KO M U N I TA S K R E AT I F MEMANFAATKAN EKSPRESI KREATIF UNTUK PERENCANAAN DESA YANG INKLUSIF
KEGIATAN, PENCAPAIAN & PEMBELAJARAN
Tentang Komunitas Kreatif II Komunitas Kreatif II (KK II) adalah program yang mengunakan pendekatan kreatif untuk merangsang partisipasi masyarakat setempat, khususnya mereka yang miskin dan terpinggirkan, untuk berpartisipasi aktif dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan proses perencanaan pembangunan desa lainnya. Lokasi program dipilih berdasarkan indikator kemiskinan dengan tingkat partisipasi rendah. KK II ini dilaksanakan oleh Yayasan Kelola pada April 2013 – Maret 2015, dengan dukungan dari Fasilitas Pendukung PNPM (PSF). Sejumlah kajian menunjukkan bahwa perluasan cakupan PNPM Perdesaan pada tahun 2007 memberikan tantangan tersendiri pada
Komunitas Kreatif menciptakan ruang nyaman melalui suasana kreatif dan informal, di mana setiap orang merasa mampu untuk bersuara. Dalam ruang ini, masyarakat percaya bahwa aspirasinya berharga, sehingga berani mengutarakan pendapatnya.
proses fasilitasi. Selain cakupan wilayah yang menjadi lebih luas, di lokasi PNPM atau program pendahulunya, Program Pengembangan Kecamatan (PPK), masyarakat juga mengalami kejenuhan terhadap forum musyawarah yang berulang sehingga antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi berkurang. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya masukan dari masyarakat, terutama masyarakat miskin dan terpinggirkan. Evaluasi Dampak PNPM Perdesaan (2012) menyerukan upaya baru untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dan memastikan keterlibatan masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan.1 Hal ini menjadi latar belakang pengembangan Komunitas Kreatif II oleh PSF. Rancangan program Komunitas Kreatif II (KK II) ditarik dari pembelajaran terhadap Komunitas Kreatif I (KK I), sebuah program pilot yang dilaksanakan pada tahun 2007, yang juga menggunakan pendekatan kreatif untuk mendukung PNPM dan pemberdayaan masyarakat. Komunitas Kreatif II berfokus pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan desa melalui ekspresi kreatif kolektif, dengan metode fasilitasi yang menarik sehingga mudah bagi semua orang untuk bergabung. Melalui Proses Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment Process atau CEP), KK II mengunakan metodologi Teater untuk Pembangunan dan Video Partisipatif untuk membantu warga desa menyuarakan aspirasi dan masukan mereka terhadap perencanaan desa. Fasilitator melatih anggota masyarakat untuk menjadi Kader Pemberdayaan Komunitas Kreatif (KPK) sehingga mereka mampu untuk memberikan fasilitasi dan menstimulasi partisipasi aktif proses kreatif kelompok dalam membahas permasalahan yang dihadapi. Masyarakat kemudian secara kolektif menganalisa permasalahan dan menentukan aspirasinya, lalu mengekpresikannya dalam bentuk naskah teater maupun video pendek yang diproduksi sendiri. Hasilnya dipertontonkan di depan forum masyarakat dan pemerintah daerah, untuk nantinya digunakan sebagai dasar untuk membuat strategi penyelesaian masalah. Selain itu, Komunitas Kreatif juga memberikan hibah kepada individu maupun organisasi berbasis masyarakat yang menjalankan kegiatan kreatif yang selaras dengan tujuan program, antara lain Jatiwangi Art Foundation, Kuningan, Jawa Barat yang melalui kegiatan video telah berhasil dalam menyampaikan pesan kepada pemerintah desa dan PNPM Generasi mengenai pola hidup sehat bagi ibu hamil dan anak. Selain itu, Lite Institute di Bali juga menerima hibah dan mengajak masyarakat untuk mengetahui dan memahami Undangundang No. 6 Tentang Desa 2014 (UU Desa) melalui festival desa.
Voss, J. 2013. Evaluasi Dampak PNPM Perdesaan April 2012. Jakarta, Indonesia. Fasilitas Pendukung PNPM (PSF).
1
KO M U N I TA S K R E AT I F
Masyarakat terlibat dalam lokakarya teater dan video. Melalui proses kreatif, mereka memetakan permasalahan dan kebutuhan mereka. Berdasarkan temuan, mereka kemudian menyusunnya dalam bentuk naskah teater maupun video pendek dan mempresentasikan hal tersebut kepada khalayak luas untuk mendapatkan umpan balik.
