PERAWAT DALAM PENERAPAN THERAPI PSIKORELIGIUS UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRESS PADA PASIEN HALUSINASI PENDENGARAN DI RAWAT INAP BANGAU RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG 2012 Oleh Mery Fanada,SPd,SKM,M.Kes Widyaiswara Muda Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan
ABSTRAK Terapi psikoreligius atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh pasien. contoh terapi ini adalah terapi shalat dan zikir. Pada tahun 1984 WHO memasukan dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial. Seiring dengan itu terapi-terapi yang dilakukan pun mulai menggunakan dimensi spiritual keagamaan, sebagai bagian dari terapi modalitas khususnya untuk keperawatan jiwa. Berdasarkan penelitian Larson oleh Dadang Hawari meyebutkan bahwa terapi Religius Shalat dan Zikir dalam penurunan tingkat stres pasien Halusinasi di ruang Bangau Rumah Sakit Erladi Bahar Palembang. Penelitian ini bersifat deskriftif dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dengan menggunakan wawancara mendalam, dan observasi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012 di Ruang Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan. Hasil penelitian informan dengan wawancara mendalam dan Observasi menujukan bahwa untuk pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Zikir ini belum berjalan secara optimal. Hal ini dikarnakan masih terdapat kendala-kendala yang ditemukan. Hasil penelitian ini diharapkan bagi perawat ruangan diharapkan mampu mengingatkan kualitas sumber daya manusia dibidang kesehatan jiwa, terutama pemahaman tentang Terapi Religius Shalat dan Zikir dalam hubungannya dengan penurunan tingkat stress pasien Halusinasi Kata kunci : Terapi Psikoreligius Shalat dan Zikir. Halusinasasi Pendengaran,stres ABSTRACT Spiritual or religious therapy is a therapeutic approach to the beliefs held by patients. Examples of this therapy is the therapeutic prayer and remembrance. In 1984 the WHO include the spiritual dimension of religion is as important as the physical, psychological and psychosocial. Along with that, the therapeutic are performed began using religious spiritual spiritual dimension, as part of a therapeutic modality, especially for nursing soul. Based on research by dadang hawari larson mentioned that the religious prayer and remembrance therapy can lower stress levels of psychiatric patients. This study aims to determine the provision of religious therapy prayer and remembrance in decreased stress levels in the patient’s hallucinations paradise Ernaldi Bahar hospital Palembang. This was a descriptive qualitative approach, collecting data by using in depth interview, and observation. The research was conducted in july 2012 in room paradise Hospital Ernaldi Bahar Palembang. The results of informants with in-depth interview and observations showed that for the implementation of prayer and remembrance religious therapy is not running optimally. This is because there are constraints that are found. The results of this study is expected to nurse the room is expected to improve the quality of human resources in the field of mental health, especially an understanding of therapy religious prayer and remembrance in conjunction with a reduction in stress levels of patient hallucinations. Key word : Psikoreligius's therapy Pray and Recitation. Halusinasasi is Hearing,stress
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kesehatan Jiwa adalah bagian internal dari upaya kesehatan yang bertujuan menciptakan p erkembangan jiwa yang sehat secra optimal baik intelektual maupun emosional (Kusumawati & Hartono, 2011 ). Menurut Yosep (2007), Masalah kesehatan jiwa mempunyai lingkup yang sangat luas dan kompleks serta saling berhubungan satu dengan lainnya. Apabila individu tidak mampu mempertahankan keseimbangan atau mempertahankan kondisi mental yang sejahtera, maka individu tersebut akan mengalami gangguan, dan apabila gangguan tersebut secara psikologis maka akan mengakibatkan individu mengalami gangguan jiwa. Dalam masyarakat umum skizofrenia tedapat 0,2 – 0.8 % dan retardasi mental 1 – 3 % WHO melaporkan bahwa 5 – 15 % dari anak anak antara 3 – 15 tahun mengalami gangguan jiwa yang persistent dan mengganggu hubungan sosial. Bila kira – kira 40 % penduduk negara kita ialah anak – anak di bawah 15 tahun (di negara yang sudah berkembang kira – kira 25 %), dapat digambarkan besarnya masalah ( ambil 5 % dari 40% dari katakan saja 120 juta penduduk, maka di negara kita terdapat kira – kira 2.400.000 orang anak yang mengalami gangguan jiwa). Pada skizofrenia terdapat 90 % gejalanya halusinasi, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain (Maramis, 2005). Berdasarkan data yang diambil dari hasil rekapitulasi Rekam medik di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Jiwa Daerah Propinsi Sumatra Selatan pada tahun 2009 jumlah keseluruhan pasien jiwa adalah sebanyak 4313 pasien dan 413 pasien yang mengalami halusinasi. Tahun 2010 jumlah pasien gangguan jiwa 4858 pasien, yang mengalami halusinasi 667. tahun 2011 jumlah pasien jiwa 4885 pasien, yang mengalami halusinasi 752 pasien. Skizofrenia yang mempunyai gejala utama penurunan persepsi sensori yaitu Halusinasi. Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara.(Kusumawati & Hartono, 2011). Bagi mereka yang mengalami Halusinasi juga tidak luput dari masalah stres yang dapat muncul dalam kehidupan nya seharihari. Salah satu jenis stresor yang dapat muncul adalah stresor sosial dimana stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas. Stress merupakan sebagai reaksi fisik, mental, dan kimiawi dari tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan. Membingungkan, membahayakan dan merisaukan seseorang ( Grenberg, 1984 dalam Yosep, 2007). Kondisi untuk menimalisi komplikasi atau dampak dari Halusinasi membutuhkan peran perawat yang optimal dan cermat untuk melakukan pendekatan dan membantu klien untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dengan memberikan penatalaksaan untuk mengatasi Halusinasi. Penatalaksaan yang diberikan antra lain meliputi farmakoligis dan nonfarmakologis. Penatalaksaan farmakologis antara lain dengan memberikan obat-obatan antipsikotik. Adapun penatalaksanaan nonfarmakologis dari halusinasi dapat meliputi pemberian terapi-terapi antara lain terapi modalitas. (Direja, 2011) Terapi Modalitas adalah terapi dalam keperawatan jiwa, dimana perawat mendasarkan potensi yang dimiliki pasien sebagai titik tolak terapi atau penyembuhan. Ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain: terapi individual, terapi lingkungan (milliu therapi), terapi biologis atau terapi somatik, terapi kognitif, terapi keluarga, terapi prilaku, terapi bermain ( Yosep, 2007 ) Pada tahun 1984 WHO memasukan dimensi spiritual keagamaan sama petingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial. Seiring dengan itu terapi-terapi yang dilakukan pun mulai mengunakan dimensi spiritual keagamaan, sebagai bagian dari terapi modalitas. Terapi yang demikian disebut dengan terapi holistik artinya terapi yang melibatkan
fisik, psikologis, psikososial dan spritual.(Yosep, 2007). Salah satu bentuk Terapi Spiritual atau Terapi Religius ini antara lain Terapi Shalat dan Zikir. Dalam Terapi Shalat ini semua gerakan, sikap dan prilaku dalam Shalat dapat melemaskan otot yang kaku, mengendorkan tegangan sistem syaraf, menata dan menkonstruksi persendian tubuh, sehingga mampu mengurangi dampak positif terhadap kesehatan kesehatan syaraf dan tubuh jika zikir yang dilafalkan sacara baik dan benar sesuai aturan dalam ilmu tajwid dan dipahami artis dan dihayati maknanya disertai dengan kesungguhan (Wibisono, 1985 dalam Yosep, 2007 ). Terapi religius pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata membawa manfaat. Angka rawat inap pada klien gangguan jiwa skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaa lebih rendah bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mengetahuinya. (Chu dan Klein, 1985 dalam Yosep, 2007) Dari fenomena diatas peneliti tertarik untuk mengkaji dan membuktikan secara ilmiah tentang bagaimana penerapan therapi psikoreligius dalam menurunkan tingkat stress pasien halusinasi oleh perawat di ruang Bangau di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. 1.2.
Rumusan Masalah Melihat fenomena latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah belum diketahuinya penerapan therapi psikoreligius terhadap penurunan tingkat stres pasien Halusinasi oleh perawat di ruang Bangau di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. 1.3. Pertanyaan Penelitian Dari permasalahan tersebut diatas maka timbul suatu pertanyaan penelitian yaitu ʻʼ Bagaimana penerapan therapi psikoreligius dalam penurunan tingkat stres oleh perawat pasien halusinasi oleh perawat di ruang Bangau? 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Untuk mendapatkan informasi yang mendalam tetang bagaimana penerapan therapi psikoreligius terhadap penurunan tingkat stres pasien halusinasi oleh perawat di Ruang Bangau di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang tahun 2012. 1.4.2 Tujuan khusus
1.
2. 3.
4.
Untuk mendapatkan informasi mendalam mengenai penerapan Terapi Shalat. Untuk mendapatkan informasi mendalam penerapan Terapi Zikir Untuk mendapatkan informasi mendalam tentang tingkat stres pasien Halusinasi setelah mengikuti Terapi Shalat Untuk mendapatkan informasi mendalam tentang tingkat stres pasien Halusinasi setelah mengikuti Terapi Zikir
2. Tinjauan Pustaka 2.1. 2.1.1.
Konsep Dasar kesehatan Jiwa Definisi kesehatan Jiwa Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966, tentang Kesehatan jiwa, kesehatan jiwa adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan orang lain. (kusumawati, 2011), sedangkan menurut who kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Direja, (2011) Seseorang yang “sehat jiwa” mempunyai ciriciri sebagai berikut: 1. Merasa senang terhadap dirinya serta 1. Mampu menghadapi situasi. 2. Mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup. 3. Puas dengan kehidupannya sehari-hari. 4. Mempunyai harga diri yang wajar. 5. Menilai dirinya secara realistis, tidak berlebihan dan tidak pula merendahkan. 2. Merasa nyaman berhubungan dengan orang lain serta 1. Mampu mencintai orang lain 2. Mempunyai hubungan pribadi yang tetap 3. Dapat menghargai pendapat orang lain yang berbeda
4. 5.
Merasa bagian dari suatu kelompok Tidak "mengakali" orang lain dan juga tidak membiarkan orang lain "mengakali" dirinya 3. Mampu memenuhi tuntutan hidup serta 1. Menetapkan tujuan hidup yang realistis 2. Mampu mengambil keputusan 3. Mampu menerima tanggung jawab 4. Mampu merancang masa depan 5. Dapat menerima ide dan pengalaman baru 6. Puas dengan pekerjaannya 2.1.2 Perawat Pasien dengan gangguan jiwa perlu bantuan tenaga kesehatan yang khusus yang dapat mengatasi masalah kesehatan jiwanya. Tenaga kesehatan tersebut adalah seorang perawat. 2.1.2.1. Definisi Perawat Perawat adalah seseorang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang dinegara bersangkutan untuk memberikan pelayanan, dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien. (Internasional Council of Nursing, 1965) Menurut Undang-undang RI. No.23 tahun 1992 menyatakan bahwa perawat adalah seseorang yang memiliki kemampuan serta ketrampilan dan mempunyai kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, yang diperoleh melalui pendidikan perawatan.
2.1.2.2 Peran Perawat Peran Perawat menurut CHS (Consorsium Hight Science) 1989 (dalam Nurhasanah, 2010) adalah tingkah laku yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang lain dalam suatu sistem, antara lain: 1. Pemberi asuhan keperawatan. 2. Pembela pasien. 3. Pendidik tenaga perawat dan masyarakat.
4.
