i
LAPORAN PENELITIAN DOSEN MUDA
EFEKTIFITAS LATIHAN PERILAKU ASERTIF DALAM MENCEGAH KEKERASAN PADA ANAK
Oleh :
Ns. Enik Suhariyanti, M.Kep.
NIDN. 0619017604
Ns. Sambodo Sriadi Pinilih, M.Kep.
NIDN. 0613097601
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG SEPTEMBER 2014
i
2
2
3
HALAMAN PENGESAHAN
Peneliti a. Nama Lengkap b. NIDN c. Jabatan Fungsional d. Program Studi e. Nomor HP f. Alamat surel (e-mail)
: Efektifitas Latihan Perilaku Asertif Dalam Mencegah Kekerasan Pada Anak : : Ns. Enik Suhariyanti, M.Kep. : 0619017604 : Asisten ahli : D3 Keperawatan : 085729933776 :
[email protected]
Anggota Peneliti a. Nama Lengkap b. NIDN c. Perguruan Tinggi
: Ns. Sambodo Sriadi Pinilih, M.Kep. : 0613097601 : Universitas Muhammadiyah Magelang
Tahun Pelaksanaan
: Tahun 1 dari dari rencana 1 tahun
Biaya Tahun Berjalan Biaya Keseluruhan
: Rp. 7.000.000,: Rp.10.000,000,-
Judul Penelitian
Magelang, September 2014 Mengetahui Dekan,
Ketua Peneliti,
(Puguh Widiyanto, S.Kp.,M.Kep) NIDN. 0621027203
(Ns.Enik Suhariyanti,M.Kep) NIDN. 0619017604
Menyetujui, Ketua Lembaga Pengembangan Pendidikan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
( Dr. Suliswiyadi, M.Ag) NIDN.0620106605
3
4
RINGKASAN Anak-anak sebagai unsur paling rentan untuk menerima perlakuan kekerasan. Melihat dari kemampuan secara fisik, anak tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan. Kekerasan pada anak sangat mempengaruhi perkembangan mental atau kejiwaannya, yang nantinya dapat menimbulkan tidak hanya masalah fisik tetapi juga kejiwaan pada anak tersebut. Peningkatan kemampuan anak dalam mengatasi dan menghadapi risiko tindak kekerasan yang akan diterimanya baik oleh lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan mungkin di sekolahnya, menjadi sangat penting, supaya anak mempunyai daya pertahanan diri yang kuat untuk dirinya sendiri terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang lain. Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kemampuan mencegah kekerasan pada anak sebelum dan sesudah diberikan perlakuan berupa latihan perilaku asertif dan penelitian juga membandingkan dua kelompok anak usia sekolah yang berisiko mengalami kekerasan pada anak, untuk mengetahui efektifitas latihan perilaku asertif untuk mencegah kekerasan pada anak dengan meningkatkan kemampuan anak dalam berperilaku secara asertif. Anak-anak pada tingkatan usia sekolah yang berpotensi mendapatkan kekerasan baik secara fisik, verbal dan sosial, mampu menerapkan perilaku asertif untuk melindungi dirinya dan mencegah kekerasan yang dialaminya atau berpotensi untuk dialami oleh anak. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah ”Quasi experimental pre-post test with control group” dengan intervensi Latihan Perilaku Asertif. Menurut Arikunto (2005) bahwa penilaian atau observasi pada penelitian dengan menggunakan desain ini akan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum dan sesudah eksperimen (pre dan post test). Perbedaan antara pre dan post test dianggap efek dari treatment. Luaran dari penelitian ini berupa publikasi ilmiah dan pengayaan materi tentang efektifitas latihan perilaku asertif untuk mencegah kekerasan pada anak. Kata kunci : latihan perilaku asertif, kekerasan pada anak
4
5 PRAKATA
Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian yang berjudul:” Efektifitas Latihan Perilaku Asertif untuk Mencegah Kekerasan pada Anak”, dengan baik dan lancar. Laporan hasil ini melaporkan capaian kegiatan 100% penelitian ditulis dalam bentuk laporan akhir. Peningkatan kemampuan anak dalam mengatasi dan menghadapi risiko tindak kekerasan yang akan diterimanya baik oleh lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan mungkin di sekolahnya, menjadi sangat penting, supaya anak mempunyai daya pertahanan diri yang kuat untuk dirinya sendiri terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang lain. Latihan perilaku ini sangatlah perlu untuk dikembangkan, karena penelitian ini tergolong inovasi baru dalam rangka mendukung program pemerintah dalam pencegahan kekerasan pada anak. Penelitian pada tahap akhir ini, peneliti telah berusaha semaksimal mungkin guna melakukan dan menyusun laporan hasil penelitian didukung dengan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu peneliti menyampaikan terima kasih kepada: 1. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 2. Kepala Lembaga Penelitian Pengembangan Dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Magelang 3. Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang 4. Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Kota Magelang. 5. Dinas Pendidikan Kota Magelang. 6. Ka UPT Pendidikan Magelang Utara, Tengah dan Selatan di wilayah Kota Magelang. 7. Kepala Sekolah SD Negeri di wilayah Kota Magelang. 8. Para mahasiswa S1 Keperawatan Semester 5 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang.
5
6 Semoga laporan akhir (hasil) ini dapat bermanfaat pihak-pihak terkait. Dalam penyusunan laporan ini masih terdapat kekurangan dan belum sempurna. Oleh karena itu, peneliti memohon kritik dan saran dari para pembaca agar menghasilkan laporan kemajuan yang lebih berkualitas.
Magelang, September 2014
6
7
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ............................................... Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... i RINGKASAN.............................................................. Error! Bookmark not defined. PRAKATA ................................................................ Error! Bookmark not defined.v DAFTAR ISI ............................................................... Error! Bookmark not defined. BAB 1. PENDAHULUAN .......................................... Error! Bookmark not defined. BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................4 A. Terapi Asertive ...................................................................................................4 B. Kekerasan Pada Anak .........................................................................................6 C. Penelitian Relevan ..............................................................................................9 BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ..................................................10 A. Tujuan penelitian ..............................................................................................10 B. Luaran penelitian ..............................................................................................10 C. Kontribusi (Manfaat) terhadap ilmu pengetahuan ............................................10 BAB 4. METODE PENELITIAN ...............................................................................11 A. Jenis penelitian .................................................................................................11 B. Populasi dan sampel penelitian ........................................................................14 C. Variabel penelitian ............................................................................................14 D. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................15 E. Teknik Pengumpulan Data ...............................................................................15 F.
Analisa data ......................................................................................................15
BAB 4. HASIL YANG DICAPAI ..............................................................................17 BAB 5. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ....................................................30 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN. ................... 3Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................33
BAB 1 7
8 PENDAHULUAN
Kesehatan menurut World Health Organization (WHO, 1985) merupakan suatu keadaan sejahtera fisik (jasmani), mental (rohani) dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Depkes.R.I., 2010). Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya kesehatan anak yang dilakukan sedini mungkin sejak anak masih dalam kandungan. Upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih dalam kandungan sampai usia remaja dalam kehidupannya, ditujukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik fisik, mental, emosional maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai dengan potensi genetiknya (Depkes, 2007). Penyelenggaraannya berasaskan pada perikemanusiaan, perlindungan, penghormatan, keseimbangan, manfaat terhadap hak dan kewajiban, keadilan, serta menghindari diskriminasi dan menjunjung tinggi norma agama. Anak mempunyai hak yang bersifat asasi sebagaimana yang dimiliki oleh orang dewasa. Hal tersebut tercantum dalam Hak-hak anak (pasal 6) yang terdiri atas hak hidup, bertahan hidup dan berkembang (komite Hak-Hak Anak, 2007). Perkembangan anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: stimulasi yang diterima anak sejak dalam kandungan, kematangan anak pada saat menerima stimulasi, sifat-sifat bawaan dari anak, sikap orang tua terhadap anak dan faktor lingkungan, baik lingkungan dimana anak tinggal, lingkungan sekolah, juga teman sebaya merupakan faktor yang berpengaruh dalam memenuhi perkembangan anak. Faktor lingkungan merupakan faktor eksternal yang sangat mempengaruhi dalam perkembangan anak.
