KISAHPAHIT SEORANG TAHANAN G30S Nursamhari Oleh Kata pengantar Kisah ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis sendiri sebagai seorang tapol yang selama 13 tahun berada di dalam tahanan, penjara dan pembuangan. Sebenarnya penulis tidak ingin mengisahkan pengalaman itu, mengenang pengalaman pahit bisa menimbulkan trauma, selain itu penulis pada dasarnya bukanlah seorang pengarang atau pun seorang penulis, penulis juga tidak mempunyai data atau catatan, terutama yang berkaitan dengan ketepatan waktu kejadian. Penulis menyadari bahwa untuk mengerjakan sesuatu yang bukan bidangnya itu sangatlah sulit. Dan kalau pada akhirnya penulisan kisah ini terjadi itu semata-mata karena permintaan anak, cucu, saudara dan para keluarga, dan semua itu demi generasi keluarga mendatang. Oleh karena itu tulisan yang tidak lebih dari cerita dan dongeng kecil ini penulis angkat dan ceritakan kembali walau hanya berdasarkan pada ingatan penulis belaka. Penulis sangat menyadari bahwa ingatan tentu saja bisa salah, apa lagi cerita ini penulis ungkapkan kembali setelah 26 tahun sejak waktu pembebasan, dan di saat usia penulis yang telah mencapai 75 tahun. Oleh karena itu jika dalam bertutur cerita kisah ini tidak kronologis dan terasa muter-muter tentunya hal itu dapat dimaklumi dan dipahami. Dalam kisah ini penulis ada pula menyebutkan nama-nama orang, baik yang sudah penulis kenal sebelum peristiwa terjadi atau pun selama dalam tahanan. Tak ada maksud penulis untuk mencemarkan nama-nama beliau tersebut, melainkan penulis hanya ingin menjelaskan keadaan yang sebenarnya, banyak sikap dan perilaku positif dari beliaubeliau yang dalam keadaan sulit saekalipun masih mampu dan mau membantu sesama teman dan menolong yang lemah. Kepada beliau-beliau ini tak ada kata yang pantas penulis ucapkan selain terima kasih yang mendalam. Tetapi jika pemuatan nama-nama beliau ini dianggap tidak baik dan tidak etis karena tanpa ijin, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena kalau pun penulis harus meminta ijin terlebih dahulu penulis tak tahu harus ke mana, karena sejak pembebasan penulis otomatis terputus hubungan dengan beliau-beliau ini. Akhirukalam, apa pun bentuk dan wujudnya, tulisan ini adalah suatu kenyataan yang pernah terjadi dan penulis ketahui, alami dan rasakan sendiri. Dan dengan senang hati
1
penulis serahkan sepenuhnya tulisan ini kepada anak, cucu, saudara, keluarga, dan kerabatku. Jakarta, Mei 2005. ***
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………………………………………………………… DAFTAR ISI …………………………………………………………………..…
1 2
PENDAHULUAN …………………………………………………..……………. BUDI KEMULIAAN ….…………………………………………………….... SALEMBA ………………………………………………………………..………….. Menjadi Tukang Pijat ..…………………………………… Pertemuan Dengan Keluarga ...………………………… Santi Aji ………………………..……………………………………… Pertemuan Keluarga Yang Kedua .......……………… NUSA KAMBANGAN ………………………………………………………... PULAU BURU ………………………………………………………….……. Unit II ……………………………….….……………………………. Anak KucingMengisi Rantang …….…………………….…
3 16 33 44 52 56 65 84 104 112 114
Mengerek Bendera Merah Putih .….…………………… Nyolong Garam ……………………..….………………………...… Menjadi Penganyam Atap Kena Hukuman ………… Apel Malam …………………………………….………………….… Menjadi Satgas Pemukul Sagu ………………..…………… Sayur Perwira …………………………………….…………….…… Dinas Di Dapur Barak ……………………………,………..…… Barak II menyunati anak pedesaan …………………… Anakku kirim surat dengan fotonya …………….……… Dilema Pembebasan ...…………………………….……………..
PULANG PENUTUP
……………………………………………………….……………... …………….……………………………………….………………
116 123 125 130 133 136 138 159 164 174 179 191
***
2
PENDAHULUAN Bulembangbu, ya kata bulembangbu rasanya kok susah diucapkan. Terasa asing dan aneh didengar. Bulembangbu seolah seperti nama suatu kerajaan dalam cerita wayang. Suatu kerajaan dengan raksasa rajanya. Raksasa segede gunung anak2an. Matanya seperti surya kembar, hidungnya seperti buritan perahu, mulut menganga bak goa, gigi runcing bak gigi senso (gergaji mesin) pemotong pohon besar di hutan, taring mencuat bak pisang ambon. Kalau batuk seperti gluduk, kalau bersin kaya bledeg, siap menelan melintang apa saja yang ada di depannya. Kata-kata untuk menggambarkan sesuatu seperti di atas, adalah kata-kata yang diucapkan seorang dalang dalam suatu pagelaran wayang, waktunya tengah malam atau sudah larut malam, namanya janturan, diiringi alunan tembang oleh ibu sinden dengan iringan siter, rebab dan lainnya, serba lirih. Ah indah sekali. Aku bangga menjadi bangsa Indonesia yang mempunyai seni budaya begitu indah, khususnya bagi suku Jawa. Seni wayang purwa yang sekarang sudah diakui keindahannya dan sudah menjadi milik dunia, adalah suatu bentuk seni yang kompleks. Seni pahat, seni rupa, seni tata warna, seni tari tercermin dalam bentuk wayangnya. Seni suara dan sastra ada dalam diri seorang pesinden dan ki dalang. Seni musik alangkah indah dan membanggakannya. Instrumennya mempunyai bentuk dan keindahannya sendiri. Ia dibentuk, dicipta dan diproduksi secara tradisionil, tidak bisa dibeli di sembarang tempat, di toko misalnya. Sementara ada yang mempercayai intrumen Jawa ini mempunyai kekuatan gaib, sebab dibuat secara khusus oleh pembuatnya dengan melakukan laku (tirakat, puasa, meditasi dan lain-lainnya). Gamelan juga diberi julukan. Satu pangkon (unit) gamelan atau gongso di Keraton Mangkunegaraan diberi gelar Kyai Kanyut (laras selendro) dan KyaiMesem untuk laras pelog. Yang kadang-kadang ada rasa sayang, yang namanya orang Jawa nggak ngerti dan nggak menyukai seni wayang dan gamelannya. Musik Jawa bikin orang ngantuk dan lapar katanya. Pernah aku baca di suatu rubrik koran (Kompas) bahwa gamelan beserta grup-grupnya banyak terdapat di manca negara. Di Amerika, ada tidak kurang dari 300 unit gamelan, di Perancis dan di Inggris, sedikitnya ada puluhan di sana , bahkan ditulis dalam rubrik itu gamelan tidak hanya bisa dimainkan dalam bentuk seni saja tetapi gamelan juga bisa dipakai sebagai sarana terapi kejiwaan. Di penjara misalnya, gamelan bisa digunakan
3
untuk membantu mengubah watak dan perilaku para narapidana. Mereka bisa memainkannya, memainkan musik Jawa tidak perlu waktu lama untuk mempelajarinya. Memainkan saron kenong dan kempul tidak terlalu sulit. Memainkan secara bersama dengan irama yang runtut serta suara yang nyaring dan bening, bukan tidak mungkin suara dan irama gamelan itu bisa mengubah watak dan perilaku seseorang. Begitu kata tulisan dalam rubrik itu. Pernah aku tanyakan pada seorang teman pecandu wayang, bahkan dia pernah belajar seni pedalangan, Bulembangbu tidak ada dalam cerita wayang, itu cuma karangan dan tidak ada dalam pakem. Didengarnya saja sudah nggak enak, diucapkan juga susah. Oh begitu ya?, ya sudah. Aku bilang, lha wayang purwa dengan segala tetek bengeknya itu apa bukan hasil suatu karangan?. Mahabrata dan Ramayana juga hasil karangan Wiyasa dan Walmiki. Saking pinternya sang pengarang, seolah-olah cerita tersebut pernah ada dan pernah terjadi. Wayang berasal dari India tetapi berkembang di Indonesia . Begitu rupa perkembangannya, orang Jawa khususnya tidak merasa kalau wayang berasal dari India . Orang Jawa yang fanatik pada wayang, tetap bersikukuh wayang adalah asli dari Indonesia . Mereka bisa menunjukkan bukti, bahwa wayang murni berasal dari Indonesia (Jawa). Ada suatu tempat di kampungku, di tempat itu ada gundukan tanah, oleh warga setempat gundukan tanah itu dinamakan Gedibal Seno. Ceritanya, waktu terjadi pertempuran turun hujan deras, telapak kaki Bratasena jadi penuh lumpur dan endut, lumpur dan endut itu dikibaskan oleh sang Bratasena, maka tertinggalah gundukan itu, lalu dinamai Gedibal Seno. Ada lagi, suatu desa yang namanya Cakaran, ceritanya waktu Hanoman akan bertarung melawan raksasa Alengka, ia mengasah kukunya di satu pohon, layaknya seperti kucing mengasah kukunya, maka disebutlah tempat itu Cakaran. Satu lagi, di kampungku, di belakang sekolahku, ada satu kuburan, di situ juga ada gundukan tanah, orang setempat menamakan makam itu Bokerno, mungkin berasal dari nama tokoh wayang dalam cerita Ramayana, nama satria raksasa Alengka, Kumbakarna. Ceritanya telinga Kumbakarna kepagas (terpotong) senjata pamungkas Prabu Ramawijaya, senjata itu namanya Gowawijaya. Dan tempat jatuhnya ceceran darah dari telinga Kumbakarna itu katanya menjadi suatu gundukkan tanah, yang seterusnya disebut makan Bokerno. Mengapa kok begitu?.Itulah fanatisme, khasanah legenda Indonesia kaya akan cerita-cerita semacam itu. Indahkan?
4
Budayawan-budayawan besar sanggup mengarang dan menciptakan suatu cerita-cerita yang sangat indah. Barangkali saja para pengarang-pengarang besar itu ketika menulis dan menciptakan cerita, diilhami oleh situasi dan kondisi setempat saat itu, atau mereka menuangkan dan menumpahkan angan-angan dan pikirannya atas dasar pengalaman hidupnya. Tembang Sinom (Jaman Edan dalam kitab Kalatido) ditulis oleh Raden Ngabehi Ronggowarsito. Barangkali juga Raden Ngabehi saat menulisnya diilhami oleh kondisi dan situasi diwaktu itu. Raden Ngabehi Ronggowarsito yang nama aslinya adalah Raden Mas Burhan mengalami situasi jaman yang sudah gila, jaman yang penuh dengan kemaksiatan, kemunafikkan, penipuan, penyalah gunaan jabatan dan lain sebagainya. Raden Ngabehi menyampaikan kritik dan sindirannya dalam bentuk tembang. Seperti sudah menjadi kebiasaan atau pun hukum yang tak tertulis, para pengarang-pengarang ternama selalu menyampaikan kritiknya dalam bentuk karya seni yang indah. Nampaknya memang hanya satu pupuh tembang tetapi penuh dengan makna yang hakiki. Seandainya kritik itu disampaikan secara terus terang atau blak-blakan mungkin bisa berakibat fatal bagi pengarangnya. Ada yang pernah aku dengar dari satu cerita, Raden Mas Burhan tahu persis hari dan tanggal kapan ia akan mati, rupanya rezim yang berkuasa saat itu menjatuhkan vonis mati padanya dan bukan tidak mungkin tanggal dan hari kapan eksekusi akan dilaksanakan bocor hingga sempat terdengar dan diketahui oleh R. Mas Burhan. Itu kata tutur cerita, tapi lain lagi dengan apa yang pernah aku baca dari surat kabar KOMPAS, sebuah artikel yang ditulis oleh Aryo Wisanggeni Genthong mengatakan bahwa karya Raden Ng. Ronggowarsito, “Serat Sabdajati” meramalkan dengan tepat kapan saat kematiannya sendiri akan terjadi, yaitu “Hari Rebo Pon, 24 Desember 1878”. Jadi kalau begitu mana yang benar?. Terserah saja pada mereka mana yang diyakini kebenarannya. Selain “Serat Sabdajati” beliau juga menulis “Serat Joko Lodhang” yang meramalkan tentang kemerdekaan Indonesia . Raden Ng. Ronggowarsito kelahiran 15Maret 1802, di desa Pasar Kliwon adalah pujangga penutup sastra Jawa klasik Keraton Surakarta. Tidak kurang dua belas buku tentang Filsafat Jawa, Primbon dan lainnya telah ditulisnya, yang semuanya tersimpan dalam Museum Radya Pustaka, Surakarta . Selanjutnya artikel itu berbicara tentang kemampuan Raden Ng. Ronggowarsito tentang “Daya Linuwih” (kelebihan) yang beliau miliki untuk melompati
5
ranah, ruang dan waktu. Terbukti bahwa karya-karya beliau selalu mendapatkan konteksnya dalam mengisi ramalan situasi politik dan sosial negeri ini. Beliau bukan wali, bukan malaekat. Dia hanya manusia biasa, yang berbeda mungkin hanya filing dan analisanya yang tajam. Lalu bagaimana kebenarannya? Wallah hualam bisawab!. Penilaian terhadap orang-orang ternama itu biasanya suka dilebih-lebihkan. Satu cerita lagi misalnya, Sunan Kali Jaga yang sangat menonjol kecerdasannya diantara para wali songo lainnya, saat akan menentukan arah kiblat Mesjid Agung, Demak, kelompok wali ini bingung mereka tak tahu dimana arah kiblat. Akhirnya mereka hanya menunggu kedatangan Sunan Kali Jaga untuk menentukan arah kiblat, karena hanya beliau sajalah yang bisa menentukannya. Sunan Kali Jaga yang mempunyai nama kecil Raden Said adalah putra dari Bupati Tuban, Raden Wilotikto, sebelum bergelar wali beliau adalah seorang perampok, pembegal kecu gento (julukkan bagi penjahat). Beliau terpaksa taubat dan bersimpuh menyembah telapak kaki Kanjeng Sunan Bonang, gara-gara saat ia akan merampok Kanjeng Sunan Bonang, Kanjeng Sunan berkata, “Hai Said, benda atau harta apakah yang akan kau peroleh dariku?. Kalau kau akan merampokku itu adalah perbuatan yang sia-sia, karena aku tidak mempunyai apa-apa. Kalau kau mau harta, panjatlah pohon aren (enau) itu, kau akan mendapatkan emas yang tak terhingga banyaknya.” Raden Said pun melakukan apa yang diperintahkan Kanjeng Sunan. Benar saja, ternyata buah aren (kolang-kaling) telah berubah menjadi emas seluruhnya. Itulah sepenggal cerita tentang Sunan Kali Jaga. Kebenarannya?. Wallah hualam bisawab. Kalau mau ditambahkan cerita tentang wali songo, ada lagi. Syech Siti Jenar yang menolak dan membangkang perintah-perintah (mbalelo) wali songo, setelah mati, kepala mayatnya berubah menjadi kepala anjing. Kebenarannya bagaimana? Ya sekali lagiWallah hualam bisawab. Syech Siti Jenar memang kritis, barangkali karena sikap kritis dan sikap mbalelonya kepada para wali itulah yang menyebabkan beliau tersingkir dan mati, lalu kepala mayatnya berubah menjadi kepala anjing. Kalau kita simak sejarah kekuasaan feodal, selamanya selalu terjadi saling menjatuhkan. Berebut pengaruh dan kekuasaan. Begitulah makhluk yang namanya manusia. Manusia tak pernah puas dengan apa yang mereka miliki, mereka selalu ingin mendapatkan sesuatu sebanyak-banyaknya, mereka tak pernah puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Kaya itu tidak ada batasannya. Di atas yang kaya masih ada lagi yang lebih kaya. Kalau miskin itu jelas dapat dilihat.
