LAPORAN TEKNIS TAHUN 2011
TIM PENYUSUN:
Rr. WIDHYA YUSI SAMIRAHAYU, SE.,MT DR. PURWOKO ADHI YADI RADIANSAH, ST
PUSAT PENELITIAN ELEKTRONIKA DAN TELEKOMUNIKASI LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA 2011 | P a g e
i
KATA PENGANTAR
Laporan Teknis Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi PPET‐LIPI Tahun 2011 memuat gambaran teknis 5 (lima) kegiatan tematik di PPET LIPI. Kegiatan Tematik PPET LIPI diarahkan sesuai program dalam Renstra Implementatif PPET LIPI 2010‐2014 dan mengacu pada program utama LIPI, yaitu Program Peningkatan Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan IPTEK (P3 IPTEK), pada bidang fokus teknologi informasi dan komunikasi dan material maju. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Laporan Teknis 2011 ini. Semoga Laporan Teknis 2011 ini bermanfaat.
Kepala Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi LIPI, Dr. H i s k i a NIP. 19650615 199103 1 006
| P a g e
ii
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI 1. Pemanfaatan dan Pemasangan Radar Pengawas Pantai (Surveillance Radar) – Peneliti Utama : Dr. Mashury 2. Perancangan Battery Control Unit (BCU) pada Modul Panel Surya 50 Watt Peak (WP) – Peneliti Utama : Iqbal Syamsu, MT 3. Pembuatan Dye‐Sensitized Nanocrystalline Tio2 Solar Cell dengan Teknologi Screen Printing – Peneliti Utama : Natalita Maulani Nursam, ST, M.Phil 4. Pembuatan Magnet Barium Ferit Nano Partikel Bonded Hybrid untuk Aplikasi Generator – Peneliti Utama : Nanang Sudrajat, ST 5. Pengembangan Through‐Wall Radar untuk Life Detector – Peneliti Utama : Dr. Purwoko Adhi
i ii iii
1
22
48
80
100
| P a g e iii
Pemanfaatan dan Pemasangan RADAR Pengawas Pantai Dr. Mashury
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2011
1
LEMBAR PENGESAHAN 1.
Judul Kegiatan Penelitian
:
Pemanfaatan dan Pemasangan Radar Pengawas Pantai (Surveillance Radar)
2.
Kegiatan Prioritas
:
Informatika dan Telekomunikasi
3.
Peneliti Utama
:
Nama
:
Dr. Mashury
Jenis Kelamin
:
Pria
4.
Sifat Penelitian
:
Baru (Tahun ke 1)
5.
Lama Penelitian
:
4 (empat) Tahun
6.
Biaya Total 2011
:
Rp. 1.000.000.000,-
Bandung, 31 Desember 2011 Disetujui, Ka. Pusat Peneltian Elektronika dan Telekomunikasi - LIPI
Peneliti Utama
Dr. H i s k i a
Dr. Mashury
NIP. 19650615 199103 1 006
NIP. 19680408 199303 1 007
.
2
ABSTRAK Dalam kegiatan ini dilakukan penelitian yang berupa rancang bangun Radar pengawas pantai (coastal surveillance Radar) yang akan dipasang pada truk sehingga bersifat mobile/transportable. Pemasangan diatas truk ini didasarkan adanya kebutuhan untuk demonstrasi dari Radar untuk keperluan pameran serta pengujian-pengujian Radar diberbagai tempat. Desain dari Radar ini didasarkan pada pengembangan sebelumnya dari prototip I dan II Radar ISRA (Indonesian Surveillance Radar) milik PPET-LIPI. Pendanaan kegiatan ini berupa satuan biaya khusus (SBK) yang harus ada capaian output penelitian yang jelas. Dikarenakan terbatasnya pendanaan SBK pada tahun 2011 ini, penyelesaian pekerjaan (sampai terpasang) juga di-kontribusikan dari sumber pendanaan lain (PNBP lisensi Radar). Pelaksanaan
pekerjaan dimulai dari pembuatan desain untuk
perangkat lunak, perangkat keras, sistem mekanik, sistem hidrolik dan konstruksi pada truk, selanjutnya dilaksanakan implementasi perangkat keras dan konstruksi mekanik, di-ikuti dengan pengujian, pengetesan dan evaluasi. Output penelitian berupa prototip Radar yang dipasang diatas truk serta beberapa publikasi ilmiah. Kata Kunci: Radar pengawas pantai, mobile, ISRA, pendanaan SBK, rancang bangun, output. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengamanan dan pengawasan wilayah
negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang terdiri dari lebih 17.000 pulau dengan 2/3 wilayah terdiri dari lautan akan memerlukan aparat dan peralatan yang berjumlah sangat besar. Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan panjang pantai terbesar didunia yaitu lebih dari 80.000 Km. Pada kenyataannya, kemampuan TNI-AL dan POLRI untuk mengawasi wilayah RI sangat terbatas sehingga wilayah perairan Indonesia rawan akan pencurian ikan, pelanggaran wilayah oleh kapal-kapal asing, pembajakan kapal laut dan penyelundupan. Salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dalam mengawasi dan mengamankan wilayah adalah dengan menggunakan Radar Pengawas Pantai untuk mengawasi pergerakan kapal laut sehingga dapat dicegah tindakan-tindakan yang dapat merugikan NKRI dan juga tabrakan kapal apabila hendak merapat ke pelabuhan.
3
Pemasangan Radar Pengawas Pantai daya besar (high power) di kapal atau dipinggir daratan (sekitar pantai) dapat digunakan untuk mengawasi wilayah laut yang luas sampai beberapa puluh mil laut. Gambar 1 memperlihatkan contoh Radar Pengawas Pantai dan aplikasinya dalam pengawasan pelabuhan. Berdasarkan uraian diatas maka penggunaan Radar sangat penting untuk pengawasan dan pengamanan wilayah perairan NKRI. Kemandirian bangsa dalam pembuatan Radar akan sangat membantu dalam penyediaan Radar didalam negeri. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa kondisi perekonomian bangsa yang sedang terpuruk ini tidak memungkinkan pemerintah untuk membeli peralatan Radar dari luar negeri yang umumnya bernilai sangat mahal (dari U$100.000 sampai dengan jutaan U$ dollar). Hal ini ditambah dengan sulitnya mekanisme pembelian Radar yang sifatnya strategis dibidang pertahanan dan keamanan. Puslit Elektronika dan Telekomunikasi LIPI telah membuat satu prototip Radar Pengawas Pantai pada tahun 2009. Diharapkan pada tahun 2010, akan selesai prototip ke 2 yang merupakan prototip versi komersial/produksi. Gambar 2 memperlihatkan desain grafis dari bentuk system antena Radar (tampak depan dan belakang). Hasil perakitan perangkat keras dan enam belas (16) antena modul ditunjukkan pada Gambar 3. Radome atau bungkus luar dari system antena untuk melindungi terhadap cuaca dan pengaruh lingkungan diperlihatkan pada Gambar 4. Ilustrasi pemakaian Radar pengawas pantai untuk pengawasan wilayah perairan sekitar Selat Sunda ditunjukkan pada Gambar 5. Diasumsikan ada tiga buah Radar yang terhubung melalui satu jaringan. Dalam gambar ini, daerah jangkauan Radar ditentukan oleh kemampuan daya pancar, ketinggian menara dan polarisasi dari antena [1, 2, 3, 4]. Penggunaan jaringan Radar Pengawas Pantai memungkinkan lalu lintas kapal disekitar Selat Sunda dan yang menuju atau dari Pelabuhan Tanjung Priok dapat diamati. Blok diagram Radar frequency modulated-continuous wave (FM-CW) yang digunakan pada prototip Radar PPET-LIPI diperlihatkan pada Gambar 6 [1, 4]. Sistem Radar FM-CW ini terbagi atas dua bagian utama yaitu transmitter (pemancar) dan receiver (penerima). Hasil deteksi Radar akan ditampilkan oleh Display unit yang mengolah sinyal/data yang diterima dari bagian Receiver
4
menjadi suatu gambar yang dapat diinterpretasikan dengan mudah oleh pengguna [5, 6, 7-18]. Pengolahan sinyal Radar ini dilakukan oleh sebuah komputer yang berkemampuan tinggi sehingga semua proses dilakukan secara real time untuk menghindari adanya penundaan (delay). Seiring dengan kemajuan teknologi Radar, peranan perangkat lunak untuk pengolahan sinyal menjadi semakin penting (vital) [5, 6, 7-18]. Tampilan dari Radar akan disesuaikan dengan kelaziman yang berlaku pada Radar Pengawas Pantai yang telah dijual dipasaran, yaitu antara lain mengikuti regulasi International Maritime Organization (IMO) dan menampilkan parameter-parameter penting dari Radar sebagai informasi untuk pengguna.
Terdapat
dua
antena
yang
masing-masing
digunakan
untuk
memancarkan sinyal Radar ke obyek yang ingin diamati dan untuk menerima sinyal Radar yang dipantulkan oleh obyek. Antenna control yang berfungsi untuk mengatur agar gerakan antenna sesuai dengan tampilan dilayar dari Display unit. Pembangkit frekuensi (frequency generator) berfungsi untuk membangkitkan sinyal sweep, memberikan input sinyal osilator (local oscillator) frekuensi rendah dan tinggi ke bagian pemancar dan penerima, serta menghasilkan sinyal dengan frekuensi referensi.
Gambar 1. Radar maritim di tepi pantai.
5
System Antena Tampak Depan
System Antena Tampak Belakang
Gambar 2. Desain system antena Radar Pengawas Pantai.
Gambar 3. Bagian depan (kiri) dan belakang (kanan) system antena yang telah dirakit.
Gambar 4. Bentuk Radome depan dari system antena.
6
Selat Sunda
Gambar 5. Illustrasi jangkauan Radar untuk Selat Sunda.
Pemancar (TX)
Antena TX
Pembangkit Frekuensi (Frequency Generator) Penerima (RX) Personal Computer + Display
Antena RX Antena Control
Gambar 6. Blok Diagram Sistem Radar FM-CW. Standar-standar yang ada saat ini untuk Radar Maritim (termasuk Radar Pengawas Pantai) adalah:
•
Standard Performance Radar Kapal: sesuai Resolution IMO A.477(XII).
•
Standards Performance for Automatic Radar Plotting AIDs (ARPAs): sesuai Resolution IMO A.823 (19).
7
•
Standard Performance untuk VTS: Recommendations IALA V-128 on Operational and Technical Performance Requirements for VTS Requirements. Berdasarkan standar diatas, maka prototip Radar ISRA terutama prototip II
dan III yang merupakan versi komersial harus dapat memenuhi semua standarstandar yang ada. Maka pengetesan Radar ISRA dilakukan mengikuti ketentuan didalam standar tersebut dan ketentuan yang di-inginkan oleh user. Apabila semua standar sudah dipenuhi, maka Radar ISRA layak mendapatkan sertifikasi. Akan ada serangkaian pengetesan yang dilakukan secara intensif dengan Dislitbang TNI-AL atau dengan Direktorat Kenavigasian Ditjen Hubla, Kemenhub. Dikarenakan Radar ISRA menggunakan frekuensi Radio, maka dalam aplikasinya (apabila telah dipasang pada tempat tertentu) harus mendapatkan sertifikasi Ditjen POSTEL yang menyatakan bahwa Radar ISRA layak digunakan dan tidak mengganggu peralatan Radio lainnya atau bisa juga berupa ijin penggunaan frekuensi Radar pada pita X (x-band). Selain itu, karena Radar ISRA merupakan produk Nasional maka perlu mendapatkan persetujuan dari Badan Standarisasi Nasional dalam bentuk SNI (standar nasional Indonesia) apabila Radar ISRA ini akan diproduksi massal. Selain itu, diperlukan kajian kandungan lokal (local content) oleh pihak Surveyor Indonesia/Sucofindo dimana akan dikeluarkan semacam sertifikasi untuk kandungan lokal dari produk yang dibuat dalam negeri. Sertifikasi semacam ini sangat penting bagi Radar ISRA untuk berkompetisi dengan produk Radar dari luar negeri. Untuk mencapai sertifikasi dan perijinan diatas, PPET-LIPI akan bekerjasama dengan PT. INTI. Pada penelitian Radar tahun 2011 ini dan pada tahun-tahun selanjutnya, akan dilakukan rancang bangun Radar sesuai dengan prototip II Radar ISRA. Setelah itu dilakukan pengetesan, uji kelayakan, pemanfaatan dan pemasangan pada tempat-tempat tertentu digaris pantai yang berdekatan dengan wilayah perairan strategis. Kemudian, Radar-Radar yang sudah terpasang ini akan dihubungkan melalui suatu jaringan sehingga dapat dimonitor dan dikendalikan dari jarak jauh. 1.2. Perumusan Masalah •
Melakukan
rancang
bangun
Radar
Pengawas
Pantai
(coastal
surveillance Radar).
8
•
Pemanfaatan dan pemasangan Radar Pengawas Pantai.
1.3. Tujuan dan Sasaran Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan perancangan dan implementasi dari Radar Pengawas pantai ISRA yang akan dipasang dan dimanfaatkan untuk memonitor wilayah perairan strategis di wilayah NKRI. Prototip Radar Pengawas Pantai ini juga akan dites secara keseluruhan dalam mengetahui kinerja Radar. Serangkaian tes akan dilakukan yang melibatkan pihak pengguna seperti TNI-AL atau Direktorat Kenavigasian Ditjen Hubla Kemenhub. Sasaran kegiatan penelitian ini pada tahun 2011 adalah perangkat lunak (software) untuk pengolahan sinyal dan jaringan Radar, modul-modul perangkat keras, sistem antena Radar, sistem mekanik Radar, pengetesan modul-modul yang sudah dibuat dan melakukan uji kinerja Radar melalui pengujian bersama dengan calon user (TNI-AL dan Ditjen Hubla, Kemenhub) untuk feedback untuk penyempurnaan Radar supaya sesuai dengan standar-standar yang ada. Satu standar operational procedure (SOP) dari pengetesan dan pengujian Radar dapat dihasilkan melalui kegiatan ini. 1.4. Kerangka Analitik Kerangka analitik yang digunakan adalah Radar Pengawas Pantai memiliki penggunaan yang strategis terutama untuk Negara Kepulauan seperti Indonesia. Rancang bangun Radar Pengawas Pantai dengan harga terjangkau, kandungan lokal tinggi, memiliki kerahasiaan dan keamanan data yang tinggi, memenuhi standarisasi yang ditentukan oleh IMO dan disertifikasi oleh lembaga berwenang merupakan satu tantangan untuk para peneliti Tim Radar ISRA di PPET-LIPI. Tim Radar di PPET-LIPI telah memiliki pengalaman sebelumnya melalui pembuatan prototip I dan II Radar ISRA. Selanjutnya Radar Pengawas Pantai ini akan dipasang dan dimanfaatkan untuk memantau wilayah perairan strategis di Indonesia. Satu standar operational procedure (SOP) yang baku dari pengetesan dan pengujian Radar harus dibuat. 1.5. Hipotesis
9
Penelitian ini bersifat terapan sehingga hipotesa yang bisa dibangun adalah apakah hasil desain Radar pantai dapat direalisasikan dan menunjukkan kinerja sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan. Serta dapat memenuhi semua persyaratan yang tercantum dalam standar-standar didunia maritim. II. PROSEDUR DAN METODOLOGI Dalam kegiatan penelitian ini, metodologi yang digunakan adalah: •
Rancang bangun perangkat lunak pengolah sinyal Radar dan
jaringan Radar •
Pembuatan perangkat keras Radar pantai
•
Pengujian dan pengetesan Radar pantai
•
Evaluasi dan Perbaikan
•
Seminar dan Publikasi
Jadwal Kegiatan 2011 Bulan No.
Tahapan Kegiatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
12
1 1.
Rancang
Bangun
Perangkat Lunak Radar 2.
Pembuatan
Perangkat
Keras Radar 3.
Pengujian
Perangkat
Keras dan Lunak Radar 4.
Sertifikasi Radar ISRA
5.
Evaluasi dan Perbaikan
6.
Publikasi Ilmiah
10
III.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN •
Semua komponen yang dipesan sudah datang.
•
Dudukan motor radar dan sistem mekanik antena sudah selesai dibuat.
•
Radome Radar versi baru telah selesai dibuat.
•
Dua buah publikasi ilmiah pada Semnas Radar 2011.
•
Rancang
bangun
perangkat
lunak
radar
telah
dilaksanakan
berdasarkan versi yang sudah ada sebelumnya di prototip II dan disempurnakan sesuai dengan requirement IMO. •
Pendanaan kegiatan DIPA Tematik ini di-sinergikan dengan pendanaan dari kegiatan Kompetitif Radar 2011 dan PNBP Radar.
•
Perakitan perangkat keras pada sistem antena Radar.
•
Pemasangan modul-modul antena.
•
Pemasangan motor penggerak Radar.
•
Integrasi perangkat lunak dengan perangkat keras Radar.
•
Perbaikan/renovasi Truk untuk mobile Radar.
•
Pemasangan aksesoris termasuk power supply.
•
Pengetesan Radar (perangkat lunak, perangkat keras dan antena)
•
Pemasangan (instalasi) Radar pada truk yang telah dimodifikasi.
Gambar 7. Dudukan motor Radar.
11
Gambar 8. Sistem mekanik antena Radar.
Gambar 9. Radome Radar versi baru.
12
Gambar 10. Desain modifikasi truk untuk Radar transportable.
13
Gambar 11. Sistem Radar yang sedang di tes (tampak belakang).
Gambar 12. Sistem Radar (tampak depan).
14
Gambar 13. Contoh hasil pengukuran frekuensi IF 456 MHz.
Gambar 14. Hasil pengukuran beat signal.
15
Gambar 15. Radar sudah di-instalasi di truk.
Gambar 16. Bagian dalam truk dengan Radar yang sudah di-instalasi.
16
Gambar 17. Kunjungan pakar Radar Prof. Ligthart di truk Radar.
Gambar 18. Diskusi tentang Radar yang sedang di rakit didalam lab dengan Prof. Ligthart.
17
Gambar 19. Lokasi tes Radar dekat Danau Cirata. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Telah disampaikan laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan litbang DIPA Tematik dengan judul pemanfaatan dan pemasangan Radar pengawas pantai yang merupakan kegiatan dengan satuan biaya khusus pada tahun 2011. Output utama dari kegiatan ini adalah satu prototip Radar yang seharusnya dapat dipasang disuatu tempat tertentu yang berdekatan dengan garis pantai. Akan tetapi karena keterbatasan biaya dan waktu, maka pemasangan Radar ini untuk sementara dilakukan diatas truk sehingga menjadi versi mobile Radar. Apabila ijin dari Ditjen Hubla Kemenhub telah keluar untuk instalasi Radar di pelabuhan maka Radar ini dapat langsung di uji coba oleh pengguna dipelabuhan dan feedback dari pengguna dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan dari Radar ISRA.
18
4.2. Saran •
Pemesanan komponen memakan waktu lama terutama yang dari USA (hampir 4 bulan).
•
Keterbatasan pendanaan DIPA Radar 2011 sehingga masih di sinergikan dengan pendanaan dari kegiatan litbang lain.
•
SDM terutama di bidang perangkat lunak (software) masih perlu dibina dan ditingkatkan kemampuannya.
•
Peralatan ukur untuk tes dilapangan masih terbatas (handheld spectrum analyser dan signal generator).
•
Perlu kerjasama kemitraan dengan Pemda dan Kementrian dimasa depan utk pemasangan Radar di daerah-daerah.
•
Instalasi dan pemasangan Radar di lapangan memerlukan dana tambahan untuk pembuatan menara Radar, penyewaaan/pembelian lahan, penyediaan sarana listrik dan telepon/internet, pembuatan shelter untuk penyimpanan peralatan, pemasangan pagar, dan penjagaan instalasi Radar. Mengingat hal ini, maka pemasangan Radar pada truk (transportable) merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kendala pemasangan dilapangan.
V. REFERENSI 1.
M.I. Skolnik, ’Radar Handbook’, McGraw-Hill, 1990.
2.
M.I. Skolnik, ’Introduction to Radar Systems’, McGraw-Hill, 2002.
3.
S. Kingsley and S. Quegan, ’Understanding Radar Systems’, CHIPS.
4.
Leo P. Ligthart, ’Short Course on Radar Technologies’, International Research Centre for Telecommunications-transmission and Radar, TU Delft, September 2005.
5.
Mark Richards, ’Radar Signal Processing’, McGraw-Hill, 2005.
6.
Bassem R. Mahafza, ‘Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB’, Chapman & Hall, 2005.
7.
Mashury
Wahab
dan
Pamungkas
Daud,
‘Image
Processing
Algorithm for FM-CW Radar’, TSSA/WSSA Conference 2006, ITB Bandung, 2006.
19
8.
Mashury, ‘Development of Radar Image Processing Algorithm’, Information and Communication Technology Seminar 2006, ITS Surabaya, 2006.
9.
Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, Yusuf Nur Wijayanto. “Radar Trainer System for LIPI FM-CW Radar Network”, ICICI 2007, Bandung.
10. Mashury Wahab, ‘Penggunaan UAIS dan Radar pengawasan pantai untuk monitoring wilayah perairan indonesia’, Seminar Radar nasional 2007, Jakarta. 11. Yusuf Nur Wijayanto, Dadin Mahmuddin, and Mashury Wahab “Perancangan Sistem LFM-Chirp Radar menggunakan Matlab untuk Menentukan Posisi Target”, IES-EEPIS-ITS 2007, Surabaya. 12. Mashury, Yuyu Wahyu, A. Adya Pramudita, and Pamungkas Daud, “Coupled Patch Array Antenna For Surveillance Radar”, International Conference TSSA 2007, Bandung, 2007. 13. Mashury Wahab and Yuyu Wahyu, “Patch Array Antenna For FMCW Radar”, International Conference r-ICT 2007, Bandung, 2007. 14. Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, Yusuf Nur Wijayanto, “Radar Trainer System for LIPI FM-CW Radar Network”, International Conference ICICI 2007, Bandung, 2007. 15. Mashury, Yusuf N. W., Pamungkas D., Dadin M., Djohar S., “ A Data Processing
Scheme
For
LIPI
Coastal
Surveillance
Radar”,
International Conference on Telecommunications (ICTEL) 2008, Bandung. 16. Mashury Wahab, Sulistyaningsih and Yusuf Nur Wijayanto, “Radar Cross Section For Object Detection Of FM-CW Coastal Surveillance Radar”, Electrical Power, Electronics, Communications, Control and Information Seminar (EECCIS) 2008, Malang. 17. Mashury, Dadin Mahmudin dan Yusuf Nur Wijayanto, “ Rancang Bangun Perangkat Lunak Citra Radar”, Seminar Radar Nasional 2008, Jakarta. 18. Mashury Wahab, Pamungkas Daud, Yuyu Wahyu, dan Rustini S. Kayatmo, “Rancang Bangun Radar Pengawasan Pantai INDRA II Di
20
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi (PPET) LIPI”, Seminar Radar Nasional 2008, Jakarta.
21
Perancangan Battery Control Unit (BCU) pada Modul Panel Surya 50 Watt Peak (WP) Iqbal Syamsu, MT
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2011
22
LEMBAR PENGESAHAN 1.
Judul Kegiatan Penelitian
:
Perancangan Battery Control Unit (BCU) pada Modul Panel Surya 50 Watt Peak (WP)
2.
Kegiatan Prioritas
:
Informatika dan Telekomunikasi
3.
Peneliti Utama
:
Nama
:
Iqbal Syamsu, MT
Jenis Kelamin
:
Pria
4.
Sifat Penelitian
:
Baru (Tahun ke 1)
5.
Lama Penelitian
:
2 (dua) Tahun
6.
Biaya Total 2011
:
Rp. 250.000.000,-
Bandung, 31 Desember 2011 Disetujui, Ka. Pusat Peneltian Elektronika dan Telekomunikasi - LIPI
Peneliti Utama
Dr. H i s k i a
Iqbal Syamsu, MT
NIP. 19650615 199103 1 006
NIP. 19731119 199403 1 001
.