Maraknya kasus kekerasan pada anak, baik yang
dilakukan oleh keluarganya maupun orang lain, secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan pada anak. Berdasarkan hasil riset IMMC (Indonesia Media Monitoring Center) menunjukkan bahwa terjadi 26% tindakan kekerasan pada anak yang terjadi pada lingkup sosial, 14% terjadi pada lingkup hukum, 11% pendidikan dan kesehatan, 2% ekonomi dan 1% agama. 8
9 Tindak kekerasan pada anak ini, 49% modusnya dari aspek ekonomi dan seksual, 70% pelaku tindak kekerasan berasal dari luar keluarga dan 30% dari dalam keluarga sendiri. Dari 30% tindakan kekerasan yang dilakukan di dalam rumah, pelakunya adalah ayah (42%), ibu (34%), keluarga dekat (7%), ayah tiri (4%), ibu angkat (4%). Data ini menunjukkan bahwa keluarga tidak lagi menjalankan fungsionalitasnya. Sebab para anggota keluarga justru menjadi aktor-aktor pelaku kekerasan terhadap anak dan berdasarkan riset kami, dari keseluruhan latarbelakang penyebab kekerasan terhadap anak, 10% nya karena disfungsi keluarga dan 5,5% karena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Farid, 2012). Kota Magelang merupakan salah satu kota kecil di Indonesia yang tidak luput dari masalah kekerasan pada anak. Dari data awal studi pendahuluan didapatkan bahwa anak-anak yang berdomisili di tengah kota perumahan padat penduduk dengan latar belakang masalah sosial ekonomi, masalah pergaulan antar remaja dan anak, hukum kriminal yang tidak dilaksanakan sepenuhnya diganti dengan kekeluargaan, kekerasan dalam rumah tangga yang dapat memicu kekerasan pada anak. Intervensi keperawatan terhadap anak dengan risiko kekerasan terhadap anak adalah dengan memberikan terapi individu dan terapi keluarga untuk membangun koping yang adaptif. Salah satu pemberian terapi pada anak adalah dengan assertive training therapy. Assertive training therapy adalah salah satu terapi spesialis untuk melatih kemampuan komunikasi interpersonal dalam berbagai situasi (Stuart & Laraia, 2005). Terapi ini bertujuan untuk membantu merubah persepsi untuk meningkatkan kemampuan asertif individu, mengekspresikan emosi dan berfikir secara adekuat untuk membangun kepercayaan diri (Aschen, 1997, Alberti & Emmons, 2001, dalam Linn dkk, 2008).
9
10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori 1.
Terapi Asertif (Assertive Training Therapy) a.
Pengertian Kaplan dan Saddock (2005) mengatakan tindakan asertif adalah suatu tindakan yang dilakukan sesuai dengan pilihan, mengungkapkan ekspresi secara jujur, nyaman dan tanpa adanya kecemasan. Alberti dan Emmons (2001), perilaku asertif adalah perilaku yang meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, memungkinkan untuk bertindak dengan cara yang terbaik, membuat perasaan lebih baik tanpa adanya rasa cemas, mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman dan dapat melaksanakan hak pribadi tanpa menyangkal hak orang lain (Townsend, 2009). Stuart dan Laraia (2005), menggambarkan bahwa perilaku asertif dapat membuat seseorang merasa nyaman ketika menyatakan perasaannya dan berkesan memiliki kekuatan namun tidak bersifat mengancam. Keasertifan juga dapat membuat seseorang berkomunikasi secara langsung dengan orang lain tanpa menimbulkan perasaan marah dan mengekspresikan perasaan sesuai dengan kondisi dan situasi. Perilaku asertif akan meningkatkan perasaan dan kepercayaan diri seseorang. Hal ini akan membantu seseorang merasa nyaman dengan orang lain dan meningkatkan kemampuan dalam membangun hubungan yang memuaskan dengan orang lain.
b.
Manfaat Latihan Asertif Menurut pendapat Corey yang dialih bahasakan E. Koeswara (2003), manfaat latihan asertif yaitu membantu bagi orang-orang yang :
1) Tidak mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung 2) Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya 3) Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak” 10
11 4) Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respon-respon positif lainnya
Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiranpikiran sendiri. Lazarus (dalam Nursalim, 2005) “tujuan latihan asertif adalah untuk mengoreksi perilaku yang tidak layak dengan mengubah respon-respon emosional dan mengeliminasi pemikiran irasional”
c.
Prosedur Prosedur dasar dalam pelatihan asertif menyerupai beberapa pendekatan perilaku dalam konseling. Prosedur-prosedur ini mengutamakan tujuan-tujuan spesifik dan kehati-hatian, sebagaimana diuraikan Osipow dalam A Survey of Counseling Methode (1984): 1) Menentukan kesulitan konseli dalam bersikap asertif Dengan penggalian data terhadap klien, konselor mengerti dimana ketidakasertifan pada konselinya. Contoh: konseli tidak bisa menolak ajakan temannya untuk bermain voli setiap minggu pagi padahal ia lebih menyukai berenang, hal itu karena konseli sungkan, khawatir temannya marah atau sakit hati sehingga ia selalu menuruti ajakan temannya. 2) Mengidentifikasi perilaku yang diinginkan oleh klien dan harapanharapannya. Diungkapkan perilaku/sikap yang diinginkan konseli sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi dan harapan-harapan yang diinginkannya. 3) Menentukan perilaku akhir yang diperlukan dan yang tidak diperlukan. Konselor dapat menentukan perilaku yang harus dimiliki konseli untuk menyelesaikan masalahnya dan juga mengenali perilaku-perilaku yang tidak diperlukan yang menjadi pendukung ketidakasertifannya 4) Membantu klien untuk membedakan perilaku yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan dalam rangka menyelesaikan masalahnya. Setelah konselor menentukan perilaku yang dibutuhkan dan yang tidak dibutuhkan, kemudian ia menjelaskannya pada konseli tentang apa yang seharusnya dilakukan dan dihindari dalam rangka menyelesaikan permasalahannya dan memperkuat penjelasannya.
11
12 5) Mengungkapkan
ide-ide
yang
tidak
rasional,
sikap-sikap
dan
kesalahpahaman yang ada difikiran konseli. Konselor dapat mengungkap ide-ide konseli yang tidak rasional yang menjadi penyebab masalahnya, sikap-sikap dan kesalahpahaman yang mendukung timbulnya masalah tersebut. 6) Menentukan
respon-respon
asertif/sikap
yang
diperlukan
untuk
menyelesaikan permasalahannya (melalui contoh-contoh). Mengadakan pelatihan perilaku asertif dan mengulang-ulangnya. Konselor memandu konseli untuk mempraktikkan perilaku asertif yang diperlukan, menurut contoh yang diberikan konselor sebelumnya. 7) Melanjutkan latihan perilaku asertif Memberikan tugas kepada konseli secara bertahap untuk melancarkan perilaku asertif yang dimaksud. Untuk kelancaran dan kesuksesan latihan, konselor memberikan tugas kepada konseli untuk berlatih sendiri di rumah ataupun di tempat-tempat lainnya. 8) Memberikan penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan. Penguatan dibutuhkan untuk meyakinkan bahwa konseli harus dapat bersikap tegas terhadap permintaan orang lain padanya, sehingga orang lain tidak mengambil mafaat dari kita secara bebas. Selain itu yang lebih pokok adalah konseli dapat menerapkan apa yang telah dilatihnya dalam situasi yang nyata.
2.
Kekerasan pada Anak a.