6
Kalau Sunan Kudus ndombani (memberi semangat) kepada Bupati Lasem, Surayata, bapak dari Arya Penangsang untuk merebut kekuasaan Demak, itu adalah wujud dari ketamakan manusia, sekalipun ia sudah bergelar wali. Nah, kembali kepada judul tulisanku ini. Bulembangbu itu ada dan betul-betul ada. Bulembangbu bukan suatu cerita khayalan, ia nyata keberadaannya. Di sana juga ada penguasanya, ada rajanya, ada buta-butanya. Buta Ijonya juga banyak. Ada kekerasan, ada perampokan, dan ada penindasan. Tingkah dan perilaku diluar batas kemanusiaan pun sering terjadi setiap saat. Dengarkan!. Tanggal 11 Agustus 1966, jam sesudah waktu magrib. Datang seorang anak lelaki kerumahku, membawa secarik kertas bertuliskan, "Harap saudara datang kerumah saya, penting!," tanda tangan ketua RT. Aku agak kaget, biasanya kalau urusan ke-RT-an dan penting, maka ketua RT sendirilah yang datang kerumah. Oh, barangkali ada urusan tentang pesanan makanan kecil dalam rangka menyambut 17 Agustusan. Ah, rejeki datang, lumayan!. Saat itu posisiku berubah 180°, sejak tanggal 2 Oktober 1965, dua hari setelah peristiwa besar, pembunuhan Dewan Jendral itu, perusahaan percetakan tempat aku bekerja ditutup dan disegel, praktis aku sudah tidak bekerja lagi, bahkan sempat kami tidak boleh meninggalkan kantor selama 17 hari. Makan hanya ala kadarnya menurut sisa bama (bahan makanan) yang masih ada. Selama 17 hari pula kami tidak berganti pakaian. Derita pertama, mulai menerpa hidupku. Sebelum itu, aku pun sempat menjadi pegawai negri. Tahun 1954 aku sudah menjadi pegawai negri. Saat itu sangat mudah untuk menjadi pegawai negri. Aku menjadi pegawai negri tanpa melamar. Prosesnya sangat cepat, hanya dengan membawa ijazah lulusan SMP, hari itu juga aku langsung menjadi pegawai negri. Tempatku bekerja bernama Jawatan Pharmasi, baru kemudian di belakang hari aku tahu kalau Pharmasi itu adalah kantor yang ada hubungannya dengan obat-obatan, maklum aku baru datang dari kampung. Jawatan Pharmasi ada di bawah Departemen Kesehatan. Di sana sisasisa budaya Belanda terasa masih kental, bisa dimaklumi karena umur republik ini belum genap 10 tahun. Bahasa Belanda adalah bahasa sehari-hari bagi para kepala bagian. Panggilan menir untuk para kepala bagian menjadi suatu keharusan Aku ditempatkan di ruang kepala kantor, menjadi pembantunya (pesuruh). Namanya saja pesuruh, kerjanya ya apa saja, menyapu lantai, mengelap meja tempat beliau bekerja dan
7
lainlainnya. Di sana juga ada pegawai lainnya, seorang wanita, orangnya cantik, tinggi semampai, suaranya halus, bening enak didengar, panggilannya adalah Mbak Dian Pertiwi. “Dik,” aku dipanggilnya, “Menir Sastro, memerintahkan saya untuk mengajarkan adik cara bekerja di afdeling sini, juga cara dan kebiasaan-kebiasaan di kantor ini. Nah ini buku namanya agenda book. Di lembar-lembar buku ini digaris menjadi beberapa kolom. Kolom pertama berisi nomer urut, kolom kedua berisi nomer tanggal surat , lihat nih, setiap surat mesti ada nomernya dan tanggalnya. Kolom ketiga berisi perihal surat, nih lihat, surat ini perihalnya tentang kenaikkan pangkat. Kolom keempat berisi kepada, artinya sesudah surat ini diperiksa oleh menir Sastro, nantinya surat ini akan diberi disposisi, kemana surat ini harus diteruskan. Biasanya karena surat ini perihal kenaikkan pangkat, tentu surat ini akan diteruskan ke afdeling personalia. Ngerti ya?, gampang kok. Dan ini, buku panjang kecil ini namanya expedisi book, untuk mengirim surat-surat ini ke afdeling yang bersangkutan.” Sambil menggandeng tanganku, aku diantarnya kesemua bagian. Hiy, baru kali ini ada seorang perempuan menggandeng tanganku, selain ibu dan saudara-saudara perempuanku tentunya. Tangannya terasa halus sekali dan bau parfumnya, uh, amit-amit deh wangi banget!. Muter, seluruh bagian kami kunjungi. “Nah ini, ruang kepala Jawatan, menir Ir. Hardiman, ini ruang Drs, Lukito, ini ruang kepala keuangan menir Machmud.” Kami terus berjalan sampai pada bagian arsip, gudang dan logistik dan akhir kunjungan sampai pada ruang kepala bagian urusan pegawai menirWage Amin. Di bagian ini aku ditahan dan dipersilahkan duduk. “Saudara Sam, atas perintah menir Sastro, saudara hari ini diterima menjadi pegawai di kantor ini dengan status tenaga harian dengan gaji Rp.9.500,-/hari, dan saudara ditempatkan di ruang menir Sastro, menjadi pembantunya (opas), saudara harus mematuhi semua aturan yang berlaku di sini, saudara harus melayani dengan sebaik-baiknya segala keperluan dan kebutuhan menir Sastro. Manakala saudara tidak bisa melaksanakan dengan baik ketentuan ini, kemudian menir Sastro tidak puas dengan pekerjaan saudara, maka saudara boleh dipecat zonder debat. Paham?” “Paham menir” “Ya, sekarang saudara boleh mulai bekerja.” Opas ya opas, setahuku yang namanya opas itu di jaman aku masih anak-anak, opas itu ya pegawai sipil, pakaiannya berwarna hijau keputihan, begitu juga celananya, topinya kayak
8
topi koboi, dibuat dari anyaman bambu, dilipat miring, pakai ikat pinggang yang digantungi pemukul dari karet keras, tidak pakai sepatu. Kerjanya memukul lonceng kantor (genta, kayak genta gereja, ditarik tali kebawah), suaranya nyaring terdengar sampai jauh ke kampungkampung. Yang paling kenceng suaranya, adalah lonceng Kanjengan (Kabupaten), nggak siang nggak malam, pak opas kerjanya menarik tali lonceng. Tetanggaku ada yang menjadi seorang opas namanya pak Tikno, ya namanya juga manusia, suatu saat mungkin karena terlalu capek atau ngantuk, ia salah memukul lonceng, mestinya jam 12 malam ditarik 12 kali, tetapi ia malah menariknya sampai 13 kali. Rupanya ada yang mencatat kesalahannya itu lalu dilaporkan pada atasannya, sehingga pada pagi
harinya dia pun dihukum, disel oleh kepalanya. Mungkin suatu saat nasibku bisa juga seperti pak Tikno. Waktu itu hari Jumat, jam kerja hanya sampai jam 11 siang. Aku belum mulai bekerja. Hari pertama, hanya kuisi dengan bersantai sambil mendengarkan arahan mbak Dian. “Dik,” katanya, “Bekerja di sini harus rajin tidak boleh malas, pakaiannya harus rapi dan bersih. Lihat itu menir-menir, pakainnya necis dan rapi, semuanya memakai dasi. Tentu adik nggak perlu pakai dasi. Kalau adik rajin, patuh dan nurut nanti cepet naik pangkat. Adik tamatan SMP kan ?, itu nanti kalau sudah menjadi pegawai tetap, pangkatnya Clerk golongannya CII/II.” Aku jadi teringat, ketika aku masih di kampung di jaman Belanda dulu, ada tetanggaku yang pangkatnya Clerk Pos. Orang kampung memanggilnya Ndoro Clerk. Yang lebih tinggi lagi adalah Ndoro Comis Pos, suatu pangkat yang susah dicapai oleh orang kampung di saat itu. Mereka pergi pulang ke kantor tidak dijemput antar dengan mobil, cukup dengan berkendaraan sepeda onthel, merek Fongres. Merek sepeda yang paling terkenal di jaman itu dan jarang dimiki oleh orang biasa. Anak-anak mereka bisa sekolah di HIS, sekolah dasar bagi anak-anak amtenar, sampai dengan kelas VI, tamat. Di sekolah itu diajarkan bahasa Belanda, bahasa kebanggaan mereka. Panggilan mereka adalah den bagus untuk anak lelaki dan den roro untuk anak perempuan. Bahasa Indonesia belum ada, yang ada hanyalah bahasa Melayu, itu saja diajarkan di sekolah rakyat (ongko loro) pada tingkat kelas IV, sedang bahasa pengantar untuk di sekolahan memakai bahasa daerah. Murid-murid pun masih banyak yang memanggil gurunya dengan sebutan ndoro guru.
9
Jabatan guru saat itu adalah jabatan terhormat. Den guru, ndoro guru atau mas guru adalah panggilan hariannya. Ada seorang nenek yang kebetulan anaknya menjadi guru desa (sekolah rakyat sampai kelas 3), pak guru biasa berpakaian jas tertutup dengan kain panjang dan udeng blangkon, jalan kaki pakai sandal. Sang nenek kalau dipanggil dengan sebutan mbah Satirah akan marah setengah mati. Ia akan mencaci si pemanggil itu, “Anak nggak tahu sopan, apa orang tuamu nggak pernah ngajarin, manggil mbah guru apa nggak bisa.” Si nenek ini pekerjaannya pagi dan sore adalah berjualan serabi. Serabinya memang enak sekali. Aku biasa membeli serabinya setengah sen (sak ndil) dengan menyebutnya; mbah guru beli serabinya setengah sen atau satu sen. Beliau sangat senang sekali pada sebutan itu dan serabi untukku pun ukurannya menjadi lebih gede. “Nanti kalau adik rajin dan bisa melayani bapak kepala dengan baik, dari Clerk adik bisa jadi Comis, golongannya DII/II. Tentu saja prosesnya lama bisa tahunan. Dik, ini hampir jam 11 siang. Sebentar lagi kita pulang, tapi hari ini ada undangan. Kita diundang oleh kantor Philip. Itu kantornya di sebelah kiri kantor kita. Kita akan nonton film.” Benar juga kami nonton film, cuma film tentang alat-alat kedokteran, tentang bagaimana alatalat tersebut diproduksi. Kalau sekarang film seperti itu ya tidak lebih dari film iklan. Buat aku yang nggak ngerti tentang alat-alat itu, film itu jadi nggak ada artinya apa-apa. Hanya karena alat-alat ini sangat erat hubungannya dengan kantorku, dan itu merupakan promosi serta penawaran, maka hidangan pun keluar, walau hanya berupa makanan kecil, minuman dan rokok Comodor. Lain hari mbak Dian bercerita tentang pengalamannya yang lain di kantor ini. “Adik bisa lihat ya, di kantor ini berapa jumlah pegawai wanitanya jika dibandingkan dengan pegawai prianya?. Dik, saya kadang-kadang kepingin segera keluar dari kantor ini. Nggak enak dik, teman wanitanya jarang sekali, apalagi saya bekerja di ruangan tertutup, berduaan sama bapak kepala, rasanya kok gimana ya, ada rasa takut. Adik ngerti ya maksud saya? Mungkin ada perkiraan yang bukan-bukan dari teman-teman yang lain. Cobalah bayangkan, satu ketika saya pernah diminta sama bapak (kepala bagian) untuk menemani beliau makan siang dan beliau tidak mau dipanggil menir atau bapak. Ya, sekedar makan siang saja tidak ada apa-apa. Lha tapi kalau yang begitu sering terjadi, bisa itu karena biasa lho dik. Kalau sering-sering dan kebetulan ada setan lewat kan bisa fatal. Nah mumpung
10
belum terlanjur, saya ingin mengajukan permohonan berhenti. Oleh karena itu, saat adik diterima bekerja di bagian ini saya senang sekali dan berucap syukur. Ingatlah baik-baik apa yang pernah saya ajarkan tentang cara bekerja di sini,” begitu kata mbak Dian, sangat telaten dan sabar. Cocok dengan namanya Dian Pertiwi. Dian Pertiwi, kalau diartikan maknanya adalah “Penerang Bumi”. Orangnya memang cantik bahkan yang tercantik diantara pegawai-pegawai wanita di kantor ini. Ukuran besar dan tinggi tubuhnya seimbang, semampailah. Memakai pakaian berwarna dan potongan apa saja serba pas dan baik. Orang Jakarta bilang wanita semacam ini disebut badan sampiran. Namanya saja sampiran dikasih gombal juga terlihat bagus. Tidak lebih dari sebulan aku bekerja, sesuai dengan petunjuk mbak Dian, beliau tak tampak lagi bekerja, tidak ada di kantor ini lagi. Kemana?, nggak tahu. Meneruskan kuliah barangkali, dia memang mahasiswi tingkat III, jurusan Sosiologi, atau mungkin ia pindah bekerja di tempat lain, atau bisa jadi ia telah menikah. Nggak tahu, segalanya bisa mungkin. Aku sudah bisa bekerja sendiri, kemudian kantorku pindah alamat, yang tadinya ada di bilangan Harmoni, sekarang pindah dan ada di bilangan Salemba. Berhadapan dengan rumah penjara, yang di kemudian hari, aku pernah menjadi penghuninya. Namanya saja pegawai bawahan, ya harus nurut pada perintah atasannya. “Patuhi perintahnya,” pesan mbak Dian, “Laksanakan apa yang diperintahkan bapak kepala dengan baik jika ingin tetap bekerja dan tidak ingin dipecat,” tekan bapak kepala urusan personalia. Bukan sekarang saja yang namanya menyalah gunakan jabatan dan korupsi dilakukan, tapi sudah ada dan biasa terjadi sejak dulu. Bahkan di jaman VOC pun korupsi sudah ada. “Sam,” bapak kepala biasa memanggilku begitu. “Coba buatkan saya daftar perjalanan. Begini, kau tahu kan , setiap kali saya keluar kantor untuk keperluan dinas.” “Ya menir” “Jangan panggil menir, panggil saja pak” “Ya pak” “Saya nilai kau telah bekerja dengan baik. Nah, kalau saya pergi untuk keperluan dinas, mesti menggunakan mobil, itu perlu bensin. Coba kau perhitungkan jarak perjalanan dinas itu. Dari kantor ini ke Departemen, lalu ke Departemen Keuangan, lalu ke Siemens, Philip,
11
Heist dan terus ke Bank Indonesia . Yang jelas setiap bulannya perjalanan dinas saya jangan kurang dari 1000 km. Sesudah itu teruskan kepada kepala Jawatan, untuk ditanda tangani. Kemudian ajukan ke Jawatan Perjalanan untuk dimintakan uangnya. Ngerti ya?.” “Pak, Jawatan Perjalanan alamatnya di mana?” “Oh ya kau belum tahu ya?, ya ya, alamatnya di Gambir, di Jalan Merdeka Selatan, nyeberang rel kereta sedikit. Jangan lupa temui pak Bambang di sana .” Begitulah setiap bulannya, salah satu tugas kerja yang harus aku lakukan. Membuat perjalanan dinas fiktif sepanjang 1000 km. Kemana saja?. Aku jadi bingung, mobilnya mobil dinas, bensinnya dari kantor, supirnya juga pegawai negri, kok ya tega-teganya bilang dan memberi perintah, buatkan saya daftar perjalanan dinas jangan kurang dari 1000 km, setiap bulan!. Apa boleh buat, bawahan harus melaksanakan segala perintah atasan. Mulai dari mereka-reka perjalanan beliau dari sini kesana, dari sana kesini lalu kesana lagi, kesini lagi dan seterusnya sampai pada jumlah jarak 1000 km, lalu kuteruskan daftar itu kepada kepala Jawatan, sesudah itu terus ke Jawatan Perjalanan menemui yang namanya Pak Bambang, untuk menerima uangnya. Aku tanda tangani daftar penerimaaan uang itu. Tidak kurang dari tiga lembar kertas yang harus aku tanda tangani. Dari daftar tersebut barulah aku tahu, ternyata ada berbaris-baris nama beliau-beliau yang menerima uang perjalanan ini. Kalau begitu ternyata bapak kepala di tempat aku bekerja bukanlah satu-satunya orang yang melakukan perjalanan dinas semu. Karena sudah biasa dilakukan maka tidaklah menjadi suatu masalah lagi. Sesudah aku hitung jumlah uang sesuai dengan daftar, lalu kumasukkan kedalam amplop dan kemudian aku serahkan kepada bapak kepala. Beliau menerimanya, terus dimasukan ke kantongnya tanpa komentar. Selamat tidak ada apa-apa. Dengan kejadian-kejadian semacam itu dan mungkin masih banyak lagi korupsi lain dengan bentuk yang lain pula. Aku jadi ingat pada satu dagelan wayang kulit yang dibawakan oleh dalang ternama dari Banyumas, Ki Surono namanya, klasifikasinya adalah dalang nasional. Beliau memainkan adegan antara Togog dan Bilung, keduanya adalah tokoh batur raksasa; “Lung,” kata si Togog “Apa kang Togog?” kata si Bilung “Kowe mrene mau opo diajak karo bendaramu?” (kau kemari tadi, apa diajak oleh tuanmu?) “Lha iyo ngono, wong batur” (lha iya begitu orang pembantu) “Bendaramu jare mlebu pedesaan, grasak lan njarah rajah, kowe yo melu?” (tuanmu katanya masuk pedesaan merampok harta rakyat, kamu ya ikut?),
12
“Yo melu wong batur” (ya ikut orang pembantu) “Lha kowe yo dibagi?” (lha kamu ya diberi bagian?) “Yo ora wong batur!” (ya enggak orang pembantu!) “Oh Allah, gusti Allah nasibmu Lung, Bilung, kok kebangetan amat wong melu ngerampok kok ora melu mbadog” Begitulah kira-kira kedudukkanku, menjadi pegawai bawahan, tidak lebih dari Bilung si batur. Ya enggak apa-apa. Jalan terus sampai pada saatnya aku berhenti menjadi pegawai negri dan pindah bekerja ke sebuah percetakan swasta. Aku termasuk penggemar wayang kulit. Dulu radio swasta belum ada, rekaman wayang dalam kasetpun belum ada. RRI adalah radio tunggal. Kalau ada siaran wayang di RRI, aku lebih suka menontonnya secara langsung, atau kadang-kadang jika ada pagelaran wayang di Istana Negara, aku juga sering menontonnya. Memasuki Istana Negara saat itu sangat mudah, setiap warga bisa, tentu saja hanya jika Istana sedang mengadakan pertunjukkan. Undangannya disediakan oleh bagian Rumah Tangga Kepresidenan. Sangat mudah mendapatkannya. Hanya dengan menunjukkan kartu identitas, setiap warga bisa masuk ke Istana. Tidak ada rasa curiga dan buruk sangka. Istana bukan tempat yang angker dan sakral, Istana adalah tempat kediaman orang biasa dan Presiden hakikinya juga orang biasa. Bung Karno adalah penggemar wayang sejati. Tokoh wayang yang menjadi idolanya adalah Ksatrya Pringgodani, Raden Gatutkaca, karena ia gagah, ganteng dan jiwa patriotismenya, dan Raja Mandura, karena kegagahan dan keberaniannya dengan suaranya yang keras, lantang dalam menghadapi musuh-musuhnya. Dalam setiap kali pidatonya, yang dapat memberikan semangat pada rakyat, bung Karno sering menggunakan ucapan pedalangan. Terlebih pada saat pidato Komando Dwikora, dalam rangka merebut kembali Irian Barat. Sikap dan ucapan Baladewa, diucapkan secara baik. Layaknya seorang dalang sedang memegang tokoh si Baladewa. “Hai Nekolim, ingatlah kami bangsa Indonesia, bukan bangsa tempe, kami bukan bangsa yang melempem, kami bukan bangsa yang pandai berucap semuhun dawuh, kami bukan bangsa sesen loro sebenggol papat loro sekudon telu sakurupan, (bukan bangsa murahan, bangsa yang bisa dibeli dengan uang satu sen atau sebenggol, dan bisa ditukar dengan