Koordinator dalam pelayanan pasien. 5. Kolaborator dalam membina kerja sama dengan profesi lain dan sejawat. 6. Konsultan atau penasehat pada tenaga kerja dan pasien. 7. Pembaharu sistem, metodologi, dan sikap. Peran perawat menurut Lokakarya Nasional tahun 1983 adalah: 1. Pelaksana pelayanan keperawatan. 2. Pengelola pelayanan keperawatan dan institusi Pendidikan. 3. Pendidik dalam keperawatan. 4. Peneliti dan pengembang keperawatan. 2.1.2.3 Fungsi Perawat Fungsi adalah pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan peranannya. Tujuh fungsi perawat menurut Phaneuf (1972) antara lain: 1. Melaksanakan instruksi dokter (fungsi dependen). 2. Observasi gejala dan respons pasien yang berhubungan dengan penyakit dan penyebabnya. 3. Memantau pasien, menyusun, dan memperbaiki rencana keperawatan secara terus-menerus berdasarkan pada kondisi dan kemampuan pasien. 4. Mencatat dan melaporkan keadaan pasien. 5. Melaksanakan prosedur dan teknik keperawatan. 6. Supervisi semua pihak yang ikut terlibat dalam perawatan pasien. 7. Memberikan pengarahan dan penyuluhan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental. (Nurhasanah, 2010). 2.2 Konsep Dasar Halusinasi 2.2.1 Definisi Halusinasi Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya rangsangan dari luar. Walaupun tampak sesuatu yang “khayal”, halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari
kehidupan mental penderita yang “ terepsesi”. Halusinasi dapat terjadi karena dasar-dasar organic fungsional, psikotik maupun histerik.( Yosep, 2007) Halusinasi adalah sensasi panca indra tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat, mendengar, membau dan ada rasa kecap meskipun tidak ada suatu rangsang yang tertuju pada kelima indra tersebut ( Damaiyanti, 2008 ) Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal ( pikiran ) dan rangsangan eksternal (dunia luar).Klien memberikan persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati dan Hartono 2011). 2.2.2 Penyebab Halusinasi Menurut Yosep (2007) penyebab halusinasi ada faktor predisposisi dan faktor presipitasi : a. Faktor predisposisi a. Genetik b. Neurobiology c. Neurotransmitter d. Abnormal perkembangan saraf e. Psikologis b. Faktor presipitasi a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal c. Adanya gejala pemicu. 2.2.5. Tahapan Halusinasi Menurut Direja (2011) Halusinasi melalui empat fase, yaitu sebagai berikut : 1.Fase 1 (Non-psikotik) Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkst orientasi sedang. secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi klien a. Karakteristik : Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan,Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan, Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam control kesadarn
b. Perilaku yang muncul : Tersenyum atau tertawa sendiri, Menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, Respons verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi 2. Fase II (Non-psikotik) Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan berat. secara umum halusinasi yang ada dapat menyebabkan antipasti. a. Karakteristik : Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh pengalam tersebut, Mulai merasa kehilangan control, Menarik diri dari orang lain b. Perilaku yang muncul : Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah, Perhatian terhadap lingkungan menurun, konsentrasi terhadap pengalaman sensori pun menurun, Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita. 3. Fase III (Psikotik) Klien biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan halusinasi tidak dapat ditolak lagi a. Karakteristik : Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya, Isi halusinasi menjadi atraktif, Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir b. Perilaku yang muncul : Klien menuruti perintah halusinasi, Sulit berhubungan dengan orang lain, Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat, Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata, Klien tampak tremor dan berkeringat a. Fase IV ( Psikotik ) Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panik Prilaku yang muncul : Resiko tinggi mencederai, Agitasi / kataton, Tidak mampu merespons rangsangan yang ada. 2.2.6. Data penting yang perlu didapat saat pengkajian 1. Jenis Halusinasi Berikut adalah jenis-jenis halusinasi, data objektif dan data subjetifnya.data objektif dapat dikaji dengan cara mengobservasi perilaku pasien, sedangkan data subjektif dapat dikaji dengan melakukan cara wawancara dengan pasien
2.
Isi Halusinasi Data tentang isi halusinasi dapat diketahui dari hasil pengkajian tentang jenis halusinasi 3. Waktu, Frekuensi, dan situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi. Perawat perlu juga perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya halusinasi yang dialami pasien.hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinas. sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi. (Damaiyanti, 2011) 2.2.7 Tindakan keperawatan pasien dengan halusinasi Ada 5 tindakan keperawatan pasien dengan halusinasi menurut Damaiyanti, (2011) 1. Membina hubungan saling percaya perawat-klien a.Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal b. Perkenalkan diri dengan sopan c. Tanyakan nama lengkap klien dengan nama panggilan yang disukai klien. d. Jelaskan tujuan pertemuan e. Jujur dan menepati janji 2. Klien dapat mengenali halusinasi a. Adakan kontak yang sering dan singkat secara lengkap b. Bantu klien mengenal halusinasinya c. Jika menemukan klien yang sedang halusinasi, tanyakan apakah ada suara yang didengar d. Jika klien menjawab ada, lanjutkan apa yang dikatakan e. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, namun perawat swndiri tidak mendengharny (
3.
4.
5.
dengan anda bersahabat tanpa menuduh / menghakimi ) f. Katakan bahwa klien lain juga ada seperti klien g. Katakan bahwa perawat akan membantu klien Klien dapat mengontrol halusinasinya a. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi ( Tidur, marah, menyibukan diri, dan lain-lain) b. Diskusikan manfaat cara yang dilakukan klien, jika bermanfaat beri pujian c. Diskusikan cara baru untuk memutus / mengontrol timbulnya halusinasi d. Bantu klien memilih dan melatih cara memutuskan halusinasi secara bertahap e. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang telah dilatih. Evaluasi hasil dan beri pujian jika berhasil f. Anjurkan klien mengikuti terapi aktivitas kelompok orientasi realita,stimulus persepsi. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi. a. Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga keluarga jika mengalami halusinasi b. Diskusikan dengan keluarga, gejala halusinasi yang dialami klien, cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutuskan halusinasi, caramerawat anggota yang halusinasi dirumah beri kegiatan jangan biarkan sendiri. Klien memanfaatkan obat dengan baik a. Diskusikan dngan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi, dan manfaat obat
b. Anjurkan klien minta sendiri obat pada perawat dan merasakan manfaatnya c. Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek samping obat yang dirasakan d. Diskusikan akibat berhenti obatobatan tanpa konsultasi. a. Perasaan negativistik b. Kemampuan berkonsentrasi menurun tajam c. Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti mengapa. 5. Stress Tingkat V Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahapan IV diatas yaitu : a. Keletihan yang mendalam b. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu c. Gangguan sistem pencernaan lebih sering, sukar buang air besar, atau sebaliknya feses cair dan sering kebelakang d. Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panik 6. Stress Tingkat VI Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupak keadaan gawat darurat. Tidak jarang penderita dalam tahapan ini dibawa ke ICCU . gejala-gejala pada tahapan ini cukup mengerikan diantaranya : a. Debar jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan zat adrenalin yang dikeluarkan, karena stress tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah. b. Nafas sesak, megap-megap c. Badan gemetar, badan dingin keringat bercucuran d. Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan atau collaps. Bilamana diperhatikan maka tahapan stress diatas menunjukan manifestasi dibidang pisik dan psikis. Dibidang fisik berupa kelelahan, sedangkan dibidang psikis berupa kecemasan dan depresi. Hal ini dikarenakan penyediaan energi fisik maupun mental yang mengalami defisit terus menerus. Sering buang air kecil dan sukar tidur merupakan pertanda dari depresi.
2.3.3. Cara Mengelola Stress Sebenarnya stress akan lebih mudah dimanage jika lebih awal menyadari gejalagejalanya. Beberapa tipe praktis berikut dapat dilakukan saat stress melanda. a. Saat ketegangan melanda jiwa, mandilah dengan air hangat agar syaraf-syaraf berelaksasi. b. Perbanyaklah zikir, sebab dengan berzikir kita mengingat allah, dan hanya dengan mengingat allah-lah hati menjadi tenang. c. Bacalah al-quran dan renungkanlah maknanya, inshaalah hati akan lekas terobati, sebab al-quran adalah obat hati yang mujarab d. Perbanyaklah doa kepada allah. Amalkanlah doa penghilang stress dengan keyakinan penuh bahwa allah akan menghilangkan stress. e. Berolahragalah. Selain secara fisik menyehatkan, olahraga dapat me refresh jiwa saat bertemu dengan orang lain diluar rutinitas hidup. Dengan kata lain olahraga dapat menjadi srana untuk memenuhi kebutuhan psikologis sebagai mahluk sosial. f. Kurangilah mengkonsumsi kafein, karena zat ini dapat meningkatkan intensitas tekanan darah dan dapat menimbulkan kegelisahan. g. Istirahat yang cukup pada malam hari, sesuaikan dengan kebutuhan tidur. h. Lakukanlah refreshing, meskipun hanya sekedar jalan-jalan cara ini efektif untuk mengurangi kejenuhan, i. Bercandalah dan bercengkramalah dengan orang-orang tercinta. 2.4 Terapi Modalitas 2.4.1 Definisi Terapi Modalitas Terapi modalitas adalah terapi utama dalam keperawatan jiwa. Terapi ini diberikan dalam upaya mengubah perilaku pasien dan perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif. (Kusumawati dan Hartono, 2011). Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan untuk memperbaiki dan mempertahankan sikap klien agar mampu bertahap dan bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat sekitar dengan harapan klien dapat terus bekerja dan tetap
berhubungan dengan keluarga, teman, dan sistem pendukung yang ada ketika menjalani terapi. (Nasir et.all, 2011) Menurut Direja, (2011) terapi modalitas bertujuan agar pola perilaku atau keperibadian seperti keterampilan koping, gaya komunikasi dan tingkat harga diri secara bertahap dapat berkembang. Mengingat bahwa klien dengan gangguan jiwa membutuhkan pengawasan yang ketat dan lingkungan suffortif yang aman. Beberapa terapi keperawatan didasarkan ilmu dan seni keperawatan jiwa. 2.4.2 Jenis Jenis Terapi Modalitas Ada beberapa jenis terapi modalitas,menurut Dahlia, (2009) antara lain: a. Terapi individual Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan klien untuk mengubah perilaku klien. b. Terapi Lingkungan Terapi lingkungan adalah bentuk terapi yaitu menata lingkungan agar terjadi perubahan perilaku pada klien dari perilaku maladaptive menjadi perilaku adaptif. Perawat menggunakan semua lingkungan rumah sakit dalam arti terapeutik. Bentuknya adalah memberi kesempatan klien untuk tumbuh dan berubah perilaku dengan memfokuskan pada nilai terapeutik dalam aktivitas dan interaksi. c. Terapi Biologis Penerapan terapi biologis atau terapi somatik didasarkan pada model medical di mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda dengan model konsep yang lain yang memandang bahwa gangguan jiwa murni adalah gangguan pada jiwa semata, tidak mempertimbangkan adanya kelaianan patofisiologis. Tekanan model medical adalah pengkajian
spesifik dan pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik. d. Terapi Kognitif Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan adalah membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan keyakinan tersebut. Fokus auhan adalah membantu klien untuk reevaluasi ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan menyusun perubahan kognitif e. Terapi Keluarga Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi f. Terapi kelompok Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku maladaptive g. Terapi perilaku Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa perilaku timbul akibat proses
pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat. Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah: Role model, Kondisioning operan, Sensitisasi sistematis, Pengendalian diri, Terapi aversi atau releks kondisi h. Terapi bermain Terapi bermain diterapkan karena ada anggapan dasar bahwa anak-anak akan dapat berkomunikasi dengan baik melalui permainan dari pada dengan ekspresi verbal. Dengan bermain perawat dapat mengkaji tingkat perkembangan, status emosional anak, hipotesa diagnostiknya, serta melakukan intervensi untuk mengatasi masalah anak tersebut i. Terapi psikoreligius/spritual terapi psikoreligius/ spritual adalah terapi yang biasanya melalui pendekatan keagamaan. 2.4.3 Terapi Psikoreligius Menurut Wicaksana, (2012) Untuk terapi spiritual gangguan mental bisa dibagi dua golongan besar saja, yaitu nonpsikotik dan psikotik. Untuk non psikotik banyak jenisnya, seperti gangguan cemas, gangguan somatoform, depresi, gangguan kepribadian, dll. Sedangkan gangguan psikotik adalah : Skizofrenia (5 tipe), Gangguan Afektif Berat dengan gejala psikotik ( Bipolar manik dan Depresi Berat), Skizoafektif, Psikosis Polimorfik Akut, Gangguan Waham Menetap, Psikosis Non Organik lainnya dan Gangguan Psikotik Organik. a. Ciri gangguan psikotik Ego yang collaps atau disfungsi, penalaran runtuh, adanya waham (pikiran terdistorsi), halusinasi (pendengaran, visual, penciuman, tactil) , gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), tingkah laku kacau atau katatonik, gangguan daya nilai realitas, da tidak adanya kesesuaian antara pikiran dengan perasaan dan tindakan. Karena hal itu semua maka pada psikotik, penderita tidak mampu mengarahkan kemauannya secara sadar, tidak mempunyai
