LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA
ANALISIS TANYA-JAWAB BERBAHASA JEPANG DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA ANTARA WISATAWAN JEPANG DAN PEMANDU WISATA INDONESIA DI KAWASAN WISATA CANDI BOROBUDUR
Oleh: 1. Akhmad Saifudin,S.S.,M.Si. (Ketua) 2. Bayu Aryanto,S.S.(Anggota) 3. Iwan Setiya Budi,S.S.(Anggota)
DIBIAYAI DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI SESUAI SURAT PERJANJIAN PELAKSANAAN HIBAH PENELITIAN NO. 005/SP2H/PP/DP2M/III/2007 TANGGAL 29 MARET 2007
PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO SEMARANG NOVEMBER, 2007
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN HASIL PENELITIAN DOSEN MUDA
1.
Judul Penelitian
2. 3.
Bidang Penelitian Ketua Peneliti a. Nama Lengkap b. Jenis Kelamin c. NIP. d. Pangkat/Golongan e. Jabatan f. Fakultas/Jurusan Jumlah Tim Peneliti Lokasi Penelitian Waktu Penelitian Biaya
4. 5. 6. 7.
: Analisis Tanya-Jawab Berbahasa Jepang dalam Komunikasi Lintas Budaya Antara Wisatawan Jepang dan Pemandu Wisata Orang Indonesia di Kawasan Wisata Candi Borobudur : Sastra dan Filsafat (Linguistik) : Akhmad Saifudin,S.S.,M.Si. : Laki-laki : 2000.242 : Penata Muda III-a/Asisten Ahli : Dosen : FBS/Sastra Jepang : 3 orang : Candi Borobudur : 10 bulan : Rp.9.600.000,00 Semarang, 10 November 2007
Mengetahui, Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra
Mahmud,S.E.,M.M. NIP. 1995.078
Ketua Peneliti,
Akhmad Saifudin,S.S.,M.Si. NIP.2000.242 Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Dian Nuswantoro
Zaenal Arifin,S.E.,M.Kom. NIP.1993.041
PRAKATA
Kajian kebahasaan tidak hanya berkutat pada masalah-masalah internal bahasa, seperti tata bahasa dan tata bunyi. Melalui penggunaan bahasa kita dapat mengkaji banyak hal di luar bahasa, seperti masalah budaya, sosial dan prilaku individu dalam interaksi. Penelitian ini juga membahas penggunaan bahasa yang dikaji tidak berdasarkan segi internal bahasa. Penelitian ini membahas penggunaan bahasa berdasarkan fungsi pragmatis, yaitu membahas maksud tuturan pertanyaan berdasarkan konteksnya, serta membahas mekanisme percakapan berdasarkan prinsip kerja sama. Penelitian juga membahas kesantunan bahasa Jepang dan latar belakang social budaya Jepang dalam komunikasi lintas budaya. Alhamdulillah, akhirnya penelitian yang berjudul Analisis Tanya-Jawab Berbahasa Jepang dalam Komunikasi Lintas Budaya antara Wisatawan Jepang dan Pemandu Wisata Indonesia di Kawasan Wisata Candi Borobudur dapat diselesaikan. Selesainya penelitian ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak, seperti 1) Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Departemen Pendidikan Nasional yang telah mendanai penelitian ini. 2) Lembaga Universitas Dian Nuswantoro secara keseluruhan, termasuk di dalamnya Rektorat dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, yang telah mendukung dan membina dalam penelitian, 3) Ogata Ayumi, Tsuboi Yuuichii, Tokuzumi Natsuko, Naroni, dan salah seorang pemandu wisata, serta pihak PT. Taman Wisata Candi Borobudur yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian. 4) Dekan dan Sekretaris Dekan, serta rekan-rekan dosen dan staf administrasi Fakultas Bahasa dan Sastra Udinus, 5) mahasiswa Program Studi Sastra Jepang Udinus. Atas segala bantuan dan kerja sama, kami mengucapkan terima kasih. Penelitian ini sebenarnya belum benar-benar selesai, dalam arti bahwa masih sangat terbuka untuk saran dan kritik, serta penelitian lanjutan agar penelitian ini lebih sempurna. Akhir kata, mudah-mudahan hasil penelitian ini dapat bermanfaat. Amiin.
Tim Peneliti
SISTEMATIKA LAPORAN
Halaman HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... A.
i
LAPORAN HASIL PENELITIAN ............................................................ RINGKASAN DAN SUMMARY .............................................................
ii
PRAKATA ..................................................................................................
iv
DAFTAR ISI ..............................................................................................
v
DAFTAR TABEL ......................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ...........................
BAB IV
METODE PENELITIAN ........................................................
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. LAMPIRAN ................................................................................................ B.
DRAFT ARTIKEL ILMIAH ......................................................................
C.
SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN .....................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
Penelitian ini difokuskan pada pembahasan atau analisis tanya-jawab dalam komunikasi percakapan lintas budaya antara wisatawan orang Jepang dan pemandu wisata orang Indonesia yang terjadi di kawasan wisata Candi Borobudur. Tema penelitian ini sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan, padahal masalah ini sangat penting karena mengingat bahwa keberhasilan komunikasi percakapan lintas budaya ini secara langsung akan dapat meningkatkan citra pelayanan wisata Indonesia, khususnya pelayanan terhadap wisatawan Jepang. Kegiatan percakapan menduduki porsi yang sangat besar dan penting dalam komunikasi antarpersona. Manusia, sebagai makhluk sosial melakukan kegiatan bercakap-cakap dalam rangka membentuk interaksi dengan manusia lain dan memelihara hubungan sosial yang harmonis. Tujuan percakapan, yang merupakan produk bahasa, bukan semata-mata untuk saling bertukar informasi melainkan juga untuk menciptakan dan memelihara realitas sosial. Dalam kaitannya dengan hal ini, Brown dan Yule (1983) menyatakan bahwa kegiatan percakapan merupakan salah satu wujud interaksi. Sementara Servic (1975) menyatakan bahwa kegiatan percakapan sebagai salah satu wujud interaksi sosial dapat dikembangkan melalui tiga cara, yakni memberi pertanyaan, perintah, dan pernyataan. Ketiga cara tersebut dapat digunakan secara bersama-sama dalam satu peristiwa percakapan maupun dapat digunakan sendirisendiri. Penerapannya misalnya dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan, pertanyaanjawaban, pernyataan-persetujuan atau penolakan, dan perintah-persetujuan atau penolakan (Bustanul Arifin dan Abdul Rani, 2000). Pemakaian bentuk bahasa pertanyaan merupakan salah satu bagian fundamental dalam pemakaian bahasa, terutama pada pemakaian bahasa interaksional, atau pemakaian bahasa yang melibatkan adanya arus timbal balik. Dalam kegiatan seharihari pertanyaan dapat digunakan untuk memperoleh informasi, memberi perintah, membuka percakapan, mengembangkan percakapan, mengontrol percakapan, dan lainlain. Seperti juga apa yang dikemukakan oleh Allen (1987) bahwa percakapan dapat berfungsi untuk (1) meminta informasi, izin, dan konfirmasi, (2) mengubah topik
pembicaraan, (3) meminta penjelasan, pengulangan, pembuktian kebenaran, atau juga meminta informasi yang lebih terinci, dan (4) mengembangkan percakapan. Pertanyaan, sebagai satuan kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat tertentu, dapat dikaji berdasarkan kaidah linguistik dan kaidah pragmatik. Kaidah linguistik yang dimaksud di sini adalah kaidah-kaidah yang berlaku menurut sistem internal bahasa tertentu, misalnya menyangkut tata bahasa dan tata bunyi. Sementara kaidah pragmatik menyangkut sisi eksternal bahasa yang mengemban suatu fungsi tertentu seperti fungsi pesan (meminta informasi, saran, konfirmasi, dan lain-lain), mengemban tatahubungan, interaksi, dan konteks penggunaan bahasa (Searle, 1969). Dalam penelitian ini, akan dibahas pertanyaan dan sekaligus jawaban dalam peristiwa komunikasi berbahasa Jepang yang terjadi di kawasan wisata Candi Borobudur. Oleh karena setting peristiwa terjadi di Indonesia, dalam hal ini di kawasan Candi Borobudur, dan melibatkan dua pihak berlatarbelakang budaya yang berbeda, maka komunikasi yang terjadi adalah komunikasi lintas budaya, yaitu budaya Jepang dan Indonesia. Bahasa yang dikaji adalah bahasa Jepang yang digunakan dalam percakapan antara wisatawan Jepang dan orang Indonesia. Sepengetahuan peneliti, kajian mengenai bahasa Jepang di Indonesia sangat jarang dilakukan, sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat terutama dalam bidang penelitian kajian bahasa Jepang. Penelitian ini lebih difokuskan pada segi pragmatik pada penggunaan pertanyaan dan jawaban yang dilakukakan oleh subjek penelitian, yaitu wisatawan Jepang dan pemandu wisata asal Indonesia. Segi pragmatik di sini menyangkut tindak tutur pertanyaan yang digunakan, aspek kesantunan bahasa Jepang, dan implikatur pragmatis yang digunakan dalam percakapan. Dengan demikian penelitian ini akan mengkaji faktor-faktor di luar kebahasan yang melatarbelakangi terjadinya tindak komunikasi pertanyaan dan jawabannya. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor sosial budaya dari penggunaan bahasa Jepang sebagai bahasa kajian. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini merupakan bagian dari ilmu pragmatik, yaitu mengenai tindak tutur pertanyaan-jawaban dan implikatur percakapan. Tindak tutur yang dimaksud adalah seperti yang diutarakan oleh Searle (1969; hal senada juga dikemukakan oleh perintis teori tindak tutur Austin, 1962) bahwa “...speaking a language is performing speech acts, acts such as making statements, giving commands,
asking questions, making promises, and so on.” Sementara implikatur percakapan yang dimaksud adalah meliputi implikatur percakapan yang bersumber dari prinsip kerja sama (Grice, 1975) dan prinsip kesantunan (Leech, 1983). Dalam penelitian ini terdapat empat fokus pertanyaan penelitian yang akan dikaji yang dirumuskan sebagai berikut. 1. Fungsi pragmatik apakah yang terdapat dalam pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh wisatawan Jepang kepada pemandu wisata orang Indonesia? Masalah ini akan dikaji dengan menggunakan teori tindak tutur Searle yang merupakan pengembangan yang lebih sistematis dari teori tindak tutur Austin. 2. Apakah dalam situasi percakapan pertanyaan-jawaban yang terjadi mematuhi atau terjadi penyimpangan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan? Masalah ini akan dikaji berdasarkan prinsip kerjasama Grice (1975). 3. Bagaimanakah penggunaan tindak tutur kesantunan bahasa dalam percakapan? Masalah ini akan dikaji berdasarkan teori kesantunan Ide Sachiko (1982,1986). 4. Faktor-faktor sosial budaya Jepang yang bagamana yang melatarbelakangi tindak tutur pertanyaan? Untuk mengkaji masalah ini digunakan teori-teori sosial budaya seperti yang dikemukakan oleh Nakane Chie (1970), Lebra (1976).
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam bab ini akan dikemukakan dua hal, yakni kajian pustaka mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan kajian teoretis yang digunakan sebagai alat analisis.
Kajian Pustaka Ilmu Pragmatik yang merupakan payung teoretis penelitian ini mulai berkembang sejak awal tahun 1960-an. Pelopornya adalah J.L. Austin yang mengembangkan teori tindak tutur yang menjadi salah satu pusat kajian Pragmatik. Dalam teori ini dikemukakan gagasan mengenai tuturan performatif dan konstatif. Teori tindak tutur kemudian dikembangkan oleh murid Austin, yang bernama John Searle. Searle membuat kategorisasi tindak tutur yang dibagi menjadi lima kategori, yaitu tindak representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Adapun pemakaian bentuk bahasa pertanyaan pernah diteliti oleh Goody (1978) yang meneliti fungsi pertanyaan dalam wawancara pada budaya Afrika Barat. Hasilnya menyatakan bahwa pertanyaan tidak hanya berfungsi untuk meminta informasi, melainkan juga dapat digunakan untuk memerintah, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status. Mengenai analisis pertanyaanjawaban pernah dilakukan oleh Bustanul Arifin (2000) yang meneliti implikatur percakapan pertanyaan-jawaban yang terjadi di pengadilan. Hasilnya menyatakan bahwa dalam percakapan tanya-jawab di pengadilan terjadi tindak direktif, ekspresif, dan representatif serta menyimpulkan bahwa secara umum prinsip kerja sama dipatuhi meskipun beberapa tindak percakapan melanggar prinsip kerja sama. 3. 2 Kajian Teoretis 3.2.1 Teori Tindak Tutur Teori ini secara garis besar menyatakan bahwa fungsi sebuah tuturan tidak hanya menyampaikan informasi, sebenarnya terdapat tindak “melaksanakan sesuatu” dalam sebuah tuturan. Misalnya dalam sebuah tuturan “Berkat bantuan Bapak, saya
dapat melanjutkan kuliah.” Tuturan ini sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menyampaikan informasi, karena besar kemungkinan petutur sudah tahu informasi tersebut. Tuturan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan suatu tindakan, yakni tindak berterima kasih. Studi tentang tindak tutur kemudian dilanjutkan oleh murid Austin, yaitu Searle (1969) melalui bukunya yang berjudul Speech Act: An Essay in the Philosophy of Language. Austin dan Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis tindak tutur terbagi atas tiga macam yang terjadi secara serentak (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi. Sehubungan dengan tindak lokusi, Lyons (1977) menjelaskan bahwa tindak lokusi adalah suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan referensi tertentu. Dengan demikian, sesuatu yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi ujaran yang diungkapkan oleh penutur. Tindak ini merupakan dasar bagi diberlakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap tindak ilokusi (Austin 1962). Dalam kaitannya dengan tindak ilokusi, Austin (1962) mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu (of saying) berbeda dengan tindak dalam mengatakan sesuatu (in saying). Tindak mengatakan sesuatu hanyalah bersifat menuturkan sesuatu, tindak dalam mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab penutur untuk melaksanakan sesuatu sehubungan dengan isi ujarannya. Austin menyatakan bahwa tindak dalam melakukan sesuatu inilah yang disebutnya tindak ilokusi dan tindak mengatakan sesuatu disebutnya lokusi. Dalam tindak ilokusi terdapat daya yang mewajibkan penutur untuk melaksanakan tindak tertentu. Apabila tindak lokusi lebih ditekankan pada tuturan yang diungkapkan, dan ilokusi pada diri penutur, maka tindak perlokusi lebih ditekankan pada diri petutur. Austin (1962,130) mengatakan bahwa mengungkapkan suatu tuturan sering menimbulkan pengaruh bagi petutur. Implikasi tindak lokusi terhadap petutur inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang menghasilkan pengaruh tertentu bagi petutur, misalnya menjadikannya marah, senang, simpati, dan sebagainya. Klasifikasi yang dibuat oleh Searle (1975) terutama dalam hal tindak ilokusi adalah sebagai berikut. 1. Tindak tutur representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang menyatakan suatu keadaan yang memungkinkan adanya penilaian benar atau salah. Contoh dari tindak tutur ini adalah kata kerja menyatakan, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan.
2. Tindak tutur direktif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan agar petutur melakukan suatu tindak yang disebutkan dalam tuturan, misalnya menyuruh, memohon, menyarankan. 3. Tindak tutur komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melakukan apa yang disebutkan dalam tuturannya, misalnya berjanji dan bersumpah. 4. Tindak tutur ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyatakan sikap atau penilaian atas suatu keadaan tertentu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, meminta maaf. 5. Tindak tutur deklaratif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan atau menciptakan suatu keadaan baru, misalnya memutuskan, menyatakan, membatalkan, mengizinkan.