13
beras sebatok). Ayo mana dadamu, ini dadaku, ayo kopat-kapito kaya ulo tapak angin kekejero, kaya manuk branjangan, majuo sak cindil abangmu legane atiku, rakyat Indonesia telah bersatu padu ayo maju!, bepuk limpung alugara jojoh nenggala sumjur kuwandamu.” Rakyat pun bertepuk tangan dan semangatnya benar-benar menyala. Kalau sudah demikian, mati untuk republik tercinta ini bukanlah apa-apa, bukan suatu pengorbanan berat. Bukan main!. Bergegas aku datang ke rumah pak RT, dengan menggunakan sarung dan alas gapyak aku berangkat. Sampai di rumah pak RT telah ada tamu lainnya, tiga orang laki-laki, satu orang bertubuh pendek-kekar, satu orang berukuran sedang dan satu orang lagi berwajah Tionghoa. Pak RT menyilahkan aku duduk, seraya katanya, “Pak Sam, ini ada tamu yang ingin ketemu dengan pak Sam. Apa urusannya saya nggak ngerti. Silahkan pak ini orangnya yang bapakbapak inginkan," lanjutnya kepada tamu yang lain. “Saudara benar bernama Nursamhari?” “Ya pak” “Gini saudara, saya sangat perlu dengan saudara malam ini juga, ada urusan sedikit. Kalau bisa selesai malam ini, nanti malam juga bisa pulang, ya selambat-lambatnya besok pagi.” Dugaanku untuk dapat rejeki dari pak RTmeleset sama sekali, yang terjadi adalah aku harus berurusan dengan tiga orang yang tidak aku kenal. Melihat gelagatnya sesuai dengan situasi saat itu, aku di tangkap. Benar juga dugaanku ini. Aku ditangkap oleh satuan tim, yang kemudian di belakang hari kuketahui satuan ini bernama Tim Kalong. Tim Kalong adalah tim yang ganas dan produktif. Sesuai dengan namanya, kerja operasinya di waktu malam. Jelas sudah aku digondol kalong!. “Pak saya izin ganti baju dulu,” dengan dikawal oleh ketiga orang itu aku pulang berganti baju, sekalian ingin pamit pada orang rumah. “Oh ini toh rumahnya, kalau tahu ini rumahnya kan nggak perlu melalui RT segala” kata si Tionghoa. “Eh, ya nggak boleh begitu dong, kita ini kan orang timur yang penuh dengan sopan
14
santun. Dia ini warga RT sini, jadi kita ya harus seizin ketua RT-nya” Aku pergi meninggalkan rumah dengan pakaian seadanya, saat itu istriku dengan bayi kami kelahiran 22 Desember 1965, sedang pergi ke rumah kakaknya di bilangan Grogol. Satusatunya orang yang bisa kupamiti adalah kakak perempuanku yang paling tua. “Yu, aku ditangkap” hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Kakakku nggak bisa ngomong apa-apa, dia hanya mbengong dan ngelus dada. Landlover menanti, si tamu yang berukuran sedang adalah sopir. Si gempal duduk di samping sang supir sedang si Tionghoa duduk di belakang bersamaku. Kendaraan tidak langsung menuju kantor, tetapi ternyata diarahkan kemana saja mereka mau. Si Tionghoa tak lepaslepas dari rokoknya, rokok pun ditawarkan padaku, aku menolak. Selama berputar-putar itu mereka tidak pernah berhenti dengan omongan porno yang sangat menjijikkan. Si gempal pernah menghabiskan enam orang wanita dalam satu malam, sedang si Tionghoa yang tak mau kalah pernah melakukan sex oral dengan segala variasinya. Kendaraan jalan terus, tetap belum menuju kantor. Ngalor arahnya Harmoni, ngalor lagi sampai Ketapang, belok kiri. Ngulon sampai perapatan, belok kiri lagi ke arah Cideng. Supir mengerem kendaraan, si gempal dan si Tionghoa turun, nggak tahu mau kemana. Yang pernah aku dengar daerah ini terkenal dengan wanita-wanita simpanan orang-orang gede dan orang-orang berduit, dan wanita-wanita simpanan itu sangat profesional. Di depan gedung terpancang papan “Panti Pijit” atau “Ayam Bakar/Goreng Kalasan atau Prambanan”. Apa pun namanya pada hakekatnya adalah prostitusi terselubung. Bahkan diceritakan, ada yang memiliki dokter spesialis kelamin pribadi. Mungkin saja si gempal dan si Tionghoa ke sana untuk mendapatkan servis dari wanita-wanita itu, malam ini. Melihat cara dan perilaku mereka, bisa aku perkirakan aku ditangkap bukan karena aku orang penting, orang yang sangat mereka cari. Kalau aku orang yang sangat dicari, tentu sesudah aku ditemukan mestinya langsung dibawa ke kantor untuk diinterogasi, disel dan lain sebagainya. Kenyaatannya nggak begitu. Dari Cideng kendaraan balik ngidul arah Mester, sebelum gedung bioskop Central kendaraan belok ke kanan, belok ke kiri nerobos viadeg, belok kiri lagi arah Bukit Duri. Kendaraan berhenti lagi. Aku disuruh turun, si gempal dan si Tionghoa juga turun, aku disuruh jalan dan mereka berjalan di belakangku. Kami masuk gang, keadaan sekitarnya gelap, belum banyak rumah warga yang berlampu listrik. Semua rumah sudah terkunci,
15
waktu sudah larut malam, mungkin malah sudah dini hari. Aku nggak pernah punya jam tangan, kalau pun punya toh aku nggak sempat memakainya saat aku dijemput. Si gempal tanya padaku, “Kau tahu rumah siapa ini?. Apa bener ini rumahnya Dahono? “ “Saya nggak tahu pak” “Kapan ini orang satu kantor denganmu?” “Ya pak, tapi bagiannya kan lain-lain.Lagi pula mana saya tahu alamat rumahnya” “Ya baik, kita teruskan saja besok di kantor.” Rupanya karena waktu sudah larut tengah malam, pertanyaan tidak diteruskan. Kami balik ke mobil, si gempal memerintahkan supir mengarahkan mobil ke arah utara lagi, kali ini langsung menuju kantor. BUDI KEMULIAAN Budi Kemuliaan, adalah nama sebuah rumah sakit bersalin. Melihat gedungnya, bukan merupakan rumah sakit bersalin kelas satu. Kelas dan fasilitasnya masih di bawah kelas St. Corulus atau Cikini, tetapi namanya cukup beken dan dikenal oleh masyarakat luas. Mungkin karena pelayanannya dan santunnya para bidan, suster dan dokternya, sesuai dengan namanya Budi Kemuliaan. Budi adalah sikap perilaku atau watak, sedang Kemuliaan adalah perbuatan. Jadi cocok dan wajar kalau namanya memasyarakat. Di sebelah kanan rumah sakit ini adalah kantor Kodim, masyarakat menyebutnya juga Kodim Budi Kemuliaan, untuk tingkat Kodim, komandannya berpangkat apa, aku nggak tahu, hanya dikemudian hari aku ketahui orang yang menjemput aku di rumah pak RT, adalah seorang yang berpangkat Kapten. Melihat dari caranya menangkapku yang seolah sambil lalu saja, seorang buruh kecil, bawahan ditangkap dengan cara yang demikian juga wajar sudah sak regone (sesuai dengan harga si buruh). Tapi eloknya yang menangkap adalah seorang yang berpangkat Kapten. Bagaimana ini nantinya?. Sampai di tempat tujuan mobil berhenti, mobil tidak masuk halaman Kodim, tapi berhenti di depan pos penjagaan Bank Indonesia , yang letaknya juga terbilang di Budi Kemuliaan. Aku dititipkan pada seorang penjaga pos. Kalau sekarang namanya Satpam. Ya hanya sebuah gardu tempat jaga, aku di tempatkan. Pak satpam menyilahkan aku duduk di kursi. Aku lihat jam tembok, waktu sudah menunjukkan jam satu malam lebih. pak satpam diam saja, tidak ngomong apa-apa. Sampai fajar menjelang, aku nggak tidur sama sekali. Terus terang aku cemas, khawatir apa yang bakal terjadi nanti. Berandai-andai dalam pikiranku,
16
apa yang akan ditanyakan, aku harus jawab apa, seandainya mereka tanya ini itu, aku harus bagaimana dan menjawab apa?. Banyak hal-hal yang tidak mungkin bisa jadi mungkin terjadi. Fajar sudah lewat, seorang pelayan bank membawa segelas kopi susu, pak satpam menyilahkan aku minum. Jam 7 pagi kurang lebihnya, seorang petugas berpakaian dinas militer, menjemputku. Aku masuk kantor Kodim yang sebenarnya. Sebelum memasuki ruangan kantor, aku pamit untuk buang air kecil, pak petugas mengawalku sampai ke kamar kecil, dia menunggu sampai aku selesai menuntaskan hajatku. Di ruang kantor, aku dipersilahkan duduk. Ruangan sudah komplit dengan para petugas. Sebelum melakukan tugasnya masing-masing, mereka melakukan apel bendera, mengucapkan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit tentu tak ketinggalan Sumpah Setia pada Pancasila. Dalam ruangan, sudah diisi oleh para petugas baik yang militer maupun yang sipil, aku dipanggil oleh seorang Letnan untuk menghadap beliau. “Duduk bung,” katanya. Seorang berpakaian sipil mendekat ”Oh, ini toh hasil operasi semalam, lha orang kecil pendek gini saja kok susah-susah amat nangkapnya, sampai semalam suntuk, gila!.” “Eh,” kata pak Letnan, “Kalau ngomong jangan sembarangan. Jangan melihat orang dari postur gede kecilnya saja. Kau pernah baca sejarah nggak?. Napoleon itu manusianya juga pendek kecil, tapi Eropa hampir habis ditelannya. Hitler juga manusia berukuran kecil, tapi siapa yang nggak mengakui kehebatannya?. Bung, kata orang untuk menangkap seekor kakap cukup dengan sepotong cacing, ngerti nggak?. Pak sipil ketawa ngakak sambil meninggalkan ruangan ia berkata, “Benar juga, pak Letnan.” Pak Letnan mulai mengambil kertas dan map,bolpoint di tangan kanannya siap menulis jawabanku dari pertanyaannya. “Saudara bernama Nursamhari?” “Ya pak” “Nama lain atau alias?” “Nggak ada pak” “Biasanya teman-temanmu banyak yang pakai nama-nama lain, seseorang bisa pakai tiga empat nama”
17
“Terserah pak, saya nggak perlu nama lain” “Anda bekerja di percetakan Harian Rakyat, betul?” “Ya pak” “Di bagian apa anda bekerja?” “Bagian expedisi, pak” “Bener?, jangan bohong ya” Aneh dia sudah tahu namaku dan tempatku bekerja, ulah siapa ini?. Kranjingan!. Informasi sudah masuk, komplit barangkali. Pak Letnan tidak bertanya apa-apa lagi, kecuali menulis nama, pekerjaan, alamat rumah, nama anak istriku dan keluargaku lainnya. Perlakuan selanjutnya, aku dibawa dan dimasukkan ke dalam kamp tahanan, tidak ada perlakuan kasar, makian, pemukulan atau sebangsanya. Kamp tahanan berupa sebuah gedung tua yang tidak terawat. Temboknya banyak terkelupas kulitnya, hingga nampak batu merahnya. Ukurannya cukup gede, halamannya pun luas. Di bagian kiri gedung ini ada gedung panjang yang dipetak-petak menjadi empat kamar. Di bagian paling ujung gedung panjang ini, tertumpuk bangkai motor, penuh lawa-lawa, tikus dan kecoak banyak berkeliaran. Kamar mandi dan wc juga ada, airnya bening dan baik. Dapur tidak ada, yang ada hanya bangunan tembok setinggi kira-kira satu meter di depan gedung panjang ini dan penuh dengan potongan kayu bekas masak. Rupanya tempat ini biasa digunakan untuk masak oleh para tahanan, dan kenyataannya memang begitu. Pagar kawat berduri mengelilingi gedung ini, di belakangnya ditempel bilik bambu tipis dan bolong-bolong. Beberapa puluh meter agak miring ke arah kanan, berhadapan dengan gedung ini adalah rumah sakit bersalin Budi Kemuliaan. Dengan diantar oleh seorang petugas militer aku masuk kamp dan sejak saat itulah aku resmi menjadi seorang tahanan. Petugas menyerahkan map dan diriku pada pak RT kamp. Kalau kemarin aku diambil melalui pak RT kampung dimana aku tinggal, sekarang aku masuk tahanan, diserahkan kepada pak RT kamp. Pak RT kamp ini juga seorang tahanan. Pak RTmenyalami aku dengan senyuman. “Selamat datang dik.” Kemudian ia mencatat nama dan alamat rumahku. “Ya tenang saja dik, aku juga seorang tahanan kok. Boleh jadi besok atau lusa aku pun akan menjalani pemeriksaan, atau bahkan mungkin tidak kembali lagi ke sini. Teman-teman sudah ada yang diperiksa, tapi yang belum juga masih banyak.” Dipanggil ke depan (kantor) untuk diperiksa atau keperluan lain istilahnya adalah “dibon”
18
“Nah dik,” katanya, “Kenyataannya adik sekarang menjadi tahanan. Tenang saja, temannya banyak kok,” dia menghibur, "Sekarang istirahatlah sama teman-teman lainnya ngeriung saja kesana.” Berbarengan dengan hari aku masuk, datang pula teman-teman lainnya menyusul, satu persatu dan itu terus berlanjut, sampai kapan berhenti aku nggak tahu. Aku masuk, ngumpul dengan para tahanan lainnya. Lalu datang seorang teman mendekat, dan menyalami, “Bung, akhirnya menyusul kami juga,” katanya. Dia adalah Bung Samosir, teman sekantorku di percetakkan. “Kapan diambil?” “Kemarin malam” “Siapa orangnya?” “Nggak tahu, nggak kenal” “Apa orangnya gemuk pendek (gempal), ya?” “Iya” “Itu komandan Tim Kalong. Bung ada isue yang kurang baik buat bung” “Isue apa?” “Bung dikabarkan menjadi cecunguk” “Kata siapa?” “Tak usahlah bung tahu, tapi saya sudah meluruskannya” “Terimakasih, kalau begitu.” Sampai di situ, pembicaraan tidak berlanjut. Jam 11 siang jatah makan datang, nasi seukuran kira-kira 100 gram dengan lauk sepotong ikan asin. Tempat nasi sebuah besek anyaman bambu, terbuka tanpa tutup. Tampak jelas debu-debu di luar besek. Jatah makan siang dan sore diangkut dengan kendaraan terbuka, apa pun keadaannya jatah makan tetap menjadi andalan kami. Jika tidak mau dimakan, ya silahkan saja, tapi resiko tanggung sendiri. Kalau sudah lapar, nasi plus ikan asin enak juga. “Ayo bung makan, nanti sakit kalau nggak makan. Aku sudah sebulan di sini, sudah biasa dengan makanan macam begini, mau ngandelin siapa?, yang sudah nyambung dengan keluarganya biasanya ada kiriman makanan tambahan, tapi bagi yang tidak punya keluarga atau jauh dari keluarga, seperti tukang-tukang ‘baso’ itu. Umumnya mereka itu berasal dari Jawa Tengah, Solo, Sragen, Boyolali,Wonogiri dan sekitarnya. Sudah lebih dari seminggu mereka masuk. Serombongan, diangkut dengan truk.” Yang dimaksud dengan ‘Baso’ disini adalah, “Barisan Soekarno”, karena itulah mereka ditangkap dan ditahan.
19
“Ayo bung makan, bung dari Utankayu kan ?, itu dekat, nanti atau kapan keluarga juga akan datang nengok. Saya juga belum dijenguk keluarga,” katanya. Dia adalah seorang wartawan foto, asli orang Padang . Aku makan juga nasi jatah itu, habis. Lalu soal minum?. Tahanan yang sudah ketemu keluarga bisa masak di kamp ini, alat masak dikirim dari keluarga, di halaman ada sebatang pohon pedang-pedangan yang ditebang dan sudah kering, dengan kayu itu para tahanan bisa memasak air, jadi air minum selalu tersedia. Selesai makan aku menyender di tembok, nggak bisa tidur juga, mataku cuma merem tok tapi nggak tidur. Pikiranku melayang kemana-mana, apa yang bakal terjadi, bisa pulang lagi apa nggak?. Kemarin si gempal bilang kalau urusan cepat selesai, aku bisa pulang malam itu juga, atau selambatnya pagi ini. Lha ini kok aku nggak ditanya apa-apa, kecuali nama, pekerjaan, alamat, anak istri dan keluargaku lainnya. Bahkan sekarang aku masuk kamp tahanan bersama teman-teman yang lainnya. Jadi kapan selesainya?. Di sebelah kananku seseorang tidur tengkurap, oleh teman lainnya ia dibangunkan, “Eh bung bangun, makan siang sudah datang” Dia bangun menggeliat. Masya Allah!, aku kenal betul sama dia. Kepalanya nggak bulat lagi, berbenjolan dibeberapa bagian, mukanya hampir rata dengan hidung, rahang kanannya agak mengek ke kiri, kedua matanya hampir tertutup oleh pelupuk mata yang membengkak, berwarna biru kehitaman karena darah yang membeku. Barangkali teman ini membuat berang petugas pemeriksa, dengan memberi jawaban yang berputar-putar, atau ia tak mau mengakui segala tuduhan yang dijatuhkan padanya, atau bahkan ia sama sekali tak mau menjawab pertanyaanpertanyaan si petugas pemeriksa. Aku makin cemas, kejadian semacam itu bukan tidak mungkin akan terjadi pada diriku kelak. Tunggu saja pada saatnya kelak kau pun akan tahu. Masa penahanan berjalan terus, seminggu dua minggu, terus berjalan. Aku belum juga dipanggil dan diperiksa. Kecemasanku mulai mereda, ya bagaimana nanti saja. Setiap sore, keluarga yang sudah nyambung datang membesuk, tentu bagi yang mampu mengirim tambahan makanan yang sama sekali tak memadai. Apa artinya nasi 100 gram dengan sepotong tempe atau ikan asin?, kotor lagi. Umumnya keluarga datang membesuk dengan membawa “makanan yang penting kenyang”, soal kwalitas gizi itu nomer dua atau bahkan nomer tiga. Di rumah sakit bersalin juga nampak keluarga pasien datang membesuk. Tapi tentu lain
20