tilikan diri, dan tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pemberian terapi spiritual akan diinterpretasikan secara salah karena gejala-gejala itu semua berpengaruh kuat pada proses pikirnya. Misalnya, akan timbul rasa bersalah atau berdosa dan tidak berguna, yang berlanjut ke usaha bunuh diri. Atau munculnya kembali waham paranoid karena merasa mau ”dijejali” ide-ide agama oleh musuh-musuhnya secara terencana b. Kriteria terapi psikoreligius pada pasien jiwa 1. Bila dengan pengobatan antipsikotik selama 2-4 mg, gejala-gejala waham, halusinasi, inkoherensi dan tingkah laku kacau (gaduh gelisah) sudah mereda. 2. Ego dan penalaran sudah mulai berfungsi kembali sehingga interpretasi terhadap ide-ide sudah tepat. 3. Status mental tidak rentan/rapuh atau emosi sudah stabil 4. Bila perlu dengan skor Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) yang sudah minimal. Variasi pasien psikotik yang siap menerima terapi spiritual, sepeerti: skizofrenia tak terinci (F20.3) yang sudah membaik, sudah lebih 6 bulan tidak ditengok atau diambil keluarganya, pasien masuk dengan gejala samar skizofrenia residual, pasif apatis, keluarga hanya tidak mau merawatnya di rumah dengan alasan apapun, pasien psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda, tapi masih impulsif dan cenderung lari pulang, pasien depresi berat dengan gejala psikotik yang waham dan halusinasinya sudah reda meski harus hati-hati karena terapi spiritual bisa menyulut waham bersalah dan berdosanya, psikosis polimorf akut (E23.0) yang dalam 3-5 hari sudah reda gaduh gelisah dan halusinasinya, tapi keluarga belum berani mengambil. Wicaksana, (2012) Pada konfrensi yang diadakan di canbera pada tahun 1980, dengan tema Role Of Religion In The Prevetion Of Drug Addiction. Pada kelompok-kelompok yang terkena narkotik,alkohol, dan zat adiktif (NAZA) itu sejak dini komitmen agama nya lemah. Hal ini dibandingkan penelitian dengan orang kuat
komitmen agamanya. Kesimpulannya remajaremaja yang sejak dini komitmen agama nya lemah memiliki resiko terkena (NAZA) empat kali lebih besar dibandingkan anak-anak remaja yang sejak dini komitmen agamanya kuat. Inilah salah satu contoh peranan agama karna agama itu membawa ketenangan. Contoh tentang peranan peranan agama yang lain adalah di sejumlah rumah sakit jiwa ada uji perbandingan terapi yang di terapkan kepada para penderita penyakit jiwa skizofrenia, yakni antara cara konvensional (dengan obat dan sebagainya) dan dengan cara pendekatan keagamaan, hasilnya hasilnya kelompok skizofrenia yang terapinya ditambah degngan keagamaan waktu perawatannya lebih pendek dan gejala-gejala nya lebih cepat hilang. Salah satu bentuk Terapi Spiritual atau Terapi Religius ini antara lain Terapi Shalat dan Zikir. Dalam Terapi Shalat ini semua gerakan, sikap dan prilaku dalam Shalat dapat melemaskan otot yang kaku, mengendorkan tegangan system syaraf, menata dan menkonstruksi persendian tubuh, sehingga mampu mengurangi dampak positif terhadap kesehatan kesehatan syaraf dan tubuh jika zikir yang dilafalkan sacara baik dan benar sesuai aturan dalam ilmu tajwid dan dipahami artis dan dihayati maknanya disertai dengan kesungguhan (Wibisono, 1985 dalam Yosep, 2007 ). 2.4.3.1 Terapi Shalat Dan Dzikir Pada Kesehatan Jiwa a. Shalat Shalat merupakan ibadah utama dalam islam bahkan dalam rukun islam nabi Muhammad menyebutkan sebagai yang kedua setelah kalimat syahadat (syahadatain). Nabi Muhammad pernah berwasiat, islam dibangun dengan lima pilar, bersaksi tiada tuhan selain allah dan Muhammad adalah utusan allah, menegakan Shalat, membayar zakat, berhaji ke ka’bah dan berpuasa dibulan ramadhan “ (Hr.Bukhari dan Muslim). Shalat juga mengandung dimensi spiritual,. kita dapat hidup hanya dengan jasad, tetapi tanpa ruh, niscaya kurang sempurna. Setelah memenuhi syarat dan rukun sholat maka telah sah Shalat kita. Namun, jika Shalat didirikan tanpa menghayati makna bacaan dan gerakan dengan khusyuk niscaya kita belum mendapatkan hakikat shoalat itu sendiri. Betapa
pentingnya kekhusyukan sholat sehingga allah berfirman ” dan memohonlah pertolongan (kepada allah) dengan sabar dan Shalat, dan sesungguhnya Shalat itu sangat berat kecuali bagi mereka yang khusyuk (Qs.Al-Baqarah) Menurut M. Thobroni, (2011) melakukan Shalat lima waktu sehari dapat dipandang sebagai bentuk praktis dari olahraga. Keseluruhan gerakan dalam sholat bersifat tenang, berulang-ulang, dan melibatkan semua otot persendian sehingga dapat menjaga keseimbangan energi. Hal tersebut disebabkan oleh pembakaran kalori dengan teratur. Menurut M. Thobroni, (2011) Gerakan shalat mempunyai manfaat bagi kesehatan jiwa adalah sebagai berikut : 1. Ketika takhbiratul ikhram, Kita berdiri tegak mengangkat kedua tangan sejajar telinga lalu melipatnya depan perut dan dada bagian bawah. Gerakan ini melancarkan aliran darah, getah bening dan kekuatan otot lengan. Posisi jantung dibawah otak, memungkinkan darah mengalir lancar keseluruh tubuh, Kala kita bediri tubuh akan terasa ringan karena berat tubuh tertumpu pada kedua kaki, sedangkan otot-otot punggung sebelah atas dan bawah dalam keadaan kendur. Punggung dalam keadaan lurus dengan pandangan terpusat pada tempat sujud. Pikiran berada dalam keadaan terkendali. Pusat otak, atas dan bawah, menyatu membentuk kesatuan tujuan. 2. Rukuk Rukuk merupakan satu metode untuk menguatkan otot-otot pada persendian kaki yang dapat meringankan tegangan pada lutut. Saat rukuk, seseorang meregangkan otot punggung sebelah bawah, otot paha, dan otot betis secara penuh. Tekanan akan terjadi pada otot lambung, perut dan ginjal sehingga darah akan terpompa ke atas tubuh. Secara spiritual, Rukuk dapat membentuk seseorang untuk tidak hidup dalam kesombongan, merendahkan dan menundukkan diri, dan senatiasa berusaha dalam memperluas hati dan memperbarui Kekhusyukan sholat, merasakan dirinya hina dan merasakan kemuliaan allah. 3. i’tidal I’tidal adalah variasi postur setelah rukuk dan sebelum sujud. Kala kita melakukan gerakan berdiri bungkuk lalu berdiri sujud
merupakan latihan pencernaan yang baik. Dengan melakukan gerakan itu organ pencernaan didalam perut mengalami pemijatan dan pelonggaran secara bergantian. Hal ini memberikan dampak tertentu, yakni pencernaan menjadi lebih lancar. Postur tubuh kembali tegak sehingga memberika tekanan pada aliran darah untuk bergerak keatas. Hal ini dapat membuat tubuh mengalami relaksasi dan melepaskan ketegangan. Hal serupa juga terjadi ketika berdiri setelah sujud. Dengan relaksasi dari ketegangan, dapat menyehatkan dan menenangkan fikiran dari segala beban persoalan, tetapi juga memiliki kesempatan untuk merumuskan jalan keluar, serta merancang rencana-rencana masa depan yang lebih matang. 4. Sujud Gerakan sujud diyakini dapat membawa kedamaian, keselarasan, kesesuaian, ketenangan dan kebahagiaan. Ketika seseorang melakukan sujud, badan dari belakang rata kedepan, kedua telapak tangan ditempelkan pada lantai/tanah, dan kaki ditekuk, Nabi saw pernah bersabda, “jangan kau usap kerikil yang menempel dimukamu karena hal itu menjadi mutiara disurga kelak” Wasiat tersebut memberi makna bahwa betapa secara kesehatan, wajah (muka) yang terkena kerikil dalam keadaan sujud dapat menjadi sumber pijat refleksi yang berufungsi melancarkan peredaran darah dan mengendurkan saraf-saraf dibagian wajah. Jika saraf-saraf muka kendur dan peredaran darahnya akan menjadi lancar, Dengan demikian, saat sujud diyakini bukan saja menetralisisr potensi pusing dan beban pikiran, tetapi juga dengan peredaran darah yang lancar dapat menyebabkan pikiran menjadi cerah dan cerdas. Dengan asupan darah yang cukup, otak menjadi lebih bergairah untuk mencerna berbagai persoalaan dan dapat bekerja secara baik. 5. Duduk iftirosy Duduk iftirosy (tahiyat awal) dan tawaruk (tahiyat akhir) juga dipandang menjadi proses pada pangkal paha yang terhubung dengan saraf. Ketika duduk, biasanya kita menekukkan jari-jari kaki kanan. Gerakan ini dapat menjadi pijat refleksi terhadap saraf-saraf kaki dan memperlancar peredaran darah hingga ke saraf kepala. Dengan duduk tahiyat, tubuh akan mengalami relaksasi dan merangsang otot-
otot pangkal paha sehingga dapat mengurangi rasa nyeri dan sakit pada pangkal paha. Ketika kita mengalami relaksasi, semua aliran peredaran darah lancar dan jiwa kita menjadi tenang. Kita diharapakan dapat berfikir dengan jernih dalam menghadapi situasi apapun. Kita tidak mulah tertekan, tegang, dan panik meskipun didera beragam persoalan 6. Salam Gerakan diatas semakin lengkap jika diahiri dengan salam, yakni dengan cara memutar kepala kekanan dan kekiri. memutar kepala kekanan dan kekiri diyakini menjadi proses relaksasi mujarab untuk semakin meregangkan ketegangan otot sekitar leher sehingga aliran peredaran darah menjadi lancar. Denga cara itu kepala menjadi tersa lebih ringan,fresh, dan mudah mencerna apa yang sedang difikirkan. Kita dapat menjadi lebih fokus terhadap apa yang menjadi bahan pemikiran kita, menjadi lebih hening, dan jernih dalam memandang setiap persoalan. Ada ketenangan dan keheningan yang ditanamkan dalam gerakan tersebut. M. Thobroni, (2011) b. Dzikir Dzikir dan bacaan dalam shalat membuat hati seseorang menjadi tenang. Keadaan tenang dan rileks mempengaruhi kerja sistem syaraf dan endokrin. Pada orang yang stress dan tegang, corteks adrenal akan terangsang untuk mensekresi cortisol secara berlebihan sehingga terjadi peningkatan metabolisme tubuh secara mendadak, apabila hal ini berlangsung lama maka akan menurunkan sistem immunitas tubuh. Dengan bacaan do’a dan berdzikir orang akan menyerahkan segala permasalahan kepada allah, sehingga beban stress yang di himpitnya mengalami penurunan. Yosep, (2007) 2.4.3.2 Manfaat Terapi Psikoreligius Pada Klien Jiwa Manfaat komitmen agama tidak hanya dalam penyakit fisik, tetapi juga dibidang kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang luas telah dilakukan terhadap penduduk. Untuk mengetahui sejauh mana penduduk menderita psychological distress. Dari studi tersebut diproleh kesimpulan bahwa makin religius maka maakin terhindar kalian dari stress Linaen (1970) dalam Yosep, (2007). Kemudian dikemukakan lebih mendalam komitmen agama
seorang telah menujukan taraf kesehatan jiwanya. Terapi keagamaan (intervensi religi) pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaan lebih rendah bila dibandingkan dengan merka yang tidak mengikutinya, (Chu dan Klien, 1985 dalam Yosep, 2007). Kegiatan keagamaan/ibadah/shalat, menurunkan gejala psikiatrik, Riset yaang lain menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke tempat ibadah, meningkatkan jumlah bunuh diri di USA ,Kesimpulan dari berbagai riset bahwa religiusitas mampuh mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan. (Mahoney et.all, 1985 dalam Yosep, 2007). Menurut Darajat, (1983) dalam Yosep, (2007) , perasaan berdosa merupakan faktor – faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini di akibatkan karena seseorang merasa dosa yang tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut kemudian menghukum dirinya. Bentuk psikosomatik tersebut dapat berupa matanya menjadi tidak dapat melihat, lidahnya menjadi bisu, atau menjadi lumpuh. Kekosongan spritual ,kerohanian, dan rasa keagamaan yang sering menimbulkan permasalahan masalah psikososial dibidang kesehatan jiwa para pakar berpendapat bahwa untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam keadaan sehat maupun sakit, pendekatannya tidak lagi memandang manusia sebagai mahkluk biopsikososial, tetapi sebagai makhluk biopsikososiospritual. 2.5. Pengukuran Mutu Pelayanan Menurut Aziz (2007) , mutu pelayanan dapat diukur dengan menggunakan tiga variabel, yaitu input, proses, dan output/outcome. 1. Input adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan seperti tenaga, dana, obat, fasilitas peralatan, teknologi, organisasi, dan informasi. 2. Proses adalah interaksi profesional antara pemberi pelayanan dengan konsumen (pasien dan masyarakat). Setiap tindakan medis/keperawatan
3.
harus selalu mempertimbangkan nilai yang dianut pada diri pasien. Setiap tindakan korektif dibuat dan meminimalkan resiko terulangnya keluhan atau ketidakpuasan pada pasien lainnya. Interaksi profesional selalu memperhatikan asas etika terhadap pasien, yaitu: a. Berbuat hal-hal yang baik (beneficence) terhadap manusia khususnya pasien, staf klinis dan nonklinis, masyarakat dan pelanggan secara umum. b. Tidak menimbulkan kerugian (nonmaleficence) terahadap manusia. c. Menghormati manusia (respect for person) menghormati hak otonomi, martabat, kerahasian, berlaku jujur, terbuka, empati. d. Berlaku adil (justice) dalam memberikan layanan. Output/outcome adalah hasil pelayanan kesehatan atau pelayanan keperawatan, yaitu berupa perubahan yang terjadi pada konsumen termasuk kepuasan dari konsumen. Tanpa mengukur hasil kinerja rumah sakit/keperawatan tidak dapat diketahui apakah input dan process yang baik telah menghasilkan output yang baik pula (Aziz.2007). Bagan 2.1 Kerangka Teoritis
Input
Proses
Output
Bagan 2.1 : A. Aziz hidayat 3. Kerangka Pikir dan Definisi Istilah 3.1.