Rencana awal Komunitas Kreatif meliputi percobaan dari mekanisme penyampaian program di Tahap 1 (Persiapan dan Percobaan) di 3 kecamatan selama 1 tahun, dan kemudian memperluas kegiatankegiatan tersebut di Tahap 2 menjadi 50 kecamatan untuk menguji skalabilitas selama 1,5 tahun berikutnya. Dikarenakan transisi PSF2, maka kegiatan Komunitas Kreatif didesain ulang menjadi Tahap 1 (April 2013 – September 2014) dan Tahap 1 Perpanjangan (Oktober 2014 – Maret 2015) dengan cakupan area menjadi 24 kecamatan serta jangka waktu yang lebih pendek, yaitu 6 bulan.
dilenggarakan oleh PNPM Perdesaan dan PNPM Generasi. Lebih dari 2.700 anggota masyarakat terlibat sebagai penonton. Tahap 1 Perpanjangan dilaksanakan di 33 desa di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Bali dan Jawa Barat. Sebanyak 1.055 anggota masyarakat (546 wanita 476 laki-laki) menjadi anggota teater maupun terlibat dalam kegiatan video. Kegiatan ini didukung oleh 24 fasilitator dan 24 KPK yang dilatih untuk memberikan fasilitasi dengan pendekatan kreatif. Pada Tahap ini, 72 kegiatan teater dan video dilaksanakan dan menarik 9.600 penonton termasuk pelaku PNPM dan tokoh desa. Sebagai tambahan, 6 hibah diberikan kepada organisasi lokal dan individu untuk mendukung sosialisasi Undang-undang Desa dan PNPM Generasi untuk meningkatkan kesadaran kesehatan dan nutrisi. Kegitan hibah mengjangkau 422 anggota masyarakat sebagai penerima manfaat langsung. Dalam seluruhnya, kurang lebih 16,000 anggota masyarakat terlibat secara tidak langsung.
Tahap 1 membangun dan mencoba rancangan penggunaan pendekatan kreatif dalam mendukung partisipasi di PNPM. Kegiatan ini diujicobakan di 13 desa di 3 provinsi, yaitu: Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat dengan 1009 orang dari penerima manfaat langsung dari kegiatan teater dan video serta hibah yang dilaksanakan dalam 17 acara dan dialog budaya yang
C B
F D
A
A. NTB (Video Partisipatif dan hibah) B. Sulawesi Selatan (Teater untuk Pembangunan dan hibah) C. Kalimantan Barat (Teater untuk Pembangunan, Video Partisipatif dan hibah)
E
D. Bali (Teater untuk Pembangunan dan hibah) E. NTT (Video Partisipatif dan hibah) F. Jawa Barat (Teater untuk Pembangunan, Video Partisipatif dan hibah)
Menjelang akhir Komunitas Kreatif Tahap 1, PSF sedang melalui transisi untuk memberikan dukungan yang lebih terintegrasi terhadap strategi pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat. Sebagai bagian dari perubahan ini, PSF direncanakan untuk mengalihkan tanggung jawab pengawasan dari beberapa program, termasuk Komunitas Kreatif, dari Bank Dunia kepada Managing Contractor yang dikontrak oleh Government of Australia Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT). 2
KO M U N I TA S K R E AT I F
Pencapaian Gambaran Umum •
•
•
•
2. Memberdayakan masyarakat desa untuk mendapatkan solusi secara kolektif
Kegiatan dilaksanakan di 44 desa di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bali, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. 1.261 anggota masyarakat menjadi penerima manfaat langsung sebagai peserta di 27 kelompok CEP, di mana 54% di antaranya adalah wanita. Kelompok CEP berkonsultasi dengan anggota masyarakat, menyiapkan dan mempresentasikan 89 pertunjukan teater dan video yang disaksikan oleh lebih dari 12.300 orang, termasuk masyarakat, fasilitator PNPM Perdesaan dan Generasi, perangkat desa dan kecamatan. 14 oranisasi berbasis masyarakat dengan 1.225 anggota (setidaknya 48% anggotanya wanita3) di 20 desa menerima hibah untuk menggunakan pendekatan kreatif untuk merangsang partisipasi dip roses pembangunan desa, mendukung pesan kesehatan dan pendidikan PNPM Generasi atau meningkatkan kesadaran atas UU Desa.
Sebelum KK
1. Pendekatan-pendekatan kreatif memiliki kemampuan untuk melibatkan masyarakat terpinggirkan, miskin, kaum wanita dan juga para pemuda Pendekatan kreatif yang digunakan di KK II sangat efektif dalam melibatkan masyarakat terpinggirkan, miskin, kaum wanita dan juga para pemuda. Walaupun 87% fasilitator dan kadernya laki-laki (umumnya karena hambatan partisipasi wanita). Namu lebih dari setengah penerima manfaat langsung dari kegiatan CEP adalah wanita. Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan ini tepat untuk partisipasi wanita. Selain itu, pada Tahap 1 Perpanhangan, 43 % pesertanya merupakan masyarakat miskin, 72 % terpinggirkan4 dan 56 % adalah pemuda di bawah 35 tahun. Pemuda bukan merupakan target Tahap 1, tetapi hasil menunjukkan bahwa mereka sering tidak dilibatkan dalam proses perencanaan desa, dan mereka tertarik untuk mempelajari teknologi baru (video) dan berhasil tergabung dalam tahap perpanjangan
53
22
9
6
39
31
.08%
.02%
Tidak melakukan apapun
.41%
.1%
Berdikusi dgn teman/ tetangga
.62%
.28%
Mendiskusikan dalam pertemuan masyarakat
4
.81%
18
.05%
Lainnya
4
.08%
5
.56%
Tidak tahu
3. Dampak terhadap individu Grafik berikut menunjukkan hasil survey persepsi penerima manfaat mengenai manfaat Komunitas Kreatif. Komunitas Kreatif efektif dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, yang didefinisikan dengan meningkatnya kepercayaan diri, kemampuan untuk mengekspresikan diri, dan menguatnya jejaring.
52.4%
Lebih percaya diri
38.2%
Memperoleh keahlian/pengetahuan baru
31.4%
Memahami situasi di desa dengan lebih baik
34.5%
Mempelajari cara baru dalam mengekspresikan aspirasi
12.6%
Lebih memahami hak-hak untuk berpartisipasi pembangunan desa
19.5%
Memperoleh ruang dan rekan diskusi untuk mengemukakan pendapat
8.1%
Mendapatkan akses terhadap orang-orang penting seperti KPK, KPMD, pemerintah desa
18.5%
Bertambahnya kegiatan di desa
20.5%
Bertambahnya pengalaman berorganisasi
7.8%
Mengenal komunitas di desa lain
Jenis kelamin tidak dicantumkan pada 77 anggota, sehingga 48% adalah presentase minimal wanita. “Terpinggirkan” didefinisikan sebagai “tidak adanya partisipasi dalam pertemuan PNPM maupun perencanaan desa dalam 6 bulan sebelum kegiatan Komunitas Kreatif II”.
3
10
Grafik ini menunjukkan bahwa sebelum adanya Komunitas Kreatif, 53% masyarakat tidak melakukan apapun terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Namun setelah adanya Komunitas Kreatif, hanya 6% saja yang tidak melakukan apapun. Ini menunjukkan adanya peningkatan signifikan terhadap presepsi masyarakat. Bahwa setelah terlibat aktif dalam kegiatan Komunitas Kreatif mereka akan mendiskusikan permasalan dalam pertemuan untuk nantinya mengatasi permasalah tersebut.
Temuan Kegiatan ini dievaluasi berdasarkan evaluasi teknis atas desain Tahap 1, baseline study yang dilaksanakan November – Desember 2014, dan Survey Persepsi Penerima Manfaat (Beneficiary Preception Survey), serta case studies yang selesai pada Maret 2015. Untuk Tahap 1, data partisipasi PNPM dikumpulkan langsung dari fasilitator PNPM. Hal ini mengalami perubahan sejak Desember 2014 ketika kontrak fasilitator PNPM berakhir dan kegiatan PNPM dihentikan. Meskipun tidak ada data partisipasi PNPM di Tahap 1 Perpanjangan, evaluasi telah menunjukkan temuan kunci sebagai berikut:
Setelah KK
KO M U N I TA S K R E AT I F
Pembelajaran
1
Pendekatan kreatif meruntuhkan struktur formal dan halangan untuk berpartisipasi
3
Peserta Komunitas Kreatif bekerja untuk membentuk gambaran kelompok desa dari kelompok-kelompok target dengan sebanyakbanyaknya. Dalam waktu tiga bulan para fasilitator spesialis tinggal dan berbaur dengan masyarakat, mendukung para Kader Pembedayaan Kreatif dan kelompok-kelompok tersebut untuk berkonsultasi dengan penduduk miskin dan terpinggirkan terkait dengan masalah dan aspirasi mereka, kemudian bekerja sama untuk menyusun sendiri naskah teater dan video yang terstruktur, serta berfokus pada masalah. Keprihatinan tersebut kemudian disampaikan ke tingkat desa dalam bentuk pertunjukan teater maupun presentasi video dan didengar oleh aparat desa dan instansi lain. Media kreatif ini merupakan cara yang baru bagi masyarakat untuk dapat menyampaikan aspirasi dan keluhan mereka kepada pengambil keputusan.
Penggunaan ekspresi budaya dan pendekatan kreatif dalam proses perencanaan menarik minat masyarakat. Hal ini meruntuhkan struktur formal dalam proses perencanaan desa yang selama ini menjadi penghambat bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan untuk ikut terlibat. Tahap 1 menunjukkan bahwa kehadiran meningkat tajam ketika pendekatanpendekatan kreatif diintegrasikan dalam pertemuan/rapat desa, sehingga dapat merangkul penduduk miskin dan terpinggirkan untuk menyuarakan aspirasi mereka.