besukkan di sana dengan besukkan di sini. Kalau keluarga tahanan datang dengan besukkan apa adanya, besukkan asal kenyang, serta rasa cemas memikirkan, kapan suami, bapak, kakak, atau adik dapat bebas, kembali pulang kerumah?. Besukkan di rumah sakit bersalin tentunya lain, mereka datang dengan membawa makanan pilihan, walaupun menu jatah makan pasien sendiri sudah sangat baik, lagi pula keluarga datang dengan wajah yang penuh keceriaan, penuh kegembiraan karena menyambut datangnya anggota keluarga baru, si cucu mungil, keponakan yang lucu dan montok, dan si buah hati yang bakal menambah keceriaan rumah tangga. Terbayang dalam benak, seorang calon ibu berbaring menanti kelahiran si buah hati. Perutnya masih menjuluk, dadanya mendelong, mukanya agak pucat. Ada rasa cemas juga barangkali, kadang matanya terpejam, sambil komat-kamit bibirnya, mungkin ia sedang berdoa agar dirinya dapat melahirkan dengan selamat dan lancar, dan si jabang bayi lahir dengan sehat, sempurna tanpa kurang satu apa. Si calon bapak duduk di samping mendampingi, untuk menghilangkan rasa tegang dan was-was sang istri, yang baru pertama kali akan melahirkan, si calon bapak menghibur, seraya bertanya ; “Adik sudah punya calon nama buat anak kita?” “Sudah mas, tapi hanya calon nama untuk perempuan, kalau lelaki nggak punya, susah aku mencari nama yang baik untuk anak lelaki” “Siapa?” “Nawangwulan mas, kalau mas bagaimana, sudah punya calon nama belum?” “Tentu, aku sudah menyiapkan nama-nama yang menurutku sangat baik dan bagus” “Siapa mas?” “Kalau anak kita nanti lahir laki-laki akan kuberi nama dia Paranugroho atau Widagsuh, tapi kalau yang lahir perempuan akan kunamai dia Anggraeni” “Elok mas dua-duanya. Ada artinya nggak mas?. Paranugroho atau Widagsuh itu aku seneng mas, nanti panggilannya Nug atau Dag, bagus mas” “Ada , tentu ada artinya. Orang Jawa biasanya kasih nama anak itu mengku suroso, misalnya Rahayu, Rahajeng, Slamet atau Slamet Raharjo, dan masih banyak lagi nama-nama yang bermakna baik. Paranugroho itu terdiri dari dua kata, Paran artinya rantau atau perantauan dan Nugroho itu artinya adalah karunia. Lha kita ini kan orang perantauan, adik dari Jogya dan aku dari ujung timur Jawa, kita ketemu di Jakarta lalu mendapat anugrah dipertemukan menjadi suami istri, anugrah selanjutnya adalah kita bakal mempunyai anak, si buah hati yang sebentar lagi akan lahir, pas kan?” “Ya mas” “Ada pun Widagsuh itu adalah salah satu nama dari sekian banyak nama yang di punyai oleh Raden Harjuna. Nama-nama lainnya adalah Raden Pamadi atau Permadi, Dananjoyo,
21
Kumbangaliali, Pandu Putra atau Pandu Hawa dan masih banyak lagi” “Tapi anu mas” “Apa, anu apa?” “Raden Harjuna itu kan tukang kawin, istrinya banyak, ini yang tidak simpatik” “Nanti dulu toh, aku kasih tahu arti Harjuna itu, mau nggak?” “Ya, gimana?” “Harjuna atau Herjuna itu juga nama yang terdiri dari dua kata. Her artinya air dan Jun artinya tempat air. Tahu nggak jun atau klenting yang bentuknya seperti periuk tapi pakai leher pendek, mulutnya lebih kecil dari periuk. Ibu-ibu atau gadis-gadis kampung dulu mengambil air dari sumur atau dari sendang dengan menggunakan jun, kalau sudah diisi penuh dibawa pulang dikempit menempel di lambung kering” “Ah, sampeyan kalau cerita kok nggak cak-cek, belok-belok sok kaya sastrawan, ada lambung kering segala, nggak ngerti aku ah” “Namanya juga ngomong sama istri, santai saja kenapa sih?. Kalau santai kan enak didengarnya, jelas urut,” sempat juga si suami mengelus perut sang istri yang masih menjuluk. “Lambung kering itu artinya adalah pinggang sebelah kiri, wong ayu, heh kowe,” bibir sang istri diselentiknya halus. “Jadi Herjuna yang digambarkan sebagai ksatrya tampan itu hakekatnya adalah lambang dari bersatunya antara ‘her’ dan ‘jun’. Setiap jun bisa diisi air atau her, dan setiap her bisa mengisi jun. Her itu adalah lambang seorang pria, sedang jun adalah lambang dari seorang wanita. Trep kan . Lebih jelas lagi, seorang pria mencintai wanita begitu juga sebaliknya, itu sudah sunatullah. Setiap jantan mencari betina. Pria gandrung pada wanita, si wanita kantil sama pria. Nggak aneh kan.” “Aneh juga mas” “Di mana anehnya?” “Nggak adil bener, di mana adilnya jika seorang pria bisa mencintai dan mengawini banyak wanita?” “Ah, itu kan dalih lama” “Mau lama, mau nggak, kenyataannya memang begitu, ayo mau apa?” “Ngko” sik toh!, dengar dulu, penjelasanku belum selesai. Di sini si her tadi bisa mengisi setiap jun. Lha jun itu kan volumenya terbatas, kalau sudah penuh diisi ya sudah, tapi kalau her kemampuannya tidak terbatas, dia bisa mengisi sepuluh, dua puluh sampai ratusan jun. Inilah sebabnya dikatakan seorang pria itu mempunyai kelebihan dari seorang wanita” “Kelebihan apa?, wanita juga banyak mempunyai kelebihan dari pria” “Memang, banyak pula wanita yang mempunyai kemampuan melebihi pria, dalam hal apa?. Kelebihan di sini adalah kelebihan secara hakiki, kelebihan fisik, umumnya pria lebih kuat, itu jelas. Lebih dari itu, kelebihan secara biologis. Coba kau perhatikan, di dalam soal
22
biologis kapan saja pria mau, dia bisa. Beda dengan wanita, wanita itu mempunyai kemampuan yang terbatas, terbatas oleh kondisi fisik wanita itu, misalnya saat hamil tua, habis bersalin, atau sedang menstruasi, itu merupakan halangan bagi wanita untuk melakukan kegiatan biologis. Seorang pria mempunyai dua, tiga atau lebih dari empat istri, kalau sang istri melahirkan seorang anak, maka akan jelas siapa bapak dan ibu dari anak itu. Lha kalau seorang wanita yang mempunyai suami lebih dari satu, jika ia mempunyai anak, ibunya memang jelas diketahui, tapi bagaimana mengetahui siapa bapaknya, sulit kan ?” “Mas, sulit kan bukan berarti tidak bisa, bisa hanya sulit, ya kan ?” “Ya bener, sulit bukan berarti tidak bisa, namanya saja sulit, ya pasti repot. Mungkin nanti kalau ilmu kedokteran sudah begitu rupa majunya, barangkali bisa. Lewat jenis darahnya, A,B,O nya darah si anak dan bapaknya misalnya, atau melalui kromosom (pembawa sifat) dan lain-lainnya. Pokoknya repot deh!” “Ah, orang laki maunya menang sendiri, kalau begitu, seperti aku ini lagi hamil tua begini nih, menunggu kelahiran, apa mas akan menggunakan kesempatan dari kelebihan itu ya?” “Ah ya nggak manis, aku kan bukan Raden Harjuna. Kelebihanku ya hanya untukmu seorang, heh kowe” “Saya selalu berdoa mas, kalau diizinkan anak kita perempuan saja, gampang mengasuhnya terus akan kunamakan dia Nawangwulan” “Ah aku kurang pas dengan nama itu, sekalipun dia seorang bidadari dari khayangan” “Lho kok begitu?” “Nawangwulan itu kan seorang bidadari yang kendo kembene, setidaknya dia bidadari yang sembrono, kurang hati-hati, sehingga kembene gedodoran bahkan hilang” “Maksudnya gimana sih mas, ada kendo gedodoran segala?” “Weh lha priyayi Jogya kok nggak ngerti kendo kembene, payah nih!. Kendo kembene itu senepo, cah ayu, satu pribahasa yang artinya sang bidadari tadi gampang dan mudah memberikan harta miliknya yang paling berharga atau kehormatannya kepada siapa pun, paham?. Orang Jawa itu penuh dengan sopan santun. Anak yang suka mencuri disebut clemer atau dowo tangane, seorang suami yang suka keluyuran di tempat prostitusi dikatakan nakal” “Ya mas, tapi dalam ceritanya kan Nawangwulan itu kecelakaan. Itu kan perbuatannya si Joko Tarub yang terbilang clutak. Kenapa pakaian si Nawangwulan diumpetin, coba kalau nggak karena pakaiannya diumpetin, tentu akan lain jadinya” “Lha itu gene ngerti clutak segala?” “Denger-denger dari orang ngomong, katanya kucingnya cluthak, suka gondoli ikan di meja makan” “Ya baiklah, sekarang aku mau tanya, siapa sih orang yang tidak rontok imannya, melihat
23
pemandangan yang sangat indah dan menggiurkan itu?, coba bayangkan. Joko Tarub itu bukan malaikat, dia manusia biasa. Kalau malaikat itu mahkluk Allah yang berakal kaya kita, manusia, tapi tak mempunyai nafsu. Sebaliknya kalau binatang, mereka juga mahkluk Allah, tapi mereka tidak berakal, mereka hanya punya nafsu. Sedang kita manusia adalah mahkluk Allah yang sempurna, komplit, ya berakal, ya bernafsu. Nafsu itu baik, penting dan perlu. Kalau nafsu itu terpelihara, terkendali dan tersalur melalui jalan yang bener, sangat bermanfaat. Nafsu untuk mencari ilmu agar menjadi pintar dan berguna bagi masyarakat, nafsu untuk menolong sesama, nafsu untuk beribadah itu baik sekali. Tapi kalau nafsu itu tadi lepas liar dan tidak terkendali, wah ini ya sangat berbahaya, kalau sudah begitu mahkluk yang namanya manusia itu tidak lebih dari seekor binatang, namanya dan wujudnya saja yang manusia tapi hakekatnya dia adalah hewan berakal” “Lha sekarang kalau mas mau memberikan nama Anggraeni untuk anak kita, dasarnya apa?” “Baik dengerin ya!. Di suatu kerajaan yang bernama Paranggelung, rajanya masih sangat muda dan cakep, dia punya istri tercinta bernama Dewi Anggraeni. Orangnya cantik sekali, terlalu amat sangat cantiknya, malah mungkin lebih cantik dari Dewi Nawangwulan. Sang raja ini punya kepandaian memanah, kepandaiannya ini adalah hasil dari ketekunan dan gladi yang tiada hentinya. Tapi dasar manusia, tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimilikinya. Sang raja ingin lebih pandai dan lebih pandai lagi dalam memanah. Suatu saat sang raja mendengar tembang rawat-rawat bakul sinambiwara” “Ah, macam-macam saja ini orang ceritanya, pakai bakul tembang segala, aku banyak yang nggak ngerti maaas!” “Ha ha ha, namanya saja cerita wong manis, sedikit-sedikit ya pakai ilustrasi lah. Diteruskan nggak?, mbosen?” “Nggak,nggak bosen, bener, teruskan deh” “Nah sang raja mendengar tembang rawat-rawat bakul sinambiwara, bahwa di suatu negri yang bernama Hastina, ada seorang guru yang sangat kesohor akan kepandaiannya dalam memberikan ilmu olah krida perang. Ia sangat pandai memperagakan macammacam senjata, terutama ilmu memanah. Sebelum sang raja bertemu dengan sang guru, dia mereka-reka, membuat patung sang guru, dari mana dia tahu bentuk dan profil sang guru itu?. Seperti halnya patung Gajah Mada yang gagah itu, apa bener maha patih dan bayangkara Majapahit itu profilnya seperti itu?, apakah itu bukan hasil rekayasa belaka?, nggak tahu, mudahmudahan saja memang begitulah profil sang maha patih itu. Cerita selanjutnya, sang raja melakukan semadi di hadapan patung sang guru, dipuja dan disembahnya sang patung itu. Terus dan terus disembah patung sang guru. Ternyata dari pemujaan dan penyembahaan yang dilakukan oleh sang raja, kepandaian memanahnya
24
makin bertambah-tambah. Oleh karena itu sang raja pun berpikir, alangkah hebatnya kepandaian memanahku kelak kalau aku bisa terlaksana berguru secara langsung dengan sang guru yang sebenarnya. Baru menyembah patungnya saja, kepandaianku sudah bertambah hebat seperti ini. Maka bulatlah tekad sang raja untuk pergi mencari sang guru. Dia pergi bersama istri tercintanya. Perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan, memasuki hutan belukar, naik turun gunung, nyebrang kali melalui lembah ngarai, sampailah mereka di hutan yang sangat teduh, penuh dengan burung dan satwa lainnya. Sang raja bersama istrinya pun berhenti, mereka beristirahat, mengeringkan keringat. Dengan bersender pada sebatang pohon besar sang raja pun beristirahat, sang istri tetap menyertai di sisinya.Walaupun Dewi Anggraeni sendiri juga merasa lelah tapi ia tetap menyempatkan diri untuk memijit-mijit kaki sang suami. Hebatkan?, siapa yang tidak bangga memiliki istri seperti Anggraeni?. Mudahmudahan kelak kalau anak kita perempuan dia bisa memiliki sifat seperti Anggraeni. Nah, saat beristirahat sang raja ingin tidur barang sejenak, tapi sang raja terganggu oleh suara gonggongan anjing yang tiada hentinya. Si anjing menyalak dan menyalak terus. Sang raja jengkel. Keparat anjing ini menyalak dan menggonggong tanpa henti, apa maumu he?, ayo tampakkan dirimu, biar kuhajar kau!. Si anjing tetap tak menampakkan diri, dia berada dalam kerimbunan semak belukar di sebelah sana . Anjing adalah binatang yang mempunyai daya penciuman yang tajam. Dia bisa merasakan adanya orang lain, selain tuannya. Si anjing pun terus saja menggonggong dan menyalak. Habislah kesabaran sang Palgunadi, diambilnya busur dan anak panah, dibidikkannya anak panah ke arah suara gonggongan anjing berasal. Jebret!, anak panah pas tepat mengenai sasarannya, menancap di mulut sang anjing. Ngantuk dik?, kok diam saja” “Nggak, nggak ngantuk, teruskan ceritanya bagus, mas. Nanti kalau aku ngomong katanya, kok interupsi terus” “Ya, cep klekep, gongggongan anjing berhenti, datanglah persoalan baru. Si empunya anjing mendatangi sang raja muda. Dengan suara pelan tapi mantap dan pasti, si pendatang menuduh sang raja sebagai pembunuh anjing miliknya. Sang raja muda tidak mimpi, tidak menduga, bahwa pemilik anjing itu adalah sang Raden Harjuna nan kesohor ketampanannya, ksatrya bagus tanpa cacat. Terjadilah dialog antar mereka, sang raja muda langsung menyembah dan memperkenalkan diri, nama dan asal negaranya, serta mohon maaf dan penyesalan atas matinya anjing beliau. â€oeRaden, sekali lagi maaf raden, saya tidak menyangka anjing itu milik raden, saya merasa terganggu dengan
25
gonggongan anjing itu, serta istri saya juga ketakutan, raden. Saya datang dari jauh, saya ingin menuju negri Astina, raden. Saya ingin bertemu dengan seorang guru yang mempunyai nama besar. Guru itu bernama Dhanyuang Durna, apakah raden mengenal beliau?, tolonglah saya raden , di mana arah negri Astina itu?, saya sangat ingin berguru kepada beliau.Wahai raden tolonglah saya.” Harjuna merasa kaget juga, lalu ujarnya, “Wahai ki sanak, ketahuilah bahwa seorang guru yang kau maksud itu, adalah guru pribadiku. Tidak mungkin ki sanak bisa berguru kepadanya tanpa syarat.” “Ya, baiklah raden, apa syaratnya?” Di kamp tahanan juga terjadi besuk membesuk, tetapi muka para pembesuk tidak nampak ceria, yang nampak hanya muka-muka yang penuh dengan kecemasan. Metamorphosa pun terjadi di sini, seorang tahanan yang dulu masuk dengan tubuh sehat dan wajah utuh, sesudah diinterogasi, kepala yang bulat menjadi penuh benjolan, bibir tipis menjadi tebal, mulut pun menjadi monyong dan masih banyak perubahan lainnya yang terjadi. Dua tempat yang hanya berjarak beberapa puluh meter saja tetapi memiliki perbedaan yang benar-benar jungkir balik. Sungguh ironis!. Di benakku terbayang kebahagian si bapak dan si ibu muda saat menggendong buah hati mereka. Aku sendiri belum kenyang menggendong anakku, anakku baru saja bisa tengkurap saat aku tinggalkan masuk tahanan. Terbayang saat istriku datang tergopoh-gopoh menghampiri anak kami yang menangis keras karena terbangun dari tidurnya, untuk memberikan ASI-nya (Air Susu Ibu). Ya, kapan aku bisa pulang, berkumpul kembali dengan anak dan istriku?. Ingin aku berpanjang-panjang melamun, tetapi mendadak lamunanku terhenti, pak RT kamp mendatangiku, “Ada panggilan ke depan, dik.” Deg!, jantungku bergoncang keras, aku dipanggil, apa yang akan terjadi?. Berusaha aku menahan goncangan di dada, kutekan dan kudekap dadaku. Ku siapkan mental, aku harus tetap menjawab “tidak” untuk setiap pertanyaan yang memang aku tak tahu, tak mengerti dan tak kukenal. Bulat sudah tekadku, aku siap. “Tenang dik,” kata pak RT, “Kancane akeh kok!” Ternyata ucapan “kancane akeh kok” cukup memberikan semangat dan kekuatan mental bagiku. Jam 10 pagi, jatah makan siang belum datang, praktis aku belum makan, tapi aku nggak
26
lapar. Jam 10 pagi adalah saat-saat sibuknya orang bekerja, setiap pegawai sipil atau militer sudah duduk membelakangi meja kerjanya masing-masing. Aku masuk ke sebuah ruangan dengan diantar oleh seorang petugas. Nampak di sebelah kiri pintu masuk si gempal sudah duduk menanti. Di samping kanannya seseorang berpangkat Letnan mendampingi, dan sepucuk pistol Fecrus tampak tergeletak di atas meja. “Nah duduk bung,” katanya. “Sehat, nggak sakit kan ?, krasan di sini?” layaknya kayak ngomong dengan kenalan lama saja. “Sehat pak” “Sudah sarapan?, kalau belum nanti sarapan di sini, ya” “Ya pak” “Begini, saya mau tanya sama bung, kenapa bung ditangkap?” Bukan main pertanyaannya, aneh!, dia yang menangkapku, tapi sekarang malah dia yang tanya kenapa aku ditangkap. Luar biasa!. “Maaf pak, saya nggak ngerti maksud bapak, mestinya yang perlu tanya itu justru saya pak, mengapa saya ditangkap?” “Boleh, boleh juga jawaban bung, baik saya teruskan pertanyaan saya. Bung, bekerja di sebuah percetakan koran, betul kan ?, percetakkan itu juga mencetak buku-buku PKI kan ?. Nah, waktu terjadi peristiwa G.30. S/PKI, apa yang dilakukan Harian Rakyat?, masih aku simpan HR terbitan 1 Oktober 1965,bung. Nih lihat!” Ku lihat sebuah karikatur, seorang bertuliskan Dewan Jendral dipukul roboh oleh sebuah kepalan tangan yang bertuliskan Dewan Revolusi. “Bung kan sudah belajar dialektika?. Kalau bung, bekerja di percetakkan HR, yang PKI itu dan HR menyokong pemberontak dan bung adalah orang yang mengirimkan, menyebarkan dan membagikannya keseluruh negri, kok nggak ngerti kenapa ditangkap. Di mana dialektikanya?” “Ya pak, soal saya mengedarkan koran itu kan memang pekerjaan saya setiap hari, karena itu memang tugas saya sebagai pegawai di bagian expedisi. Jadi apa pun isi dan berita HR itu ya saya mesti mengedarkan, mengantar dan mengirimnya. Lha kalau soal mengedarkan, kan bukan saya saja pak, agen-agen dan penjaja koran juga mengedarkan” “Ya saya ngerti, tetapi bagi agen atau penjaja koran, mereka itu kan tidak lebih dari