Kerangka Konsep Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang telah dikemukakan sebelumnya maka yang akan diteliti adalah penerapan therapi psikoreligius dalam menurunkan tingkat stress pada pasien halusinasi oleh perawat di rawat inap Bangau rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang. Kerangka pikir ini dalam menetapkannya menggunakan pendekatan teori sistem diambil dari Aziz, (2007) yang terdiri dari input, proses
dan output.Dari uraian diatas maka kerangka pikir yang diajukan dalam penelitian ini dengan modifikasi pada teori adalah terlihat pada bagan.
Gambar 3.1 Kerangka Pikir Input - Dokter - Obat-obatan - Fasilitas lain
Proses Penerapan therapi spritual a. Shalat b.Dzikir
Out put - Pasien halusinasi dapat mengontrol stress dengan therapi spritual.
Keterangan: : Area yang diteliti
3.2. 1.
2.
3.
4.
5.
Definisi Istilah Halusinasi : adalah persepsi sensorik tentang suatu objek, gambaran dan pikiran yang sering terjadi tanpa adanya ransangan yang dapat meliputi semua sistem penginderaan(pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, pengecapan / rasa. Terapi Psikoreligius / Spiritual : adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien dan lebih cendrung untuk menyentuh satu sisi spiritual manusia. Terapi Shalat : adalah terapi doa berupa gerakan-gerakan yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Therapi Dzikir : adalah terapi yang mengunakan media dzikir mengingat Allah yang bertujuan untuk menenangkan hati dan memfokuskan fikiran. Stres : adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental/beban kehidupan)
4. Metode Penelitian 4.1. Desain penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi kualitatif dengan menggunakan pendekatan pengamatan dan diskusi yang cermat dan mendalam untuk mendapatkan informasi mengenai penerapan terapi psikoreligius pada pasien halusinasi oleh perawat di ruangan Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar palembang. 4.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di ruang bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang, penelitian akan dilaksanakan pada bulan April dan Mei 2012. 4.3. Sumber Informasi Informasi yang ingin diperoleh dari informan adalah perawat di ruang bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar palembang, informan utama adalah perawat di ruang Bangau. Adapun sumber informasi dalam penelitian ini adalah terdiri atas: 4.3.1. Kepala ruangan di ruang Bangau 4.3.2. Perawat Di ruang Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang Adapun kriteria informan : 1. Kepala ruangan dan perawat di ruangan Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar provinsi Sumatera Selatan. 2. Berperan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien halusinasi. 3. Karateristik individu: a) Pendidikan minimal D-III & S1 keperawatan b) Berpengalaman minimal 1 tahun di ruang inap bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar 4. Memahami tentang konsep terapi religius 5. Bersedia menjadi informan
No 1.
Adapun informasi yang ingin diperoleh dari informasi dapat dilihat pada tabel. Tabel 4.1 Informasi yang ingin diperoleh dari informan Informasi Informasi Yang Diinginkan Kepala ruangan 1. Pandangan kepala ruangan terhadap terapi psikoreligius . 2. Penerapan terapi psikoeligius di ruangan inap bangau. 3. Pengawasan terhadap penerapan terapi psikoreligius di ruangan bangau. 1.
2.
Perawat di ruang inap bangau RS. Dr. Ernaldi Bahar Palembang
Pengetahuan perawat tentang pengertian, tujuan dan fungsi terapi spritual. 2. Tahap-tahap terapi spritual: - Shalat - Dzikir
4.4. Cara Pengumpulan Data Informasi dikumpulkan dengan menggunakan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi. Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau informasi, dengan cara langsung bertatap muka dengan informan.dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap dengan topik yang diteliti (Sugiyono, 2009). Informasi dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam. Agar informasi dapat terkumpul dengan lengkap, terinci dan jelas maka jalannya diskusi direkam dengan menggunakan tape recorder dan dicatat oleh seorang asisten peneliti yang membantu penelitian dan pencatatan pada waktu wawancara Tabel 4.2 Informasi yang dikumpulkan menurut sumber, metode, jumlah kegiatan dan jumlah informasi No. Sumber Metode Jumlah Informasi Pengumpulan Data Wawancara Mendalam 1. Kepala 1 1 ruangan 2. Perawat di 5 5 ruang inap bangau Total Informan 6
4.5. Pengolahan Data dan Jenis Keabsahan Informasi Informasi yang didapatkan adalah informasi primer, karena peneliti langsung memperoleh data dari sumber informasi yaitu Kepala ruangan dan Perawat di ruang Bangau RS. Dr. Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan. Untuk pengolahan data dari hasil wawancara mendalam dilakukan: 1. Mengumpulkan catatan 2. Menyusun atau membuat transkrip 3. Interpretasi data. Untuk menjamin keabsahan informasi dalam penelitian ini dilakukan uji validasi data yaitu dengan: 1. Triangulasi sumber Adalah untuk menguji kredibilitas data yang di lakukan dengan cara mengecek data yang di peroleh melalui beberapa sumber. a. Cross-check (pengoreksian ulang) antara informasi yang berbeda dari hasil sumber lain. b. Informasi yang berbeda, yaitu informasi dari perawat di ruang bangau RS Dr.Ernaldi Bahar. 2. Triangulasi Metode, yaitu dengan membandingkan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam 4.6. Teknik Analisis Data Informasi segera dianalisis tanpa menunggu semua informan diwawancarai.
Informasi yang diperoleh dengan mencatat dan direkam dengan tape recorder, kemudian dibuat transkrip indepth dan matrik setelah dikumpulkan sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian. Informasi dianalisa secara manual yang disusun untuk menemukan alternatif pemecahan masalah. 5. Hasil Penelitian 5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang 5.1.1 Sejarah Singkat Sejarah Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan diawali tahun 1923 yaitu Rumah Sakit yang dibangun oleh Belanda di Palembang yang letaknya di jalan Keranggo Wiro Sentiko yang sekarang Kodam II Sriwijaya. Rumah Sakit ini dipindahkan lagi pada Tahun 1942 di daerah Suka Bangun, berdasarkan SK Menkes No. 4287 / Pal / Peg / 1958 dan diresmikan pada tepatnya tanggal 18 Agustus 1958 menjadi Rumah Sakit Jiwa Suka Bangun. Tahun 1978 tepatnya tanggal 1 April, berlaku SK Menkes tentang susunan Organisasi dan tata kerja Rumah Sakit Jiwa Pusat Palembang. Tahun 2001 tepatnya tanggal 22 Juni 2001, diundangkan peraturan daerah dan Rumah Sakit Jiwa diserahkan ke daerah Provinsi Sumatera Selatan, namun pada tanggal 24 Mei 2006 nama Rumah Sakit Jiwa diganti menjadi Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan hingga sekarang. 5.1.2Visi, Misi, Tujuan, Moito, dan Nilai 5.2. Visi dan Misi Rumah Sakit. 5.2.1. Visi Terwujutnya Rumah Sakit Ernaldi Bahar sebagian pusat pelayanan rujukan kesehatan yang prima dan pusat pendidikan kesehatan jiwa yang terkemuka di sumatera selatan. 5.2.2. Misi 1. Memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2. Melaksanakan pembinaan kesehatan jiwa masyarakat. 3. Meningkatkan mutu sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
4.
Memfasilitasi pendidikan kesehatan jiwa yang dinamis. 5.3.3. Tujuan Menciptakan masyarakat Sumatera Selatan yang sehat, mandiri dan produktif secara mental dan fisik. 5.3.4. Motto Ramahlah satu langkah, satu senyuman Kreatiflah satu langkah, satu ide langsung action 5.3.5. Nilai Kebersamaan, Peduli, dan Kepercayaan. 5.2
Gambaran Unit Rawat Inap Bangau Unit Rawat Inap Bangau adalah ruang rawat inap kelas tiga juga merupakan ruang yang menjalankan program pemerintah provinsi dan pemerintah kota yaitu jamsoskes dan jamkesmas. Ruang bangau terdiri dari 6 jenis ruangan yaitu ruang kepala ruangan, ruang perawat, ruang istirahat, ruang tidur, toilet, ruang makan pasien, ruang bebas, teras. Toliet bangau dipisahkan antara perawat dan pasien, jumlah tempat tidur 33 bed disertai laken tanpa bantal dan selimut, ruang makan pasien bangau dicampur dengan ruang makan pasien merpati. Jumlah pasien sampai bulan april 2012 berjumlah 61 pasien, jumlah pegawai di ruang bangau berjumlah 12 pegawai. Terdiri dari 1 kepala ruangan dan 11 perawat pelaksana. dengan rincian kualifikasi pendidikan sebagai berikut : 1. Sarjana Keperawatan : 3 Orang 2. D III keperawatan : 7 Orang 3. D III Kebidanan : 1 Orang 4. SPK : 1 Orang 5.3
Karakteristik Informan Informasi dalam wawancara mendalam yang dilakukan observasi sebagai informan berumur 25-54 tahun dengan pendidikan rendah D III dan tertinggi SI Keperawatan Ners. Pekerjaan sehari-hari informan adalah sebagai Kepala Ruangan bangau dan perawat pelaksana, dan yang dilakukan observasi adalah pasien halusinasi berumur 20-45 tahun Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 5.2 Karakteristik Informan kunci dan informan dalam Wawancara Mendalam dan Observasi Menurut Umur, Pendidikan dan Pekerjaan
orang. Hal ini dikarenakan saat dilakukan wawancara dengan ketiga informan tersebut dilakukan dalam waktu yang berbeda jadwal shift mereka.
No Inisi . al 1 H 2 EK
5.4.1.2 Pengetahuan informan tentang pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Dzikir
Umur (Thn) 49 32
3
E
32
4
A
29
Pendid Jabatan ikan S1 Kepala ruangan SI Perawat pelaksana SI Perawat pelaksana D III Perawat Pelaksana
5.4
Pemberian Terapi Religius oleh Perawat untuk Menurunkan Tingkat Stres Pasien Halusinasi Pendengaran 5.4.1 Hasil Wawancara Mendalam tentang pemberian Terapi Shalat dan Terapi Dzikir 5.4.1.1 Pengetahuan informan tentang jumlah pasien Halusinasi di ruangan bangau. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai jumlah pasien Halusinasi sebagai berikut: " ........ kalo untuk sekarang kalo kriteria pasien halusinasi itu 6 orang dengan masalah utama pasien adalah halusinasi tersebut.... ( E K ) " ....... emm...oiya kalo untuk pasien halusinasi ini ada 8 orang dek ya...( E ) " ....... kalo jumlah pasien halusinasi di ruangan e...ada 8 untuk saat ini .....(A) Berdasarkan petikan wawancara di atas, ketiga informan menjawab pertanyaan peneliti dan memberikan informasi tentang jumlah pasien Halusinasi di ruang bangau. Dari semua ketiga informasi dari informan tersebut berbeda dalam menyebutkan jumlah pasien Halusinasi di ruangan. Informan EK" menyebutkan bahwa jumlah pasien Halusinasi adalah 6 orang, sedangkan informan "E" dan informan 'A" menyebutkan jumlah pasien Halusinasi adalah 8
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan tentang pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Dzikir sebagai berikut: "............ kita sih ada dong....kalo dengan pasien jiwa tiap hari ada jadwal terapi bagi pasien tersebut. Kalo hari Senin dan hari Rabu kemudian hari Kamis itu bentuknya terapi kerja tiap hari Kamis itu ada Terapi Religius kemudian untuk hari Selasa , hari Jumat itu terapi gerak dan hari Sabtu itu terapi musik bagi pasien yang ada di rumah sakit ini ....... (EK) "....untuk pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini ada ya... dilakukan oleh pihak rehab di ruang Terapi Religius Hasana..tetapi kalo untuk pelaksanaan shalat bersama biasanya dilakukan oleh pasien sendiri secara berjamaah di ruang TAK dan Religius yang ada di ruangan ini . (E) ".....ada. Terapi Religius bisa dilakukan di RS ini setiap hari Kamis....pasienpasien itu dilakukan Terapi Religius di mushola yang ada di Erba ..... (A) Berdasarkan petikan wawancara di atas ketiga informan menjawab pertanyaan peneliti dan memberikan informasi bahwa Terapi Religius sudah diberikan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar dan ruang rawat inap. Tetapi ketiga informan tidak menyebutkan dengan detail pelaksanaan dari masing-masing terapi yaitu Terapi Shalat dan Dzikir. Dari semua informasi dari ketiga informan memiliki kesimpulan jawaban yang sama bahwa untuk pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Dzikir
ini memang dilaksanakan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini tetapi dalam hal ini, pengetahuan ketiga informan tentang Terapi Shalat dan Dzikir masih terbatas, belum optimal. 5.4.1.3 Pengetahuan informan untuk kriteria pasien yang akan mengikuti Terapi Religius Shalat dan Zikir Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai kriteria pasien yang akan mengikuti Terapi Religius sebagai berikut: kriteria pasien yang akan mengikuti Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini sesuai dan tergolong cukup optimal. 5.4.1.4
Pengetahuan informan untuk Kewenangan dalam Pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir Berdasarkan hasil wawancara hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai pihak-pihak yang berwenang dalam pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini sebagai berikut: " ........... kalo untuk kewenangan melakukan terapi religius itu , secara protap itu kewenangan berdasar pada e... petugas atau perawat yang dimana tuh..e... di rehabilitasi tapi..e..perawat juga ada pelajaran ataupun mahasiswa ada bidang ilmu untuk melakukan terapi religius ini tetapi untuk rumah sakit ini untuk saat sekarang, protap dan e..kewenangan itu ada di rehabilitasi untuk melakukan terapi religius tersebut ....... ( E ) " ........... di keperawatan kan TAK kita sudah ditentukan tapi format TAK nya untuk keperawatan untuk terapi musik, religius shalat dan dzikir itu belum., kalo untuk pemberian terapi religius, perawat tidak berwenang hanya sebagai observer dilakukan oleh orang rehab ... emm....untuk kewenangan itu ada direhab karena untuk di keperawatan format Terapi Religius ini belum ada untuk perawat eemm masih dalam proses ....... ( E )
" ........... kalo kewenangan itu untuk terapi religius perawat di ruangan berkoordinasi dengan dokter, jadi setiap pasien yang akan dilakukan tindakan terapi religius biasanya biasanya sudah harus tau pasien mana yang sudah bisa dilakukan terapi religius, jadi perawat yang tau kondisi pasien yang bisa dilakukan terapi religius atau tidak diantar ke mushola nanti orang rehab yang menerima disana .. ...... ( A ) Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa ketiga informan menjawab pertanyaan dari peneliti dengan jawaban yang berbeda tetapi pada intinya sama, yaitu yang lebih memiliki kewenangan dalam pemberian Terapi Religius ini adalah pihak Rehabilitasi. Jadi dari keterangan di atas tentang pengetahuan informan tentang pihak yang berwenang dalam pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini tergolong baik. Karena keempat informan mengetahui dan dapat menyebutkan pihak yang memiliki kewenangan dalam pemberian Kegiatan Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini sesuai dengan kebijakan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar. 5.4.1.5 Pengetahuan Pengaturan Jadwal Pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir Berdasarkan hasil wawancara Hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai pengetahuan jadwal pemberian Terapi Religius Salat dan Zikir adalah sebagai berikut: " .......... kita sich ada donk kalo dengan pasien jiwa tiap hari ada jadwal terapi bagi pasien tersebut. Kalo hari Senin dan hari Rabu kemudian hari Kamis itu bentuknya terapi kerja tiap hari Kamis itu ada terapi Religius kemudian untuk hari Selasa , hari Jumat itu terapi gerak dan hari Sabtu itu terapi musik bagi pasien yang ada di rumah sakit ini ....... (EK) " ....... kalo waktu rehab itu antara jam 8-9 pagi hari Kamis di ruang terapi religius dan alatnya sudah tersedia oleh rehab pengaturan jadwal biasanya hari Kamis pagi jam 8
persiapan sampai jam 10 pagi di ruang Terapi Religius Hasana dibimbing oleh orang-orang rehab juga berkolaborasi dengan perawat dan dokter Perawat mengantar pasien dan obsevasi pasien” . ( E ) "....kalo di ruangan ada tempat sholatnya kami sediakan juga sajadah ..kalo di lingkungan Erba ini ada mushola jadi tiap hari pasien bisa sholat di tempat yang disediakan terus untuk terapi pasien setiap hari Kamis di musholla RS bersama pasien lain...(A ) Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa ketiga informan mampu menjawab pertanyaan peneliti. Pada informan "EK", “E”, dan "A" dapat menyimpulkan bahwa untuk pengaturan jadwal pemberian Terapi Religius ini adalah setiap hari Kamis dimulai dengan persiapan jam 8 pagi dilakukan di musolla/ruang. Terapi Religius yang dipimpin oleh tim dari unit Rehabilitasi. Sedangkan pada keterangan dari informan 'A" menambahkan keterangan bahwa untuk pelaksanaan Terapi Shalat dan Dzikir ini juga bisa dilakukan di ruangan Bangau sendiri. Yang dimaksud ruangan ini adalah ruangan TAK dan Religius yang terdapat di ruang Bangau. Dalam hal ini keterangan para informan tergolong bervariasi tetapi tergolong baik karena dari semua keterangan informan sesuai dengan jadwal pengaturan Terapi Religius di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. 5.4.1.6 Tahapan dan Proses Kerja dari Pemberian Terapi Religius Salat dan Zikir Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai tahapan dan proses kerja dari pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir adalah sebagai berikut : a. Terapi Salat " ........... kalo untuk perawat untuk melakukan terapi religius ini cuma dari sekedar pengetahuan, dari pangalaman kan kami belum pernah melakukan
di ruangan tapi menurut pengetahuan kami untuk terapi itu pastilah kita yang pertama lakukan persiapan untuk pasien-pasien yang melakukan terapi religius,seperti kontrak waktu dulu...e..dikatakan terapi jam 9, sebelumnya kita kontrak waktu dulu kemudian kita orientasikan dimana akan dilakukan terapi kemudian pada kerjanya kita arahkan untuk menuju tempat terapi religius...memang disini ada tempat tersendiri untuk terapi religius ..e..kemudian setelah terapi religius kita evaluasi pasien tersebut apa yang didapat,apa yang direspon pasien tersebut terhadap terapi yang diberikan oleh yang memberikan terapi lalu kelihatan nanti perubahan setelah dilakukan terapi religius tersebut ...( EK ) " ............ untuk tahapan ini kan ada 4, tahap persiapan, orientasi, kerja dan terminasi. Tahap persiapan perawat atau pihak rehab memilih dan menyiapkan pasien-pasien yang mana, yang seperti apa yang akan mengikuti terapi ni, disiapkan tempat juga sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan ini, misalnya mukena bagi perempuan, sarung, sajadah,peci untuk pasien yang lakilaki...terus tahap orientasi kita lakukan informed consent dan kita catat kita nilai juga keadaan pasien sebelum mengikuti kegiatan ini..lalu tahap kerja kita kerjakan bersama-sama misalnya Shalat dan Dzikir.Sebelumnya kita kasih contoh gerakan Shalat yang benar itu seperti apa, kita lihat apakah pasien mampu mengikuti gerakan Shalat kita tadi. ..emm,,, terus tahap terakhir yaitu tahap terminasi ya...kita observasi kita tanyakan pada pasien tentang apa yang ia rasakan setelah ikut kegiatan ini. Untuk prosesnya setau saya dari ee....proses kerja dari pemberian terapi ini baik yang di rehab atopun di
ruangan sama saja, gerakan-gerakan shalat itulah yang diperhatikan bagaimana niat dan doanya sebelumnya diawali wudhu dulu dan lain-lain,ceramah kadang juga diberikan oleh dokter kalo untuk di reha. ” ( E ) " ........... ntar dulu dek ye?? kalo shalat dan dzikir aku tak tau makmano lah ye? kurang tau? tapi untuk terapi shalat dan dzikir disediakan waktu misalnya untuk shalat jam berapa, disediakan waktu., kalo untuk dzikir gak ngerti dek soal tata caranya...tapi mungkin bersamaan dengan shalat...aku tak tau?.”(A) b. Terapi Zikir
" .....proses kerja dari terapi zikir...emmm....sepertinya sama seperti proses pada terapi salat dari persiapan sampai terminasi ya... ( E K ) " .....sepengetahuan saya kayaknya sama seperti proses dan tahapan pada tercapi salat tadi..emm..ya..karena zikir ini dilakukan oleh pasien setelah salat kan?..... (E) ".. ..kalo untuk dzikir gak ngerti dek soal tata caranya...tapi mungkin bersamaan dengan shalat...aku tak tau? ....... (A) Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa ketiga informan dapat menjawab tentang proses kerja dari pemberian Terapi Religius dengan informasi yang berbedabeda. Pada informan "EK" dan "E" menyebutkan tentang poses dan tahapan pelaksanaan pemberian Terapi Religius ini yang dimulai dari tahap persiapan hingga tahap terminasi tetapi kedua informan ini menyebutkan tentang proses kerja dari kegiatan Terapi Zikir sama seperti proses pada Terapi
Salat. Sedangkan pada informan 'A" menyebutkan bahwa ia mengatakan kurang mengetahui mengetahui tentang Terapi Shalat dan Dzikir. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan ketiga informan dalam Terapi Shalat dan Dzikir ini belum optimal. 5.4.1.7 Kendala-kendala yang dihadapi dalam proses Terapi Religius Shalat dan Dzikir Berdasarkan hasil wawancara Hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai Kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir adalah sebagai berikut: " ............. Di ruangan kalo sampai saat ini belum dilakukan dalam terapi religius karena kita juga melakukan kegiatan tersebut mungkin belum mendukung dari sarana dan prasarana dalam terapi religius itu kendala yang paling utama disini adalah SDM nya karena anggapan manajemen di RS yang melakukan terapi religius ini mesti ada orang yang memang orang yang khusus untuk melakukan terapi ini..e...dalam hal ini apalagi religius biasanya orang-orang yang berhubungan dengan hal-hal keagamaan jadi disini kendala untuk memilih orangorang tersebut kita kan kekurangan .. tapi intinya kita sebagai perawat itu bisa melakukan terapi religius sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka masing-masing ....... ( E K ) “ .......... kendalanya palingan ya keterbatasan waktu juga jumlah perawat ruangan untuk memberikan terapi ini di ruangan, dalam arti mengajarkan shalat, dzikir, sebab ini dalam wewenang pihak rehabilitasi ....... (E) " .......... emm...kalo untuk terapi ini tidak ada ya karena sudah ada sarana dan prasarana, mencukupi jadi ya..e... tidak ada...( A )
Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa dalam menyebutkan kendalakendala yang dihadapi dalam pemberian Terapi Religius ini ketiga informan mampu menjawab pertanyaan dari peneliti dan ketiga informan memberikan informasi dengan informasi yang berbeda. Pada informasi yang diperoleh dari informan "EK" dan "E" dapat diketahui masih ada kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pelaksanaan Terapi Religius seperti kendala yang berasal dari SDM nya itu sendiri yaitu keterbatasan waktu,tenaga juga anggapan Rumah Sakit sendiri bahwa hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukan tindakan ini. Sedangkan pada informan 'EK" menyebutkan bahwa tidak terdapat kendala-kendala yang berarti karena sudah tersedia sarana dan prasarana yang sudah mencukupi. 5.4.2 Tingkat stres pasien sebelum dan sesudah mengikuti Terapi Shalat Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai pengaruh Terapi Shalat terhadap perubahan tingkat stres pasien adalah sebagai berikut: " .........pada pasien halusinasi untuk terapi religius ada perubahan yaitu saya temui kalo hari Kamis setelah pulang dari melakukan terapi religius tersebut kita tanyakan pada pasiennya bagaimana perasaan setelah mengikuti terapi, ada ceramah, dzikir biasanya yang dilakukan petugas rehabilitasi, mereka mengatakan enak dan kelihatan lebih tenang dan beranggapan o..mungkin ini bias kalo begini terus halusinasi saya bisa hilang..jadi signifikan perubahan setelah dilakukan terapi ini....mereka jadi lebih giat melakukan kegiatan salat di ruangan ini........(EK) " .........emm..lebih tenang ..lebih ada indikasi untuk pulang manfaat ada donk, yang jelas pulang dari terapi ini pasien tampak lebih tenang, gitu..ceria, tingkah laku terkendali untuk pasien halusinasi khususnya ya halusinasinya itu berkurang dia sudah mulai tenang..begitu juga untuk pasien yang shalat di ruangan . . . . . ( E )
"......untuk salat, ada sich perubahannya biasanya pasien cenderung lebih tenang kooperatif bisa mengontrol emosi........ (A) Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa ketiga informan mengetahui dan mampu menyebutkan tentang perubahan yang tampak pada pasien setelah diberikan tindakan Terapi Shalat ini. Ketiga informan menyebutkan bahwa setelah dilakukan kegiatan Terapi Shalat ini keadaan pasien menjadi lebih baik, tenang dan tidak ada indikasi stres berat. Pengetahuan informan dalam hal ini bisa dikatakan cukup baik karena sesuai dengan hasil chek list observation. 5.4.3 Tingkat stres pasien sebelum dan sesudah mengikuti Terapi Zikir Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, diperoleh keterangan dari informan mengenai pengaruh Terapi Zikir terhadap perubahan tingkat stres pasien adalah sebagai berikut: ".............. emm....untuk dzikir saya rasa sama saja efeknya seperti salat, membawa ketenangan, pikiran lebih konsentrasi, tingkat stress menurun karena beban kita semakin berkurang jika kita berzikir ini kan sama saja halnya seperti mengingat dan mengadukan masalah kita ke Allah tapi sepertinya pasien jarang melakukan zikir yang seperti zikrullah itu, palingan mereka berdoa untuk keluarga, orang tua, tapi kalo bimbingan zikir di rehab saya juga kurang tau..mungkin juga dilaksanakan kali ya ........(EK) ".....kalu untuk dzikir sepertinya lebih kepada doa untuk pasien sendiri..setau saya mereka juga dzikir dengan dzikrullah jika dibimbing khusus oleh dokter dan orang rehab gitu....dampaknya sama seperti salat,pasien lebih tenang" .....( E ) ".....setelah berdzikir dan sholat misalnya kalo dia marah kan bias berdoa. Pokoknya ada pengaruhnya ke arah lebih baik, lebih positif. ....( A )
Berdasarkan informasi di atas dapat diketahui bahwa ketiga informan mengetahui dan mampu menyebutkan tentang perubahan yang tampak pada pasien setelah diberikan tindakan Terapi Zikir ini. Namun hal ini merupakan perkiraan informan saja. Hal ini dapat dikatakan bahwa pengetahuan informan masih kurang terhadap pemberian Terapi Zikir ini unruk mengurangi tingkat stres pasien Halusinasi. 5.5 Pandangan Kepala Ruangan Terhadap Pemberian Terapi Religius terhadap Pasien Halusinasi 5.5.1 Proses pelaksanaan Terapi Religius Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan key informan diperoleh keterangan tentang Proses pelaksanaan Terapi Religius oleh key informan adalah sebagai berikut: "......e..untuk terapi psikoreligius sudah ada waktu yang ditetapkan pada hari Jumat yang menyelenggarakan tim kerja dari unit rehabilitasi emm...hari Jumat ato hari apa saya lupa lagi, hari Kamis ya?jadi selain terapi aktifitas olahraga dan kerja ada juga terapi psikoreligius yang dilakukan oleh unit tim rehabilitasi di rumah ibadah...karena SOP belum tersedia untuk perawat ..... (H) Dari keterangan yang diperoleh dari informan kunci di atas dapat diketahui bahwa untuk proses pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini dilakukan setiap hari Kamis yang dilakukan oleh Tim Unit Rehabilitasi dan dilakukan di rumah ibadah. Yang dimaksud dengan rumah ibadah disini adalah ruang Terapi Religius Hasana yang bentuk bangunannya mirip dengan musolla. Informasi dari key informan ini sesuai dengan hasil informasi yang diperoleh dari informasi informan. 5.5.2 Pandangan Kepala Ruangan dalam pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan key informan diperoleh keterangan tentang pandangan pemberian Terapi
Religius Shalat dan Dzikir oleh key informan adalah sebagai berikut: "........ penting juga..mengingat ini salah satu rangkaian dari terapi nonfarmasi, non farmakologi yang dilakukan oleh perawat, kesimpulannya e..penting sangat dianjurkan tetapi terbentur oleh beberapa hal........ (H) Dari hasil petikan wawancara mendalam dengan key informan di atas dapat diketahui bahwa Kepala Ruangan pada prinsipnya menyetujui adanya Terapi Religius tetapi masih terbentur oleh beberapa hal. Kepala Ruangan tidak menyebutkan tentang apa saja beberapa hal yang menjadi kendala tersebut. Kepala juga tidak menjelaskan secara detail tentang Terapi Shalat dan Dzikir. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan Kepala Ruangan terhadap Terapi Religius Shalat dan Dzikir masih kurang. 5.5.3
Dukungan Kepala Ruangan dalam pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan key informan diperoleh keterangan tentang bentuk dukungan Kepala Ruangan dalam pemberian Terapi Religius yaitu sebagai berikut: "..........saya sangat mendukung mahasiswa selain untuk melakukan TAK.. saya lihat dulu proposalnya jika ada yang kurang saya perbaiki. Dari hasil petikan wawancara di atas dapat diketahui bahwa Kepala Ruangan sangat mendukung mahasiswa khususnya yang sedang praktik di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini untuk melakukan kegiatan pemberian Terapi Religius dengan cara memperbaiki proposal penelitian dari mahasiswa jika masih ada yang kurang. Tetapi Kepala Ruangan tidak menyebutkan dan tidak menjelaskan tentang dukungannya terhadap pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir oleh perawat. 5.5.4 Jenis Pengawasan yang Dilakukan oleh Kepala Ruangan dalam Pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir
Berdasarkan hasil wawancara dengan key informan diperoleh keterangan tentang jenis pengawasan yang dilakukan oleh Kepala Ruangan dalam pemberian Terapi Religius yaitu sebagai berikut : " ........... emm...disini saya melakukan pengawasan dari perencanaan apa saja yang dilakukan contohnya persyaratan pasiennya , pasien seperti apa saja yang boleh ikut... Berdasarkan hasil petikan wawancara dengan Kepala Ruangan di atas dapat kita ketahui bahwa Kepala Ruangan sangat mendukung program Terapi Religius ini di Rumah Sakit Ernaldi Bahar khususnya di Ruang Bangau. Kepala Ruangan melakukan pengawasan lebih kepada pasien yang seperti apa yang bisa ikut dalam kegiatan Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini. 5.6
Hasil Observasi Pasien Berdasarkan hasil observasi terhadap pasien Halusinasi di Ruang bangau, peneliti memilih 3 orang pasien dengan kriteria Halusinasi. Ketiga pasien tersebut berinisial “A”, “D”, dan “J”. Saat peneliti memilih ketiga pasien tersebut peneliti mengamati tentang datadata obyektif dan subyektif dari ketiga pasien tersebut yang mengindikasikan bahwa ketiga pasien tersebut sedang mengalami Halusinasi dan stres. 5.6.1 Hasil observasi pasien "A" a. Hasil observasi pengaruh Terapi Shalat untuk menurunkan tingkat stres pasien "A" Dari hasil observasi pada pasien "A", untuk Terapi Shalat peneliti mendapatkan informasi bahwa sebelum pasien melakukan Shalat, pasien mengatakan bahwa ia sedang gelisah, tidak tenang. Pasien tampak sering melamun, tidak tenang dan kadang seperti berbicara sendiri, merasa takut. Kemudian setelah dilakukan informed consent dengan pasien, pasien menyetujui untuk ikut dalam kegiatan Shalat berjamaah di ruangan Bangau dan pasien yang berangkutan menjadi imamnya. Setelah dilakukan kegiatan Shalat berjamaah di ruangan bangau, pasien mengatakan bahwa perasaannya sekarang sudah tenang, tidak takut lagi dan merasa senang. Pasien juga mengatakan bahwa ia juga berdoa tetapi lebih khusus
ditujukan untuk orang tua serta keluarga di rumah. b. Hasil observasi pengaruh Terapi Zikir untuk menurunkan tingkat stres pasien "A" Sedangkan untuk Terapi Dzikir, pasien mengatakan bahwa ia kurang mengetahui tentang Terapi Dzikir La Illaha Illalloh dan dan Astaghfrullahaladzim. Hal ini tampak ketika observasi, pasien lebih banyak berdoa yang lebih ditujukan untuk orang tua dan keluarganya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasien “A” mampu mengikuti kegiatan Shalat dengan baik dan benar meskipun pengetahuan pasien tentang bacaan Dzikir La ilaha Ilalloh masih terbatas. 5.6.2 Hasil observasi pasien "D" a. Hasil observasi pengaruh Terapi Shalat untuk menurunkan tingkat stres pasien "D" Pada pasien "D” sebelum dilakukan kegiatan Shalat berjamaah di ruangan mengatakan bahwa ia sedang bingung, gelisah. Pasien tampak selalu melamun, seperti berbicara sendiri dan lebih suka menyendiri, tatapan mata pasien kosong dan pasien bersikap apatis atau acuh tak acuh terhadap orang-orang di sekelilingnya. Kemudian setelah dilakukan informed consent dengan pasien, pasien menyetujui untuk ikut dalam kegiatan Shalat berjamaah di ruangan bangau. Dalam kegiatan ini pasien tampak mengikuti kegiatan Shalat ini dengan gerakan yang lancar dan benar. Setelah mengikuti kegiatan Shalat berjamaah di ruangan bangau, peneliti mengobservasi keadaan pasien. Pasien tampak lebih tenang, dan rileks tetapi pasien berbicara hanya beberapa kata saja. b. Hasil observasi pengaruh Terapi Zikir untuk menurunkan tingkat stress pasien "D" Saat peneliti bertanya kepada pasien tentang Terapi Dzikir apakah pasien sering berdoa dan berdzikir pasien menjawab pernah dan doa yang sering dibaca adalah doa untuk orang tua. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pengetahuan pasien tentang Dzikir La ilaha Illalloh dan Astaghfirullahaladzim masih terbatas. 5.6.3 Hasil observasi pasien "J" a. Hasil observasi pengaruh Terapi Shalat untuk menurunkan tingkat stres pasien "J"
Sedangkan pada pasien "J" sebelum dilakukan kegiatan Shalat berjamaah pasien mengatakan bahwa ia merasa tidak tenang, dan pasien tampak gelisah. Pasien juga mengatakan bahwa ia tidak mau mengikuti Shalat di musolla dan lebih memilih shalat sendirian di kamarnya atau shalat berjamaah di ruang terapi Religius dan TAK yang terletak di dalam ruangan bangau karena ia beranggapan ia akan kerasukan jika shalat di musolla karena itu ia perlu di ruqyah. Dari perkataan pasien ini dapat diketahui bahwa pasien sedang dalam Halusinasi dan stres. Setelah dilakukan informed consent dengan pasien, pasien bersedia untuk mengikuti kegiatan Shalat berjamaah di ruangan. Saat Shalat, pasien mampu mengikuti kegiatan Shalat dengan gerakan yang baik dan benar. Pasien tampak lebih khusyuk dan berdoa. Setelah Shalat, pasien ditanya tentang perasaannya setelah mengikuti kegiatan Terapi Shalat ini, pasien menjawab bahwa perasaannya sekarang sudah jauh lebih tenang dan rileks, pasien tampak kelihatan lebih senang dan tenang, dan apa yang dibicarakannya sesuai dengan kenyataan. b. Hasil observasi pengaruh Terapi Zikir untuk menurunkan tingkat stres pasien "J" Untuk Terapi Zikir, pasien "J" mengatakan bahwa ia sering berdoa untuk orang tua, diri sendiri. Sebelumnya pasien "J" juga mengatakan bahwa jika terlalu lama dan terlalu khusuk berdikir dengan dzikrullah, pasien akan merasa dirinya banyak didatangi setan dan pasien tampak gelisah. Pasien jarang berdzikir dengan dzikrullah dengan alasan seperti di atas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan pasien "J" terhadap Terapi Dzikir masih kurang optimal. 6. PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dibahas secara berurutan dimulai dari keterbatasan penelitian yang ada dalam penelitian tinjauan pelaksanan pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir oleh perawat untuk menurunkan tingkat stres pada pasien Halusinasi di Ruang Bangau di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pada proses, yaitu tinjauan tentang proses pelaksanaan pemberian Terapi Religius Shalat dan Zikir tersebut.
6.1 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan maksud untuk memperoleh informasi yang mendalam mengenai pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir untuk mengurangi tingkat stres pada pasien Halusinasi. Pengumpulan informasi penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dengan menggunakan fasilitas voice recorder di hp sebagai alat perekam serta catatan lapangan dan observasi sehingga faktor situasi, kondisi dan lingkungan tempat melakukan wawancara mendalam sangat berpengaruh terhadap informasi yang di peroleh dari informan dalam wawancara mendalam. Keterbatasan penelitian ini adalah subjektif peneliti dalam menginterprestasikan yang diperoleh dengan teknik wawancara dan observasi sehingga hasil penelitian ini sangat tergantung pada pemahaman dan penafsiran peneliti. Hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap informasi yang dikumpulkan. Selain itu, terbentur dengan jadwal dinas perawat dan pasien Halusinasi di Ruang Bangau ini juga menjadi kendala dalam memilih informan. 6.2 Pembahasan Pelaksanaan Pemberian Terapi Religius Shalat dan Zikir oleh Perawat untuk menurunkan tingkat stres pasien Halusinasi di Ruang Bangau di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang 6.2.1 Karakteristik Informan dan Key Informan Peserta wawancara mendalam dalam penelitian ini adalah 4 orang informan dan 1 orang key informan. Informan merupakan perawat associate Ruang Bangau. Usia informan berkisar antara 27-32 tahun. Informan memiliki tingkat pendidikan D III dan SI Keperawatan Ners dengan masa kerja 5-10 tahun di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini. Key informan dalam penelitian ini merupakan orang yang berkompeten, 'bertanggung jawab serta dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Adapun key informan tersebut adalah Kepala Ruangan Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera Selatan. Key informan sudah bekerja selama 21 tahun di Rumah Sakit Ernaldi
Bahar ini. Usia key informan adalah 49 tahun dengan pendidikan terakhirnya SI. 6.3 Pembahasan Hasil Penelitian Dalam penelitian ini peneliti membahas tentang pemberian Terapi Religius Shalat dan Zikir oleh perawat untuk menurunkan tingkat stres pada pasien Halusinasi di Ruang Bangau di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang. 6.3.1 Pelaksanaan pemberian Terapi Shalat di Ruang Bangau Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan ketiga informan dan didukung oleh informasi dari key informan, peneliti mendapatkan informasi tentang pelaksanaan Terapi Shalat. Terapi Shalat merupakan salah satu bagian dari Terapi Religius yang mana menurut informasi dari ketiga informan perawat. Terapi Religius sudah dilaksanakan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar dan hal ini merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pihak unit Rehabilitasi karena di dalam keperawatan belum terdapat SOP tentang Terapi Religius Shalat ini. Dalam kegiatan Terapi Shalat ini, perawat sebagai observer dan pihak yang menyeleksi pasien mana saja yang boleh diikutkan dalam kegiatan Terapi Shalat ini, berkolaborasi dengan Tim Unit Rehabilitasi dan Tim Dokter. Menurut keterangan yang didapatkan dari hasil wawancara mendalam dengan perawat, untuk kegiatan Terapi Salat dilaksanakan seminggu sekali pada hari Kamis pagi dimulai dengan persiapan pada jam 8 pagi. Kegiatan ini dilakukan di Ruang Terapi Religius Hasana dibawah bimbingan Tim Unit Rehabilitasi dan Dokter sebagai pengisi kegiatan. Kegiatan yang dimaksud dapat berupa Shalat dan Dzikir, mengaji,dan pemberian ceramah-ceramah keagamaan. Hal ini sesuai dengan konsep Hendra pada tahun 2006 yang menyebutkan bahwa Terapi spiritual adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien, pendekatan ini dilakukan oleh seorang pemuka agama dengan cara memberikan pencerahan, kegiatan ini dilakukan minimal 1 kali seminggu untuk semua klien dan setiap hari untuk pasien. Terapi spiritual lebih cenderung untuk menyentuh satu sisi spiritualitas manusia, mengaktifkan titik godspot dan mengembalikan klien ke sebuah kesadaran
dari mana dia berasal, alasan mengapa manusia diciptakan, tugas-tugas yang harus dilakukan manusia di dunia, beberapa hal yang pantas dilakukan didunia dan hal-hal yang tak pantas dilakukan di dunia. Adapun bentuk dari terapi spiritual ini antara lain terapi shalat dan dzikir. Selain itu berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan key infoman tentang dukungannya yang diberikan dalam pelaksanaan Terapi Shalat, dengan demikian maka penulis dapat menyimpulkan bahwa kebijakan tentang pelaksanaan kegiatan Terapi Religius di Rumah Sakit Ernaldi Bahar, khususnya Terapi Shalat ini sudah cukup bagus. Untuk kriteria pasien mana yang boleh ikut dalam kegiatan Terapi Shalat ini adalah semua pasien tidak hanya diperuntukkan bagi pasien Halusinasi saja dengan syarat pasien tersebut dalam keadaan stres yang tidak terlalu berat dan tidak ada resiko pasien untuk mengamuk. Hal ini sesuai dengan hasil chek list observation pada perawat bahwa sebelum diadakan kegiatan ini, perawat memilih dan menyeleksi terlebih dahulu pasien-pasien mana saja yang boleh ikut dalam kegiatan ini. Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa pengetahuan perawat untuk kriteria pemilihan pasien yang boleh mengikuti Terapi Shalat sudah cukup optimal. Dari hasil wawancara mendalam dengan informan perawat, peneliti juga mendapatkan informasi bahwa selain kegiatan Terapi Shalat dilakukan di ruang Terapi Religius Hasana yang dibimbing oleh Tim Unit Rehabilitasi dan Dokter, di ruangan TAK dan religius yang terdapat di ruang Bangau sendiri juga sering dilakukan kegiatan shalat berjamaah bagi pasien. Berdasarkan pengamatan peneliti saat melakukan Shalat Magrib berjamaah dengan pasien Halusinasi yang terdapat di ruang Bangau ini, kegiatan Shalat berjamaah ini atas dasar inisiatif pasien sendiri dan kurang melibatkan perawat di dalamnya. Hal ini menurut keterangan dari informan dan key informan, masih terdapat kendala-kendala bagi perawat untuk melakukan kegiatan Terapi Shalat dan Dzikir ini untuk pasien. Kendala-kendala tersebut antara lain berupa anggapan pihak Rumah Sakit bahwa hanya orang-orang atau pihak-pihak tertentu saja yang bisa melakukan kegiatan ini karena berhubungan dengan sisi
spiritualitas manusia, juga keterbatasan tenaga perawat dan keterbatasan waktu yang dimiliki oleh perawat untuk melakukan kegiatan Terapi Shalat ini, serta dikarenakan di dalam keperawatan belum ada format SOP untuk pelaksanaan Terapi Shalat bagi pasien oleh perawat. Meskipun menurut keterangan salah satu informan yaitu informan 'A" sarana dan prasarana untuk kegiatan Shalat ini seperti sajadah, sarung, peci dan juga tempat untuk Shalat sudah tersedia namun dalam praktiknya masih menemukan beberapa kendala seperti yang sudah disebutkan di atas. Untuk tahapan dan proses kerja dari pemberian Terapi Shalat ini, key informan dan 2 orang informan menyebutkan tentang tahaptahap pelaksanaan Terapi Religius yang dimulai dari tahap persiapan, tahap orientasi, tahap kena dan tahap terminasi.Akan tetapi informan tidak menyebutkan secara mendetail tentang proses dari Terapi Shalat itu sendiri. Sedangkan pada informan '’A" mengatakan bahwa ia kurang mengetahui tentang proses dari pelaksanaan Terapi yang dimaksud. Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa dalam hal ini pengetahuan informan dan key informan tentang Terapi Shalat masih belum optimal. 6.3.2 Pelaksanaan pemberian Terapi Zikir di Ruang Bangau Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan ketiga informan dan didukung oleh informasi dari key informan, peneliti kurang mendapatkan informasi tentang pelaksanaan Terapi Dzikir. Menurut informan, sama halnya seperti Terapi Shalat, Terapi Dzikir ini juga termasuk dalam 1 rangkaian dengan terapi Shalat yang merupakan salah satu bagian dari Terapi Religius. Menurut informasi dari ketiga informan perawat Terapi Religius sudah dilaksanakan di Rumah Sakit Ernladi Bahar dan hal ini merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh pihak unit Rehabilitasi karena di dalam keperawatan belum terdapat SOP tentang Terapi Religius ini. Untuk Terapi Dzikir biasanya dilakukan mengiringi setelah diadakan kegiatan Shalat. Sama halnya dengan Terapi Shalat, dalam kegiatan Terapi Dzikir ini mengikuti Terapi Shalat, perawat sebagai observer dan pihak yang menyeleksi pasien mana saja yang boleh diikutkan dalam kegiatan
Terapi Dzikir ini, berkolaborasi dengan Tim Unit Rehabilitasi dan Tim Dokter. Dalam kegiatan Terapi Dzikir ini menurut keterangan yang didapatkan dari hasil wawancara mendalam dengan perawat, dilaksanakan seminggu sekali pada hari Kamis pagi dimulai dengan persiapan pada jam 8 pagi. Kegiatan ini dilakukan di Ruang Terapi Religius Hasana dibawah bimbingan Tim Unit Rehabilitasi dan Dokter sebagai pengisi kegiatan. Kegiatan yang dimaksud dapat berupa Shalat dan Dzikir, mengaji,dan pemberian ceramah-ceramah keagamaan. Isi acara bervariasi setiap minggunya. 6.3.3 Tingkat stres pasien Halusinasi sebelum dan setelah mendapatkan Terapi Salat Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan dan key informan juga dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh Terapi Shalat terhadap penurunan tingkat stres pasien. Hal ini sesuai dengan keterangan dari informan dan key informan Bahwa terdapat dampak yang positif dari pemberian Terapi Shalat ini untuk menurunkan tingkat stres pasien seperti sesudah dilakukan Shalat, informan melihat bahwa pasien tampak lebih tenang, dan rileks, tidak ada lagi resiko mengamuk ataupun marah-marah. Hal ini sesuai dengan hasil observasi peneliti terhadap pasien sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan Terapi Shalat. Sebelum dilakukan Terapi Shalat, peneliti mendapatkan gambaran tingkat stres dari 3 orang pasien observasi Halusinasi. Ketiga pasien tersebut tampak lebih suka menyendiri, melamun, marah sering tidak terkendali dan bahkan pasien tampak seperti berbicara sendiri dan marah kepada diri mereka sendiri. Pasien berasumsi bahwa ketiga pasien ini sedang mengalami Halusinasi dan stres sedang, sebab pasien masih bisa orientasi waktu, tempat dan orang. Setelah dilakukan Terapi Shalat Magrib berjamaah di ruang TAK dan Religius yang terdapat di ruang Bangau, ketiga pasien observasi tersebut tampak stresnya mulai berkurang menjadi stres tingkat rendah, ditandai dengan ekspresi wajah pasien yang tampak tenang , mau tersenyum, orientasi bagus dan bisa di ajak berbicara dengan baik-baik dan kooperatif, bersedia mengikuti saran perawat.
Dengan demikian, penulis berasumsi bahwa dengan diberikannya Terapi Religius Shalat, dapat ikut membantu menurunkan tingkat stres pada pasien Halusinasi. Hal ini sesuai dengan konsep Hendra pada tahun 2011 yang menyebutkan tentang teori dari Dadang Hawari, seorang psikiater yang mengembangkan psikoterapi holistik, berpendapat bahwa shalat menimbulkan ketenangan. Di samping itu doa juga menimbulkan rasa percaya diri dan optimis (harapan kesembuhan). Ini merupakan dua hal yang amat esensial bagi penyembuhan, suatu penyakit, di samping obat-obatan dan tindakan medis. Dipandang dari sudut kesehatan jiwa, shalat dan dzikir mengandung unsur psikoterapetik yang mendalam. Psikoreligius terapi ini tidak kalah pentingnya dibandingkan psikoterapi psikiatrik karena ia mengandung kekuatan spiritual kerohanian yang membangkitkan rasa percaya diri dan rasa optimisme (harapan kesembuhan). Dua hal ini, yaitu rasa percaya diri dan optimisme, merupakan dua hal yang amat esensial bagi penyembuhan suatu penyakit di samping obatobatan dan tindakan medis yang diberikan. (Hawari 1998:8) Dan juga menurut penelitian Alvan Goldstien shalat bisa disebut sebagai ritual meditasi. Dengan melakukan dengan ritual meditasi maka dapat mengembalikan otak memproduksi zat endorphin. Zat endorphin dalam otak manusia yaitu zat yang memberikan efek menenangkan, yang disebut endogegonius morphin. Drs. Subandi, MA menjelaskan bahwa kelenjar endorfina dan enkafalina yang dihasilkan oleh kelenjar pituitrin di otak ternyata mempunyai efek yang mirip dengan opiat (candu) yang memiliki fungsi kenikmatan, sehingga di sebut opiat endogen. Maka seseorang yang sengaja memasukan zat morfin ke dalam tubuh maka kelenjar endorphin akan berhenti secara otomatis. Dan para pengguna narkoba apabila melakukan penghentian morphin dari luar secara tiba-tiba, akan mengalami sakau (ketagihan yang menyiksa dan gelisah) karena otak tidak lagi memproduksi zat endhorphin yang secara alami. Sehingga sholat yang benar atau melakukan dzikir-dzikir yang banyak memberikan dampak efek ketenangan
mengurangi kecemasan dan tingkat stress menurun. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Larson dkk (1982) dalam Dadang Hawari (2001) melaksanakan penelitian tentang terapi spiritual khususnya terapi Solat untuk pasien skizofrenia di RSJ. Mereka membandingkan keberhasilan terapi pada dua kelompok pasien Skizofrenia. Kelompok pertama mendapat terapi konvensional (psikofarma) dan lain-lain tapi tidak mendapat Terapi Spiritual (keagamaan). Kelompok kedua mendapat terapi konvensional dan lain-lain dan mendapat Terapi Spiritual. Kedua kelompok tersebut dirawat di RSJ yang sama. Hasil penelitian ini cukup bermakna bahwa : (1) gejala klinis gangguan jiwa Skizofrenia lebih cepat hilang pada kelompok kedua yang mendapat Terapi Spiritual / Psikoreligius. (2) pada kelompok kedua lamanya perawatan lebih pendek daripada kelompok pertama. (3) pada kelompok kedua, tingkat stres lebih cepat teratasi daripada kelompok pertama. (4) pada kelompok kedua kemampuan adaptasi lebih cepat daripada kelompok pertama. Terapi Religius yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kegiatan ritual keagamaan seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan pujipujian pada Tuhan, ceramah keagamaan dan kajian kitab suci. Shalat yang ikhlas dan khusyuk dibuktikan secara kuantitatif melalui sekresi hormon kortisol dengan parameter kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah kortisol pada pagi hari normalnya antara 38 nmol-690 nmol/liter. Sedangkan pada malam hari atau setelah pukul 24.00, jumlah ini meningkat menjadi 69 nmol - 345 nmol/liter. Kalau jumlah hormon kortisolnya normal, dapat diindikasikan bahwa orang tersebut tidak ikhlas karena merasa tertekan. Demikian juga sebaliknya. Orang dalam keadaan depresi, stres atau punya beban psikologis yang berat biasanya rentan sekali terhadap penyakit kanker dan infeksi. Dengan melakukan shalat secara rutin dan disertai perasaan ihklas serta tidak terpaksa,seseorang akan memiliki respon imun yang baik serta besar kemungkinan terhindar
dari penyakit infeksi dan kanker bahkan penyakit kejiwaan. Secara medis, shalat yang demikian menyebabkan seseorang memiliki ketahanan tubuh yang baik. Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa untuk pelaksanaan Terapi Solat di ruangan Bangau terhadap pasien Halusinasi khususnya, bisa dikatakan cukup optimal. Hal ini dikarenakan terdapat sarana dan prasarana yang memadai untuk dilakukan kegiatan Terapi Shalat tersebut yaitu tersedianya alat-alat shalat seperti sajadah, sarung, peci, juga tersedianya tempat untuk kegiatan tersebut. 6.3.4 Tingkat Stres pasien Halusinasi sebelum dan sesudah mengikuti Terapi Zikir Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan dan key informan serta hasil observasi pasien, peneliti kurang mendapatkan informasi tentang tingkat stres pasien Halusinasi setelah mengikuti Terapi Zikir karena kurangnya pengetahuan informan dan key informan serta pasien untuk Terapi Zikir khususnya dzikrullah. Namun berdasarkan hasil observasi yang dilakukan kepada pasien setelah mereka melakukan Shalat, pasien juga memanjatkan doa setelah mereka Shalat. Ketika ditanyakan kepada pasien tentang doa apa yang mereka panjatkan, mereka menjawab bahwa mereka berdoa untuk orang tua dan keluarga. Mereka mengatakan jarang berdzikir karena kurangnya pengetahuan mereka dalam hal Dzikrullah ini. Hal ini tidak sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Hendra tentang penelitian yang diberikan oleh dr. Arman Yurisaldi Saleh yang mengungkapkan fenomena ini melalui pendekatan ilmiah neuro science. Beliau adalah seorang spesialis syaraf sekaligus seorang klinisi yang sering menangani dan menerima konsultasi penyakit-penyakit syaraf. Berdasarkan pengalaman empiris, didukung pengamatan langsung terhadap pasien dan disertai studi literatur yang serius, dr. Yurisaldi akhirnya sampai pada kesimpulan adanya hubungan yang erat antara pelafalan huruf (makharijul huruf) pada bacaan zikir Laa ilaaha illalloh dan Astaghfirullah dengan tampilan klinis (kondisi fisik dan psikis) seseorang yang membacanya (hal 50). Zikir yang berdampak positif terhadap kesehatan syaraf dan tubuh ini tentu saja adalah zikir yang dilafalkan secara
baik dan benar sesuai aturan dalam ilmu tajwid dan dipahami arti dan dihayati maknanya disertai dengan kesungguhan. Dari kajian ilmu tajwid (ilmu yang mempelajari cara membaca al-qur'an), penulis ini mengetahui bahwa kalimat zikir Laa ilaaha illalloh dan Astaghfirullah mengandung dampak yang luar biasa. Dalam Laa ilaaha illalloh terdapat huruf jahr yang diulang sebanyak tujuh (7) kali, yaitu huruf lam; dan dalam astaghfiiullah terdapat huruf ghain, ra dan dua buah lam. Dari kedua kalimat zikir itu maka ada empat huruf jahr yang harus dilafalkan seara keras/jelas. Hasilnya adalah bahwa udara yang keluar dari paru-paru melalui mulut akan lebih banyak dibandingkan dengan bacaan pada kalimat zikir yang lain, seperti Subhanalloh (dua huruf jahr), Allohu akbar (tiga huruf jahr) dan Alhamdulillah (dua huruf jahr). (Hendra,201 l) Ditinjau secara medis-klinis, jika kita melafalkan kalimat zikir Laa ilaaha illalloh dan Astaghfirulloh secara benar sesuai ilmu tajwid berarti kita sedang mengeluarkan karbondioksida leboh banyak saat udara diembuskan keluar mulut, dibandingkan dengan jika kita membaca kalimat zikir yang mengandung lebih sedikit huruf jahr. Kalimat zikir yang lain tetap bermanfaat memberikan dampak ketenangan. Dampak sehatnya, ketika seseorang melalukan zikir secara intens dan khusyuk seraya memahami dan menghayati artinya, pembuluh darah di otak akan membuat aliran karbondioksida yang keluar dari pernafasan menjadi lebih banyak. Kadar karbondioksida di otak pun akan menurun dengan teratur. Sehingga tubuhpun akan segera menampilkan kemampuan reflek kompensasi, rileks. Rangkaian proses pengeluaran karbondioksida yang merupakan oksidan/gas buangan metabolit dan proses neurosis tersebut ternyata mempunyai efek positif bagi pembaca zikir. Sedangkan berdasarkan data yang didapat pada hasil observasi, kegiatan Terapi Zikir ini kurang bisa dilaksanakan secara optimal di ruangan Bangau dikarenakan beberapa hal terutama tentang keterbatasan pengetahuan perawat juga pasien tentang arti dan manfaat dzikir Laa Ilahaillalloh dan Astaghfirullah ini. Juga dikarenakan belum terdapat sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan kegiatan ini seperti tasbih,
untuk berdzikir, juga belum tersedianya fasilitator di ruangan Bangau unutuk membimbing pasien melakukan Terapi Dzikir ini. Juga belum diketahui perubahan tingkat stress pasien Halusinasi sesudah mengikutu kegiatan Terapi Zikir ini. Meskipun demikian berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan juga hasil observasi terhadap pasien Halusinasi yang melakukan kegiatan Shalat, mereka mengatakan bahwa untuk zikir ini juga dilakukan tetapi lebih spesifik ke doa kepada orang tua, keluarga, bukan dzikir Dzikrullah. Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa untuk pelaksanaan Terapi Dzikir ini masih belum maksimal dilakukan untuk pasien yang terdapat di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini juga belum diketahui tentang pengaruh Terapi Zikir terhadap perubahan tingkat stres pasien
Halusinasi. 7. Kesimpulan dan Saran 7.1 Kesimpulan 7.1.1 Pelaksanaan pemberian Terapi Shalat di Ruang Bangau Dari hasil wawancara mendalam dengan ketiga informan serta hasil chek list observation terhadap perawat dan pasien didapatkan kesimpulan bahwa untuk pelaksanaan Terapi Religius Shalat ini masih dalam kewenangan pihak Unit Rehabilitasi yang terdapat di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini. Namun, selain dilakukan di Ruang Terapi Religius oleh pihak Rehabilitasi, kegiatan Shalat juga dilaksanakan di Ruang Bangau sendiri secara berjamaah atas inisiatif perawat dan pasien sendiri. Secara umum pelaksanaan pemberian Terapi Shalat ini sudah bias dikatakan cukup baik dilakukan di Ruang Bangau dan pasien pun bias menerima dan mengikuti kegiatan ini sesuai dengan contoh dan prosedur yang telah diberikan oleh perawat, tetapi kegiatan Terapi Shalat ini dalam pelaksanaannya juga mengalami beberapa kendala yang berasal dari perawat yaitu keterbatasan waktu perawat untuk memberikan Terapi Shalat ini secara teratur terkait terbenturnya dengan jadwal dinas perawat. Meskipun demikian kegiatan Shalat ini
mendapatkan dukungan dari Kepala Ruangan serta perawat yang ada di Ruang Bangau. Sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Terapi Shalat ini sudah dilakukan cukup baik di ruangan Bangau terutama dilakukan dari pihak pasien. 7.1.2 Pelaksanaan pemberian Terapi Zikir di Ruang Bangau Dari hasil wawancara mendalam dengan ketiga informan serta hasil chek list observation terhadap perawat dan pasien didapatkan kesimpulan bahwa untuk pelaksanaan Terapi Zikir ini masih kurang optimal dalam pelaksanaannya di ruangan Bangau untuk pasien Halusinasi khususnya. Hal ini dikarenakan belum tersedianya sarana dan prasarana yang mencukupi untuk dilakukan kegiatan tersebut seperti tasbih, juga fasilitator sebagai pembimbing pasien untuk melakukan kegiatan Zikir Dzikrullah. Dan hal yang paling utama adalah keterbatasan pengetahuan dari informan juga pasien tentang Zikrullah ini karena memang belum terdapat kebijakan khusus dari Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini dalam hal pemberian terapi zikir Zikkrullah ini untuk perawat dan pasien. Akan tetapi meskipun terapi Zikir Dzikrullah kurang optimal dalam pelaksanaannya, ketiga pasien tetap berdoa setelah melakukan Shalat. Doa tersebut antara lain menurut keterangan informan juga pasien adalah doa minta ampun, doa untuk keluarga dan orang tua agar mereka segera diberikan kesembuhan. Menurut mereka, meskipun mereka jarang melakukan Zikir, mereka tetap berdoa karena menurut mereka doa sama halnya dengan Zikir Zikrullah. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pelaksaan pemberian Terapi Zikir ini masih kurang optimal dilakukan oleh perawat di Ruangan Bangau . 7.1.3 Tingkat Stres pasien Halusinasi sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan Terapi Shalat Sesuai dengan pelaksanaan Terapi Shalat yang dilakukan di ruangan, peneliti mendapatkan gambaran tentang tingkat stres pasien Halusinasi sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan ini. Dalam hal ini tingkat
stress yang dimaksudkan adalah berupa gambaran perilaku pasien. Sebelum dilakukan kegiatan Shalat berjamaah di ruangan, secara umum didapatkan gambaran perilaku ketiga pasien observasi. Ketiga pasien tampak gelisah, tidak tenang, mudah tersinggung dan mudah marah. Ketiga pasien lebih suka beraut menyendiri di dalam kamarnya dan tampak sering melamun dan ekspresi wajah tampak sedih. Sesudah ketiga pasien tersebut di ajak melakukan Shalat berjamaah di ruangan bersama dengan pasien yang lainnya, mereka mampu mengikuti kegiatan Shalat dengan baik dan benar, dan juga tampak khusyuk dalam Shalatnya. Sesudah Shalat ketiga pasien tersebut mengemukakan tentang perasaannya yaitu lebih tenang, emosi lebih bisa terkendali, tidak gelisah lagi.Data obyektif yang didapatkan pasien tampak senang, lebih bisa bersosialisasi dengan pasien yang lainnya dan mulai bisa mengikuti aktifitas sehari-hari. Sehingga dalam hal ini peneliti menyimpulkan bahwa dengan melakukan kegiatan Shalat dapat membantu menurunkan tingkat stres pada pasien Halusinasi. 7.1.4 Tingkat stres pasien Halusinasi sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan Terapi Zikir Peneliti kurang mendapatkan data untuk terapi Zikir ini, namun menurut sebagian informasi yang didapatkan dari pasien, sebelum mereka berdoa perasaan mereka gelisah, ditandai dengan ekspresi wajah pasien tampak kebingungan juga tidak tenang. Sesudah berdoa, didapatkan data subyektif pasien yaitu pasien mengatakan bahwa setelah berdoa perasaan mereka menjadi jauh lebih tenang, data obyektif pasien juga menunjukkan pasien tampak lebih rileks dan tenang. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Terapi Zikir ini belum dilakukan di ruangan Bangau karena belum ada kebijakan khusus juga
sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan ini. Namun berdasarkan keterangan informan juga pasien, mereka berpendapat bahwa Terapi Zikir dapat mengurangi tingkat stress pasien Halusinasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pemberian Terapi Zikir ini masih kurang optimal dilakukan di Ruangan Bangau karena masih banyak terdapat kendala-kendala. 7.2 Saran 7.2.1 Bagi Pihak Rumah Sakit Diharapkan dari pihak rumah sakit Ernaldi Bahar Palembang untuk dapat memberikan penyuluhan langsung kepada pasien tentang Terapi Religius khususnya Shalat dan Zikir. Sehingga akan tercipta kesehatan yang holistik atau meneyeluruh untuk pasien di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini. Juga keterbatasan sarana dan prasarana dalam Terapi Religius Shalat dan Zikir ini hendaknya lebih diperhatikan lagi. 7.2.2
Perawat Diharapkan perawat mendominankan peranannya sebagai pemberi asuhan dan pendidik bagi pasien dengan memberikan asuhan keperawatan yang holistik meliputi bio,sosio,psiko dan spiritual sehingga hal ini dapat membantu pasien merasa nyaman dan mengurangi lamanya waktu rawat inap pasien. Perawat juga meningkatkan pengetahuannya tentang Terapi Religius Shalat dan Zikir ini untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien . 7.2.3
Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan bagi peneliti lain untuk dapat meneruskan penelitian ini tentang pemberian Terapi Religius Salat dan Zikir untuk menurunkan tingkat stres pada pasien Halusinasi.