23
ABSTRAK Pemanfaatan
energi surya sebagai energi alternatif kurang optimal
padahal potensi pemanfaatannya cukup besar yaitu 9,1489 TWh/hari. Dalam aplikasinya terbentur pada masalah klasik yaitu besarnya biaya yang diperlukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah mahalnya Battery Control Unit (BCU) yang terdapat di modul energi surya. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka akan dibuat BCU yang mempunyai nilai ekonomis yang rendah, memiliki fitur monitoring kondisi battery, inverter DC to AC dan modul daya optimal. BCU yang dibuat ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan BCU yang sudah ada yaitu terintegrasinya modul inverter DC to AC dan adanya modul sun tracker dan MPPT (maximum power point tracking). Modul sun tracker digunakan supaya panel surya bisa mengikuti pergerakan cahaya matahari secara one-axis tracker dan MPPT sehingga output energi surya bisa optimal. Kata kunci : Battery Storage and Control, Inverter, monitoring battery, sun tracer, daya optimal I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) IX tahun 2007 masalah Energi, air bersih dan pangan merupakan hal yang sangat mendesak untuk dijaga kesinambungannya terkait dengan masalah kemakmuran suatu bangsa. Pada kenyataannya kebutuhan energi Indonesia masih sangat tergantung pada energi fosil sehingga pada akhir-akhir ini di Indonesia terjadi krisis energi ditandai dengan adanya pemadaman listrik secara bergilir oleh PLN. Dewasa ini telah dikembangkan beberapa energi alternatif diantaranya energi surya, tenaga hidro, biomassa, energi angina dan geothermal. Dari beberapa energi alternatif di atas energi surya memiliki potensi yang signifikan yaitu sebesar 9,1489 TWh/hari. Namun sangat disayangkan pemanfaatan energi surya belum dimanfaatkan secara optimal. Pada aplikasinya pemanfaatan energi surya terbentur pada masalah klasik yaitu besarnya biaya yang diperlukan. Salah satu modul yang banyak digunakan adalah modul energi surya 50 Wp karena modul ini dapat
24
digunakan untuk memenuhi kebutuahan listrik rumah tanggan yang berkisar 200
Watt
Jam/hari.
Namun
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi
pembangunan energi surya 50 Wp adalah mahalnya Battery Control Unit (BCU). Untuk menghemat biaya pemasangan energi surya biasanya BCU tidak dipasang padahal BCU digunakan sebagai alat untuk mengatur penyimpanan energi listrik keluaran dari energi surya ke baterai dan interface ke beban. Agar penerapan energi surya bisa menekan besarnya anggaran biaya dan dapat dioptimalkan khususnya di daerah-daerah terpencil yang belum mendapatkan pasokan listrik, maka dalam kegiatan ini akan diusulkan untuk membuat sistem Battery Control Unit (BCU) memiliki fitur monitoring keadaan baterai, inverter DC to AC dan modul sun tracer dan MPPT. Modul sun tracer digunakan untuk mendapatkan hasil keluaran energi surya yang optimal. BCU yang akan dihasilkan diharapkan memiliki nilai ekonomis yang lebih rendah sehingga pemanfaatan energi surya dapat secara optimal. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan dalam kegiatan ini dapat dirumuskan dalam dua bagian, yaitu kegiatan perencanaan,pembuatan dan pengujian alat; yaitu sebagai berikut: a) Perencanaan dan Perancangan Dalam perencanaan dan perancangan dilakukan studi untuk membuat BCU yang terdiri dari modul monitoring baterai menggunakan sensor arus, tegangan dan temperatur pada saat proses charge dan discharge baterai. Langkah berikutnya membuat inverter DC to AC dengan input 12-24 Vdc dan ouput 220 Vac (setara tegangan jala-jala PLN). Tahap berikutnya yaitu membuat modul sun tracker dan MPPT sehingga output yang dihasilkan lebih optimal. b) Pembuatan dan Pengujian Alat Dilakukan pengadaan komponen, bahan elektronik dan mekanik. Perakitan – perakitan modul monitoring baterai, inverter DC to AC, modul sun tracer
25
dan
MPPT,
rangkaian
interface
ke
mikrokontroler,
dan
segala
kelengkapannya. Supaya sistem dapat berfungsi secara optimal perlu pengukuran secara teliti dengan alat-alat yang memadai. 1.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan Umum : Membuat Battery Control Unit (BCU) yang mempunyai nilai ekonomis yang lebih rendah dengan fungsi yang optimal dalam menunjang modul energi surya. Khusus: Membuat Battery Control Unit (BCU) yang memiliki fitur monitoring battery secara real time, inverter DC to AC dan modul sun tracker dan MPPT. Sasaran 1. Tersedianya BCU yang relatif murah. 2. Output listrik yang dihasilkan dapat dioptimlakan dengan adanya teknik sun tracer. 1.4 Kerangka Analitik Pemanfaatan
energi
panel
surya
yang
umum
digunakan
adalah
menggunakan rangkaian pengatur yang statis. Tegangan panel surya diturunkan sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan tegangan baterai. Hal ini akan berakibat adanya rugi-rugi daya dari panel surya menuju baterai atau beban. Bila tegangan panel surya turun kurang dari tegangan kerja baterai, maka praktis tidak terjadi proses pengisian. Tentunya hal ini merugikan karena sebetulnya masih terdapat energi yang dapat dimanfaatkan walaupun jumlahnya kecil. Sistem battery control unit berfungsi memaksimalkan energi yang dihasilkan oleh panel surya. Pada saat matahari sedang dalam kondisi puncak energi akan dimanfaatkan sepenuhnya dan sebaliknya pada saat matahari
26
menghasilkan energi yang minim maka battery control unit tetap akan memanfaatkan sebaik mungkin. 1.5 Hipotesis Energi surya dapat dimanfaatkan secara maksimal apabila ada sistem yang mampu mengatur penggunaan energi yang dihasilkan. Saat panel surya mendapatkan energi matahari, daya yang dihasilkan dapat langsung digunakan untuk pemakaian sekaligus disimpan ke baterai. Pada saat panel surya tidak mendapatkan energi matahari, baterai akan mengambil alih peran dalam memasok energi. Energi yang berasal langsung dari panel surya maupun energi yang berasal dari baterai inilah yang kemudian diatur oleh sistem baterry control unit. Semakin tinggi efisiensi battery control unit akan semakin efisien transfer energi ke beban, dimana nantinya berpengaruh kepada pemakaian energi listrik secara keseluruhan. II. PROSEDUR DAN METODOLOGI Untuk merealisasikan sebuah battery control unit pada penelitian ini dilakukan tahapan-tahapan yang meliputi kajian teoritis, literatur / pustaka, perancangan, pengujian dan perbaikan serta pengukuran.
Adapun konsep dari aplikasi pemanfaatan energi surya dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Sistem energi surya
27
Keterangan : 1. Panel surya 2. Battery Control Unit (BCU) 3. Battery 4. Jaringan setara PLN 5. Beban Dari gambar di atas peran BCU sangat penting dalam modul energi surya. Tanpa adanya BCU energi yang dihasilkan tidak bisa disimpan dalam baterai. Jika BCU tidak digunakan, maka langsung dipasang inverter DC to AC. Adapun sistem BCU yang akan dibuat dapat dilihat dalam Gambar 2. Switch 2
Panel Surya
Modul Sun Tracer
Baterai
Switch 1 Mikrokontroller Interface
Sensor Tegangan, Arus, Temperatur
DC to AC Converter
220 Vac (sistem PLN)
LCD
Gambar 2. Blok Diagram Battery Control Unit (BCU) Pada Gambar 2 dapat dijelaskan bagian tiap blok sebagai berikut : 1. Mikrokontroller : sebagai kendali utama pada sistem BCU yang mengolah data dan mengirimkan data dari ke modul sun tracer, menampilkan data baterai ke LCD, membaca data baterai (arus, tegangan, temperatur) 2. Interface : mengolah sinyal output sensor supaya bisa dibaca oleh mikrokontroler. 3. Perangkat sensor : membaca data baterai selama proses charge dan discharge
28
4. Modul sun tracer dan MPPT : menentukan lokasi dari panel surya agar menangkap sinar matahari yang optimal dan memaksimalkan daya output. 5. Inverter DC to AC : mengubah tegangan dc 12 V ke tegangan AC 220 V 6. Switch 1 : mengatur input dari inverter DC to AC. Jika siang hari sumber dari panel surya dan jika malam hari sumber dari baterai. 7. Switch 2 : pada saat charge proses maka switch 1 akan on. Sebelum dilakukan pembuatan Battery Control Unit (BCU) seperti gambar 2 di atas, beberapa tahapan, sasaran, luaran dan metoda yang dilakukan adalah seperti dijelaskan pada tabel 1 berikut:
29
Tabel 1. Tahapan, Sasaran, Luaran, dan Metodologi NO
TAHAPAN
SASARAN
LUARAN
METODOLOGI
Diperoleh literatur tentang
Prototype BCU 50
Browsing internet
n dan
karakteristik dari komponen yang
Watt
perancanga
diinginkan dan rangkaian yang
Publikasi Ilmiah 1
n alat
akan digunakan
paper
Mendapatkan komponen-
Prototype BCU 50-500
. 1 Perencanaa
2 Pembuatan
Melakukan simulasi rangkaian, Pemasangan
dan
komponen yang diperlukan dalam W
komponen sesuai dengan rangkaian,
pengujian
pembuatan sistem
melakukan pengujian akhir
alat
Prototype Sun tracking Publikasi ilmiah 1 paper
30
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN III.1 Uraian Teknis Kegiatan Laporan ini memuat kegiatan penelitian tentang pemanfaatan energi surya sebagai energi alternatif yang hingga saat ini masih dirasa kurang optimal, padahal potensi pemanfaatannya cukup besar. Hal ini dikarenakan untuk membangun sistem pembangkit listrik bersumber matahari masih menemui kendala pada besarnya biaya yang diperlukan. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah masih cukup mahalnya Battery Control Unit (BCU) yang merupakan bagian penting dari sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Meskipun dipasaran banyak dijumpai sistem BCU, namun kulitasnya masih kurang baik atau untuk keperluan daya rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pada penelitian ini akan dikembangkan sistem BCU yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, memiliki fitur monitoring kondisi battery, inverter DC to AC dan modul daya optimal. BCU yang dibuat ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan BCU yang sudah ada yaitu terintegrasinya modul inverter DC to AC, Battery Storage and Control, dan Maximum Power Point Tracking (MPPT). Keberadaan sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dirasakan masih kurang bila mengingat tingginya kebutuhan listrik pada saat ini. Salah satu faktor yang mempengaruhi pembangunan energi surya adalah mahalnya Battery Control Unit (BCU). Untuk menghemat biaya pemasangan energi surya biasanya BCU tidak dipasang padahal BCU digunakan sebagai alat untuk mengatur penyimpanan energi listrik yang dihasilkan sel surya pada baterai disamping juga berfungsi sebagai antar muka ke beban. Agar penerapan energi surya bisa menekan besarnya anggaran biaya dan dapat dioptimalkan khususnya di daerahdaerah terpencil yang belum mendapatkan pasokan listrik, maka dalam kegiatan ini dilakukan untuk membuat sistem BCU yang memiliki aplikasi monitoring keadaan baterai, inverter DC to AC dan modul sun tracker dan MPPT. Modul sun tracker digunakan untuk mendapatkan hasil keluaran energi surya yang optimal. BCU yang akan dihasilkan diharapkan memiliki harga yang relatif rendah sehingga pemanfaatan energi surya dapat dilakukan secara optimal.
31
III.2 Perancangan Sistem Baterai merupakan perangkat yang digunakan untuk menyimpan energi listrik dan merupakan salah satu komponen penting pada PLTS. Perangkat ini berfungsi agar PLTS dapat bekerja dengan stabil pada berbagai kondisi cuaca dan saat malam hari. Pada pemakaian normal, baterai digunakan pada saat malam hari atau saat cuaca dimana sinar matahari kurang. Bila terjadi kondisi beban yang berlebih pada siang hari, baterai dapat digunakan untuk menambah daya yang dihasilkan panel surya agar memenuhi permintaan beban. Perancangan sistem secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 2. Mikrokontroler berfungsi sebagai kendali utama pada sistem BCU yang mengolah data dan mengirimkan data dari ke modul sun tracer, menampilkan data baterai ke LCD, dan membaca data baterai (arus, tegangan, temperatur). Kemudian interface akan mengolah sinyal output sensor supaya bisa dibaca oleh mikrokontroler. Perangkat sensor membaca data baterai selama proses charge dan discharge. Modul MPPT dan sun tracer kemudian menentukan lokasi dari panel surya agar menangkap sinar matahari yang optimal dan memaksimalkan daya output. Selanjutnya DC to AC converter (inverter) akan mengubah tegangan dc dari baterai ke tegangan jala-jala. Secara garis besar, pelaksanaan perancangan sistem BCU diprioritaskan mulai dari perangkat bagian charger atau pengisi,
perancangan sun tracer,
perancangan inverter dan monitoring sistem. Pada awal tahun penelitian ini difokuskan pada bagian charger dengan menggunakan MPPT. Apabila panel surya beroperasi pada titik Maximum Power Point (MPP), makan daya maksimal dapat dihasilkan dari panel. Pengoperasian panel surya di luar titik tersebut akan mengurangi pemanfaatan daya yang tersedia sekaligus akan mengurangi efisiensi. Pelacakan titik MPP pada tegangan/arus panel surya disebut dengan Maximum Power Point Tracking. Dalam tahapan ini kegiatan dititikberatkan pada metoda pengisian baterai dari panel surya dengan menggunakan kontrol charger yang menggunakan MPPT. Charger ini berfungsi sebagai kontrol untuk mengekstrak daya maksimal panel surya supaya berada pada daerah operasi MPP, mengontrol proses pengisian agar baterai lebih tahan lama, melindungi baterai dari over-charging dan undercharging, serta melindungi dari pemakaian yang overload. 32
III.3 Maximum Power Point Tracking MPPT merupakan sistem elektronik yang mengatur dan mengkondisikan panel surya sedemikian rupa sehingga panel surya tersebut menghasilkan daya maksimal. MPPT bukan merupakan sistem mekanik yang memposisikan panel terhadap matahari, namun merupakan murni rangkaian elektronik yang mengatur titik kerja panel agar diperoleh transfer daya terbaik yang dimiliki panel surya. Sifat panel surya diwakili oleh karakteristik arus dan tegangannnya yang disebut kurva I-V seperti terlihat pada Gambar 3. Kurva tersebut menunjukkan arus yang dihasilkan oleh panel surya -- dalam hal ini disebut modul fotovoltaik-(Im), sebagai suatu fungsi dari tegangan modul fotovoltaik (Vm), pada suatu radiasi spesifik dan temperatur sel spesifik.
Jika sebuah modul fotovoltaik dikenai
hubung singkat (Vm = 0), maka arus hubung singkat (Isc) mengalir. Pada keadaan rangkaian terbuka (Im = 0), maka tegangan modul disebut tegangan terbuka (Voc). Daya yang dihasilkan modul fotovoltaik adalah sama dengan hasil kali arus dan tegangan yang dihasilkan oleh modul fotovoltaik.
Gambar 3. Karakteristik daya pada panel surya Pada penelitian ini, algoritma yang digunakan untuk menentukan MPPT adalah Perturb and Observe. Prinsipnya yaitu memodifikasi tegangan dan arus panel surya sampai mendapatkan daya maksimal. Bila kenaikan tegangan sel ternyata menaikkan daya keluaran maka sistem akan menaikkan tegangan sampai daya keluaran mulai turun. Bila sampai tahap ini terjadi, maka tegangan 33
akan diturunkan sampai diperoleh daya maksimum lagi. Jadi titik daya maksimum akan diperoleh pada kisaran nilai tersebut. Gambar 4 menunjukkan algoritma pemrograman yang digunakan untuk membangun sistem MPPT. Dalam pelaksanaannya, perancangan dan pembuatan pemrograman dilakukan dengan menggunakan modul mikrokontroler AVR. Perangkat lunak yang digunakan adalah AVR Studio dari Atmel dengan menggunakan bahasa pemrograman C. Beberapa pemrograman yang sudah dilakukan adalah pembuatan routine untuk kontrol keypad, Analog to Digital Converter 10 bit, dan kontrol I/O. Sedangkan pembuatan algoritma P&O dikerjakan pada modul MP612.
Gambar 4. Algoritma Pemrograman MPPT
34
Gambar 5. Perancangan program mikrokontroler dengan menggunakan AVR Studio Skema blok pengontrol utama MPPT MP612 dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah. Adapun fungsi yang penting dari skema tersebut antara lain adalah sebagai pengukur tegangan dan arus dari sumber (panel surya), implementasi algoritma MPPT termasuk di dalamnya adalah perhitungan daya dan penjejak daya maksimum, pengontrol sinyal PWM, pengukur arus luaran, proteksi dan komunikasi serial. MPPT charge controller BUCK-BOOST CONVERTER +
+ D1
PWM
dari solar panel
C1
PV current sense and voltage sense
ANALOG SIGNAL CONDITIONING CIRCUIT
BOOST ON
L1
+
+
C2
ke baterai
BUCK ON
sensor tegangan dan arus batere
PV voltage sense
LOAD CONTROL AND MONITOR CIRCUIT
PV current sense BAT voltage sense
+
beban DC
BAT current sense temperature sense
MPT612 IC
MOSFET GATE DRIVER CIRCUIT
PWM
3.3 V POWER SUPPLY RESET AND CLOCK CIRCUIT
1.8 V
LED/Indikator
clock reset
Kontrol Komunikasi Port Serial
Gambar 6. Blok diagram pengontrol utama MP612 35
Sistem MPPT lebih kompleks dibandingkan dengan sistem PWM biasa. Tegangan pada panel surya berubah-ubah dipengaruhi oleh suhu dan waktu. Tegangan optimal pengisian baterai berubah mengikuti kondisi dari baterai pada saat itu, seperti yang tercantum pada Gambar 7 di bawah ini. V PV+
V BAT+ Q1
Q2
Q4
Q3
V PV-
V BAT-
Gambar 7. Rancangan DC-to-DC Converter Blok DC to DC converter merupakan rangkaian step up/down yang berfungsi menyalurkan daya dari panel surya ke beban. Mengacu pada konfigurasi rangkaiannya, converter ini dapat dioperasikan sebagai buck-only (tegangan panel surya harus lebih 1
PV_voltage_ref
15 5%
2 PV_positive
D1
1
15 5%
4.7 nF 200 V
KK
R3 68.1 k 1%
8 1 MOV1 + 2
A2
P
D13 BYV42E
TP3
1
TP2
A1
P
C5
C62
PV_current_ref_B (4)
1
PV_positive
3
100 k 5%
1
R33 20 k 5%
3 2
VDD(3V3)
BAT_overvoltage
DNI
R21
10 k 5%
B
R28 10 k 5%
P
R31
N
VCC IN
(2)
C Q11 PMBT2222A
E
282856-8
3
4
1
+
2
+
F2 12 A fuse holder Q2 PSMN1R3-30YL(1)
0.01 1% TP6
NC1
COM
1
8
2
7
3
6
4
5
R113 47 k 5%
BAT_current_ref_B Load_current_ref_B (4)
R82 20 k 5%
1
Load_current_ref_A (4)
R81 20 k 5%
C70 0.1 F
R124
R115 47 k 5%
Buck mode_enable 1k 5%
VB
1
PV_power Load_cutoff R76
(3)
Q5 PBSS8110Z
TP12
HO VS NC2
R22
P N
C15 10 F 63 V
P N
C16 10 F 63 V
1 2
D9 12 V 0.5 W
TP9
BAT_12V
BAT_gate_drive
U3 IRS21171
C14 10 F 25 V
A2 D8 BYV44
J14A 282856-8
D5 BYV42E
TP5
M6 PMV65XP
M5 PMV65XP
BAT_12 V
10 k 5% R32
1
BAT_current_ref_A 1
Buck mode_enable
10 k 5%
0
TP11
A2
LOAD 2
J14B 282856-8
R10
BAT_voltage_ref
24 V
1
R7 4.7 k 1%
C71 0.1 F
1 R111
1
LOAD 1
KK
A1
(4)
Q9 PBSS4160T
1 D19
5
R8 0.005 1%
R122 33 5%
2 0.5 W
Buck_PWM
A1
L1 85 H 20 A
Q4 PSMN1R3-30YL
TP7
D12
J14C
+
6
R121
2
12 V battery KK
4.7 F 50 V
P
N
7 8 9 10 11 12
C69 0.1 F
Q13 PBSS4160T
R4 27.4 k 1%
C27
6 5 4 3 2 1
Rsense
PV_current_ref_A
F1 12 A fuse holder C4 C7 680 F 680 F N 35 V N 35 V
P
0.010 1%
TP8
BAT_12V 2
TP4
1
R6
1
1
ES1B
BAT_POWER
K
Q3 PSMN8R2-80YS
CN2220K25G
D7
ES1B
N 1000 F N 1000 F 4.7 F 50 V 50 V 50 V
R5 3.9 k 1%
A1
4.7 nF 200 V
D2 STPS40L45CG C3
2
A2
(1)
J14D 282856-8
BAT_gate_drive
C2
R2
Q1 PSMN8R2-80YS(1)
ES1B
1 PV input
7
C1
R1
PV_power TP1
1
3 1
1k 5%
R16 33 5%
Q8 PBSS4160T
TP30
C13 0.1 F
2
20 k 5%
Gambar 8. Rancangan DC-to-DC Converter
36
besar dari tegangan baterai), boost-only (tegangan panel surya harus lebih kecil dari tegangan baterai) atau buck-boost dimana tegangan panel surya boleh bervariasi (perpaduan operasi buck dan boost). Sampai pada akhir kegiatan ini telah dirancang rangkaian DC-DC BuckBoost Converter BCU dengan skema seperti yang ditunjukkan pada Gambar 8. Masukan DC-DC Buck-Boost Converter didesain untuk dapat menangani variasi tegangan DC yang berkisar antara 10 – 27 V (tegangan nominal panel surya 12V), dengan arus pengisian maksimum 6 A. Voltage/Current Sense Bagian ini berfungsi mendeteksi besar arus dan tegangan yang diberikan pada masukan DC-DC Buck-Boost Converter, atau arus dan tegangan yang dihasilkan sumber listrik dalam hal ini adalah modul surya. Parameter nilai yang dideteksi memungkinkan untuk digunakannya sebagai pengatur konfigurasi DC-DC converter. Pada gambar berikut diperlihatkan model rangkaian elektronika Voltage/Current Sense. C18
2nd order low-pass filter
0.01 F
V DD(3V3)_A R23
PV_voltage_ref
5
10 k 1%
6
V DD(3V3)_A 1
4 7
TP13
11
R24
R25
3
4 1
10 k 1%
68.1 k 1%
2
11
U4B LPV324M
C20 0.01 F
PV volt sense_boost U4A LPV324M
C22 0.01 F
GNDA
GNDA GNDA
GNDA R26
R27
10 k 1%
1k 1%
GNDA
V DD(3V3)_A R64
10
4 8
10 k 1%
9
11
1
TP15
V DD(3V3)_A
GNDA R35
R66 10 k 1%
2
121E_bead C19 10 F 16 V CMAX
GNDA
10 k 1%
L8
1
U4C LPV324M
C68 0.01 F
V DD(3V3)
PV volt sense_buck
C21 0.1 F
GNDA
GNDA
PV voltage sense circuit 2nd order low-pass filter V DD(3V3)_A
C23
GNDA PV_current_ref_A
PV_current_ref_B
(1)
R86 100 1%
(1)
V+ VIN+ VIN
C25 0.01 F
C49 0.1 F
U14 5
3
1 4
OUT
1
TP14
2
GND
R87 100 1%
V DD(3V3)_A
0.01 F
C24 0.1 F
INA194AIDBVT GAIN 50
R29
R30
68.1 k 1%
68.1 k 1%
GNDA
12
4 14
13
11 U4D LPV324M
C26 0.01 F
PV current sense
GNDA GNDA
GNDA
PV current sense circuit
Gambar 9. Rangkaian voltage/current sense 37
MPT612 Digital Circuit Bagian ini merupakan divais utama untuk implementasi algoritma MPPT dimana proses identifikasi atau tracking daya maksimum masukan (dari modul surya) dilakukan. Bagian ini juga merespon parameter pembacaan besar arus dan tegangan solar panel dalam bentuk pengisian daya pada baterei atau distribusi arus pada beban. MPT612 merupakan mikrokontroler yang mengendalikan proses tracking, sensing arus dan tegangan serta kontrol lain termasuk port untuk komunikasi. Bentuk rangkaian elektronika dari MPT612 digital circuit dapat dilihat seperti pada gambar berikut. VDD(1V8)
2 L2 121E_bead
40
C40 0.1 F
VDDC
17
L4 121E_bead
C39 0.1 F
48 TRST TMS TCK TDI
TMS/PIO28/CAP2_1 TCK/PIO29/CAP2_2 PIO30/MAT3_3/TDI PIO31/TDO
TDO
RTCK
RTCK
JTAGSEL
DEBUGSEL
8
41
9
45
10
46
15 16
13
26
14
27
VDD(3V3) 29 3
R72 47 k 5%
SW2 RESET SW
1
TP19
RST
22 6
23
C41 0.1 F
24 28 18
C42 22 pF C43
X1 R120 1M 5%
21
11
X1 12.000 MHz
X2
32 12
33
22 pF
34
1
36
25
37 38
20
DR4 10 k 5%
19
GND
7 DC1 0.1 F
Buck mode_enable
TP32
VDD(3V3)
R53 10 k 5%
31
43
39
R56 4.7 k 5%
PIO17
PIO18
PIO18/CAP1_3/SDA1
VDD(3V3)
R65 4.7 k 5%
VDD(3V3)
R57 1k 5%
A
R58 2.2 k 5%
A D17 LED_GREEN1
K
PIO13/MAT1_1/DTR1
D16 LED_YELLOW1
K
PIO15/EINT2/RI1 R67
PIO16/EINT0/MAT0_2
Powerdown_wakeup
10 k 5%
PIO0/MAT3_1/TXD0
TXD0
PIO1/MAT3_2/RXD0
RXD0 PIO08 DR2
PIO8/TXD1/PWMOUT1 PIO9/RXD1/PWMOUT2
PIO09
PIO4/SCK0
PWMOUT0
R75 2.2 k 5%
A D18 LED_RED1
Load_cutoff
PIO6/MOSI0
VDD(3V3)
10 k 5%
Buck_power_enable
PIO5/MISO0
PIO2/SCL0
DR1 10 k 5%
K
Buck_PWM 1
TP24
PIO2
PIO3/SDA0 1
TP25
PIO3
PVVOLTSENSEBUCK
PV volt sense_buck
PVVOLTSENSEBOOST
PV volt sense_boost
PVCURRENTSENSE PIO10/CAP1_0/RTS1/AD3 PIO11/CAP1_0/CTS1/AD4 PIO12/MAT1_0/DSR1/AD5 PIO25/AD6
PV current sense Load current sense BAT current charge BAT volt sense 1
PIO26/AD7
TP23
VDD(3V3)_A
1
GNDA
V DD(3V3)
EINT1
PIO17/CAP1_2/SCL1
GND
RTXC1
4
GNDADC
RTXC2
35
GND
VDD(RTC)
DR3 10 k 5%
1
MPT612FBD48
2 MMBD4148 1
30
U15
D10
PIO21
TP31
GNDA 42 1 PIO19/MAT1_2/MISO1 PIO20/MAT1_3/MOSI1 2 PIO21/SSEL1/MAT3_0 3 PIO14/EINT1/SCK1/DCD1 44
5
47 TRST/PIO27/CAP2_0
PIO20
1
1
VDD(IO)
VDD(IO)
C38 0.1 F
2
L3 121E_bead
1 C37 0.1 F
V DD(3V3)
2
VDD(ADC)
VDD(3V3)
TP21
NTC for ambient temp measurement
R79 2.2 k 1%
R84 100 1% NTC1 NTC
NTC response At 25 C = 1.5 k At 0 C = 4.28 k At 85 C = 440
GNDA
Gambar 10. Rangkaian Digital MPT612
38
Power Supply Rangkaian power supply didesain untuk memberikan supply daya pada divais elektronika BCU. Rangkaian power supply dapat bekerja dengan mengambil energi listrik dari baterai 12 VDC dan menghasilkan luaran 3,3 VDC. Skema rangkaian elektronika power supply dapat dilihat seperti pada gambar di bawah. BAT_current_ref_B 2 GNDA
Switching regulator circuit for V DD(3V3) BAT_12 V R93 C65 4.7 F 50 V
I peak sense V CC
0.2
Comp inv IP C53 47 F 25 V CMAX
8
1
7
2
6
3
5
4
SW collector SW emitter
100 1%
R99
1
Timing cap
L7
2
1
C54 680 F 10 V
A D11
330 pF
47 k 5%
100 k 1%
2
4 3.3 V_standby
3
6
1 3
3.3 V_standby R116
R106
2
U12 74LVC1G332GW
15 k 1%
15 k 1%
3
1M 5%
R118
Q7
4.7 k 5%
PV_voltage_ref
100 k 1%
12 13
R110
C58 0.1 F
R114 2 M (2) 1%
Buck_power_enable 3.3 V_standby
C60 0.1 F
3.3 V_standby
(1)
1 M (2) 5%
4
U11B 11 LPV324M
5
R77
6
100 k 1%
1
TP28
4
8
11 U11C LPV324M
C73 0.33 F
Load_current_ref_A
10 9
R107 DNI 10 k 1%
Load_current_ref_B
R108 22 k 1% (1)
14
R94 2.2 k 1%
3.3 V_standby
1
11 U11D
GNDA
TP29
Powerdown_wakeup
C61 4.7 nF
R102
7
LPV324M
3.3 V_standby
20.5 k 1%
4
C52 2.2 F 16 V
NR
Load current sense
3.3 V_standby R104
1 OUT
GND
R109 (1)PV voltage comparator
4
2
B E PMBT2222A
4
(1)
1M 5%
Q6 PMBT2222A
R119 4.7 k 5%
R103
5
C57 0.1 F
C
E
C59 0.1 F
5
EN
1
BAT_current_ref_B
C
12.4 k 1%
R101 10 k 5%
R97 100 5%
B 3.3 V_standby
R123
IN
MT1
V DD(1V8)
U10 TPS73018DBV
C56 0.1 F
C55 0.1 F
U11A LPV324M TP27 11 1 1
MOUNTING HOLE
V DD(3V3)
R100
N CMAX
PMEG6010CEJ
2
121 Bead
M1 PMV65XP
TP26
20.5 k 1%
(1) BAT voltage comparator
BAT_voltage_ref
L6
1
47 H
K
GND C51
MC33063A R96
R98
1
3.3 V_standby
U9
Drive collector
L5 121 Bead
R78
R117
10 k 1%
15 k 1%
R105 10 k 1%
Gambar 11. Skema Power Supply Realisasi Rangkaian PCB Seluruh sub-sistem rangkaian BCU selanjutnya diimplementasikan pada papan PCB seperti diperlihatkan pada gambar berikut (tampilan tampak atas dan bawah).
39
Gambar 12. Printed Circuit Board prototype BCU III.4 Prototip, Pengujian dan Pengukuran Pada tahun pertama kegiatan ini pekerjaan yang dilakukan lebih banyak dititikberatkan pada pekerjaan perancangan. Tiap blok atau bagian-bagian rangkaian sudah dalam tahap penyelesaian desain dan dilakukan oleh peneliti yang berbeda. Untuk itu pengukuran parameter dengan menggunakan alat ukur masih sedikit dilakukan. Sampai dengan tahap ini, perancangan BCU dilakukan pada modul-modul terpisah,
seperti
modul
charger,
modul
mikrokontroler
dan
modul
komunikasi/interface. Pembuatan protitip mulai dilakukan dengan perancangan pada PCB. Bagian sun tracker secara fisik mulai dikerjakan pada tahap ini. Sun tracker memerlukan desain mekanik dan kontrol yang baru akan dilakukan di tahun selanjutnya. Namun sebagai persiapan, telah dilakukan studi tentang pola dan radiasi matahari dalam rentang waktu satu tahun. Hal ini penting dilakukan sebagai acuan kerja mikrokontroler nantinya. Kontrol untuk motor stepper sudah mulai dibuat untuk penggerak solar panel. Rancangan awal dilakukan untuk merealisasikan mode single-axis menggunakan IC L298N (lihat Gambar 17).
40
Gambar 13. Pengukuran karakterisasi panel surya
Gambar 14. Pengukuran menggunakan beban untuk menentukan kurva I-V Karakterisasi energi matahari yang diterima oleh panel surya diperoleh dari sampel pengukuran selama satu bulan dan dapat dilihat pada gambar berikut.
41
Po (W) 40
Sampel: Mei 2011
35 30 25 20 15
Pavg = 30,1 Watt
10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
day n
Gambar 15. Grafik rata-rata daya output panel surya 50Wp di lokasi 6°52'52.60" S 107°36'40.05" E (Komplek LIPI Bandung) Dari grafik pengukuran menunjukkan bahwa pada siang hari energi yang mampu diserap oleh panel surya tidak sepenuhnya berada pada titik maksimal. Pengukuran prototipe battery control unit dapat dilihat pada tabel di bawah. Nilai parameter disesuaikan dengan spesifikasi komponen yang digunakan pada modul MP612. Parameter
Nilai
Tegangan PV (nom)
12 V
Tegangan PV (max)
27 V
Arus PV (max)
6A
Tegangan Minimum untuk operasi
10 V
MPP Daya PV (max)
100Watt
Baterai Jenis Baterai Tegangan Baterai (nom)
Lead-acid, gel 12V
42
Arus Pengisian (max)
6A
Beban Load DC voltage
sama dengan tegangan baterai
Maximum load current
8A
PV reverse polarity protection
Ya
PV reverse current flow protection
Ya
Surge/transient protection Maximum controller standby current
1.5 kVA 10mA
Tabel 2. Pengukuran parameter battery control unit
Gambar 16. Pemrograman kontrol motor menggunakan modul mikrokontroler Penggerak motor untuk rangkaian mekanis panel direalisasikan menggunakan IC L298N. Sedangkan kontrolnya ditangani oleh mikrokontroler. IC ini bisa difungsikan untuk stepper motor maupun DC motor (dual), seperti terlihat pada gambar di bawah.
43
Gambar 17. Diagram rangkaian penggerak motor untuk mekanik panel sampai dengan 2 A
Gambar 19. Pengujian BCU di laboratorium
44
IV. KESIMPULAN DAN SARAN IV.1 Kesimpulan Sampai dengan akhir kegiatan tahun pertama, telah dilakukan studi literatur yang
bersumber
dari
tulisan/jurnal
nasional,
tulisan/jurnal
internasional,
panduan/manual produk panel surya dan browsing internet. Telah dilakukan juga studi yang lebih intensif mengenai algoritma MPPT dengan algoritma P&O. Walaupun lebih rumit namun menggunakan MPPT ini lebih efisien dibandingkan metoda lain. Komponen dan bahan dapat dipenuhi dari pasar lokal, sedangkan sebagian komponen dari luar negeri sedang dalam tahap proses pengadaan. Walaupun fokus penelitian ini adalah merancang pengontrol baterai yang didalamnya merupakan rangkaian elektronik, namun pada kenyataanya tidak lepas dari komponen dan bahan yang lain seperti panel surya, baterai dan bahan mekanik. Bahan-bahan tersebut dibeli dari pasar lokal. Kendala yang dihadapi masih sedikit dan sifatnya masih bisa diatasi. Diantaranya adalah keterbatasan referensi tulisan atau jurnal ilmiah internasional yang berhubungan dengan teknologi MPPT dan ketersediaan alat ukur di laboratorium. Selain dari itu tidak ada lagi kendala yang berarti. Pengujian baterai control unit masih dilakukan dengan cara sederhana menggunakan beban resistif. Dari pengujian tersebut arus pengisian baterai maksimal adalah 8 Ampere dengan beban maksimal 6 Ampere. IV.2 Saran Sampai dengan kegiatan penelitian pada akhir tahun pertama ini, maka ada beberapa hal yang masih perlu ditingkatkan dan diharapkan bisa dilakukan pada tahap selanjutnya adalah: 1.
Perbaikan metoda perancangan dalam skala simulasi, karena hal ini penting untuk meningkatkan kinerja rangkaian elektronik dan memprediksi masalah lebih awal. Teknik yang dapat diterapkan adalah menggunakan perangkat lunak simulasi matematis.
2.
Karakterisasi fisik pada baterai terhadap
temperatur, sampai pada
penelitian ini parameter temperatur belum diperhitungkan. Sedangkan arus
45
pengisian baterai semestinya disesuaikan dengan temperatur baterai atau lingkungan sekitar. V. REFERENSI 1.
Frederick
M.
Ishengoma
and
Lars
E.
Norum,
“Design
and
implementatiion of a digitally controlled stand-alone photovoltaic power supply”, Dept. of Electrical Power Engineering , Norwegian University of Science and Technology, Norway. 2.
Joe-Air Jiang, Tsong-Liang Huang, Ying-Tung Hsiao and Chia-Hong Chen, “Maximum power tracking for Photovoltaic power systems”, Tamkang Journal of Science and Engineering, Vol.8 No.2 pp.147-153, Tamsui, Taiwan.
3.
Geoffrey R. Walker and Paul C. Sernia, “Cascaded DC-DC converter connection of photovoltaic modules”, IEEE Transactions on Power Electronics vol.19 no.4, July 2004.
4.
Y. Ueda, K. Kurokawa, T. Tanabe, K. Kitamura, K.Akanuma, M. Yokota, H. Sugihara, “Study on the over voltage problem and battery operation for grid-connected residential PV systems”, 22nd European Photovoltaic Solar Energy Conference, 3-7 September 2007, Milan, Italy.
5.
A. Adiyabat, K. Kurokawa, “An optimal design and use of solar home system in mongolia”, Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT)
6.
Takae Shimada and K. Kurokawa, “Grid-connected photovoltaic systems with battery storages control based on insolation forecasting using weather forecast”, Renewable Energy 2006 Proceedings.
7.
Takae Shimada and K. Kurokawa, “High precision simulation model of battery characteristics”, Renewable Energy 2006 Proceedings.
8.
Mukund R. Patel, “Wind and solar power systems”, 1999, CRC Press LLC.
9.
N. Mohan, T.M. Undeland, W.P. Robbins, “Power Electronics; Converters, Application, and Design”, 2nd ed., Wiley, New York, USA, 1995.
46
10.
NXP Semiconductors, “Photovoltaic MPPT battery charge controller using the MPT612 IC reference board Application note Rev 2”, 2 February 2011. ---oo=O=oo---
47
Pembuatan Dye-Sensitized Nanocrystalline Tio2 Solar Cell dengan Teknologi Screen Printing Natalita Maulani Nursam, ST, M.Phil
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2011
48
LEMBAR PENGESAHAN 1.
Judul Kegiatan Penelitian
:
Pembuatan Dye-Sensitized Nanocrystalline Tio2 Solar Cell dengan Teknologi Screen Printing
2.
Kegiatan Prioritas
:
Informatika dan Telekomunikasi
3.
Peneliti Utama
:
Nama
:
Natalita Maulani Nursam, ST, M.Phil
Jenis Kelamin
:
Wanita
4.
Sifat Penelitian
:
Lanjutan (Tahun ke 3)
5.
Lama Penelitian
:
3 (tiga) Tahun
6.
Biaya Total 2011
:
Rp. 450.000.000,-
Bandung, 31 Desember 2011 Disetujui, Ka. Pusat Peneltian Elektronika dan Telekomunikasi - LIPI
Peneliti Utama
Dr. H i s k i a
Natalita Maulani Nursam, ST, M.Phil
NIP. 19650615 199103 1 006
NIP. 19821227 200604 2 004
49
Abstrak Sel surya jenis dye-sensitized (dye sensitized solar cell – atau disingkat DSSC) merupakan jenis sel surya generasi ketiga yang memanfaatkan prinsip fotoelektrokimia. Struktur fisik DSSC terdiri atas lapisan TiO2 pada substrat TCO glass (Transparant Conductive Oxide), dye sebagai sensitizer, larutan elektrolit dan elektroda katalis. Pasta nc-TiO2 dideposisikan pada substrat glass dengan metoda screen-printing. Molekul-molekul dye ditambahkan pada permukaan ncTiO2 yang berfungsi untuk menyerap cahaya yang datang. Untuk membangkitkan tegangan maka digunakan larutan elektrolit
sebagai tempat berlangsungnya -
reaksi redoks yang melibatkan ion iodida (I ) dan triiodida (I3-), serta lapisan konduktor pada elektroda pembanding (counter elektroda) sebagai elektroda katalis. Proses pembuatan DSSC ini akan dilakukan di PPET LIPI selama 3 tahun. Tahun 2009 telah dilakukan penelitian awal untuk memahami mekanisme DSSC berupa persiapan awal dan karakterisasi proses. Tahun 2010 merupakan tahun kedua penelitian merupakan optimasi proses dan penelitian penggunaan counter elektroda yang berbeda. Pada tahun 2011 akan dilakukan proses pembuatan dyesensitized nanocrystalline TiO2 solar cell dengan fokus penelitian terhadap tiga faktor, yaitu
material elektrolit, sealing, dan analisa pengaruh dimensi.
Karakteristik kurva I-V sel diukur dengan beberapa sumber cahaya, yaitu sun simulator Oriel 1.5AM dengan intensitas 40mW/cm2 dan di bawah sinar matahari langsung (>60 mW/cm2).
Selain itu, pada tahun ke-3 ini kami telah berhasil
memfabrikasi beberapa modul surya DSSC untuk panel demonstrasi dengan luas area aktif 6x1 cm2 per sel. Efisiensi terbaik dari sel surya DSSC yang kami peroleh adalah 4.41% untuk luas area aktif 2x1 cm2 serta 3.05% untuk luas area aktif 6x1 cm2. Untuk modul surya, efisiensi terbaik yang kami hasilkan adalah 4.02% (dibawah intensitas cahaya 6mW/cm2) dan 0.65% (dibawah matahari 80 mW/cm2) dengan total luas area aktif sebesar 144 cm2. Kata kunci : sel surya, dye-sensitized, TiO2, karakteristik kurva I-V, efisiensi.
50
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan energi di Indonesia terus meningkat sementara potensi dan kapasitas energi yang berasal dari fosil jumlahnya terbatas, sehingga diperlukan penelitian dan pengembangan pengadaan sumber energi baru dan terbarukan. Sumber energi alternatif yang memiliki potensi dan kapasitas yang cukup besar adalah energi cahaya matahari. Sel surya adalah suatu divais yang secara langsung mengubah energi cahaya matahari menjadi energi listrik. Di dunia penggunaan sel surya sebagai pembangkit energi listrik tenaga surya sedang mengalami lonjakan kebutuhan yang sangat “booming” (tinggi). Sedangkan di Indonesia pemanfaatannya tenaga surya masih kecil, hal ini dikarenakan mahalnya harga pembangkit listrik jenis ini. Akan tetapi penyediaan sumber energi alternatif sangat diperlukan. Sehingga perlu melakukan riset di bidang tersebut untuk mendukung program pemerintah dalam penyediaan energi alternatif baru dan terbarukan. Penelitian dan pengembangan proses sel surya di dunia didominasi dari bahan silikon single crystalline maupun polycrystalline. Namun sel surya silikon ini harganya masih relatif mahal, sehingga berbagai usaha untuk mencari teknologi alternatif untuk pengembangan yang memiliki potensi harga relatif murah. Saat ini kecenderungan pengembangan teknologi proses sel surya mengarah pada teknologi struktur nano, baik pengembangan rekayasa bahan ataupun material. Pengembangan
rekayasa
bahan
atau
material
skala
nanometer
telah
membangkitkan sebuah sel surya jenis baru yang dapat merealisasikan sel surya biaya rendah di masa yang akan datang, yaitu berupa dye-sensitized solar cell (DSSC). Bahan-bahan yang digunakan meliputi sebagai bahan-bahan organik dan nano partikel inorganik. Perkembangan devais ini bermula dari hasil penelitian Michael Gratzel dan rekannya dari Laboratorium Photonic dan Interface EPFL Switzerland di awal tahun 1990-an. Konsep ini diperhatikan sebagai teknologi masa depan sebagai alternatif sel surya konvensional berbasis silikon. Teknologi yang digunakan dalam fabrikasi sel surya ini menggunakan teknologi screen printing. Pemilihan teknologi berupa screen printing dikarenakan teknologi ini mudah diterapkan dan relatif murah dan repeatable, sehingga untuk produksi skala besar teknologi ini dapat diandalkan. Bahan-bahan pendukung untuk proses fabrikasi dengan screen printing sudah banyak tersedia di pasaran 51
Indonesia. Oleh karena itu teknologi fabrikasi DSSC dengan teknologi screen printing ini lambat laun akan mampu diterapkan untuk diproduksi pada tingkat industri menegah atau industri rumahan yang tentunya dengan diberi penyuluhan secara terus menerus. Berdasarkan hal tersebut di atas serta didukung tersedianya sarana dan prasarana yang lengkap dan sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi teknologi proses yang baik, PPET–LIPI mencoba turut mengatasi permasalahan untuk melakukan penelitian dan pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan dengan pengembangan struktur nano, yaitu melakukan pembuatan dye-Sensitized nanocrystalline TiO2 solar cell. Kegiatan ini sesuai dengan Renstra PPET-LIPI yaitu program energi baru dan terbarukan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan tentang teknologi proses sel surya screen printing dengan membuat dyesensitized Sensitized nanocrystalline TiO2 solar cell. Kegiatan ini akan dilakukan selama 3 tahun, dimana tahun 2009 telah dilakukan penelitian awal untuk memahami mekanisme DSSC berupa persiapan awal dan karakterisasi proses screen printing. Tahun 2010 dilakukan optimasi proses dari hasil karakterisasi yang telah didapatkan tahun sebelumnya. Tahun 2011 akan dilakukan proses pembuatan dye-Sensitized nanocrystalline TiO2 solar cell untuk ukuran sel 1,5 x 8 cm dan panel demonstrasi DSSC. Hasil kegiatan penelitian ini diharapkan mampu memberikan konstribusi ilmiah dalam menunjang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya pengembangan material berstruktur nano serta menunjang program pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang energi baru dan terbarukan. 1.2. Perumusan Masalah Teknologi screen printing merupakan salah satu teknologi untuk pembuatan DSSC yang relatif sederhana dan murah. Prosedur proses menggunakan teknologi yang saat ini sedang berkembang, yaitu struktur sandwich. Substrat yang digunakan adalah berupa glass TCO. Setelah dilakukan karakterisasi proses pada tahun 2009 dan 2010, parameter proses yang dihasilkan akan digunakan untuk membuat DSSC dengan ukuran 1,5 x 8 cm. Optimasi proses akan dilakukan untuk mendapatkan proses yang repeatible. Percobaan teknik assembly akan dilakukan agar prototipe sel dan panel dapat terisolasi dengan baik sehingga 52
memperpanjang
lifetime
dari
sel
surya
DSSC.
Penelitian
ini
dilakukan
menggunakan rancangan single-cell dengan metodologi proses sesuai dengan state of the art DSSC saat ini. 1.3. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Umum : Membuat Dye-Sensitized nanocrystalline TiO2 Solar Cell dengan teknologi screen printing. Khusus : -
Membuat Dye-sensitized nanocrystalline TiO2 Solar Cell ukuran sel 1,5x8 cm1 menggunakan parameter proses berdasarkan hasil optimasi proses.
-
Mempelajari pemahaman tentang proses pembuatan Dye-sensitized nanocrystalline TiO2 Solar Cell
2. Sasaran Sasaran dari penelitian tahun 2011 adalah : Umum : Terwujudnya sebuah sel surya menggunakan kombinasi lapisan nanocystalline TiO2 (nc-TiO2) dengan dye-sensitizer Khusus : -
Dihasilkannya
Dye-Sensitized
nanocrystalline
TiO2
Solar
Cell
menggunakan teknologi screen printing dengan ukuran sel 1,5 x 8 cm2. -
Didapatkannya
pemahaman
tentang
proses
pembuatan
Dye-
Sensitized nanocrystalline TiO2 Solar Cell Keluaran / Output dari penelitian tahun 2011 : Publikasi
: 1 buah
Sampel produk
: 1 buah (sel surya dan panel demonstrasi sel surya DSSC).
1.4. Kerangka Analitik 1.4.1. Dye-sensitized Solar Cell 1
Dikarenakan keterbatasan ukuran squeegee pada alat screen printing, pembuatan sel dengan ukuran area aktif tersebut menjadi kurang optimal. Oleh karena itu pada pelaksanaan penelitian ini kami luas area yang kami gunakan adalah 6cm2 dengan ukuran optimum 1x6 cm2 (lihat sub bab 3.2).
53
Dye-Sensitized nanocrystalline TiO2 Solar Cell (selanjutnya disingkat dengan sebutan DSSC) adalah sel surya yang merupakan kombinasi elektroda berstruktur nano dengan injeksi muatan suatu dye. Sel ini dibentuk dari dua buah substrat berupa transparent-conducting-oxide (TCO-glass) yang disusun secara sandwich. Bagian atas berupa molekul-molekul dye yang terikat dipermukaan lapisan semikonduktor mesoporous nc-TiO2 dan bagian alas terlapisi platinum sebagai elektroda katalis dan larutan elektrolit sebagai penghantar muatan [1-3]. Struktur DSSC ditunjukkan pada gambar 1. Fotoelektroda adalah bagian yang berupa lapisan nc-TiO2 yang dideposisikan pada anoda transparan dari bahan kaca TCO. Molekul-molekul dye ditambahkan pada permukaan nc-TiO2 yang berfungsi untuk menyerap cahaya yang datang (sensitizer). Untuk membangkitkan tegangan maka diberikan larutan elektrolit berupa pasangan redoks seperti I- /I3- dan lapisan konduktor sebagai counter-electroda.
Gambar.1 Ilustrasi struktur dasar DSSC. Karakteristik sel surya dye-sensitized dipengaruhi material pembentuknya. Jenis dye terkait dengan efektifitasnya dalam penyerap cahaya. Semakin luas spektrum absorbsi dye semakin baik kemampuannya untuk mengek sitasi elektron ke pita konduksi elektroda. Jenis elektroda berkaitan dengan besarnya band gap yang dimilikinya. Titanium dioksida (TiO2) yang memiliki band gap sekitar 3,2 eV merupakan fotoelektroda yang sering digunakan pada sel surya ini. Counterelektroda berfungsi sebagai katalis untuk merpercepat kinetika reaksi proses reduksi triiodide pada TCO harus memiliki kemampuan katalitik yang tinggi. Salah satu bahan yang umumnya digunakan adalah Platina [4,5]. Sementara itu, 2
Ibid 54
material elektrolit yang digunakan juga cukup penting karena berkaitan dengan regenerasi elektron pada elektroda. Salah satu faktor yang umumnya masih menjadi kendala pada pembuatan sel surya DSSC adalah optimalisasi proses yang berhubungan dengan material. Ada beberapa jenis komponen material dalam DSSC yang sangat berpengaruh terhadap performa sel, yaitu material pembentuk fotoelektroda (dalam hal ini adalah TiO2 dan dye atau pewarna), counter-elektroda (Pt) serta elektrolit. Fotoelektroda merupakan bagian yang cukup signifikan pada DSSC dikarenakan fungsinya sebagai penyerap sinar matahari secara langsung. Beberapa parameter penting yang berpengaruh terhadap kualitas fotoelektroda adalah ketebalan TiO2, ukuran partikel dan porositas TiO2 serta respon cahaya dari zat pewarna terhadap panjang gelombang yang dihasilkan oleh matahari. Selain itu, pemilihan jenis larutan elektrolit yang tepat pun merupakan salah satu faktor yang masih banyak dipelajari oleh para peneliti [6, 7]. Karena bentuknya yang berupa larutan, banyak permasalahan yang timbul yang berhubungan dengan penggunaan elektrolit, seperti halnya kebocoran, penguapan, kemungkinan terjadinya korosi pada counter-elektroda, dan lain sebagainya. Kebanyakan permasalahan diatas terkait dengan isu kestabilan performa sel dalam jangka panjang [6]. Selain larutan, saat ini elektrolit gel juga sedang dikembangkan untuk meningkatkan kestabilan sel [8]. Selain pemilihan material, faktor lain yang tak kalah penting adalah optimalisasi dimensi area aktif TiO2 pada bagian fotoelektroda. Faktor ini cukup penting utamanya pada saat mendisain modul surya DSSC yang tersusun atas beberapa sel surya DSSC dengan ukuran yang umumnya lebih besar untuk menghasilkan daya output yang relatif tinggi. Masalah yang kerap timbul pada saat up-scaling sel surya DSSC, baik masih berupa sel maupun modul, adalah menurunnya efisiensi secara drastis. Salah satu penyebab hal tersebut adalah rugi-rugi yang diakibatkan oleh area aktif dan kontak elektroda [3, 9]. Oleh sebab itu, dalam merancang disain sel surya DSSC maupun modul surya DSSC, dibutuhkan estimasi yang tepat untuk menentukan faktor dimensi. Hal ini ditujukan untuk meminimalisir rugi-rugi yang timbul akibat pengaruh tahanan parasitic baik itu yang dipengaruhi oleh area aktif maupun non-aktif . Karakteristik DSSC sangat dipengaruhi oleh material dari komponen aktifnya yang antara lain terdiri atas: 1. Nanoporous TiO2 55
Titanium Dioxide (TiO2) merupakan salah satu material semikonduktor yang dengan band gap lebar (~3,2 eV) yang sering digunakan. TiO2 memiliki sifat optik yang baik, bersifat inert, tidak berbahaya, dan murah [1,10]. Dalam aplikasinya pada DSSC, TiO2 harus memiliki permukaan yang luas agar dye yang teradsorpsi lebih banyak dan dapat meningkatkan arus photon, sehingga material TiO2 yang digunakan harus bersifat porous dan berstruktur nano (nanocrytalline - nc-TiO2). Semikonduktor lain dapat yang digunakan yaitu ZnO, akan tetapi performanya lebih rendah dibandingkan TiO2 [4]. 2. Dye (zat pewarna) Dye memiliki fungsi mengabsorbsi cahaya yang datang. Dye yang umumnya
digunakan
yaitu
jenis
ruthenium
complex.
Walaupun
DSSC
menggunakan ruthenium complex telah mencapai efisiensi yang cukup tinggi, namun dye jenis ini cukup sulit untuk disintesa dan ruthenium complex komersil berharga mahal. Alternatif lain yaitu penggunaan dye bahan natural yang mengandung zat pigmen antocyanin seperti blueberry, rosela, rasberry dll [11]. Gambar 2 menunjukkan struktur kimia dari dye berbasis Ru B2(N719) yang digunakan pada penelitian ini .
Gambar 2. Struktur kimia B2(N719) dengan rumus kimia C58H86N8O8RuS2 [12]. 3. Elektrolit Ada beberapa tipe elektrolit yang yang digunakan pada DSSC terdiri dari iodine (I-) dan triiodide (I3-) sebagai pasangan redoks dalam pelarut. Salah satu kekurangan dari DSSC adalah stabilitasnya yang rendah, terutama akibat degradasi dan kebocoran pada elektrolit cair. sekarang ini elektrolit berupa gel sedang dikembangkan untuk mengurangi degradasi dan kebocoran elektrolit yang dapat meningkatkan stabilitas sel.
56
4. Counter Elektroda Counter elektroda berfungsi sebagai katalis untuk merpercepat kinetika reaksi proses reduksi triiodide pada TCO. Material yang umum digunakan pada aplikasi ini dan dapat menghasilkan effisiensi yang cukup tinggi adalah Platina. Platina dideposisikan pada TCO dengan berbagai metoda yaitu elektrokimia, sputtering, spin coating, atau pyrolysis. 1.4.2 Teknologi Screen Printing Teknologi screen printing merupakan teknologi pembuatan komponenkomponen dan rangkaian elektronik terintegrasi Hibrida (IC-Hybrid) yang berbasis substrat keramik. Dengan berkembangnya bidang material, saat ini tersedia pasta untuk proses fabrikasi sel surya melalui proses screen printing, seperti halnya pada proses DSSC. Proses Pencetakan (printing) ini adalah proses pemindahan bahan pasta melalui suatu pola tertentu yang dibentuk di atas screen, ke atas substrat yang diinginkan. Keuntungan yang dapat diambil dari penggunaan teknologi screen printing dalam pembuatan sel surya ini meliputi investasi peralatannya cukup rendah, prosesnya cukup sederhana dan dapat digunakan untuk proses produksi masal. Setelah
proses
pencetakan
langkah
selanjutnya
adalah
proses
pembakaran (firing) pasta, namun sebelumnya pasta harus dikeringkan terlebih dahulu pada 1000C sampai 1200C. Alat yang digunakan untuk proses pembakaran ini adalah infrared conveyor belt furnace yang memiliki 3 zone, yaitu prapembakaran, zone pembakaran dan zone pendinginan. 1.4.3 Teknologi Sputtering Proses Sputtering merupakan salah satu proses deposisi yang biasa digunakan untuk pembuatan lapisan tipis konduktor, isolator ataupun lapisan aktif lainnya dengan ketebalan dibawah 1 mikron. Adapun prinsip dasar proses sputtering adalah proses terpentalnya materi (atom) dari suatu permukaan zat padat atau cair akibat adanya tumbukan dari partikel berenergi tinggi sehingga atom-atom tersebut menempel pada substrat membentuk lapisan tipis. Proses berlangung dalam suatu ruang vakum. Sebagai gas pembawa muatan biasa digunakan gas inert Argon. Gambar 3 menunjukkan konfigurasi proses sputtering.
57
Gambar 3. Skema proses Sputtering [13] 1.4.4 Karakteristik Sel Surya Dalam pengukuran sebuah komponen sel surya, karakteristik yang diperlukan adalah Kurva I-V atau hubungan arus dan tegangan, seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Kurva hubungan Arus dan tegangan sebuah silikon sel surya Efisiensi merupakan salah satu karakteristik listrik dari sebuah sel surya yang didefinisikan sebagai perbandingan daya keluaran maksimum, (Pm)
dan
daya masuk yang berasal dari cahaya matahari yang datang, (Pin). Persamaan efisiensi dari sel surya adalah : = Pm/Pin
………………..
(1)
Fill Factor adalah ratio daya keluaran maksimum (Pm) terhadap produk arus hubung singkat (Isc) dengan tegangan hubung terbuka (Voc). FF = Pm/Voc x Isc
…………..
(2)
Dimana : Isc = Arus hubung singkat, dilihat pada saat tegangan V=0 58
Voc = Tegangan hubung terbuka dilihat pada saat arus sama dengan nol (I=0). Fill factor merupakan representasi dari penyimpangan yang terjadi dari karakteristik I-V sebuah sel terhadap sel yang ideal. Peyimpangan yang terjadi ini diakibatkan pengaruh resistansi seri dan resistansi paralel. 1.5. Hipotesa Pada penelitian pembuatan Dye Sensitized nanocrystalline TiO2 Solar Cell, proses preparasi substrat (Glass TCO), pelapisan nc-TiO2, pelapisan counter elektroda, teknik pencelupan Dye sensitizer, pengisian larutan elektrolit dan teknik assembing akan sangat mempengaruhi karakteristik dye solar cell yang dihasilkan. Karekterisasi proses untuk mendapatkan teknik dan parameter proses yang tepat sangat diperlukan sehingga akan dihasilkan dye solar cell yang memiliki karekteristik listrik yang baik dengan efisieinsi yang baik pula. II. PROSEDUR DAN METODOLOGI 2.1. Peralatan Peralatan yang digunakan meliputi peralatan proses dan peralatan pengukuran. Beberapa peralatan utama yaitu : a. Screen printing, alat proses untuk pencetakan pasta, ditunjukkan gambar 5.
Gambar 5. Screen printer b. Conveyor Belt Furnace Spinner, alat proses untuk pembakaran (annealing) ditunjukkan pada gambar 6.
59
Gambar 6. Conveyor Belt Furnace c. Sun simulator Oriel-source AM1.5 ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7. Sun simulator Oriel-source AM1.5 d. Sputtering system ditunjukkan gambar 8.
Gambar 8. Sputtering system e. Peralatan pendukung lainnya seperti
four point probe, screen maker,
timbangan, mutimeter,alat ukur intensitas cahaya, peralatan bor mekanik, hot plate, peralatan kimia seperti petri disk, pipet, gelas kimia dll. f. Peralatan analisa material seperti SEM, XRD, Spectrofotometer UV menggunakan jasa kerjasama dari instansi lain (ITB, ESDM, dan UNS).
60
2.2. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : -
TEC15 glass (fluorine doped SnO2 15Ω/sq)
-
Pasta TiO2: DSL 18 NR-AO dan DSL 18 NR-T
-
Target Platina
-
Larutan Elektrolit: EL-HSE dan EL-SGE
-
Dye: B2(N719) dan (Z907)
-
Thermoplastic Sealant, Surlyn 50 µm
-
Hermetic Sealing Compound
-
Nylon screen, stainless steel screen, ulano line 300, ulano 188
-
Ethanol, IPA, silicon rubber
Gambar 9. Bahan utama yang digunakan 2.3. Metodologi Proses fabrikasi sel surya DSSC secara umum, dari pencucian substrat hingga karakterisasi dan pengukuran, dapat dilihat pada gambar 10. Proses fabrikasi sel surya DSSC dapat dijelaskan melalui tahapan berikut:
61
Preparasi Substrat
Printing pasta nc‐TiO2 Proses pelapisan counter elektroda (Pt) menggunakan teknik Sputtering
Sintering pasta nc‐TiO2
Pewarnaan
Assembly
Pengisian larutan elektrolit
Pengukuran
Gambar 10. Skema Proses Pembuatan DSSC 2.3.1. Pembentukan Counter-Elektroda Deposisi lapisan platina (Pt) yang berfungsi sebagai bagian counterelektroda dilakukan melalui proses DC-sputtering. Data parameter proses deposisi platina adalah sebagai berikut: 9
Power / daya : 50 Watt
9
Tekanan gas Argon : 4 mTorr
9
Rotasi : 5 rpm
9
Tooling Factor : 1
9
Waktu deposisi : 20 menit
Ketebalan lapisan platina yang dihasilkan tidak dapat terukur secara otomatis pada monitor peralatan sputtering. Oleh karena itu, perkiraan ketebalan lapisan platina diperoleh melalui kalkulasi [14], yaitu sekitar ~1.38x103 Å. Waktu deposisi selama 20 menit dipilih berdasarkan nilai efisiensi terbesar yang diperoleh pada percobaan tahun sebelumnya [15]. 2.3.2. Proses Pembentukan Fotoelektroda Deposisi lapisan semikonduktor TiO2 dilakukan menggunakan teknik screen-printing yang relatif mudah, murah dan dapat digunakan untuk skala 62
produksi. Pelapisan TiO2 dilakukan melalui 2 kali proses printing berdasarkan hasil optimum yang ditunjukkan pada referensi [12]. Tiap deposisi diakhiri dengan pengeringan dalam oven bersuhu 100oC selama 10 menit. Sesudah proses pendeposisian dilakukan, sampel dipanaskan dalam conveyor belt furnace pada suhu 450oC selama 15 menit, dengan tujuan untuk sintering dan kristalisasi partikel TiO2. Proses selanjutnya adalah pewarnaan yang dilakukan melalui perendaman sampel dalam larutan pewarna. Larutan tersebut dibuat dari bubuk Ruthenium jenis N-719 dari Dyesol dengan konsentrasi 40 mg dalam pelarut ethanol sebanyak 100 ml. Sampel direndam dalam cawan petri dan disimpan pada suhu ruang tanpa cahaya selama 24 jam (gambar 11).
Gambar 11. Proses pewarnaan fotoelektroda. 2.3.3. Assembly dan Pengisian Elektrolit Pada bagian foto non-aktif, yaitu disekeliling area TiO2, dipasang lapisan thermoplastic sealant Surlyn (Dyesol) dengan ketebalan 50 µm (gambar 12). Bagian counter-elektroda kemudian disatukan dengan cara direkatkan di bagian atas, lalu sampel dipanaskan pada suhu 120oC selama kurang lebih 35 menit (gambar 13.a) . Proses selanjutnya adalah pengisian elektrolit melalui lubang udara (gambar 13.b), dilanjutkan dengan penutupan lubang udara.
Gambar 12. Ilustrasi pola pemasangan Surlyn pada bagian fotoelektroda.
63
a).
b). Gambar 13. Proses:
a). Assembly; dan b). Pengisian elektrolit dengan penyuntikan melalui lubang udara. 2.3.4. Pengukuran dan analisa hasil karakterisasi proses Hasil karakterisasi proses pembuatan DSSC dilakukan melalui pengukuran arus dan tegangan untuk kemudian dianalisa dan diperoleh parameter keluaran dari sel surya DSSC tersebut. Proses karakterisasi I-V dilakukan menggunakan multimeter dan rangkaian beban sebagaimana ditunjukkan oleh gambr 14.
Gambar 14. Perangkat pengukuran arus-tegangan untuk sel surya DSSC 2.3.5. Pembuatan Prototipe Modul DSSC Pembuatan modul surya DSSC untuk panel demonstrasi dilakukan dengan cara menghubungkan sel-sel DSSC secara seri maupun paralel menggunakan sistem interkoneksi eksternal. Gambar 15 menunjukkan proses pembuatan rangkaian sel surya DSSC untuk kemudian dijadikan modul surya.
64
Gambar 15. Proses pembuatan modul surya DSSC. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berikut ini adalah hasil penelitian berikut pembahasan dari kegiatan penelitian kami selama tahun 2011. 3.1. Percobaan Pembuatan Elektrolit Secara Manual Salah satu tujuan kegiatan penelitian ini adalah untuk mencoba menggunakan alternatif material elektrolit selain elektrolit produk Dyesol jenis EL141 yang sebelumnya selalu kami gunakan. Oleh sebab itu, kami berupaya untuk membuat larutan elektrolit secara manual menggunakan bahan dasar kalium iodida. Pembuatan elektrolit ini ditujukan untuk mencari alternatif larutan yang lebih terjangkau dan dapat dibuat sendiri. Cara pembuatannya adalah dengan cara mencampur bubuk kalium iodide (KI) sebanyak 0.5M dan 0.05M bubuk iodine (I2) yang kemudian dilarutkan dalam pelarut organik asetonitrile, dengan reaksi kimia sebagai berikut:
KI + I 2 → K + + I 3−
…………..
(3)
Gambar 16 menunjukkan kurva I-V perbandingan sampel dengan jenis elektrolit berbeda. Dapat diamati dengan jelas bahwa performa sel dengan elektrolit hasil sintesa secara manual adalah jauh dibawah sampel dengan elektrolit Dyesol. Salah satu faktor yang kemungkinan menjadi penyebab rendahnya performa sel dengan elektrolit buatan adalah kurangnya konsentrasi ion triiodida (I3-) yang dihasilkan dari molaritas KI dan I2.
65
Gambar 16. Kurva I-V hasil pengukuran terhadap sel surya DSSC menggunakan elektrolit yang berbeda. Dikarenakan ion I3- memiliki peranan penting dalam reaksi redoks -yaitu sebagai hole yang diharapkan berekombinasi dengan elektron yang terkumpul pada counter-elektroda- maka intensitas pengumpulan muatan pembawa pada proses transfer muatan pun menjadi lebih sedikit. Selain itu, konsentrasi triiodida juga kemungkinan berpengaruh terhadap kurangnya konsentrasi spesies redoks, dimana hubungannya dapat direpresentasikan oleh persamaan berikut [3]:
kT ⎛⎜ cox ox (c st ) vred ln m ⎜⎝ cred vred (c st ) vox v
0 + E redox = Eredox
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
…………..
(4)
dimana k adalah konstanta Boltzmann, T adalah suhu, m adalah jumlah elektron yang ditransfer, v adalah koefisien stoikiometri, sementara Eredox0 dan cst adalah potensial dan konsentrasi redox standar. Penurunan potensial redoks secara tidak langsung berpengaruh terhadap penurunan VOC. Hal ini dapat dibuktikan dari data hasil pengukuran pada Tabel 1, dimana VOC sampel yang menggunakan elektrolit buatan memang jauh lebih rendah dibanding elektrolit Dyesol. 3.2. Analisa Pengaruh Dimensi Tabel 1 menunjukkan hasil pengukuran parameter sel surya pada sampel dengan lebar area fotoaktif yang bervariasi dan elektrolit yang berbeda untuk sampel pada gambar 17. Data pada tabel 1 tersebut merupakan hasil pengukuran yang dilakukan pertama kali dan langsung setelah fabrikasi sel selesai dilakukan (setelah proses sealing). Secara umum, keseluruhan parameter yang dihasilkan
66
oleh sampel dengan elektrolit buatan selalu lebih rendah dibanding parameter yang dihasilkan oleh sampel dengan elektrolit Dyesol.
a.
b.
c.
Gambar 17. Sel surya DSSC dengan luas area aktif: a. 2x2 cm2 b. 1.5x2 cm2 c. 1x2 cm2 Tabel 1. Data parameter output sel surya DSSC berbasis TiO2 yang diukur menggunakan Sun Simulator (40 mW/cm2, AM1.5, R=1Ω-5kΩ) Ukuran Area Fotoaktif 2x2 cm2
2x1.5 cm2
2x1 cm2
Elektrolit
Elektrolit
Elektrolit
Elektrolit
Elektrolit
Elektrolit
EL-141
Buatan
EL-141
Buatan
EL-141
Buatan
VOC (V)
0.62
0.49
0.64
0.5
0.63
0.49
ISC (mA)
13.8
11.3
9.8
8.4
5.6
4.6
JSC
3.45
2.83
3.26
2.8
2.8
2.3
0.9
0.5
0.8
0.46
0.9
0.45
FF
0.41
0.36
0.38
0.33
0.5
0.39
η (%)
2.19
1.26
2.02
1.16
2.19
1.14
(mA/cm2) Pmax (mW/cm2)
Perlu diperhatikan bahwa data arus dan daya yang disajikan pada tabel 1 merupakan arus dan daya yang terukur per satuan luas (per m2). JSC adalah kerapatan arus, yaitu ISC dibagi luas total area fotoaktif. Penggunaan kerapatan arus dan daya per satuan luas tersebut ditujukan untuk mempermudah 67
perbandingan antar sampel dikarenakan setiap sampel memiliki luas area fotoaktif yang bervariasi. Pada gambar 18 jelas terlihat bahwa luas area fotoaktif memiliki pengaruh signifikan terhadap total arus yang dihasilkan (bukan kerapatan arus). Semakin besar luas area fotoaktif maka semakin tinggi arus keluarannya. Sebaliknya, tegangan hubungan terbuka (VOC) tidak dipengaruhi oleh luas area fotoaktif. Hasil pengukuran juga mengindikasikan bahwa variasi lebar area fotoaktif tidak menghasilkan perbedaaan yang signifikan terhadap efisiensi. Selain itu kerapatan daya maksimum yang dihasilkan per luas area juga tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok. Untuk kerapatan arus (JSC), tampak pada tabel 1 bahwa ada sel surya dengan ukuran fotoaktif terkecil menghasilkan kerapatan arus yang relatif kecil pula. Kami menganalisa bahwa kemungkinan penyebab hal tersebut adalah faktor resistansi kontak (Rkontak) [3]. Gambar 17 menunjukkan bahwa besar luas area kontak (atau disebut area non-fotoaktif) pada sampel dengan ukuran fotoaktif 2x1 cm2 memang lebih besar dibanding sampel lainnya. Kondisi tersebut kemungkinan mengakibatkan tingginya nilai Rkontak yang dipengaruhi oleh area non-fotoaktif.
Gambar 18. Kurva karakteristik I-V hasil pengukuran terhadap sampel dengan ukuran fotoaktif bervariasi. Tabel 2 menunjukkan hasil pengukuran parameter sel surya pada sampel dengan lebar area fotoaktif yang bervariasi tapi dengan luas area yang sama yaitu 6 cm2 (lihat gambar 19). Sementara itu, gambar 20 masing-masing menunjukkan
68
hasil pengukuran arus dan tegangan yang terukur terhadap tegangan pada sampel yang ditunjukkan oleh gambar 19.