2
Pendekatan kreatif menciptakan ruang nyaman bagi wanita, pemuda, masyarakat miskin dan kaum terpinggirkan
Fasilitator dan KPK mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan Komunitas Kreatif. Dalam suasana kreatif dan informal ini, Komunitas Kreatif menciptakan ruang nyaman, di mana setiap orang merasa mampu untuk bersuara. Dalam ruang ini, masyarakat percaya bahwa aspirasinya berharga, sehingga berani mengutarakan pendapatnya. Pada Survey Presepsi yang dilakukan di akhir tahap perpanjangan program menemukan bahwa 70% pemanfaat melaporkan bahwa mereka termotivasi oleh pengalaman mereka untuk berpartisipasi dalam rapat/pertemuan formal desa. Hal ini menunjukkan bahwa Komunitas Kreatif telah secara efektif meningkatkan kualitas partisipasi wanita dan masyarakat miskin. Penggunaan aktifitas budaya yang diintegrasikan dalam pertemuan formal berdampak positif dalam meningkatkan kehadiran anggota masyarakat yang biasanya tidak hadir.
Media kreatif menyampailkan suara dan aspirasi masyarakat
4
Pengambilan keputusan yang inklusif adalah kunci kesuksesan pelaksanaan UU Desa
UU Desa memasukkan unsur pemberdayaan masyarakat dalam pengambilan keputusan seperti PNPM. Meskipun pada awalnya dirancang untuk mendukung PNPM Mandiri Perdesaan, Komunitas Kreatif tetap sangat relevan dengan pelaksanaan UU Desa, dimana pengambilan keputusan yang inklusif merupakan kunci keberhasilan proses ini. Dari Survey Presepsi Penerima Manfaat dan Studi Kasus yang kualitatif, Komunitas Kreatif telah membuktikan bahwa pendekatan kreatif sangat efektif untuk membuka dialog dan meningkatan kesadaran warga untuk berpartisipasi dan mengungkapkan aspirasi dalam pembangunan.
Komunitas Kreatif di Golo Wua
BERANI BERSUARA MELALUI VIDEO ”Dengan adanya Komunitas Kreatif, kami jadi lebih percaya diri untuk tampil dan menyampaikan pendapat kami. Kami, ibu-ibu, pun bisa lebih sering mendengar satu sama lain dan saling mengerti,” – Sriana Alus, warga Desa Golo Wua. Masyarakat Desa Golo Wua, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah sangat akrab dengan keterpinggiran. Letaknya yang di pedalaman Pulau Flores membuat mereka jarang tersentuh program-program peningkatan kesejahteraan sosial ataupun pemberdayaan masyarakat dari pemerintah, seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Hal ini terlihat, contohnya, dari kondisi sanitasi di rumah-rumah warga yang memprihatinkan. Hanya sekitar empat rumah yang memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Bangunan jamban atau MCK semi-permanen berupa bilik bambu tanpa kakus (hanya berupa lubang di tanah) adalah pemandangan umum di desa yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani itu. Keadaan ini semakin lama membuat warga Desa Golo Wua semakin larut dalam apatisme. Antara bosan dan pasrah, warga seolah tidak berdaya untuk keluar dari perangkap kemiskinan ini. Ketika kegiatan Komunitas Kreatif diperkenalkan, hanya satu hal yang mereka tanyakan: Apa bantuan nyata yang bisa diperoleh langsung? ”Buat apa kami capek-capek belajar (pemberdayaan) jika tidak ada bantuan uang? Lebih baik kami berkebun, jelas dapat hasil,” kata Marcelinus Man, Kader Pemberdayaan Komunitas Kreatif (KPK), menirukan pernyataan salah seorang warga Desa Golo Wua ketika diperkenalkan pada kegiatan Komunitas Kreatif (KK).
Tidak Patah Arang Sambutan dingin yang dikisahkan di atas tidak membuat Marcelinus patah arang. Ia, bersama Equatori Prabowo, Fasilitator Video (FV), terus bergerilya dan melakukan pendekatan langsung ke masyarakat Golo Wua lewat ruangruang kegiatan sosial, budaya dan agama yang menjadi keseharian warga di sana. Mereka secara konsisten memperkenalkan program KK di pertemuanpertemuan doa bersama warga bulan Oktober 2014 yang merupakan Bulan Maria, bulan khusus bagi penganut agama Katolik (masyarakat Flores umumnya beragama Katolik). Pada pertemuan pertama ini, mereka mencoba mewawancarai satu persatu warga yang hadir di depan kamera. Meski awalnya kikuk dan malu-malu, warga, yang mayoritas ibu-ibu, mulai berani bersuara. Mereka menceritakan, misalnya, kerisauan mereka tentang kondisi anak-anaknya yang tidak mendapatkan bantuan BOS dan bea siswa lainnya. Lambat laun situasi pun mulai cair. Warga semakin antusias mengikuti kegiatan pelatihan video berkala dan presentasi akhir yang dibuat tiap tiga bulan. Sriana Alus, janda dengan empat anak, contohnya, semakin tertarik ikut kegiatan KK dan perlahan mulai menyisihkan waktunya dari ladang. Ia tertarik mengikuti kegiatan KK ini setelah melihat anaknya yang masih berusia SD rajin asyik membuat video-video dokumentasi KK dan menyimpannya di laptop. ”Awalnya (latihan) memang sulit. Tetapi, saya belajar dari anak saya. Semenjak ikut program itu, saya jadi percaya diri (menyuarakan pendapatnya di pertemuan warga),” tutur Sri.
Mulai Berdaya Pertemuan untuk menggali tema-tema video digelar rutin hampir dua kali sepekan. Pada bulan November, kegiatan itu telah menjaring setidaknya 54 orang yang dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu anak-anak (usia kelas 4-6 SD), remaja (SMP), muda-mudi (termasuk sejumlah sarjana), lalu kelompok dewasa. Kelompok dewasa adalah yang terbanyak pesertanya dengan 19 peserta, yang 16 di antaranya adalah ibu-ibu. “Kami buat kegiatan ini dengan cara yang menyenangkan, misalnya berjalan-jalan keliling desa sambil membawa kamera (handycam). Dalam presentasi, mereka sering saling tertawa melihat diri, keluarga atau tetangganya masuk di televisi. Ini membuat suasana menjadi cair dan mereka tertarik untuk ikut kegiatan,” ujar Equatori Prabowo. Para ibu-ibu banyak mengangkat tema pendidikan dan kesehatan. Diskusi untuk menentukan topik dokumentasi video yang melibatkan ibu-ibu dari TPK (Tim Pengelola Kegiatan) PNPM GSC dan KPMD (Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa) berjalan dinamis dan hidup. Ibu-ibu pun mulai berani menanyakan ketidakpahaman mereka tentang berbagai hal dan kritis menyikapi berbagai persoalan. Sebagai contoh, selama proses pendokumentasian video tentang kegiatan Puskesmas Desa (Puskesdes), mereka mulai berani menanyakan manfaat imunisasi BCG bagi bayi di mana sebelumnya mereka memilih diam dan enggan bertanya karena malu tidak tahu. Dari kegiatan partisipatif pembuatan video itu mereka juga mulai sadar akan pentingnya konsumsi makanan sehat bagi balitanya, misal soal bahaya penggunaan MSG (monosodium glutamat) berlebih untuk balita. Pengetahuan itu mereka dapat ketika membuat video tentang kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang melibatkan fasilitator dan bidan di desa itu.
Warga beserta perangkat desa Golo Wua menghadiri presentasi akhir pemutaran video Komunitas Kreatif mengenai MCK.
Dalam kegiatan itu mereka juga didorong untuk berdiskusi, bertukar pikiran, menggali masalah, dan mencari kesepakatan untuk menentukan tema video bersama. Proses ini sangat penting dalam upaya mengangkat keberanian ibu-ibu dan masyarakat yang terpinggirkan, dalam pengambilan keputusan di desa. Dari beragam tema usulan, seperti persoalan anak putus sekolah, tingginya mortalitas dan morbiditas bayi, ketersediaan air bersih, irigasi desa hingga bencana longsor, kelompok dewasa akhirnya sepakat menjadikan pembanguinan MCK atau jamban yang layak sebagai pilihan utama. Isu ini dipilih karena dinilai sangat penting dan genting bagi kesehatan. ”Di desa kami, rata-rata hanya sedikit yang memiliki WC (layak). Kami tidak mampu (punya biaya) membuatnya. Padahal, WC sangatlah penting untuk kesehatan keluarga,” ujar Sriana Alus. Mereka lalu mendokumentasikan video dan membuat perbandingan antara WC yang layak dengan yang tidak, dan menyoroti kebiasaan membuang hajat di hutan. Adapun kelompok remaja lebih memilih isu sampah sebagai tema bersama. Mereka prihatin dengan kondisi kebersihan di desa di mana masih banyak warga yang membuang sampah sembarangan. ”Dengan KK ini, kami bisa mengajak masyarakat, khususnya yang terpinggirkan, untuk berpartisipasi di kebijakan desa. Itu sebelumnya sulit dilakukan,” tukas Marcelinus.
Keberlanjutan KK Menurut Marcelinus, setelah program pendampingan KK itu berakhir bulan Maret 2015 , warga masih sering berkumpul untuk membahas video-video hasil dokumentasi atau diskusi lainnya yang produktif. Kegiatan KK di desa ini tidak lagi melulu soal membuat video. Sejak November 2014, KK di desa ini telah menjadi wadah pertemuan warga dari berbagai kelompok usia yang cair dan konstruktif mengawal berbagai kegiatan di desa. KK di desa ini bahkan telah menjadi bagian dari identitas budaya warga setempat, terlihat dari dimasukkannya KK itu sebagai bagian dari ”Mbau Rembong”, sebuah sanggar budaya yang telah cukup lama berdiri dan menjadi bagian dari identitas masyarakat di desa ini. Pesertanya sama-sama aktif dalam kegiatan budaya dan dokumentasi media.(*)
Pada malam presentasi video, wanita peserta KK maju di hadapan para undangan dan penonton dengan penuh percaya diri untuk menunjukkan karya mereka dan berdiskusi dengan warga desa.
Komunitas Kreatif di Panembong, Garut
MENDOBRAK SEKAT-SEKAT MARJINALISASI “Di program Komunitas Kreatif ini tidak ada strata atau sekat-sekat. Semua kelompok warga berbaur dan berpartisipasi mengenal hal yang baru (pembelajaran video). Program ini cukup berhasil mengajak masyarakat termarjinalkan untuk lebih berani bersuara mengungkapkan pendapatnya. Ini yang sebetulnya sangat kami harapkan. Selama ini, ide-ide dan gagasan lebih banyak muncul dari elit-elit (kelompok warga yang dekat dengan birokrasi) di desa.” – Yanto Kriswanto, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Panembong, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Hujan tidak menyurutkan antusiasme warga untuk menyaksikan presentasi akhir video yang merupakan hasil proses kelompok anak dan ibu selama 10 minggu.
Ketenangan suasana di Desa Panembong—yang terletak pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut—sangatlah membius. Melihat ke berbagai penjuru, berjajar deretan Gunung Cikuray, Pasir Naya, dan Gunung Guntur yang megah nan permai. Kesunyian dan keasrian alami adalah suasana seharihari di desa ini, seolah mencerminkan karakter warganya. Namun di balik kesan awal itu, desa ini sesungguhnya diliputi kebisuan yang masif. Layaknya masyarakat pedesaan di Jawa Barat, primordialisme begitu melekat pada keseharian warga di Panembong. Seluruh tindak-tanduk dan interaksi sosial warga diatur norma tidak tertulis, yakni adat istiadat dan agama. Dalam kultur lokal, ibu-ibu dan anak-anak, kelompok termarjinal di masyarakat ini, hampir tidak memiliki ruang berinisiatif. Sudah lazim bahwa istri atau ibu-ibu melulu mengurusi urusan dapur, membantu suaminya di ladang atau sawah, atau menjalankan peran-peran lain yang subordinat terhadap peran laki-laki. Tidaklah heran, sangat sulit bagi pihak luar untuk menggali gagasan atau pikiran dari kelompok terpinggirkan itu. Namun pakem kebiasaan turun temurun ini mulai mengalami perubahan semenjak program Komunitas Kreatif (KK) diperkenalkan di desa ini. Pada awal program, sangat sulit bagi fasilitator (FV) untuk mengajak ibu-ibu dan anak-anak berbicara terbuka di depan kamera. Banyak yang menolak untuk didokumentasikan. Komentar pedas dan cibiran pun tidak terhindarkan ketika mereka memulai presentasi karyanya. “Mereka merasa aneh, tidak percaya diri, melihat wajah dan tubuhnya sendiri di layar kaca, apalagi sampai ditonton tetangganya. Selama ini, yang mereka saksikan di layar kaca adalah wajah-wajah dan tubuh artis yang ideal,” ungkap Vembri Waluyas, fasilitator, mengenang perkenalan program KK di Desa Panembong. Meskipun akhirnya mereka, khususnya anak-anak, antusias untuk mempelajari hal baru, tidak sedikit masih bingung tentang maksud dan tujuan program KK ini. Vembri menceritakan, proses penggalian gagasan tema video mengungkap karakteristik masyarakatnya dengan cukup jelas. Kelompok elit yang terdiri dari ibu-ibu RW (rukun warga) akan mendominasi diskusi. Sementara yang jelata, ibu-ibu dari kelompok tidak mampu, walau merupakan mayoritas di desa ini lebih memilih bisu dan mengalah. Namun struktur formal itu perlahan mulai terkikis. Di dalam proses pemberdayaan kreatif yang berlangsung selama sekitar 10 minggu, ibu-ibu mulai berani tampil menyuarakan pendapatnya, baik pada saat presentasi kegiatan ataupun musyawarah desa. Mereka bahkan dengan penuh inisiatif dan kesadaran menyediakan penganan selama kegiatan presentasi akhir video. Yang agak di luar dugaan, para suami atau laki-laki dewasa pun turut membantu persiapan presentasi, misalnya menyiapkan bangku dan alat-alat pemutar video. ”Di keseharian mereka, laki-laki biasanya tidak terlibat di urusan perempuan. Suami atau laki-laki bahkan jarang mengobrol dengan isterinya. Namun, semenjak terselenggara program KK, sejumlah suami banyak bertanya pada isterinya yang terlibat di program KK. Itu adalah pengakuan sejumlah peserta ibu-ibu,” ujar Vembri kemudian.
Menjadi Berani dan Kritis Keberadaan program KK perlahan membuka peluang bagi masyarakat terpinggirkan di desa ini. Fasilitator dan KPK menanamkan kepercayaan diri dan mengingatkan mereka tentang akan pentingnya peran mereka dalam pembangunan di desa. Mereka pun kini semakin berani angkat bicara dan berkumpul untuk berdiskusi. Sebagian dari mereka bahkan tidak lagi segan menyampaikan kritik terhadap para elit atau kebijakan desa. ”Bagi saya, masyarakat menjadi kritis sah-sah saja, asalkan isinya hal-hal yang positif dan membangun. Sebaliknya, terus terang saja, kami membutuhkan pengawalan dalam menjalankan kebijakan (di desa). Yang terjadi selama ini, kami sulit mengetahui keinginan masyarakat termarjinal secara langsung. Dengan adanya program KK, mereka kini jadi lebih percaya diri dan berani. Semoga ini bisa meningkatkan partisipasi (dalam pengambilan kebijakan),” ujar Yanto Kriswanto, Kepala Urusan Pemerintahan Desa Panembong.
Sebagai contoh, melalui video berjudul ”PAUD Kami”, ibu-ibu desa mengungkapkan keprihatinannya tentang kondisi pendidikan di desa. Mereka sangat mendamba berdirinya bangunan PAUD sebagai tempat belajar bagi anak-anak balita mereka. Mereka sempat memiliki fasilitas itu dengan menumpang di sebuah bangunan madrasah setempat. Namun, akibat kekurangan guru dan biaya, PAUD swadaya itu terhenti. Mereka mendokumentasikan berbagai harapan orang tua soal pentingnya PAUD itu lewat video yang kemudian dikirimkan ke pejabat pemerintahan terkait, seperti Camat Bayongbong. Meskipun hingga kini belum terealisasi, mereka setidaknya sudah tidak lagi bisu dan berani bersuara dan berdaya. ”Melalui media (video) ini, aspirasi mereka setidaknya bisa tersalurkan. Selama ini, mereka sebetulnya memiliki berbagai gagasan dan ide. Namun, tidak ada wadah yang tepat untuk menampungnya. Ketika warga semakin berani dan percaya diri, mereka bisa berpartisipasi dalam proses-proses perencanaan pembangunan, mulai dari musyawarah,” ucap Teten Hasanudin, salah satu Kader Pemberdayaan Komunitas Kreatif (KPK) di Desa Panembong.(*)
Ibu-ibu peserta pemberdayaan kreatif didorong untuk berkumpul, berpendapat dan menyuarakan aspirasinya.
Komunitas Kreatif di Desa Panji, Bali
MENYAMPAIKAN KRITIK LEWAT PANGGUNG TEATER Pan Pucung, seorang petani tua di Desa Panji, Bali, berkeluh kesah kepada isterinya tentang kehidupan di desanya yang telah berubah. Sawah di desanya yang dahulu menjadi sumber penghidupan klannya turun temurun semakin berkurang. Ladang dan kebun telah berubah menjadi pemukiman, sebagian berganti villa mewah.
Warga berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan teater Sanggar Mesuriak yang diselenggarakan di Jaba Pura Dalem, Desa Panji, Kabupaten Buleleng.
Sembari merenung, Wayan Gumreg, anak sulungnya, tiba-tiba datang mengusik kegundahannya. Gumreg memaksa ayahnya untuk menyerahkan seritifikat tegak umah. Tegak umah merupakan rumah wasiat yang tabu untuk dijual karena dapat memutus relasi keluarga dengan leluhur. Sertifikat itu hendak ditukarkannya dengan sebuah sepeda motor mewah. Pan Pucung pun kaget setengah mati, bak tersambar petir. Tegak umah, bagi masyarakat adat Bali kebanyakan, merupakan sebuah pusaka terakhir yang harus dijaga dan diwarisi turun-temurun. Itu adalah pengikat batin antara diri, leluhur, dan tanah—yang menjadi bagian dari kosmologi kehidupan warga adat di Bali. ”Itu tidak akan pernah aku serahkan!” teriaknya. Namun, Gumreg, yang tumbuh menjadi remaja bengal dan banyak bergaul dengan preman, tidak kehilangan akal. Ia mencuri sertifikat tanah itu ketika orangtuanya terlelap, lantas menggadaikan pusaka keluarga itu demi sebuah motor besar. Sisanya dihabiskan untuk berfoya-foya dan berpesta. Mengetahui pusaka keluarganya telah lenyap, Pan Pucung pun terpukul. Ia merasa malu dengan leluhurnya, karena gagal mendidik anaknya. Kisah itu adalah penggalan adegan teater bertajuk ”Tergerus Jaman” yang dipentaskan Sanggar Panji Mesuriak (Me Sure Act) di Jaba Pura Dalem, Desa Panji, Kabupaten Buleleng, pada Minggu, 28 Desember 2014. Lebih dari seribu orang berduyun-duyung datang memenuhi Pura Dalem untuk menyaksikan pertunjukkan yang ”lain dari biasanya itu”, tepat di Hari Kuningan. Pertunjukkan ini sedikit tidak lazim, mengingat sebagian besar pemainnya bukanlah seniman peran. Mereka adalah warga Desa Panji biasa yang sebelumnya “buta” dengan seni pertunjukkan. Namun, teater itu mampu menggerakkan animo warga, baik di dalam maupun luar panggung. Tengok saja Wayan Koplar—pekerja serabutan dan Gede Arya Tegeh—penyandang disabilitas, yang rela berkeringat untuk memasang dekorasi panggung. Program Komunitas Kreatif (KK) telah bekerjasama dengan Sanggar Panji Mesuriak yang berada di Banjar Klod Kauh, sejak program berjalan pada bulan Oktober 2014. Kegiatan ini bertujuan untuk mendorong partisipasi warga lokal dalam pembangunan desa. Kelahiran sanggar ini dibidani oleh Kader Pemberdayaan Kreatif (KPK). Program KK yang melebur di dalam Sanggar Panji Mesuriak itu telah menjaring 70 orang peserta, baik tua maupun remaja. Tidak hanya itu. Berkat pendekatan seni dan hiburan itu, KK di Desa Panji mampu mengajak sejumlah kelompok terpinggirkan, seperti penyandang disabilitas dan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk berpartisipasi aktif dan keluar dari ”kebisuannya”. De Indra (14), seorang tuna wicara, misalnya, jadi kerap membantu fasilitator Andika Ananda dalam berbagai pertemuan diskusi atau presentasi kegiatan. Indra bahkan sempat dilibatkan aktif sebagai pemeran pantomim. Ini meningkatkan kepercayaan dirinya untuk tampil dan diterima di komunitasnya. ”Ayahnya, pak De Ten, sampai terharu. Ia tidak menyangka anaknya diberi ruang untuk berekspresi. Karena itu pula, ia jadi tertarik untuk terlibat sebagai peserta KK,” tutur Andika. Kegiatan rutin seperti latihan, presentasi atau pentas kecil di sanggar KK itu juga membuat Nyoman Sentari, janda dengan enam anak, beranjak dari penggalan kelam masa lalunya. Korban KDRT itu menjadi peserta aktif dari kegiatan Komunitas Kreatif.
Kritik Lewat Teater Warga Desa Panji yang tergabung dalam KK itu mengungkapkan kerisauan dan kritiknya soal lunturnya budaya adat, tekanan modernisasi, dan menyusutnya lahan penghidupan mereka melalui pertunjukkan teater “Tergerus Jaman”. Teater menjadi ruang aman dan nyaman bagi mereka untuk bersuara. Tak dinyana, kritikan mereka terhadap monopoli sumber air tanah di desa yang disisipkan di pertunjukkan teater itu langsung direspon oleh otoritas terkait, yaitu Badan Pengelola Air Minum Desa (BPAD) setempat. Kepala BPAD Desa Panji, Gusti Mustika, sempat mendatangi Sanggar Panji Mesuriak setelah pertunjukkan teater itu. “Ia lalu kami undang untuk menghadiri FGD (diskusi grup) di Kantor Kepala Desa Panji. FGD ini diikuti berbagai pihak dan tokoh masyarakat terkait. Suara harapan warga untuk mendapatkan pelayanan yang adil dan merata mulai didengar. Padahal, sebelumnya masyarakat di desa ini kurang peduli dengan situasi di sekitarnya
dan menganggap itu hanya jadi urusan pemerintah desa,” ujar Ketut Ngurah Alit Maruta, KPK di desa ini. Dalam FGD itu, selaku pihak yang mewakili Pemerintahan Desa Panji, Kepala Urusan Teknik Gede Redana menyatakan pihaknya menyambut positif kegiatan KK itu. Ia bahkan mengusulkan perlunya dialog yang lebih mendalam antara aparat desa dan warga.”Kritik apa pun adalah bahan untuk koreksi bersama. Kami, aparat, pun siap melakukan koreksi dan berbenah diri agar Desa Panji menjadi lebih bagus,” tutur Gede Redana. Ketut Maruta pun berharap, kegiatan kreatif semacam ini dapat terus berjalan meskipun program KK telah berakhir. Harapan itu selaras dengan tekad mereka. Walau secara resmi program KK sudah berakhir, para peserta masih rutin melakukan pertemuan dan kegiatan. Pada Desember 2015 ini, misalnya, Sanggar Panji Mesuriak akan kembali beraksi dalam Festival Desa II, yaitu kegiatan seni budaya yang digelar pemerintah desa setempat. Pentas itu kebetulan bertepatan dengan ulang tahun KK di Desa Panji ini.(*)
Anggota Komunitas Kreatif Desa Panji menyampaikan kerisauan dan kritiknya melalui pertunjukkan teater “Tergerus Jaman”. Teater menjadi ruang aman dan nyaman bagi mereka untuk bersuara.
Ayo Kumpul, Ayo Usul!
Dikelola oleh
Fotografer: Eva Tobing Naga, Gembong Nusantara