27
kerja cari makan, lain dengan bung, bung mempunyai kesadaran politik. Bung dan kelompok bung itu tidak bisa dipisahkan dengan HR” “Pak, pada hakekatnya saya juga cari makan, saya hanya pekerja yang digaji” “Sama bung dengan saya, saya juga cari makan sebagai TNI, saya juga digaji, tetapi sebagai seorang prajurit RI saya sadar, saya harus melaksanakan tugas, menyelamatkan Republik ini. Baik bung, ngerti atau tidak ngerti bung sudah ditangkap. Bung, saya ini adalah salah satu orang yang tahu benar isi perutnya PKI, saya ngerti semua, apa yang ada di kantor CC di Kramat 81 itu. Bung tahu 81 sudah kecolongan. Dulu saya biasa membebaskan kawan-kawan bung yang ditahan oleh DPKN. Jadi kalau saya menanyakan itu ini, itu hanya semata-mata untuk menguji kejujuranmu” Kata “bung”nya sudah hilang kini berganti dengan “mu”. “Kamu kenal orang yang bernama Baho, nggak?” “Kenal pak” “Di mana dia?” “Nggak tahu pak, saya kenal dia bukan dalam arti bergaul, saya kenal hanya sebatas rupa dan namanya saja, saya kenal hanya semata-mata karena satu kantor, yang setiap harinya bertemu. Dia seorang kepala, sedang saya hanya pegawai bawahan. Sama halnya kalau saya kenal nama dan rupa presiden, tetapi presiden tidak kenal saya” “Boleh juga orang ini, sudah diindoktrinasi ya?, kamu dengar suara apa di ruang sebelah itu?” Dari ruang sebelah terdengar suara orang berteriak-teriak “Ampun,pak!”, lalu suara bak buk, dar der dor, grobyak!, “ayo ngaku nggak!” Rupanya mereka sedang berusaha menjatuhkan mentalku. Aku nggak tahu apakah suara-suara itu benar-benar suara seorang tahanan yang sedang diinterogasi dan disiksa atau hanya sebuah sandiwara saja. Aku nggak peduli, bermodalkan kata “kancane akeh kok”, tekadku makin bulat dan mengeras. Hayo silahkan!. “Kamu kenal sepasang suami istri yang bernama Marzuki?” “Kenal pak” “Mereka ini pernah ngumpet di rumahmu kan ?. Kamu tahu, kalau mereka sedang diburu oleh aparat?, kenapa nggak kamu laporkan mereka pada aparat setempat?” “Mereka itu sebagai ganti orang tua saya, pak. Mereka telah membesarkan dan menyekolahkan saya. Saya ingin membalas budi, lagi pula mereka datang kerumah saya semata-mata hanya untuk menengok istri saya yang baru melahirkan, waktu mereka mau pulang, turun hujan deras, jadinya mereka terpaksa menginap. Saya tidak ada urusan
28
dengan soal lapor melapor” “Kamu ngerti catur?” “Ya pak, cuma ngerti, tapi tidak pintar” “Kamu tahu, kalau rajanya sudah mati, apa guna dan fungsi pion dan lain-lainnya?, nggak ada!, kamu kok ngotot mau melawan terus, percuma!” Aku diam tak menjawab. “Kamu pernah ketemu dengan bu Marzuki di rumah si Kasim, di bilangan Polonia, ada urusan apa?, dapat tugas ya?” "Aneh, tahu semua dia?" “Saya ditawari untuk bekerja di pabrik tahu” “Bagaimana caranya kamu bisa menemui bu Marzuki di rumahnya si Kasim?” “Ibu Marzuki yang datang ke rumah saya” “Kamu tahu di mana persembunyian dia?” “Dia tidak pernah ngomong soal di mana dia menginap” “Kalau kamu tidak tahu di mana persembunyiannya, bagaimana caranya kamu bisa sering ketemu?” “Kasim yang sering datang ke pabrik tahu menemui saya” “Berani kamu, aku konfrontir dengan si Kasim?” “Berani pak” Tapi ternyata sampai selesai interogasi dengan segala bentuk siksaannya, orang yang bernama Kasim itu tak pernah dihadirkan. “Semua yang kamu katakan itu bohong, aku yakin kamu tahu benar tentang di mana ibu Marzuki ini bersembunyi, kamu sudah melaksanakan GTM (Gerakan Tutup Mulut) dengan baik. Tapi kamu masih aku beri kesempatan, pikir baik-baik, kamu sebagai pion yang sudah tidak berfungsi akan aku fungsikan kembali. Bantu saya, waktunya lima menit” “Bantu apa pak?, kalau membantu untuk keperluan kantor seperti mengetik misalnya atau nyapu dan bebenah saya bisa pak” “Eh, bener-bener ulet gombal amoh ini. Itu bantuan fisik monyet!, yang kuminta adalah kamu membantuku secara moril, beri aku informasi, ngerti bangsat!” Rupanya kesabarannya mulai menipis, keberangan mulai tampak di mukanya. Seorang pekerja sipil dipanggilnya. “Eh, Madori sini!, ada tugas untukmu”
29
Yang dipanggil datang, orangnya biasa-biasa saja, cuma bermuka cemberut. “Siap be, ada tugas apa?” Si gempal yang dipanggil “be” kependekan dari kata “babe”, tampak makin besar kepala. “Ambil kerokkan itu di atas lemari, saudara kita ini belum sarapan, dia masuk angin rupanya, perlu kerokkan”. Dia mengambil apa yang diperintahkan. Benda keras sepanjang kira-kira setengah meteran lebih sedikit. Kuperhatikan, ternyata benda itu adalah buntut seekor ikan pari, yang kasar seperti kikir. “Saya kasih lagi kesempatan waktu tiga menit lagi” Waktu tiga menit pun berlalu, aku tetap diam seribu bahasa. Lalu di bawah komando hitungan satu, dua, tiga. Madori dengan buntut ikan pari di tangannya mulai beraksi. Aku diperintahkan membuka baju, telanjanag dada, hanya tinggal celana dalam saja yang menempel. Dengan posisi kaki tetap berdiri, dada telungkup di meja, dengan kedua tanganku menjadi bantalnya. Mula-mula betis kanan dan kiri yang menerima hajaran, jebret!. Terasa panas sekaligus pedih bukan main. Kedua betisku terus dihajar dan dihajar, kedua kakiku mancal-mancal. Sabetan diteruskan, sekarang buntut ikan pari bergerak menuju ke atas, kini kedua pahaku yang dihantam, sabet terus berulang-ulang. Buntut pari gremet ke atas lagi, sekarang punggungku yang telungkup di meja seperti alas mencacah daging untuk bedel goreng yang jadi sasaran. Setiap sabetan pertama yang mengenai bagian tubuhku terasa panas, pedes dan nyerinya tujuh kali lipat dibanding bagian tubuh lain yang sudah berkali-kali menerima sabetan. Daging betis, paha dan punggungku terasa kebal bila diraba, kayak nggak terasa lagi, barangkali saraf-sarafnya sudah mati rasa. “Bangun!” bentak Madori. Aku bangun dari posisi telungkup, mukaku tepat berhadapan dengan mukanya. Tiba-tiba, bet!, tanpa komando tinju kanannya mengenai bibir atasku bagian kiri, glosor!, aku jatuh terlentang. Kemudian tanganku ditariknya, pundaknya menyangga dadaku. Kembali tanpa peringatan, tubuhku dilemparnya ke arah pintu, brak!. Punggung dan kepalaku berbenturan keras dengan pintu. Terakhir kali ibu jari kedua kakiku diinjak sekeras-kerasnya dengan hak sepatu. Tidak usah diomong lagi soal rasa sakitnya, setengah kelenger!. Kembali dengan bermodalkan kata “kancane akeh kok”, hatiku bicara: “ayo teruskan,
30
legane atiku, kau tak akan memperoleh kakap dari seekor cacing, jangankan kakap, seekor teri pun tak akan pernah kau dapatkan! “ Puas nampaknya si algojo, Madori,menghajarku, dengan santai ia bertanya pada si gempal, “Diteruskan nggak be?” “Berhenti dulu, kasih kesempatan si bangsat ini untuk berpikir” Lalu aku disuruh berpakaian dan kembali ke kamp untuk beristirahat, aku dikawal menuju kamp tahanan kembali. Sampai di halaman kantor, ada sebuah jip mogok, badan yang sudah tak karuan rasanya, masih juga disuruh bantu mendorong jip itu. Di pagar tembok yang membatasi jalan besar dengan kantor Kodim, tampak seseorang berdiri bertolak pinggang, postur tubuhnya sebesar aku juga. Saat aku melintas, aku menengok ke arahnya, orang itu tersenyum seraya berkata, “He bung!, bagaimana kabarnya zus Mul (istriku) di rumah?” Aku tak menjawab, ternyata dia adalah si Kasim, pemilik rumah di Polonia. Hatiku berkata, “Bangsat kau!, kau jebloskan aku demi keselamatan dirimu sendiri. Yah tunggu sajalah akan nasibmu nanti, bangsat!. Akan berapa lama kau bisa menjadi manusia yang bebas malang melintang di negri ini, mungkin selama kau masih bisa dan mampu menyerahkan orang-orang yang dicari oleh penguasa, selama itu kau boleh bebas berkeliaran. Tapi manakala kemampuanmu telah habis, kau sendiri yang akan menjadi gantinya. Benar juga adanya, di kemudian hari aku dengar si bangsat Kasim ini, akhirnya menjadi penghuni penjara juga, menyusul teman-teman yang telah dikhinatinya dan ia mengalami nasib yang jauh lebih hina. Betapa tidak, setiap tahanan yang melewati selnya yang selalu tertutup itu, selalu saja memberi hinaan yang sangat nista, perkataan, “Sudah mandi bung?, nih air buat mandimu!” yang diikuti dengan siraman seember air kotor ke dalam selnya melalui jendela, adalah sapaan sehari-harinya atau seringkali tahanan lain melemparkan puntungan rokok ke dalam selnya. Satu saat ada yang sengaja melemparkan bangkai tikus kepadanya, bahkan ada juga yang menyiramkan air kencing kedalam selnya. Begitulah kehinaan yang didapat bagi seorang pengkhianat. Penguasa sudah tak membutuhkannya lagi, di dalam penjara mendapat cacian dan hinaan dari sesama tahanan. Dan kehinaan ini pun harus ditanggung pula oleh anak dan istrinya. Dasar pengecut!. Penguasa tetap penguasa, cecunguk tetap cecunguk, tempatnya tetap, masing-masing ada pagar sekatnya. Penguasa tidak pernah puas dengan pemberian cecunguk. Hari ini dia minta satu, besok dia minta dua, jika hal ini dipenuhi oleh si cecunguk maka, lusa dia akan
31
minta empat, sepuluh, dua puluh dan seterusnya, hingga akhirnya mentok, jika kemampuan si cecunguk untuk memberi sudah habis ludes, maka habis pulalah kebebasannya. Sesampai aku di kamp, aku disambut oleh Pak Jul, dia seorang redaktur luar negri HR, ditempelkannya bibirnya ke telingaku, lalu bisiknya , “Kowe lanang tenan”. Ya, cuma itu bisiknya. Dia melihat mulutku yang menjadi monyong dan kepala yang penuh benjolan. Dari ceritanya aku tahu, Pak Jul masuk kamp tahanan ini bukan karena ditangkap oleh tim Kalong, tetapi ia terpaksa menyerahkan diri, sebagai pengganti anak perempuannya yang disandera oleh aparat. Rasa kebal kulitku mulai berkurang, panas dingin mulai terasa menjalari seluruh tubuhku. Seorang teman menghampiri, memberiku minuman beras kencur, segar sekali rasanya. Dalam keadaan darurat, beras kencur adalah obat yang memadai, beras kencur selalu tersedia di kamp ini, diperoleh dari keluarga yang datang membesuk. Airnya enak diminum dan ampasnya bisa dipakai untuk melulur tubuh yang sakit. Oleh teman bajuku dilepaskan, lalu seluruh tubuh mulai dari kaki sampai tengkuk dibalurnya dengan ampas beras kencur. “Jangan kenceng-kenceng bung balurnya, nyeri dan sakit rasanya” Saat kulit terasa kebal, dipegang memang nggak terasa, tapi sekarang setelah rasa kebal berkurang, jangankan dipegang, diraba saja sakitnya bukan main. Begitulah keadaanku, setelah diinterogasi dari jam 10 pagi hingga jam 4 sore, jadi tidak kurang dari 6 jam aku harus menghadapi singa-singa lapar.Ternyata waktu aku sedang diinterogasi oleh si gempal, keluargaku datang membesuk, karena aku belum kembali, tentu saja aku tak ketemu. Dengan keadaan seperti itu, makanan kiriman dari keluarga akhirnya tak termakan, apa lagi jatah makan dari Kodim, karena mulutku yang nyonyor susah sekali dipakai untuk mengunyah, akhirnya aku hanya menyeduh kopi dan menghisap bako lintingan. Rasanya kok nikmat sekali. Tembakau lintingan biasa disebut “rara ireng”. Sahabat karibku yang tinggal di dekat rumah suka menitipkan rara ireng untukku, setiap kali besukkanku datang pasti ada rara irengnya, sehingga besukkanku dikenal dengan sebutan besukkan rara ireng. Kalau sudah begitu, berdatanganlah teman-teman sekamp, ngeriung ramai-ramai ngisep rara ireng. Waktu berjalan terus tanpa henti, aku belum dipanggil lagi, walaupun sudah lebih dari
32
sebulan aku beristirahat. Kesehatanku mulai pulih, canda, nyanyi, nembang serta saling bercerita menjadi pengisi waktu, sambil menunggu nasib yang tak menentu.. Sebenarnya sebelum aku masuk kamp tahanan, keadaan di luar sudah berbalik arah. Gerakan September hanya berumur sehari- semalam. Masa yang tadinya berteriak, “Kembalikan Soekarno!, Langkahi dulu bangkai kami sebelum menyinggung Soekarno!”, sekarang telah berganti dengan kata-kata, “Mundur Soekarno!, Ganyang, dan Gantung Soekarno!” Berulangkali para demonstran itu berunjuk rasa di sekitar kamp. Di depan Kodim pun teriakan-teriakan histeris para demonstran berlangsung terus, “Babat dan sikat habis tahanan PKI”, kami pun cemas, kami bersiap diri, kami persiapkan pikiran dan mental kami. Apa boleh buat, apa pun jadinya seandainya para demonstran itu masuk, menyerbu ke dalam untuk membunuh kami, sedapat kami buat, kami akan mempertahankan diri. Syukurlah penyerbuan yang kami khawatirkan itu tak pernah terjadi. Lebih dari empat bulan aku menghuni kamp tahanan Kodim Budi Kemuliaan. Rupanya kami akan segera dipindahkan. Perintah mengosongkan kamp segera dilaksanakan, kami pun bersiap-siap pindah, kemana?, nggak tahu. Kalau si bapak dan si ibu muda dalam lamunanku, meninggalkan rumah sakit Budi Kemuliaan menuju ke rumah tinggalnya, bersama si kecil dalam dekapan. Sedang kami menuju kemana?. Tunggu pada saatnya akan kau ketahui. SALEMBA Saatnya tiba, kami diperintahkan bersiap-siap untuk segera berangkat, meninggalkan kamp Budi Kemuliaan. Saat itu pagi hari, truk untuk mengangkut kami telah siap, tiga sampai empat truk parkir berderet. Berbondong kami keluar meninggalkan kamp, naik dan masuk ke atas bak truk, kami diperintahkan duduk, tidak boleh berdiri. Perpindahan ini begitu mendadak, sehingga kami tak sempat memberitahu keluarga, tapi kami sendiri pun bingung, tak tahu kemana kami akan dipindahkan. Truk yang mengangkut kami mulai jalan, kami semua tidak tahu rute mana yang dilalui truk, tapi hanya selama tak lebih dari setengah jam perjalanan, truk berhenti, kami diperintahkan segera turun. Ternyata kami ada di bilangan kawasan Matraman, lebih jelasnya adalah Salemba, persis di depan kantor Pharmasi, tempat aku pernah bekerja dulu. Sebuah bangunan penjara dengan tembok tinggi di sekelilingnya, orang menyebutnya RTC (Rumah Tahanan Chusus). Aku teringat pada kejadian dimasa lalu, dulu sewaktu aku masih berusia kira-kira 10 atau
33
11 tahun, saat itu aku sudah bisa membantu emakku, membawakan barang dagangan ke pasar. Setiap hari aku bersama emak berjalan kaki dari rumah ke pasar untuk berdagang, dan setiap kali kami menuju pasar kami pasti melewati jalan di depan sebuah penjara. Bangunan yang di kelilingi oleh tembok tinggi, dan di setiap sudut tembok ada menara penjagaannya, pintunya bercat hitam dan selalu tertutup. Orang-orang kampung menyebutnya dengan “lawang ireng”. Anak-anak sebayaku bila bermain dan bersenda gurau, suka dengan olok-olokan “Ayo, tangkap si Kemin lebokne lawang ireng!”, (Ayo tangkap si Kemin, jebloskan ke penjara!). Perjalanan dari rumah ke pasar tidaklah jauh, setiap kali kami sampai di depan penjara, aku selalu mencium bau nasi yang baru matang, baunya gurih banget. Suatu saat pernah aku bertanya kepada emak. “Mak, dalamnya penjara itu kayak apa sih, mak?, aku pengin tahu dan lihat dalam dan isi penjara” “Hus!” kata emak, “Kepengin kok pengin lihat dalamnya penjara, ya nggak tahu. Kalau punya kepenginan itu ya yang baik. Eeh, kepengin jadi juru tulis atau kepengin jadi guru, kalau kau jadi juru tulis atau guru, kau akan jadi priyayi dan nanti kau akan dipanggil dengan sebutan ndoro juru atau den guru. Dasar bocah bodoh, kepengin kok kepengin tahu jerone mbuen!” Maklum orang kampung, zaman itu masih zaman penjajahan Belanda, jika seseorang punya anak yang menjadi guru atau juru tulis itu merupakan kebanggaan bagi orang tua. “Kalau kau kepengin tahu dalamnya penjara, sana tanya sama pakdemu” “Memangnya pakde tahu dalamnya penjara, mak?” “Bukan tahu lagi, pakdemu itu malah wis kawakan di penjara” “Memangnya kena apa mak, pakde kok kawakan di penjara?” “Pakdemu itu biasa disebut orang “dukdeng”, jago berkelahi, tukang bacok. Nah pada suatu saat dia kalah judi, uangnya habis ludes buat berjudi, sebagai petugas penarik uang sapon (uang kebersihan) di pasar, uangnya nggak dia setorkan pada atasannya, tapi malah dipakainya habis untuk main judi, pakdemu itu nggak bisa baca tulis, tapi karena kemampuannya dalam mengatasi setiap ada masalah dan keributan di pasar, maka itu dia dipercaya oleh guverment untuk menjadi tukang pungut uang sapon. Satu saat dia harus menghadapi pengadilan, dengan tangan diborgol dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di meja hijau. Ketika seorang saksi memberikan kesaksian yang memberatkannya, pakdemu bangkit dari kursinya, dengan menggunakan borgol besinya si saksi dihajarnya habis-habisan oleh pakdemu, akibatnya tambah beratlah hukuman yang dijatuhkan pada pakdemu, pakdemu akhirnya dibuang ke Nusa Kambangan.”
34
Kini setelah 25 tahun berlalu, di saat aku telah genap berusia 36 tahun, keinginanku untuk mengetahui isi dan dalamnya penjara, kesampaian juga, tidak hanya sekedar untuk melihat isi dan dalamnya penjara, tapi aku benar-benar menjadi penghuninya, untuk berapa lama?, ya nggak tahu. Karena aku masuk penjara bukan berdasarkan hasil vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan. Ya aku memang tidak pernah diadili, aku hanya diinterogasi, digebuk, dipukul, dijotos, ditendang, dibanting dan dicambuk dengan buntut ikan pari, setelah itu aku disuruh tanda tangan, terus masuk penjara. Jadi soal berapa lama aku akan menjadi penghuni penjara, ya nggak tahu, nggak jelas. Sangat mungkin aku akan lebih kawakan dalam hal masuk penjara dibandingkan pakdeku, mungkin pula aku juga bisa dibuang ke Nusa Kambangan seperti beliau. Hal pertama yang aku perhatikan saat kakiku menjejak halaman penjara adalah pintu penjara yang biasanya selalu tertutup, kulangkahkan kakiku, ternyata dibalik pintu yang selalu tertutup itu masih ada beberapa pintu lainnya. Pintu pertama, adalah pintu pagar pembatas antara jalan dengan halaman penjara. Pintu ke dua adalah pintu yang sangat kokoh, di balik pintu ke dua ini di kiri kanannya ada ruang kantor yang dibelah oleh jalan yang tembus ke belakang. Untuk keluar dari ruang kantor, kami harus melalui pintu ke tiga hingga sampai di sebuah halaman, dimana rombongan para tahanan harus dihitung serta diperiksa barangbarang bawaannya, di sini kami harus menyerahkan sepatu, ikat pinggang, dan kalau ada benda-benda tajam seperti silet, jarum bahkan sepotong peniti dari kawat pun harus diserahkan pada petugas penjara. Selesai pemeriksaan dan penyerahan barang-barang yang dilarang, kami memasuki pintu ke empat, kali ini kami sampai di sebuah lapangan luas. Lapangan yang biasa dipakai untuk olah raga atau upacara bendera, dan juga digunakan sebagai lapangan untuk shalat Jumat atau shalat hari raya bagi para tahanan, lapangan ini dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang sama ukuran dan bentuknya dengan tulisan huruf “A” sampai “R”. Bangunan inilah yang disebut dengan “Blok”. Pintu ke lima adalah pintu yang menuju halaman blok, nah di halaman inilah terletak sel-sel penjara dengan pintunya yang paling kokoh, pintu ke enam atau pintu terakhir. Rombongan kami dipecah-pecah untuk masuk ke blok yang sudah ditentukan. Rombonganku kebagian masuk ke Blok-E, blok khusus untuk tahanan kriminal. Petugas pengantar kami selain petugas sekuriti disertai pula oleh seorang petugas yang setiap harinya bertugas menutup dan membuka pintu sel dan pintu blok. Petugas ini seorang tahanan juga, dia dari kesatuan RPKAD, badannya kekar, namanya Kaslan. Di blok-E inilah aku bertemu dengan bung Baho dan adiknya bung Polin. Baho sebenarnya adalah sebuah
35
nama Marga, namanya sendiri aku nggak tahu. Bung Baho inilah yang dulu pernah ditanyakan keberadaannya oleh si gempal, disamping bung Dahono yang rumahnya pernah ditanyakan padaku saat di bilangan Bukit Duri. Selain bung Baho, bersamaku ada pula seorang BTI, bernama pak Alex yang sejak di kamp Budi Kemuliaan telah berkumpul denganku. Menurut mas Kaslan, si RPKAD, blok-E, adalah blok yang paling keras, satu-satunya blok yang sering terjadi perkelahian antar sesama para tahanan kriminal. Mas Kaslan menyalami pak Alex, “Ooh Pak Iskandar.” Kebetulan mereka berdua berasal dari satu daerah yang sama, Cepu. “Eh, jangan panggil aku Iskandar, panggil saja aku Alex.” Mas Kaslan pun mengangguk. Aku juga baru tahu kalau nama aslinya pak Alex adalah Iskandar. Kebetulan postur tubuhnya pak Alex ini lumayan besar, ia juga piara kumis, melintang kayak ekor ketonggeng (kalajengking), orang kampungku menyebut kumis semacam ini dengan sebutan ‘brengose nonggeng’ (kumisnya kayak ekor ketonggeng). Dan dari keterangan-keterangan mas Kaslan inilah akhirnya bung Baho menokohkan pak Alex, manakala terjadi keributan di Blok-E. Pak Alex memang mempunyai ilmu bela diri, terutama silat. Mas Kaslan selanjutnya menjelaskan agar kami tak perlu khawatir jadi penghuni Blok-E. “Ini hanya sementara saja kok, teman-teman yang lain, dulu sebelum menempati blok yang lain, juga transit di blok ini. Tenang teman-teman, nggak usah khawatir, ada saya kok” Penghuni Blok-E ini dikenal dengan julukkan “Nisan Boy”, mereka berasal dari anggota TNI Angkatan Darat, Brimobnya juga banyak, umumnya mereka berbadan kokoh dan tentunya memiliki kelebihan dalam soal berkelahi. Mereka ini menjadi narapidana karena kasus pencurian mobil Nisan. Selanjutnya mas Kaslan berkata, "Mereka pernah kutantang, ayo siapa yang paling jantan, dengan tangan kosong ayo maju dua sekaligus, jika dengan sebilah belati di tanganku ayo silahkan maju empat orang . Tapi tak seorang pun dari mereka yang bergerak.” Sepengetahuanku, anggota RPKAD adalah satuan yang dididik khusus untuk berkelahi. Dua malam sudah aku menjadi penghuni sel di Blok-E bersama bung Baho, pak Alex, bung Polin dan teman-teman lainnya, tujuh orang dalam satu sel. Tembok sel ini sedemikian kerasnya, tebal lagi. Pintunya terbuat dari plat besi setebal setengah centi meter, rangkap dua. Plafonnya dari beton dan gentengnya buatan Karangpilang-Surabaya, dilindes motor pun tidak akan pecah. Jadi bagaimana mungkin seorang tahanan bisa melarikan diri dari
36
penjara?. Kalau bisa keluar dari sel pun masih harus menembus lima pintu lain yang juga sama kokohnya, belum lagi mesti harus menghadapi para penjaga. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa ternyata banyak juga tahanan yang bisa meloloskan diri dari penjara, yang jelas mereka bisa keluar dari penjara ini bukan dengan menjebol tembok ataupun membongkar pintu penjara, melainkan mereka menjebol mental para petugas penjara. Bahkan bukan hal yang aneh jika ada kejadian, seorang tahanan atau narapidana bisa pulang ke rumah, menghamili istrinya. Tak kurang dari sebulan aku tinggal di Blok-E, saling tegur sapa dengan para tahanan kriminal pun terjadi. Satu ketika, kiriman dari keluarga datang, kami ajak mereka makan bareng-bareng, menawarkan sepotong tempe goreng, ubi rebus atau tembakau selintingan, kami ngobrol dengan baik. Bahkan kepala bloknya dengan bercanda pernah bertanya padaku, “Apakah bapak punya dua istri?” “Nggak,” aku bilang “Lha ini ada besukkan dua kali, semuanya atas nama bapak” “Oh itu toh!, ini besukkan yang pakai tas ini memang besukkan dari istri saya, sedang yang satu ini besukkan dari saudara perempuan saya.” Ya, memang ketika itu aku pernah menerima dua kali besukkan, besukkan itu hanya serantang nasi, sambal, tempe goreng dan serantang sayur asem, aku yakin benar kalau besukkan ini adalah dari mbakyu sebelah rumahku, istri sahabatku. Tandanya dari bungkus besukkan yang berupa taplak meja dan aku kenali betul taplak itu milik mereka. Sengaja tak kukembalikan bungkus besukkan itu, aku sangat memerlukannya, buat bungkus pakaian sekaligus untuk bantal di saat tidur. Kepala blok aku ajak makan bareng, kubagi dia sayur asem, kutawari pula sambel dan tempenya. Sambil makan ia ngomong, “Bagaimana pak, seandainya kita bebas nanti, kita bekerja sama?” “Kerja sama apa?” “Saya akan kembali meneruskan profesi saya. Biasa pak, nyabet mobil lagi. Kalau tidak karena kecerobohan teman saya, tidak mungkin saya akan tertangkap. Gampang pak soal bobol tembok atau bongkar kunci, apapun bentuk dan model kunci itu. Pengin tahu, pak?, gini bapak ambil beberapa pentol korek api (geretan kayu), lalu haluskan pentol itu hingga jadi bubuk, masukan bubuk itu ke lubang kunci atau gembok sampai penuh, sesudah itu sulut dengan api. Pasti kunci atau gembok itu akan kendor dan terbuka” “Weh lha, apa semudah itu membuka gembok, apa bener begitu?” Dia mengangguk, habis makan dan ngobrol ia pun pergi, aku menyalakan sebatang rokok
37
sambil berdiri di depan pintu sel. Tak lama datang seorang tahanan kriminal lain, tubuhnya tinggi tapi tidak sekokoh tubuh si kepala blok, kepalanya gundul. Pas sampai di depanku dengan enteng si gundul mencabut rokok yang menempel di mulutku, yang baru aku hisap beberapa tarikan, sambil tersenyum si gundul berkata, “Marah pak?” Aku menggelengkan kepala. Dasar setan gundul!. Untuk keperluan mandi pagi dan sore, bagi sekian banyak orang, hanya ada satu sumur yang dikelilingi tembok, tanpa bak mandi. Jadi kami biasanya mandi bareng-bareng, juga dengan para tahanan kriminal. Aduh tobat aku!, begitu rupa tingkah para kriminal itu. Saat kami sama-sama telanjang, untuk mandi, aku lihat sekujur badan mereka penuh dengan tato yang beraneka rupa gambar dan bentuknya. Ada seorang yang sepanjang lengan kanannya digambari naga melingkar, mulai dari ketiak sampai ujung lengan. Ada pula yang di bagian dadanya digambari tengkorak, yang lebih gila lagi ada yang di paha kiri kanannya digambari sosok wanita, yang telanjang bulat komplit dengan alat vitalnya (vagina dan pubesnya). Ada pula yang di seluruh punggungnya ditutupi dengan tato bergamabar peta Indonesia . Bung Baho yang kebetulan mandi bersama, tertawa kecil sambil berkata, “Menurut saya dari sekian tato yang saya lihat, ternyata tato anda yang paling bagus dan penuh arti” Si penyandang tato tertawa juga, lalu bertanya, “Bagusnya dimana dan penuh arti apa, papa?” "Bagusnya gambar itu terlihat jelas, rapi dan tidak belepotan. Penuh arti, jelasnya anda mencintai tanah air anda, yaitu Republik Indonesia . Lebih tegasnya lagi anda adalah seorang patriot" “Artinya apa itu, papa?” “Ya itu tadi, anda adalah seorang yang berjiwa patriot, mencintai Republik ini dengan bangsa dan segala isinya.” Rupanya si bocah yang masih terbilang muda ini merasa dipuji, nampak sikapnya tidak sebringas teman-temannya yang lain. Dengan nada rendah ia berkata, “Papa, beta berasal dari Maluku, tepatnya beta dari suku Ambon , beta masuk Brimob terdorong oleh keinginan beta untuk melawan RMS. Beta seng suka sama itu RMS” “Lha lalu ceritanya bagaimana kok anda bisa sampai menjadi tahanan?” tanya bung Baho. “Begini papa, sebenarnya bukan niat beta untuk berbuat jahat, papa, tetapi beta terpaksa melakukannya, anak beta yang kedua mau lahir, beta seng punya kepeng sama sekali. Oleh pengaruh teman toh, beta diajak mencuri mobil. Beta seng punya pengalaman mencuri, beta gagal. Beta seng dapat mobil, teman beta bisa lari, dorang sopi jauh, beta ditangkap, sampai masuk penjara ini.” "Nah jelas kan sekarang, anda sebenarnya bukan orang jahat, anda adalah seorang
38
patriot. Karena didorong oleh kebutuhan dan oleh pengaruh keadaan anda jadi seperti ini. Jadi keadaanlah yang mendorong anda berbuat nekat. Seandainya anda memperoleh pendapatan yang cukup dan jaminan sosial yang memadai dari pemerintah, tentu tidak seperti ini nasib anda. Tapi jangan cemas, anda masih muda, hari depan anda masih panjang. Jadi kalau anda nanti bebas, anda mau kemana?” “Beta sudah merasa papa, beta pasti dipecat dari kesatuan Brimob. Beta mau kembali ke kampung saja, beta mau mengolah sagu. Beta mau bisnis sagu saja papa. Terimakasih papa. Beta senang menerima nasihat papa” Hanya beberapa menit saja bung Baho sempat mengkuliahi si bocah Ambon ini sambil mandi. Menjadi penghuni blok kriminal berjalan terus, suatu hari ketika lonceng tanda untuk masuk kembali ke dalam sel berbunyi, mendadak pintu sel tidak bisa dikunci. Komandan sekuriti, Peltu Marjuki datang, seraya perintahnya, "Kalian nggak boleh dan nggak bisa menempati sel terbuka ini, kalian harus pindah" lalu ia pun berteriak, “Kaslan!” “Siap pak” “Berapa jumlah penghuni sel ini?” “Tujuh orang pak” “Bagi menjadi dua, tiga orang masukkan di sel ini,” Peltu Marjuki menunjuk sel sebelah kanan sel kami, “Dan lainnya yang empat orang, masukkan di sel sebelahnya” “Siap pak” Bung Baho maju, mohon bicara sedikit pada bapak Peltu yang terhormat. “Maaf pak, kalau boleh saya usul” “Usul apa?, ini bukan jaman seperti dulu, ketika kalian masih bebas ngomong dan bertingkah, mau usul apa kamu?” “Begini pak, kami sadar betul, bahwa kami ini ada di penjara. Berilah kami keringanan barang sedikit. Bagaimana sih rasanya kalau kamar berukuran untuk dua orang harus diisi tujuh orang, pak. Izinkan kami tetap tidur di sel ini pak, saya jamin, kami tidak akan melarikan diri, kalau kami sampai melarikan diri, itu kan perbuatan bodoh dan bunuh diri namanya” “Lagaknya kayak pemimpin kasih petunjuk kulinya saja, kamu. Di sini aku yang berkuasa, hanya aku yang berhak ngatur. Kalian semua harus tunduk sama peraturan penjara, ngerti monyet!, Kaslan laksanakan perintah” “Siap pak” * beta = saya * seng = tidak * kepeng = uang * dorang sopi jauh = dia orang sudah pergi jauh
39
Mas Kaslan pun tak bisa berbuat lain, kecuali menuruti perintah. Tetapi apapun jadinya bung Baho telah berusaha dan beliau telah menunjukkan kelasnya, sebagai seorang pemimpin di antara kami. Dalam benakku terpikir, rusaknya pintu sel bukan tidak mungkin adalah ulah para tahanan kriminal sendiri. Akhirnya kami harus menempati sel lain. Aku termasuk ke dalam bagian yang berjumlah empat orang, mungkin karena postur tubuhku yang kecil, jadi aku di hitung setengah, dan seorang lagi yang juga berpostur tubuh kecil seperti aku, bernama Haji Effendi, melengkapi yang setengahnya lagi, pas, mungkin kami berdua di hitung jadi satu. Sekecil apapun, yang namanya tujuh orang harus menempati kamar berukuran untuk dua orang, tentu bisa dibayangkan bagaimana sempitnya. Akhirnya kami nggak tidur semalaman, kami hanya bersender di tembok, berkeliling, malam terasa amat panjang dan lama, panas, pengap dan sumpek sudah jelas. Pagi hari tiba, dan hari itu bertepatan dengan hari Senin, hari besukkan, walau nggak tidur semalaman, muka kami agak ceria, kenapa?. Apa lagi kalau bukan karena ada harapan datangnya kiriman dari keluarga, walaupun tak pasti, tapi toh diantara kami ada yang pasti datang kirimannya, lumayan. Barangkali ada solidaritas dari teman yang lain, yah dapat-dapat singkong sepotong dua atau rara ireng selintingan. Benar juga, agaknya beberapa orang diantara kami menerima kiriman besukkan dari keluarga, termasuk Haji Effendi, ketika besukkan diterimanya, datang bergegas seorang tahanan kriminal, dengan menyodorkan omprengnya (piring alumunium tempat jatah makan para tahanan), dia menunjuk rantang yang berisi lauk, milik pak haji. “Entar dulu dong, bung. Ditata dulu biar rapi” Tapi si kriminal memaksa, watak berandalannya keluar, rantang milik pak haji direbutnya, pak haji mempertahankan. Terjadilah otot-ototan, saling adu tarik, akhirnya lauk tumpah, tak puas rantang alumunium diinjak-injak sampai gepeng oleh si kriminal. Keributan pun terjadi. Kepala blok, pak Alex datang melerai, si bocah Ambon pun ikut datang sambil mencaci kawannya yang berandalan. “Ee ose seng tahu malu, dorang punya keluarga kasih kirim, ose seng boleh ganggu, cukimai!, dasar ose punya mulut seperti lubang puki! (mulut vagina)” Di sinilah terlihat, ternyata biar hanya seujung kuku, bung Baho telah berhasil mengambil hati si bocah Ambon . Kurang lebih sebulan kami menghuni Blok-E, pagi itu kami harus pindah lagi ke blok lain. Kami dipilah, bung Baho dipindah entah kemana, aku nggak tahu. Bisa jadi beliau dikembalikan ke RTM (Rumah Tahanan Militer), atau ke Guntur-Pasar Rumput, beliau memang bukan tahanan yang berasal dari Budi Kemuliaan, yang pasti selama aku menghuni
40
RTC, aku tak pernah lagi bertemu dengan Bung Baho. Aku dan pak Alex di pindah ke Blok-Q. Kata mas Kaslan Blok-Q adalah blok elite, blok VIP, Blok-Q juga disebut Blok Isolasi. Para tahanan di blok ini tidak boleh berolah raga di lapangan bersama-sama dengan tahanan dari blok lain, katanya takut kami “ngompol” (ngomongin politik). Dan yang juga termasuk blok isolasi adalah Blok-R, yang isinya kebanyakan orang-orang gede. Memang begitulah adanya, di Blok-Q ini ada yang namanya Hasyim Rahman, pemimpin Harian Bintang Timur, sekaligus beliau bertugas sebagai kepala blok. Ada juga orang-orang penting dari Kantor Berita Antara, tapi nggak ada yang aku kenal. * ose = kamu Lalu ada redaktur Harian Suluh Indonesia , Bung Satria Graha. Juga ada petinggipetinggi Deparlu seperti , MulyadiWilono, Kartono Kadri, bahkan Jubir Deparlu Ganis Harsono melengkapi isi Blok-Q ini. Mereka itu adalah orang- orang yang gagah fisiknya, tinggi intelektualnya, dan gede kiriman besukkannya. Mereka biasa mendapat kiriman dari keluarga dengan bungkus kertas bergambar “Sarinah”, toserba (toko serba ada) termewah dan satusatunya yang ada di Jakarta saat itu. Berbeda dengan rombongan kami yang datang dengan fisik kerempeng, pendidikkan ala kadarnya dan kiriman besukkan yang kecil serta tak menentu pula, serba terbalik pokoknya. Dulu sebelum terjadi peristiwa besar 30 September 1965, ada ungkapan-ungkapan atau semboyan-semboyan revolusioner, yang mengatakan, “Perut boleh ke kanan, tapi Politik harus ke kiri” atau “Politik adalah Jendral. Hati lebih keras dari rasa lapar”. Ternyata kini setelah berada di dalam penjara semboyan-semboyan itu hanya tinggal semboyan belaka, tidak pernah terjadi. Kalau toh terjadi, justru kebalikannya. “Perut tambah ke kanan, Politik juga makin ke kanan dan terus ke kanan”. Semuanya, apakah itu semboyan, ilmu, teori atau pun ungkapan, perlu diuji kebenarannya. Dan penjara adalah salah satu tempat ujiannya. Blok-Q, sudah ku huni selnya beberapa bulan, oplosing antar blok terus berjalan setiap kali. Ada orang-orang yang kuat kirimannya serta mampu dan mau menggendong (istilah
41
penjara untuk menanggung) si minus kiriman, mendadak dipindah ke blok lain, si minus pun merasa kehilangan. Ada blok yang sudah banyak kehilangan orang-orang kuatnya, malah ditambahi orang-orang kere atau bahkan orang-orang yang telah putus hubungan dengan keluarganya. Bisa jadi karena keluarga memang sudah tak ada kemampuan untuk mengirim atau karena si istri dan keluarga meninggalkan tempat tinggalnya karena tak tahan menerima cemohan, sindiran atau hinaan dari orang-orang di sekeliling tempat tinggalnya. Karena hinaan yang mereka terima bukan hanya berupa kata-kata saja tapi juga hinaan secara fisik, seperti membuang muka atau bahkan meludahi bila mereka saling bertemu. Sungguh penderitaan yang luar biasa. Banyak pula istri-istri yang bercerai sepihak (rapak) dan kawin dengan orang bebas, menjadi istri kedua atau bahkan ketiga dari orang-orang berduit, hidung belang atau pun orang-orang yang saat itu sedang mempunyai kekuasaan. Tak urung Blok-Q pun mengalami tata ulang warganya, tambahan orang-orang minus makin banyak. Kalau sudah demikian repotlah kepala blok mengaturnya. Seorang yang biasa menerima besukkan tiga kali seminggu (Senin, Rabu dan Sabtu), diserahi untuk menggendong dua orang non besukkan atau satu orang non besukkan dan satu orang dengan besukkan seminggu sekali, itu pun sudah sangat sulit didapat. Yah, macam-macamlah cara kepala blok mengaturnya. Ada pula tiga orang non besukkan di kelompokkan jadi satu sel, lantas jatah makannya dimintakan dari mereka yang mampu atau sudi membantu, itu pun hanya bisa terjadi pada hari-hari datangnya kiriman besukkan. Waktu kami para tapol masih menjadi tahanan di luar Salemba, soal perut belum menjadi soal yang serius. Kami hanya menghadapi satu soal, yaitu siksaan fisik. Taruhlah seorang tahanan disiksa, digebukin setengah kelenger, dua tiga hari atau seminggu kemudian rasa sakit dan derita akibat siksaan berangsur berkurang, atau kalau disiksa sampai mati pun proses matinya cepat Tapi kalau mati karena lapar, prosesnya sangat lama, pelan-pelan sakitnya. Menanggung perut lapar eksesnya bisa berbagai bentuk, bisa frustasi lalu nekat bunuh diri masuk sumur, hal ini benar-benar pernah terjadi di Blok-Q, namanya Suroto, atau ada juga yang mencoba gantung diri. Oleh karena itulah maka benda-benda seperti ikat pinggang, tali sepatu atau benda-benda tajam dilarang dibawa masuk ke dalam sel, dan setiap sel harus diisi oleh minimal tiga orang tahanan, karena jika hanya diisi oleh dua orang saja maka dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak baik, seperti homo sexual,
42
misalnya. Kembali aku teringat pada kata-kata mbak Dian dulu, jika satu ruangan tertutup diisi oleh dua orang yang berlainan jenis, kalau ada setan lewat bisa berbahaya. Nah di penjara ini, jangan kan berlainan jenis, sesama jenis pun juga bisa berbahaya. Di Salemba menghadapi siksaan fisik relatif kecil, kalau tidak boleh dikatakan tidak ada. Tetapi perut lapar bukan main sakitnya. Bayangkan!, coba bayangkan, jatah makan para tahanan hanya dua kali sehari dengan menu nasi kira-kira sepuluh suapan anak kecil tanpa lauk, ditaruh dalam ompreng yang berdiameter 20 cm, cara mengangkutnya ditumpuktumpuk, sehingga nasi menjadi gepeng, tipis tidak lebih dari 1 cm tingginya, sayurnya bayem tanpa bumbu, kalau pun ada paling-paling bumbunya hanya garam dan salam laos. Tak jarang terjadi sayur itu bercampur dengan paku, pecahan beling, karet sendal bodol atau bahkan tahi kering pun ikut masuk. Tanaman bayem memang disiram dengan air limbah wc, mungkin juru masak tak sempat lagi menyortir onggokkan sayur bayem itu, dan mungkin ia juga lupa untuk mencucinya sebelum dimasak, sehingga mungkin bayem-bayem itu hanya dirajang dan langsung masuk kuali, dan hal ini berjalan tahunan. Selama tidak kurang dari 2½ tahun aku menjadi penghuni RTC Salemba, menu jatah makan hampir tak pernah berubah. Kalau pun ada perubahan, itu bukan perubahan menjadi baik, tapi malah sebaliknya. Pernah satu saat jatah makan berupa bulgur (makanan kuda, di Amerika), itu pun tidak lebih dari 1 cm tingginya, tanpa lauk apa-apa, kalau sudah dimakan rupanya bulgur susah untuk dicerna dan kalau sudah keluar, tinjanya tetap berupa bulgur, susahnya kalau kami merasa ingin buang air besar, tak dapat ditahan. Jadi apanya yang bisa diserap oleh usus. Ada lagi bentuk jatah makan, berupa nasi campur jagung bulet, bukan menir tetapi benar-benar butiran jagung bulet. Bapak Ganis Harsono pun menerima jatah makan itu. Beliau sempat memisah jagung dari nasinya, sempat pula beliau hitung jagungnya, butiran jagung itu tidak lebih ada 90 biji, sedang nasinya dikepel menjadi sebesar bola bekel (mainan anak-anak perempuan). Akhirnya jagung dan nasi itu diberikannya pada tapol lain, tapol yang diberi pun sangat senang dan berucap terima kasih. Kejadian-kejadian semacam itu tak kunjung berhenti, jalan terus. Kemampuan keluarga untuk mengirim besukkan makin berkurang, makin menyusut, makin menipis dan akhirnya habis sama sekali. Derita tapol non besukkan dan beban si penggendong makin berat. Perut ke kanan, politik ke kiri betul-betul diuji kebenarannya. Tidak kurang dari ucapan
43
seorang tapol, “Bung tahu nggak, besukkan ini bukan besukkan PKI, ini besukkan dari istriku, mungkin saja besukkan ini dibelinya dari uang hasil perlontean.” Ya, habislah!. Satu lagi kejadian yang cukup memalukan, kejadian itu terjadi di depan mataku sendiri. Seorang penyair yang cukup terkenal, sebut saja namanya “Hati”, kata orang, dialah yang menulis sajak yang berjudul “Hati lebih kuat dari lapar”. Oleh kepala blok, bung Hati ini dibebani satu orang non kiriman besukkan, dan sebut saja namanya “Malam”, mengingat kedua kawan ini satu profesi, yaitu sama-sama penyair, tentunya tak ada masalah dalam soal saling bantu. Tapi nyatanya bagaimana?. “Hati lebih keras dari lapar” tidak lulus ujian. Bung Hati melapor kepada kepala blok, bahwa ia tak sanggup lagi berkumpul satu sel dengan bung Malam. Alasannya bung Malam sangat mengganggunya, “Aku tak bisa tidur tiap malam, karena bung Malam kalau tidur selalu mendengkur dengan keras dan tanpa henti.” Mendengar hal ini karuan saja bung Malam jadi naik pitam, dengan marah ia pun menegur bung Hati, “Eh bung, jangan ngomong macam-macam alasan, bilang saja terus terang, aku tak sudi lagi membantu kau!”, selesai, jangan bikin aku berang, bisa aku banting, mati kau!. Aku tak pernah minta untuk kau bantu, kalau kau membantuku, itu karena kepala blok yang mengaturnya.” Hampir saja terjadi baku hantam di antara mereka, dan yang datang melerai mereka adalah pak Alex. Akibat dari kejadian itu, bungMalam dikumpulkan dengan pak Alex dan aku pun harus berpisah sel dengan pak Alex. Karena pak Alex dianggap mampu mengatasi manakala ada keributan. SALEMBA: Menjadi Tukang Pijat Berkumpul dengan pak Alex sebenarnya aku cukup cocok dan serasi, seminggu empat besukkan dengan menggendong seorang non besukkan. Aku seminggu mendapat dua kali kiriman besukkan, dengan volume yang lumayan. Teh, gula dan kopi, cukup untuk tiga hari buat tiga orang, nasi untuk menambahi ompreng yang makin lama makin tipis, juga masih ada sisa untuk sarapan pagi, walaupun hanya dua tiga sendok seorang. Tambahan makanan untuk ganjel perut, ada juga, empat lima potong singkong rebus yang masih kulitan. Singkong yang direbus dengan kulitnya bisa bertahan dua tiga hari. Lauk kering seperti, kering tempe digulain atau ikan gereh dicabein, sangat nikmat buat perut lapar, rara ireng selalu ada.
44
Ada kebiasaan yang kurang baik, bagi orang-orang perokok, kalau menerima besukkan, yang dicari terlebih dahulu adalah tembakaunya, kalau yang satu ini tidak ada, biasanya si penerima akan gerendengan, mungkin memaki-maki keluarganya, walaupun hanya dalam hatinya. Menjadi tahanan bagi para perokok, merupakan siksaan tambahan. Aku sendiri merasakan hal itu. Merokok sehabis makan, rasanya nikmat sekali. Ada seorang teman dengan besukkan yang tak menentu datangnya, tapi merokoknya kayak sepur, alias kereta api, maunya mulut itu tak lepas dari asap rokok. Lalu bagaiman caranya untuk mendapatkan rokok?. Dicarinya puntungan-puntungan rokok, dikumpulkan lalu diurai dan dijemur, selanjutnya tembakau itu dilinting kembali. Di dalam penjara puntungan rokok disebut dengan ‘jangkrik’, jadi jika dikatakan seseorang sedang mencari jangkrik itu
berarti ia sedang mencari puntungan rokok. Suatu ketika si teman ini tidak berhasil mendapatkan satu pun puntungan rokok. Biasanya para tahanan tidak bisa lagi merokok setelah sel dikunci, waktunya malam hari sesudah shalat Isya, kira-kira jam tujuh malam. Pada jam delapan malam kepala blok biasa berkeliling, mengontrol sel dengan membawa umpet (gombal, atau kain bekas yang dipintal jadi semacam tambang, kemudian disulut api), kepala blok berkeliling sambil menawarkan api terakhir. Para tahanan tidak diizinkan menyimpan korek api, hukuman berat bagi yang melanggarnya. Si gila rokok kali ini benar-benar kena batunya, tak sepotong jangrik pun ia miliki, maka berteriak-teriaklah dia seperti orang gila. Kepala blok jadi jengkel mendengar teriakan teriakannya, karena mengganggu sesama tahanan. Geregetan, kepala blok mengambil selembar kertas rokok dan sepotong robekkan kain gombal, lalu dilintingnya hingga menyerupai sebatang rokok, dengan jengkel kepala blok melempar lintingan rokok itu kepada si gila rokok, “Nih, rokoklah!,” kata kepala blok pada si gila rokok. Lintingan itu diambil lalu disundut dan dihisapnya dalam-dalam. Apa kata si gila ini?, “Ah, nikmat sekali, terimakasih pak!” Edan!, benar-benar sudah edan dia. Kumpul dengan pak Alex, aku mendapatkan ilmu memijat. Ceritanya, suatu saat pinggangku terasa sakit, badanku pun terasa meriang, mungkin sisa-sisa rasa sakit bekas siksaan dan cambukkan buntut ikan pari sewaktu di Budi Kemuliaan, kambuh. “Mau aku pijit, Ji?” tawar pak Alex. Di Salemba, aku biasa dipanggilnya dengan sebutan “Kaji”. Aku sendiri nggak ngerti kenapa aku dipanggil Kaji, mungkin karena kulitku yang hitam dan hidungku yang mancung kayak orang Arab. Dan sejak masuk Blok-Q, Pak Alex sendiri mendapat julukkan “Dorla”,
45
alias Mandor Kepala. “Mau, Ndor” “Mana yang sakit?” “Nih, nih punggung ini terasa sakit, ngilu dan panas” “Tahan ya Ji, pijitanku sakit. Tapi menurut ajaran yang aku dapat, sakit karena salah urat atau keseleo, urat atau bagian yang sakit itu tidak boleh dipijat, yang dipijat adalah bagian-bagian atau urat-urat yang ada hubungannya dengan urat-urat yang terasa sakit. Nah sekarang tahan” Yang terasa sakit punggungku, tapi yang dipijat malah ujung betis bagian atas, di balik dengkul. Owalah sakitnya nggak kepalang tanggung, berteriaklah aku kesakitan. Saat aku dihajar habis-habisan oleh tim Kalong dulu, aku diam saja, tak sepatah kata pun aku mengaduh, karena kulit yang telah kebal akibat cambukkan, mengurangi rasa sakit siksaan selanjutnya. “Tahan sedikit Ji, aku kan sudah bilang, kalau pijitanku sakit. Tahan sebentar, nanti juga akan baik, ngilu serta meriangnya juga pasti hilang” Benar juga, menahan rasa sakit, mengeluarkan banyak keringat, karena keringat keluar maka rasa panas dinginnya jadi hilang. Hebat!. Secara pokok cara memijat, diajarkannya padaku, untuk bisa praktek memijat, aku biasa mengikuti caranya dia memijat teman yang sedang sakit. Akhirnya, aku diangkat oleh pak Alex, menjadi asisten juru pijat. Aku pun mulai praktek. Suatu hari, seorang tapol, yang terhitung masih anak muda, mengikuti lomba voli antar blok, ibu jari tangan sebelah kanannya, bengkak karena menyemes bola. Dengan petunjuk Dorla, aku pijat urat sikunya, dua tiga kali aku pijit, bengkaknya hilang dan sembuh. Aku pun senang. Pak Alex, sebelum masuk Ormas Tani, mulanya juga orang biasa-biasa saja, suka judi, sabung (adu) ayam dan yang lainnya. Bicara soal adu ayam aku memang tak mengerti, tapi kalau bicara tentang ciri-ciri ayam yang baik untuk diadu, sedikit-sedikit aku ngerti. Daerah asalku adalah gudangnya ayam aduan, banyak orang-orang dari daerah lain yang datang untuk mencarinya. Pak Alex pernah bercerita, ia pernah punya seekor ayam aduan yang seolah bisa dikomando, ketika diadu. Satu ketika ayam aduannya menang, dan ayam lawan yang kalah,
46
tiba-tiba ditendang oleh pemiliknya hingga menggelepar, melihat hal ini, pak Alex pun menegurnya, “Mas, mbok ya yang punya rasa kasihan sedikit, dia kan sudah menahan rasa sakit karena dipatok oleh lawannya, tadi dia juga sudah berusaha untuk menang, tapi dasarnya memang kalah kuat dan kalah tahan, ya akhirnya ayam mas kalah” “Eh, apa kau bilang?” kata si pemilik ayam, “Itu ayam-ayamku sendiri, mau kuapakan itu urusanku, kalau perlu aku juga bisa menendang perutmu!” “Gila Ji, aku ditantang, ya aku pasang kuda-kuda, siap. Bisa ‘bengka’ itu perut, kusapu dengan tendanganku.” Begitulah, di dalam perjudian tak jarang berakhir dengan perkelahian. Pak Alex juga seorang olah ragawan sepak bola, dia mengaku bisa mempunyai watak arif dan sabar sejak memasuki ormas. Masih di Blok-Q, aku bisa belajar mengukir batok menjadi mainan dan hiasan dari saudara Mursid, dia tergolong masih anak-anak, dan dia menjadi pelayannya pak Ganis Harsono. Mungkin dia menjadi tahanan dan masuk ke penjara ini karena menggantikan bapak ataupun saudaranya yang tidak ketemu, waktu dicari aparat, yah sama halnya dengan masuknya Pak Jul kepenjara, karena menggantikan anak perempuannya yang disandera. “Pak Ji, cari batok dulu,” kata Mursid Aku pun berusaha mencari batok yang dimintanya, setelah kudapat, kuberikan kepadanya. “Nah, Pak Ji, batok ini dikerok permukaannya, hingga tulang-tulang sabutnya hilang sama sekali. Kalau sudah, bentuk dulu menurut keinginan bapak, apa jadi segi lima , persegi empat, bulat atau oval. Nah kalau sudah dibentuk, ambil tengah-tengahnya, digaris melintang atas bawah, pinggiran garis atas dan bawah ini dikerok (dikeduk) rata, sehingga terlihat menyerupai lempengan batok di atas batok. Kemudian lempengan ini dibagi-bagi lagi dengan ukuran yang sama sebanyak huruf yang diperlukan untuk satu nama, misalnya nama pak Kaji, berapa huruf, sepuluh atau sebelas, maka bagilah lempengan tadi menjadi sepuluh atau sebelas bagian, dan setiap garis pembatas bagian itu dikeduk lagi, sehingga sekarang yang nampak bukan lempengan lagi, tapi kotak-kotak persegi empat kecil yang nempel di atas batok. Nah sekarang tinggal mengukirnya, bikin huruf ‘O’ misalnya, potong saja setiap ujung segi empat itu, lalu keduk sedikit bagian tengahnya, maka jadilah huruf ‘O’, gampangkan pak.” Edan juga nih bocah, ternyata segala sesuatu jadi mudah dan nggak terlalu sulit kalau
47
dikerjakan menurut teorinya. “Nah, sekarang coba bapak kerjakan sendiri” Sekali gagal, dua kali masih juga gagal, tapi usaha yang ketiga dan seterusnya sudah bisa menghasilkan sesuatu, walaupun masih kasar, tapi selanjutnya menjadi bertambah baik. Begitulah berkreasi, menghitung waktu sambil menunggu nasib yang tak menentu. Memijat dan mengukir batok, menjadi kegiatanku yang menyenangkan. Kalau tidak sangat perlu, memijat hanya bisa dilakukan pada saat hari-hari besukkan. “Habis memijat mesti lapar, karena memijat itu memerlukan banyak tenaga, bahkan kadangkadang keringat si pemijat lebih banyak keluar dibanding dengan yang dipijat,” kata pak Mandor. Pernah aku melakukan pemijatan di luar hari besukkan, akibatnya, eeh bener-bener kempaskempis nafasku dibuatnya. “Sudah kubilang apa,” kata pak Alex, "Jangan lakukan pemijatan di luar hari-hari besukkan, kalau tidak penting benar, bukan kerena kita mengharap imbalannya, tapi setidaknya kalau di hari besukkan kan ada makanan tambahan dari keluarga, itu kalau keluarga ngirim, syukur-syukur ada extra pudingnya. Bandel sih, sekarang rasakan sendiri akibatnya, lapar Ji?" lalu dia nyengir padaku. Sontoloyo!, ada orang lapar malah dicengirin, sok lo pake ada extra puding segala, omelku, walau cuma dibatin. Tapi memang benar juga kata-kata si Dorla, sejak itu aku tak mau lagi memijat di luar hari besukkan. “Ji,” katanya “Apa, Ndor?” “Bikinin aku lebel, Ji, bentuknya gambar ayam jago” “Ayam jago yang gimana?” “Ayam jago aduan” “Boleh aku buatkan, tapi jangan ayam jago aduanlah” “Lha, ayam apa?” “Agar terlihat seninya, sebaiknya ayam jago hias saja. Itu lho gambar ayam kate, atau ayam bekisar yang punya jengger lebar, godoh (gembel) landung dan ekor melengkung, gimana setuju?” “Setuju Ji” “Entar kalau besukkan datang, kembalikan tasnya dengan diisi cuwilan batok, supaya
48
keluarga ngerti kalau ente perlu kiriman batok” Di penjara ada banyak bahasa kode, misalnya kalau kita butuh gapyak, isi saja tas keluarga dengan potongan gapyak bekas, butuh tikar, cari sobekkan tikar, masukkan dalam tas besukkan. Maka pada hari besukkan berikutnya datanglah pesanan itu. Benar juga, besukkan berikutnya datang, ada batoknya, tapi nggak ada mbakonya. Kebetulan kiriman besukkanku nggak datang. Habis makan, mulut terasa kecut. “Sid, dikMursid” “Apa Pak Ji?” “Tolong Sid, carikan jangkriknya pak Ganis” “Ya, pak” Sampai di sel, ditegurlah siMursid oleh pak Ganis. “Cari apa, Sid?” “Cari jangkrik, pak” “Kamu mulai merokok ya?” “Nggak pak” “Lha itu cari jangkrik buat siapa?” “PakMandor besukkannya nggak ada tembakaunya, sedang pak Kaji, kirimannya nggak datang” “Ayo buang puntungan itu Sid, nih dua batang, buat pakMandor dan temennya” Alhamdulillah, dua batang Ji Sam Su, rokok termahal waktu itu. Rasanya nggak mau aku habiskan sesaat. Kusimpan puntungannya buat dihisap entar habis makan sore. Kubuat lebel bergambar ayam hias sebaik-baiknya, menurut kemampuanku. Setelah selesai kuberikan pada pak Alex, dan setelah itu aku pun berpisah ke lain sel dengannya, tapi masih satu blok. Berpisah dengan pak Alex, aku berkumpul dengan pakMuyono, dia orang PGRI non Fak Sentral. Orangnya cerdas, pinter bergaul dan juga respek. Beliau pinter main sulap, solidaritasnya tinggi. Dalam setiap kiriman besukkan, pasti ada rokok Bentoelnya. Setiap habis makan, beliau pasti mengambil rokok Bentoelnya, sebatang. Dibaginya rokok itu menjadi 3 bagian, sama panjang dan dibagikan pada kami, teman satu selnya. Ku urai potongan rokok itu dan ku campur dengan tembakau kawung, lalu ku linting menjadi empat lima batang rokok lintingan, cukuplah untuk satu hari itu. Berkumpul dengan pak Muyono tidak lama, ada oplosing lagi, aku dipindah ke sel yang lain lagi. Kali ini aku dikumpulkan dengan pak Kus, orangnya sudah setengah tua, beliau berasal dari
49
Departemen Pertanian, besukkannya juga berkwalitas. Pak Kus tahu bener kalau aku mendapat kiriman besukkan dua kali seminggu, oleh karena itu dengan enteng saja beliau menerima tawaran kepala blok untuk satu sel denganku dengan dibebani satu orang non besukkan. Suatu malam, saat sel sudah dikunci, badan beliau meriang, mulut terasa pahit, tidak ada nafsu makan. Beliau minta dikerok, minyak untuk mengerok tidak ada, oleh teman satu selku yang lain, jadilah beliau dikerok dengan jahe. Seluruh punggungnya dikerok sampai hitam bergaris-garis, seperti badan seekor kuda kemar (kuda zebra). Selesai dikerok, meriangnya tidak juga hilang. “Bapak mau saya pijat?” aku menawarkan jasa. “Apa adik bisa mijat?” “Sedikit-sedikit bisa, pak. Tapi pijatan saya sakit, mau pak?” “Baik, dik” Kulakukan pijatan menurut petunjuk Mandor, kuraba-raba urat yang ada dibalik dengkul yang nyambung dengan urat punggung. “Terasa di punggung nggak, pak?” “Nggak, dik” Kucari lagi urat yang nyambung itu. “Nah dik, sudah terasa dik” Kutekan terus urat itu, si bapak mendesah kesakitan, kulepas tanganku, pijatan kupindahkan menurun ke bagian betis, pijatan enak untuk mengurangi rasa sakit. Berulang-ulang kulakukan itu. Kupindahkan lagi pijatanku, kali ini kebagian tulang belikat, di punggung. Kutekan tulang belikat itu dengan ibu jari, secara merata, kutelusuri pula lingkaran belikat itu dengan jari, kuulangi hal itu beberapa kali, kuurut punggungnya dari atas ke bawah juga tepi kanan kiri tulang punggungnya, kulipat kulit punggung dan kutarik keatas, selesailah pokokpokok pijatan, Kuteruskan dengan bonus, pijatan enak di seluruh badan, mulai dari kaki, pinggang, tangan, leher, tengkuk dan kepala. Komplit sudah. “Sudah pak, pijatan sudah selesai. Sekarang coba bapak berdiri, bungkukkan punggung bapak dua tiga kali, kemudian putar pinggang ke kiri dan ke kanan beberapa kali” “Enak dik, enteng badan saya rasanya, kok seperti disulap, bener-bener enak badan saya sekarang. Adik kok pintar mijat, belajar di mana?” “Nggak pak, belajar di sini saja, saya belajar sama pak Mandor, saya diangkat jadi asistennya. Kalau hanya sakit yang enteng-enteng, meriang misalnya, cukup diserahkan pada saya
50
saja, tapi kalau belum sembuh juga, barulah pakMandor sendiri yang menangani. Dan pak Mandor pesan, kalau mijat hendaknya dilakukan hanya pada hari besukkan saja, soalnya kalau habis mijat biasanya suka lapar” “Wah, maaf dik, lha ini nggak ada apa-apa. Jadi maaf ya dik, tapi besok kan hari besukkan, mudah-mudahan kiriman kita datang, jadi kita bisa makan agak enak dan kenyang. Sekarang merokok kawung sajalah dulu” “Nggak apa-apa pak, ini kan keadaan darurat, bapak perlu sembuh, biar kiriman datang kalau badan sakit, makan juga nggak enak” Dua tiga kali, kami merokok kawung, kemudian tidur. Pagi harinya, namaku mendadak jadi terkenal sebagai tukang pijat. Pak Kus ini ngomong dan mempromosikan aku pada teman-teman tahanan yang lain. “Aku punya tukang pijat tokcer,” begitu katanya. Sejak itu aku sering mendapat panggilan memijat, dari memijat aku bisa dapat celana pendek, tembakau, sabun cuci dan lain-lain, tentu saja dari mereka yang mampu memberi. Bagi mereka yang nggak mampu memberi, aku pun nggak pernah menolak untuk memijat mereka. Pada hari-hari tidak ada panggilan memijat, aku isi dengan mengukir batok, atau main gaple, main scrabel, atau belajar membaca tulisan Arab. Aku bisa membaca tulisan Arab dari bung Suyudi. Bung Suyudi ini punya sistem mengajar membaca tulisan Arab yang sangat mudah dimengerti dan diterima. “Gini lho, Ji. Lha wong sampeyan di panggil Kaji, kok nggak bisa membaca tulisan Arab” “Ah, panggilan Kaji itu kan cuma karangannya mandor saja” “Lha, sekarang semua orang panggil sampeyan ya Kaji” “Biarin aja, dipanggil Kaji nggak patekan ini” “Ji, lihat tulisan ini. Seperti halnya dengan huruf latin, huruf Arab pun bisa digandenggandeng. Kalau huruf latin biar digandeng, bentuknya tetap, nggak berubah, tapi kalau huruf Arab bisa berubah. Misalnya nih, huruf ‘Bak’, kalau berdiri sendiri bentuknya kaya mangkok, ada satu titik di bawahnya, kalau titiknya ada di atas dia jadi huruf ‘Nun’. Nah kalau sudah digandeng, kadang-kadang bentuk huruf ‘Bak’ atau ‘Nun’ ini nggak nampak jelas, bisa kayak lengkungan kecil atau garis saja, tapi yang jelas di bawah atau di atas lengkungan itu tetap ada titiknya, jadi itu tetap di baca huruf ‘Bak’ atau ‘Nun’. Perhatikan lagi nih, ini huruf ‘Bak’ sudah digandeng, tapi titik di bawahnya nggak satu melainkan dua, nah ini namanya jadi huruf ‘Jak’. Huruf ‘Nun’ sudah digandeng titik di atasnya ada dua, dibaca jadi huruf ‘Tak’, kalau titik di atasnya ada tiga jadi huruf ‘Syak’ . Ada lagi,
51
lengkung-lengkung dua, tanpa titik, itu huruf ‘Sin’ , kalau titiknya di atas, ada tiga, itu jadi huruf ‘Syin’ . Ada juga huruf yang sudah digandeng bentuknya jadi runcing, tanpa titik itu huruf ‘Ha’ , kalau pakai titik satu di bawah itu huruf ‘Jim’ , kalau titik satu di atas itu huruf ‘Kha’. Semua huruf-huruf itu kalau dicoret bawahnya, bunyinya jadi ‘I’, kalau dicoret atasnya, bunyinya jadi ‘A’, kalau di kasih tanda kayak toge di atas, bunyinya jadi ‘U’ dan kalau dikasih bulatan di atas, jadi mati. Contoh nih, huruf ‘Ba’ jadi, ‘Bi-Ba-Bu’, kalau yang lancip titik satu di bawah jadi ‘Ji-Ja-Ju’, begitu seterusnya.” Dan akhirnya dengan sistem ini, aku pun mulai bisa membaca tulisan Arab. Banyak pengalaman, menunjukkan seseorang bisa menguasai salah satu atau beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Perancis dan lain sebagainya, hanya karena belajar di dalam penjara. Penjara memang jahanam, tapi bagi yang punya kemauan, penjara juga bisa sebagai tempat belajar.Waktu, di penjara sangat banyak, jadi ketimbang ngenes, ngelamun, memikirkan nasib tanpa hasil, lebih baik manfaatkan waktu sebisa-bisanya dan sebaik-baiknya. Salemba: Pertemuan Dengan Keluarga Lebaran tahun 1967, aku sudah genap setahun menjadi tahanan RTC Salemba. Selama 7 kali hari kiriman besukkan atau satu minggu penuh, penjara membuka kesempatan untuk pertemuan keluarga. Pada lebaran hari ke tiga, aku mendapat panggilan pertemuan keluarga. Deg!, terasa di hati. Aku keluar dari blok, di luar ada seorang anak perempuan berusia sekitar 7 tahun, dia menggandeng seorang anak perempuan yang lebih kecil, berusia kira-kira 2 tahun, mengenakan rok di atas lutut, pakai topi, dan lehernya dikalungi sebuah sapu tangan. Tak salah lagi anak perempuan yang lebih kecil itu adalah anakku. Segera kuangkat dia, kugendong dan kuciumi sepuasku. Aneh bocah ini tak meronta, dia diam saja dan menurut. Saat kutinggalkan anakku, karena aku di tangkap Tim Kalong 1 ½ tahun yang lalu, anakku masih bayi, dia baru saja bisa tengkurap, dan sekarang dia sudah berumur 2 tahun. Batinku bicara tentang penjara lagi. Nak pernah dulu kutanyakan pada embahmu, bapakmu ini kepengin tahu dalam dan isinya penjara, walau pun hanya sehari saja,
52
ternyata keinginan bapakmu ini terwujud juga, setelah seperempat abad. Dan ternyata penjara itu neraka nak. Sekarang kau baru berumur dua tahun, tapi kau sudah memasuki halaman penjara. Ya, mudah-mudahan saja, kau hanya sebatas ini, kau menginjak halaman penjara hanya karena ingin bertemu dengan bapakmu ini. Tak terasa air mata hangat meleleh di pipiku. Kutanyakan pada si bocah yang mengantar anakku. “Namamu siapa, nduk?” “Ucih pak” “Kau memang ikut ibunya, dik Mumuk?” “Iya pak” “Sudah lama, dari mana asalmu, apa kau masih punya ibu bapak?” “Sudah lama juga pak, saya dari Bogor, bapak saya pergi, nggak tahu kemana, dan dia nggak pernah kembali lagi, ibu saya kerjanya nggak mesti, kadang bekerja, kadang nggak. Jadi saya diambil sama ibu, untuk momong den Mumuk’ Whe lha dhala, bapaknya pergi nggak kembali, mungkin dia senasib denganku. “Cih,” kataku, “Kalau sama dikMumuk, jangan panggil den Mumuk, panggil saja dik Mumuk. Anggap saja dia adikmu sendiri. Kau memanggil den Mumuk itu apa maumu sendiri atau disuruh oleh ibu?” ‘Itu lho pak, ibu yang di Grogol itu, kalau saya panggil den Mumuk, namanya saja, saya dimarahi, saya harus panggil ‘den Mumuk’, begitu” "Aduh, nduk-nduk, kok kebangetan banget keadaan ini, kau baru seumur bocah yang lagi seneng-senengnya main. Karena keadaan kau harus jadi buruh momong." “Nduk, kau nggak sekolah?” “Nggak pak, kalau saya sekolah, nanti yang momong den Mumuk siapa?, ibu kan kerja di kantor” “Cih, kalau ibunya dikMumuk berangkat ke kantor, Ucih bersama dikMumuk di rumah hanya berdua atau ada teman yang lain, lantas yang masak untuk makan siapa?” “Kami bertiga, sama bude” “Bude siapa?” “Itu bude yang katanya, kakaknya bapak” “Oh ya ya, itu mbakyuku, saudara perempuanku yang paling tua” Aku teringat kembali pada saat aku di tangkap oleh Tim Kalong, malam itu saat aku pamit pada kakakku, karena ditangkap, dia hanya bengong saja sambil ngelus dadanya yang kurus.
53
Dia saudaraku yang tertua, yang paling setia mendampingiku. Dia telah tinggal bersamaku di Jakarta ini sejak tahun 1957. “Bude kerja apa, Cih, katanya jualan?” “Bude memang pernah jualan, tapi sekarang nggak lagi, bude sekarang suka pergi sama ibu yang di depan rumah, itu ibu yang suaminya gede tinggi. Biasanya sesudah masak untuk makannya den Mumuk, mereka berdua pergi” “Kemana?” “Nggak tahu, pak. Kalau pulang sudah sore, kadang-kadang bawa kue buat den Mumuk, juga bawa bawang merah dan cabe buat masak” “Kalau bude pulang bawa kue, Ucih di bagi nggak?” “Dibagi pak, bude itu baik sekali, bude juga sayang sama Ucih” “Kalau ibunya dikMumuk ke kantor dan bude pergi, Ucih tinggal berduaan lagi sama dik Mumuk. DikMumuk suka rewel nggak?” “Suka juga pak, biasanya kalau nangis suka tanyain ibu, ya sudah Ucih gendong saja, Ucih ajak main sama den Koko” “Den Koko, siapa?” “Itu, den Koko yang tinggal di rumah sebelah. Biasanya sih terus diam, cuma kalau bapaknya den Koko pulang dari kantor, den Koko kan suka digendong sama bapaknya, nah den Mumuk suka nangis, pangil-panggil bapak” “Terus dikMumuk kau gendong?” “Dia nggak mau, maunya digendong sama bapak” “Kalau nggak mau kau gendong lantas bagaimana?” “Ya, bapaknya den Koko yang gendong” Oh Allah, nak, kok kebangetan bener nasibmu, punya bapak kok nebeng, bapak nunutan, bapak pinjaman. Ku peluk lagi anakku, kuciumi dia sepuas-puasnya. Tak terasa, air mataku kembali meleleh, semakin deras. Belum lagi aku puas memeluk dan menggendong anakku, peluit berbunyi panjang dan berulang-ulang, tanda pertemuan keluarga, berakhir. Segera kuambil ukiran batok berbentuk ikan hias, dibalik ukiran, kutulis nama anakku, “Mumuk, 22 Desember 1965”. Kukalungkan ukiran itu pada lehernya, tak sengaja kutemukan selembar uang lima rupiah di kantong baju, anakku. Kuambil uang itu. Rasanya tak mau lagi aku berpisah dengan anakku, tetapi petugas penjara tak memberi kami waktu lagi, dua anak perempuan kecil ini harus segera meninggalkan tempat. Lima belas menit kami bertemu, ya hanya lima belas menit, kemudian kami harus berpisah
54
lagi, entah sampai kapan?. Kupandangi si Ucih kecil saat menggandeng anakku, jalan berbalik keluar, kupandangi puggung kedua anak itu terus menerus, hingga tak nampak lagi. Aku kembali masuk ke dalam blok, dengan lelehan air mata yang tak kunjung mau mengering. Itulah penjara. Kejadian semacam ini tidak hanya dialami oleh aku dan keluargaku saja, tapi kejadian ini juga menimpa keluarga-keluarga lain, puluhan, ratusan, ribuan bahkan puluhan ribu orang Indonesia memperoleh perlakuan seperti ini. Bahkan mungkin lebih kejam lagi. Itulah sebagian kecil dari kekejaman Orde Baru!. Isi penjara Salemba bukan hanya kami, tahanan PKI, tahanan eks Masyumi juga ada. Seorang haji, kalau tidak salah namanya Bahrun dan biasa disebut dengan Haji Bahrun. Pak Haji ini terkait dengan peristiwa Idhul Adha tahun 1962, dia termasuk salah seorang pelaku rencana pembunuhan terhadap presiden Soekarno. Dengan terus terang, dia mengakui perbuatannya itu dan dia juga mengakui kehebatan bung Karno. Katanya, "Manusia macam apa bung Karno itu. Waktu shalat Idhul Adha diMasjid Baiturahim, di istana, aku duduk di sap terdepan, selesai shalat dengan khotbahnya, kucabut pistol di pinggang, yang tertutup dengan baju jasku, ku arahkan moncong pistol kearah tubuh Soekarno, kutarik pelatuknya. Apa yang terjadi?. Jari telunjukku kaku, aku tak bisa menarik pelatuk itu, bahkan tanganku yang menggenggam pistol perlahan menunduk kebawah. Aku gagal menjalankan tugas, dan akhirnya yah, aku berkumpul dengan saudara-saudara di sini. Aku menyadari, sekarang nggak perlu ada PKI, nggak perlu ada Masyumi, yang ada hanya rakyat Indonesia yang bersatu di bawah naungan Pancasila." Hebat juga pak Haji Bahrun ini, jentelmen sekali dia, mengakui perbuatannya. Mengapa pak Haji bisa ngomong sebebas itu?. Rupanya sejak peristiwa 30 September 1965, khusus bagi tahanan non PKI, mulai ada kelonggaran. Tentu saja Haji Bahrun adalah salah satunya. Aku nggak tahu Pak Haji ini, penghuni blok mana. Dia bebas keluar masuk blok mana saja yang dia mau. Dia sering masuk Blok-Q, kadang-kadang hanya untuk keperluan minta lauk kepada kepala blok, pak Hasyim Rachman. Kadang-kadang juga ia berlama-lama di Blok-Q, sengaja ngobrol dengan para tahanan. Cerita tentang percobaan pembunuhan terhadap bung Karno pun, dilakukan di Blok-Q. Jadi aku memang mendengarnya sendiri secara langsung, dan mengerti siapa itu Haji Bahrun. Mungkin sekali di balik kebebasannya itu, dia mendapat tugas pula dari pihak yang sedang
55
berkuasa, untuk mencari tahu apakah di blok-blok penjara ada kegiatan politik atau gerpol (gerilya politik), khususnya di Blok-Q, yang dipenuhi oleh tokoh-tokoh politik. Biasanya kalau pak Haji bicara semacam itu, kami semua hanya diam, mendengarkan saja. Salemba: Santi Aji Pak Haji Bahrun sebagai tapol non PKI, mempunyai tugas pokok yaitu memberikan pelajaran agama, terutama tentang shalat. Saat shalat Magrib, kami berkesempatan melakukan shalat bersama-sama dengan penghuni blok-blok lainnya, di lapangan. Begitu juga pada saat shalat Jumâat. Pak Haji berkotbah dengan enteng dan lancar. Rupanya sewaktu dia masih jadi orang bebas, di luar, dia adalah seorang agitator. Dia pandai sekali bicara tentang soal agama, suaranya empuk, enak di dengar, terutama jika dia sedang mengimami shalat, fasih banget. Tak lama kemudian pak Haji Bahrun tak nampak lagi di Salemba, tapi nggak berlangsung lama, pak Haji nampak kembali di Salemba. Kali ini pak Haji datang kembali ke Salemba nggak sendiri, dan beliau datang juga bukan sebagai tahanan lagi, pak Haji datang dengan rombongan Tim Dakwah. Pak Haji sudah bercelana panjang, pakai sepatu dan baju jas. Penampilannya sudah jauh berbeda dari hari-hari kemarin. Santi Aji itu berasal dari bahasa apa?. Kayaknya seperti bahasa Jawa atau Sansekerta, nggak tahu lah. Kalau diraba-raba, kata Santi itu seperti ikrar, janji atau sumpah, sedang kata Aji itu bisa berarti, pusaka, pegangan atau ilmu. