________________ kupersembahkan kepada ibu-ayah-kakak dan adik tercinta ______________
I) { r-
t-
j
j
(
i"J \)
j
v v
TINJAUAN EFEK BIOKIMIA WI DAN EFEK BIOLOGIS AFLATOKSIN
SKRIPSI
oleh YDHANNES RUSMANTD IRIANTD
B. 140329
I"AKULTAS KIEDOKTIERAN HKWAN INIITITUT PERTANIAN DOGOR U~.3
j
RINGKASAN YOHANNES RUSMftJ'lTO IRIANTO.
Tinjauan Efek Biokimiawi
dan Efek Biologis Aflatoksin (Di bawah birnbingan Dr. AISYAH GIRINDRA). Tujuan penulisan ini untuk rnengetahui efek biokimiawi dan efek biologis aflatoksin.
Tulisan ini
rnerupakan tinjauan pustaka. Aflatoksin adalah toksin yang dihasilkan terutarna oleh jamur Aspergillus flavus dan jamur Aspergillus parasiticus.
Selain itu dikenal juga beberapa spesies
lain dari Aspergillus, Penicillium. dan Rhizopus yang juga mampu menghasilkan aflatoksin. Ada empat macam aflatoksin yang pertama kali di kenal yaitu aflatoksin Bl • B2 • Gl • dan G2 •
Dari ke
ernpat macam aflatoksin ini, diketahui afle.toksin Bl merupakan racun yang paling toksik.
Banyak dipelajari
efek biokimiawi dan efek biologis aflatoksin Bl ini. Efek-efek biokimiawi afletoksin diantaranya metabolisme pada turunan atau derivat yang berinteraksi dengan khromatin, penurunan akti vi tas "template" dan penghambatan RNA polimerase, dengan akibat berkurangnya sintesis RNA dan penghambatan sintesis protein. Selain i tu a.flatoksin juga mempengaruhi sintesis DNA, pengikatan s.flatoksin terhadap DNA dan terh&.dap histone Daya racun aflatoksin ini disebabkan oleh kemampuannya
dalam menghe.mbet sintesis DNA.
Hal ini dikarenakan
oleh interaksi toksin dengen DNA sehingga metabolisme di dalam tubuh dihambat. Aflatoksin Bl sudah terbukti bersifat sengat tok sik terhadap hati berbagai spesies hewen, selain itu menusia juga sensitif terhadap aflatoksin, tetapi sen sitivitasnya tidak sama.
Itik adalah spesies hewan
yang paling peka terhadap aflatoksin dibandingken hewen lainnya, sehingga i tik dapat digunaken untuk mem buktiken toksisitas makenen dalam percobaen-percobaan biologis.
Tingkat kepekaen hewan dibedaken dalam tiga
kelompok yaitu, kelompok hewen sangat peka, peka, dan tahen.
Tingkat kepekaan masing-masing hewan terhadap
e.flatoksin ini diukur dengen LD50 (dosis letal lima puluh prosen). Karena begi tu eratnya hubungen antara aflatoksin dengen bahan
mal~enan
untuk manusia den hewan ternak,
maka penanganan yang .baik perlu di tingkatken.
TINJAUAN EFEK BIOKIMIAWI DAN EFEK BIOLOGIS AFLATOKSIN
S K RIPS I
Skripsi yang diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Institut Pertanian Bogor Fakul tas Kedokteran Eewan
1983
Judu1 skripsi
TINJAUAN EFEK BIOKIMIAWI DAN EFEK BIOLOGIS AFLATOKSIN
Nama mahasiswa
YOHANNES RUSHANTO IRIANTO
Nomor pokok
B. 140329
Te1ah diperiksa dan disetujui
Q;~J~
-
Dr. AISYAH GIRINDRPPembimbing
Tangga1
KATA PBNGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadira.t Allah Yang Maha kUasa, sehingga penulis dapat menyelescikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi ini merupakan salah
satu syara.t untuk memperoleh gelar Dokter ReV/an pada Fakul tas E:edokteran R eVlan, Insti tu t Pertanian Bogar. Pada kesempatan ini penulis terutam8 sekali mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya kepada ibu Dr. Aisyah Girindra selaku pembim bing penulis dari saat persiapan hingga selesainya skripsi ini.
Dan tak lupa ucapan yang sama penulis
sampaikan kepada semUa pihak yang telah banyak membantu penulis hingga selesainya tulisan ini. Kepada ibu, ayah, kakak, dan adik tercinta yang telah berdoa, memberi dorongan dengan penuh kesabaran dan kasih cinta hingga penulis dapat menyelesaikan semUa pekerjaan dan pelajaran sampai selesai, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Ay,birnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan banyak sekali kekurang an-kekurangannya.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi
semua pihak yang memerlukannya.
Bogor, Juni Penulis i
1983
DAFTAR lSI
Hal am an KA TA PEHGANTAR .................................................................. i Df~FTP..R
lSI .......................................................................... i i
DAFTAR GA1·1B_t! R .................................................................... i i i DP.FTAR TP.BEL ...................................................................... i v
BAB I.
P:S:ND.AHUTJUAN .................................................... 1
BAB II.
!'<,ACAH AFLATOKSIN DAN SIFAT-SIFATNYA
A. Hacam-macam Aflatoksin 1. Aflatoksin Bl , B2 , Gl , dan G2 •• ·6 2. Aflatoksin lainnya ••••••••.•••• 8 R. Struktur dan Sifat fisik Aflatoksin ................................................ 10 !lAB III.
BEBERAPA KELAINAN BIOnXIAWI AKIBAT AFLATOKSIN
1. RNA-DNA dalam sintesis protein •••• 17 2. Pengaruh Aflatoksin pada Tingkat Iv101ekuler .................................................. 19 BAB IV.
EFEK BIOLOGIS DARI AFLATOKSIN
1. Efek Biologis Aflatoksin Terhadap Hewan' ........................................ 27
2. Efek Biologis Aflatoksin Terhadap l":anusia .................................... 34 B1-.B V.
BEBERbPP. KEJADIAN DI INDONESIA ••••••• 36
EAB VI.
PLHE2IFSAAJI LABORATORIUfi ••••••••••••• 38
BAB VII.
PlNCEGAH.4N DMl DETOI[SIFIKASI PtFLA TOKEIJIf .................. oo ............... oo...
BAB VIII.
n~SIEPULPJi
D.4FTAR PUSTP.YcA
DP.N
SARA!~
4
••••••••••••••••• 51
................................................ ii
~
54
DAFTAR GAM BAR Gambar 1. Rumus struktur o.f1o.toksin B1 , B2 , G1 , dan G2 .•••••••••••••••••••••.••••••••• 13
2. Rumus struktur o.f1a.toksin HI' M2 , B
2a
, dan G ••••••• " ••.••... ,. ••••••••••••• 14 2a
3. Rumus struktur o.f1o.toksin GMI' GN 2 , B , 3 a.flatoksin Ro ' PI' Ql' H2 o.' dan GH 2a •••••• 15 4. Strutur komponen-komponen do.ri sel yang l1ideal ll
••••••••••••••••••••••••••
iii
18
DAFT/L"R TABEL Tabel
Hal am an
1. Jamur-jamur pengh8sil aflatoksin dan aflatoksin yang dihasilkan ••••••.••••.••.••••
7
2. Beberapa sifat fisik aflatoksinaflatoksin yang terpenting •••••••••••••••.••• 16
3. Perbandingan efek-efek aflatoksin Bl dengan aktinomi sin D ....•... ,................. 20
4. Profil ribosom akibat pengaruh aflatoksin Bl •• 25 5. Keracunan akut aflatoksin Bl pada beberapa spesies hewan ••.•.•••.•......•...••• 29
6. Dosis akut LD50 dari beberapa a.flatoksin terhadap anak i tik •.................•........ .30
7. Efek hepatotoksik aflatoksin pada hewan piara •.........•....................... 33
8. Pengaruh karbon dioksida (C0 2 ) terhadap produksi afla.toksin pada kacang tanah •••••••• 46
9. Pengaruh oksigen (02) terhadap produksi aflatoksin pada kacang tanah ••••••••••••••••• 47
iv
I. PENDAHULUAN Aflatoksin adalah toksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus.
Kata Aflatoksin datang dari
singkatan Aspergillus flavus toksin (A - fla - toksin). Hampir setiap macam komodi ti pertanian dapat dicemari oleh aflatoksin diantaranya beras, j agung , ikan asin, kacang-kacangan dan hasil olahannya, sedangkan makanan segar seperti buah-buahan segar dan sayursayuran segar tidak menunjukkan aflatoksin yang positif (HUSAINI dan DARWIN KARJADI, 1972). Jamur yang dapat menghasilkan aflatoksin pada umumnya berasal dari genus Aspergillus, terutama Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.
Selain itu
dikenal juga beberapa spesies lain dari Aspergillus, Penicillium, dan Rhizopus yang juga mampu menghasilkan aflatoksin (DIENER dan DAVIS, 1969). Pada tahun 1960 di Inggris, terjadi suatu
malape~
taka yang mengancam peternakan kalkun.
Lebih dari se-
ratus ribu ekor kalkun mati akibat
suatu penyakit
baru yang belum diketahui dengan jelas etiologinya, se hingga penyaki t tersebut dinamakan "Turkey X Disease". Ternyata penyakit ini tidak hanya menyerang kalkun saja, tetapi juga menyerang angsa, itik, ayam, domba, dan lain-la.in (GOLDBLATT, 1969). Pada mulanya hanya dikenal empat macam aflatoksin yai tu a.flatoksin Bl , B2 , G1' dan G2 •
Jumlah ini me-
2
-ningkat terus dan saat ini telah dikenal lebih dari sepuluh jenis aflatoksin, dan semuanya telah diketahui susunan kimianya.
Dari semUa j enis afla.toksin
yang diketahui, aflatoksin yang paling toksik adalah aflatoksin Bl (JAMES M. JAY, 1978). Af1atoksin Bl adalah hepatotoksin yang spesifik pada tikus, dan kebanyakan penelitian seCara biokimia yang sUdah dilakukan pada toksin ini hanya pada hati dengan menggunakan dosis tunggal.
Pandangan terbaru
terhadap efek-efek biokimia aflatoksin ada1ah metabolisme pada turunan atau derivat yang berinteraksi dengan khromatin, penurunan akti vi tas "template", penghambatan RNA polimerase, pengikatan terhadap DNA, pengikatan terhadap histon, dan juga mempengaruhi sintesis DNA, RNA, dan penghambatan sintesis protein. Aflatoksikosis adalah mikotoksikosis yang disebabkan oleh afla.toksin, yaitu metabolit yang toksik dari jamur Aspergillus flavus atau jamur lain yang juga. menghasilkan aflatoksin.
Biasanya aflatoksikosis
pada hewan terna.k terjadi karena mengkonsumsi ransum yang sUdah tercemar jamur-jamur penghasil aflatoksin seCara a1ami (HEATHCOTE: doom HIBBERT, 1978). untuk mGkanan itik,
nampak~ya
Khusus
tidak mungkin untuk
dapat mengontrol makanan itik yang sama sekali bebas dari aflatoksin (SCERIP'TO dkk., 1980). Geja1a klinis pada hewan ternak bervariasi menurut dosis toksin yang termakan, spesis hewan, umur,
3 j enis kelamin, keadaan kondisi tubuh,. komposisi makan an dan frekuensi memakannya (DAVIS dan DIENER, 1978). Tetapi pada umumnya hewan ternak akan memperlihatkan gejala klinis seperti anoreksia, ikterus, lemah, berat badan menurun, muntah-muntah, epistaksis dan kadangkadang konvulsi.
Jika kejadiannya akut, hewan tidak
memperlihatkan tanda-tanda klinis terlebih dahulu, tetapi hewan tiba-tiba mati (HILTON A.S. dkk.,1972). Perubahan patologi anatomi akibat aflatoksikosis dari berbagai macam organ antara lain : ha.ti membesar dan menjadi rapuh, ginjal dan limpa bertambah besa.r, bursa fabrisius dan timus pada unggas menjadi kecil sehingga kekebalan menjadi menurun dan mengakibatkan kepekaan terhadap infeksi beberapa penyakit. Perubahan histo-patologi pada. semUa jenis hewan ternak akibat aflatoksikosis, dapat dilihat pada hati dengan perubahan sebagai berikut : nekrosa dan haemorragis, fibrosis, regenerasi noduler, hiperplasia saluran empedu, vakuolisasi dan infiltrasi lemak, dan pembesaran sel hati.
Eiperplasi so.1uran empedu adalah
kerusakan histopatologi yang dapat diamati dan se18.1u ada (BUTLER W.E., 1969). Kejadian pa.da manusia akibat keracunan aflatoksin belum pernah dilaporkan sampai saat ini, tetapi PANG dan HUSAINI (1972) mendug8. kasus penderi ta karsinoma hati primer mempunyai hubune;an yang erat dengan kebiasa.an
4
penderi ta memakan makanan yang terkontaminasi af1atoksin, sedangkan kemiskinan atau taraf hidup rendah mempunyai andi1 terhadap kasus kanker hati (HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978). Karena begitu eratnya hubungan antara af1atoksin dengan bahan makanan untuk manusia dan hewan ternak maka penanganan yang baik per1u di tingkatkan.
Usaha
tersebut ia1ah mencegah tumbuhnya jamur sebe1um menghasi1kan af1atoksin.
Cara memusnahkan daya racun yang
paling memuaskan adalah dengan menggunakan ammonia, dan cara ini sUdah di terapkan un tuk menghi1angkan daya racun af1atoksin yang terdapat da1am bahan makanan ternak (HETZEL dan SUTIKNO, 1979). Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mempe1ajari efek biokimiawi dan efek bio1ogis af1atoksin.
II.
Y~CAM
AFLATOKSIN DAN SIFAT-SIFATNYA
Pada tahun 1960 terjadi suatu malapetaka yang mengancam peternakan kalkun di Inggris.
lebih dari se -
r8.tus ribu ekor kalkun mati akibat suatu penyakit baru yang belum diketahui dengan je18.s etiologinya, penyaki t tersebu t dinama.kan "Turkey X Disease".
Tetapi ke
mudian diketahui bahwa penyaki t ini tid8k hanya menyerang kalkun, tetapi juga
menyer?~g
angsa, ayam, itik,
domba dan lain-lain, dan ternyata penyebabnya adalah racun yang terdapat pada tepung kacang tanah dalam ransumnya (GOLDBLATT, 1969). Suatu peneli tian telah membuktikan b8hwa dalam ba han makanan yang terkontaminasi jamur Aspergillus fla-
Y£2 ada semacam substrat yang dihasilkan oleh jamur tersebut yang menghasilkan toksin, kemudian dikenal sebagai aflatoksin, singkatan dari Aspergillus flavus toksin (A - fla - toksin). Pada itik dan kalkun penyakit ini bersifat akut, dan di tandai dengan hilangnya raS8. napsu makan, dan lemahnya sayap-sayap.
Itik da.n kalkun yang terkena
penyalri t ini akan mati dalam waktu sa.tu minggu dengan gejala yang patognomonis pada kepala, leher dan k8ki. Leher hewan ini membengkok dengan kepa1a tertarik kebe1akang, serta kaki menju1ur.
Pada pemeriksaan post-
mortem menunjukkan adanya perdarahan dan pembengkakan gin j a1 (GOI,DBLATT, 1969).
6 A. MACAH-HACAM AFLATOKSIN
Susunan kimia aflatoksin yang dikenal pertama kaIi adalah aflatoksin jenis Bl , B2 , Gl , dan G2 yang da pat menunjuy.kan Warn a fluorresensi tertentu dengan si nar ultra violet. Aflatoksin yang dihasilkan diberi singkatan yang sesuai dengan penampakan fluoresensinya pada lempeng khromatografi.
Bila penampakan fluoresensinya biru di
beri singkatan B (blue); sedangkan bila berwarna hijau diberi singkatan G (green).
Atas dasar mobilitasnya
pada lempeng khromatografi lapis tipis (TLC) dengan silica-gel, diberi tambahan indeks menjadi Bl , B2 • Gl , dan G2 • Angka yang lebih kecil menunjukkan bahwa R f dari spot tersebut lebih besar.
Pada lempeng khroma-
tografi lapis tipis dengan fase stasioner silica-gel dan pelbagai macam eluen akan selalu didapat urutan mulai Rf terbesar sebagai El' B2 , Gl , dan G2 (DIENER dan DAVIS, 1969). Aflatoksin terutama dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.
Tetapi se
lain i tu ada beberapa jenis jamur lainnya yang diketa hui juga dapat menghasilkan aflatoksin.
Fada Tabel 1
dapat dilihat macam-maCam aflatoksin serta jenis jamur yang menghasilkannya.
7 Tabel 1. Jamur-jamur Penghasil Aflatoksin dan Afla.toksin yang Dihasilkannya
Jenis Jamur
MacaJll Aflatoksin
Kelompok Aspergillus flavus Asnergillus flavus
Bl
fl· flavus var. columnaris
B2
Gl
G2
Gl Gl
G2 G2
B2
fl· oryzae fl· parasi ticus
Bl
B2
Bl
B2
fl· parasi ticus var. globosus
Bl
B2
Spesies lain dari Aspergillus, Penicillium, dan lainnya Aspergillus niger
Bl
fl· wentii
Bl
fl· ruber
Bl
A. ostianus
Bl
fl. ochraceus
Bl
Penicillium puberulum
Bl
,r. variable ,r. freguentans
Bl
,r. citrinum
Bl
Rhizopus
§.E..
Bl
Sumber
DIENER dan DAVIS (1969).
Bl
B2
8 Adanya Aspergillus flevus pada behen makanan menunjukkan adanya pencemaran aflatoksin terhadap bahan pengan tersebut.
Dari 1390 isolat Aspergillus
flHVUS
di pelbegai negara, 803 maCam a.tau kira-kire 80% dari padanya menghasilkan aflatoksin, hal ini menunjukkan bahwa pencemaran aflatoksin tersebar luas di seluruh dunia (DIENER den DAVIS, 1969). 2. Aflatoksin lainnya /
turunannya
Selain aflatoksin Bl , B , Gl , dan G , dikenal 2 2 juga aflatoksin yang berasal dari air susu sapi perah yang mengkonsumsi ransum yang mengandung aflatoksin. Karena untuk pertama kali jenis aflatoksin ini dikete mukan dalam air susu, maka aflatoksin tersebut diberi nama aflatoksin H (M berasal dari kata "Vdlk").
Pada
percobaan yang menggunakan domba, menunjuJrJtan bahwa urin domba yang mengkonsumsi ransum yang mengandung aflatoksin ternyata juga mengandung aflatoksin jenis ini.
Aflatoksin N dihasilkan juga. dalam jumlah sedilti t
oleh jamur Asuergil1us f1avus.
GOLDBLATT (1969) meng-
atakan bahwa HOLZAPFEL dkk. te1ah berhasi1 mengisolasi aflatoksin N dari urin domba, yang kemudian dapa.t pula dibagi atas aflatoksin 1'11 dan a.flatoksin Me: yang masing-ruesing d"pat dianggap turunan deri aflatoksin Bl dan af1etoksin B2 •
9 Aflatoksin Ml dihasilkan juga oleh urin manusia yang mengkonsumsi mentega ka.cang tanah yang terkonta minasi aflatoksin dalam jumlah banyak (CAMPBELL dkk. 1970). Aspergillus flavus dapat menghasikan dua macam aflatoksin lain bila di tumbuhkan dalarn media aSam, yaitu suatu aflatoksin yang berfluoresensi biru dan hijau, tetapi mempunyai kepolaran yang lebih besar dengan daya racun yang jauh lebih kecil.
Aflatoksin
tersebut diberi nama aflatoksin B2a dan aflatoksin G a• . 2 CIEGLER dan PETERSON (1968) menunjukkan bahwa aflatoksin B2a dan aflatoksin G2a merupakan turunan dari aflatoksin Bl dan aflatoksin Gl yang reaksinya dikatalisis oleh asam, yai tu bentuk hemiasetal da.ri kedua aflatoksin tersebut di atas. JANES M. JAY (1978) menulis penampilan berbagai penampakan Warna fluoresensi dari macam-macam aflatoksin dengan sinar ultra violet pada lempeng khromatografi sebagai berikut Aflatoksin Bl dan B2
- biru (blue)
Aflatoksin Gl
-
Aflatoksin G2
- hijau kebiruan (green-blue)
Aflatoksin l'~l
-
Aflatoksin M2
- violet
hijau (green)
biru violet (blue-violet)
10 B. STRUKTUR DAN SIFAT FISIK AFLATOKSIN
Struktur aflatoksin Bl , B2 , Gl • dan G2 dapat di lihat pada Gambar 1. Kesemuanya berstruktur "Coumarine Lactone" dan "Bifuran", yang merupakan persenyaWaan berbahaya.
Aflatoksin B dapat dibedakan dari
aflatoksin G. berdasarkan struktur cincin siklopentanon pada aflatoksin B, yang diganti dengan struktur cincin 5-Valerolakton pada aflatoksin G.
Sedangkan
antara aflatoksin Bl dan aflatoksin Gl • terdapat persamaan yai tu adanya gugus vinilen pada gugus dihidrofuran yang tidak terdapat baik pada aflatoksin B2
ma~
pun aflatoksin G2 .(HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978). Aflatoksin-aflatoksin lain merupakan turunan dari ke-empat aflatoksin tersebut di atas.
Perbedaan-per
bedaan terletak pada adanya tambahan satu atau lebih gugus hidroksil pada molekul aflatoksin asal. Gambar 2. menunjukkan struktur aflatoksin Ml dan afla toksin B2a yang merupakan turunan dari aflatoksin Bl , serta aflatoksin M2 dan aflatoksin G2a yang merupakan turunan dari aflatoksin B2 dan aflatoksin Gl (HEATHCO TE dan HIBBERT', 1978). Dengan cara in vivo maupun in vitro, aflatoksin aflatoksin Bl' B2 , Gl' dan G2 depat diubah menjadi t~ runan-turunannya, an tara lain aflatoksin Gl"l' aflatok sin GM 2 • a.flatoksin B3 (parasiticol). aflatoksin Ro (aflatoksikol). aflatoksin Pl' dan aflatoksin Ql'
11
Aflatoksin t11 mempunyai daya raCun mcnyerupai aflatoksin B l •
Aflatoksin ini dapat diubah seCara in
vitro atau seCara kirnia menjadi af18toksin H , dan 2a aflatoksin Gl1 (HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978). Rumus 2a struktur dari aflatoksin-aflatoksin ini dapat dilihat pada Gambar 3. Para.si ticol adalah racun yang akut pada ana.k i tik hampir sarna dengan aflatoksin Bl , tetapi daya parasiticol hanya seperseratus kali daya racun aflatoksin Bl pada embrio ayam (ROBERT dkk.,1970). Beberapa sifat fisik dari aflatoksin dapat di lihat pada Tabel 2.
Dari Tabel 2 ini dapat dilihat
bahwa afleltoksin mempunyai titik leleh yang tinggi. Aflatoksin HI mempunyai ti tik leleh tertinggi yai tu 299 0 C.
Absorpsi maksimum panjang gelombang sinar ul-
tra violet ini serupa satu Sarna lain, yai tu pada 223, 265, dan 363 nm, sedangkan panjang gelombang emisi fluoresensinya adalah pada 425 nm untuk afleltoksin B dan 450 nm un tuk HIYAKI, 1969).
kelompo}~
aflatoksin G (AIBl',RA dan
Spektrum sinar infra merah dari semUa
aflatoksin yang paling kua.t adelIah pad a 1770, 1600, l 1570, dan 1310 cm- (HE.~T}jCOTl'; dan HIBBERT, 1978). Afla.toksin menunjukkan fluoresensi hijau deln biru yang karateristik bila dihadapll:an pada sinar ultra violet.
12
Pengurangan atau hilangnya absorpsi sinar ultra violet pada 363 nm, atau pengurangan fluoresensi pada lempeng khromatografi lapis tipis dapat digunakan se bagai ukuran tingkat perusakan aflatoksin.
Hasil
yang diperoleh dari kedua cara di atas tidak selalu S8.ma, bahkan dapat sangat berbeda (AIBARA 1969).
aan
lnYAKI,
Cara yang umum digunakan edalah care pengukur
an fluoresensi pada lempeng khromatografi.
0
0
0
0
0
..
~
0""-
~O"'-
I
'"
0
0 O/y
0
'-
GI
~
82
0
o
fl
o ~0 ~OCH3
/ , OCH 3
BI
;)
0
o
o
0 "'0
#'- OCH3
G2
Gambar 1. Rumua atruktur a£latoksin B1 , B2 , G1 , dan G2 dan HIBBERT, 1978 ).
(menurut HEATHCOTE
t:
0
0
0 J..J.
0
0
I
OH
Or
OH
~
~O-
......,
OCH 3
~ 0
MI
0
0
'./-I-
0
o
o B2A
/ , OCH 3
' M2
0
HO
0
0
0
HO
o
o GZA
t' Gambar 2. Rumus struktur aflatoksin MI' M2 • B2a • dan G2a HEATHCOT:B dan HIBBERT. 1978 ).
(menurut
15
o
o
Q
Aflatoksin GM
Aflatoksin Gl"l
o·
("
",'.';'
Aflatoksin B3
2
o
o
. , •. ":'
OH AI'Olo~
Ftc)
AllOtOl<m 0,
Aflatoksin Bo
o
Aflatoksin MZa
Gambar
Aflatoksin PI
Aflatoksin Ql
o
o
Aflatoksin G]I,2
a
3. Rumus struktur aflatoksin - aflatoksin GHI' G}~2' By Ro ' PI' Ql' M2a , dan GM 2a (menurut HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978)
o
Tabel 2. Beberapa Sifat Fisik Af1atoksin-Af1atoksin yang Penting AIl,doXIIl
Forfl1ul.,t'
Mol.wl.
CrysL:1ls
M.p. ("C)
Fluorf'!'cence
Di fu rc IC'OU nHlrocyc tOile n t(' nOlle J'eri(!s
(\,Jr,~O,
312 314 330 328 330
M:;\
C"H,~O~
3.f t>
Pale yellow White nl'r.dles Yellow pint('s Colourit'sS rectangular plntl's Colourless rectangular plnles Yellow rectnnltular plates
l\rJalnxicnl
C, .1f1~O~
:114
ColomlC's!';
3~~
Colourlrss nf'edlf's Culouri('s.!; nCl'dll!s Pair yt'II(IW Pnln yellow plntes Colourless r("cl:ln~lIl:lr plat£'s White White
II,
CI1HI1O~
II,
C.,H,,,O,, C, ,1I1~O,
H:
C,~H'1O,
M,
M,
2G7(cI) 303-306(cI) 240(<1) 299(cI) 293(cI) 248(cI) 1224--226 II 233(cI)
Blue Blue Blue
Rlue Blue
(;, .11, :0.
(;:
C, ,11.,0,
:1:10
n:a
C!;IJ,.O,
a·lf)
( ;1\1, Cr.l:
CI'!{11O~ C, ,1['40~
(;"1:;, B,
C,.II"O., C, ~f f I ~O,
344 3·1 () :102 :102
x 100
56 53 13 40 30
Turquoise
Blue
J )ifll ro('ou nlarola~1 Ollr serics
n,
II,.'
under UV
276
Turquoise Turquoise Turquoise
48 46 11 12
270--272 195(") 217
Turquoise Turquoise nlut!
,12
257-259 237--240 190(d)
Turquoise
"Solid phas£': Sitieil (~('I C. SOh'l'tll systell1: chlo(oronn mdll:mol (97 :3, v/v).
Sumber : HEATHCOTE, J.G., J.R. HIBBERT, 1978.
....
'"
III. BEBERAPA KELAINAN BIOKIt-!IAV!I AKIBAT AFLATOKSIN Aflatoksin Bl adalah hepatotoksin yang spesifik pada tikus, dan kebanyakan penelitian secara biokimiC! yang sUdah dilakukan pada toksin ini hanya pada hati dengan menggunakan dosis tunggal. Pandangan yang terbaru terhada.p efek-efek biokimiawi aflatoksin adalah metabolisme pada derivat atau turunan yang berinteraksi dengan khromatin, penurunan atau berkurangnya aktivitas "template" dan penghamba,i an RNA polimerase, dengan akibat berkurangnya sintesis RNA dan penghambatan sintesis protein.
Selain itu ju-
ga aflatoksin mempengaruhi sintesis DNA, pengikatan terhadap DNA, dan pengikatan aflatoksin terhadap histon. 1. RNA - DNA dalam Sintesis Protein
Berbagai struktur intrasel merupakan tempat akti vitas biokimiawi yang spesifik dari sel.
Identitas
dan fungsi- fungsi biokimi av.'i berbagai struktur in tr a sel ini telah
diselidi~~
dengan mikroskop elektron,
dengan histokimia, dan dengan tehnik yang mengikut se!: takan pemisahan dan sentrifuse atau pusingan berkecepatan tinggi. Di dalam organisme multi seluler jenis sel yang berbeda melakukan fungsi-fungsi khusus dari tiap jenis jaringan.
Akan tetapi gambaran tertentu biasanya ter-
18 dapat pada semUa sel eukariotik.
Semuanya mempunyai
membran sel, nukleus, dan sitoplasma yang mengandung organel-organel seluler dan protein yang larut YaI'lg penting untuk fungsi-fungsi biolr..imiawi. dak ada sel yang khas, Gambar
4
Walaupun ti
melukiskan struktur
intrasel pada umumnya. VesH::eJ Uembnn sci
pinositosis
r:7;-:;-?-;:.,..,."...---;~,~ Bad." Golgi
RcIIkulum .. endoplu.mjk
. Nukleul
Usosom
~it.okondrll
Nukleolul ScntroloOm
Membn.n inti
.'.. " ..
~:.: .•~. ....
Gambar 4. Struktur komponen-komponen dari sel yang "ideal" (menUrut HARPER dkk., 1979). Pada banyak sel, retikulum endoplasma dapat ditemukan dalam si toplasma.
Yang sanget erat hubung-
annya dengan permukaan sebelah dalam retikulum endoplasma adalah sejumlah granula yang kaya asam ribo nukleat (RNA) yang disebut ribosom.
Ribosom adalah
tempat sintesis protein dalam sel. Nukleu6 di tandai oleh i6i khromEltin yang pada.t yang mengandung 6ebagian be6ar
a6am deok6iribo-
19 nUk1eat (DNA).
Sedangkan nuk1eo1usnya yang berada di··
da1am nukleus banyak mengandung asam ribonuk1eat (RNA). RNA - DNA berperan utama da1am sintesis protein. Mekanisme sintesis protein secara sederhana dapat diterangkan sebagai berikut : Protein-protein dibangun di da1am
riboso~untuk
sintesis protein yang diper1u-
kan, DNA menyampaikan informasi kepada ribosom.
Kode
kode perintah atau informasi tersebut tercermin pa.da urutan dan pengu1angan basa-basa N yang teratur da1am DNA. RNA
m~A
yang menerima perintah dari DNA (messenger
= mRNA) ,
kemudian meningga1kan inti pergi ke ri-
bosom tempat penyusunan protein.
Untuk sintesis pro-
tein ini diper1ukan asam-aSam amino.
Transfer RNA
(tRNA) mengangkut aS8m amino yang diper1ukan sesuai dengan kode-kode pada mRNA.
Sete1ah mempero1eh aSam-
asam amino yang sesuai, maka tRNA beserta dengan asam amino bawaannya pergi menempel pada mRNA.
Setibanya
di ribosom asam-asam amino yang dibawa oleh tRNA disusun demikian rupa sehingga membentuk protein yang dikehendaki • 2. Pengaruh Af1atoksin pada Tingkat Ho1eku1er Dari penye1idikan bio1ogi mo1eku1er banyak dipelajari hal yang menarik, diantaranya pengaruh af1atok sin terhadap sintesis mRNA, sintesis DNA, pengikatan aflatoksin terhadap histon, pengikatan terhadap DNA, dan terhadap sintesis protein.
20
CIEGLER dan LILLEHOJ dalam AIBARA dan NIYAKI ( 1969) mencoba menyimpulkan perbedaan aksi aflatoksin B1 dengan aktinomisin D.
Mereka mengambil kesimpu1an bah
Wa banyak perbedaan antara dua komponen tersebut, diantaranya ten tang af1atoksin Bl yang mempunyai daya ikat yang 1ebih lemah pada DNA.
Tabel 3 memperlihat-
kan perbandingan efek af1atoksin Bl dengan aktinomisin D. Tabel 3. Perbandingan efek-efek aflatoksin Bl dengan aktinomisin D reaksi af1atoksin B1
Keadaan
Hambatan sintesis mRNA
+ (positip)
+
Pengikatan terhadap DNA
+
+
Nenghambat sintesis protein in ,!;llQ
-(negatip)
Hambatan sintesis DNA setelah hepatectomy
+
Hambatan sintesis protein da1am mikrosom
•
reaksi aktinomisin D
+
Interaksi dengan untaitungga1 DNA
+
Ikatan dengan DNA dipisahkan oleh garam
+
Pemisahan DNA kompleks oleh Sephadex G-50
+
Sumber
AIBARA dan
!'~IYAKI,
+
1969.
21 D.aya racun aflatoksin disebabkan oleh kemampuannya dalam menghambat sintes1s DNA.
Hal 1ni disebab-
kan oleh interaks1 toksin dengan DNA sehingga metabo 11sme di dalam tubuh dihambat (WOGAN, 1969). Jika tikus-tikus diperlakukan dengan 0,5 mg afla toksin Bl per kilogram berat badan, dan hewen d1bunuh 30 meni t kemuclian, maka akan dapat dilihat perubahanperube.han pada khromatin hati.
Aflatoksin BZ dalam percobaan-percobaan demikian tidak menunjukkan banyak interaksinya dengan khromatin.
Untllk menentukan apa
kah aflatoksin mempunyai aksi langsung terhadap enzim nya sendiri, RNA polimerase dari hewan-hewan yang di perlakukan d1inkubasikan dengan khromatin dari tikustikus yang tidek diperlakllkan atau dengan timus anak sapi.
Hasilnya menunjukkan bahwa khromat1nlah yang
diubah oleh aflatoks1n Bl dan bukan RNA polimerase ( SHANK R.C., 1972).
Perubahan ini hanya berlangsung
bila toksin tersebut diberikan pada hewan yang utuh (intact animal) dan tidak dapat diperlihatkan oleh penambahan aflatoksin pada s1stim transkripsi yang diperoleh seluruhnya dari t1kus-tikus YW1g tidak d1perlakukan; jadi dalam hal ini akan tampak bahwa afla toksin jelas dimetabolismekan pada interaksi khromatin selanjutnya.
Bagaimana kelanjutannya itu, masih be-
lum diketahui. Pada dosis 3,0 mg per kilogram berat badan, afla-
22 toksin Bl menghambat sintesis RNA, dan diperlihatkan oleh penurunan RNA de.lam hati tikus dala.m beberapa hari.
Bahkan lima hari setelah pemberian toksin, sin-
tesis RNA inti hati telah dihambat sebanyak 63%. Penghambatan demikian dapat juga diperlihatkan dengan segera pada penurunan rasio RNA/DNA hati.
Hal ini di-
duga karena toksin berinteraksi dengan DNA den mengurangi s:Ln tesis RNA yang tergan tung DNA. Hambatan RNA polimerase hati tikus tergantung dosis yang lebih dari batas dosis sUbletal aflatoksin Bl • Ada dUa RNA polimerase dalam :Lnti hati tikus, yaitu 1. RNA polimerase yang d:Lakti vasi oleh ion Hg++, se
huburigan uengan· sintes:Ls·RNA tipe ribosom 2. RNA pol:Lmerase yang d:Laktivasi oleh :Lon Hn++ dan ammon:Lum sulfat yang bertanggung jawab untuk pem bentukan RNA sejenis DNA (yaitu messenger RNA
=
mRNA) • Redua enzim tersebut dihambat oleh aflatoksin Bl • Dosis aflatoks:Ln Bl yang menghambat RNA polimerase yang ++ diaktivasi ion tr,g adalah 0,08 mg per kilogram berat badan, sedangkanenzim yang diaktivasi oleh ion Mn++ pada dos:Ls 0,065 mg per kilogram berat badan.
Dosis-
dosis in:L hampir sarna satu dengan yang lain, yaitu seperseratus (1/100) dar:L dos:Ls letal 50 (LD
) dan 50 dibawah t:Lngkat atau level nekrogenik (SHANK R. C., 1972). Selain i tu aflatoksin dapat diikat pada DNA timus
23 anak sapi (calf), yaitu berdasarkan pergeseran absorpsi maksimum dari 363 nm sampai 367 nm, hal ini tidak akan terjadi bila aflatoksin Bl dieampur dengan albumin serum dari sapi, histon timus anak sapi atau DNA yang telah dicampur DNA-ase pankreas. Berbagai konsentrasi aflutoksin dalam campuran tidak mempengaruhi persentase aflatoksin Bl yang dapat diendapkan, dan tampak bahwa in teraksi asam nukleat dengan aflatoksin berupa keseimbangan assossiasi - dis sossiasi.
Di hati, daya ikat aflatoksin pada asam
nukleat mencapai maksimum 6 sampai 18 jam dan menghilang lagi setelah satu minggu.
Jenis ikatannya tidak
berhasil ditentukan, sehingga tidak dapat dijelaskan mengapa aflatoksin Bl lebih karsinogenik dari aflatok sin G1 atau mengapa pada aflatoksin Gl hati dan ginjal lebih mudah terpengaruh terhadap induksi tumor (HEATR COTE dan HIBBERT, 1978). Studi perbandingan pengaruh aflatoksin Bl ig
~
dan in vitro pada sintesis asam nukleat dalam tikus dan mencit, memperlihatkan bahwa mikrosom hati mampu memetabolisme aflatoksin Bl
~
vitro bila terdapat
NADPH, menjadi bentuk aktif yang terikat pada DNA dalam larutan maupun dalam nukleus utuh, dan juga menghambat RNA polimerase.
Hambatan pada nukleus menei t
tidak seefektif pada tikus, sehingga diduga hal ini bukan karena kapasitas toksin yang lebih rendah, te-
24 tapi pada inhibisi sintesis RNA yang kurang efektif, dan oleh adanya mekanisme detoksifikasi, paling tidak pada fraksi sitosol.
Selanjutnya mikrosom tikus yang
sudah diperlakukan dengan pheno-barbiton, lebih efektif mengaktivasi aflatoksin Bl in vitro, menjadi meta boli t yang menghambat RNA polimerase.
Hal ini berbe-
da dengan keadaan in .tiJ!:.Q., yang malah melindungi inhiDiduga bahwa aflatoksin Bl bekerja in YiYQ, ter
bisi.
jadi terutama pada bagian luar membran inti yai tu dengan peningkatan aktivasi oleh mikrosomj
phenobar-
biton menurunkan jumlah aflatoksin Bl yang tersedia bagi reaksi inti. Riston berhubungan erat dengan DNA dalam khromatin dan juga mungkin berperan dalam pengendalian trans kripsi.
Ada dugaan bahwa mungkin histon berinteraksi
dengan aflatoksin seCara ill JL1.Y.Q..
Aflatoksin dapat
terikat pada protein sel dan serum. Aflatoksin Bl bila dicampur dengan his ton timus anak sapi tidak menunjukkan pergeseran spektrum, tetapi aflatoksin dapat terikat pada fraksi histon yang banyak kandungan lisinnya.
Struktur protein tidak
berubah, diduga situs ikatan aflatoksin bertambah bila ada histon.
Bagaimana interaksi aflatoksin - histon
sampai sekarang belum jelas (HE.ATHCOTE dan HIBBERT, 1978) •
Aflatoksin mempengaruhi sintesis protein dengan
25 mengadakan ikatan pada asam amino leusin sehingga asam amino tersebut tidak dapat menjadi bagian dari protein (HEATHCOrEE dan HIBBERT, 1978). VILLA-TREVINO dan LEAVER dalam HEATHCOTE dan HIB BERT (1978) memperhatikan aggregasi ribosom yang dipengaruhi oleh aflatoksin.
Aflatoksin Bl (0,3 mg per
IdIogram berat badan) murni disuntikan pada rongga pe ritonium tikus, kemudian tikus-tikus ini dibunub dalam jarak waktu tertentu, dan di teli ti profil ribosomnya. Hasil penelitian mereka dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4.
Profil Hibosom Akibat Pengaruh Aflatoksin Bl
Waktu setelab injeksi (jam)
Profil Ribosomnya
0,5
- tidak ada perubahan
3
- polisom direduksi, rnonosom dan oligosom meningkat - sarna dengan waktu 3 jam
12
36
mulai dengan re-aggregasi
72
- re-aggregasi hampir lengkap - normal
120
Sumber : HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978. Disaggregasi ribosom berhubungan dengan penghambatan sintesis RNA.
Kejadian ini diduga karena polisom ti
dak stabil, karena adanya interaksi aflatoksin dengan messenger RNA (mRNA).
26 Interaksi antara polisom·dengan membran retikulum endoplasmik hati tikus, diganggu oleh aflatoksin Bl • Aflatoksin terikat pada membran, menghancurkan granu lasi retikulum endoplasmik yang kasar.
Dipostulatkan
bahwa degranulasi mungkin mempengaruhi stabili tas mRNA sehingga mengganggu proses-proses sel.
Tidak j elas di
mana aflatoksin Bl i tu terikat peda membran, mungkin pada bagian proteinnya. Pada penelitian ultra struktural pada itik yeng hatinya rusak akibat aflatoksin, terlihat bahwa setelah satu jam, mitolehondria dan retikulum endoplasmik tampak normal, walaupun ada perubahan pada hepatosit dan kerusakan sel darah merah yang dapat terlihat dalam ruang Disse (yai tu da.erah antara plasmalemma hepatosit dan sel retikulum endotelial dalam sinusoidnya). Tiga jam kemudian sel darah merah terlihat dalam sito plasma dari hepatosit dan mitokhondria mengembung serta berlobulasi. Walaupun tampak bahwa efele biokimia primer dari aflatoksin Bl adalah pada RNA dan DNA, semua efele biokimia lainnya dapat diterangkan sebagai efele sekunder. Hasih bclllyak hal yang belum di teli ti dalam sel yang berhubungan dengan efek-efek biokirrda, terutama aflatoksin B2 , Gl , dan G2 •
IV. EFEK BIOLOGIS DARI AFLATOKSIN Aflatoksin sUdah terbukti bersifat sangat toksik terhadap hati berbagai spesies hewan, antara lain spesies mamalia, burung, dan ikan.
Selain itu manusia
juga sensitif terhadap aflatoksin, tetapi sensitivitas nya tidak sarna.
Itik paling peka terhadap aflatoksin
dibanding hewan lainnya, sehingga i tik dapat digunakan un tuk membuktikan toksisi tas makanan dalam percobaanpercobaan biologis.
Aflatoksin dapat terjadi pada
itik semua umur, tetapi gejalanya lebih jelas terlihat pada itik-itik mUda (ANONIMUS, 1981). 1. Efek Biologis Aflatoksin Terhadap Hewan
Geja1a yang ditimbulkan oleh aflatoksin ini bervariasi menurut dosis raCun yang termakan, jenis hewan, umur, ke1amin,. kondisi tubuh, komposisi makanan, frekuensi hewan mengkonsumsi aflatoksin dan 1amanya toksin ini berada da1am tubuh (DAVIS dan DIENNER, 1978). Tingkat kepekaan terhadap af1atoksin pada umumnya dinyatakan dengan satuan LD50 (Lethal Dose 50%), yai tu banyalrnya raCun yang dapat mematj.kan 50% dari jum1ah populasi dalam waktu empat hari. Menurut AIBARA dan NIYAKI (1969) tingkat kepekaan hewan dibagi atau dibedakan dalam tiga ke1ompok yaitu :
28 1.Sangat peka (LD
dari aflatoksin Bl seld tar 1 mg 50 per kilogram berat badan atau kurang) : anak itik, ikan trout, "guinea pig", kelinci, anjing, tikus mUda (anak tikus), kalkun.
2.Peka (LD
cukup tinggi, sampai sepuluh kali dosis 50 percobaan) : babi, tikus, kera, anak sapi, burung
kuau (pheasant),
ancl~
ayam, sebangsa berang-berang
(ferret), "hamster", sapi, cerpelai Amerika
(minl~),
burung puyuh, "Coho salmon", dan beberapa jenis anak ayam. 3.Tahan
(dapat men toleransi aflatoksin dosis
tinggi tanpa menunjukan gejala-gejala saki t
)
mencit (tikus kecil), dan domba. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh HILTON A. S. dkk. (1972), dimana tingkat kepekaan masing-masing heV/an terhadap aflatoksin diukur dengan LD
, walaupun spesies heV/an dan status gizi juga mem50 pengaruhi. Nilai LD50 dari aflatoksin Bl terhadap berbagai spesies hewan dapat dilihat pada Tabel 5.
Pada Tabel
ini terlihat adanya selang yang panjang pada dosisletal yang akut dari aflatoksin Bl , yang bervariasi dari 0,3 mgram per kilogram berat badan anak itik, sampai 17,9 mgram per kilogram berat badan pada tikus besar betina.
29 Tabel
5.
Keraeunan Akut Aflatoksin Bl pada Beberapa Spesies Hewan
Spesies
LD50 (mg per kilogram berat badan)
Anak itik
0,335
Kelinei
0,3
Kueing
0,55
Babi
0,62
Anjing
0,5 - 1
Guinea pig
1,40
Biri-biri
1,0
'l'ilms (besar) betina
17,9
Tikus (besar) jantan
7,2
Tikus keeil (menei t)
9,0
Hamster Embrio ayam
10,2 0,025 ug per embrio
Sumber : BU'rLER IV.H. (1974). Anak i tik bila diberi aflatoksin walaupun hanya sekali, pada hati sUdah menunjukkan pembengkakkan. ~osis
akut dari aflatoksin-aflatoksin pacta pereobaan
dengan anak itik dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Dosis Akut LD50 dari Beberapa Aflatoksin Terhadap Anak itik
Aflatoksin
Pelarut
LD
(mg per kilogram
50
berat badan) Bl
propilen glicol
0,560
Bl
dimetilformamida
0,364
B2
dimetilformamida
1,696
Gl
dimetilformamida
0,784
G 2
dimetilformamida
3,440
Sumber : AIBARA dan MIYAKI (1969). Berdasarkan Tabel 6 di atas, maka daya racun aflatoksin-aflatoksin akut relatif terhadap aflatoksin Bl dapat diperkirakan secara kasar sebagai berikut :
Aflatoksin HI mempunyai dnya racun yang kurang lebih Sama dengan aflatol<;:sin Bl terhadap anak i tik, demildan juga parasiticol (aflatoksin B
3
) mempunyai
da.ya racun yang akut pada anak i tik hampir sarna dengan aflatoksin Bl (ROBERT dkk., 1970). Hacun atau toksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus sangat berbahaya.
Hal ini terbukti dengan
banyaknya peneliti yang meneliti aflatoksin dengan menggunakan hewan-hewan percobaan.
31 Bila anak-anak i tik diberi ekstrak atau makanannya dicampur dengan pupukan jamur Aspergillus flavus maka aflatoksinnya menyebabkan kerusakan parenlffiim hati dan proliferasi saluran empedu.
Perubahan pada
saluran empedu diperlihatkan dengan adanya sel epi tel penutup atau sel-sel duktus saluran empedu yang kebanyakan mengalarni proliferasi yang hebat dengan di sertai pertumbuhan infiltratif ke dalam lobuli dan te nunan ikat interlobularis.
Sitoplasma dari sel-sel
ini kelihatan kebiru-biruan, inti menjadi hiperkhromatik dan vesikuler serta nukleolusnya membengkak. Biasanya di daerah-daerah dimana sel-sel epitel empedu berproliferasi secara rnenyolok, dis3Ila juga di temu kan pemben tUkan saluran empedu yang baru (IV/AN T. BUDURSO, 1975). GOPALAN C. (1970) melaporkan bahwa tikus dengan diet protein rendah diberi 50ug - lOOug aflatoksin per hari selama 18 hari sampai 25 hari mati ka.rena ke rusakan hati, sedangkan tikus dengan diet protein tinggi tetap hidup walaupun terjadi sediki t kerusakan pada hatinya. Aflatoksikosis pada ayam dapat merusak sistim retikulo endotelial (RES) (l.nCHAEL dkk. 1973). Selain itu juga memperlihatkan menurunnya laju pertum buhan (SNITH dan HAMILTON, 1970) dan menimbulkan pembesaran hati, limpa, pankreas, serta menyebabkan ukuran
32 bursa fabrisius dan timus berkurang masing-masing 30% dan 55%, sehingga dapat mengakibatkan menurunnya d£\ya kekebalan terhadap infeksi penyaki t (SMI1'H dan EAln LTON, 1970).
RONALD C. E,HANK, (1971) melaporkan kejadian afla toksikosis pada kera dimana dua puluh empat ekor kera mud a betina diberi aflatoksin Bl dalam dosis yang ber beda-beda, setelah 148 jam aflatoksin Bl ditemukan dalam otak, hati, ginjal, empedu, jantung, dan darah. Perubahan histopatologi dari kera-kera i tu digambarkan oleh HEYE sebagai EFDV (Encephalopathy and Fatty Dege neration of the Viscera ). Ternak yang menderita aflatoksikosis dapat menim bun aflatoksin dan metabolitnya pada hati, otot kerang ka, limpa, ginjal, dan jantung (NURTHY dkk., 1975). Gambaran histopatologi akibat keracunan aflatoksin Bl paling jelas dilihat pada kerusakan hati. Kerusakan atau perubahan pada hati, dapat dilihat pada Tabel 7. l'1enurut GFRALD (1969) hiperplasia saluran empedu ada18h kerU6akan histopatologik yang dapat dipakai 5e bagai petunjuk dan tanda dari aktivitas aflatoksin pada pengujian biologis i tik.
33 Tabel
7. Efek Hepatotoksik Aflatoksin pada Hewan Piara
Spesies hewan
1
2
3
4
5
+
+
6
Ji:erusakcm hati Nekrosa akut dan perdarahan Fibrosis kronis
+
+
Regenerasi nodul
+
+
Proliferasi buluh empedu
+
+
+
+
+
+
Lesio penyumbatan vena
t
Kerusakan sel-sel hati Hegalocyto sis
+
+
+
+
Pembesaran inti
+
+
+
+
+
+
+
0
0
Infil trasi sel radang Tumor hati
(+) = positip,
0
0
0
+
(-) = negatip, (0) = tidak ada data
Spesies hewan(l)
sapi, (2) babi, (3) biri-biri
(4) anak itik, (5) kalkun,
(6) anak ayam
Sumber : RUTH ALLCROFT, 1969.
34 2. Efek Biologis Aflatoksin 'ferhadap l"ianusia Peneli tian efek biologis aflatoksin banyak dilakukan pada hewan percobaan tikus dan kera. sangat mengejutkan para peneliti, karena dapat menyebabkan karsinoma hati.
Hasilnya aflatoksin
Karena i tu kemudian
perhatian tertuju kepada manusia. lc,enurut HIGGINSON dalam DARWIN KARJADI dan HUHILAL (1971)
dikatakan Indonesia termasuk salah satu daerah
penderita karsinoma'hati primer yang frekuensinya tinggi, diduga penyebab utama karsinoma hati primer itu adalah aflatoksin meskipun hubungan langsung belum diketahui. F • .11..0., I"I.H.O., dan UNICEF pada seminar di GeneVa beranggapan bahwa maldn miskin daerahnya, makin banyak makanan yang terkontaminasi, makin banyak pula terjadi karsinoma hati.
Survey terhadap 480 anak di Uganda
menunjukkan bahVla peristiwa karsinoma hati erat hubung annya dengen penduduk yang tinggal di daerah-daerah YClJlg makallallnya banyak terkontaminasi aflatoksin. Sedanekan DRANK (1970) melaporkan bahwa preva1ensi ke jadian karsinoma hati erat hubungannya dengan makanan yang di.jua1 di pasar. Sebanyak dua pu1uh anak kwashiorkor didapati men deri ta cirrhosis dan karsinoma hati pade-, tahun 1971 di India.
Diduga penyebabnya ada1ah af1atoksin
(F.A.O.,W.H.O., UNICEF., 1971).
35 PANG dkk. (1972) melaporkan bahwa kasus-kasus penderita karsinoma hati primer di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, mempunyai kebiasaan makan makanan yang mengandung aflatoksin hampir setiap hari dalam jangka waktu yang lama. Bila dibandingkan dengan bahan-bahan kimia yang dapat mengakibatkan kanker hati, maka aflatoksin merupakan bahan yang paling berbahaya.
Pada individu
yang kekurangan gizi, maka daya induksi kanker hati da ri af1atoksin menjadi semakin besar (HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978). Karsinoma hati akibat aflatoksin dapat dibedakan dari karsinoma hati akibat bahan kimia.
Karsinoma
hati akibat aflatoksin tidak diikuti dengan cirrhosis hati, sedangkan karsinoma hati akibat bahan kimia sela1u berhubungan dengan cirrhosis hati (HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978). Suatu komite yang disebut Protein Advisory Group badan kerja sarna F.A.O., W.H.O., dan UNICEF., pada konferensi yang diadakan pada tahun 1971 berkeputusan bahwa berdasarkan data-data yang dikumpulkan dari seluruh dunia, belum dapat diambil kesimpu1an bahwa af1atoksin dapat menyebabkan kanker hati pada manusia, walaupun pada binatang menunjukkan geja1a-geja1a yang positip (BUDIHARIONO B.).
V. BEBERAPA KEJADIAN DI INDONESIA Di Indonesia kasus aflatoksikosis pada hewan me.Upun pada manusia, belum banyak dilaporkan kej adian nya.
Walaupun demildan telah banyak di teli ti hal-hal
Ycmg diallggap banyak hubungannya dengan aflatoksin. Adanya pencemaran aflatoksin pada bahan pangan dilaporkan oleh ROEDJITO dkk. (1972), MUHILAL dkk. '+
(1972), dan o1eh HETZEL dan SUTIKNO (1979).
Mereka
me1aporkan adanya pencemaran aflatol{sin dalam kacangtanah, minyak kacang tanah, bungldl kacang tanah, oncom mentah, jagung, dan lain sebagainya.
Tetapi pa
da makanan segar seperti buah-buahan segar dan sayursayuran segar tidak ditemukan aflatoksin (HUSAINI dan DARWIN KARJADI, 1972). ROEDJITO dkk. (1972) meneliti aflatoksin dalam kacang tanah, minyak, bungldl dan oncom.
Af1atoksin
dalam kacang tanah dan hasil olahannya lebih tinggi dari batas yang diperbolehkan F.A.O.,W.H.O.,UNICEF. Hal ini dikarenakan sebagian besar bungldl dari pabrik minyak kacang tidak langsung dio1ah menjadi oncom. Suhu dan lembab nisbi di tempat penyimpanan memungldn kan pertumbuhan jamur penghasi1 aflatoksin sUbur. l'iUHILAL dkk. (1972) melaporkan pada oneom bungld1 kacang, di temukan a;Hatoksin yang mempunyai sifat toksin karsinogenik pada hewan pereobaan. Selanjutnya HETZEL dan SUTIKNO (1979) rneneliti
37 kandungan af1atoksin da1am jagung dan bungki1 kede1ai yang dibeli untuk ransum ternak di PPPT (Pusat Pene1i tian dan Pengembangan Ternak) Ciawi-Bogor.
Mereka
mendapatkan bahwa jagung se1a1u lebih banyak tercemari oleh aflatoksin dibandingkan dengan bungki1 kede1ai. SOERIPTO dkk. (1980) melaporkan ten tang sejarah, tanda-tanda k1inis dan pengamatan histopatologi dari due kelompok i tik-i tik yang sedang bertumbuh dan i tik pete1ur dimana i tik-i tik tersebut memper1ihatkan gejala k1inis, patologi-anatomi dan histopatologi yang menyerupai wabah af1atoksikosis.
Penyelidikan lain
di PPPT (sekarang BPT - Balai Penelitian Ternak). Ciawi-Bogor mendapatkan bahwa banyak makanan yang di berikan untuk itik-itik di Indonesia secara teratur terkontaminasi oleh aflatoksin (SOERIPTO, dkk. ,1980). PANG dan HUSAINI (1972) meneliti kejadian pada kasus penderi ta karsinoma hati primer di Rumah Saki t Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Nereka berpendapat
bahwa kemungkinan timbulnya kanker hati berhubungan erat dengan faktor kebiasaan makan-makanan yang ter kontaminasi aflatoksin dalam jangka waktu yang lama.
VI. PENERIKSAAN LABORATORIUM Untuk mengetahui ada tidaknya aflatoksin dalam bahan pangan, urine atau bahan lain yang dicurigai dapat kita lakukan pemeriksaan laboratorium. JOHES B.D. (1972) mengumpulkan beberapa metode yang dapat dipakai untuk analisis aflatoksin.
Sec a
ra umum prosedur yang biasa digunakan terdiri dari :
1. Fengambilnn contoh dan persiapan bahan untuk ana lisis 2. Defatting (penghilangan lemak) untuk bahan atau
contoh yang berisi lebih dari
5%
minyak
3. Ekstraksi - untuk bahan yang bebas lemak atau lernak rendah, metode yang digunakan :(1) prosedur TPI standar, (2) ekstraksi dengan akua-aseton, (3) ekstraksi dengan khloroforrn-rnetanol - un tuk bahan yang berupa minyak dapat rnenggunakan rnetode : (1) rnetode AOAC, (2) ekstraksi dengall akua -aseton, (3) metode B.F.
4. Pernurnian
el~strak
5. Pemekatan 6. Analisis dengan khrornatografi Lapis Tipis (TLC). Balai Penelitian Gizi Bogor, Laboratorium Bioltimia Gizi dalarn rnenganalisis aflatoksin biasa rnenggunalwn rnetode menurut PONS dkk. (1969).
Dalam tulis
an ini akan diberi con toh prosedur analisis dari bahan pangan dan contoh urine.
39 Analisis Bahan Pangan 1. Ekstraksi contoh
- 50 gram bahan dilumatkan memakai "waring blender" ditambah 250 ml aseton 70%, kocok dengan kecepat an 8000 rpm selama 10-15 menit - ekstrak disaring me1alui corong kaca, filtrat di tampung dalam gel as piala (250 ml) sebanyalr 150 ml. - ke dalam filtrat tambahlran 20% Plumbum Asetat dan akuades, panaskan dalam penangas air un tuk menguapkan sebagian aseton, dinginkan dalam tempera tur kamar lalu masukkan ke dalam tabung pemusing 250 ml, diputar dengan kecepatan 2000 rpm, selama 10 menit - filtrat dipindahkan ke dalam labu pemisah 250 ml, endapan dalam tabung pemusing dibilas dengan 60 ml aseton 20%, kocok dan endapkan kembali dengan
pusingan (sentrifuse) selama 10 menit; filtrat disatukan, sisa endapan dibuang. 2. Pemernian ekstrak
Pemurnian ekstrak adalah pemindahan partikelpartikel aflatoksin dari aseton ke khloroform (CHC1 ).
3
- ke dalam labu pemisah di tambahkan 50 ml khloro form, kocok 100 kali selama satu menit, biarkan terjadi pemisahan, 1arutan bagian bawah (CHC1 )
3
pindahkan ke dalam 1abu reaksi 500 ml me1alUi corong pemisah (cou1um chromatografi) yang di-
40 -beri penyaring "glass-woll" dibagian atas dan di tambahkan dUa sendok Natrium SuI fat anhidrat ( NazS0 ) 4 - ekstraksi diulangi dengan menambah 50 ml khloro-. form kedalam labu pemisah, dan seterusnya seperti di atas.
3. Pemekatan - filtrat (larutan CHC1 ) diuapkan dengan penguap 3 hampa (high Vacum evaporator) sampai volume tinggal Z - 3 ml, pindahkon ke dalam botol kecil (vial) di bilas dua atau tiga kali dengan satu ml khloroform, filtrat disatukan dan kemudian diuapkan dengan aliran gas Nitrogen (N 2 ) sampai kering atau mengkristal. 4. Analisis dengan Khromatografi Lapis Tipis (TLC) Hembuat lempeng kaca berlapis (TLC plate) - timbang 20 gram "Kiesel gel II atau silica gel GHF dan GHR disatukan, di tambahkan 45 ml akuades dalam gelas piala 250 ml, aduk atau campur selama 30 detik - masukkan ke dalam "Applicator set" untuk diluncurkan di atas lempeng kaca sehingga diperoleh ketebal an 0,5 mm, biarkan kering selama 1 jam, kemudian mS.sukan ke da1am penangas (oven) selama satu jam pada temperatur 105°C, setelah kering pindahkan ke dalam eksikator - bejana khromatografi diisi dengan 150 ml larutan
41 khloroform-metanol dengan perbandingan 97
3
(vlv) ,
- ke dalam botol keeil yang berisi ekstrak aflatok sin ditambahkan 500 ul (mikro liter) khloroform, - kemudian dibuat bereak-bercak (spot-spot) sebesar 5 ul dan 10 ul pada lempeng kaea berlapis silica gel, dan
dibuat bereak-bereak standar
aflatoksin Bl , B2 , Gl , dan G2 sebesar 5 dan 10 ul biarkan kering - dimasukkan ke dalam bejana khromatografi yang sudah disiapkan supaya terjadi pemisahan aflatoksin, biarkan merambat meneapai setengah bagian lempeng kaca (kurang lebih 14 em), kemudian ambil dan keringkan - lempengan kaea diletakan 20 em di muka reflektor lampu ultra violet, diobservasi dalam kamar gelap memakai sinar ultra violet (panjang gelombang 365 nm) - perhitungan dengan membandingkan besar bereak eontoh dengan bereak standar aflatoksin. Analisis Aflatoksin dalam Urine Mula-mula lakukan tes emulsi terhadap urine.
5 ml urine
dimasul~an
dalam tabung reaksi, kemu-
dian tambah 5 ml khloroform, kocok.
Apabila
sudah dikocok tidak terjadi emulsi, maka dapat
42 dilcl,ukan analisis langsung sebagai berikut :
- 30 ml urine dicampur dengan 50 ml khloroform dalam labu kocok, kocok sampai homogen, saring dengan melalui corong peroisah khromatografi yang diberi penyaring "glass-woll" dan dua sendok Natrium Sulfat Anhidrat (Na2S04)' dan tampung dalam labu pemisah - ekstraksi diulangi dengan menambah 50 ml khloroform ke dalam labu peroisah, dan seterusnya seperti di atas - filtrat diuapkan dengan penguap hampa (high Vacum evaporator) sampai volume bersisa satu sampai dUa ml, masukan dalam botol kecil (vial) - filtrat dikeringkan dengan gas Nitrogen (N 2 ) dan dalam penangas air, kemudian dilanjutkan dengan analisis khromatografi lapis tipis. Analisis dengan Khromatografi Lapis Tipis (TLC) - tambahkan 500 ul khloroform ke dalam vial atau botol kecil, kemudian dicampur agar larut - teteskan bercak-bercak sebesar 5ul dan 10 ul contoh pada lempeng kaca berlapis silica gel dan dibuat bercak-bercak standar sebeSar 5 ul dan 10 ul - masul,an lempeng kaca ke dalam sebuah bejana yang berisi campuran aseton-khloroform dengan perbandingan 22,5 ml : 127,5 ml; tunggu hingga tinggi cairan mencapai setengah tinggi lempeng kaca
43
- lempeng kaca berlapis silica gel diangkat dan dikeringkan - lempengan kaca disinari dengan lampu sinar ultra violet - perhitungan dengan membandingkan besar bercakcontoh dengan besar bercak standar aflatoksin. Apabila dalam tes emulsi pada pengocokan terjadi emulsi, maka penentuan aflatoksin dilakukan sama seperti pada bahan makanan.
VII. PENCEGAHAN DAN DETOKSIFIKASI AFLATOKSIN Akibat pertumbuhan jamur pada hasil-hasil pertanian menyebabl{an penurunan mu tu, terutama perubahan aroma rasa, keempukan, dan zat-zat gizi (ROEDJITO, 1971). Kon taminasi dapat dikon trol dengan mencegah tumbuhnya jamur atau detoksifikasi bahan pangan yang su dah tercemariaflatoksin.
Detoksifikasi sangat jarang
dilakukan karena kurang efisien.
Cara yang baik dan
banyak dipakai adalah dengan cara pencegahan, yaitu mencegah tumbuhnya jamur penghasil aflatoksin (HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978). A. Pencegahan
Kontaminasi pada bahan pangan oleh Aspergillus flavus dan jamur lain penghasil aflatoksin dapat ter j adi pada saat tanaman tumbuh, diwaktu panen, saat
penyimpanan dan saat pengolahan.
Karena besarnya pe
lUang terjadinya kontaminasi pada bahan pangan maka harus dihindari : (1) Infeksi jamur pada tanaman. (2) Kerusakan fisik dari hasil panen. (3) Pertumbuhan j amur selama penyimp an an , pengolahan, dan penyimpanan hasil olahan (HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978). Kacang tanah dan hasil olahanny.a banyak digunakan untuk kepentingan konsumsi manusia dan dipakai sebagai ransum makanan ternak, untuk itu MUHILAL dkk.
(197~)
menganjurkan usaha-usaha pencegahan tumbuhnya jamur
45 pada kacang tanah sebagai berikut 1.Bibit : yang sehat dan baik 2.Panen
secepat mungkin, setelah kacang tua
3.Pengeringan : secepat mungkin, sampai kadar air 8-9% (kacang tanah basah kadar airnya melebihi 50%) 4.Penyimpanan dan pengangkutan : kering dan cukup ventilasi 5.Membuang kacang tanah yang mempunyai ciri-ciri pecah-pecah, mengkerut/keriput dan berjamur. Cara ini harus diperhatikan pada pengolahan hasil kacang tanah. Kondisi yang mempermudah atau mempercepat pertumbuhan jamur Aspergillus sp. ialah suhu 20°C - 30°C, lembab nisbi lebih dari 80 persen dan kadar air bahan pangan yang-lebih tinggi dari 9 persen (GOLDBLATT, 1969).
Bila kadar air dalam kacang tane.h kurang dari
8 persen dapat diharapkan kacang tanah tersebut tidak terkontaminasi aflatoksin. Pengeringan kacang tanah dengan menjemur di. atas lantai semen dan dalam alat pengering selama beberapa hari dapat menurunkan kadar air sampai di bawah 8%, lalu kacang tanah disimpan dalam kaleng yang tertutup rapat dan pada penutupnya dilapisi lilin.
Cara
pengeringan dan penyimpanan kacang tanah seperti ini dapat mempertahankan kadar air di-bawah 9 persen se-
46 lama 18 sampai 20 minggu (NUHI1AL dan ROEDJITO, 1972). Pengaturan Karbon dioksida (C0 2 ), dan Oksigen (0 2 ) dapat menekan pembentukkan aflatoksin pada kacang tanah. Pengaruh Karbon dioksida terhadap produksi aflatoksin pada kacang tanah dapat dilihat pada Tabel 8.
Disini
terlihat pembentukan aflatoksin akan semakin berkurang apabila prosentase Karbon dioksida dinaikan.
Demikian
pula pada pengaturan O!l:sigen, dimana bila prosen tase Oksigen dikurangi, maka pembentukan aflatoksin akan mengalami penurunan.
Pengaruh oksigen terhadap pro-
duksi aflatoksin dapat dilihat pada Tabel 9 (HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978). Tabel 8. Pengaruh Karbon dioksida (C0 2 ) terhadap Produksi Aflatoksin pada Kacang tanah
Prosen tase gas Total aflatoksin (N 2 ditambahkan menjadi 100%) (ug per gr) CO 2 0.03 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 Sumber
O2 21.0 20.0 20.0 20.0 20.0 0.0 HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978.
299.38 74.55 35.42 19.82 0.10 0.01
47 Tabel 9. Pengaruh Oksigen (0 2 ) terhadap Broduksi Aflatoksin pada Kacang tanah
Prosentase gas (N 2 ditambahkan menjadi 100%) CO 2
O2
0.03 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
21.0 15.0 10.0 5.0 1.0 0.1
Total aflatoksin (ug per gr)
511.89 519.29 316.12 154.12 5.93 0.07
Sumber : HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978. B. Detoksifikasi Aflatoksin Detoksifikasi yang dimaksud disini adalah suatu cara yang dipakai un tuk mengurangi atau menghilangkan raCun atau toksin dalam bahan pangan yang sUdah tercemari jamur penghasil aflatoksin.
Banyak cara telah
dicoba untuk menghilangkan aflatoksin dari bahan pangan baik secara fisik, killlia, maupun secara biologi. Detoksifikasi lebih sesuai digunakan bila cara pengamanan sebelumnya tidak berhasil, karena cara ini kurang efisien dan tidak praktis.
Perlakuan detoksi-
fikasi aflatoksin yang terdapat dalam bahan pangan selain harus efektif menghilangkan aflatoksin, juga harus tidak boleh terlalu banyak mengubah sifat-sifat
48 bahan pangan i tu sendiri baik penampakan maUpun gizinya. Perlakuan fisik pada detoksifikasi banyak di teliti orang.
Aflatoksin peka terhadap sinar ultra -
violet dan tingkat perusakan aflatoksin dengan sinar ini tergantung pada konsentrasi aflatoksin, lamanya penyinaran, dan sifat dari pelarut yang digunakan. Walaupun aflatoksin peka terhadap sinar ultra violet, tetapi aflatoksin tahan terhadap sinar gamma (MARTH dan DOYLE, 1979). Aflatol~sin
mempunyai sifat tahan panas, titik
leleh (melt-point) aflatoksin 250°C - 270°C.
Pada
temperatur 60°C - 80°C, jumlah aflatoksin yang rusak hampir tidak ada, dan pada temperatur 100°C hanya se diki t sekali.
Laju perusakan aflatoksin dengan perna
nasan dapat dipercepat dengan menaikan temperatur dan waktu pemanasan. 'Pemanasan pada ternperatur 150°C selama satu jam, dapat menurunkan kadar aflatoksin sampai 70 persen untuk aflatoksin Bl dan 45 persen untuk aflatoksin B2 • Sedangkan pemanasan dengan "autoclave" pada temperatur
120°C, selama ,ernpat jam, dapat menurunkan kadar afla toksin sampai 96 persen. Ekstraksi dengan rnenggunakan campuran aceton, hexane dan air (56 : 42 : 2) dapat menurunkan kadar aflatoksin sampai 99 persen (GOLDBLATT, 1969). Ekstraksi dengan larutan sodium bicarbonat seCara ke
49 seluruhan dapat menghilangkan toksin dari bahan pangan, tetapi sekitar 33 persen protein ikut terekstraksi; larutan Kalsium khlorida dapat mengurangi aflatoksin sekitar 80 persen den protein yang ikut terekstraksi hanya 6 persen (HEATHCOTE dan HIBBERT, 1978). Detoksifikasi dengan menggunakan zat-zat kimia seperti Hidrogen peroksida, Amoniak, I'fJetilamin, Natrium hidroksida dan ozon cukup efektif, tetapi Cara tersebut selain dapat menghilangkan aflatoksin, menyebabkan pula penurunan kuali tas protein (ROEDJITO D. ,1971). Hidrogen peroksida sudah terbukti dapat merusak aflatoksin seCara keseluruhan (97 persen), tetapi ada kerugiannya yaitu bau dan raSa menjadi berubah kurangenak.
Pemakaian Hidrogen peroksida ini dikembangkan
oleh"Cen tral Food Technological Research Insti tut, j';ysore-India" • MUHILAL dkk. (1972) melaporkan bahwa detoksifikasi dengan Cara biologik telah dikemhangkan oleh VAN VEl-iN dkk. ,dimana mereka menggunakan jamur-jamur Neurospora sp. dan Rhizopus sp. yaitu jamur yang di gunakan untuk membuat oncom dan tempe.
Ternyata
jamur-jamur tersebut dapat menurunkan kadar aflatoksin masing-masing sebesar 50 persen dan 70 persen, ini bila bahan yang dipakai hanya mengandung sediki t aflatoksin.
Tetapi bila bahan yang digunakan telah tinggi
kandungan aflatoksinnya (misal 500 ppb) , maka masih
50 sekitar 30 persen - 50 persen aflatoksin yang tinggal. Hal ini masih berada di atas standar yang diperbolehkan menurut F.A.O., W.H.O., UNICEF, yaitu 30 ppb. ( ppb
= part
per billion, satuan aflatoksin dalam meg
per satu kilo gram bahan makanan). Kandungan aflatoksin yang tinggal dalam bahan ma kanan yang masih dianggap aman yaitu dibawah 30 ppb., sedangkan Federal Drug Administration (FDA) menetap kan di Amerika yai tu 20 ppb. un tuk makanan ternak, dan lima be1as (15) ppb. untuk konsumsi manusia (DOLLEAR,
1969).
VIII. KESIHPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Hasil penelitian dan survey di Indonesia menun-
jukan bahwa bahan-bahan makanan tertentu, ter kontaminasi oleh aflatoksin.
Hal ini disebabkan
oleh iklim dan kelembaban yang tinggi, pengolahan yang masih tradisional, dan kebersihan bahan makanan yang kurang baik. 2. RNA - DNA berperan utama dalam sintesis protein.
Aflatoksin mempengaruhi sintesis protein dengan mengadakan ikatan pada asam amino leusin sehingga asam amino tersebut tidak dapat menjadi bagian dari protein.
3. Aflatoksin Bl merupakan hepatotoksin yang spesifik pada tikus dan hewan lain, sehingga mengaki batkan perubahan-perubahan pada hati berupa ke rusakan atau lesio hati dan kerusakan sel-sel hati.
4. Hiperplasia saluran empedu adalah kerusakan histo patologik yang dapat diamati dan selalu ada, hal ini dapat dipakai sebagai petunjuk dan tanda dari aktivitas aflatoksin pada pengujian biologik.
5. Aflatoksin telah banyak menimbulkan masalah, untuk itu diperlukan pengawasan dan usaha pencegahannya teru tama pada bahan makanan yang akan dikonsumsi masyarakat dan ransum hewan ternak.
52
6. Cara detoksifikasi aflatoksin dengan menggunakan bahan-bahan kimia selain dapat menurunkan kandung an aflatoksinnya, tetapi juga dapat menurunkan nilai gizi bahan makanan tersebut. Saran 1. Hasil penelitian dan survey di Indonesia menun-
jukkan bahwa bahan-bahan makanan tertentu terkontaminasi oleh aflatoksin.
Jadi sUdah dapat
dipastikan penduduk Indonesia banyak yang meng konsumsi aflatoksin.
Untuk itu perlu kiranya
diperhatikan secara serius cara-cara pencegahan tumbuhnya jamur dan detoksifikasi toksin apabila bahan sudah tercemari.
Detoksifikasi lebih
sesuai digunakan bila cara-Cara pengamanan atau pencegahan sebelumnya tidak berhasil;
karena
cara ini kurang efisien dan tidak praktis. Cara yang baik dan banyak dipakai adalah dengan usaha pencegahan, yaitu mencegah tumbuhnya jamur penghasil aflatoksin. 2. Adanya aflatoksin dalam bahan makanan ternak
juga perlu kita perhatikan.
Penanganan yang
baik dapat mencegah kerugian ekonomi yang cukup besar, untuk itu disarankan hendaknya bahan makanan untuk ternak disimpan dengan benar, jangan menyimpan bahan terlalu lama di tempat yang lembab dan hendaknya secara periodik memeriksa tersebut.
bahan
53 3. Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam industri makanan,baik perusahaan yang telah menggunakan alat-alat yang mutakhir, maupun perusahaan kecil yang masih tradisionil, maju dengan pesat di negara Id tao
Sejalan dengan berkembangnya perusahaan-
perusahaan tersebut, hendaknya dilanjutkan peneliHan yang lebih mendalam ten tang aflatoksin; baik dalam bidang biokimia, biologi, maupun dalam bidang toksikologi dan patologinya.
54 DAFTAR PUSTAKA ANONnms, 1981. Penyakit-penyakit Penting pada Itik Dir. Keswan, Dirjen Peternakan, Departemen Per tanian, Jakarta. AIBARA, K. dan ~'IYAKI, 1969. Aflatoxin and Its Hadio sensivity, dalam Proceeding of Panel on The Ra diation Sensitivity of Toxins and Animal Poisons, Bangkoll:, 19-22 Nay, 1969. Bambang Budihariono. Aflatoxin, P.T. Indonesia Nuts Indonasia, Semarang, Indonesia. BUTLER, W.H., 1969. Aflatoxicosis in Laboratory Ani mals, dalam GOLDBLATT, L.A. (Ed.), Aflatoxin Scientific Background, Control, and Implications, Academic Press, New York. ___________ , 1974. Aflatoxin, dalam I.F.H. PURCHASE (Ed.), Mycotoxins, Elsevier Amsterdam. CAMPBELL, T. C. ,J.P. CAEDO, J • BULATAO , L. SfILANAT, dan R.Vi. ENGEL, 1970. Aflatoxin Hl in Human Urine, Nature 227 : 403-404. CIEGLEH, A. dan R.E. PETERSON, 1968. Aflatoxin Detoxification : Hydroxydihidro-Aflatoxin Bl , Applied Hicrobiology, 16 : 665-666. CIEGLER dan LILLEHOJ, dal am AIBARA dan MIYAKI, 1969. Aflatoxin and Its Radiosensitivity: Proceeding of Panel on The Radiation Sensitivity of Toxins and Animal POisons, Bangkok. DIENER, U.L. dan N.D. DAVIS, 1969. Aflatoxin"Formation by Aspergillus flavus, di dalam GOLDBLATT, L.A. (Ed.), Aflatoxin Scientific Background, Control, and Implications, Academic Pres3, New York.
55 DUNE1" U.L. dan N.D. DAVIS, 1978. Hycotoxins, di dalam L.R. BEUCHAT (Ed.), Food and Beverage t4ycology. Avi. Pub. Company, Inc. Connecticut. DOLLEAR,F.G., 1969. Detoxification of Aflatoxin in Foods and Feeds, di dalam GOLDBLATT L.A. (Ed.), Aflatoxin Scientific Background, Con trol, and Implications, Academic Press, New York. F.A.D.,W.ll.O., UNICEF., 1971. Food Nycotoxins and Human Morbidity, di dalam HUSAINI dan DARWIN K., Faktor Gizi terhadap Bahaya Afla toksin Karsinogenesis, Gizi Indonesia, vol.5 tahun 1973. GERALD N.W., 1969. Metabolisme and Biochemical Effects of Aflatoxins, di dalam GOLDBLATT L. A. (Ed.), Aflatoxin Scientific Background, Control, and Implications, Academic Press, New York. , GOLDBLATT, L.A., 1969. Aflatoxin Scientific Back ground, Control, and Implications, Academic Press, New York. "
GOPALAN C., 1970. Aflatoxicosis, The American Journal of Clinical Nutrition. 23 : 35. HILTON ATl';OHE Sr1ITH, JONES, Hm~T, 1972. Aflatoxins di dalam Veterinary Pathology, Philadelphia. HARPER H.A., V.W. RODWELL, dan P.A. MAYES, 1979.
Review of Physiological Chemistry, Edition 17 the lange l''!edical Publ. California.
HIGGINSON di dalam DARGN KARJADI dan ~lUl!ILA1, 1971. Hubungan Antara Aflatoksin dengan Primary Carcinoma Hati, Balai Penelitian Gizi.Unit Semboja - Bogor. HUSAINI dan DARl'lIN KARJADI, 1973. Faktor Gizi ter hadap Bahaya Aflatoksin Karsinogenesis, Gizi Indonesia, vol. 5, 1973. HEATHCOTE, JG. dan J.R. HIBBERT, 1978. Aflatoxins: Chemical and Biological Aspects, Elsevier Scientific Publishing Co., Amsterdam. HETZEL,J. dan 1. SUTIKNO, 1979. A Report on Aflatoxin Contamination in Local and Imported Corn and Soybean 14eal in West Java, Indonesia, Proceeding of Hicrobiological Aspects of Food sto rage and Processing in Tropical Asia, Dec. 1979 Cisarua. IWAN T. BUDIARSO, 1975. Aflatoksikosis pada Bebek Peking dan Bebek lokal dalam Peranan Nikotoksin di dalam bahan makanan dan masalah kesehatan di Indonesia, Balai Penelitian Gizi Unit SembojaBogor. JANES H. JAY, 1978. Iclycotoxins di dalam Nodern Food Hicrobiology, second edition, Wayne State Uni versi ty • JONES B.D., 1972. Nethods of Aflatoxin Analysis G-70 Tropical Products Institute - London. HARTH, E.H. dan 11.P. DOYLE, 1979. Update on Nolds : Degradation of Aflatoxin, Journal of Food Protection, ~ : 81-87. HICHAEL G.Y., P. THAXTON dan P.B. HAHILTON, 1973. Impairment of the Reticulo Endothelial Systiem of Chicken during Aflatoxicosis, Poultry Sci~n ce ..2.f. : 1206
57 MURTHY T.B.K., H. JE}1HALI, Y. HENRY, dan C. FRAYS BINET, 1975. Aflatoxin Residues in Tissues of Growing Swine : Effect of Separate and Mixed Feeding of Protein and Protein Free Portions of Diet, Journal of Animal Science ~:
1339. MUHILAL, D. KARJADI, dan D.D. PRAWIRANEGARA, 1972. Kadar Aflatoxin dalam Kacang Tanah dan Hasil Olahanya, Gizi Indonesia 2 : 87-93. l-lUHILAL dan D. ROEDJITO, 1972. Pengaruh Penyimpanan Kacang Tanah di Rumah Tangga Terhadap Kandungan Aflatoksin, Gizi Indonesia, ~ :
93-101. PANG R.T.L., dan HUSAINI, 1972. Hubungan Aflatok sin dengan Hepatoma, Penelitian Gizi dan Makanan
3. : 1-8.
PONS VI.A., dan L.A. GOLDBLATT,
1966.
Determina-
tion of Aflatoxin in Agricultural Products, The Journal of the Association of Official Analytical Chemist,
~
:
554.
RUTH ALLCROFT, 1969. Aflatoxicosis in Farm Animals, !ti dalarn GOLDBLATT, L.A. (Ed.), Aflatoxin Sci-. entific Background, Control, and Implications, Academic Press, New York. ROBERT D.S., dan \'IILLIAN K.R., 1970. Parasiticol: A New Metabolite from Aspergillus parasiticus, Journal Agr. Food Chem. la (3), 1970. ROEDJITO D., j';UHILAL, H.B.P. VlIROHUSODO dan DARWIN KARJADI, 1972. Aflatoxin dalam Kacang Tanah, l·jinyak, Bungkil dan Oncom, Peneli tian Gizi dan Hakanan
2 : 80-87, 1972.
ROEDJITO D., 1971. Aflatoxin dan l'iasalahnYa, Balai Penelitian Gizi Unit Semboja, Bogor. SHANK H.C., 1970. di dalam PANG R.T.L., dan HUSAINI Hubungan Aflatoksin dengan Hepatoma, Penelitian Gizi dan Makanan .:2 :1-8, 1972. __________ , 1971. Acute TOxicity of Aflatoxin B1 in the Macaque Monkey, Toxicology and Applied Pharmacology, Thailand, 20 : 227. _________ , 1972. l'letabolism and Biochemical Effects of Aflatoxins, dalam Proceedings of the Symposium on ~~ycotoxins and l~ycotoxicoses, Presented Hay 9, 1972, Columbia. SOERIPTO, D. KINGSTON, J. HETZEL dan A. LASMINI, 1980. Aflatoxicosis pada Itik-itik Indonesia, di da1am Risalah (Proceedings) Seminar Penyakit Reproduksi dan Unggas, 13-15 Maret 1980 di Tugu-Bogor. SMITH J.W., dan P.B. HAMILTON, 1970. Aflatoxicosis in the Broiler Chicken, Poultry Sci. ~ : 207
RIWAYAT HIDUP Penu1is di1ahirkan di Jakarta, pada tangga1 20 Oktober 1957 dari ayah bernama RJ. DJOJOUTOMO dan ibu SRI KUSJATI A.
Penu1is ada1ah anak ketiga dari
tujuh bersaudara. Pada tahun 1970 penu1is 1u1us dari SD DAMAI - Ja karta Barat, tahun 1973 1u1us dari SMP MAR SUD I LUHUR I Jogjakarta dan pada tahun 1976 1u1us dari SMA Negeri I Dumai-Riau Daratan. Penu1is masuk Institut Pertanian Bogor pada tahun 1977, tahun 1979 penu1is diterima menjadi mahasiswa Faku1tas Kedokteran Hewan.
Lu1us sebagai Sarjana Ke-
dokteran Veteriner pada tangga1 28 januari 1982. Pada tangga1 15 Februari 1982 penu1is mu1ai Ko - Asisten untuk mencapai ge1ar Dokter Hewan.