3.2.2 Prinsip Kerja Sama Prinsip kerja sama dikemukakan oleh Grice (1975) digunakan untuk mengatur percakapan agar tercapai suatu kerja sama antara penutur dan petutur. Grice menyatakan bahwa “berikan bantuanmu seperti yang dibutuhkan pada tingkat di mana hal itu terjadi, sesuai dengan tujuam atau arah pertukaran pembicaraan yang mana Anda terlibat di dalamnya”. Untuk mendukung pernyataan tersebut, Grice melengkapi dengan empat maksim yang perlu diperhatikan dalam suatu tindak percakapan, yaitu sebagai berikut. 1. Maksim Kuantitas, berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu a. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan. b. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan. 2. Maksim Kualitas, usahakan agar sumbangan informasi Anda benar, yaitu a. Jangan mengatakan suatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar. b. Jangan mengatakan suatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. 3. Maksim Hubungan, usahakan agar perkataan Anda ada relasinya. 4. Maksim Cara, usahakan agar mudah dimengerti, yaitu a. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar. b. Hindarilah ketaksaan. c. Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang panjang lebar dan bertele-tele).
d. Usahakan agar Anda berbicara dengan teratur.
3.2.3 Kesantunan Menurut Fraser (1978), kesopanan adalah “a property associated with an utterance in which, in the hearer’s opinion, the speaker has neither exceeded any rights nor failed to fulfill any obligation.” (sebuah properti yang berkaitan dengan tuturan yang menurut pendapat petutur, penutur tidak melampaui hak-haknya maupun gagal dalam memenuhi kewajibannya).
Kesopanan tidak hanya berkaitan dengan aturan-aturan, melainkan juga strategi. Dasar yang terutama dalam kesopanan menurutnya adalah conversation contract, yaitu adanya batasan-batasan tertentu dari suatu topik yang dapat dibicarakan antara penutur dan petutur. Fraser membedakan antara istilah kesopanan (politeness) dan penghormatan (deference). Menurutnya, penghormatan adalah “component of activity which functions as a symbolic means by which appreciation is regularly conveyed.” (komponen tindakan yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyampaikan penghargaan secara tetap).
Fraser membagi kesopanan dalam tiga aspek, yaitu 1) kesopanan sebagai properti yang terkait dengan tindakan sukarela, verbal maupun nonverbal, atau dengan kata lain orang dikatakan sopan jika tindakannya sopan; 2) fakta yang menyatakan bahwa tidak ada kalimat sopan atau tidak sopan, dalam hal ini bergantung pada konteks pembicaraan yang dilakukan; dan 3) fakta bahwa apakah tuturan terdengar sopan atau tidak bergantung pada pendapat petutur. Sementara Thomas (1995), menyatakan bahwa “Kesopanan merupakan penunjukan tenggang rasa terhadap hal lainnya, dan dapat dimanifestasikan melalui sikap sosial di dalam komunikasi. Kadangkadang kita tidak mengetahui motivasi apa yang melatari orang atau alter menggunakan kesopanan. Kita hanya dapat melihat penutur menuturkan sesuatu dan petutur melakukan reaksi atas tuturan tersebut.”
Seperti halnya Fraser, Thomas juga membedakan antara kesopanan dan penghormatan. Jika kesopanan adalah masalah yang umum dari tenggang rasa, maka penghormatan adalah suatu hal yang dibuat menurut bentuk tata bahasa dari suatu bahasa tertentu. Contoh kesopanan misalnya, memberikan tempat duduk kepada orang yang tua di dalam kereta yang penuh, dan contoh penghormatan misalnya, tindakan berdiri ketika peserta sidang MPR ketika presiden memasuki ruang sidang. Lebih jauh, Lakoff (1995) menyatakan bahwa kesopanan dalam percakapan digunakan lebih untuk menghindari pertentangan. Ini penting dalam rangka memperkokoh dan memperkuat hubungan interaksional. Lakoff membuat dua kaidah kompetensi pragmatik, yaitu, be clear and be polite. Kesopanan, menurut Lakoff, menjadi faktor utama dalam penggunaan bahasa hormat. Menurut Peter Grundy (1995) kesopanan adalah salah satu contoh paradigma pemakaian pragmatik dan merupakan manivestasi konsep yang lebih luas dari etika atau perilaku yang tepat. Faktor penentu pilihan bahasa dalam kesopanan ditentukan oleh hubungan power-distance interactant dan tingkat ketergantungan atau kebutuhan akan sesuatu penutur kepada petuturnya. Dalam berbuat sopan, penutur mencoba menciptakan konteks atau membuat strategi agar dipandang tepat oleh petuturnya. Leech (1983), dalam bukunya The Principles of Pragmatics mengklarifikasikan kesopanan dalam dua kategori, yaitu kesopanan absolut dan relatif. Konsep absolut mengacu pada norma-norma umum yang berlaku pada setiap masyarakat bahasa yang ikut mempengaruhi kesopanan berbahasa. Konsep kesopanan absolut ini menjadi bidang kajian dari pragmatik umum. Sebaliknya kesopanan relatif bervariasi mengikuti standar yang hanya berlaku secara khusus di antara masyarakat bahasa tertentu. Leech mengemukakan prinsip-prinsip kesopanan yang dapat digunakan untuk menganalisis tuturan. Prinsip-prinsip ini digunakan untuk menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan, karena hanya dengan hubungan-hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa peserta yang lain akan bersedia bekerja sama. Secara umum prinsip kesopanan dapat dirumuskan sebagai berikut, ‘gunakanlah sesedikit mungkin tuturan- yang mengungkapkan tindakan yang tidak sopan dan gunakanlah sebanyak mungkin tuturan yang sopan’. Dalam hubungannya dengan tindak tutur terima kasih, Leech mengkategorikan sebagai tindak tutur convivial ‘menyenangkan’, yaitu tindak tutur kesopanan positif yang dapat dicapai dengan penambahan keterangan intensifier
dan piranti prosodic (berhubungan dengan tekanan, nada, atau intonasi). Dalam kaitannya dengan prinsip kesantunan, Leech memberikan enam maksim kesantunan sebagai berikut. 1. Maksim kearifan (tact maxim) a. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin. b. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. 2. Maksim kedermawanan (generocity maxim) a. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. b. Buatlah kerugian diri sebesar mungkin. 3. Maksim pujian (approbation maxim) a. Kecamlah orang lain sesedikit mungkin. b. Pujilah orang lain sebanyak mungkin. 4. Maksim kerendahan hati (modesty maxim) a. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin. b. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. 5. Maksim kesepakatan (agreement maxim) a. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin. b. Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain sebanyak mungkin. 6. Maksim simpati (sympathy maxim) a. Kurangilah rasa anti-pati antara diri dan orang lain hingga sekecil mungkin. b. Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain.
Kajian mengenai kesopanan yang banyak memperoleh perhatian adalah kajian yang dilakukan oleh Brown dan Levinson (1987), dalam buku mereka yang berjudul Politeness: Some Universals in Language Usage. Dengan data yang dikumpulkan dari penutur Tamil di India Selatan, penutur Tzeltal di Meksiko, serta penutur Inggris, mereka mengemukakan sebuah deskripsi sistematis fenomena kesopanan berbahasa yang dapat digunakan untuk mendukung model penjelasan dan analisis kesopanan bahasa. Mereka membahas nosi ‘muka’ yang merupakan investasi emosi, yang dalam sebuah interaksi dapat dilindungi dan dapat juga dipermalukan. Jadi dalam berinteraksi, peserta tutur wajib saling menjaga ‘muka’nya agar jangan sampai dipermalukan. Setiap
peserta tutur harus mempertahankan status mukanya masing-masing untuk dihargai. Brown dan Levinson membagi nosi ini menjadi dua, yakni negative face dan positive face. Nosi yang pertama merupakan tuntutan dasar pada wilayah, pemeliharaan atau kepuasan pribadi, pemenuhan hak-hak tanpa adanya batasan atau gangguan, dapat juga mempunyai makna bahwa setiap orang berkeinginan agar tindakannya tidak dihambat oleh orang lain, atau dengan kata lain ia ingin bebas melakukan apa yang ia mau (lihat juga Yule 1996,61). Yang kedua adalah penggambaran diri atau kepribadian yang positif akan perlunya penghargaan atau pengakuan yang terpelihara secara konsisten, atau dengan kata lain bermakna bahwa setiap orang ingin dihargai atau diakui oleh orang lain. Nosi yang pertama berkaitan dengan kesopanan negatif, yaitu kesopanan yang diorientasikan kepada negative face petutur, dan yang kedua dengan kesopanan positif, yakni yang ditujukan terhadap positive face petutur. Dalam kaitannya dengan nosi ‘muka’, Brown dan Levinson mengemukakan FTA (tindakan yang mengancam muka), yakni tindakan-tindakan yang dapat mengancam negative maupun positive face peserta tutur. Dengan demikian, menurut Brown dan Levinson yang dinamakan sopan adalah menjaga ‘muka’, dan sesuatu yang dapat mengancam ‘muka’ adalah tidak sopan. Konsep kesopanan Brown dan Levinson sebenarnya merupakan konsep yang diturunkan dari teori Goffman. Menurut Goffman (Wardaugh 1986) para peserta tutur menerima “muka” yang ditawarkan oleh mitra tuturnya. Adapun yang dimaksud “muka”dalam hal ini adalah citra diri yang harus diperhatikan oleh mitra tutur. “Muka” yang ditawarkan berbeda-beda bergantung pada situasi tuturan. Pada suatu saat sebagai “muka” seorang teman dekat, seorang atasan, dan citra-citra yang lain. Dengan demikian, setiap peserta tutur harus mampu memahami “muka-muka” yang ditawarkan, dan menentukan bobot FTA yang ada dalam setiap “muka”. Ide Sachiko (1982,1986), yang meneliti kesopanan dan jender, mengemukakan bahwa pilihan penggunaan bahasa yang berkaitan dengan kesopanan melibatkan dua jenis aturan, yaitu aturan linguistik dan aturan sosial. Aturan linguistik berarti berhubungan dengan bentuk tata bahasa, dan dalam bahasa Jepang terdapat sistem yang mengatur penggunaan tingkat kesopanan berbahasa, yakni sistem kei-go ‘bahasa hormat’. Aturan sosial berarti perilaku yang patut yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa ternyata faktor jender tidak terlalu berpengaruh secara signifikan dalam penentuan pilihan bahasa.
Faktor yang terutama adalah tergantung pada situasi yang lebih banyak ditentukan oleh faktor distance ‘jarak’yang dirasakan oleh peserta tutur. Hasil penelitian ini sangat relevan dengan karakteristik studi pragmatik yang sangat menekankan pada konteks. Kesopanan merupakan salah satu faktor terpenting dalam interaksi sosial. Selain mempunyai sifat-sifat yang universal, kesopanan juga memiliki karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh penutur suatu bahasa tertentu. Berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji dalam penelitian ini, penulis mendefinisikan kesopanan, khususnya dalam bidang bahasa sebagai aturan yang menuntut individu untuk berperilaku yang patut sesuai dengan nilai dan norma sosial dan sesuai dengan aturan-aturan bahasa masyarakat pemakainya. Konsep kesantunan yang disebutkan oleh Ide, dijadikan alat analisis untuk membahas kesantunan dalam penelitian ini. Pilihan akan hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa subjek dan objek penelitian berhubungan orang dan budaya Jepang. Sehingga konsep kesantunan Ide yang membahas konsep kesantunan bahasa dan budaya Jepang lebih tepat dan mengena dalam mengkaji kesantunan berbahasa Jepang.
3.2.5 Konsep Sosial Budaya Jepang
Menurut Nakane Chie, di dalam masyarakat Jepang terdapat kelompokkelompok sosial yang dibentuk berdasarkan kerangka (frame atau ba), yang mencakup para anggota dengan atribut (shikaku) yang berbeda-beda. Perbedaan pada kerangka ditekankan pada lokasi persamaan aktifitas ekonomi, sementara perbedaan atribut Jepang dipengaruhi oleh jenis kelamin, garis keturunan dan usia. Pemunculan kerangka dan atribut ini dapat berbeda-beda bergantung pada situasi, satu sama lain dapat muncul sama kuat atau dalam situasi tertentu salah satu yang lebih kuat muncul. Sebagai contoh, ketika individu Jepang melakukan interaksi sosial dengan individu di luar kelompoknya maka yang muncul lebih kuat adalah kerangkanya. Individu akan mengidentitaskan diri berdasarkan kerangkanya, yaitu sebagai anggota kelompok tertentu atau pegawai dari suatu perusahaan tertentu. Sebaliknya, jika interaksi terjadi di dalam ruang lingkup uchi-mono, atributlah yang cenderung muncul lebih kuat. Misalnya, di dalam suatu perusahaan ketika terjadi interaksi, pegawai yang memiliki pangkat yang lebih tinggi akan diperlakukan sebagai superior terhadap bawahannya. Suatu kelompok
yang terbentuk berdasarkan persamaan atribut memiliki perasaan eksklusifitas yang sangat kuat. Perasaan eksklusif ini timbul berdasarkan homogenitas yang dimiliki anggotanya. Pengelompokan ini terutama berakar pada struktur sosial untuk memenuhi kebutuhan emosi perorangan yang mencari rasa aman di dalam kelompok, dan memperoleh kompensasi bagi kekurangan otonomi perorangannya. Kelompokkelompok sosial yang ada menumbuhkan kesadaran akan adanya kelompok ‘kita’ dan kelompok ‘mereka’. Di dalam kelompok sosial itu sendiri, diatur berdasarkan jougekankei, yakni sistem hubungan vertikal (senpai-koohai) dan horisontal (douryou). Dalam sistem vertikal hubungan antaranggota diatur berdasarkan perbedaan kualitas, dan sistem horisontal berdasarkan kualitas yang sama. Penerapan hubungan vertikal misalnya dalam hubungan antara bawahan dan atasan terjadi hubungan vertikal, dan antara rekan sejawat terjadi hubungan horisontal. Meskipun demikian, pada dasarnya hubungan yang terjadi adalah atas dasar hubungan vertikal, karena meskipun misalnya seseorang mempunyai jenjang yang sama dalam suatu perusahaan masih saja dibedakan berdasarkan umur, senioritas, dan sebagainya. Dari apa yang dikemukakan Nakane, ada dua hal yang penting yang menjadi dasar hubungan antarindividu dalam masyarakat Jepang, yaitu pentingnya hubungan yang berlandaskan pembedaan uchi-mono dan sotomono (Tokunaga 1992; Matsumoto 1996; Lebra 1976) serta pembedaan hubungan vertikal. Pada kenyataannya kedua hal tersebut memang sangat berpengaruh dalam sistem sosial dan kebudayaan Jepang, termasuk dalam hal penggunaan bahasa untuk komunikasi. Nakane juga membagi pola komunikasi interpersonal orang Jepang menjadi tiga, yaitu (1) uchi-mono, yaitu percakapan yang terjadi di dalam lingkungan in-group; (2) soto-mono, percakapan di luar kelompoknya (out-group); (3) shitashii-mono, percakapan antara peserta tutur yang sudah saling mengenal dengan baik latar belakangnya masing-masing. Dalam hubungannya dengan konsep situasi yang terjadi dalam interaksi orang Jepang, Lebra menyatakan bahwa ada tiga ranah situasi yang terjadi dalam interaksi, yakni intimate situation (situasi intim/akrab), ritual situation, dan anomic situation (situasi asing/tidak saling kenal). Ketiga situasi ini sangat tergantung pada konteks yang mempengaruhi perilaku individu. Faktor utama yang membedakan situasi satu dengan yang lain adalah adanya dikotomi uchi dan soto. Uchi berarti “di dalam, internal, privat”,
soto berarti “di luar, eksternal, publik”. Dikotomi ini sangat mewarnai perilaku sosial orang Jepang. Tidak dapat disangkal, bahwa orang Jepang sangat membedakan perilaku interaksi mereka terhadap orang yang termasuk dalam kategori uchi dan soto. Perbedaan ini menjadi ciri khas budaya orang Jepang secara umum. Yang termasuk uchi adalah anggota keluarga, kelompok, sekolah, perusahaan, maupun negaranya, dan yang termasuk dalam soto adalah orang-orang yang berada di luar kelompoknya atau orang asing. Lebra juga membagi perilaku interaksi sosial individu Jepang dalam tiga jenis, yakni perilaku intimate, ritual, anomic. Dalam praktiknya, meskipun tidak selalu, antara ranah situasi dan perilaku interaksi sering kali berkoresponden. Dalam situasi intimate, baik ego maupun alter memperlakukan sebagai insider dan merasa yakin bahwa perilaku ego terhadap alter terjaga dari publik. Perilaku ini pada umumnya terjadi karena seringnya ego dan alter berinteraksi. Alter biasanya adalah orang-orang yang berada di lingkungannya, baik teman main, teman sekolah, teman kerja, dan seterusnya, seperti yang disebut Nakane sebagai orang-orang yang berada dalam satu kerangka. Hubungan yang mendalam dalam intimate situation menimbulkan ego tidak lagi merasa perlu untuk selalu mengungkapkannya dengan kata-kata. Sering terjadi komunikasi tanpa kata-kata (ishin denshin ‘komunikasi dari hati ke hati’), dan terjadi penyatuan perasaan antara ego dan alter. Apa yang dirasakan oleh alter dirasakan juga oleh ego. Ada dua hal utama yang melandasi perilaku intimate, yakni situasi santai, saat bermain, piknik, dan situasi lain yang terbebas dari situasi kerja. Yang kedua adalah faktor kesamaan usia. Berlawanan dengan intimate, dalam situasi ritual ego memperlakukan alter sebagai outsider dan ada kesadaran bahwa perilakunya dinilai dan diperhatikan oleh alter atau orang ketiga sebagai audience. Keterjagaan dari audience yang menjadi ciri situasi intimate sangat sedikit dalam situasi ritual. Perilaku ritual biasanya terjadi dalam situasi ceremonial, situasi pada waktu rapat, atau dalam pekerjaan. Situasi ritual juga dapat terjadi dalam situasi yang seharusnya intimate. Biasanya situasi ini terjadi karena kehadiran orang ketiga. Contohnya adalah ketika suami istri yang seharusnya berperilaku intimate, mengubah menjadi perilaku ritual dikarenakan kehadiran anak, dengan tujuan agar anak belajar mengenai sopan santun. Dalam situasi ritual ego sangat menjaga agar jangan sampai kehilangan ‘muka’nya. Menurut Matsumoto (1996) ‘muka’ bagi orang Jepang adalah simbol, yang mungkin oleh orang Barat disamakan dengan “citra” atau “reputasi”. Bagi orang Jepang, muka tidak hanya cermin dari perasaan hati
manusia, melainkan juga sebagai simbol kekuasaan dalam masyarakat dan kebudayaan. Karena itu, orang Jepang selalu menjaga agar tidak kehilangan ‘muka’ dan menghilangkan ‘muka’ orang lain agar terjaga keharmonisan. Kesalahan atau perbuatan yang mengancam ‘muka’ seseorang dapat berakibat serius. Yang ketiga, yaitu situasi anomic, juga kontras dengan situasi anomic karena ego memperlakukan alter sebagai outsider, juga kontras dengan situasi ritual karena dalam anomic, ego terbebas dari perhatian audience yang orang-orang yang memperhatikannya. Situasi anomic terjadi ketika ego memperlakukan alter sebagai orang asing atau musuh sehingga ia tidak terlalu perlu memperhatikan norma-norma ego. Biasanya situasi ini terjadi jika ego berada dalam lingkungan baru dan dia merasa orang-orang tidak mengenalnya sehingga ia merasa bebas berbuat sekehendak hatinya. Seperti juga diungkapkan oleh Matsumoto (1996) bahwa secara psikologis orang Jepang akan merasa lebih dapat mengekspresikan emosinya di luar lingkungan sosialnya. Anomic cenderung mengabaikan norma dan tidak dibatasi oleh faktor ‘muka’, baik muka ego maupun alter. Pada satu saat ego dapat berada pada situasi intimate, pada saat yang lain juga dapat berada pada situasi ritual maupun anomic, bahkan jika dengan alter yang sama. Contohnya, seorang teman dekat yang seharusnya berada pada situasi intimate, tiba-tiba berganti dalam situasi ritual karena berada dalam situasi formal dan diperhatikan oleh audience lain, atau berganti pada situasi anomic ketika terjadi perselisihan yang menimbulkan retak atau menjauhnya hubungan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam bab ini akan dikemukakan dua hal, yakni kajian pustaka mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan kajian teoretis yang digunakan sebagai alat analisis.
Kajian Pustaka Ilmu Pragmatik yang merupakan payung teoretis penelitian ini mulai berkembang sejak awal tahun 1960-an. Pelopornya adalah J.L. Austin yang mengembangkan teori tindak tutur yang menjadi salah satu pusat kajian Pragmatik. Dalam teori ini dikemukakan gagasan mengenai tuturan performatif dan konstatif. Teori tindak tutur kemudian dikembangkan oleh murid Austin, yang bernama John Searle. Searle membuat kategorisasi tindak tutur yang dibagi menjadi lima kategori, yaitu tindak representatif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Adapun pemakaian bentuk bahasa pertanyaan pernah diteliti oleh Goody (1978) yang meneliti fungsi pertanyaan dalam wawancara pada budaya Afrika Barat. Hasilnya menyatakan bahwa pertanyaan tidak hanya berfungsi untuk meminta informasi, melainkan juga dapat digunakan untuk memerintah, menandai hubungan antarpelaku percakapan, menyatakan dan mempertanyakan status. Mengenai analisis pertanyaanjawaban pernah dilakukan oleh Bustanul Arifin (2000) yang meneliti implikatur percakapan pertanyaan-jawaban yang terjadi di pengadilan. Hasilnya menyatakan bahwa dalam percakapan tanya-jawab di pengadilan terjadi tindak direktif, ekspresif, dan representatif serta menyimpulkan bahwa secara umum prinsip kerja sama dipatuhi meskipun beberapa tindak percakapan melanggar prinsip kerja sama. 3. 2 Kajian Teoretis 3.2.1 Teori Tindak Tutur Teori ini secara garis besar menyatakan bahwa fungsi sebuah tuturan tidak hanya menyampaikan informasi, sebenarnya terdapat tindak “melaksanakan sesuatu” dalam sebuah tuturan. Misalnya dalam sebuah tuturan “Berkat bantuan Bapak, saya
dapat melanjutkan kuliah.” Tuturan ini sebenarnya bukan dimaksudkan untuk menyampaikan informasi, karena besar kemungkinan petutur sudah tahu informasi tersebut. Tuturan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melakukan suatu tindakan, yakni tindak berterima kasih. Studi tentang tindak tutur kemudian dilanjutkan oleh murid Austin, yaitu Searle (1969) melalui bukunya yang berjudul Speech Act: An Essay in the Philosophy of Language. Austin dan Searle mengemukakan bahwa secara pragmatis tindak tutur terbagi atas tiga macam yang terjadi secara serentak (1) tindak lokusi, (2) tindak ilokusi, dan (3) tindak perlokusi. Sehubungan dengan tindak lokusi, Lyons (1977) menjelaskan bahwa tindak lokusi adalah suatu tindak berkata, yaitu menghasilkan ujaran dengan makna dan referensi tertentu. Dengan demikian, sesuatu yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi ujaran yang diungkapkan oleh penutur. Tindak ini merupakan dasar bagi diberlakukannya tindak tutur lain, lebih-lebih terhadap tindak ilokusi (Austin 1962). Dalam kaitannya dengan tindak ilokusi, Austin (1962) mengatakan bahwa tindak mengatakan sesuatu (of saying) berbeda dengan tindak dalam mengatakan sesuatu (in saying). Tindak mengatakan sesuatu hanyalah bersifat menuturkan sesuatu, tindak dalam mengatakan sesuatu mengandung tanggung jawab penutur untuk melaksanakan sesuatu sehubungan dengan isi ujarannya. Austin menyatakan bahwa tindak dalam melakukan sesuatu inilah yang disebutnya tindak ilokusi dan tindak mengatakan sesuatu disebutnya lokusi. Dalam tindak ilokusi terdapat daya yang mewajibkan penutur untuk melaksanakan tindak tertentu. Apabila tindak lokusi lebih ditekankan pada tuturan yang diungkapkan, dan ilokusi pada diri penutur, maka tindak perlokusi lebih ditekankan pada diri petutur. Austin (1962,130) mengatakan bahwa mengungkapkan suatu tuturan sering menimbulkan pengaruh bagi petutur. Implikasi tindak lokusi terhadap petutur inilah yang disebut tindak perlokusi, yaitu tindak tutur yang menghasilkan pengaruh tertentu bagi petutur, misalnya menjadikannya marah, senang, simpati, dan sebagainya. Klasifikasi yang dibuat oleh Searle (1975) terutama dalam hal tindak ilokusi adalah sebagai berikut. 6. Tindak tutur representatif (asertif), yaitu tindak tutur yang menyatakan suatu keadaan yang memungkinkan adanya penilaian benar atau salah. Contoh dari tindak tutur ini adalah kata kerja menyatakan, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan.
7. Tindak tutur direktif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan agar petutur melakukan suatu tindak yang disebutkan dalam tuturan, misalnya menyuruh, memohon, menyarankan. 8. Tindak tutur komisif, yaitu tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melakukan apa yang disebutkan dalam tuturannya, misalnya berjanji dan bersumpah. 9. Tindak tutur ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyatakan sikap atau penilaian atas suatu keadaan tertentu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, meminta maaf. 10. Tindak tutur deklaratif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan atau menciptakan suatu keadaan baru, misalnya memutuskan, menyatakan, membatalkan, mengizinkan.
3.2.2 Prinsip Kerja Sama Prinsip kerja sama dikemukakan oleh Grice (1975) digunakan untuk mengatur percakapan agar tercapai suatu kerja sama antara penutur dan petutur. Grice menyatakan bahwa “berikan bantuanmu seperti yang dibutuhkan pada tingkat di mana hal itu terjadi, sesuai dengan tujuam atau arah pertukaran pembicaraan yang mana Anda terlibat di dalamnya”. Untuk mendukung pernyataan tersebut, Grice melengkapi dengan empat maksim yang perlu diperhatikan dalam suatu tindak percakapan, yaitu sebagai berikut. 1. Maksim Kuantitas, berikan jumlah informasi yang tepat, yaitu c. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan. d. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan. 2. Maksim Kualitas, usahakan agar sumbangan informasi Anda benar, yaitu c. Jangan mengatakan suatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar. d. Jangan mengatakan suatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. 3. Maksim Hubungan, usahakan agar perkataan Anda ada relasinya. 4. Maksim Cara, usahakan agar mudah dimengerti, yaitu e. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar. f. Hindarilah ketaksaan. g. Usahakan agar ringkas (hindarilah pernyataan-pernyataan yang panjang lebar dan bertele-tele).
h. Usahakan agar Anda berbicara dengan teratur.
3.2.3 Kesantunan Menurut Fraser (1978), kesopanan adalah “a property associated with an utterance in which, in the hearer’s opinion, the speaker has neither exceeded any rights nor failed to fulfill any obligation.” (sebuah properti yang berkaitan dengan tuturan yang menurut pendapat petutur, penutur tidak melampaui hak-haknya maupun gagal dalam memenuhi kewajibannya).
Kesopanan tidak hanya berkaitan dengan aturan-aturan, melainkan juga strategi. Dasar yang terutama dalam kesopanan menurutnya adalah conversation contract, yaitu adanya batasan-batasan tertentu dari suatu topik yang dapat dibicarakan antara penutur dan petutur. Fraser membedakan antara istilah kesopanan (politeness) dan penghormatan (deference). Menurutnya, penghormatan adalah “component of activity which functions as a symbolic means by which appreciation is regularly conveyed.” (komponen tindakan yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyampaikan penghargaan secara tetap).
Fraser membagi kesopanan dalam tiga aspek, yaitu 1) kesopanan sebagai properti yang terkait dengan tindakan sukarela, verbal maupun nonverbal, atau dengan kata lain orang dikatakan sopan jika tindakannya sopan; 2) fakta yang menyatakan bahwa tidak ada kalimat sopan atau tidak sopan, dalam hal ini bergantung pada konteks pembicaraan yang dilakukan; dan 3) fakta bahwa apakah tuturan terdengar sopan atau tidak bergantung pada pendapat petutur. Sementara Thomas (1995), menyatakan bahwa “Kesopanan merupakan penunjukan tenggang rasa terhadap hal lainnya, dan dapat dimanifestasikan melalui sikap sosial di dalam komunikasi. Kadangkadang kita tidak mengetahui motivasi apa yang melatari orang atau alter menggunakan kesopanan. Kita hanya dapat melihat penutur menuturkan sesuatu dan petutur melakukan reaksi atas tuturan tersebut.”
Seperti halnya Fraser, Thomas juga membedakan antara kesopanan dan penghormatan. Jika kesopanan adalah masalah yang umum dari tenggang rasa, maka penghormatan adalah suatu hal yang dibuat menurut bentuk tata bahasa dari suatu bahasa tertentu. Contoh kesopanan misalnya, memberikan tempat duduk kepada orang yang tua di dalam kereta yang penuh, dan contoh penghormatan misalnya, tindakan berdiri ketika peserta sidang MPR ketika presiden memasuki ruang sidang. Lebih jauh, Lakoff (1995) menyatakan bahwa kesopanan dalam percakapan digunakan lebih untuk menghindari pertentangan. Ini penting dalam rangka memperkokoh dan memperkuat hubungan interaksional. Lakoff membuat dua kaidah kompetensi pragmatik, yaitu, be clear and be polite. Kesopanan, menurut Lakoff, menjadi faktor utama dalam penggunaan bahasa hormat. Menurut Peter Grundy (1995) kesopanan adalah salah satu contoh paradigma pemakaian pragmatik dan merupakan manivestasi konsep yang lebih luas dari etika atau perilaku yang tepat. Faktor penentu pilihan bahasa dalam kesopanan ditentukan oleh hubungan power-distance interactant dan tingkat ketergantungan atau kebutuhan akan sesuatu penutur kepada petuturnya. Dalam berbuat sopan, penutur mencoba menciptakan konteks atau membuat strategi agar dipandang tepat oleh petuturnya. Leech (1983), dalam bukunya The Principles of Pragmatics mengklarifikasikan kesopanan dalam dua kategori, yaitu kesopanan absolut dan relatif. Konsep absolut mengacu pada norma-norma umum yang berlaku pada setiap masyarakat bahasa yang ikut mempengaruhi kesopanan berbahasa. Konsep kesopanan absolut ini menjadi bidang kajian dari pragmatik umum. Sebaliknya kesopanan relatif bervariasi mengikuti standar yang hanya berlaku secara khusus di antara masyarakat bahasa tertentu. Leech mengemukakan prinsip-prinsip kesopanan yang dapat digunakan untuk menganalisis tuturan. Prinsip-prinsip ini digunakan untuk menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan, karena hanya dengan hubungan-hubungan yang demikian kita dapat mengharapkan bahwa peserta yang lain akan bersedia bekerja sama. Secara umum prinsip kesopanan dapat dirumuskan sebagai berikut, ‘gunakanlah sesedikit mungkin tuturan- yang mengungkapkan tindakan yang tidak sopan dan gunakanlah sebanyak mungkin tuturan yang sopan’. Dalam hubungannya dengan tindak tutur terima kasih, Leech mengkategorikan sebagai tindak tutur convivial ‘menyenangkan’, yaitu tindak tutur kesopanan positif yang dapat dicapai dengan penambahan keterangan intensifier
dan piranti prosodic (berhubungan dengan tekanan, nada, atau intonasi). Dalam kaitannya dengan prinsip kesantunan, Leech memberikan enam maksim kesantunan sebagai berikut. 1. Maksim kearifan (tact maxim) c. Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin. d. Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. 2. Maksim kedermawanan (generocity maxim) c. Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin. d. Buatlah kerugian diri sebesar mungkin. 3. Maksim pujian (approbation maxim) c. Kecamlah orang lain sesedikit mungkin. d. Pujilah orang lain sebanyak mungkin. 4. Maksim kerendahan hati (modesty maxim) c. Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin. d. Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. 5. Maksim kesepakatan (agreement maxim) c. Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan orang lain terjadi sesedikit mungkin. d. Usahakan agar kesepakatan antara diri dan orang lain sebanyak mungkin. 6. Maksim simpati (sympathy maxim) c. Kurangilah rasa anti-pati antara diri dan orang lain hingga sekecil mungkin. d. Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan orang lain.
Kajian mengenai kesopanan yang banyak memperoleh perhatian adalah kajian yang dilakukan oleh Brown dan Levinson (1987), dalam buku mereka yang berjudul Politeness: Some Universals in Language Usage. Dengan data yang dikumpulkan dari penutur Tamil di India Selatan, penutur Tzeltal di Meksiko, serta penutur Inggris, mereka mengemukakan sebuah deskripsi sistematis fenomena kesopanan berbahasa yang dapat digunakan untuk mendukung model penjelasan dan analisis kesopanan bahasa. Mereka membahas nosi ‘muka’ yang merupakan investasi emosi, yang dalam sebuah interaksi dapat dilindungi dan dapat juga dipermalukan. Jadi dalam berinteraksi, peserta tutur wajib saling menjaga ‘muka’nya agar jangan sampai dipermalukan. Setiap
peserta tutur harus mempertahankan status mukanya masing-masing untuk dihargai. Brown dan Levinson membagi nosi ini menjadi dua, yakni negative face dan positive face. Nosi yang pertama merupakan tuntutan dasar pada wilayah, pemeliharaan atau kepuasan pribadi, pemenuhan hak-hak tanpa adanya batasan atau gangguan, dapat juga mempunyai makna bahwa setiap orang berkeinginan agar tindakannya tidak dihambat oleh orang lain, atau dengan kata lain ia ingin bebas melakukan apa yang ia mau (lihat juga Yule 1996,61). Yang kedua adalah penggambaran diri atau kepribadian yang positif akan perlunya penghargaan atau pengakuan yang terpelihara secara konsisten, atau dengan kata lain bermakna bahwa setiap orang ingin dihargai atau diakui oleh orang lain. Nosi yang pertama berkaitan dengan kesopanan negatif, yaitu kesopanan yang diorientasikan kepada negative face petutur, dan yang kedua dengan kesopanan positif, yakni yang ditujukan terhadap positive face petutur. Dalam kaitannya dengan nosi ‘muka’, Brown dan Levinson mengemukakan FTA (tindakan yang mengancam muka), yakni tindakan-tindakan yang dapat mengancam negative maupun positive face peserta tutur. Dengan demikian, menurut Brown dan Levinson yang dinamakan sopan adalah menjaga ‘muka’, dan sesuatu yang dapat mengancam ‘muka’ adalah tidak sopan. Konsep kesopanan Brown dan Levinson sebenarnya merupakan konsep yang diturunkan dari teori Goffman. Menurut Goffman (Wardaugh 1986) para peserta tutur menerima “muka” yang ditawarkan oleh mitra tuturnya. Adapun yang dimaksud “muka”dalam hal ini adalah citra diri yang harus diperhatikan oleh mitra tutur. “Muka” yang ditawarkan berbeda-beda bergantung pada situasi tuturan. Pada suatu saat sebagai “muka” seorang teman dekat, seorang atasan, dan citra-citra yang lain. Dengan demikian, setiap peserta tutur harus mampu memahami “muka-muka” yang ditawarkan, dan menentukan bobot FTA yang ada dalam setiap “muka”. Ide Sachiko (1982,1986), yang meneliti kesopanan dan jender, mengemukakan bahwa pilihan penggunaan bahasa yang berkaitan dengan kesopanan melibatkan dua jenis aturan, yaitu aturan linguistik dan aturan sosial. Aturan linguistik berarti berhubungan dengan bentuk tata bahasa, dan dalam bahasa Jepang terdapat sistem yang mengatur penggunaan tingkat kesopanan berbahasa, yakni sistem kei-go ‘bahasa hormat’. Aturan sosial berarti perilaku yang patut yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa ternyata faktor jender tidak terlalu berpengaruh secara signifikan dalam penentuan pilihan bahasa.
Faktor yang terutama adalah tergantung pada situasi yang lebih banyak ditentukan oleh faktor distance ‘jarak’yang dirasakan oleh peserta tutur. Hasil penelitian ini sangat relevan dengan karakteristik studi pragmatik yang sangat menekankan pada konteks. Kesopanan merupakan salah satu faktor terpenting dalam interaksi sosial. Selain mempunyai sifat-sifat yang universal, kesopanan juga memiliki karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh penutur suatu bahasa tertentu. Berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji dalam penelitian ini, penulis mendefinisikan kesopanan, khususnya dalam bidang bahasa sebagai aturan yang menuntut individu untuk berperilaku yang patut sesuai dengan nilai dan norma sosial dan sesuai dengan aturan-aturan bahasa masyarakat pemakainya. Konsep kesantunan yang disebutkan oleh Ide, dijadikan alat analisis untuk membahas kesantunan dalam penelitian ini. Pilihan akan hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa subjek dan objek penelitian berhubungan orang dan budaya Jepang. Sehingga konsep kesantunan Ide yang membahas konsep kesantunan bahasa dan budaya Jepang lebih tepat dan mengena dalam mengkaji kesantunan berbahasa Jepang.
3.2.5 Konsep Sosial Budaya Jepang
Menurut Nakane Chie, di dalam masyarakat Jepang terdapat kelompokkelompok sosial yang dibentuk berdasarkan kerangka (frame atau ba), yang mencakup para anggota dengan atribut (shikaku) yang berbeda-beda. Perbedaan pada kerangka ditekankan pada lokasi persamaan aktifitas ekonomi, sementara perbedaan atribut Jepang dipengaruhi oleh jenis kelamin, garis keturunan dan usia. Pemunculan kerangka dan atribut ini dapat berbeda-beda bergantung pada situasi, satu sama lain dapat muncul sama kuat atau dalam situasi tertentu salah satu yang lebih kuat muncul. Sebagai contoh, ketika individu Jepang melakukan interaksi sosial dengan individu di luar kelompoknya maka yang muncul lebih kuat adalah kerangkanya. Individu akan mengidentitaskan diri berdasarkan kerangkanya, yaitu sebagai anggota kelompok tertentu atau pegawai dari suatu perusahaan tertentu. Sebaliknya, jika interaksi terjadi di dalam ruang lingkup uchi-mono, atributlah yang cenderung muncul lebih kuat. Misalnya, di dalam suatu perusahaan ketika terjadi interaksi, pegawai yang memiliki pangkat yang lebih tinggi akan diperlakukan sebagai superior terhadap bawahannya. Suatu kelompok
yang terbentuk berdasarkan persamaan atribut memiliki perasaan eksklusifitas yang sangat kuat. Perasaan eksklusif ini timbul berdasarkan homogenitas yang dimiliki anggotanya. Pengelompokan ini terutama berakar pada struktur sosial untuk memenuhi kebutuhan emosi perorangan yang mencari rasa aman di dalam kelompok, dan memperoleh kompensasi bagi kekurangan otonomi perorangannya. Kelompokkelompok sosial yang ada menumbuhkan kesadaran akan adanya kelompok ‘kita’ dan kelompok ‘mereka’. Di dalam kelompok sosial itu sendiri, diatur berdasarkan jougekankei, yakni sistem hubungan vertikal (senpai-koohai) dan horisontal (douryou). Dalam sistem vertikal hubungan antaranggota diatur berdasarkan perbedaan kualitas, dan sistem horisontal berdasarkan kualitas yang sama. Penerapan hubungan vertikal misalnya dalam hubungan antara bawahan dan atasan terjadi hubungan vertikal, dan antara rekan sejawat terjadi hubungan horisontal. Meskipun demikian, pada dasarnya hubungan yang terjadi adalah atas dasar hubungan vertikal, karena meskipun misalnya seseorang mempunyai jenjang yang sama dalam suatu perusahaan masih saja dibedakan berdasarkan umur, senioritas, dan sebagainya. Dari apa yang dikemukakan Nakane, ada dua hal yang penting yang menjadi dasar hubungan antarindividu dalam masyarakat Jepang, yaitu pentingnya hubungan yang berlandaskan pembedaan uchi-mono dan sotomono (Tokunaga 1992; Matsumoto 1996; Lebra 1976) serta pembedaan hubungan vertikal. Pada kenyataannya kedua hal tersebut memang sangat berpengaruh dalam sistem sosial dan kebudayaan Jepang, termasuk dalam hal penggunaan bahasa untuk komunikasi. Nakane juga membagi pola komunikasi interpersonal orang Jepang menjadi tiga, yaitu (4) uchi-mono, yaitu percakapan yang terjadi di dalam lingkungan in-group; (5) soto-mono, percakapan di luar kelompoknya (out-group); (6) shitashii-mono, percakapan antara peserta tutur yang sudah saling mengenal dengan baik latar belakangnya masing-masing. Dalam hubungannya dengan konsep situasi yang terjadi dalam interaksi orang Jepang, Lebra menyatakan bahwa ada tiga ranah situasi yang terjadi dalam interaksi, yakni intimate situation (situasi intim/akrab), ritual situation, dan anomic situation (situasi asing/tidak saling kenal). Ketiga situasi ini sangat tergantung pada konteks yang mempengaruhi perilaku individu. Faktor utama yang membedakan situasi satu dengan yang lain adalah adanya dikotomi uchi dan soto. Uchi berarti “di dalam, internal, privat”,
soto berarti “di luar, eksternal, publik”. Dikotomi ini sangat mewarnai perilaku sosial orang Jepang. Tidak dapat disangkal, bahwa orang Jepang sangat membedakan perilaku interaksi mereka terhadap orang yang termasuk dalam kategori uchi dan soto. Perbedaan ini menjadi ciri khas budaya orang Jepang secara umum. Yang termasuk uchi adalah anggota keluarga, kelompok, sekolah, perusahaan, maupun negaranya, dan yang termasuk dalam soto adalah orang-orang yang berada di luar kelompoknya atau orang asing. Lebra juga membagi perilaku interaksi sosial individu Jepang dalam tiga jenis, yakni perilaku intimate, ritual, anomic. Dalam praktiknya, meskipun tidak selalu, antara ranah situasi dan perilaku interaksi sering kali berkoresponden. Dalam situasi intimate, baik ego maupun alter memperlakukan sebagai insider dan merasa yakin bahwa perilaku ego terhadap alter terjaga dari publik. Perilaku ini pada umumnya terjadi karena seringnya ego dan alter berinteraksi. Alter biasanya adalah orang-orang yang berada di lingkungannya, baik teman main, teman sekolah, teman kerja, dan seterusnya, seperti yang disebut Nakane sebagai orang-orang yang berada dalam satu kerangka. Hubungan yang mendalam dalam intimate situation menimbulkan ego tidak lagi merasa perlu untuk selalu mengungkapkannya dengan kata-kata. Sering terjadi komunikasi tanpa kata-kata (ishin denshin ‘komunikasi dari hati ke hati’), dan terjadi penyatuan perasaan antara ego dan alter. Apa yang dirasakan oleh alter dirasakan juga oleh ego. Ada dua hal utama yang melandasi perilaku intimate, yakni situasi santai, saat bermain, piknik, dan situasi lain yang terbebas dari situasi kerja. Yang kedua adalah faktor kesamaan usia. Berlawanan dengan intimate, dalam situasi ritual ego memperlakukan alter sebagai outsider dan ada kesadaran bahwa perilakunya dinilai dan diperhatikan oleh alter atau orang ketiga sebagai audience. Keterjagaan dari audience yang menjadi ciri situasi intimate sangat sedikit dalam situasi ritual. Perilaku ritual biasanya terjadi dalam situasi ceremonial, situasi pada waktu rapat, atau dalam pekerjaan. Situasi ritual juga dapat terjadi dalam situasi yang seharusnya intimate. Biasanya situasi ini terjadi karena kehadiran orang ketiga. Contohnya adalah ketika suami istri yang seharusnya berperilaku intimate, mengubah menjadi perilaku ritual dikarenakan kehadiran anak, dengan tujuan agar anak belajar mengenai sopan santun. Dalam situasi ritual ego sangat menjaga agar jangan sampai kehilangan ‘muka’nya. Menurut Matsumoto (1996) ‘muka’ bagi orang Jepang adalah simbol, yang mungkin oleh orang Barat disamakan dengan “citra” atau “reputasi”. Bagi orang Jepang, muka tidak hanya cermin dari perasaan hati
manusia, melainkan juga sebagai simbol kekuasaan dalam masyarakat dan kebudayaan. Karena itu, orang Jepang selalu menjaga agar tidak kehilangan ‘muka’ dan menghilangkan ‘muka’ orang lain agar terjaga keharmonisan. Kesalahan atau perbuatan yang mengancam ‘muka’ seseorang dapat berakibat serius. Yang ketiga, yaitu situasi anomic, juga kontras dengan situasi anomic karena ego memperlakukan alter sebagai outsider, juga kontras dengan situasi ritual karena dalam anomic, ego terbebas dari perhatian audience yang orang-orang yang memperhatikannya. Situasi anomic terjadi ketika ego memperlakukan alter sebagai orang asing atau musuh sehingga ia tidak terlalu perlu memperhatikan norma-norma ego. Biasanya situasi ini terjadi jika ego berada dalam lingkungan baru dan dia merasa orang-orang tidak mengenalnya sehingga ia merasa bebas berbuat sekehendak hatinya. Seperti juga diungkapkan oleh Matsumoto (1996) bahwa secara psikologis orang Jepang akan merasa lebih dapat mengekspresikan emosinya di luar lingkungan sosialnya. Anomic cenderung mengabaikan norma dan tidak dibatasi oleh faktor ‘muka’, baik muka ego maupun alter. Pada satu saat ego dapat berada pada situasi intimate, pada saat yang lain juga dapat berada pada situasi ritual maupun anomic, bahkan jika dengan alter yang sama. Contohnya, seorang teman dekat yang seharusnya berada pada situasi intimate, tiba-tiba berganti dalam situasi ritual karena berada dalam situasi formal dan diperhatikan oleh audience lain, atau berganti pada situasi anomic ketika terjadi perselisihan yang menimbulkan retak atau menjauhnya hubungan.
BAB 4 METODE PENELITIAN
5.1 Ancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif terhadap fenomena alamiah tindak tutur tanya-jawab antara wisatawan Jepang dan pemandu wisata di kawasan wisata Candi Borobudur. Ancangan teoretis yang digunakan sebagai alat analisis adalah ancangan pragmatik, yaitu cabang ilmu bahasa yang mengkaji maksud tuturan dalam situasi-situasi tertentu (Leech, 1983).
5.2 Subjek Penelitian, Lokasi Penelitian, dan Sumber Data Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah wisatawan Jepang dan pemandu wisata orang Indonesia yang berada di kawasan Candi Borobudur. Data kajian yang dibutuhkan adalah (1) satuan kebahasaan yang berupa tuturan pertanyaan yang diajukan oleh wisatawan Jepang kepada petutur, yakni pemandu wisata, (2) rangkaian percakapan
tanya-jawab
di
kawasan
wisata
Candi
Borobudur
yang
dapat
menggambarkan penggunaan kesantunan dan prinsip kerja sama. Sumber data diperoleh dari dua rekaman percakapan antara wisatawan Jepang dan pemandu wisata Indonesia. Subjek penelitian pada data pertama terdiri dari dua orang wisatawan Jepang. Yang pertama bernama Ogata Ayumi (A), berjenis kelamin perempuan berusia 50 tahun, dan yang kedua bernama Tsuboi Yuuichi (Y), laki-laki berusia 35 tahun. Pemandu wisata pada data pertama seorang laki-laki yang keberatan dicantumkan namanya, berusia 40-an tahun. Subjek pada data kedua adalah seorang wisatawan Jepang bernama Tokuzumi Natsuko, berjenis kelamin perempuan dan berusia 22 tahun, dan seorang pemandu wisata bernama Naroni, berjenis kelamin lakilaki dengan usia 40 tahun.
5.3 Metode Pengumpulan Data Data-data kajian diperoleh melalui pengamatan terlibat terhadap kegiatan percakapan antara wisatawan Jepang dan pemandu wisata. Kegiatan percakapan
direkam dengan menggunakan handycam dan tape recorder. Dari data yang terkumpul kemudian ditranskripsikan ke dalam abjad Romawi. Transkripsi rekaman berdasarkan model giliran bicara (turn-taking). Data percakapan yang dikumpulkan hanya percakapan yang bersifat transaksional.
5.4 Metode Analisis Data Data-data yang sudah dikumpulkan dalam bentuk transkripsi hasil rekonstruksi rekaman, dilakukan proses identifikasi dan pengklasifikasian jenis-jenis fungsi pragmatik tindak tutur pertanyaan. Dalam proses ini dilakukan dengan menggunakan teori tindak tutur Searle. Setelah itu dilakukan analisis penerapan prinsip kerja sama Grice dalam rangkaian percakapan tanya-jawab yang dapat menggambarkan penggunaan kesantunan bahasa Jepang, analisis terakhir adalah analisis faktor-faktor sosial budaya Jepang yang melatarbelakangi adanya tindak tutur dalam percakapan.
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Di dalam Bab ini disajikan analisis fungsi pragmatis tindak tutur pertanyaan dan interpretasinya, serta analisis berlaku tidaknya prinsip kerja sama. Analisis fungsi pragmatis dilakukan dengan mengidentifikasi dan kategorisasi fungsi pragmatis sesuai kategorisasi Searle tentang daya ilokusi sebuah tuturan. Menurut Searle daya ilokusi dibagi menjadi lima, yakni assertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Sementara analisis percakapan dengan menggunakan teori Grice tentang prinsip kerja sama digunakan untuk mendeskripsikan patuh tidaknya percakapan yang dikaji. Dalam bab ini juga dibahas penggunaan kesantunan berbahasa Jepang serta faktor sosial budaya orang Jepang yang melatarbelakangi tindak tutur percakapan tanyajawab yang terjadi. 5.1
Fungsi Pragmatis Pertanyaan Dalam subbab ini dianalisis fungsi pragmatis tindak tutur pertanyaan yang
dituturkan oleh peserta tutur. Analisis fungsi pragmatis dimaksudkan untuk mendeskripsikan makna sebenarnya atau pesan yang dimaksud oleh penutur melalui pertanyaan yang dituturkannya. Berdasarkan identifikasi dan analisis data yang sudah dikumpulkan, terdapat 17 tuturan pertanyaan dari Data Percakapan 1 dan 61 tuturan dari Data Percakapan 2. 5.1.1 Analisis Data Percakapan 1 Peserta tutur Data Percakapan 1 ada tiga orang yang terdiri dari seorang pemandu wisata Indonesia dan dua orang wisatawan Jepang, yaitu Ogata Ayumi dan Tuboi Yuuichi. Jumlah tuturan yang dilontarkan oleh peserta tutur ada 17 tuturan pertanyaan. Pemandu wisata melontarkan 5 tuturan dan wisatawan Jepang, Ogata Ayumi dan Tsuboi Yuuichi, masing-masing 8 dan 4 tuturan. Berdasarkan hasil analisis data, fungsi pragmatis yang diemban oleh setiap pertanyaan yang diajukan oleh peserta tutur adalah (1) untuk menyampaikan tindak direktif, dan (2) untuk menyampaikan tindak ekspresif. Adapun distribusi tuturan dan fungsi pragmatis tiap-tiap peserta tutur adalah sebagai berikut.
Tabel 5.1 Distribusi Pertanyaan Berfungsi Pragmatis Setiap Peserta Tutur Data Percakapan 1 No Fungsi Pragmatis 1 Fungsi Direktif 2 Fungsi Ekspresif Jumlah
Guide 4 1 5
Ayumi 8 8
Yuuichi 4 4
Jumlah 16 1 17
Uraian yang lebih terperinci dapat dilihat sebagai berikut. 5.1.1.1 Pertanyaan untuk Menyampaikan Tindak Direktif Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang bermaksud menghasilkan efek tertentu melalui suatu tindakan oleh petutur (Levinson, 1983:240). Atau dengan kata lain sebuah perintah atau permintaan agar petutur melakukan tindakan sesuai permintaan penutur. Tuturan-tuturan meminta, menyuruh, memaksa, menagih, menguji, menyarankan, mendesak, memohon, memerintah, dan menantang termasuk dalam jenis tindak tutur ini. dari hasil identifikasi dan analisis data menunjukkan bahwa hampir semua pertanyaan yang diajukan oleh peserta tutur digunakan untuk menyampaikan tindak direktif. Pertanyaan yang berfungsi pragmatis untuk menyampaikan tindak direktif ini berwujud: (1) pertanyaan untuk meminta informasi, (2) pertanyaan untuk meminta konfirmasi, dan (3) pertanyaan untuk menyampaikan saran. Pertanyaan untuk Meminta Informasi. Churchill (dalam Arifin, 2000:206) menyatakan bahwa secara umum informasi diartikan sebagai pernyataan yang mungkin benar dan mungkin juga salah. Informasi mengacu pada sesuatu yang keberadaannya bersifat independen atau bersifat objektif. Sesuatu yang dimaksud dapat berupa fakta, opini, keputusan, maksud, alasan, atau objek nyata. Pada dasarnya, fungsi pertanyaan adalah untuk meminta informasi. Berikut ini adalah data pertanyaan yang berfungsi pragmatis meminta informasi. (1)
A: G:
(2)
Y: G:
Donna ryoori desu ka. Seperti apa masakannya? Gudeg wa Nangka to, toriniku, tamago, tofu, tempe nado ga haitta netsuke desu ne. Gudeg itu terbuat dari nangka, daging ayam, telor, tahu, tempe dan lain-lain yang dimasak bersama-sama. Nangka tte, nan desu ka. Nangka tu apa? Nangka to iu no wa, nagasa ga 50 senchi nimonaru ookina kudamono desu. Gudeg ni wa mada mijuku na mi wo tsukaimasu.
(3)
Y: G:
(4)
Y: G:
(5)
A:
G: (6)
A: G:
(7)
A: G:
(8)
A:
G:
(9)
G: Y:
Nangka itu buah yang besar dan panjangnya sekitar 50 cm. yang digunakan untuk memasak gudeg adalah nangka muda. Gudeg wa, donna aji ga suru no desu ka. Bagaimana rasanya Gudeg? Nihonjin niwa chotto amai kamoshirimasen ga, sono toki wa sanbaru wo tsukete tabetara ii desu yo. Bagi orang Jepang mungkin agak manis. Pada waktu makan akan lebih cocok kalau menggunakan sambal. Sanbaru tte nan desu ka. Apa itu sambal? Toogarashi no haitta kooshinryoo desu. Penyedap makan yang dibuat dari cabe dan lain-lain.
G san, ano senaka ni bin wo shotta josei wa nani wo utte no desu ka. Tuan G, perempuan yang menggendong botol dalam bakul itu menjual apa? Aa, are wa jamu uri no obasan desu. Oh perempuan itu adalah penjual jamu. Jamu tte nan desu ka. Apa itu jamu? Jamu wa Jawa no dentootekina kanpooyaku desu. Jamu adalah obat tradisional Jawa. Zairyoo wa nan desu ka. Bahannya apa saja? Jamu wa soomoku, koobutsu, doobutsu nado yootoni yori, iroirona zairyoo wo mazeawasete tsukurimasu. Bahannya adalah tumbuh-tumbuhan, mineral, binatang, dan lain-lain. Berbagai bahan dicampur untuk membuat jamu.
Ara. Otoko no hito ga yashi no ki ni nobotteiru wa. Ano hito nani shite iru no desu ka. Lihat! Laki-laki itu sedang memanjat pohon kelapa. Sedang apa ya? Yashi o kajiku wo kitte, soko kara jueki wo tori kidoo wo tsukuru no desu. Dia akan mengambil air sari kelapa dari tandan yang telah dipotong. Kemudian dari air sari itu akan dibuat gula.
Ikaga de shitaka borobudur iseki wa… Bagaimana candi Borobudur? Sugoi no hitokotoni tsukimasu ne. 100 man ko no iwa ga tsumikasanerareteiru to iu iseki wa maru de ishi no chookoku no mori wo aruiteiruka no yoo deshita. Luar biasa ya! Candi yang dibangun dari 1 juta batu, rasanya seperti berjalan di belantara ukiran batu.
(10)
G: A: Y:
Gudeg to ayam goren no aji wa, ikaga desu ka. Rasa gudeg dan ayamnya bagaimana? Ryooho tomo totemo oishii wa. Keduanya sangat enak. So so oishii yo. Manzoku manzoku. Ya, ya. Enak. Puas. Puas.
Identifikasi jenis informasi yang dikehendaki penutur dapat dikenali melalui bentuk kata tanya yang dipakai penutur. Sejumlah kata tanya (cetak tebal) digunakan untuk meminta informasi sesuai yang dibutuhkan oleh penutur. Kata tanya nan, seperti di (2), (4), (6), (7); dan nani (5) dan (8) mempunyai arti ‘apa’ atau ‘apakah’ digunakan untuk menanyakan kata benda. Sementara kata tanya donna di data (1) dan (3); serta ikaga di data (9) dan (10), yang berarti ‘bagaimana’ digunakan untuk menanyakan sifat, keadaan, proses, ataupun pendapat mengenai sesuatu Pertanyaan untuk Meminta Konfirmasi Pertanyaan meminta konfirmasi berbeda dengan meminta informasi atau penjelasan. Meskipun pada dasarnya pertanyaan untuk meminta konfirmasi adalah bagian dari meminta informasi. Perbedaannya adalah bahwa pertanyaan konfirmasi selalu ada rujukan pada objek atau peristiwa percakapan yang telah mendahului. Sementara permintaan informasi tanpa rujukan yang mendahuluinya. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pertanyaan yang berfungsi pragmatis meminta konfirmasi berbentuk kalimat tanya dengan jawaban ya atau tidak (yes-no question). Data yang menunjukkan pertanyaan meminta konfirmasi adalah sebagai berikut. (11)
A: G:
(12)
Y: G:
(13)
G: A:
Gudeg tte ryoori desu ka. Gudeg itu masakan? Hai. Ya.
Sore wo shirogohan to isshoni taberu no desu ka. Itu dimakan bersama nasi putih? Soo desu. Ya, begitulah.
Soo desu. Jueki wo nonde mitai desu ka. Benar. Apakah ingin coba meminumnya? Nonde mitai. Ya, saya ingin sekali.
(14)
A:
G:
(15)
A: G:
Oishii. Zuibun amaindesu ne. Gochisooni natta orei wa, gosen rupia gurai de iino desu ka. Enak. Manis sekali ya. Sebagai ungkapan terima kasih. Apakah cukup diberi uang Rp.5000? Juubun desu. Kare mo yorokobu deshoo. Arigatoo gozaimasu. Cukup. Dia pasti senang. Terima kasih.
Kono resutoran wa gudeg dake shika nain desu ka. Restoran ini hanya menjual gudeg ya? Iie, hoka ni mo arimasu yo. Kono resutoran wa ayam goren demo yuumeina omise desu. Tidak, yang lain juga ada. Restoran ini juga terkenal dengan ayam gorengnya.
Pada data (11) penutur meminta konfirmasi apakah yang disebut gudeg adalah nama masakan. Penutur sudah menduga bahwa itu adalah nama makanan karena informasi mengenai gudeg sudah diberikan sebelumnya. Jadi penutur hanya minta pembenaran atas apa yang dituturkan. Pada pertanyaan-pertanyaan yang lain di data (12) –(15) juga berlaku sama, yaitu meminta penegasan kembali. Pertanyaan untuk Menyampaikan Saran Saran adalah sesuatu yang dituturkan penutur agar petutur sebaiknya melakukan sesuatu yang dituturkan penutur. Pemberian saran bersifat menguntungkan bagi penutur dan mungkin juga petutur. Jadi tindakan direktif yang dilaksanakan petutur tidak hanya menguntungkan penutur. Data yang menunjukkan pertanyaan untuk memberikan saran adalah sebagai berikut. (16)
G: Y:
Gocchuusokushimashoo ka. Bagaimana kalau kita makan siang? Sansei. Mo onaka pekopeko yo. Setuju. Sudah lapar.
Tuturan pada data (16) berbentuk pertanyaan karena ditandai dengan kata bantu ka di akhir kalimat yang dituturkan. Dalam bahasa Jepang, kata bantu ka di akhir kalimat menandakan sebuah kalimat tanya. Meskipun berupa kalimat tanya, pertanyaan tersebut sebenarnya merupakan saran dan ajakan untuk makan siang, dan itu juga
dipahami oleh petutur dengan menyatakan persetujuannya karena memang dia sudah lapar.
5.1.1.2 Pertanyaan untuk Menyampaikan Tindak Ekspresif Menurut Searle (1972), tindak ekspresif berfungsi untuk mengekspresikan sikap psikologis penutur terhadap petutur sehubungan dengan keadaan tertentu. Jadi tindak ekspresif selalu berkaitan dengan perasaan dan sikap penutur. Tindak tutur ekspresif dapat berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, memuji, basa-basi, dan sebagainya. Berdasarkan Data Percakapan 1, pertanyaan untuk menyampaikan tindak ekspresif hanya satu, yakni untuk menyampaikan basa-basi, seperti dalam tuturan sebagai berikut. (17)
G:
A:
Y: G:
A:
Hajimemashite. Watashi ga Borobudur no gaido no G to mooshimasu. Tooi nihon kara Borobudur ni oide kudasaimashite, arigatoo gozaimasu. Perkenalkan. Saya G guide candi Borobudur. Terima kasih atas kedatangannya, jauh-jauh dari Jepang. Hajimemashite. Watashi no namae wa Ayumi desu. Chiba kara kimashita. Kochira wa tomodachi no Ken-san desu. Yoroshiku onegaishimasu. Nama saya Ayumi, dari Chiba. Ini teman saya Yuuichi. Senang bertemu dengan Anda. Hajimemashite Ken desu. Yoroshiku onegaishimasu. Perkenalkan nama saya Ken. Senang berkenalan dengan Anda. Kochira koso yoroshiku onegai shimasu. Kyoo wa Borobudur wo goannaishimasu. Soshite, gudeg no omiseni otsureshiyooto omotteimasuga, ikaga deshooka. Sama-sama. Hari ini saya akan mengantar Anda ke Borobudur. Kemudian nanti saya akan mengantarkan ke rumah makan Gudeg. Bagaimana pendapat Anda? Gudeg tte ryoori desu ka. Gudeg itu masakan?
Dalam data (17) pertanyaan yang dicetak tebal (ikaga deshooka) mempunyai arti ‘bagaimana?’. Pertanyaan ini sebenarnya digunakan untuk menanyakan sikap atau pendapat petutur. Akan tetapi jika dilihat dari konteks percakapan, pertanyaan ini sebenarnya tidak mempunyai signifikasi yang berarti. Petutur adalah wisatawan Jepang yang belum mengerti apa-apa tentang kondisi atau keadaan di candi Borobudur, karena
itu aktifitas yang akan dilakukan akan diserahkan kepada pemandu wisata. Pemandu wisatalah yang tahu akan apa yang akan dilakukan. Sebaliknya pemandu wisatapun sebagai penutur sebenarnya sudah tahu bahwa ia yang tahu apa sebaiknya yang akan dilakukan. Sehingga pertanyaan ini sebenarnya hanya untuk basa-basi. Dari pihak petuturpun memahami hal ini. pertanyaan ini dianggapnya tidak berarti apa-apa selain basa-basi. Ini terbukti dengan jawaban yang diberikannya yang justru menanyakan hal lain yang dianggapnya lebih menarik, yaitu mempertanyakan apakah Gudeg itu nama sebuah masakan. Dalam interaksi sosial, memang seringkali dijumpai pemakaian bahasa yang bersifat fatis. Dalam komunikasi fatis seperti ini yang dipentingkan bukan masalah materi yang dikomunikasikan, melainkan solidaritas sosial agar tidak terjadi komunikasi yang kaku.
5.1.2 Analisis Data Percakapan 2 Peserta tutur Data Percakapan 2 ada dua orang yang terdiri dari seorang pemandu wisata Indonesia bernama Naroni dan seorang orang wisatawan Jepang, yaitu Tokuzumi Natsuko. Jumlah tuturan yang dilontarkan oleh peserta tutur ada 61 tuturan pertanyaan. Pemandu wisata melontarkan 10 tuturan dan wisatawan Jepang melontarkan 51 tuturan pertanyaan. Berdasarkan hasil analisis data, fungsi pragmatis yang diemban oleh setiap pertanyaan yang diajukan oleh peserta tutur adalah (1) untuk menyampaikan tindak direktif, (2) untuk menyampaikan tindak ekspresif, dan (3) untuk menyampaikan tindak representatif. Adapun distribusi tuturan dan fungsi pragmatis tiap-tiap peserta tutur adalah sebagai berikut. Tabel 5.2 Distribusi Pertanyaan Berfungsi Pragmatis Setiap Peserta Tutur Data Percakapan 2 No 1 2 3
Fungsi Pragmatis Fungsi Direktif Fungsi Ekspresif Fungsi Representatif Jumlah
Guide 4
Natsuko 16
Uraian yang lebih terperinci dapat dilihat sebagai berikut. 5.1.2.1 Pertanyaan untuk Menyampaikan Tindak Direktif
Jumlah
61
Berdasarkan analisis Data Percakapan 2, pertanyaan yang berfungsi pragmatis untuk menyampaikan tindak direktif ini berwujud: (1) pertanyaan untuk meminta informasi, dan (2) pertanyaan untuk meminta konfirmasi. Pertanyaan untuk Meminta Informasi. Pertanyaan dengan fungsi pragmatis direktif untuk meminta informasi dalam Data Percakapan 2 berjumlah 20 tuturan pertanyaan. Pemandu wisata melontarkan 4 tuturan dan wisatawan Jepang melontarkan 16 tuturan. Berikut ini adalah data pertanyaan yang berfungsi pragmatis meminta informasi. (18)
N: G:
(19)
N: G:
(20)
G: N: G:
(21)
N: G:
(22)
N: G:
(23)
N: G:
Taman wisata tte doo iu imi desu ka Apa artinya “taman wisata”? Taman no imi de kooen. Wisata no imi de kankoochi Taman artinya kooen (taman), wisata artinya kankoochi (tempat wisata).
Borobudur wa itsu tateraremasita ka. Kapan borobudur didirikan? Ano tatemono wa hasseki ni gurai tateraremashita. Bangunan itu dibangun sekitar abad 8.
kono hen no soto ni futatsu no otera ga arimasu. Di luar daerah ini terdapat dua buah candi. nan desu ka. Candi apakah? ano mendut otera, pawon otera, borobudur otera. Candi mendut, candi pawon, candi borobudur.
sore wa imi arun desu ka. apakah jumlah itu ada artinya? imi janai, imi janai. tidak ada artinya. Tidak ada artinya
mukashi wa sono tatemono wa sono yoo desu ka. Apakah bangunan itu dulu berbentuk sama seperti sekarang ini. iie, ishi ga kowareta, nusumareta. Tidak. Ada batu yang rusak dan dicuri.
dare ni? Oleh siapa? rekishi teki ni seifu ni kinjiraremasu.
Dilarang oleh pemerintah dengan alasan sejarah.
(24)
G: N: G:
(25)
N: G: N: G:
(26)
N: G:
(27)
N: G:
(28)
N: G:
(29)
G: N:
(30)
N:
kore wa inga oku wo hanashimasu. Ini menceritakan tentang ingaoku (hukum sebab akibat). ingaoku wa nan desu ka. Apa itu ingaoku? ingaoku. ingaoku. eigo wa nan desu ka. Apa bahasa Inggrisnya? ee to, inga oku. apa ya, ingaoku. aa, inga oku. ooh inga oku (hukum sebab akibat) hai, inga oku desu. ya inga oku * N semula tidak menangkap makna ingaoku karena mengira itu hanya terdiri dari satu kata saja. Tetapi kemudian dia memahaminya.
kono atama ni notteru no wa nan desu ka. Apa yang ada di atas kepala ini? kore wa kaminari desu. Ini adalah kaminari (petir).
sore wa nan desu ka. Cerita apakah itu? lalita vistara wa oshaka sama ga umareta kara budha ni naru made no hanashi desu. Lalita vistara adalah cerita tentang sang Budha Gautama dari lahir sampai dia menjadi Budha.
kono ki wa nani? Ini pohon apa? ano ki wa parumu. Parumu. Pohon itu Palem. Palem.
soozoo dekimasu ka. Bisa membayangkan? nantonaku. Ya
oshaka sama wa nansai desu ka sono toki?
G:
(31)
N: G:
(32)
G: N:
(33)
G: N:
(34)
G: N:
(35)
N: G:
(36)
N: G:
(37)
N: G:
Budha Gautama pada waktu itu berusia berapa? ima wa ee juusai desu. Pada waktu itu 10 tahun
kore wa nani wo shiteirun desu ka. Ini sedang melakukan apa? yume, yumei yume (mimpi), yumei (terkenal)
nihon ni doko de sunde imasu ka. Di Jepang tinggal di mana? Kyooto. Kyooto.
panti, oh panti asuhan. Nankai indoneshia ni kimashita? Oh Panti Asuhan. Berapa kali dating ke Indonesia. hajimete de Pertama kali
yonkagetsu. Bari shima kimashita ka. Empat bulan. Sudah ke Bali? ee, kore kara Ya, setelah ini.
Enkei? Enkei? yubiwa no katachi Bentuk cincin.
doo yatte nihongo no benkyoo…? Bagaimana Anda belajar bahasa Jepang? Watashi no sensei wa borobudur jin desu. Guru saya adalah penduduk Borobudur.
nanji made desu ka. Sampai jam berapa? tabun go ji hajimete.goji rokuji made. Taihen omoshiroi desu ne. Mungkin mulai jam 5 sampai jam 6. sangat menarik ya?
Pertanyaan-pertanyaan untuk meminta informasi banyak menggunakan whquestion. Pertanyaan-pertanyaan tsb pada umumnya digunakan untuk minta penjelasan dari petutur. Pertanyaan untuk Meminta Konfirmasi Pertanyaan dengan fungsi pragmatis direktif untuk meminta konfirmasi dalam Data Percakapan 2 berjumlah 25 tuturan pertanyaan. Pemandu wisata melontarkan 4 tuturan dan wisatawan Jepang melontarkan 21 tuturan. Data yang menunjukkan pertanyaan meminta konfirmasi adalah sebagai berikut. (38)
N: G:
(39)
N: G:
G: (40)
N: G:
(41)
N: G:
(42)
N: G:
G: (43)
N:
Oboosan? Biksu budha? Hai. Buduru wa Barigo de, imi wa oka. Ya. Budur dari bahasa Bali. Artinya bukit.
hasseki ni? Abad 8? Hai, hasseki ni. Ya abad 8.
Borobudur wa ichiban ookii otera desu. Borobudur adalah candi terbesar. yo no naka desu ka. Di dunia? ee, hai seekai, seekaichuu. Ya, ya sedunia.
Raffles san? Gubernur Raffles? Raffles san. Gubernur Raffles. Singapooru? Singapore? Hai, singapooru ni. Hai. ya di Singapore. Ya.
soshite ano otera mo dandan kowareta. Kemudian candi itu lambat laun rusak. kowaretan desu ka. Candinya rusak?
(44)
G:
hai, kowareta. Shita bubun wa kowareta. Iya rusak. Bagian bawahnya rusak.
G:
sono toki ni sankai kara nanakai made kaku ishi torimashita. Pada waktu itu mengambili semua batu dari lantai tiga sampai lantai tujuh. kaku ishi? Semua batu? kaku ishi. Sore zore no ishi wo torimashita. Semua batu. Mengambili semua batu.
N: G:
(45)
N: G:
(46)
N: G:
G:
(47)
N: G:
(48)
N: G:
G: (49)
N: G:
bukkyouto dake desu ka. Hanya yang beragama Budha sajakah? hai.hai. ya ya.
koko wa iriguchi desu ka. Apakah di sini gerbang masuk? hai, koko wa iriguchi desu. Ya di sini adalah gerbang masuk.
bari ni barijin ga 99 pasentoo wa hindu jin desune. Mainichi kenanga wo tsumimasu. Penduduk bali 99 persen beragama Hindu ya. Setiap hari memetik bunga kenanga. hindu to bukkyoo ga tsumimasu ka. Apakah orang Hindu dan Budha memetik bunga kenanga? hai, hindu to bukkyoo to kono kenanga wo tsumimasu. Ya. Orang Hindu dan Budha memetik bunga kenanga ini
shiroi no wa happa desu ka. yang berwarna putih adalah daun? happa desu. Katachi wa happa desu. daun. Bentuknya daun.
shita kara koko made 61 kaidan ga arimasu. dari bawah sampai sini terdapat 61 anak tangga. 61 desu ka. 61? Ee, ano otera ni 94 arimasu. Ya, di candi itu terdapat 94 anak tangga.
(50)
N: G:
(51)
N: G:
G:
(52)
N: G:
G: (53)
N: G:
(54)
N: G:
(55)
N: G:
G:
(56)
N: G:
indoneshia jin? Orang Indonesia? hai, indoneshia jin. Jawa jin. Ya orang Indonesia. Orang Jawa
kore wa hito desu ka. Apakah ini gambar orang? kore wa gana no butsuzoo desu. Hindu no otera wa toki doki gana no butsuzoo ga arimasu. Ini adalah patung Gana. Di beberapa candi hindu terdapat patung Gana.
maitreya wa chikyuu ni orite, namae wa oshaka sama desu. Maitreya (nama Budha) turun ke bumi, dan namanya adalah Budha Gautama. chikyuu? Bumi? sekai ni orite. Turun ke dunia.
karera wa uranaishi desu. Moo chotto soodan shite. Mereka adalah peramal. Kemudian permaisuri Maya berkonsultasi. hitori desu ka. Hanya satu orang (peramal)? uranaishi. Peramal.
minna ga uranaishi? Semuanya peramal? Zenbu uranaishi. Semuanya peramal.
nana hoo wa dare ga arukun desu ka. Oshaka sama? Siapa yang berjalan tujuh langkah? Budha Gautama? oshaka sama. Mata wa akachan desu. Budha Gautama atau bayi ini.
sensee wa ano oshaka sama no karada wo mite kara byouki ni narimashita. Gurunya setelah melihat tubuh Budha Gautama menjadi sakit. sensee ga byooki? Gurunya sakit? hai, hai. Sensee ga mada wakarimasen deshita. Kono kodomo wa budha
ni naritai desu. iya iya. Gurunya pada saat itu belum mengerti kalau anak ini nantinya akan menjadi Budha.
(57)
N: G:
(58)
N: G:
(59)
G: N:
(60)
G: N:
(61)
G: N:
(62)
G: N:
shoogakkoo? masih SD? ee. Ato 16sai kekkon shimasu. Iya. Kemudian pada saat berusia 16 tahun dia menikah.
ichimannin? 10000 orang? hai yobimashita. Iya. Memanggil.
Oinorimasu ka. Mau berdoa? koko de? Di sini? bukkyouto desu ka. Apakah Anda penganut Budha? chigaimasu. Bukan.
Ima wa semarang no gakko? Benkyoo shimasu ka. Sekarang di Semarang kuliah ya? panti asuhan de borantia Di Panti Asuhan. Saya relawan.
kono otera wa sugoi desu ne?. Candi ini hebat ya? ee, sugoi iya hebat.
5.1.2.2 Pertanyaan untuk Menyampaikan Tindak Ekspresif Berdasarkan Data Percakapan 2, pertanyaan untuk menyampaikan tindak ekspresif berwujud (1) pertanyaan untuk menyampaikan rasa tidak puas, (2) ekspresi kekaguman, dan (3) ekspresi keterkejutan. Pertanyaan untuk Menyampaikan Rasa Tidak Puas
Perasaan tidak puas muncul sebagai akibat dari tidak terpenuhinya keinginan ataupun karena merasa dirugikan. Jadi, antara harapan atau keinginan berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Pertanyaan yang dipakai untuk menyampaikan rasa tidak puas dapat dilihat di bawah ini. (63)
N: G:
nande atarashiku sinai desu ka. Kenapa tidak diperbarui? sore wa dekimasen. Kinjiraremasu. Hal itu tidak diperbolehkan. Dilarang.
Pertanyaan yang dituturkan oleh N muncul untuk menanggapi pernyataan G sebelumnya yang menyatakan bahwa banyak bangunan rusak dan batu-batu di candi Borobudur dicuri orang. N mempertanyakan kenapa tidak diperbarui agar kondisinya lebih bagus. Kata tanya nande ‘kenapa’ menunjukkan penekanan pada sesuatu yang membuat penasaran. Pertanyaan untuk Menyampaikan Rasa Kagum dan Terkejut Perasaan kagum muncul sebagai akibat adanya sesuatu yang mempunyai daya tarik melebihi apa yang sudah diperkirakan penutur. Perasaan kagum biasanya muncul bersamaan dengan rasa keterkejutan. Perasaan terkejut muncul karena adanya sesuatu atau keadaan yang terjadi di luar perkiraan dan penutur tidak siap dengan keadaan tersebut. Dalam Data Percakapan 2 juga terdapat pertanyaan untuk menyampaikan rasa kagum dan terkejut. G:
(64)
N: G:
G: (65)
N: G:
G:
kore wa boodaichuu no happa. Oruto katachi wa sutoba to onaji. Stupa. Ini adalah daun pohon boodaichuu. Jika kita lipat maka bentuknya akan seperti stupa. Stupa. stupa? Stupa? Stupa. Stupa. Soto gawa ni indo no gijutsu desu. di bagian luarnya adalah arsitektur India. Indo no gijutsu? arsitektur India? Indo no gijutsu. Arsitektur India.
Oinorimasu ka. Mau berdoa?
(66)
(67)
N:
koko de? Di sini?
G:
shikashi kare wa yottsu no go ga wakarimasu. Tetapi beliau menguasai empat bahasa asing. yottsu? Empat? orandago eigo, nihon, furansu. Bahasa Belanda, Inggris, Jepang dan Prancis. aa sugoi wah hebat.
N: G: N:
Data (64), (65), dan (67) semuanya mengandung ungkapan kekaguman dan keterkejutan. Dalam tuturan (64) penutur terkejut dan kagum karena tidak menyangka kalau daun pohon boodaichuu jika dilipat bisa menyerupai stupa. Demikian juga dengan data (65) dan (67), pada (65) penutur terkejut sekaligus kagum karena tidak menyangka arsitektur Borobudur adalah arsitektur India, dan pada (67) terkejut dan kagum pada orang yang mengajari petutur berbahasa Jepang. Sementara pada data (66) tuturan koko de hanya menunjukkan keterkejutan penutur karena tidak menyangka di situ ditanya apakah mau sembahyang. 5.1.2.3 Pertanyaan untuk Menyampaikan Tindak Representatif Tindak representatif merupakan tindak tutur menyampaikan proposisi yang benar (Levinson, 1983:240).
Tindak tutur ini mengikat penuturnya akan kebenaran
tuturannya. Termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan kesaksian, berspekulasi,
dan
sebagainya.
Tindak
tutur
yang
disampaikan
penutur
lazimnyamenghendaki respon tertentu. Tindakan menyampaikan respons diartikan sebagai tindakan memberi balasan terhadap apa yang diinginkan penutur (Bach dan Harnish dalam Arifin, 2000). Tindakan responsive oleh Bach dan Harnish dikategorikan sebagai wujud representatif, yaitu tindakan yang mengekspresikan kepercayaan penutur tentang suatu proposisi dan petutur diharapkan dapat menerimanya. Berdasarkan identifikasi dan analisis data, ditemukan bahwa wujud tindak tutur representatif digunakan untuk (1) meminta penegasan maksud dan (2) memberi koreksi atau pembenaran. Pertanyaan untuk Meminta Penegasan Maksud
Pertanyaan yang dituturkan sebagai respons atas suatu jawaban yang masih samar mempunyai fungsi pragmatis meminta penegasan maksud. Dari Data Percakapan 2 ditemukan 6 tuturan pertanyaan berfungsi meminta penegasan maksud. G:
(68)
N: G:
G: (69) N: G:
G:
(70)
N: G:
G:
(71)
N: G:
G: (72)
N: G:
mukashi kono relief ga minakatta. Oranda jin kono sareru kabe wo idoo shimashita. Dulu relief ini tidak terlihat. Kemudian orang belanda memindahkan dinding penutup ini. itoo? memindahkan? idoo. memindahkan.
kore wa kaminari desu. Ini adalah kaminari (petir). kaminari? Kaminari? a, sumimasen kashira (mahkota) desu. oh maaf, itu adalah kashira (mahkota)
kono ishi wa naka ni arimasu. Motto nagai. Kono ishi wa soto ni mo ue arimasu. Kore wa kagi no tame desu. Batu ini berada agak ke dalam. Lebih panjang. Yang ini lebih keluar dan berada di atas. Ini untuk penguncian. Kagi? Kunci? kagi desu. Hai. Locking. Soshite kono ishi wa joobu ni narimasu. Kunci. Ya, Locking. Jadi batu ini menjadi kuat.
kore wa boosatsu no ryoko desu. Kokuroku kara chikyuu ni orite imasu. Katachi wa inochi deshita. Ini adalah perjalanan Budha. Turun dari surga ke bumi. Bentuknya adalah inochi (jiwa atau ruh) saja. inochi. Inori? inochi? Inori (ibadah)? inochi. Inochi deshita. inochi. Bentuknya inochi.
asa okite kara, maya fujin ga asoka kooen he ikimasita. Setelah bangun pagi, permaisuri Maya mendatangi taman Asoka. asoka…? Asoka…. asoka kooen.
Taman Asoka.
G: N: G: (73)
N: G: N: G:
karera wa uranaishi desu. Moo chotto soodan shite. Mereka adalah peramal. Kemudian permaisuri Maya berkonsultasi. hitori desu ka. Hanya satu orang (peramal)? uranaishi. Peramal. nannin? Berapa orang? maya fujin to kyuuden no oosama (raja di istana). karera wa uranaishi. Ini permaisuri Maya dan Raja. Mereka ini adalah peramal. minna ga uranaishi? Semuanya peramal? Zenbu uranaishi.
Pertanyaan untuk Memberi Informasi yang Benar atau Membenarkan Ada kalanya dalam suatu percakapan jawaban yang diberikan petutur kurang tepat atau salah, dan penutur memberi respons dengan memberi informasi yang benar. G: (74)
N: G:
N: G: (75)
N: G:
karera wa kekkon shite, kodomo janai. Mereka berdua menikah lama tetapi bukan anak kodomo ga inai? Tidak punya anak? kodomo ga inai. Ya tidak punya anak.
kore wa nani wo shiteirun desu ka. Ini sedang melakukan apa? yume, yumei yume (mimpi), yumei (terkenal) yumi? yumi (memanah)? yumi, hai yumi. Iya yumi yumi.
5.1.2.4 Pertanyaan untuk Menyampaikan Tindak Komisif Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan dalam tuturannya. Dalam Data Percakapan 2 ditemukan satu tindak komisif, yaitu tindak menawarkan sesuatu. (76)
G:
noboru maeni koko de shashin wo torimashoo ka.
Sebelum kita naik, ayo saya foto di sini. hai, onegaishimasu. Baik. Tolong ya. Di data (76) Penutur menawarkan jasa untuk mengambilkan gambar atau
N:
memotret. Tuturan berupa pertanyaan ini mengikat penutur untuk melaksanakan apa yang dituturkannya, yaitu memotret.
5.2
Penerapan Prinsip Kerja Sama Dari hasil analisis data baik pemandu wisata maupun wisatawan diketahui
bahwa peserta tutur telah menerapkan prinsip kerja sama dan maksim-maksim Grice. Dengan kata lain peserta tutur menanggapi secara positif dan kooperatif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan. Berdasarkan Data Percakapan 1, yang terdiri dari 17 pertanyaan yang dilontarkan 100% mematuhi prinsip percakapan Grice. Tidak terdapat penyimpangan dari maksim-maksim yang disebutkan Grice. Sementara dalam Data Percakapan 2, dari 59 pertanyaan yang dilontarkan terdapat 7 penyimpangan, 6 dilakukan oleh pemandu wisata dan 1 dilakukan oleh wisatawan Jepang (Natsuko).
5.2.1 Penerapan Maksim Kuantitas Maksim kuantitas menjelaskan bahwa penutur pada umumnya memakai bahasa yang pas, tidak kurang tidak lebih. Untuk apa, kepada siapa, dan untuk tujuan apa, sumbangan yang diberikan tidak lebih tidak kurang. Maksim kuantitas Grice berbunyi “berikan jumlah informasi yang tepat”. Dua sub-maksim yang menyertainya (1) sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan, dan (2) sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan. Di bawah ini dipaparkan analisis data yang menggambarkan penerapan maksim kuantitas. (1)
A: G:
(2)
A: G:
Gudeg tte ryoori desu ka. Gudeg itu masakan? Hai. Ya. Donna ryoori desu ka. Seperti apa masakannya? Gudeg wa Nangka to, toriniku, tamago, tofu, tempe nado ga haitta netsuke desu ne.
(3)
Y: G:
Gudeg itu terbuat dari nangka, daging ayam, telor, tahu, tempe dan lain-lain yang dimasak bersama-sama. Nangka tte, nan desu ka. Nangka tu apa? Nangka to iu no wa, nagasa ga 50 senchi nimonaru ookina kudamono desu. Gudeg ni wa mada mijuku na mi wo tsukaimasu. Nangka itu buah yang besar dan panjangnya sekitar 50 cm. yang digunakan untuk memasak gudeg adalah nangka muda.
Dalam data di atas nampak bahwa jawaban petutur dalam menanggapi pertanyaan selalu pas dalam kuantitas. Pertanyaan mengenai apakah Gudeg itu masakan dijawab hanya dengan persetujuan. Pertanyaan mengenai istilah juga dijawab dengan penjelasan yang memadai. Dari Data Percakapan 1 dan 2 secara umum tidak terdapat penyimpangan maksim ini.
5.2.2 Penerapan Maksim Kualitas Maksim kualitas berhubungan dengan kebenaran materi yang dituturkan. Maksim kualitas berbunyi “Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar”. Submaksim yang menyertainya adalah (1) jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini tidak benar, dan (2) jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. Dalam contoh data (1), (2), dan (3) dapat dilihat bahwa tidak terjadi penyimpangan maksim kualitas. Secara umum penyimpangan maksim kualitas hanya sedikit. Dari total jawaban yang dituturkan hanya terdapat 3 penyimpangan maksim kualitas. Penyimpangan maksim ini dilakukan oleh pemandu wisata dalam Data Percakapan 2. (4)
N: G:
(5)
N: G:
(6)
N:
ingaoku wa nan desu ka. Apa itu ingaoku? ingaoku. ingaoku.
kono atama ni notteru no wa nan desu ka. Apa yang ada di atas kepala ini? kore wa kaminari desu. Ini adalah kaminari (petir).
kore wa nani wo shiteirun desu ka. Ini sedang melakukan apa?
G:
yume, yumei mimpi, terkenal
Dalam ketiga data di atas, informasi yang dinginkan oleh penutur tidak dijawab dengan benar. Petutur tidak dapat menjelaskan dengan benar tetapi mencoba menjawab dan jawaban yang diberikan tidak benar. Penyimpangan ini terjadi karena masalah kemampuan bahasa Jepang pemandu wisata. Ia tidak dapat mengungkapkan dalam bahasa Jepang yang benar. Seharusnya ia menjawab dengan jujur bahwa ia tidak tahu istilah dalam bahasa Jepangnya, sehingga tidak melanggar maksim kualitas.
5.2.3 Penerapan Maksim Hubungan Maksim hubungan berkaitan isi tuturan dan jawabannya. Penutur dan petutur harus bekerja sama dalam membuat tanggapan, penjelasan, sanggahan, dan sebagainya agar selalu berkaitan dengan topik yang dibicarakan. Bunyi dari maksim ini adalah “Usahakan agar pembicaraan Anda ada relevansinya”. Dalam data (1), (2), dan (3) di atas, semua pertanyaan dijawab sesuai dengan pertanyaannya. Pertanyaan mengenai makanan gudeg dijawab dengan penjelasan yang relevan. Dari keseluruhan data yang terkumpul, terdapat 4 penyimpangan maksim hubungan. Tiga penyimpangan dilakukan oleh pemandu wisata di Data Percakapan 2 dan
satu
penyimpangan dilakukan oleh wisatawan Jepang,
yaitu
Natsuko.
Penyimpangan tersebut adalah sebagai berikut. (7)
N: G:
(8)
N: G:
(9)
N: G:
(10)
G:
sore wa imi arun desu ka. apakah jumlah itu ada artinya? imi janai, imi janai. tidak ada artinya. Tidak ada artinya hitori desu ka. Hanya satu orang (peramal)? uranaishi. Peramal. nannin? Berapa orang? maya fujin to kyuuden no oosama (raja di istana). karera wa uranaishi. Ini permaisuri Maya dan Raja. Mereka ini adalah peramal. Oinorimasu ka. Mau berdoa?
N:
koko de? Di sini?
Dari data di atas nampak penyimpangan maksim hubungan. Antara pertanyaan dan jawaban tidak tidak ada kaitannya. Dalam (7) pertanyaan yang menanyakan apakah ada artinya dijawab dengan “Bukan arti, bukan arti”. Penyimpangan ini terjadi karena masalah kemampuan berbahasa Jepang yang masih kurang. Dalam data (7) dan (8) juga terlihat jelas perlanggarannya. Antara pertanyaan dan jawaban tidak sinkron. Sementara di data (10) pertanyaan pemandu wisata dijawab dengan pertanyaan lagi.
5.2.4 Penerapan Maksim Cara Maksim cara berbunyi “Usahakan perkataan Anda mudah dimengerti”. Maksim ini mempunyai empat sub, yaitu (1) hindari pernyataan yang samar, (2) hindari ketaksaan, (3) usahakan agar ringkas, dan (4) usahakan agar Anda berbicara dengan teratur. Dari data yang terkumpul, secara umum jawaban dari petutur dalam menjawab pertanyaan telah mematuhi maksim cara.
5.3
Penggunaan Kesantunan Bahasa Jepang Ide Sachiko (1982,1986), mengemukakan bahwa pilihan penggunaan bahasa
yang berkaitan dengan kesopanan melibatkan dua jenis aturan, yaitu aturan linguistik dan aturan sosial. Aturan linguistik berarti berhubungan dengan bentuk tata bahasa, dan dalam bahasa Jepang terdapat sistem yang mengatur penggunaan tingkat kesopanan berbahasa, yakni sistem kei-go ‘bahasa hormat’. Sistem honorifik bahasa Jepang terbagi tiga: sonkeigo (honorific), kenjoogo (humble), dan teineigo (polite). Ketiganya sangat dipengaruhi oleh situasi dan kedudukan sosial peserta tutur. Aturan sosial berarti perilaku yang patut yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat. Faktor yang terutama adalah tergantung pada situasi yang lebih banyak ditentukan oleh faktor distance ‘jarak’yang dirasakan oleh peserta tutur. Fungsi jarak di sini dipahami sebagai konsep mendasar untuk mengontrol perilaku manusia dalam kesopanan. Jarak peserta tutur dilatarbelakangi oleh (1) jarak sosial
berdasarkan kelas sosial, status, usia, dan power, (2) formalitas, yang berdasarkan pada kurangnya pengetahuan peserta tutur, formalitas peristiwa atau topik, (3) jarak psikologis yang misalnya bergantung pada rasa hormat, avoidance ‘penjauhan’, kedekatan, dan solidaritas. Jarak dipertimbangkan sebagai faktor yang terbesar ketika seseorang merasa sangat berhati-hati terhadap petuturnya, dan terkecil ketika merasa bebas dari kekhawatiran. Ini diakui sebagai kesatuan. Jika diperhatikan dari apa yang dikemukakan Sachiko mengenai konsep jarak, jarak yang pertama berhubungan dengan jarak vertikal antarpeserta tutur (power), lalu jarak yang kedua berkaitan dengan situasi tutur, dan jarak yang ketiga berhubungan dengan jarak horisontal (solidaritas). Kesopanan merupakan salah satu faktor terpenting dalam interaksi sosial. Selain mempunyai sifat-sifat yang universal, kesopanan juga memiliki karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh penutur suatu bahasa tertentu. Berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji dalam penelitian ini, penulis mendefinisikan kesopanan, khususnya dalam bidang bahasa sebagai aturan yang menuntut individu untuk berperilaku yang patut sesuai dengan nilai dan norma sosial dan sesuai dengan aturan-aturan bahasa masyarakat pemakainya. Dilihat dari data percakapan yang ada, hampir semua tuturan pertanyaan dan jawaban yang diberikan peserta tutur dituturkan dalam ragam bahasa sopan. Dalam bahasa Jepang, bahasa sopan bercirikan dengan bentuk –masu atau –desu. Bentuk – masu jika predikatnya kata kerja, dan bentuk –desu jika selain kata kerja. Jika dilihat dari teori Ide, pilihan penggunaan bentuk sopan ini dikarenakan factor jarak, terutama jarak horizontal dan formalitas. Jarak horizontal berhubungan dengan hubungan kedekatan antarpeserta tutur, dan jarak formalitas berhubungan dengan situasi maupun setting peristiwa tutur. Berdasarkan jarak horizontal peserta tutur, hubungan antara wisatawan Jepang dan pemandu wisata tidak dekat. Mereka baru kali pertama berinteraksi. Satu sama lain tidak saling mengenal. Sehingga baik secara fisik maupun emosional tidak terdapat hubungan yang dekat. Dengan kondisi seperti ini, orang Jepang akan memilih menggunakan ragam sopan untuk menjaga jarak dan sopan santun dengan mitra tuturnya. Berdasarkan jarak formalitas, tampak bahwa penggunaan bahasa sopan menunjukkan situasi yang formal. Wisatawan Jepang memperlakukan pemandu wisata
sebagai seorang profesional yang sedang bekerja. Meskipun jika dilihat dari jarak vertikal (power) sebenarnya wisatawan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari pemandu wisata, mereka tidak menggunakan bahasa non-formal. Jadi pilihan bahasa sopan dan formal lebih didasari oleh pertimbangan bahwa situasi tuturan adalah formal.
5.4
Latar Belakang Sosial Budaya Jepang dalam Komunikasi Lintas Budaya
Nakane Chie (1970) mengemukakan bahwa penentuan posisi dan status individu Jepang dalam masyarakat secara vertikal dipengaruhi oleh dua hal berikut; Attribute (shikaku) dan Frame (ba). Perbedaan attribute pada setiap individu Jepang dipengaruhi oleh: jenis kelamin, garis
keturunan dan usia. Sedangkan frame lebih ditekankan pada lokasi terjadinya aktivitas ekonomi dan sejauh mana indikasi individu Jepang berperan dalam satu grup melalui satu kerangka kerja tertentu tanpa adanya pengaruh dari perbedaan atributte. Dalam bersosialisasi individu Jepang dipengaruhi oleh frame dan attribute ini. Dalam situasi tertentu pemunculan frame dan attribute ini bisa sama kuat atau bahkan bisa salah satu yang lebih kuat muncul. Sebagai contoh, ketika individu Jepang melakukan interaksi sosial dengan masyarakat umum di luar kelompoknya maka individu akan lebih memunculkan frame nya daripada attribute. Individu akan mengidentitaskan diri berdasarkan framenya yaitu sebagai pegawai perusahaan A atau dari kelompok A. Frame dan attribute ikut membentuk sistem kemasyarakatan Jepang. Pada dasarnya dalam masyarakat Jepang terbentuk dua jenis sistem kemasyarakatan, yaitu bersifat vertikal; senpai-kohai, dan bersifat horizontal; dooryoo (kekerabatan dan kolega). Namun pada kenyataannya dalam kehidupan sosial Jepang, kelompok sistem kemasyarakatan vertikal lebih jauh menonjol dibanding horizontal. Sebagai contoh; pekerja yang mempunyai jabatan dan kualifikasi yang sama dalam suatu kelompok akan dibedakan berdasarkan usia dan lama bekerja. Hubungan vertikal antara superior dan subordinat sangat kuat terbentuk dalam hubungan status peranan sosial. Status peranan sosial ini akan menggantikan faktor usia, jenis kelamin dan popularitas. Contoh: tanpa menghiraukan usia seseorang bisa menjadi seorang pemimpin dan berada pada kursi
tertinggi menggantikan ayahnya yang sudah tua dan mundur pada kursi yang lebih rendah. Status juga menggantikan faktor jenis kelamin. Contoh: karena peranan status sosial wanita masih terhitung sedikit apabila dibanding dengan laki-laki dalam masyarakat, maka berdasarkan peranan sosialnya, wanita Jepang lebih dikenal berada dalam posisi subordinat terhadap laki-laki. Namun apabila status sosial antara individu yang melakukan interaksi sosial sama, maka hubungan vertikal akan digantikan dan dibentuk berdasarkan usia, popularitas, jenis kelamin. Hal ini juga dikemukakan oleh Lebra (1974) bahwa hubungan antara pria sebagai superior dan wanita Jepang sebagai subordinat. Hubungan vertikal ini lebih dipengaruhi oleh pemikiran dalam hubungan hak dan kewajiban daripada hal-hal yang bersifat psikologis dalam konteks sosial. Dalam masyarakat, individu masuk ke dalam lingkungan sosial atau strata sosial tertentu berdasarkan attribute ataupun framenya. Attribute dan frame yang dimiliki seseorang akan berubah-ubah sesuai dengan lingkungan sosial yang dimasukinya. Dalam masyarakat Jepang kesadaran berkelompok orang Jepang lebih kental dibanding dengan bangsa lain. Kesadaran berkelompok dalam kerangka kerja sangat dipengaruhi oleh konsep uchi (my house). Tiap individu di dalamnya akan menghabiskan seluruh waktunya dalam kelompok. Hubungan individu dalam in-group sangat dominan dan tidak saja mengenai urusan pekerjaan, tetapi juga mengenai kehidupan pribadi anggota di dalamnya. Pengertian uchi di sini adalah sebagai tempat kerja, organisasi, kantor, sekolah. Nakane Chie (1970) mengungkapkan bahwa dalam ruang lingkup in-group, individu yang mempunyai hubungan vertikal (superior dan subordinat), superior mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Semua anggota in-group yang merupakan subordinat harus menerima apapun pendapat superior yang menjadi kepala dalam ingroup tersebut. Adanya kontradiksi pendapat antara subordinat dan superior akan dianggap sebagai misbehavior dan hanya mengganggu harmonisasi dalam in-group saja. Hal ini berlaku pula dalam konsep rumah tangga. Berlaku ide moral sebagai The husband leads and the wives obeys. Dampak dari kesadaran in-group yang kuat sebagai akibat dari rasa memiliki satu group yang kuat, akhirnya orang Jepang dianggap kurang dapat bersosialisasi dengan orang di luar kelompoknya, baik itu bersosialisasi dengan orang asing ataupun dengan sesama orang Jepang sendiri. Nakane Chie (1974) membagi tiga kategori pola komunikasi interpersonal orang Jepang;
1. In-group, yaitu komunikasi yang terjadi antara anggota dalam in-group; 2. Shitashii mono, yaitu komunikasi yang terjadi di mana para partisipan sudah mengenal latar belakang sosial masing-masing cukup baik; 3. Out-group, yaitu komunikasi yang terjadi dimana partisipan tidak dalam satu kelompok (berdasarkan hubungan sosial dan kerangka kerja). Jika melihat komunikasi yang terjadi antara wisatawan Jepang dan pemandu wisata Indonesia, maka komunikasi lintas budaya ini jelas masuk dalam kategori pola komunikasi out-group. Dalam pola komunikasi ini, orang Jepang mendudukkan pemandu wisata sebagai orang luar, bukan bagian dari kelompoknya. Kemudian jika dilihat dari teori Lebra mengenai perilaku interaksi sosial individu Jepang yang terbagi menjadi tiga, yakni perilaku intimate, ritual, anomic, maka dalam komunikasi ini bagi orang Jepang masuk dalam kategori perilaku ritual. Dalam perilaku ini orang Jepang memperlakukan mitra tuturnya sebagai outsider. Dalam perilaku ini juga orang Jepang akan sangat berhati-hati dalam bertindak maupun berbicara. Meskipun berinteraksi dengan orang asing (luar), identitasnya tetap dikenal sebagai orang Jepang. Dengan begitu orang Jepang akan selau menjaga ‘muka’nya agar tidak sampai kehilangan. Ini sejalan dengan penggunaan bahasa sopan yang digunakan dalam percakapannya dengan pemandu wisata. Dari dua data percakapan, nampak bahwa pemandu wisata di data pertama mempunyai pengetahuan sosial budaya yang lebih baik dibandingkan dengan pemandu di data kedua. Penggunaan bahasa yang sopan selalu terjaga dengan baik. Sementara pada data kedua, pemandu wisata nampak kurang mengerti latar belakang sosial budaya orang Jepang. Ini nampak dari percakapan dan sikap yang diperlihatkan oleh pemandu ini.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi data, tindak tutur pertanyaan bahasa
Jepang mempunyai fungsi pragmatis yang dapat dikelompokkan menjadi 4, yaitu (1) pertanyaan untuk menyampaikan tindak direktif, (2) pertanyaan untuk menyampaikan tindak representatif, (3) pertanyaan untuk menyampaikan tindak ekspresif, dan (4) pertanyaan untuk menyampaikan tindak komisif. Dengan demikian dalam data yang dianalisis hanya tindak tutur deklaratif yang tidak ditemukan. Tindak tutur pertanyaan direktif menduduki porsi yang sangat besar, terutama dalam hal penyampaian permintaan informasi dan konfirmasi. Dari hasil analisis penerapan prinsip kerja sama Grice dapat diketahui bahwa secara umum percakapan yang terjadi telah menggambarkan penerapan prinsip kerja sama Grice dan keempat maksimnya. Dari total 76 pertanyaan yang dilontarkan, terdapat 7 penyimpangan maksim. Penyimpangan ini lebih banyak disebabkan karena keterbatasan kemampuan bahasa Jepang dari pemandu wisata. Dari sudut pandang kesantunan bahasa, bahasa yang digunakan dalam peristiwa tutur di candi Borobudur adalah bahasa hormat atau keigo. Penggunaan bahasa hormat, yang dalam hal ini menggunakan ragam teinei ‘sopan’ disebabkan adanya jarak horizontal, yaitu tidak adanya kedekatan antarpeserta tutur dan adanya jarak formalitas, yakni peserta tutur menganggap peristiwa tutur yang ada adalah formal, mengingat dari sudut pandang pemandu wisata, ia berada dalam situasi kerja. Masalah kesantunan berbahasa Jepang juga berkaitan dengan latar belakang sosial budaya orang Jepang. Orang Jepang dikenal sebagai masyarakat homogen dan mempunyai kesadaran berkelompok yang kuat. Dalam komunikasi lintas budaya dengan orang Asing, dalam hal ini pemandu wisata Indonesia di Candi Borobudur. Nampak bahwa mereka memang mengambil jarak, bagaimanapun pemandu wisata bukanlah kelompok mereka (uchi). Dari awal sampai akhir percakapan dengan konsisten wisatawan Jepang selalu menggunakan bahasa ragam sopan dan formal.
5.2
Saran
Dari hasil kesimpulan dan penelitian ini secara keseluruhan, beberapa saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut. 1. Dalam melakukan interaksi percakapan, diperlukan pemahaman akan konteks agar tidak terjadi salah tafsir. 2. Perlunya bahwa pertanyaan tidak hanya berfungsi untuk meminta informasi, fungsi pertanyaan dapat bervariasi tergantung konteksnya. 3. Prinsip kerja sama bagi peserta tutur sangat penting untuk menjamin mekanisme percakapan berjalan kooperatif dan santun. 4. Dalam komunikasi lintas budaya, seperti komunikasi orang Jepang dan orang Indonesia, diperlukan tidak hanya keterampilan bahasa, melainkan juga budayanya..
RIWAYAT HIDUP KETUA DAN ANGGOTA PENELITI
A.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP KETUA PENELITI
Nama Lengkap dan Gelar
:
Akhmad Saifudin, S.S.,M.Si.
NPP
:
NPP: 0686.11.2000.0242
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Tempat/ Tanggal Lahir
:
Pekalongan, 18 Juli 1973
Alamat
:
Jl. Bulustalan IV No.425 Semarang
Telepon
:
024 3563660
E-mail
:
[email protected]
Fakultas/Jurusan
:
Fakultas Bahasa dan Sastra/ Sastra Jepang
Pangkat /Golongan
:
Penata Muda/ IIIA
Bidang Keahlian
:
Bahasa Jepang
Pendidikan Profesional
:
2005 : Magister Kajian Wilayah Jepang S2 Universitas Indonesia 1998: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada
Riwayat Pekerjaan
:
2000-sekarang: Fakultas Bahasa Universitas Dian Nuswantoro – Semarang
Riwayat Penelitian
:
2006: Analisis Pragmatik Percakapan Bahasa Jepang antara Native Speaker dan Mahasiswa UDINUS
Publikasi Ilmiah
:
2002: Pembelajaran Matakuliah Dokkai untuk Perguruan Tinggi 2005: Matsuri dalam Kehidupan Orang Jepang 2006: Sapaan untuk Orang Pertama dan Orang Kedua dalam Bahasa Jepang 2007: Ekspresi Diri dalam Bahasa Jepang
B. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ANGGOTA PENELITI Nama Lengkap dan Gelar
:
Bayu Aryanto, S.S.
NPP
:
0686.11.2002.0302
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Tempat/ Tanggal Lahir
:
Jakarta, 5 Agustus 1977
Alamat
:
Jatisari RT01/RW02 Kelurahan Jatisari Kec. Mijen Semarang
Telepon
:
024 70136606
E-mail
:
[email protected]
Fakultas/Jurusan
:
Fakultas Bahasa dan Sastra/Sastra Jepang
Pangkat Golongan
:
Penata Muda/ IIIA
Bidang Keahlian
:
Bahasa Jepang
Pendidikan Profesional
:
Fakultas Sastra UGM (2003)
Riwayat Pekerjaan
:
FBS Universitas Dian Nuswantoro (2002-sekarang)
Riwayat Penelitian
:
-
Publikasi Ilmiah
:
-
C. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ANGGOTA PENELITI Nama Lengkap dan Gelar
:
Iwan Setiya Budi, S.S.
NPP
:
0686.11.2002.0304
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Tempat/ Tanggal Lahir
:
Surabaya, 26 Agustus 1978
Alamat
:
Perum. Wahyu Utomo Jl. Wahyu Asri IX/C-74 Tambak aji Ngaliyan Semarang
Telepon
:
024 7609757
E-mail
:
[email protected]
Fakultas/ Jurusan
:
Fakultas Bahasa dan Sastra/ Sastra Jepang
Pangkat Golongan
:
Penata Muda/ IIIA
Bidang Keahlian
:
Bahasa Jepang
Pendidikan Profesional
:
Fakultas Sastra UGM (2003)
Riwayat Pekerjaan
:
FBS Universitas Dian Nuswantoro (2002-sekarang)
Riwayat Penelitian
:
-
Publikasi Ilmiah
:
-