemampuan untuk bisa belajar.10 Dari uraian di atas dapat dilihat, bahwa tidak semua Peserta diklat
belajar dan berpikir dengan cara yang sama. Bila seorang widyaiswara memperlakukan mereka dengan cara yang sama tentu merugikan mereka, sehingga tidak tercapai produktivitas belajar yang tinggi. Menurut berbagai penelitian terdapat ketidaksesuaian antara gaya mengajar widyaiswara dengan model belajar peserta diklat. Jika terdapat berbagai model belajar Peserta diklat, tidak mungkin satu model mengajar akan memadai. Maka
10
Tresna Sastrawijaya, Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi, (Jakarta, : Departemen Pendidikan dan kebudayaan, 1988) hal. 65
6
perlu digunakan berbagai model dan metode mengajar, sehingga dapat dipenuhi sejauh mungkin aneka ragam Peserta diklat. Menurut David A. Welton dan John T. Maltan, model belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: a) Cara Pengajaran, yaitu cara pengajaran dapat mempengaruhi seorang Peserta diklat dalam memahami materi pelajaran yang baru diberikan. Beberapa Peserta diklat mungkin dapat belajar dengan baik ketika mereka mendapat materi baru dengan mendengar langsung atau penyajian secara tertulis. b) Struktur atau Bahan Pelajaran, yaitu cara belajar peserta diklat dapat dilakukan dengan berbagai macam. Ada peserta diklat yang dapat belajar sendiri dan ada yang membutuhkan bantuan orang lain. Beberapa peserta
sering memberikan masukan pada widyaiswara
untuk lebih memperkaya materi pelajaran agar sesuai dengan keadaan. c) Keakraban antara widyaiswara dengan Peserta diklat , yaitu peserta lebih menyukai widyaiswara yang bertindak akrab dan bersahabat sebagai penasehat. d) Keadaan fisik peserta diklat, yaitu dalam menyerap materi pelajaran dan melakukan aktivitas belajar, seorang peserta diklat berbeda dalam ketahanan fisiknya. Ada peserta diklat yang sanggup belajar dalam suasana yang ribut dan ada yang membutuhkan suasana yang tenang.
7
e) Ganjaran atau pujian dan perhatian, yaitu beberapa peserta diklat membutuhkan semacam perhatian dan orang lain atas hasil kerjanya atau membutuhkan sedikit pujian untuk memacu semangatnya. f)
Mengutamakan tujuan, yaitu setiap Peserta diklat selalu menetapkan tujuan tertentu dalam kegiatan belajarnya. Tujuan tersebut dapat bermacam-macam, tergantung pada apa yang ingin diperolehnya. Beberapa peserta diklat
belajar dengan tekun dan rajin untuk
mendapatkan hasil belajar yang bagus dan memuaskan.
11
Sedangkan menurut Warren dan Witkin ada dua cara belajar yaitu : a) Terpusat pada Peserta diklat (Student Centered), yaitu peserta diklat yang mempunyai model belajar demikian lebih berhasil kalau belajar secara individual tak terikat secara ketat oleh ruang dan waktu. b) Terpusat pada widyaiswara (Teacher Centered), yaitu peserta diklat yang mempunyai model belajar demikian lebih berhasil kalau belajar dengan mendapatkan peragaan dan tugas-tugas konkrit, bimbingan literatur.12 Dalam kegiatan belajar, ada peserta diklat dengan
menggunakan
media
pendengar
yang senang belajar
atau
belajar
dengan
menggunakan media visual. Dengan kata lain, ketika mempelajari sesuatu, Peserta diklat yang lebih suka mendapat penjelasan dari widyaiswara, dan
11
David A. welton dan John T. Mallan, dalam Budiati Kartiningsih, “Hubungan antara gaya belajar dengan prestasi belajar siswa SMA di Jakarta”, Skripsi, (Jakarta : FPIPIS, 31 Desember 1995), hal 18 12 Warren dan Witkin, Op. Cit., hal. 13
8
ada pula yang lebih suka mempelajari sendiri, namun ada pula sebaliknya, atau bahkan kedua-duanya. Jadi yang dimaksud dengan gaya belajar dalam penelitian ini adalah pola respon Peserta diklat terhadap stimulus yang datang yang mana pola respon itu dinyatakan dengan bentuk-bentuk reaksi Peserta diklat terhadap materi, bahan, informasi ataupun bentuk-bentuk stimulasi lain yang diterimanya sebagai bahan belajar yang datang dari sumber belajar (widyaiswara, lingkungan belajar, teman, siaran televisi dan film). Menurut Tresna Sastrawijaya, model belajar adalah nilai dan sikap mengenai belajar dimana Peserta diklat mempunyai cara berpikir sendiri serta selera yang berbeda akan penyajian pelajaran.13 Model belajar digolongkan ke dalam beberapa model antara lain : a) Model Kongnitif, dimana model belajar ini menekankan pada ciri-ciri intelegensi yang akan berfungsi membantu belajar Peserta diklat. b) Model Interaksi sosial, dimana model belajar ini menekankan pada beberapa ciri utama interaksi sosial dan bagaimana pengaruhnya terhadap Peserta diklat ang sedang belajar c) Model Preferensi Instruksional, dimana model ini mengungkapkan prioritas pilihan Peserta diklat untuk metode, media, format pelajaran dan hal-hal lain yang menyangkut pelajaran.
13 14
Tresna Sastrawijaya, Op. Cit., hal. 48 Ibid., hal. 47-68
9
14
Yang menjadi perhatian utama dalam penelitian ini adalah gaya belajar model interaksi sosial. Menurut Grasha dan Riechmann yang dikutip Tresna Sastrawijaya, gaya belajar model interaksi sosial terbagi dalam 6 peran, antara lain yaitu : a)Persaingan (Kompetisi); b)kerja sama (kolaborasi); c) ketergantungan (dependen; d) tidak ketergantungan (independent); e) peserta (Partisipation); dan f) Pengelak atau penghindar (Avoidan).15 Model belajar persaingan (kompetitif) inilah yang akan menjadi pokok utama penelitian ini. Persaingan merupakan suatu proses sosial, disamping frustasi, oposisi, konflik, akomodasi, asimulasi dan dominasi.
16
kompetisi atau persaingan adalah bentuk perjuangan sosial damai, yang terjadi apabila dia pihak berlomba untuk mencapai suatu tujuan atau barang yang sama di mana persediaannya terbatas. Memang unsure persaingan
banyak
dimanfaatkan
di
dalam
dunia
industri
atau
perdagangan, tetapi juga sangat baik digunakan meningkatkan kegiatan belajar Peserta diklat. Kita perlu menciptakan suatu model dalam pendidikan guna menemukan cara untuk motivasi Peserta diklat yang lebih beragam sesuai dengan melatih Peserta diklat agar bersaing dalam mencapai prestasi belajar, khususnya, maupun dalam hidup secara umumnya. Persaingan atau kompetisi ini ada dua macam, yaitu : 15
Ibid, hal. 65 Ngadiyo Ay dkk, Teori Relasi, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979), hal. 6 16
10
a) Persaingan atau kompetisi dengan diri sendiri, yaitu : Persaingan dengan
diri sendiri dapat dilakukan
kesempatan
kepada
Peserta
diklat
dengan untuk
cara memberikan
mengenal
kemajuan-
kemajuan yang telah dicapainya pada waktu berikutnya. Cara yang digunakan dapat diberikan kepada Peserta diklat suatu gambaran tentang kemajuan yang dicapainya, misalnya dengan membuat dan memberitahukan grafik kemajuan belajar. Dengan demikian, motivasi untuk menimbulkan persaingan dengan diri sendiri secara keseluruhan dapat mendorong semua Peserta diklat lebih giat belajar. b) Persaingan
atau kompetisi dengan orang lain, yaitu: individu
mempelajari dan membandingkan prestasi yang telah dicapainya dengan prestasi yang telah dicapai oleh orang lain sehingga usaha untuk mencapai tujuan makin kuat. Peserta diklat dilatih untuk terbiasa mencapai suatu standar yang lebih baik dalam memperoleh atau menguasai sesuatu yang ada di lingkungannya. Uraian
tersebut
di
atas
didukung
17
dengan
pendapat
yang
dikemukakan oleh Elida Prayitno, bahwa ada dua macam kompetisi.
Pertama, persaingan dengan prestasi sendiri dan kedua, persaingan dengan
prestasi
orang
lain.18
persaingan
dengan
prestasi
sendiri
mengandung pengertian bahwa individu terus mengetahui prestasi sendiri yang dicapainya, kemudian berusaha untuk meningkatkan prestasi yang 17
A. Tabrani Rusyan dkk, Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar (Bandung, Remadja Karya, 1989, hal. 105 18 Elida Prayitno, Motivasi Dalam Mengejar, (Jakarta: Departemen pendidikan dan Kebudayaan, 1989, hal . 22
11
dicapainya itu, sedangkan dengan orang lain, maksudnya di sini adalah individu mempelajari dan membandingkan prestasi yang telah dicapainya dengan prestasi yang telah dicapai orang lain, sehingga usaha untuk mencapai kemajuan semakin kuat. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Peserta diklat akan mempunyai gaya belajar persaingan jika Peserta diklat tersebut termotivasi untuk bersaing dengan prestasinya sendiri dan dengan orang lain. Menurut Suyoto, kompetisi dan konflik itu berlainan. Konflik mengandung pengertian negatif sedangkan persaingan adalah proses sosial yang mengusahakan pencapaian tujuan dengan jalan melebihi, mengatasi mengungguli kemajuan atau prestasi semua rival atau saingannya.19 Keberhasilan dalam persaingan harus dicapai dengan usaha keras, tanpa ada usaha saling membatasi dan melemahkan rivalnya dengan arah dan perjuangan secara paralel, searah dengan arah orientasi pada tujuan. Berbeda dengan konflik, di dalamnya ada usaha saling membatasi dan melemahkan rivalnya kalau perlu sabotase, serta arah orientasi pada perannya. Dengan demikian, posisi dalam persaingan bersifat lunak dengan keterbatasan-keterbatasan sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Hartono dan Hunt.20 Di dalam kompetisi ini, karena sesuatu yang dituju terbatas, sedang peminatnya banyak, maka mereka harus berlomba dengan usaha 19
Suyoto, Sosiologi pendidikan, (Yogyakarta; IKIP Yogyakarta, 1974, hal. 52 Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, dalam Dina Setianingsih, “Hubungan antara Gaya belajar Kompetitif dengan Hasil belajar Kimia, Skripsi, (Jakarta : FPMIPA, 19 Februari 1992), hal. 13 20
12
keras, bertujuan agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan, sesuai dengan norma-norma tertentu. Kompetisi dapat berjalan secara teratur dan wajar, apabila kedua belah pihak mengakui norma-norma untuk melakukan persaingan secara positif. Tanpa adanya peraturan permainan maka persaingan mudah berkembang menjadi persengketaan atau konflik. Kompetisi juga dapat mempererat solidaritas kelompok apabila terjadi persaingan ke luar atau terhadap kelompok lain. Dengan demikian pihak-pihak yang berkompetisi harus paham benar tentang : a) b) c) d) e) f) g)
Potensi diri sendiri Potensi orang lain Sasaran yang akan dicapai Berkeinginan untuk melebihi orang lain Berusaha keras untuk berlomba Prihatin dalam berusaha Berkesadaran akan norma-norma persaingan.21 Beberapa studi menunjukkan bahwa dengan situasi dan kondisi
persaingan, seorang menjadi terdorong untuk lebih serius berusaha mencapai sukses.22 memang sebenarnya hampir dalam segala segi kehidupan telah dijiwai oleh semangat kompetisi ini, walaupun tidak secara terang-terangan, bahkan Koentjeraningrat berpendapat, bahwa persaingan sangat menentukan laju atau lanarnya pembangunan atau modernisasi.23 Model belajar persaingan ini adalah belajar dengan tujuan mempunyai penampilan lebih baik lainnya. Merasa wajib bersaing untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam meraih prestasi belajar. Mengenai
21
Ibid., hal. 14 Suyoto, Op. cit., hal.56 23 Koentjaranggingrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta : PT. Gramedia, 1981), hal 68 22
13
prestasi kegiatan dari model belajar ini yaitu dapat menjadi pimpinan diskusi atau proyek, mengajukan pertanyaan dan ingin diistimewakan, menunjang metode yang mengutamakan focus berpusat pada widyaiswara, walaupun begitu Pserta Diklat tetap di kelas Peserta diklat yang memiliki model belajar persaingan akan sangat dibantu dengan metode ceramah yang diikuti dengan metode tanya jawab atau metode latihan dengan bantuan buku pelajaran. Widyaiswara juga mengharapkan Peserta diklat untuk menyingkirkan kendala studi dan dapat menaikkan keinginan menemukan sendiri.24
24
Tresna Sastrawijaya, Op. cit., hal. 65-71
14