Pengertian Menurut PP Pengganti UU No.1 tahun 2002, Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Kekerasan terhadap anak merupakan fenomena kekerasan yang sering dilakukan oleh orang-orang terdekat anak tersebut. Hal ini sinkron dengan definisi kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekat yaitu kekerasan dimana terdapat ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap mitra dekat (orang 12
13 dekat)yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan kematian, trauma dan hal hal yang berbahaya. Tindakan yang dilakukan mencakup fisik, psikologis/emosional dan seksual yang dilakukan dalam hubungan kemitraan itu, yang dimaksud dengan mitra adalah orang tua, saudara, suami atau istri, dating partner/pacar, bekas istri dan bekas pacar. b.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan Rakhmat (2003) membagi faktor sosial penyebab kekerasan terhadap anak antara lain : 1) Norma sosial, yaitu tidak ada kontrol sosial pada tindakan kekerasan pada anak-anak, maksudnya ketika muncul kekerasan pada anak tidak ada orang di lingkungannya yang memperhatikan dan mempersoalkannya; 2) Nilai-nilai sosial, yaitu hubungan anak dengan orang dewasa berlaku seperti hirarkhi sosial di masyarakat. Dalam hirarkhi sosial seperti itu anak-anak berada dalam anak tangga terbawah. Mereka tidak punya hak apa pun, sedangkan orang dewasa dapat berlaku apa pun kepada anak-anak; 3) Ketimpangan sosial. Banyak ditemukan bahwa para pelaku dan juga korban child abuse kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi yang rendah. Kemiskinan, yeng tentu saja masalah sosial lainnya yang diakibatkan karena struktur ekonomi dan politik yang menindas, telah melahirkan semacam subkultur kekerasan. Karena tekanan ekonomi, orangtua mengalami stress yang berkepanjangan. Ia menjadi sangat sensisitif. Ia mudah marah. Kelelahan fisik tidak memberinya kesempatan untuk bercanda dengan anak-anak. Terjadilah kekerasan emosional.
B. Penelitian Relevan Nurhayati (2010), melakukan penelitian action research di kelas berjudul “Strategi Peningkatan Perilaku Asertif Anak Usia Dini Melalui Pembelajaran Bermain Peran,” dengan responden anak-anak TK Pedagogia Yogyakarta Kelompok B berusia 5-6 tahun berjumlah 17 orang anak. Salah satu variabel yang diteliti adalah pembelajaran bermain peran yang didalamnya diajarkan perilaku asertif. Ternyata kegiatan bermain peran dapat meningkatkan perilaku asertif anak usia 5-6 tahun khususnya kemampuan mengungkapkan pikiran, perasaan dan keyakinan yang terbuka. Terjadi persentase peningkatan perilaku asertif anak pada setiap siklus terhadap pra penelitian. Perilaku asertif yang dapat dilihat pada anak selama kegiatan bermain peran antara lain mampu 13
14 mengkomunikasikan
pemikiran
dan
perasaannya
dengan
baik
menyampaikan suatu informasi, mampu memberikan saran
ketika
guru
kepada teman,
mengekspresikan perasaannya baik positif maupun negatif. Perubahan selanjutnya yang dapat diamati pada diri anak adalah mampu mengutarakan keinginannya secara baik, mampu memulai dan mengakhiri pembicaraan dengan baik, berani berkata tidak jika dipengaruhi untuk berbuat negatif, berani mengambil resiko dan mampu mempertahankan miliknya dengan tidak emosional.
14
15
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan penelitian Mengetahui efektifitas latihan perilaku asertif untuk mencegah kekerasan pada anak dengan meningkatkan kemampuan anak dalam berperilaku secara asertif.
B. Luaran penelitian Target luaran yang ingin dicapai melalui kegiatan penelitian ini antara lain: 1. Publikasi ilmiah 2. Anak-anak pada tingkatan usia sekolah yang berpotensi mendapatkan kekerasan baik secara fisik, verbal dan sosial, mampu menerapkan perilaku asertif untuk melindungi dirinya dan mencegah kekerasan yang dialaminya atau berpotensi untuk dialami oleh anak.
C. Kontribusi (Manfaat) terhadap ilmu pengetahuan Data hasil penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu referensi untuk pengembangan bahan kajian tentang keefektifan latihan perilaku asertif untuk mencegah kekerasan pada anak dengan meningkatkan kemampuan anak dalam berperilaku secara asertif..
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah ”Quasi experimental pre-post test with control group” dengan intervensi Latihan Perilaku Asertif.
15
16 Penelitian dilakukan bertujuan untuk mengetahui perubahan kemampuan mencegah kekerasan pada anak sebelum dan sesudah diberikan perlakuan berupa latihan perilaku asertif dan penelitian juga membandingkan dua kelompok anak usia sekolah yang berisiko mengalami kekerasan pada anak. Tipe penelitian ini menggunakan modifikasi penelitian tindakan kelas menurut Kemmis dan Mc. Taggart (Niff, 1992:27) yang terdiri dari perencanaan, tindakan, pengamatan dan refleksi. Model penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki sikap dan perilaku siswa terhadap resiko kekerasan di lingkungannya dan menunjang kreatifitas anak dalam pembelajaran individual anak. Dalam bentuk prakteknya, penelitian ini dilakukan dengan memberikan suatu tindakan pada subyek berupa latihan perilaku asertif. Dengan demikian tindakan tersebut berpengaruh positip (efektif) dalam mencegah kekerasan pada anak (variabel terikat).
Tahap Pertama 1. Rencana tindakan : mengumpulkan data hasil observasi awal, persiapan sarana dan prasarana penelitian dan membuat program modifikasi 5 sesi latihan asertif. 2. Tindakan : mengkondisikan anak dalam lingkungan yang nyaman di dalam kelas/aula, memberikan kuesioner pada siswa tentang perilaku asertif dalam mencegah kekerasan, menyiapkan skenario latihan asertif dimulai dari ceramah tentang pentingnya perilaku asertif dalam mencegah kekerasan pada anak dilanjutkan menggunakan skenario dengan simulasi latihan asertif dan resimulasi pada siswa-siswa yang ditunjuk. 3. Observasi : mengamati perilaku asertif anak dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya (rumah, sekolah dan tempat bermain) dan melakukan observasi tentang kejadian resiko kekerasan pada anak sebagai hasil perilaku asertif.
Tahap Kedua 1. Melanjutkan observasi sampai pertengahan Agustus 2014. 2. Refleksi : analisis hasil yang didapat, diskusi dengan guru kelas/Kepala Sekolah dan reduksi data.
16
17 Skema dari Alur Penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
KEGIATAN PENELITIAN TAHAP PERTAMA Langkah 1 ( perencanaan) Mengumpulkan data awal, persiapan sarana prasarana, membuat program latihan asertif.
Langkah 2 (Tindakan) Mengisi kuesioner, ceramah simulasi dan resimulasi modifikasi latihan asertif dalam mencegah kekerasan
KEGIATAN PENELITIAN TAHAP KEDUA Langkah 4 (Refleksi) 1. Analisis hasil yang didapat 2. Diskusi dengan pihak sekolah : guru kelas/Kepala Sekolah 3. Reduksi data
Langkah 3 (Observasi) 1. Mengamati perilaku asertif anak di lingkungannya 2. Mengamati kejadian resiko kekerasan sabagai hasil dari perilaku asertif anak.
Gambar 1. Bagan Alur Penelitian Efektifitas Latihan Perilaku Asertif dalam Mencegah Kekerasan pada Anak
17
18
B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Negeri di Wilayah Kota Magelang yakni di SD Negeri Magersari 1, 2 dan 3, SD Negeri Kemirirejo 1,3, SD Negeri Magelang 6, SD Negeri Kramat 5, SD Negeri Rejowinangun Selatan 4 sebagai kelompok kasus dan SD Negeri Kramat 3, SD Negeri Kedungsari 4, SD Negeri Potrobangsan 1, SD Negeri Tidar 1, SD Negeri Gelangan 1, SD Negeri Kedungsari 1, SD Negeri Rejowinangun Utara 2 dan 5, sebagai kelompok kontrol.Waktu pelaksanaan penelitian mulai bulan Mei s/d Agustus 2014.
C. Populasi dan Sampel Populasi target pada penelitian ini adalah anak usia sekolah, sedangkan populasi terjangkau pada penelitian ini adalah anak usia sekolah di SD Negeri wilayah Kota Magelang, berjumlah 61 sekolah pada periode tahun 2014. Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Sastroasmoro & Ismael, 2008). Sampel penelitian ini adalah anak usia sekolah yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut : anak berusia 7 sampai 12 tahun, bersedia berpartisipasi penuh, sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar, mempunyai latar belakang risiko kekerasan pada anak.
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel Penelitian Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kemampuan mencegah kekerasan pada anak. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah latihan perilaku asertif.
2. Definisi Operasional. Latihan perilaku assertif adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan dalam bertingkah laku sesuai dengan pilihan, mengungkapkan ekspresi secara jujur, nyaman dan tanpa adanya kecemasan dengan kuesioner dan buku kerja. Kemampuan mencegah kerasan adalah upaya yang dilakukan individu untuk terhindar dari setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik 18
19 dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya, yang dilakukan oleh orang terdekat yaitu kekerasan dimana terdapat ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap mitra dekat (orang dekat)yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan kematian, trauma dan hal hal yang berbahaya.
E. Teknik Pengumpulan Data 1. Jenis Data. Jenis data dalam penelitian ini berupa perilaku asertif adalah data interval dan kekerasan pada anak adalah data ordinal.
2. Metode Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner yang diisi oleh responden sebelum dan sesudah diberikan perlakuan berupa latihan perilaku asertif.
3. Instrumen Penelitian Instrument penelitian yang dipergunakan berupa : a. Kuesioner A untuk mengetahui apakah responden pernah mengalami atau berpotensi untuk mengalami kekerasan b. Kuesioner B untuk mengukur perilaku asertif pada anak sebelum dan sesudah diberikannya perlakuan berupa latihan perilaku asertif.
F. Analisa data a. Analisa Univariat Digunakan untuk menggambarkan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. b. Analisa Bivariat Digunakan untuk menganalisa perbandingan efektifitas sebelum dan setelah diberikannya perlakuan pada responden.
19
20 BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis dilakukan untuk mengetahui efektivitas latihan perilaku asertif terhadap peningkatan pengetahuan dan perubahan sikap asertif dalam mencegah kekerasan pada anak Sekolah Dasar. 1. Perbandingan Hasil Pre-test dan Post-test kelompok perlakuan Lihat Tabel 1. Dari tabel 1 perbandingan antara hasil pretest pengetahuan dengan hasil post-test pengetahuan pada kelompok dengan perlakuan latihan perilaku asertif, bahwa hasil uji t = 8,798 (db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,000 < 0,05, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang bermakna antara pengetahuan responden (siswa kelas III) pada waktu sebelum menerima perlakuan latihan perilaku asertif dengan pengetahuan responden setelah menerima perlakuan. Selanjutnya, perbandingan antara hasil pretest sikap dengan hasil post-test sikap pada kelompok dengan perlakuan latihan perilaku asertif, bahwa hasil uji t = -14,984 (db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,000 < 0,05, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang bermakna antara sikap responden pada waktu sebelum menerima perlakuan latihan terapi asertif dengan sikap responden setelah menerima perlakuan latihan perilaku asertif. Perbandingan antara pengetahuan responden didapatkan nilai rerata sebelum perlakuan latihan perilaku asertif sebesar 14,30 dan sesudah perlakuan nilai rerata 22,73, sehingga dapat dikatakan terjadi peningkatan pengetahuan responden tentang konsep kekerasan pada anak dan perilaku asertif sebesar 58,97%. Sedangkan perbandingan antara sikap responden didapatkan nilai rerata sebelum perlakuan latihan perilaku asertif latihan perilaku asertif latihan perilaku asertif sebesar 13,37 dan sesudah perlakuan latihan perilaku asertif nilai rerata 17,33, sehingga dapat dikatakan terjadi peningkatan sikap responden tentang kekerasan pada anak dan perilaku asertif sebesar 29,68%. Lihat Tabel 2. Perbandingan Hasil Pre-test dan Post-test pada kelompok kontrol. Lihat Tabel 3. Dari tabel 3 diketahui perbandingan antara hasil pre-test pengetahuan responden dengan hasil post-test pengetahuan pada kelompok kontrol yang tidak diberikan perlakuan latihan 20
21 perilaku asertif tetapi hanya dengan pembagian leaflet , bahwa hasil uji t = -3,698 (db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,001 < 0,05, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang bermakna antara pengetahuan responden kelompok kontrol yang tidak mendapatkan pelatihan perilaku asertif pada waktu sebelum menerima leaflet dengan pengetahuan responden setelah menerima leaflet. Selanjutnya, perbandingan antara hasil pretest sikap dengan hasil post-test sikap pada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan pelatihan perilaku asertif pada waktu sebelum menerima leaflet dengan pengetahuan responden setelah menerima leaflet, bahwa hasil uji t = -9,645 (db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,000 < 0,05, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang bermakna antara sikap responden pada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan pelatihan perilaku asertif pada waktu sebelum menerima leaflet dengan sikap responden setelah menerima leaflet. LihatTabel 4. Perbandingan antara pengetahuan responden
kelompok kontrol yang tidak
mendapatkan pelatihan perilaku asertif pada waktu sebelum menerima leaflet didapatkan nilai rerata sebesar 14,47 dan setelah menerima leaflet nilai rerata 17,97, sehingga dapat dikatakan terjadi peningkatan pengetahuan responden tentang kekerasan pada anak dan perilaku asertif sebesar 24,19 %. Sedangkan perbandingan antara sikap responden kelompok kontrol yang tidak mendapatkan pelatihan perilaku asertif pada waktu sebelum menerima leaflet didapatkan nilai rerata sebesar 13,87 dan sesudah menerima leaflet nilai rerata 16,60, sehingga dapat dikatakan
terjadi
peningkatan-
Tabel 1 Uji Perbandingan Hasil Pre-test dan Post-test Pengetahuan dan Sikap tentang Kekerasan pada Anak serta Perilaku Asertif Siswa Kelas III SD Negeri Kota Magelang pada Kelompok Perlakuan Tahun 2014
Pre Pengetahuan Post Pengetahuan t -8,798 df 29 Sig. (2-tailed) ,000
21
Pre Sikap-Post Sikap 29 14,984 ,000
22 Tabel 2 Uji Perbandingan Nilai Pengetahuan dan Sikap tentang Kekerasan pada Anak serta Perilaku Asertif Siswa Kelas III SD Negeri Kota Magelang pada Kelompok Perlakuan Tahun 2014
Rerata Kenaikan
Pengetahuan Pre-test Post-test
Pre-test
14,30
13,37
Sikap
22,73 58,97%
Post-test 17,33 29,68%
Tabel 3 Uji Perbandingan Hasil Pre-test dan Post-test Pengetahuan dan Sikap tentang Kekerasan pada Anak serta Perilaku Asertif Siswa Kelas III SD Negeri Kota Magelang pada Kelompok Kontrol Tahun 2014
t df Sig. (2-tailed
Pre Pengetahuan – Post Pengetahuan -3,698 29 ,001
Pre Sikap – Post Sikap -9,645 29 ,000
Tabel 4 Uji Perbandingan Nilai Pengetahuan dan Sikap tentang Kekerasan pada Anak serta Perilaku Asertif Siswa Kelas III SD Negeri Kota Magelang pada Kelompok Kontrol Tahun 2014
Rerata Kenaikan
Pengetahuan Pre-test Post-test
Pre-test
14,47
13,87
17,97 24,19%
Sikap Post-test 16,60 19,71%
pengetahuan responden tentang kekerasan pada Anak serta Perilaku Asertif sebesar 19,71%.Perbandingan Retensi Post-test 1 dan Posttest 2 Hasil Angket Kelompok perlakuan dengan latihan terapi asertif dengan kelompok kontrol tanpa latihan perilaku asertif, dengan diberikan leaflet. Analisis yang dimaksudkan pada sub bab ini adalah analisis mengenai perbandingan perbedaan pengetahuan dan sikap tentang kekerasan pada anak dan perilaku asertif dalam retensi pemberian latihan perilaku asertif dengan tanpa latihan perilaku asertif, hanya dibagikan leaflet saja, setelah pelaksanaan post-test pertama dengan lama waktu retensi 1(satu) bulan. 22
23 Perbandingan Hasil Post-test 1 dan Posttest 2 kelompok perilaku dengan latihan perilaku asertif lihat Tabel 5. pe rbandinganantara hasil post-test 1
Tabel 5 menerangkan bahwa
pengetahuan dengan hasil post-test 2 pengetahuan pada kelompok dengan perlakuan latihan perilaku asertif, bahwa hasil uji t = 4,075 (db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,000 < 0,05, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang bermakna dalam retensi pengetahuan responden pada waktu post-test 1 dengan pengetahuan responden setelah post-test
2
pada
kelompok
perlakuan
dengan
latihan
perilaku
asertif.
Tabel 5 Uji Perbandingan Hasil Post-test1 dan Post-test 2 Pengetahuan dan Sikap tentang Kekerasan pada Anak serta Perilaku Asertif Siswa Kelas III SD Negeri Kota Magelang pada Kelompok Perlakuan Tahun 2014
t df Sig. (2-tailed
Pre Pengetahuan 1 – Post 4,075 29 ,000
Pre Sikap1 – Post Sikap 2
5,139 29 ,000
Tabel 6 Uji Perbandingan Nilai Post-test1 dan Post-test 2 Pengetahuan dan Sikap tentang Kekerasan pada Anak serta Perilaku Asertif Siswa Kelas III SD Negeri Kota Magelang pada Kelompok Perlakuan Tahun 2014
Rerata Kenaikan
Pengetahuan Pre-test 1 Post-test
Pre-test 1
Post-test
22,73
17,33
16,57
Sikap
21,77 4,25%
4,42%
Tabel 7 Uji Perbandingan Hasil Post-test1 dan Post-test 2 Pengetahuan dan Sikap tentang Kekerasan pada Anak serta Perilaku Asertif Siswa Kelas III SD Negeri Kota Magelang pada Kelompok Kontrol Tahun 2014 Post Pengetahuan 1 – Post Pengetahuan 2
t df Sig. (2-tailed
3,597 29 ,001
Pre Sikap1 – Post Sikap 2
7,319 29 ,000
23
24
Tabel 8 Uji Perbandingan Nilai Post-test1 dan Post-test 2 Pengetahuan dan Sikap tentang Kekerasan pada Anak serta Perilaku Asertif Siswa Kelas III SD Negeri Kota Magelang pada Kelompok Kontrol Tahun 2014
Rerata Penuruna
Pengetahuan Pre-test 1 Post-test
Pre-test 1
Post-test
17,97
16,60
15,17
Sikap
16,70 7,05%
8,63%
Hal ini artinya adanya perubahan pada retensi pengetahuan yang dialami responden pada saat menerima post-test 1 dengan pada saat melaksanakan post-test 2, dan perubahan itu signifikan (bermakna). Selanjutnya, perbandingan antara hasil posttest1 sikap dengan hasil post-test 2 sikap pada kelompok perlakuan dengan latihan perilaku asertif, bahwa hasil uji t = 5,139(db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,000 <0,05, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang bermakna dalam retensi sikap responden pada waktu post-test 1 dengan sikap responden setelah post-test 2 pada kelompok perlakuan dengan latihan perilaku asertif. Hal ini menunjukkan adanya perubahan pada sikap yang dialami oleh pada saat menerima posttest 1 dengan pada saat melaksanakan post-test 2, dan perubahan itu signifikan (bermakna). Lihat Tabel 6. Perbandingan antara pengetahuan responden didapatkan nilai rerata setelah pelaksanaan post-test 1 perlakuan latihan perilaku asertif sebesar 22,73 dan sesudah pelaksanaan posttest 2 nilai rerata 21,77, sehingga dapat dikatakan terjadi penurunan pengetahuan responden tentang kekerasan pada anak dan perilaku asertif sebesar 4,25%. Sedangkan perbandingan antara sikap responden didapatkan nilai rerata setelah posttest1 perlakuan sebesar 17,33 dan sesudah perlakuan latihan perilaku asertif nilai rerata 16,57, sehingga dapat dikatakan terjadi penurunan sikap responden tentang kekerasan pada anak dan perilaku asertif sebesar 4,42%.
24
25 Perbandingan Hasil Post-test 1 dan Posttest 2 dengan pada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan pelatihan perilaku asertif pada waktu sebelum menerima leaflet dengan sikap responden setelah menerima leaflet. Lihat Tabel 7. Dari tabel hasil pengolahan data perbandingan antara hasil post-test 1 pengetahuan responden dengan hasil post-test 2 pengetahuan pada kelompok dengan pada kelompok kontrol, yang tidak mendapatkan pelatihan perilaku asertif pada waktu sebelum menerima leaflet dengan sikap responden setelah menerima leaflet, bahwa hasil uji t = 3,597 (db = 29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,001 < 0,05, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang bermakna dalam retensi pengetahuan responden pada waktu post-test 1 pada kelompok kontrol yang tidak mendapatkan pelatihan perilaku asertif pada waktu sebelum menerima leaflet dengan sikap responden setelah menerima leaflet, pengetahuan responden setelah post-test 2 menggunakan memberikan leaflet. Hasil ini menunjukkan adanya perubahan pada retensi pengetahuan yang dialami oleh kelompok kontrol dengan diberikan saat menerima post-test 1 dengan pada saat melaksanakan post-test 2, dan perubahan itu signifikan (bermakna) pada responden. Lihat Tabel 9. Selanjutnya, perbandingan antara hasil posttest 1 sikap dengan hasil post-test 2 sikap pada kelompok kontrol dengan pemberian leaflet, bahwa hasil uji t = 7,319 (db =29, 5%) dengan nilai probabilitas 0,000 < 0,05, sehingga dapat dikatakan ada perbedaan yang bermakna dalam retensi sikap responden pada kelompok kontrol dengan pemberian leaflet, pada waktu post-test 1 dengan sikap responden setelah post-test 2. Hasil ini menunjukkan adanya perubahan pada retensi sikap yang dialami oleh pada saat menerima post-test 1 dengan pada saat melaksanakan post-test 2, dan perubahan itu signifikan (bermakna) pada responden kelompok kontrol dengan pemberian leaflet. Lihat Tabel 8. Perbandingan antara pengetahuan responden didapatkan nilai rerata setelah pelaksanaan post-test 1 kelompok kontrol dengan pemberian leaflet sebesar 17,97 dan sesudah pelaksanaan post-test 2 nilai rerata 16,70, sehingga dapat dikatakan terjadi penurunan pengetahuan responden tentang kekerasan pada anak dan perilaku asertif sebesar 7,05%. Sedangkan perbandingan antara sikap responden didapatkan nilai rerata setelah posttest 1 kelompok perlakuan dengan latihan perilaku asertif sebesar 16,60 dan kelompok perlakuan sesudah diberikan pelatihan perilaku asertif nilai rerata 15,17, sehingga dapat dikatakan terjadi penurunan sikap responden tentang kekerasan pada anak dan perilaku asertif sebesar 8,63%. 25
26 Rekapitulasi Hasil Pre-test, Post-test 1, Post-test 2 Pengetahuan dan Sikap pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol. Dari hasil pengolahan data di atas, maka dapat dikatakan bahwa peningkatan pengetahuan dan perbaikan sikap terhadap kekerasan pada anak dan perilaku asertif yang paling baik, didapatkan responden setelah mendapatkan perlakuan dengan melaksanakan latihan perilaku asertif, yang dibuktikan dengan persentase peningkatan yang lebih besar yaitu 58,97% dan 29,68, dibandingkan dengan peningkatan pengetahuan dan perbaikan sikap tanpa latihan perilaku asertif, hanya menggunakan leaflet yang hanya 24,19% dan 19,71. Selain itu, dengan melaksanakan latihan perilaku asertif penurunan retensi lebih kecil yaitu 4,25% untuk pengetahuan dan 4,42% untuk sikap, dibandingkan tanpa latihan perilaku asertif, hanya menggunakan leaflet yang mengalami penurunan retensi lebih besar yaitu 7,05% untuk pengetahuan dan 8,63% untuk sikap. Pemberian pengetahuan dan sikap mengenai kekerasan pada anak dan perilaku asertif yang diberikan dengan latihan perilaku asertif dapat lebih tahan lama di memori responden, dibandingkan dengan tanpa latihan perilaku asertif, hanya dibagikan leaflet. Dengan demikian hasil dari penelitian ini berarti bahwa, ada latihan perilaku asertif lebih efektif dalam mencegah kekerasan pada anak dibuktikan adanya perbedaan efektifitas yang bermakna antara kelompok perlakuan dengan perilaku asertif dan kelompok kontrol tanpa latihan asertif hanya pemberian leaflet saja, terhadap peningkatan pengetahuan dan perbaikan sikap tentang kekerasan pada anak dan perilaku asertif pada anak Sekolah Dasar Negeri di Kota Magelang, dimana pelatihan perilaku asertif lebih efektif daripada metode tanpa pelatihan hanya dibagikan leaflead, terlihat dari hasil pengukuran tingkat pengetahuan dan sikap masing-masing responden beberapa saat setelah diberikan perlakuan, bahkan tingkat pengetahuan dan sikap responden (retensi) setelah rentang waktu 1 (satu) bulan sesudah pemberian perlakuan. Tabel 9 Uji Perbandingan Rekapitulasi Pre-test, Post-test 1, Post-test 2 Pengetahuan dan Sikap tentang Kekerasan pada Anak serta Perilaku Asertif Siswa Kelas III SD Negeri Kota Magelang pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol Tahun 2014 Pengetahuan Perilaku Asertif Pre-test Post-test 1 Post-test 2 Leaflet Pre-test Post-test 1 Post-test 2
Rerata
Pengetahuan Naik/Turun Retensi +/-
Rerata
Sikap Naik/Turun Retensi +/-
14,30 22,73 21,77
58,97 (4,25%
13,37 17,33 16,57
29,68 (4,42%
14,47 17,97 16,70
26 24,19 (7,05%
13,87 16,60 15,17
19,71 (8,63%
27 PEMBAHASAN Karakteristik Responden Menurut Green (2000), karakteristik merupakan salah satu faktor predisposing yang mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia responden antara 8-9 tahun, sehingga bisa dikatakan bahwa responden merupakan sosok anak-anak yang tentunya belum banyak pengalamannya, beresiko mendapatkan perilaku kekerasan di lingkungannya dan belum berani untuk mengungkapkan ide, perasaan dan keinginannya bahkan untuk melawan, dengan diberikan pengalaman baru dalam pengetahuan dan pelatihan memberikan pengaruh yang baik pada perilaku anak. Perubahan perilaku responden dari belum mengenal perilaku asertif hingga perilaku asertifnya menjadi lebih baik dibandingkan dengan data pra-penelitian Syah (2005) mengungkapkan bahwa usia7 – 15 anak dalam tahap membina sikap terhadap diri sendiri, kelompok, atau masyarakat, belajar memainkan peran serta kesadaran atas kemampuan diri, sehingga pengetahuan dan sikap akan mudah diubah dengan memberi perlakuan yang sesuai kebutuhan mereka. Piaget seperti dikutip Syah (2005), belajar tahap ini cukup representatif mempengaruhi bagi usia-usia selanjutnya. Jadi perlakuan yang mampu meningkatkan pengetahuan dan pembentukan sikap yang benar terhadap kejadian kekerasan yang mungkin dialami pada fase umur tersebut, akan memberi pengaruh bagi responden terhadap perilaku asertif. Notoatmodjo (2005) juga menyatakan bahwa anak usia sekolah merupakan kelompok yang sangat peka untuk menerima perubahan atau pembaruan, karena kelompok ini sedang berada dalam taraf pertumbuhan dan perkembangan, sehingga setiap stimulus seperti bimbingan, pengarahan dan penanaman kebiasaan-kebiasaan akan diterima dengan lebih baik. Dikatakan Winkel (1999), dengan memperhatikan sikap, maka dapat dikatakan kita memperoleh kecenderungan untuk memilih,menerima atau menolak suatu obyek, berdasarkan penilaian terhadap suatu obyek sebagai hal yang berguna (positif) atau tidak berguna (negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sebelum seseorang mengambil suatu tindakan (action). Meskipun demikian, pemahaman dan pengetahuan mengenai suatu obyek yang terhadapnya akan diambil sikap, tetap memegang
peranan.
Dalam
hal
ini,
sikap
responden untuk mengubah perilakunya dalam upaya mencegah kekerasan juga 27
28 membutuhkan pengetahuan yang cukup mengenai kekerasan pada anak dan perilaku asertif. Perilaku asertif merupakan suatu bentuk keterampilan dalam salah satu upaya pedagogik, karena konsep pendidikan kesehatan pada keperawatan anak adalah juga konsep pendidikan yang diaplikasi pada bidang kesehatan (Dale, 1969), pengetahuan Responden tentang kekerasan pada anak dan cara mengatasinya. Hasil pengolahan data tahap pre-test pengetahuan, baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol menunjukkan bahwa seluruh responden tidak dapat menjawab seluruh pertanyaan mengenai pengetahuan dan sikap dengan benar, hal ini dapat dipahami karena memang seluruh responden tersebut belum mendapatkan pendidikan / penyuluhan mengenai upaya mencegah kekerasan pada anak. Namun responden juga ternyata mampu menjawab beberapa pertanyaan, yang dibuktikan dengan rata-rata jawaban yang cukup. Hal ini membuktikan bahwa sebelum diberi perlakuan pun responden telah / pernah mendapatkan informasi mengenai mencegah kekerasan pada anak baik dari guru, media massa atau sumber lainnya. Sesuai dengan hal tersebut WHO (1992) menyatakan bahwa pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman pribadi, guru, orang tua, buku, atau media massa. Hasil analisa terhadap rerata pre-test kedua kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna diantaranya, hal ini menunjukkan bahwa kemampuan / pengetahuan yang dimiliki responden relatif sama, atau dengan kata lain dalam penelitian ini semua responden yang akan digunakan berangkat dari pengetahuan yang sama tentang pencegahan kekerasan pada anak. Selanjutnya, hasil analisa rerata pre-test dan post-test dari kedua kelompok menunjukkan ada perbedaan yang bermakna diantaranya, hal ini menunjukkan bahwa ada kenaikan kemampuan / pengetahuan yang dimiliki responden setelah mendapatkan perlakuan, sehingga dapat dikatakan kedua metode yang digunakan dapat digunakan untuk meningkatkan pengatahuan responden. Hasil ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (1990) yang menyatakan bahwa dengan media dan metode promosi kesehatan, yaitu semua sarana atau upaya dan cara untuk menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik itu melalui media cetak, elektronika, maupun media luar ruang, dapat meningkatkan pengetahuan yang akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya kearah positif terhadap kesehatan.
28
29 Analisa terhadap perbedaan rerata pre-test dan post-test antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol menunjukkan perbedaan yang bermakna, dimana kenaikan kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kenaikan 58,97% dengan kelompok kontrol yang hanya 24,19%, sehingga dapat dikatakan latihan perilaku asertif lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan responden tentang mencegah kekerasan pada anak. Hasil tersebut dapat dipahami karena dibandingkan dengan kelompok kontro; dalam proses perlakuan, kelompok perlakuan mendapat pengalaman langsung atau pengalaman konkret dan menuju pada pengalaman yang lebih abstrak. Belajar akan lebih efektif jika dibantu dengan alat peraga daripada bila siswa belajar tanpa bantu dengan alat peraga. Hasil pengukuran retensi (penyimpanan) pengetahuan responden terhadap pencegahan kekerasan pada anak setelah 1 (satu) bulan didapati mengalami penurunan yang bermakna, pada dua kelompok, perlakuan maupun kontrol. Hasil ini senada dengan teori pendapat Winkel bahwa pada umumnya orang setelah belajar pertama kali, lupa dengan cepat, tetapi kemudian tidak begitu cepat. Gejala ini berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai “Kurva Lupa Ebbinghaus”, yaitu pada permulaan, retensi berkurang dengan cepat, tetapi kemudian pengurangan itu beransur-angsur mengecil (Winkel, 1999). Tetapi penurunan retensi kelompok perlakuan lebih kecil yaitu 4,25%,dibandingkan dengan penurunan retensi kelompok kontrol yaitu 7,05%, sehingga dapat dikatakan dengan latihan perilaku asertif pengetahuan responden tentang pencegahan kekerasan pada anak lebih bertahan lama. Kenyataan bahwa pengetahuan kelompok perlakuan lebih bertahan lama karena dalam proses perlakuan, kelompok perlakuan melibatkan indra responden yang lebih lengkap yaitu melihat, mendengar dan melakukan, dibandingkan dengan kelompok kontrol membaca leaflet saja. Dari hasil di atas juga memberikan implikasi terhadap kemampuan siswa (responden) dalam usaha pencegahan kekerasan pada anak oleh responden yang adalah siswa Sekolah Dasar kelas III. Dengan memperhatikan bahwa ternyata perilaku asertif lebih efektif untuk meningkatkan pengetahuan siswa tentang pencegahan kekerasan pada anak ini sehingga dalam kelanjutannya, kemampuan asertif ini dapat dikembangkan dan diimplementasikan dalam program pencegahan kekerasan pada anak.
29
30 Sikap Responden tentang kekerasan pada anak dan perilaku asertif. Hasil pengolahan data tahap pre-test sikap, baik kelompok perlakuan dengan perilaku asertif maupun kelompok kontrol tanpa perilaku asertif menunjukkan nilai yang hampir sama, hal ini dapat dipahami karena memang seluruhresponden tersebut belum mendapatkan pendidikan / penyuluhan mengenai pencegahan kekerasan pada anak dan perilaku asertif. Namun responden juga mampu menjawab beberapa pertanyaan, yang dibuktikan dengan rata-rata jawaban yang cukup. Hal ini membuktikan bahwa sebelum diberi perlakuan pun responden telah / pernah mendapatkan informasi mengenai pencegahan kekerasan pada anak dan perilaku asertif baik dari guru, media massa atau sumber lainnya.Hasil analisa terhadap rerata pre-test kedua kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna diantaranya, hal ini menunjukkan bahwa sikap yang dimiliki responden relatif sama, atau dengan kata lain dalam penelitian ini semua responden yang akan digunakan berangkat dari sikap yang sama tentang pencegahan kekerasan pada anak dan perilaku asertif. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek dengan cara tertentu, bentuk dan reaksinya dapat positif atau negatif. Untuk itu dalam proses pelatihan untuk mengubah sikap, kondisi belajar harus diperhatikan (Purwanto, 2004) Sejalan dengan hasil yang didapat, bahwa hasil analisa rerata pre-test dan post-test dari kedua kelompok menunjukkan ada perbedaan yang bermakna, hal ini menunjukkan bahwa ada perbaikan sikap yang dimiliki responden setelah mendapatkan perlakuan, sehingga dapat dikatakan kedua responden, baik yang dengan diberikan langsung latihan asertif mauun yang hanya mendapatkan leaflet dapat digunakan untuk memperbaiki sikap responden. Hasil ini sesuai dengan Notoatmodjo (1990) yang menyatakan bahwa dengan media dan metode promosi kesehatan, yaitu semua sarana atau upaya dan cara untuk menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik itu melalui media cetak, elektronika, maupun media luar ruang, dapat meningkatkan pengetahuan yang akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya kearah positif terhadap kesehatan. Analisa terhadap perbedaan rerata pre-test dan post-test antara kelompok perlakuan dengan perilaku asertif dan kelompok kontrol tanpa perilaku asertif menunjukkan perbedaan yang bermakna, dimana perbaikan sikap kelompok perlakuan lebih tinggi yaitu 29,68% dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya 19,71%, sehingga dapat dikatakan perilaku asertif lebih efektif dalam mengembangkan sikap responden tentang pencegahan 30
31 kekerasan pada anak. Hasil tersebut dapat dipahami karena dibandingkan dengan kelompok kontrol, kelompok perlakuan dengan perilaku asertif menjadikan pengalaman langsung atau pengalaman konkret dan menuju pada pengalaman yang lebih abstrak. Belajar akan lebih efektif jika dibantu dengan alat peraga dan diperagakan langsung daripada bila siswa belajar tanpa bantu dengan alat peraga. Sejalan dengan hasil yang didapat, Gredler (1986) mengatakan bahwa proses perubahan sikap dan tingkah laku (berperilaku asertif) itu pada dasarnya berlangsung pada suatu lingkungan buatan (eksperimental), peristiwa yang sengaja didramatisasikan, dan sangat sedikit sekali bergantung pada situasi alami (kenyataan), menghadapi peristiwa kekerasan di lingkungannya baik dari keluarga, teman dan lain-lain. Melengkapi hal tersebut Prabandarimengatakan bahwa dengan kondisi belajar yang tepat dimana 1) pelatih membantu peserta untuk mengenal dan menyadari sikap lama sebelum mengikuti pelatihan; 2) peserta diberi kesempatan untuk mengevaluasi sikap baru. 3) peserta diberi kesempatan untuk mencoba melakukan sikap baru mereka, sikap dan keyakinan responden dapat diketahui dengan cara menanyakan kepada orangnya dengan menggunakan pertanyaan atau skala. (Prabandari, 1994). Hasil pengukuran retensi (penyimpanan) pengetahuan responden terhadap pencegahan kekerasan pada anak dan perilaku asertif setelah 1 (satu) bulan didapati mengalami penurunan yang bermakna, baik pada kelompok perilaku maupun kelompok kontrol. Hasil ini senada dengan teori pendapat Winkel (1999) bahwa pada umumnya orang setelah belajar pertama kali, lupa dengan cepat,tetapi kemudian tidak begitu cepat. Gejala ini berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai “Kurva Lupa Ebbinghaus”, yaitu pada permulaan, retensi berkurang dengan cepat, tetapi kemudian pengurangan itu beransur-angsur mengecil. Meskipun sama-sama menunjukkan penurunan retensi yang bermakna, namun penurunan retensi sikap kelompok perlakuan lebih kecil yaitu 4,42%, dibandingkan dengan penurunan retensi sikap kelompok kontrol yaitu 8,63%, sehingga dapat dikatakan dengan perlakuan perilaku asertif, sikap responden tentang pencegahan kekerasan pada anak lebih bertahan lama. Gredler (1986) menegaskan bahwa proses perubahan sikap dan tingkah laku itu pada dasarnya berlangsung pada suatu lingkungan buatan (eksperimental) dan sangat sedikit sekali bergantung pada situasi alami (kenyataan). Penurunan tingkat retensi yang lebih rendah diperoleh karena dalam proses perlakuan, kelompok perilaku melibatkan indra responden yang lebih lengkap yaitu melihat, mendengar dan melakukan, dibandingkan dengan kelompok kontrol membaca leaflet saja. 31
32 Hasil ini juga memberikan implikasi terhadap perkembangan sikap siswa (responden) dalam pandangan, reaksi dan tindakan antisipatif pada perilaku asertif dalam proses pencegahan kekerasan pada anak. Perilaku asertif sedapatnya dikembangkan dan diimplementasikan pada setiap program pencegahan kekerasan pada anak karena memang terbukti efektif dalam menumbuhkan sikap yang lebih baik, khususnya pada siswa-siswa kelas III Sekolah Dasar Negeri di Kota Magelang.
Perbandingan Peningkatan Pengetahuan dan Perbaikan Sikap Responden dengan perilaku asertif dan pembagian leaflet. Usman (2005) menyebutkan bahwa keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh strategi dan metode serta alat bantu pembelajaranyang digunakan dalam proses pendidikan, untuk itu perlu didesain secara efektif.Yang dimaksud dengan efektifitas metode pelatihan yaitu tingkat keberhasilan yang dapat dicapai dari tujuan suatu program pelatihan dengan menggunakan sarana seefisien mungkin. (Lookwood, 1994) Indikator efektifitas dari suatu metode pelatihan adalah dapat mencapai hasil yang maksimal dengan menggunakan sarana yang minimal. Efisien diartikan dalam hubungan perbandingan antara input dan output dari suatu kegiatan.Hasil penelitian ini mendapati bahwa pembelajaran perilaku asertif berhasil memberikan sumbangan yang lebih besar bagi peningkatan pengetahuan dan perbaikan sikap yang positif responden terhadap pencegahan kekerasan pada anak yaitu 58,97% dan 29,68%, dibandingkan dengan tanpa pembelajaran perilaku asertif yang hanya 24,19% dan 9,71%. Sesuai dengan pendapat Usman yang mengatakan bahwa belajar yang efektif harus mulai dengan pengalaman langsung atau pengalaman konkret dan menuju pada pengalaman yang lebih abstrak, pembelajaran perilaku asertif yang diberikan oleh penulis, memberikan kesempatan kepada responden kesempatan mempraktekkan proses atau tahapan dari perilaku asertif dalam mencegah kekerasan pada anak. Dari hasil analisis juga didapati bahwa ternyata penurunan tingkat retensi pengetahuandan sikap terhadap kejadian kekerasan pada anak lebih kecil pada responden yang menggunakan perilaku asertif yaitu 4,25% dan 4,42; dibandingkan penurunan tingkat retensi yang lebih cepat apabila tanpa perilaku asertif yaitu 7,05 dan 8,63. Hal ini terjadi karena memang penggunaan perilaku asertif memberikan pengalaman langsung kepada responden bagaimana proses pencegahan kekerasan pada anak. Hasil di atas diperoleh karena memang metode dalam penyuluhan dengan menyajikan ide / pengertian yang telah dipersiapkan dengan teliti untuk emperlihatkan bagaimana cara melaksanakan suatu 32
33 adegan atau tindakan melalui prosedur yang benar, dengan menggunakan alat bantu yang tetap yang telah dipersiapkan yaitu simulasi perilaku asertif, dimana cara / metode mengajar ini dengan menunjukkan, memperlihatkan suatu proses, sehingga siswa dapat melihat, mengamati, mendengar, meraba dan merasakan proses yang dipertunjukkan oleh pendidik tersebut. Dengan metode ini proses penerimaan siswa terhadap pelajaran akan lebih berkesan secara mendalam, sehingga membentuk pengertian dengan baik dan sempurna. Senada dengan itu Winkel (1999)mengatakan bahwa semakin baik pengolahan materi (encoding), makin baik pula penyimpanannya (storage) sehingga makin baik pola proses penggalian dari ingatan. Ditegaskan oleh Usman (2005) bahwa penggunaan alat peraga multimedia yang relevan dengan tujuan pengajaran dapat meningkatkan hasil belajar sehingga lebih bermakna dan tahan lama. Green (2000) mengatakan banyak bukti bahwa kelanggengan perubahan kognitif (pengetahuan) dan perilaku bersifat proporsional terhadap tingkat partisipasi aktif daripada tingkat partisipasi pasif dari mereka yang belajar. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa perbedaan utama hasil penelitian adalah bahwa partisipasi siswa yang terjun langsung dalam kegiatan perilaku asertif menjadikan pengetahuan mereka meningkat dan perbaikan sikap siswa terhadap proses pencegahan kekerasan pada anak dengan retensi yang lebih tahan lama, dibandingkan tanpa pembelajaran perilaku asertif. Mempertegas hasil yang didapatkan, dikatakan Bloom (1988) dalam defenisi belajarnya yaitu perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman. Secara praktis dan diasosiasikan sebagai proses memperoleh informasi, menurut Kupferman belajar adalah proses dimana manusia dan binatang menyesuaikan tingkah lakunya sebagai hasil dari pengalaman. (Dale, 1969)
33
1
2
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Kegiatan-kegiatan awal berupa: 1) Langkah persiapan/rencana tindakan dari mengumpulkan data observasi awal, persiapan sarana dan prasarana, membuat program latihan asertif 2) Tindakan : mengkondisikan anak dalam suasana yang menyenangkan; menyusun program latihan bermain; menggunakan latihan asertif dimulai dengan membagikan kuesioner, menggunakan ceramah, simulasi resimulasi dan bermain peran 3) Observasi : mengamati perilaku asertif anak dalam kehidupan sehari hari, sebagai hasil keluaran kegiatan penelitian Tahap pertama. Adapun rencana tahapan berikutnya (untuk Laporan Akhir) yang akan peneliti lakukan meliputi: a. Lanjutan observasi dengan mengamati kejadian kekerasan pada anak sebagai hasil dari perilaku asertif dilanjutkan kegiatan post test. b. Refleksi akhir : analisis hasil yang didapatkan, diskusi dengan pihak sekolah : guru kelas/kepala sekolah, reduksi data c. Publikasi Ilmiah pada Jurnal Nasional non Terakreditasi/ terakreditasi d. Menghasilkan suatu Pengembangan Model Kegiatan Perilaku Asertif pada Anak SD.
latihan
3
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan didapat informasi bahwa di beberapa sekolah dasar di Wilayah Kota Magelang terdapat beberapa daerah yang rawan terhadap perilaku kekerasan namun belum didapatkan dari siswa untuk bersikap/perilaku asertif. 2. Berdasarkan
pada
kesimpulan
pertama,
diputuskan
untuk
mengembangkan model kegiatan latihan perilaku asertif 3. Berdasarkan hasil pada tahapan pengembangan model terbukti bahwa model yang dikembangkan dapat digunakan untuk mengajari anak kreatif mengungkapkan keinginan dan kebutuhan apa yang dimaksud dari perilaku kekerasan yang dialaminya sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak 4. Pengembangan model kegiatan bermain secara kongkrit telah menghasilkan modifikasi latihan asetif pada anak SD kelas III.
SARAN 1. Bagi fasilitator dan motivator dalam kegiatan latihan asertif harus benar-benar memahami prosedur kerja yang benar dalam menerapkan model kegiatan ini. 2. Karena pengembangan model kegiatan latihan asertif ini sangat berhubungan dengan tahapan dan tugas perkembangan anak, maka para pendidik perlu menyediakan waktu yang cukup bagi anak untuk bereksplorasi dalam rangka mencari dan menemukan sendiri kreatifitas anak melalui pengalaman langsung dan nyata. 3. Dalam penggunaan pengembangan model kegiatan bermain ini perlu dicermati secara berhati-hati. Perlu adanya penelitian lanjutan di
4
komunitas lain misal di lingkungan keluarga, kelompok khusus maupun di masyarakat. 4. Model kegiatan latihan asertif yang dikembangkan ini mampu mengembangkan potensi dan kreatifitas pada masing-masing anak. Oleh sebab itu, setiap pendidik dan fasilitator pendidikan anak di harus memahami prosedur, teknik, dan pemanfaatan yang benar dan tepat dari model ini sehingga diharapkan kreatifitas pada anak lebih baik dan meningkat. 5. Temuan dan hasil penelitian berimplikasi pada berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengembangan mencegah kekerasan pada anak baik formal, nonformal, maupun informal, instansi pemerintah serta non pemerintah yang turut bertanggung jawab terhadap perlindungan. Hendaknya berbagai pihak tersebut dapat menginformasikan hasil dan temuan dari penelitian ini. 6. Perlunya diselenggarakan bentuk-bentuk pertemuan ilmiah, pelatihan, workshop bagi para pemerhati pendidikan anak agar dapat mengimplementasikan pengembangan model ini dengan benar dan tepat.
5
DAFTAR PUSTAKA
DepKes RI. Pola Mengasuh Anak Sejak Umur 1 Tahun Sampai 6 Tahun. Jakarta Departemen Pendidikan Nasional. (2006). Kebijaksanaan dan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Dharma, K,K. (2011). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media. Einon, D,. (2004). Permainan Cerdas Untuk Anak Usia 2-6 Tahun.Penerbit Erlangga. Jakarta Farid. (2012). IMMC: Kekerasan Terhadap Anak Dominan Bermotif Eksploitasi Ekonomi & Seksual. http://atjehlink.com/immc -kekerasanterhadap-anak-dominan-bermotif-eksploitasi-ekonomi-seksual/
Hawadi, Akbar Reni. (2001). Psikologi Perkembangan Anak. Penerbit PT Gramedia. Jakarta Hasan Maimunah. (2001). Membangun Kreativitas Anak Secara Islami. Penerbit Bintang Cemerlang. Yogyakarta Nakita. (2005). Salah Asuh Anak Rapuh. Penerbit PT Gramedia. Jakarta