Gambar 19. Sel surya DSSC dengan luas area aktif (dari kiri ke kanan): a. 1.5x4 cm2 b. 1.2x5 cm2 c. 1x6 cm2 d. 0.7x8.6 cm2 Dari hasil pengukuran tersebut tampak bahwa, untuk sel surya DSSC dengan luas area aktif 6 cm2, ukuran dimensi optimal yang menunjukkan performa terbaik adalah 1x6 cm2. Tren data yang kami peroleh mengindikasikan bahwa lebar maupun panjang area aktif dapat berpengaruh terhadap performa sel dan hal tersebut tidak berbanding secara proporsional. Semakin kecil/panjang suatu dimensi belum tentu berakibat pada peningkatan/penurunan efisiensi dikarenakan adanya dimensi yang optimal. Tabel 2. Data parameter output sel surya DSSC berbasis TiO2 yang diukur menggunakan Sun Simulator (40 mW/cm2, AM1.5, R=1Ω-5kΩ) Ukuran Area Fotoaktif 1.5x4 cm2
1.2x5 cm2
1x6 cm2
0.7x8.6 cm2
1:2.7
1:4.2
1:6
1:12.2
VOC (mV)
555
560
599
575
ISC (mA)
10.8
9.7
12.7
10.2
Pmax (mW)
2.2
2.2
2.8
2.6
FF
0.36
0.4
0.37
0.43
η (%)
0.90
1.02
1.34
1.25
Rasio dimensi
69
Gambar 20. Perbandingan kurva pengukuran arus terhadap tegangan. 3.3. Percobaan Penggunaan substrat non-TCO untuk Counter-Elektroda Pada penelitian ini kami mencoba menggunakan beberapa alternatif substrat sebagai pengganti kaca FTO (fluorine doped SnO2) untuk pembentukan counter-elektroda. Hal ini ditujukan untuk meminimalir biaya material fabrikasi sel surya DSSC. Sampel yang kami buat terdiri atas 3 jenis, yaitu sampel yang menggunakan substrat FTO, kemudian sampel dengan substrat kaca biasa (sodalime glass), dan sampel yang menggunakan kaca biasa yang di-etsa pada larutan HF selama 5 menit. Pada proses sputtering, sampel dilapisi dengan titanium (Ti) terlebih dahulu baru kemudian dengan Pt agar lapisan Pt dapat melekat lebih kuat, khususnya untuk sampel yang menggunakan substrat kaca biasa. Hasil karakterisasi pengukuran I-V pada sampel tersebut dapat dilihat pada gambar 21.
Gambar 21. Kurva I-V untuk sampel dengan substrat counter-elektroda yang berbeda. 70
Dari hasil pengukuran tersebut dapat disimpulkan bahwa sampel yang menggunakan kaca tanpa TCO belum bisa menghasilkan efisiensi yang sama atau melebihi sampel dengan TCO. Akan tetapi dapat dilihat bahwa adanya treatment etsa menggunakan HF terbukti mampu menghasilkan sampel dengan efisiensi yang lebih baik dibanding kaca biasa tanpa etsa. Hal ini juga didukung dengan data absorpsi hasil pengukuran UV VIS spectrophotometer pada gambar 22 yang menunjukkan bahwa kaca yang di-etsa dengan HF memiliki sifat transmisi yang lebih baik. Hasil kami ini mengindikasikan bahwa, dengan treatment etsa yang sesuai, maka bukan tidak mungkin penggunaan kaca biasa mampu menghasilkan sel dengan performa yang tidak kalah dengan kaca TCO. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan metoda dan material etsa yang tepat.
a).
b).
Gambar 22. Perbandingan antara kaca biasa dan kaca yang dietsa menggunakan HF dilihat dari karakteristik: a). absorpsi dan b). transmisi. 3.4. Analisa Transparansi TiO2, Jenis Dye, dan Elektrolit Gel Untuk meningkatkan performa sel lebih lanjut, maka kami melakukan penelitian dengan cara memvariasikan material pembentuk sel surya DSSC, mulai dari jenis pasta TiO2, dye atau zat pewarna, dan elektrolit. Luas area aktif semua sampel adalah 2x1 cm2. Untuk pembuatan fotoelektroda transparan, banyaknya printing serta kondisi firing dibuat serupa dengan fotoelektroda yang tidak transparan. Hasil pengukuran arus dan tegangan yang kami dapatkan terangkum pada tabel 3. Pengukuran dilakukan di bawah sinar matahari langsung dengan intensitas cahaya yang diterima berkisar antara 70-80 mW/cm2.
71
Tabel 3. Hasil pengukuran karakteristik I-V terhadap sampel dengan ukuran area aktif 2x1 cm2 dan dengan material pembentuk bervariasi (R=1-3,9kΩ). Voc
Isc
Pmax
(mV)
(mA)
(mW)
EL-HSE
665
7.10
Z907
EL-HSE
642
Transparan N719
EL-HSE
Transparan Z907 Opaque
TiO2
Dyes
Elektrolit
Opaque
N719
Opaque
N719
FF
η
2.28
0.48
3.25%
7.20
2.30
0.50
3.28%
647
7.50
2.63
0.54
3.76%
EL-HSE
684
10.1
3.52
0.51
4.41%
EL-SGE
712
7.00
2.65
0.53
3.68%
Dari hasil karakterisasi pada tabel 3 diatas, dapat disimpulkan bahwa performa sel terbaik ditunjukkan oleh sel dengan kombinasi material berupa TiO2 transparan, dye Z907, dan elektrolit cair EL-HSE. Secara umum, sampel dengan elektrolit transparan rata-rata memiliki karakteristik I-V yang lebih baik dibanding sampel dengan elektrolit opaque disebabkan nilai Isc yang rata-rata lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa penyerapan cahaya dan pengumpulan carrier oleh TiO2 transparan cenderung lebih baik. Di masa yang akan datang, performa sel dengan TiO2 transparan masih memungkinkan untuk ditingkatkan lebih lanjut karena pada kegiatan penelitian ini kami belum melakukan optimalisasi parameter proses terhadap proses pelapisan TiO2 transparan. Untuk dye, kami belum dapat menyimpulkan secara pasti dye mana yang cenderung menghasilkan sel dengan karakteristik lebih baik dikarenakan performa yang dihasilkan kedua jenis dye cenderung
sama.
Akan
tetapi
untuk
pembuatan
modul,
kami
memilih
menggunakan dye Z907 dikarenakan sifat hydrophobic yang dimilikinya sehingga dye jenis ini lebih tidak rentan terhadap perubahan kelembaban dibanding dye jenis N719. Untuk elektrolit, kami mengamati bahwa sampel dengan elektrolit gel (ELSGE) ternyata cenderung mampu menghasilkan sel yang lebih baik dibanding elektrolit cair. Namun penggunaan elektrolit gel ini tidak kami lanjutkan untuk membuat modul dikarenakan belum adanya metoda assembly dan sealing yang tepat. Selain itu proses deposisi gel sendiri belum dapat kami lakukan secara terkontrol untuk memonitor kuantitas gel yang merata antar sampel. Pada
72
penelitian ini kami hanya menggunakan spatula untuk meletkkan gel dan squeegee untuk meratakan gel tersebut. Setelah itu sampel cukup di-assembly menggunakan penjepit kertas (gambar 23). Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengoptimalkan penggunaan elektrolit gel, khususnya dari segi metoda pengisian, assembly, dan sealing.
a).
b).
Gambar 23. Proses: a). Pengisian b). Assembly sel menggunakan elektrolit gel. Hasil
analisa
selengkapnya
–yaitu
SEM,
XRD
dan
UV-VIS
Spektrofotometer- dari sampel yang kami paparkan pada sub-bab ini dapat dilihat lebih lanjut pada bagian lampiran. 3.5. Pembuatan Modul Surya DSSC Dalam penelitian ini kami mencoba merangkai sel DSSC secara eksternal sebagaimana modul sel surya konvensional berbahan silikon. Hal ini dikarenakan proses pembuatan modul yang terkoneksi secara internal membutuhkan tahapan proses fabrikasi yang berbeda dibanding pembuatan sel secara individual. Modul sel surya pada penelitian ini merupakan rangkaian seri dari sel-sel yang telah difabrikasi secara individual seperti ditunjukkan dalam gambar 24. Pasta perak digunakan sebagai penghubung seri antar sel.
Gambar 24. Skema rangkaian seri modul DSSC. Tujuan dari perangkaian modul adalah untuk meningkatkan daya yang dihasilkan oleh sel surya sehingga dapat diaplikasikan untuk menghidupkan berbagai
perangkat
elektronik.
Sebagai
bagian
dari
panel
demo,
kami 73
menggunakan lampu light emitting diode (LED) dan motor listrik sebagai indikator. Hasil akhir modul yang terdiri atas sel dengan area aktif berukuran masing-masing 1x6 cm2 (luas total area aktif 144 cm2) dapat dilihat pada gambar 25.
Gambar 25. Hasil akhir modul surya dengan luas total area aktif 144cm2 sebagai panel demonstrasi. Untuk pengukuran karakteristik arus-tegangan dari modul DSSC yang kami hasilkan, kami melakukan pengukuran menggunakan sumber cahaya bervarias, yaitu berupa lampu sorot (~6 mW/cm2), sun simulator AM1.5 (40 mW/cm2), serta dibawah
matahari
langsung
(80-85
mW/cm2). Gambar 26 menunjukkan
karakteristik arus-tegangan yang dihasilkan oleh modul surya DSSC dengan intensitas cahaya input yang bervariasi. Parameter output selengkapnya dari pengukuran tersebut dapat dilihat pada tabel 4. Untuk variasi metoda interkoneksi antar sub-modul (yang telah terhubung seri), tampak bahwa penghubungan modul secara paralel rata-rata menghasilkan output yang lebih baik dibandingkan interkoneksi secara seri. Dari data hasil pengukuran pada tabel 4 dan gambar 26 dapat disimpulkan bahwa performa terbaik sel diperoleh melalui penyinaran menggunakan cahaya lampu sorot di dalam ruangan dengan intensitas cahaya sebesar 6 mW/cm2. Hal ini diindikasikan oleh nilai efisiensi yang cukup tinggi. Sedangkan untuk pengukuran dibawah sinar matahari maupun sun simulator, modul surya DSSC ini belum dapat berfungsi secara efisien. Akan tetapi, dapat dilihat bahwa pengukuran dibawah cahaya dengan intensitas lebih tinggi (sinar matahari atau
74
sun simulator) selalu menghasilkan output berupa arus, tegangan, dan daya yang lebih besar.
Gambar 26. Karakteristik modul surya DSSC dengan luas area aktif 144 cm2 menggunakan sumber cahaya yang berbeda. Tabel 4. Hasil pengukuran karakteristik I-V terhadap modul DSSC dengan luas area aktif 144 cm2 dengan sumber cahaya bervariasi (R=1-12kΩ). Hubungan antar sub modul:
Hubungan antar sub modul:
Paralel
Seri
Sun
Sun
Lampu
Simulator
Matahari Lampu
Simulator
Matahari
Voc (V)
5.53
6.12
6.55
12.1
13.18
13.9
Isc (A)
0.0138
0.023
0.0439
0.0073
0.0115
0.0184
6
40
80
6
40
80
(mW)
28.95
52.08
74.88
27.17
36.36
54.02
FF
0.38
0.37
0.26
0.31
0.24
0.21
η (%)
4.02
0.9
0.65
3.77
0.63
0.46
Iin (mW/cm2) Pmax
Hasil analisa kami mengindikasikan bahwa penyerapan sel surya DSSC yang kami buat belum dapat menyerap photon yang dihasilkan pada spektrum cahaya matahari secara optimal, yaitu dengan range panjang gelombang antara 75
300 nm hingga 1000 nm. Untuk mengetahui respon cahaya sel surya kami, dibutuhkan analisa lebih lanjut menggunakan alat IPCE (Incident Photon to Current Efficiency), hanya saja disayangkan kami belum dapat menemukan institusi di dalam negeri yang dapat menyediakan jasa pengukuran tersebut. Untuk menigkatkan performa penyerapan cahaya pada sel surya DSSC kami maka dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memfokuskan pada sifat pigmentasi dye agar mampu berfungsi optimal pada spektrum vahaya matahari. Namun dari hasil penelitian ini juga dapat disimpulkan bahwa, berbeda dengan sel surya silikon, sel surya DSSC kami mampu bekerja dengan baik pada cahaya dengan intensitas rendah didalam ruangan. Selain modul yang tersusun atas sel surya dengan area aktif 1x6 cm2, kami juga merangkai beberapa modul lain dengan ukuran area aktif bervariasi (gambar 27). Karakteristik selengkapnya dari modul-modul DSSC pada gambar tersebut dapat dilihat pada bagian lampiran.
Gambar 27. Sel dan modul surya DSSC dengan ukuran aktif bervariasi IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Proses penelitian Pembuatan Dye-Sensitized Nanocrystalline TiO2 Solar Cell dengan Teknologi Screen Printing telah dilakukan di PPET LIPI. Berdasarkan hasil karakterisasi proses diketahui bahwa karakteristik DSSC sangat dipengaruhi oleh karakteristik komponen pendukungnya seperti foto elektroda (nc-TiO2), dye, counter elektroda dan larutan elektrolit. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat kami sipulkan berdasarkan hasil penelitian kami:
76
1. Penggunaan elektrolit berbasis kalium iodida yang kami buat secara manual belum mampu bersaing dengan elektrolit cair dari Dyesol, baik dari segi performa sel maupun lifetime. 2. Faktor dimensi dapat berpengaruh terhadap performa secara tidak proporsional. Untuk sel surya DSSC dengan luas area aktif 6 cm2, ukuran dimensi optimal yang menunjukkan performa terbaik adalah 1x6 cm2. 3. Penggunaan substrat kaca non-TCO mampu meminimalkan biaya produksi meskipun efisiensi yang dihasilkan masih belum sebagus sel dengan substrat TCO (FTO). Akan tetapi dengan surface treatment berupa etching yang tepat maka efisiensi yang dihasilkan dapat lebih ditingkatkan. 4. Penggunaan dye jenis Z907 terbukti mampu menghasilkan sel surya DSSC yang lebih baik dibandingkan dengan dye jenis N719, meskipun keduanya memiliki basis yang sama yaitu ruthenium. 5. Sel surya dengan TiO2 transparan cenderung menghasilkan performa yang lebih baik dibandingkan TiO2 opaque, hanya saja masih diperlukan karakterisasi dan optimasi proses lebih lanjut terhadap material tersebut dikarenakan sifat dan viskositas yang berbeda dibandingkan TiO2 opaque yang selama ini kami gunakan. 6. Sampel dengan elektrolit gel (EL-SGE) ternyata cenderung mampu menghasilkan sel yang lebih baik dibanding elektrolit cair, akan tetapi masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menentukan metoda pengisian dan sealing yang kompatibel. 7.
Dari hasil karakterisasi modul surya DSS, kami menyimpulkan bahwa penyerapan sel surya DSSC yang kami buat belum dapat menyerap photon yang dihasilkan pada spektrum cahaya matahari secara optimal, yaitu dengan range panjang gelombang antara 300 nm hingga 1000 nm. Hal ini diindikasikan oleh efisiensi modul terbaik yang diperoleh melalui cahaya lampu monokrom dengan intensitas ~6 mW/cm2 yaitu sekitar 4,04%. Kesimpulan lain yaitu pengukuran dibawah cahaya dengan intensitas lebih tinggi (sinar matahari atau sun simulator) selalu menghasilkan output berupa arus, tegangan, dan daya yang lebih besar.
77
4.2 Saran Setelah menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik I-V dye solar cell, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan proses pembuatan dye-sensitized nanocrystalline TiO2 solar cell dengan teknologi screen printing sehingga dapat dihasilkan performa sel surya DSSC yang cukup baik dan memiliki efisiensi yang tinggi. Didasari dari kebutuhan akan pengadaan energi alternatif, maka penelitian dan pengembangan sel surya DSSC di PPET-LIPI masih harus terus dilakukan dan ditingkatkan. REFERENSI [1] M. Gratzel, “Dye-Sensitized Solar Cells”, Journal of Photochemistry and Photobiology C: Photochemistry Review 4, 145-153, 2003. [2] J. Halme, “Dye sensitized Nanostructured and Organic Photovoltaic Cells : technical review and preeliminary test”, Master Thesis of Helsinki University of Technology, 2002. [3] R. Sastrawan, “Photovoltaic modules of dye solar cells”, Disertasi University of Freiburg, 2006. [4] C. Longo, M.A. De Paoli, “Dye-Sensitized Solar Cells: A Successsful Combination of Materials”., J. Braz, Chem, Soc., vol.14, no.6, 889-901, 2003. [5] A. Hauch, A. Georg, “Diffusion in the electrolyte and charge-transfer reaction at the platinum electrode in dyesensitized solar cells,” Electrochemica Acta, vol. 46, no. 22, hal. 3457–3466, 2001. [6] A. Hinsch, J. M. Kroon, R. Kern, I. Uhlendorf, J. Holzbock, A. Meyer, J. Ferber, “Longterm stability of dye-sensitised solar cells”, Progress in Photovoltaics, vol. 9, hal. 425-438, 2001. [7] J. Wu, Z. Lan, S. Hao, P. Li, J. Lin, M. Huang, L. Fang, and Y. Huang, “Progress on electrolytes for dye-sensitized solar cells”, Pure Applied Chemistry, vol. 80, no. 11, hal. 2241-2258, 2008. [8] A. F. Nogueira, C. Longo, M.A. De Paoli, “Polymers in dye sensitized solar cells: overview and perspectives”, Coord. Chem. Rev, vol. 248, hal. 1455, 2004.
78
[9] M. Burgelman, A. Niemegeers, “Calculation of CIS and CdTe Module Efficiencies”, Solar Energy Materials and Solar Cells, vol. 5, no. 2, hal. 129143, 1998. [10] M. G. Kang, K. S. Ryu, S. H. Chang, N. G. Park, J. S. Hong, K. J. Kim, “Dependence
of
TiO2
Film
Thickness
on
Photocurrent-Voltage
Characteristicsof Dye-Sensitized Solar Cells”, Bull. Korean Chem. Soc, Vol. 25 No.5, 2004. [11] K. Wongcharee, V. Meeyoo, S. Chavadej, “Dye-sensitized solar cell using natural dyes extracted from rosella and blue pea flowers”,
Solar Eergy
Materials and Solar Cells, vol. 91, hal. 566-571, 2007. [12] Dyesol Product Catalog February 2011, diunduh dari www.dyesol.com [13]
http://wwwold.ece.utep.edu/research/webedl/cdte/Fabrication/index.htm (diakses pada tanggal 21 Desember 2011)
[14] L. Muliani, Pembuatan Dye-Sensitized Nanocrystalline TiO2 Solar Cell dengan Teknologi Screen Printing, Laporan Tahap I Monitoring dan Evaluasi Program Tematik Kedeputian IPT-LIPI Tahun Anggaran 2010, 2010. [15] L. Muliani, Pembuatan Dye-Sensitized Nanocrystalline TiO2 Solar Cell dengan Teknologi Screen Printing, Laporan Akhir Program Tematik 2010 PPET LIPI, 2010.
79
Pembuatan Magnet Barium Ferit Nano Partikel Bonded Hybrid untuk Aplikasi Generator Nanang Sudrajat, ST
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2011
80
LEMBAR PENGESAHAN 1.
Judul Kegiatan Penelitian
:
Pembuatan Magnet Barium Ferit Nano Partikel Bonded Hybrid untuk Aplikasi Generator
2.
Kegiatan Prioritas
:
Material Maju dan Nanoteknologi
3.
Peneliti Utama
:
Nama
:
Nanang Sudrajat, ST
Jenis Kelamin
:
Pria
4.
Sifat Penelitian
:
Baru (Tahun ke 1)
5.
Lama Penelitian
:
2 (dua) Tahun
6.
Biaya Total 2011
:
Rp. 450.000.000,-
Bandung, 31 Desember 2011 Disetujui, Ka. Pusat Peneltian Elektronika dan Telekomunikasi - LIPI
Peneliti Utama
Dr. H i s k i a
Nanang Sudrajat, ST.
NIP. 19650615 199103 1 006
NIP. 19730604 199403 1 003
81
Abstrak Penelitian pembuatan magnet barium ferit nano partikel bonded hybrid pada tahun pertama telah selesai dilakukan. Magnet bonded hybrid dilakukan dengan cara mencampurkan serbuk magnet barium ferit dengan serbuk magnet NdFeB dengan tujuan untuk meningkatkan nilai Br yang dimiliki oleh magnet barium Ferit. Serbuk magnet barium ferit dibuat dengan metode solgel dengan bahan-bahan kimia yang digunakan adalah Besi Nitrat (Fe(NO3)3.9H2O), Barium Nitrat (Ba(NO3)2), Asam Sitrat (C6H8O7.H2O), dan Akuade dengan komposisi Fe:Ba:Citric acid = 12:1:19(0,2 Mol), 12:1:26. Pada laporan akhir ini, akan disampaikan telah dilakukan proses doping bahan rare earth Gd(III)O dan Nd(III)O masing-masing sebanyak 5%, 10% dan 15% berat.Kemudian menggunakan pelarut Amonium Hidroksida (NH4OH) untuk mendapatkan pH larutan = 7. Dan serbuk magnet barium ferit dibonded hybrid dengan NdFeB epoxy, NdFeB+bakelit dan NdFeB+resin. Karakteristik magnet terbaik yang dihasilkan pada tahun ini adalah sample yang didoping dengan Nd(III)O 10% dan dibonded hybrid dengan NdFeB epoxy dengan nilai Br = 3,98 kG, Hc = 5,412 kOe, BHmax = 2,72 MGOe dan densitas 4,68 g cm-3 yang diukur dengan alat ukur permagraph magnet physik. Prototipe magnet diterapkan pada prototipe generator. Kata kunci : magnet barium ferit, nano partikel, metoda sol ge, magnet bonded hybrid
82
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Barium Ferit adalah magnet keramik yang termasuk dalam klasifikasi material ferimagnetik magnet keras (permanen). Aplikasinya sangat banyak dalam kehidupan sehari-hari seperti pada beberapa peralatan elektronika, motor listrik DC, magnet speaker, KWH meter dan meteran air. Penggunaan lain yaitu sebagai magnet mainan, magnetic separator, microwave filter dan aplikasi terakhir ini dalam ukuran nano partikel dapat digunakan sebagai target untuk thin film magnetic recording media.
Magnet barium ferit adalah material magnet yang
memiliki banyak keuntungan, diantaranya adalah memiliki karakteristik magnet yang baik, harga murah, tidak mudah terkorosi, mudah dimagnetisasi dan didemagnetisasi juga memiliki temperatur curie yang cukup tinggi sampai dengan 450oC. Namun magnet ini bersifat sangat keras dan getas, sehingga tidak dapat digunakan pada komponen / peralatan yang mengalami pembebanan (impact). Dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tenaga listrik di Indonesia terutama energi terbarukan, kebutuhan material magnet sebagai komponen utama mesin penghasil listrik (generator) juga semakin meningkat. Industri kecil dan UKM telah mulai merakit dan mendesain sendiri peralatan elektronika khususnya generator. Komponen magnet yang merupakan bagian penting dari peralatan tersebut masih diimport dari Jepang, Cina dan Singapore. Dengan digalakkannya pemakaian produksi dalam negeri oleh pemerintah, sudah saatnya komponenkomponen peralatan elektronika dalam hal ini material magnet dapat dibuat sendiri. Penelitian pembuatan magnet Ferit telah mulai dilakukan di PPET-LIPI sejak tahun 1992 dengan cara teknologi serbuk, seperti pembuatan ferit motor DC (1992-1996), pembuatan magnet ferit untuk sirkulator (1996-1999), pembuatan barium stronsium ferit (1999-2002), pembuatan ferit untuk meteran air (19992002), pembuatan ferit untuk kwh meter (2001- 2003), pembuatan magnet spinel MnZn Ferit (2003-2006), pembuatan magnet NiZn ferit (2007) dan pembuatan magnet barium ferit dengan metoda solgel untuk komponen Elektronik(20082010). Dengan berbekal pengalaman yang telah dilakukan, maka pada tahun 2011 akan dilakukan penelitian pembuatan magnet Barium Ferit nano partikel bonded hybrid untuk meningkatkan karakteristik sifat magnet terutama nilai Br. Proses bonded hybrid dilakukan dengan cara mencampurkan serbuk barium ferit dengan NdFeB berpolimer. Penelitian ini memanfaatkan sarana dan prasarana 83
yang ada di PPET-LIPI. Akan tetapi karakterisasi menggunakan XRD dan SEM dilakukan di instansi lain. 1.2.
Perumusan Masalah
Sampel magnet barium ferit bonded hybrid yang diharapkan dari penelitian ini adalah memiliki karakteristik magnet yang baik dengan nilai Br yang tinggi. Untuk menghasilkan
sifat
magnet
yang
diharapkan
banyak
faktor
yang
akan
mempengaruhi pada saat proses pembuatan serbuk magnet mulai dari proses sol gel, proses bonded dan hybrid, yaitu temperatur pengeringan (drying), dan kalsinasi, juga pada saat fabrikasi magnet permanen mulai dari kompaksi, sintering, machining dan finishing. Pada proses pembuatan serbuk barium feritsol digunakan metode solgel dengan komposisi Ba:Fe:Citric Acid = 1:12:26 dan akan didoping oleh bahan rare earth yaitu Gd(III)O dan Nd(III)O sebanyak 5%, 10% dan 15% berat. Kemudian serbuk hasil proses sol gel akan dibonded hybrid dengan NdFeB epoxy, NdFeB+Bakelit dan NdFeB + resin. Pada proses fabrikasi pembentukan serbuk magnet menjadi sampel magnet permanen yang dibutuhkan untuk sebuah aplikasi akan dimulai dengan proses kompaksi yaitu proses pemadatan serbuk magnet menjadi padatan yang ingin dibentuk. Pada proses kompaksi dibentuk magnet dengan bentuk rod berdiameter 1 cm untuk proses karakterisasi dan bentuk disc berukuran diameter 5 cm tebal 6mm untuk diujicobakan pada sebuah prototipe generator. Proses magnetisasi, karakterisasi, analisa struktur mikro dan kristalisasi senyawa akan dilakukan untuk melihat optimalisasi proses yang dilakukan.
1.3.
Tujuan dan Sasaran 84
Tujuan (umum): o Mengurangi ketergantungan terhadap produk impor khususnya magnet permanen. o Mengembangkan penelitian material magnet di PPET-LIPI. Sasaran (khusus) : Dapat membuat magnet permanen Barium Ferit dengan karakteristik magnet yang baik dan dapat diaplikasikan pada sebuah peralatan elektronik yaitu generator. 1.4.
Kerangka Analitik
Sampel magnet yang dihasilkan pada penelitian ini, akan dianalisa dengan Permagraph untuk mengetahui sifat magnet seperti ; Induksi Remanen, Br (kG), Koersifitas, Hc (kOe), Kuat Medan Maksimum, BHmax (MGOe). Untuk mengetahui pembentukan senyawa BaFe12O19 dilakukan dengan XRD, untuk mengetahui bentuk butir yang dihasilkan dengan SEM. Kemudian dibuat prototipe magnet yang akan diaplikasikan pada sebuah generator. 1.5.
Hipotesis
Dari penelitian pembuatan magnet barium ferit dengan metoda sol gel ini akan dihasilkan suatu magnet permanen yang memiliki karakteristik magnet dengan nilai Br = 1,75 – 3 kG, Hc = 0,1 – 2 kOe, BHmax = 0,1 – 2 MGOe dan densitas 4 5 g cm-3. II.
PROSEDUR DAN METODOLOGI
Metodologi yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian adalah sebagai berikut : -
Studi literatur
-
Pengadaaan bahan
-
Penyiapan peralatan
-
Pembuatan serbuk magnet Barium ferit
-
Proses bonded dan Hybrid dengan serbuk NdFeB
-
Karakterisasi magnet hasil percobaan
-
Pembuatan Sampel dan Prototipe magnet
-
Pembuatan rancangan generator untuk aplikasi magnet
2.1. Studi Literatur 85
Kegiatan pada tahap ini adalah mencari dan mengumpulkan informasi baik itu yang bersifat teoritis maupun praktis melalui buku-buku, handbook dan internet, yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dan referensi dalam penelitian. 2.2. Pengadaan Bahan Bahan baku yang digunakan dengan tingkat kemurnian yang tinggi berkualitas proanalisa (pa) dari E-Merck yaitu : 1.
Besi Nitrat, Fe(NO3)3.9H2O
2.
Barium Nitrat, Ba(NO3)2
3.
Amonium Hidroksida, NH4OH 25 %
4.
Citric Acid, C6H8O7.H2O
5.
Pasir Besi
6.
Barium Carbonat, BaCO3
7.
Calcium Oxida, CaO
8.
Silicon Oxida, SiO
9.
Polivynil Alkohol, PVA
10.
Gadolynium Oxida, Gd(III)O
11.
Neodymium Oxida, Nd(III)O
12.
NdFeB crashed Ribbon
13.
NdFeB Epoxy
14.
Polimer Bakelit
15.
Polimer PVC Resin Powder
16.
Polimer Silicon Rubber
17.
Kertas lakmus
18.
Alkohol Teknis
19.
Aquades
2.3. Penyiapan Peralatan Sebagian besar peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tersedia di Laboratorium magnet PPET-LIPI, hanya SEM dan XRD yang dilakukan di instansi lain. Peralatan yang digunakan adalah : 1.
Permagraph : Alat untuk mengkarakterisasi sifat magnet, seperti ; Induksi Remanen, Br (kG), Kuat Medan maksimum, BHmax (MGOe) dan Koersifitas, Hc (kOe). 86
Gambar 2.1. Permagraph 2.
Mesin Kompaksi dan Solenoida : Untuk proses kompaksi. Serbuk magnet barium ferit yang sudah ditempatkan di dalam dies dicetak dengan mesin kompaksi dalam medan elektromagnet dengan tekanan tertentu.
Mesin Kompaksi
Solenoida
Gambar 2.2. Mesin Kompaksi dan Solenoida 3.
Pengering : Untuk melakukan proses pengeringan pada temperatur 100 dan 200oC.
Gambar 2.3. Alat pengering 87
4.
Furnace : Digunakan untuk proses kalsinasi dan sintering
Gambar 2.4. Furnace Thermoline (Temp. ± 1700oC) 5.
Cetakan / Dies : Cetakan untuk membentuk produk magnet yang dihasilkan.
Gambar 2.5. Cetakan / Dies
6.
Impuls Magnetiser : Alat untuk menyearahkan momen magnet.
88
Gambar 2.6 Impuls Magnetiser Magnet Physik 7.
Gauss Meter : digunakan untuk mengukur densitas medan magnet
Gambar 2.7 Gauss Meter 8. 9.
SEM : Untuk mengkarakterisasi struktur mikro. XRD : Untuk mengkarakterisasi senyawa yang terbentuk.
2.4. Percobaan Alur percobaan pembuatan magnet bariun ferit bonded hybrid dapat dilihat pada gambar 2.8 di bawah ini.
Penentuan Komposisi
Proses sol gel
Drying 89
Milling & Kalsinasi
NdFeB
Serbuk Barium Ferit
Resin / Bakelit
Mixing/Milling Karakterisasi
Kompaksi
Magnetisasi
a. Menentukan Komposisi Gambar 2.8 Diagram Alir Percobaan Reaksi yang dijadikan dasar adalah : 12 Fe(NO3)3 + Ba(NO3)2 + 19 C6H8O7
12 Fe(OH)3 + Ba(OH)2 + 19 C6H8O7
(NO3) ...............1 12 Fe(OH)3 + Ba(OH)2 + 19 C6H8O7 (NO3)
BaFe12O19 + 19
H2O .............................................2 Komposisi serbuk barium ferit yang dibuat pada penelitian ini adalah : Perbandingan Ba : Fe : Citric Acid adalah 1:12 :26 b. Proses Sol Gel dan doping Bahan Rare Earth
90
Komposisi terbaik didapat dengan perbandingan Ba : Fe : Citric Acid adalah 1:12 :26 dengan Nilai karakteristik sifat magnet Br = 2,21 kG, HcJ = 2,643 kOe, BHmax = 1,04 MGOe, Densitas = 4,11 grcm-3. Pada Tahap II tahun ini dilakukan doping bahan rare earth pada pembuatan serbuk magnet barium ferit yaitu Gadolinium oksida (Gd(III)O) dan Neodymium oksid (Nd(III)O) masing-masing sebanyak 5%, 10% dan 15% berat. Sebanyak 50 gram Serbuk Fe(NO3)3 yang dilarutkan dalam aquades 100 ml ditambahkan dengan 2,7 gram serbuk Ba(NO3)2 yang telah dilarutkan dalam aquades 8,332 ml dalam suatu beker gelas, kedua larutan ini dicampurkan dengan 84,62 gram citric acid yang telah dilarutkan dalam 325 ml aquades sambil diaduk rata. Kemudian ditambahkan:
•
5% Gd(III)O = 0,15 gr dalam 0,4 ml aquades
•
10% Gd(III)O = 0,3 gr dalam 0,8 ml aquades
•
15% Gd(III)O = 0,45 gr dalam 1,2 ml aquades
•
5% Nd(III)O = 0,137 gr dalam 0,05 ml aquades
•
10% Nd(III)O = 0,347 gr dalam 0,1 ml aquades
•
15% Nd(III)O = 0,52 gr dalam 0,15 ml aquades
Sehingga didapat 6 larutan, kemudian diaduk selama 2 jam dan ditambahkan larutan Ammonium Hidroksida (NH4OH) sampai nilai pH 7 sambil diaduk menggunakan hot plat magnetic stirrer sampai menjadi gel lebih kurang selama 20 jam. Setelah menjadi gel dikeringkan (drying) selama 15 jam pada temperatur 150 ºC dan 8 jam pada temperature 200 ºC. Terakhir serbuk dikalsinasi selama 3 jam pada temperature 1000 ºC.
c. Proses Bonded Hybrid Proses hybrid dilakukan dengan cara mencampurkan serbuk magnet barium ferit dengan serbuk magnet NdFeB dan dibonded dengan polimer agar mendapatkan magnet permanen dengan sifat fisik dan karakteristik yang lebih baik. Proses bonded hybrid dilakukan terhadap serbuk NdFeb type MQP 16-7 dengan menggunakan polimer Bakelit dan PVC Resin Powder serta terhadap NdFeB Epoxy type MQEP 16-7. Proses pencampuran dilakukan tanpa milling dan proses
91
kompaksi dilakukan dengan menggunakan mesin press dingin pada tekanan 50 kg/cm2 kemudian disinter pada temperatur 200 ºC selama 30 menit dan temperatur 500 ºC selama 60 menit. d. Karakterisasi Magnet yang sudah disintering dikarakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan adalah :
-
Densitas dengan perhitungan dan neraca analitik
-
Sifat magnet dengan Permagraph
-
Struktur mikro dengan SEM
Senyawa yang terbentuk dengan XRD e. Konsep Pembuatan Prototipe Generator Generator atau mesin penghasil energi listrik salah satunya sangat tergantung pada putaran rotor dan kuat medan magnet yang dipasang pada rotor. Pada Tahun I ini dibuat prototype generator dengan torsi ringan untuk keperluan turbin angin atau mikrohidro. Rancangan komponen generator diperlihatkan pada gambar 2.9 yang terdiri dari rotor (a) dan stator (b).
(a) rotor
(b) stator
Gambar 2.9 Prototipe Generator Kopel 2.5. Pembuatan Sampel Dimensi magnet yang dibuat sebagai prototip adalah dengan dimensi diameter 50mm, tebal 6mm.
92
Gambar 2.10. Sampel magnet Barium Ferit Bonded Hybrid III.
HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Karakterisasi sifat magnet Hasil percobaan pada triwulan II berupa hasil percobaan pembuatan serbuk magnet barium ferit dengan doping bahan rare earth yaitu Gd(III)O dan Nd(III)O sebanyak 5, 10 dan 15 % berat, proses bonded hybrid dengan pemilihan polimer bonded terbaik, dan konsep pembuatan prototipe generator. Karakteristik sifat magnet hasil percobaan pembuatan magnet barium ferit berdasarkan variasi doping Gd(III)O dapat dilihat pada tabel 3.1. Tabel 3.1. karakteristik sifat magnet barium ferit dengan variasi doping Gd(III)O
Karakteristik
Doping Gd(III)O
Bahan
5%
10%
15%
Br (kG)
1,41
1,15
1,84
HcJ (kOe)
0,979
3,398
2,061
BH max (MGOe)
0,20
0,29
0,68
Density (gr/cm³)
4,57
3,36
4,37 93
Karakteristik sifat magnet hasil percobaan penambahan variasi doping Nd(III)O dapat dilihat pada tabel 3.2. Tabel 3.2 karakteristik sifat magnet dengan variasi doping Nd(III)O Karakteristik
Doping Nd(III)O
Bahan
5%
10%
15%
Br (kG)
1,36
3,01
1,38
HcJ (kOe)
5,169
4,164
3,887
BH max (MGOe)
0,24
1,25
0,08
Density (gr/cm³)
2,96
3,27
3,04
Sifat magnet barium ferit dengan doping Nd(III)O 10% mempunyai nilai yang paling tinggi pada penelitian ini dengan nilai Br = 3,01 kG, naik sekitar 36% dibandingkan dengan nilai Br barium ferit murni 2,21 kG. Karakteristik sampel magnet bonded hybrid diperlihatkan dalam tabel 3.3. Tabel 3.4. karakteristik magnet bonded hybrid BaFe12O19
BaFe12O19
NdFeB +
NdFeB +
Resin
Bakelit
Br (kG)
1,35
1,87
3,98
HcJ (kOe)
4,338
5,170
5,412
BH max (MGOe)
0,37
0,43
2,72
Density (g/cm³)
2,2
2,81
4,68
Karakteristik Bahan
BaFe12O19 NdFeB Epoxy
Hasil karakterisasi magnet bonded hybrid yang terbaik ditunjukan oleh sampel BaFe12O19 . NdFeB epoxy dengan nilai Br = 3,98 kG, lebih tinggi 32 % dari barium ferit doping. Secara keseluruhan, nilai Br magnet barium ferit bonded hybrid naik 68% dari nilai magnet barium ferit murni. Kurva karakteristik magnet BaFe12O19 . NdFeB epoxy diperlihatkan pada gambar 3.1.
94
Gambar 3.1. Kurva Karakteristik sifat magnet Analisa SEM dilakukan terhadap serbuk magnet barium ferit doping Nd(III)O, NdFeB epoxy, NdFeB+ resin dan NdFeB+bakelit.. Hasil foto SEM diperlihatkan pada gambar 3.2.
(a) BaFe12O19 Nd(III)O 5%
(f) BaFe12O19 Nd(III)O
(e) BaFe12O19 Nd(III)O
(d) NdFeB Epoxy
(c) NdFeB Resin
(b) NdFeB Bakelit
Gambar 3.2. Hasil Fotot SEM BaFe12O19 dan NdFeB Bonded Dari hasil data SEM di atas dapat dilihat bahwa ukuran partikel BaFe12O19 sangat kecil dan NdFeB mempunyai ukuran butir partikel yang besar, sehingga kalau
95
digabung akan memperkecil porositas, dengan kecilnya porositas, maka densitas akan naik dan diharapkan akan meningkatkan nilai Br. Analisa kristalisasi senyawa BaFe12O19 yang terbentuk dilakukan dengan alat XRD pada temperatur kalsinasi mulai 800°C, 1000 °C dan 1200°C. Grafik hasil XRD diperlihatkan pada gambar 3.3.
Gambar 3.3 Grafik kurva XRD senyawa BaFe12O19 Dari gambar grafik di atas dapat dilihat bahwa pada temperatur 800°C, intensitas kristalisasi masih kecil. Intensitas tertinggi diperoleh oleh hasil kalsinasi 1000°C pada sudut 2θ 32° dan 35°. Generator tersebut dirancang dengan spesifikasi : o kecepatan
= 500 rpm
o frekuensi
= 50 Hz
o Output
= 60 Watt Jam
Maka Jumlah Magnet yang dibutuhkan sebanyak 12 buah. Pada gambar 3.4 diperlihatkan prototipe magnet bonded dan prototipe generator.
96
a) magnet pada rotor
b) generator set
Gambar 3.4. Prototipe Generator Tahap pengujian prototipe generator baru dilakukan pada hubungan putaran (rpm) dengan tegangan keluaran. Stator yang digunakan adalah stator tiga phase dengan kapasitas kuat hantar arus lilitan 1,6 Ampere, sedangkan pengukuran dilakukan pada masing-masing phase tanpa pembebanan. Hasil pengukuran 1 phase dapat dilihat pada tabel 3.5. Tabel 3.5 Hasil Pengukuran Prototipe Generator Putaran (RPM)
Tegangan Tanpa Beban (Volt)- 1 phase
50
0,8
100
1,9
150
3,4
200
4,7
250
6
300
7,2
350
8,5
400
9,6
450
10,8
500
12,2
97
IV.
KESIMPULAN
1.
Perbandingan komposisi serbuk magnet barium ferit adalah Ba : Fe : Citric Acid = 1:12:26
2.
Doping Nd(III)O sebanyak 10% telah dapat meningkatkan nilai karakteristik sifat magnet sebesar 36% dengan nilai Br = 3,01 kG, HcJ = 4,164 kOe, Bhmax = 1,25 MGOe dan densitas = 3,27 grcm-3.
3.
Magnet bonded hybrid terbaik dari pencampuran BaFe doping Nd(III)O dengan NdFeB epoxy dengan peningkatan karakteristik sifat magnet sebesar 32% dengan nilai Br = 3,98 kG, HcJ = 5,412, Bhmax = 2,72 dan densitas = 4,68 grcm-3.
4. V. 1.
Belum secara optimal dapat diaplikasikan dalam generator low rpm. DAFTAR PUSTAKA Proposal usulan kegiatan, Pembuatan Magnet Barium Ferit Nanopartikel dengan metoda sol gel untuk aplikasi komponen elektronik, DIPA TA 2009.
2.
Laporan triwulan I – II Pembuatan Magnet Barium Ferit Nanopartikel dengan metoda sol gel untuk aplikasi komponen elektronik, DIPA TA 2009
3.
Brinker C.Jeffrey, (1990), Sol Gel Science, Academic press limited, London.
4.
K.H. Wu, (2006), Sol gel auto-combustion synthesis of SiO2-doped NiZn ferrite by using various fuels, Elsevier, Journal of Magnetism and Magnetic Materials, 298, 25 – 32.
5.
Popa P.D.,Rezlescu E.,Doroftei C., Rezlescu N., (2005) Influence of calcium on properties of strontium and barium.
6.
Pal, M., dkk., (2004), Synthesis of nanocomposites comprising iron and barium hexaferrites, Elsevier, journal of magnetism and magnetic materials, 42-47.
7.
R.K.Iler, (1979), The chemistry of Silica, wiley, New York.
8.
Yang, L., (2005), Fabrication and characterization of microlasers by the solgel method, thesis, California Institute of Technology, Pasadena California, 35-41.
9.
T.M.Mulcahy and J.R.Hull, “Improving sintered NdFeB permanent magnets by powder compaction in a 9 T superconducting Solenoid”, Journal of Applied Physics Hard Magnet Processing and Applications, Vol.93, 2003. 98
10.
William H.Hayt,Jr., John A.Buck,
”Elektro-magnetika (terjemahan) Edisi
Ketujuh”, Erlangga, 2006. 11. Andrew J. Provenza, “An Integrated Magnetic Circuit Mode and Finite Element Model Approach to Magnetic Bearing Design”, 37th Intersociety Energy Conversion Engineering Conference, 2002, pp. 1-4. 12. Emad Said Addasi, “Calculations of Permanent Magnet Using DistributedParameters Equivalent Circuit”, Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 2(4), 2008, pp.850-857. 13. D. Bahadur, S. Rajakumar and Ankit Kumar, “ Influence of fuel ratios on auto combustion synthesis of barium ferrite nano particles”, Journal of Chemical Science, Vol.118, No.1, 2006, pp.15-21 14. Nanang Sudrajat, Novrita Idayanti,”Karakterisasi Pembentukan Magnet Barium Ferit Nano Partikel dengan X-Ray Diffraction”, Jurnal Sains Materi Indonesia, Edisi Khusus, 2009, hal. 71-73 15. Nanang Sudrajat, Novrita Idayanti dan Tony K., ”Kompaksi Bahan Magnet Permanen Barium Ferit Anisotrop Nanopartikel dalam Solenoida 0,5T”, Jurnal Elektronika dan Telekomunikasi, Volume 9, Nomor 2, 2009, hal. 4549. 16. Erfin Yundra Febrianto, “Pengaruh suhu pembakaran terhadap Sifat-sifat Komposit Keramik Alumina-Zirkonia”, Prosiding Simposium Fisika Nasional XVIII, 2000 , hal. 226-233. 17. Novrita Idayanti, Nanang Sudrajat, ” Pengaruh Temperatur Kalsinasi Terhadap Sifat Magnet Barium Ferit”, Prosiding Seminar Nasional XVII Kimia dalam Industri dan Lingkungan, 2008, hal. C:6-9. 18. http://www.magnetsales.com/Design/Tools1.htm#flux, 9 Juli 2010. 19.
Pal, M., dkk., (2004), Synthesis of nanocomposites comprising iron and barium hexaferrites, Elsevier, journal of magnetism and magnetic materials, 42-47.
20.
http://www.mqitechnology.com/motor-designs.jsp, diakses 23 Mei 2011.
21.
http://www.forcefieldmagnets.com/windturbin-kits.htm
99
Pengembangan Through-Wall Radar untuk Life Detector Dr. Purwoko Adhi
Pusat Penelitian Elektronika dan Telekomunikasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2011
100
LEMBAR PENGESAHAN 1.
Judul Kegiatan Penelitian
:
Pengembangan Through-Wall Radar untuk Life Detector
2.
Kegiatan Prioritas
:
Informatika dan Telekomunikasi
3.
Peneliti Utama
:
Nama
:
Dr. Purwoko Adhi
Jenis Kelamin
:
Pria
4.
Sifat Penelitian
:
Baru (Tahun ke 1)
5.
Lama Penelitian
:
3 (tiga) Tahun
6.
Biaya Total 2011
:
Rp. 250.000.000,-
Bandung, 31 Desember 2011 Disetujui, Ka. Pusat Peneltian Elektronika dan Telekomunikasi - LIPI
Peneliti Utama
Dr. H i s k i a
Dr. Purwoko Adhi
NIP. 19650615 199103 1 006
NIP. 19670911 198701 1 001
.
101
ABSTRAK Indonesia adalah negara rawan gempa. Gempa yang berkekuatan cukup besar berpotensi menyebabkan runtuhnya gedung-gedung bertingkat dan dalam banyak kasus runtuhnya gedung bertingkat korban, baik meninggal maupun hidup, terjebak dalam reruntuhan gedung. Upaya penyelamatan harus dilakukan secara cepat dan hati-hati untuk memastikan korban hidup dapat diselamatkan. Tanpa informasi yang akurat mengenai keberadaan korban hidup di balik reruntuhan, penyelamatan memerlukan waktu yang lama dan mengurangi kemungkinan korban hidup dapat diselamatkan. Salah satu upaya dalam mengatasi masalah ini adalah penggunaan life detector untuk menemukan lokasi korban hidup. Keberadaan korban hidup bisa dideteksi dari gerakannya menggunakan through-wall radar yang mampu mendeteksi objek dibalik tembok atau beton. Pengembangan through-wall radar bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan perangkat life detector. Through-wall radar menggunakan prinsip radar UWB yang banyak digunakan untuk ground penetrating radar (GPR). Salah satu tipe radar UWB adalah radar FM-CW. Radar UWB FM-CW menggunakan prinsip yang sama dengan Radar FM-CW yang digunakan untuk radar permukaan atau radar udara. Perbedaannya, Radar UWB FM-CW menggunakan frekuensi yang lebih rendah namun memiliki bandwidth sinyal yang jauh lebih lebar. Pembangkit chirp wideband adalah salah satu komponen atau subsitem terpenting dari sebuah radar UWB FM-CW. Tantangan dalam komponen ini adalah bandwidth yang sangat lebar, linearitas frekuensi terhadap waktu, level daya yang rata, dan kestabilan. Komponen atau subsistem penting lain dari sistem Radar FM-CW adalah modul data akuisisi. Modul ini berfungsi mengubah sinyal beat menjadi data digital yang siap diolah oleh komputer (PC). Pengiriman data dari modul data akuisisi ke PC bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui PCI, USB, dan sebagainya. Untuk alasan kepraktisan USB dipilih sebagai jalur data dari modul ke PC. Kata kunci :
radar, through wall, life detector, gempa bumi, ultra wide band
(UWB)
102
I. PENDAHULUAN Sebagai Negara kepulauan yang terletak di pertemuan antara beberapa lempeng bumi, Indonesia merupakan negara rawan gempa. Gempa yang berkekuatan cukup besar berpotensi menyebabkan runtuhnya gedung-gedung bertingkat. Dalam banyak kasus runtuhnya gedung bertingkat, korban, baik meninggal maupun hidup, terjebak dalam reruntuhan gedung. Upaya penyelamatan harus dilakukan secara cepat dan hati-hati untuk memastikan korban hidup dapat diselamatkan. Tanpa informasi yang akurat mengenai keberadaan korban hidup di balik reruntuhan, penyelamatan memerlukan waktu yang lama dan mengurangi kemungkinan korban hidup dapat diselamatkan. Berbagai cara untuk mendeteksi keberadaan korban hidup dibalik reruntuhan banyak digunakan. Di antaranya dengan menggunakan anjing pelacak, menggunakan inframerah untuk mendeteksi panas tubuh, menggunakan sensor gas untuk mendeteksi aktifitas pernafasan, menggunakan sensor suara, menggunakan kamera yang bisa melewati celah-celah sempit jika ada, dan sebagainya. Untuk melengkapi informasi yang diperlukan dalam rangka pencarian korban hidup dibalik reruntuhan, through-wall radar dapat digunakan. Keberadaan korban hidup bisa dideteksi dari gerakan anggota tubuhnya, gerakan nafasnya, atau detak jantungnya menggunakan through-wall radar yang mampu mendeteksi objek di balik tembok, beton, atau material lain. Pengembangan through-wall radar bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan perangkat life detector. Through-wall radar menggunakan prinsip radar UWB yang banyak digunakan untuk ground penetrating radar (GPR). Salah satu tipe radar UWB adalah radar FM-CW. Radar UWB FM-CW menggunakan prinsip yang sama dengan Radar FM-CW yang digunakan untuk radar permukaan atau radar udara. Perbedaannya, Radar UWB FM-CW menggunakan frekuensi yang lebih rendah namun memiliki bandwidth sinyal yang jauh lebih lebar. Pembangkit chirp wideband adalah salah satu komponen atau subsitem terpenting dari sebuah radar UWB FM-CW. Tantangan dalam komponen ini adalah bandwidth yang sangat lebar, linearitas frekuensi terhadap waktu, level daya yang rata, dan kestabilan. Komponen atau subsistem penting lain dari sistem Radar FM-CW adalah modul data akuisisi. Modul ini berfungsi mengubah sinyal beat menjadi data digital yang 103
siap diolah oleh komputer (PC). Pengiriman data dari modul data akuisisi ke PC bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui PCI, USB, dan sebagainya. Untuk alasan kepraktisan USB dipilih sebagai jalur data dari modul ke PC. II. PENGEMBANGAN RADAR THROUGH WALL 2.1. Pemilihan Jenis dan Spesifikasi Through-Wall Radar menggunakan teknologi UWB. Pembangkitan dan analisa sinyal UWB dapat dilakukan baik dalam domain waktu maupun dalam domain frekuensi. Pada metode domain waktu, sinyal UWB dibangkitkan dengan membentuk/memancarkan pulsa-pulsa dengan durasi sangat pendek. Sinyal balik yang akan diterima oleh penerima radar akan berupa kombinasi sinyal-sinyal yang merupakan pantulan sinyal yang dipancarkan oleh pemancar dan dipantulkan kembali oleh benda-benda dengan jarak, ukuran, dan reflektivitas yang berbedabeda. Sinyal-sinyal ini memiliki daya, fasa, dan delay yang berbeda-beda terhadap sinyal yang dipancarkan. Analisa sinyal dilakukan dalam domain waktu di mana delay sinyal menunjukkan jarak/range benda dari radar. Metode domain frekuensi bisa dibagi menjadi 2. Yang pertama adalah Step Frequency dan yang kedua adalah Frequency Modulation Continuous Wave (FMCW). Analisa sinyal dilakukan dalam frekuensi dengan melakukan Transformasi Fourier/ FFT. Dari teknik-teknik UWB yang ada, seperti teknik time domain/pulse, teknik step frequency continuous wave (SFCW), dan teknik frequency modulation continuous wave (FMCW), kami memilih FMCW karena kami sudah berpengalaman dengan teknik ini, baik di sisi hardware maupun di sisi software, meski untuk aplikasi, frekuensi, dan bandwidth yang berbeda. Kami menetapkan frekuensi kerja radar dari 500MHz sampai dengan 3GHz, karena berdasarkan literatur pada rentang frekuensi tersebut gelombang radio dapat menembus bahan-bahan yang umum dipakai untuk bahan bangunan. Untuk membangkitkan frekuensi sweep dari 500MHz sampai dengan 3GHz digunakan sebuah DRO dengan frekuensi tetap 9.75GHz, sebuah VCO akan diatur agar menghasilkan frekuensi sweep dari 6.75-9.25GHz, sebuah mixer, dan sebuah lowpass filter. Untuk menjamin frekuensi sweep yang linier terhadap waktu, VCO digunakan bersama sebuah DDS dan PLL dalam konfigurasi pengali frekuensi. Adapun spesifikasi Radar yang dikembangkan adalah sebagai berikut 104
•
Frekuensi
: 500-3000MHz
•
Daya pancar
: 30dBm
•
Sweep time
: 1mS
•
Beat Frequeny Bandwidth : 500kHz
•
Beat Frequeny sampling rate :
•
Jumlah sample
: 1024
•
Range cells
: 512
•
Maximum range
: 30m
•
Range resolution
: 6cm
1MSamples/S
2.2. Prinsip Radar FM-CW UWB Sebagaimana telah dijelaskan,
dalam pengembangan Radar Through Wall
untuk Life Detector kami memilih teknik FM-CW, karena kami memiliki pengalaman dengan type radar ini, meskipun untuk aplikasi yang berbeda. Di samping itu, kami melihat bahwa arsitektur radar dengan type ini cukup sederhana dan tidak membutuhkan komponen khusus. Diagram blok hardware radar dapat dilihat pada Gambar 1.1. Radar yang dikembangkan menggunakan DRO 9.75GHz sebagai pembangkit frekuensi referensi. Sinyal ini dipecah menjadi dua, yang satu digunakan sebagai sinyal clock DDS setelah melalui pembagi frekwensi, yang lain digunakan untuk downconversion mixer. DDS dan VCO bersama-sama membentuk sebuah rangkaian PLL dengan output dari DDS sebagai frekuensi referensi. DDS diprogram untuk membangkitkan chirp sehingga output VCO berupa chirp juga, namun dengan frekuensi yang lebih tinggi dan bandwidth yang lebih lebar. Output VCO di-downconvert menggunakan satu dari pecahan output DRO yang telah disebutkan di atas, menghasilkan chirp dengan frekuensi yang lebih rendah, namun dengan bandwidth yang sama. Sinyal chirp dipecah menjadi dua, yang satu kemudian diperkuat dan dipancarkan melalui antena pemancar dan yang lain digunakan untuk input mixer penerima. Setelah dipancarkan dan dipantulkan oleh objek di depan radar, sinyal kembali diterima oleh antena penerima. Setelah difilter dan diperkuat, sinyal ini di-mix dengan sinyal chirp dari pemancar, menghasilkan sinyal beat. Sinyal beat inilah yang dianalisa untuk mendapatkan informasi range (jarak) dan Doppler (kecepatan gerak objek). Untuk itu sinyal beat ini harus dikonversi ke bentuk digital dengan ADC
105
kemudian di ambil oleh komputer (PC) melalui USB. Pemrosesan sinyal dilakukan di PC. 9,75 GHz DRO 9,75GHz
UWB LPF 3000
609MHz ÷16 REF CLK (max 2,7GHz) TRIGGER
DAC DDS AD 9965
VCO
6,75-9,25
LOGIC
5-10GHz
SYNC PLL REF
PLL OSC (max655)
÷16
421-578MHz
USB
500-3000MHz
ADC
Gambar 1.1. Diagram Blok 2.3. Bahan dan Metodologi Pengembangan Through-Wall Radar adalah perangkat yang menggunakan prinsip gelombang radio. Untuk mengembangkannya diperlukan bahan-bahan berupa komponenkomponen maupun modul-modul frekuensi radio (RF), di samping komponenkomponen elektronika lain. Bahan-bahan tersebut adalah sebagai berikut.
•
Modul Dielectric Resonance Oscillator (DRO)
•
Modul Voltage Control Oscillator (VCO)
•
Modul-modul Frequency Mixer
•
Modul Direct Digital Synthesis (DDS)
•
Modul/komponen Frequency Divider
•
Modul Power Amplifier dan Low Noise Amplifier
•
Modul-modul Lowpass, Highpass, dan Bandpass Filter
•
Modul/komponen Analog to Digital Converter (ADC)
•
Modul Data Aquisition
106
•
Komponen-komponen elektronika aktif berupa semiconductor diskrit seperti transistor, dioda,
•
Komponen-komponen elektronika aktif berupa semiconductor terintegrasi (IC) seperti mikrokontroler, IC TTL, dll.
•
Komponen-komponen hybrid seperti hybrid COIC dan hybrid SLIC.
•
Komponen lain seperti PCB, konektor, kabel, dsb.
•
Modul-modul elektronika seperti power supply dan antenna.
•
Komponen-komponen elektronika pasif
•
Bahan-bahan mekanik
Untuk DRO digunakan modul DRO generic yang memiliki frekuensi output 9.75GHz dan daya sekitar 7dBm. Untuk DDS akan digunakan Evaluation Board AD9965 dari Analog Device. Untuk wideband VCO akan digunakan HMC-C029 dari Hittite. VCO ini dapat menghasilkan sinyal output dengan frekuensi antara 5 dan 10 GHz, dengan daya sekitar 20dBm. Sedangkan untuk mixer antara DRO dan wideband VCO akan digunakan ZX05-153+ dari Mini-Circuits, dipasangkan dengan Lowpass filter VLF-3000+. Untuk Power Amplifier akan digunakan ZHL-42W. Untuk Divider 16 akan digunakan dua pembagi 4 HMC493LP3E dari Hittite. Sedangkan pada receiver, untuk LNA akan digunakan ZX60-33LN+ dari MiniCircuits. Sebagai Bandpass filter akan digunakan kombinasi antara lowpass filter VLF-3000+ dan highpass filter SHP-500+. Untuk Mixer antara sinyal transmit dan sinyal receive akan digunakan ZJL-4G+ dari Mini-Circuits. Adapun dalam pelaksanaannya, kegiatan ini menggunakan metoda penelitian yang dapat dirangkum sebagai berikut.
•
Perancangan sistem, di mana sistem dirancang secara keseluruhan, termasuk di dalamnya penyusunan spesifikasi dan pendefinisian modulmodul penyusun sistem.
•
Perancangan Software
•
Pemilihan modul-modul yang memenuhi fungsi dan spesifikasi yang dibutuhkan (untuk modul-modul yang tidak dibuat sendiri).
•
Perancangan modul-modul (untuk modul-modul yang dibuat sendiri) di mana
skema
rangkaian
elektronik
modul-modul
dibuat
untuk
menghasilkan fungsi dari masing-masing modul yang diinginkan.
107
•
Realisasi modul-modul, di mana skema elektronik dituangkan dalam disain tata letak komponen dalam PCB, kemudian PCB dibuat dan rangkaian elektronika diasembling di atas PCB.
•
Pengujian modul-modul, di mana modul-modul di uji coba secara individu untuk mengetahui apakah mereka telah berfungsi sebagaimana yang didinginkan.
•
Intergrasi sistem, di mana modul-modul yang telah diuji diintegrasikan menjadi sebuah sistem.
•
Pengembangan Software
•
Pengujian sistem di laboratorium, di mana sistem diuji coba untuk mengetahui fungsi sistem.
•
Perbaikan dan penyempurnaan apabila diperlukan
III. PENGEMBANGAN PEMBANGKIT CHIRP WIDEBAND 3.1. Spesifikasi Dan Diagram Blok Radar UWB untuk aplikasi Life Detector yang dikembangkan memiliki frekuensi kerja antara 500 dan 3000 MHz. Rentang frekuensi ini terlalu lebar untuk dibangkitkan secara langsung. Oleh karena itu, sinyal dibangkitkan pada frekuensi yang lebih tinggi, di mana sebuah oscillator tunggal mampu membangkitkan sinyal dengan
rentang
frekuensi
tersebut.
Kemudian
sinyal
di-downmix
untuk
menghasilkan sinyal yang diinginkan, seperti ilustrasi pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Diagram Blok Pembangkit Chirp WideBand 500-3000MHz DRO yang digunakan memiliki frekuensi output sebesar 9750 MHz. Untuk menghasilkan sinyal yang diinginkan, pembangkit chip harus menghasilkan frekuensi antara 6750 dan 9250 MHz. Sinyal dari DRO dicampur dengan sinyal dari
108
pembangkit
chirp,
kemudian
difilter
dengan
sebuah
lowpass
filter
untuk
menghasilkan sinyal chirp dengan frekuensi antara 500 dan 3000 MHz. Prinsip kerja radar FM-CW mengharuskan linearitas frekuensi yang sangat tinggi terhadap waktu. Salah satu pembangkit sinyal FM yang mampu memenuhi linearitas yang dibutuhkan ini adalah DDS. Pembangkit chirp wideband yang dikembangkan dapat digambarkan secara sederhana dengan diagram blok seperti pada Gambar 2. Komponen utama dari rangkaian yang dikembangkan adalah sebuah DDS, sebuah VCO, sebuah phase detector (PD), dan sebuah charge pump (CP). Rangkaian menggunakan frekuensi output 9750 MHz dari DRO sebagai referensi utama. Bersama dengan beberapa pembagi frekuensi dan filter, komponen utama membentuk sebuah rangkaian phase locked loop (PLL), di mana output dari DDS berfungsi sebagai sinyal referensi.
Gambar 3.2. Diagram Blok Pembangkit Chirp WideBand 6750-9250MHz. Sinyal output dari VCO dibagi 24 oleh sebuah pembagi frekuensi, kemudian dibagi oleh sebuah pembagi N. Hasilnya, sebuah sinyal dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi sinyal output VCO dibagi 24N, menjadi salah satu input dari PD (osc in). Input PD yang lain (ref in) adalah sinyal yang dihasilkan oleh DDS dan dibagi oleh pembagi M. Rangkaian seperti ini, pada kondisi locked, akan menghasilkan menghasilkan sinyal dengan frekuensi 24N kali frekuensi sinyal referensi.
109
Untuk menghasilkan sinyal output berupa chirp dengan frekuensi antara 6750 dan 9250 MHz, dengan sweep time tertentu, DDS harus diprogram untuk menghasilkan sinyal chirp dengan frekuensi antara 93,75 dan 128,47 MHz. Pembagi M dan pembagi N masing-masing diprogram sehingga M sama dengan 1 dan N sama dengan 3. Dengan demikian rangkaian PLL ini berfungsi sebagai pengali 72. 3.2. Implementasi Rangkaian Untuk implementasi rangkaian digunakan IC DDS AD9956 dari Analog Device [2]. Selain DDS, IC ini juga memiliki sebuah PD, sebuah CP, pembagi M, dan pembagi N di dalamnya. Untuk menyederhanakan implementasi rangkaian, digunakan IC yang sudah terpasang di atas sebuah Evaluation Board AD9956 [3]. Board tersebut memiliki interface USB untuk keperluan pemrograman IC dan beberapa konektor SMA untuk input dan output.
Gambar 3.3. Diagram Skematik
110
Untuk VCO digunakan sebuah modul VCO HMC-C029 dari Hittite Microwave Corporation. Modul ini memiliki frekuensi kerja antara 5 dan 10 GHz, dengan tegangan tuning antara 0 dan 20 Volt. Diagram skema rangkaian dapat dilihat pada Gambar 3.3. Output DRO yang sudah dibagi dengan 9 digunakan sebagai clock referensi utama dari DDS. Untuk itu output pembagi 9 dihubungkan dengan input DUT RF IN pada evaluation board. Output DDS (DUT FILTER OUT) yang sudah difilter oleh filter yang sudah tersedia di atas board dihubungkan ke input DUT REF IN. Output dari VCO, setelah dibagi dengan pembagi 24 dihubungkan dengan input DUT OSC IN pada evaluation board. VCO OUT pada evaluation board AD9956 sebenarnya terhubung dengan output VCO pada versi dengan VCO. Karena kami menggunakan versi tanpa VCO, kami memanfaatkan soket konektor SMA ini untuk mengambil sinyal dari output CP. Untuk itu pada board dipasang jumper dari pin 36 (CP_OUT) IC AD9956 ke soket konektor SMA VCO OUT. Output CP dihubungkan ke rangkaian filter PLL standar. CP pada AD9956 dicatu dengan tegangan 3,3Volt. Oleh karena itu output CP adalah antara 0 dan 3,3Volt. Rentang tegangan ini tidak mencakup seluruh tegangan tuning dari VCO, yaitu antara 0 dan 20Volt. Untuk itu digunakan sebuah operational amplifier yang difungsikan sebagai penguat tegangan, sedemikian rupa sehingga rentang tegangan input 0 sampai 3,3Volt berkorespondensi dengan rentang tegangan output 0 sampai 20Volt. 3.3. Pemrograman DDS Pada prinsipnya, DDS harus diprogram untuk menghasilkan sebuah chirp. Pengenalan AD9956 dan pemrogramannya sebagai pembangkit sinyal chirp dapat dilihat pada [16]. Frekuensi clock referensi yang digunakan adalah 1083.333MHz. Frekuensi ini harus kita bagi dengan 4 untuk menghasilkan system clock (SYSCLK), karena AD9956 tidak mengijinkan frekuensi SYSCLK di atas 400MHz. Untuk itu kita harus menggunakan RF-DIVIDER dengan memberi logika 0 pada bit RF Divider SYSCLK Mux (CFR2<16>=0) dan memberi nilai 4 pada rf divider ratio dengan memberi angka biner 10 pada dua bit RF Divider Ratio (CFR2<22:21> = 10). Dengan demikian SYSCLK = 270,833MHz dan frekuensi synchronisation clock (SYNC_CLK) adalah 111
sebesar SYSCLK dibagi 4, atau sebesar 67,708MHz. Frekuensi ini bisa didapat pada output SYNC_OUT. Frekuensi sweep yang diinginkan adalah sekitar 1kHz, atau sweeptime sekitar 1ms. Frekuensi terdekat yang didapat dengan cara membagi SYNC_CLK dengan bilangan 2n adalah 1033Hz, di mana n=16. Berarti sweeptime sama dengan 0.968ms atau 65536 siklus SYNC_CLK. Untuk meyakinkan bahwa akumulator frekuensi telah kembali ke frekuensi bawah, maka digunakan guardtime sebesar 4 siklus SYNC_CLK, sehingga sweep dari frekuensi bawah ke frekuensi atas dilakukan selama 65532 siklus SYNC_CLK. Sinyal chirp dengan frekuensi antara 93,75 dan 128,47MHz berarti frekuensi ekskursi sekitar 34,72MHz. Untuk mendapatkan frekuensi ekskursi sekitar 34,72MHz, nilai 1 dimasukkan pada RSRR. Nilai ini menghasilkan kenaikan frekuensi setiap Tr = 0.014769us, atau setiap satu siklus SYNC_CLK. Kenaikan frekuensi yang dibutuhkan setiap kali adalah sekitar 529,785Hz dan yang mendekati ini adalah fr = 516,574Hz yang bisa diperoleh dengan memberikan nilai 32 pada RDFTW. Nilainilai di atas akan menghasilkan frekuensi ekskursi sebesar 33,852MHz untuk sweeptime yang telah ditentukan di atas. Dengan demikian frekuensi bawah adalah tetap 93,75MHz. Frekuensi atas menjadi 93,75MHz ditambah 33,852MHz sama dengan 127,602MHz. Frekuensi bawah dan frekuensi atas digunakan untuk menghitung FTW0 dan FTW1 dengan menggunakan Persamaan (3.1). (3.1) di mana fs adalah frekuensi clock referensi. Selanjutnya FTW0 dan FTW1 ditulis bersama dengan POW0 dan POW1, yang dibiarkan 0, pada PCR0 dan PCR1. Triger periodik dengan perioda sebesar sweep time yang diinginkan diperlukan oleh DDS agar menghasilkan chirp periodik. Untuk menjaga koherensi, sinyal triger dibangkitkan dengan membagi sinyal SYNC_CLK yang bisa diperoleh pada output SYNC_OUT pada board AD9956. Untuk meyakinkan bahwa pembagi bisa bekerja pada frekuensi SYNC_CLK, untuk pembagi tahap awal digunakan komponen TTL tipe fast (F). Setelah didapat frekuensi yang lebih rendah, pada tahap berikutnya bisa digunakan tipe lain. Diagram skema rangkaian pembagi dapat dilihat pada Gambar 3.4.
112
Gambar 3.4. Rangkaian pembagi untuk trigger. Dalam rangkaian tersebut digunakan dua buah IC 74F74 yang masing-masing memiliki dua buah D-Flipflop yang difungsikan sebagai pembagi dua. Keempat DFlipflop dirangkai membentuk pembagi 16. Sinyal output pada pin SYNC_OUT sudah kompatibel dengan sinyal TTL, sehingga bisa langsung dihubungkan ke clock dari D-Flipflop pertama. D-Flipflop terakhir menghasilkan sinyal dengan frekuensi 4.232MHz. Selanjutnya sinyal ini dibagi 256 menggunakan 2 buah counter 4 bit yang ada dalam sebuah IC 74HC393 dan difungsikan sebagai pembagi 16. Selanjutnya sebuah counter pada IC 74HC393 lain difungsikan sebagai pembagi 16. Output memiliki frekuensi 1033Hz sebagai input untuk trigger DDS pada pin PS0. 3.4. Pengujian Gambar 3.5 menunjukkan spektrum output dari DDS yang diprogram untuk menghasilkan chirp dari 93,75 sampai 128,47MHz . Spectrum analyzer di-set pada frekuensi tengah 105MHz dan span 70MHz atau setara dengan frekuensi start 70MHz dan frekuensi stop 140MHz. Terlihat sedikit penurunan tingkat daya yang berbanding terbalik dengan frekuensi.
113
Gambar 3.5. Spektrum chirp 93,75-128,47MHz Gambar 3.6 menunjukkan spektrum output VCO, berupa chirp dari 6750 sampai 9250MHz. Spectrum analyzer di-set pada frekuensi start 6GHz dan frekuensi stop 10GHz, atau setara dengan frekuensi tengah 8GHz dan span 4GHz. Dapat diamati bahwa tingkat daya sepanjang rentang frekuensi output sedikit tidak merata. Namun, dari bentuk spektrum bisa disimpulkan bahwa pembangkit chirp telah bekerja.
Gambar 3.6. Spektrum chirp 6750-9250MHz Untuk
mengetahui
kualitas
sinyal
yang
dihasilkan
pembangkit
chirp,
pembangkit chirp diprogram untuk membangkitkan sinyal dengan frekuensi tetap. DDS diprogram untuk menghasilkan sinyal dengan frekuensi 100MHz. Gambar 3.7 menunjukkan spektrum sinyal tersebut. Spectrum analyzer di-set dengan frekuensi tengah 100MHz dan span 3MHz. Bentuk spektrum menunjukkan bahwa sinyal yang dihasilkan cukup baik dan memenuhi syarat.
114
Gambar 3.7. Sinyal 100MHz dari DDS Dengan DDS diprogram untuk menghasilkan sinyal 100MHz, subsitem pembangkit chirp akan menghasilkan sinyal dengan frekuensi 7200MHz. Gambar 3.8 menunjukkan spekrum output VCO berupa sinyal dengan frekuensi 7200MHz. Spectrum analyzer di-set dengan frekuensi tengah 7.2GHz dan span 200MHz. Dari bentuk spekrum sinyal dapat disimpulkan bahwa sinyal termodulasi frekuensi atau memiliki derau fasa yang belum bisa diterima. Sinyal seperti ini akan menurunkan resolusi sistem radar dan menimbulkan masalah pada pengolahan Doppler.
Gambar 3.8. Sinyal 7.2GHz dari VCO Masalah modulasi frekuensi atau derau fasa ini ditimbulkan oleh rangkaian antara charge pump dan VCO, yaitu filter loop dan amplifier. Untuk mengatasi masalah ini, rangkaian tersebut perlu diperbaiki.
115
IV. PENGEMBANGAN AKUISISI DATA 4.1. Akuisisi Data dalam Sistem Radar FM-CW Secara sederhana sebuah sistem Radar FM-CW dapat digambarkan dengan diagram blok pada Gambar 4.1. Sistem Radar bekerja pada frekuensi antara 500 dan 3000MHz. Sebuah DRO yang menghasilkan sinyal dengan frekuensi 9750MHz digunakan sebagai pembangkit sinyal utama. Sinyal ini digunakan sebagai referensi oleh pembangkit chirp yang diprogram untuk membangkitkan chirp dengan frekuensi antara 6750 dan 9250MHz. Sinyal chirp ini kemudian di-mix dengan sinyal output DRO dan difilter dengan sebuah lowpas filter (LPF), untuk menghasilkan sinyal chirp dengan frekuensi antara 500 dan 3000MHz. Sebuah splitter digunakan untuk membagi sinyal menjadi dua output. Sinyal dari output pertama diperkuat dengan power amlifier (PA) dan dipancarkan melalui antena pemancar. Sinyal ini akan dipantulkan kembali oleh objek-objek yang ada di depan antena radar. Sinyal pantulan diterima oleh antena penerima, untuk selanjutnya diperkuat dengan sebuah low noise amplifier (LNA) dan difilter dengan sebuah bandpass filter (BPF). Sinyal output dari BPF di-mix dengan sinyal dari output kedua dari splitter dan difilter dengan sebuah LPF 500kHz. Hasilnya adalah sinyal beat dengan frekuensi antara 0 dan 500kHz. Sinyal beat mengandung informasi mengenai objek-objek yang ada di depan radar. Agar dapat mengolah sinyal beat dan mengambil informasi yang ada di dalamnya secara digital menggunakan PC, sinyal beat harus diubah menjadi data digital menggunkan analog to digital converter (ADC). Data digital ini kemudian dikirim ke PC melalui interface USB.
Gambar 4.1. Diagram Blok Radar UWB
116
Mengikuti spesifikasi radar yang telah ditentukan, sinyal beat memiliki frekuensi antara 0 dan 500kHz. Menurut teori Nyquist, konversi sinyal ini ke data digital cukup dilakukan dengan sampling rate 1Msample/s. Sampling rate sebesar ini tidak terlalu tinggi untuk ukuran ADC yang ada di pasaran saat ini. Namun hal lain yang perlu diperhatikan adalah resolusi dari ADC. Dengan resolusi 16 bit per sampel, sample rate 1 Msample/s berarti bitrate data sebesar 16 Mbit/s. 4.2. USB dan EZ-USB FX2LP USB adalah singkatan dari Universal Serial Bus. Seperti sebuah mobil atau perangkat yang didisain dengan baik, kesederhanaan luar sebuah periferal USB menyembunyikan kompleksitas internal. Banyak hal terjadi di dalam divais USB. Divais USB bisa dipasang kapan saja, bahkan ketika PC sedang on. Ketika PC mendeteksi sebuah divais USB dipasang, PC secara otomatis menginterogasi divais untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya. Dari informasi ini, PC secara otomatis me-load driver ke OS. Ketika divais dilepas, OS secara otomatis me-log-off dan meng-unload drivernya. Divais USB tidak menggunkana DIP switch, jumper, atau program konfigurasi. Tidak pernah ada konflik IRQ, DMA, memory, atau I/O dengan sebuah divais USB. USB expansion hub membuat bus tersedia secara simultan untuk lusinan divais. USB cukup cepat untuk printer, hard disk drive, CD audio, dan scanner. USB men-suport tiga kecepatan: Low-Speed (1.5 Mbits/sec), untuk keyboard,
dan joystick, Full-Speed (12 Mbits/sec), untuk alat seperti
mouse, modem,
speaker, dan scanners, High-Speed (480 Mbits/sec), untuk alat seperti hard disk, CD-ROM, kamera video, dan scanner resolusi tinggi. EZ-USB adalah keluarga IC USB controller dari Cypress Semiconductor. Keluarga EZ-USB menawarkan periferal USB 2.0 dalam chip tunggal yang arsitekturnya telah dirancang untuk mengakomodasi kecepatan data yang lebih yang ditawarkan oleh USB 2.0. Divais EZ-USB FX2LP (CY7C68013A/14A/15A/16A) mendukung baik mode full-speed maupun high-speed.
117
Gambar 4.2. Diagram Blok EZ-USB EZ-USB membungkus semua kepintaran yang dibutuhkan oleh sebuah interface periferal USB ke dalam sebuah rangkaian terpadu yang kompak. Sebagaimana digambarkan pada Gambar 4.2, sebuah transceiver USB terpadu menghubungkan ke bus USB pins D+ and D-. Sebuah Serial Interface Engine (SIE) mendekode dan menkode data serial dan melakukan error correction, bit stuffing, dan tugas lain pada level signaling yang dibutuhkan oleh USB. SIE mentransfer data paralel ke dan dari intarface USB. Data USB masuk ke dan keluar dari EZ-USB melalui endpoint buffer. Logika eksternal biasanya membaca dan menulis data ini melalui hubungan langsung ke FIFO endpoint tanpa campur tangan CPU EZ-USB. Hal ini penting khususnya untuk FX2LP, yang bisa beroperasi pada high-speed dengan kecepatan transfer 480 Mbits/sec.
Gambar 4.3. Meskipun beberapa divais berbasis EZ-USB bisa menggunakan CPU EZ-USB untuk mengolah data USB secara langsung, sebagian besar akan menggunakan EZ-USB hanya sebagai saluran antara USB dan rangkaian logika pengolah data eksternal (seperti ASIC atau DSP, atau IDE controller pada hard disk).
118
Dalam divais-divais dengan rangkaian logika pengolah data eksternal, data USB mengalir antara host dan
rangkaian logika eksternal – biasanya tanpa campur
tangan CPU EZ-USB – melalui FIFO endpoint internal dari EZ-USB. Bagi rangkaian logika eksternal, FIFO endpoint ini seperti kebanyakan FIFO lain; mereka menyediakan timing signal, handshake line (full, empty, programmable-level), read strobe dan write strobe, output enable, dan sebagainya.
Gambar 4.4. Interface FIFO Tentu saja sinyal FIFO ini harus dikendalikan oleh master FIFO. General Programmable Interface (GPIF) dari EZ-USB bisa berperan sebagai master internal ketika EZ-USB dihubungkan dengan rangkaian logika eksternal yang tidak memiliki interface FIFO standar, atau FIFO bisa dikendalikan oleh master eksternal. Ketika FIFO dikendalikan oleh sebuah master eksternal, EZ-USB disebut dalam mode “Slave FIFO”. Mode inilah yang akan digunakan dalam aplikasi yang dikembangkan. Gambar 4 menunjukkan interface slave FIFO. Untuk detail lengkap mengenai interface – baik hardware maupun software – antara FIFO slave dari EZ-USB dan master eksternal bisa dilihat di [25]. 4.3. Perancangan dan Implementasi Rangkaian Modul yang dikembangkan dapat digambarkan secara sederhana dengan diagram blok pada Gambar 4.5.
Gambar 4.5. Diagram Blok Akuisisi Data
119
Rangkaian terdiri dari sebuah EZ-USB yang dioperasikan dengan mode slave FIFO, sebuah CPLD yang diprogram untuk berfungsi sebagai master eksternal, dan sebuah ADC. ADC mengkonversi sinyal beat analog dari sistem radar menggunakan sampling clock yang juga dari sistem. CPLD meneruskan data dan clock tersebut dan melengkapinya dengan sinyal-sinyal yang diperlukan oleh interface FIFO EZUSB, serta menerima dan merespons sinyal ari interface FIFO jika deperlukan. Untuk alasan kepraktisan, implementasi rangkaian menggunakan sebuah board di atas mana sudah terpasang sebuah IC USB CY7C68013A dan sebuah IC CPLD Max II EPM1270T144C5N dari Altera. Di atas board juga terdapat sebuah osilator kristal 24MHz untuk EZ-USB dan sebuah osilator 48MHz untuk CPLD. Sebuah IC serial EEPROM 24LC64 terhubung dengan pin SCL dan SDA dari EZ-USB. Akses ke EZ-USB hanya tersedia melalui soket USB tipe B dan melalui CPLD. Kecuali beberapa pin CPLD yang terhubung ke EZ-USB, hubungan ke pin-pin sisanya tersedia pada konektor header. Tabel 4.1. EPM1270T144
CY7C68013A
PIN
PIN
SIGNAL
37
9
SLWR
38
8
SLRD
39
3
PD7/FD15
40
2
PD6/FD14
41
1
PD5/FD13
42
56
PD4/FD12
43
55
PD3/FD11
44
54
PD2 /FD10
45
53
PD1 /FD9
48
52
PD0 /FD8
49
47
PA7/ SLCS#
50
46
PA6/ PKTEND
51
45
52
44
PA4/FIFOADR0
53
43
PA3/*WU2
PA5/ FIFOADR1
120
55
42
PA2/*SLOE
57
41
PA1/INT1#
58
40
PA0/INT0#
59
38
CTL2/*FLAGC
60
37
CTL1/*FLAGB
61
36
CTL0/*FLAGA
62
32
PB7/FD7
63
31
PB6/FD6
66
30
PB5/FD5
67
29
PB4/FD4
68
29
PB3/FD3
69
27
PB2/FD2
70
26
PB1/FD1
71
25
PB0/FD0
72
20
IFCLK
Untuk ADC digunakan sebuah IC AD9235 dari Analog Devices [24], yang sudah terpasang di atas sebuah evaluation board bersama-sama dengan beberapa komponen pendukung, seperti buffer untuk data dan clock. Data tersedia pada konektor header, bersama-sama dengan clock dan bit overrange. Karena sifat CPLD yang programmable, data, clock, dan bit overrange dari ADC bisa dihubungkan ke pin CPLD mana saja yang tersedia pada konektor header. Tabel 4.2 menunjukkan hubungan antara ADC dengan CPLD melalui evaluation board ADC. Tabel 4.2. EPM1270T144
ADC Ev Header Signal
AD9235
Pin
Pin
Pin Signal
-
34
D0
5
DNC
-
32
D1
6
DNC
3
30
D2
7
D0
4
28
D3
8
D1
5
26
D4
9
D2
121
6
24
D5
10
D3
7
22
D6
11
D4
8
20
D7
12
D5
11
18
D8
13
D6
12
16
D9
14
D7
13
14
D10
17
D8
14
12
D11
18
D9
15
10
D12
19
D10
16
8
D13
20
D11
2
36
DR
21
OTR
1
4
CLK
-
CLK
4.4. Pemrograman CPLD, EZ-USB, dan PC Host. CPLD diprogram sebagai master eksternal untuk slave FIFO USB. CPLD meneruskan data dan clock dari ADC ke interface FIFO dari EZ-USB. Kode program dapat dilihat pada Listing 4.1. Listing 4.1. module wr_fifo( clk, data_in, u_ifclk, data_out, u_slwr, u_slrd, u_sloe, u_addr0, u_addr1, u_flagb ); //input : input clk; //input clk dari ADC; input u_flagb; input [15:0] data_in; //data dari ADC; //USB interface : output u_ifclk, u_slwr, //-->u_slwr#; u_slrd, //-->u_slrd#; u_sloe, //-->u_sloe#; u_addr0, u_addr1; //output
122
output [15:0] data_out; //fifo_db[15:0]; reg
u_slwr,
//-->u_slwr#;
u_slrd,
//-->u_slrd#;
u_sloe;
//-->u_sloe#;
reg
[15:0] data_out; //-->fifo_db[15:0];
wire
u_ifclk;
//internal registers : reg [1:0] STATE; parameter IDLE='H0, WRITE_READY='H1, WRITE='H2; always @(negedge clk) begin if(!rst) begin data_out<='hffff; u_slwr<='b1; u_slrd<='b1; u_sloe<='b1; STATE<=IDLE; end else begin case(STATE) IDLE: begin STATE<=WRITE; end WRITE: begin if(u_flagb) begin
123
u_slwr<='b0; data_out<=data_in; STATE<=WRITE; end else begin u_slwr<='b1; STATE<=IDLE; end end default: STATE<=IDLE; endcase end end Reset_Delay u1(.iCLK(clk), .oRESET(rst)); assign u_addr0 = 'b0; assign u_addr1 = 'b1; assign u_ifclk = ~clk; endmodule EZ-USB diprogram dengan firmware slavefifo yang tersedia sebagai contoh pada software development kit (SDK) EZ-USB. Firmware ini memprogram EZ-USB sebagai slave FIFO dengan konfigurasi sebagai berikut.
•
EP2 512 2x BULK OUT - 8-bit async AUTO mode
•
EP4 512 2x BULK IN - 8-bit async AUTO mode
•
EP6 512 2x BULK OUT - 8-bit async AUTO mode
•
EP8 512 2x BULK IN - 8-bit async AUTO mode
•
FIFO strobes and flags are all active low
•
FLAGA - fixed EP2EF
124
•
FLAGB - fixed EP4FF
•
FLAGC - fixed EP6EF
•
FLAGD - fixed EP8FF
•
SLCS isn't being used
•
FX2 can't signal zerolen OUT token to the master Untuk driver USB digunakan driver standar dari EZ-USB yaitu CyUSB.sys. Akses ke EZ-USB dari PC dilakukan dengan sebuah program yang ditulis
dengan C++. Program ini menggunakan class CyUSB untuk keperluan akses ke driver CyUSB, sehingga perlu ditambahkan referensi ke CyUSB class (CyUSB.dll) pada project property dan ditambahkan namespcae CyUSB dalam kode program, seperti pada Listing 4.2. Listing 4.2. using namespace CyUSB; Perlu didefinisikan beberapa variabel, seperti pada Listing 4.3. Listing 4.3. private: CyUSBDevice ^ loopDevice; USBDeviceList ^ usbDevices; CyBulkEndPoint ^ inEndpoint; CyBulkEndPoint ^ outEndpoint; Thread ^ tXfers; bool int
bRunning; value;
long
outCount, inCount;
array ^ outData; array ^ inData; Variabel loopDevice harus diset pada saat USB dihubungkan ke PC. Untuk itu dibuat fungsi setDevice yang dipanggil setiap ada event DeviceAttached dan DeviceRemoved dari divais CyUSB, seperti pada Listing 4.4.
125
Listing 4.4. public: void setDevice() { loopDevice = (CyUSBDevice^)usbDevices[0x1967, 0x0911]; StartBtn->Enabled = (loopDevice != nullptr); if (loopDevice != nullptr){ Text = loopDevice->FriendlyName; SetEndPoint(); } else Text = "Through Wall Radar - no hardware"; } Transfer data sesungguhnya dilakukan oleh sebuah thread yang didefinisikan pada Listing 4.5. Listing 4.5. public: void TransfersThread() { int xferLen = XFERSIZE; bool bResult = true; // Loop stops if IN transfer fails SetOutputData(); xferLen = XFERSIZE; for (; bRunning && bResult && inCount<1024*1024; ) { bResult = inEndpoint->XferData(inData, xferLen); inData->CopyTo(radarData,inCount); inCount += xferLen; } bRunning = false; }
126
4.5. Pengujian Modul yang dikembangkan diuji untuk mengakuisisi sinyal-sinyal dengan berbagai frekuensi dan amplitudo pada sampling rate sekitar 6 Msamples/s. Data digital di-plot menggunakan sebuah fungsi plot sederhana yang ditambahkan pada program yang digunakan untuk mengakses USB.
Gambar 4.6. Plot sinyal 100kHz 2Vpp. Gambar 4.6 dan 4.7 menunjukkan plot sinyal-sinyal sinusoidal dengan frekuensi 100kHz dan amplitudo masing-masing 2Vpp dan 1Vpp, yang telah didigitalkan menggunakan modul yang dikembangkan. Bentuk sinyal yang masih sempurna membuktikan bahwa modul akuisisi data bekerja dengan baik.
Gambar 4.7. Plot sinyal 100kHz 1Vpp.
127
Gambar 4.8. Plot sinyal 100kHz 2.2Vpp. Gambar 4.8 menunjukkan plot dari sebuah sinyal sinusoidal dengan frekuensi 100kHz dan amplitudo 2.2Vpp. Kliping pada level di atas 1V dan di bawah -1V menunjukkan bahwa ADC bekerja pada rentang tegangan input antara -1Vdan +1V. Tegangan di bawah dan di atas rentang tersebut masing-masing akan akan menghasilkan output data digital minimum dan maksimum serta mengaktifkan sinyal output overrange dari AD9235.
Gambar 4.9. Plot sinyal 38kHz 2Vpp. Gambar 4.9 menunjukan plot dari sebuah sinyal sinusoidal dengan frekuensi 38kHz dan amplitudo 2Vpp yang telah didigitalkan. Sinyal telah mengalami perubahan bentuk dan penurunan amplitudo. Perubahan bentuk dan penurunan 128
amplitudo lebih parah terjadi pada frekuensi di bawahnya, sebagaimana ditunjukkan oleh plot sebuah sinyal, dengan frekuensi 19kHz dan dengan amplitudo yang sama, pada Gambar 4.10.
Gambar 4.10. Plot sinyal 19kHz 2Vpp.
V. KESIMPULAN Sebuah pembangkit chirp widaband telah dirancang dan direalisasikan. Pembangkit ini menggunakan sebuah DDS dan sebuah VCO sebagai komponen utama. Untuk DDS digunakan AD9956 dari Analog Devices dalam bentuk evaluation board dan untuk VCO digunakan HMC-C029 dari Hittite. Subsistem yang dikembangkan telah menghasilkan sinyal chirp dari 6750 sampai 9250MHz. Namun derau fasa dari sinyal belum bisa diterima karena akan mengakibatkan penurunan resolusi dan masalah pada pengolahan Doppler. Maka dari itu masih diperlukan perbaikan pada rangkaian filter loop. Sebuah modul akuisisi data sederhana untuk sistem radar FM-CW telah dikembangkan. Modul menggunakan IC CY7C68013A dari keluarga EZ-USB dari Cypress Semiconductor yang difungsikan sebagai slave FIFO. Untuk master FIFO digunakan IC CPLD Max II EPM1270T144 dari Altera. Sedangkan untuk ADC digunakan AD9235 dari Analog Device. Modul bekerja dengan baik terutama pada frekuensi di atas 50kHz. Rangkaian input pada evaluation board AD9235 merusak bentuk sinyal dengan frekuensi di bawah 50kHz, sehingga evaluation board tidak cocok untuk digunakan dalam
129
aplikasi radar FM-CW. Untuk itu perlu dibuat rangkaian input yang lebih cocok untuk frekuensi rendah. REFERENSI 1. Aqsa, Patel, Signal Generation for FMCW Ultra-Wideband Radar, Master of Science Thesis, Electrical Engineering and Computer Science, University of Kansas, 2009 2. Jang, B.-J. et al., Wireless Bio-Radar Sensor For Heartbeat And Respiration Detection, Progress In Electromagnetics Research C, Vol. 5, 149–168, 2008 3. D'Urso , M. et al., A Simple Strategy For Life Signs Detection Via An X-Band Experimental Set-Up, Progress In Electromagnetics Research C, Vol. 9, 119-129, 2009 4. Boric-Lubecke, Olga et al., Doppler Radar Architectures and Signal Processing for Heart Rate Extraction, Microwave Review, Decembar 2009 5. Yamaguchi, Yoshio et al., Human Body Detection in Wet Snowpack by an FMCW Radar, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol.30, No.1, January 1992 6. Purdy, Robert J. et al., Radar Signal Processing, Lincoln Laboratory Journal, Volume 12, Number 2, 2000 7. Yamaguchi, Yoshio et al., Detection of Objects Buried in Wet Snowpack by an FM-CW Radar, IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol.29, No.2, March 1991 8. Millot, P. and Maaref, N., UWB FM-CW Radar for Through-The-Wall Sensing, 9. Ferrier, Jean Marie, Comparison of Two UWB Techniques: Step Frequency and FMCW Technique, 10. Maaref, Nadia, FMCW Ultra-Wideband Radar For Through-The-Wall Detection of Human Beings, 11. Harris, T. L. et al.,
Range-Doppler Radar Signal Processing with Spectral
Holography, 12. Hamran, Svein-Erik et al., Gated UWB FMCW/SF Radar for Ground Penetration and Through the Wall Applications 13. Ivashov, S.I. et al., Detection of Human Breathing and Heartbeat by Remote Radar,
Progress in Electromagnetic Research Symposium 2004, Pisa, Italy,
March 28 - 31 130
14. I.J. et al., Immoreev, Ultra-Wideband Radar For Remote Detection And Measurement Of Parameters Of The Moving Objects On Small Range, Ultra Wideband and Ultra Short Impulse Signals, 19-22 September, 2004, Sevastopol, Ukraine pp. 1-3 15. Immoreev,
Igor
Y.,
Practical
Application
Of
Ultra-Wideband
Radars,
Ultrawideband and Ultrashort Impulse Signals, 18-22 September, 2006, Sevastopol, Ukraine 16. Purwoko Adhi, Pembangkitan Chirp untuk Radar FM CW Menggunakan DDS, Prosiding Seminar Radar Nasional 2009. 17. 2.7 GHz DDS-Based AgileRFTM Synthesizer (AD9956 Datasheet), Analog Devices, Norwood, USA, 2004. 18. Evaluation Board for 2.7 GHz DDS-Based AgileRF™ Synthesizer, Analog Devices, Norwood, USA, 2005. 19. A Technical Tutorial on Digital Signal Synthesis, Analog Devices, Norwood, USA, 1999 20. Mahafza, Bassem R., Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB, 2nd Edition, Chapman and Hall/CRC, Boca Raton, 2005. 21. Miller, Gary M. and Beasley, Jeffrey S., Modern Electronic Communication, 7th Edition, Prentice Hall, 2002. 22. Mahafza, Bassem R., Radar Systems Analysis and Design Using MATLAB, 2nd Edition, Chapman and Hall/CRC, Boca Raton, 2005. 23. Miller, Gary M. and Beasley, Jeffrey S., Modern Electronic Communication, 7th Edition, Prentice Hall, 2002. 24. 12-Bit, 20/40/65 MSPS 3V A/D Converter, AD9235 Datasheet, Analog Devices, Norwood, MA, USA, 2004 25. EZ-USB Technical Reference Manual, Cypress Semiconductor, San Jose, CA, USA, 2005. 26. EZ-USB FX2LP™ USB Microcontroller, Cypress Semiconductor, San Jose, CA, USA, 2005. 27. EZ-USB
Getting
Started
Development
Kit Manual, Rev
1.0, Cypress
Semiconductor, San Jose, CA, USA, 2005. 28. CyUsb.sys Programmer's Reference, Cypress Semiconductor, San Jose, CA, USA, 2003.
131
29. CyAPI Programmer's Reference, Cypress Semiconductor, San Jose, CA, USA, 2003. 30. USB Console Users' Guide, Cypress Semiconductor, San Jose, CA, USA, 2003. 31. MAX II Device Handbook, Altera Corporation, San Jose, CA, USA, 2009.
132
133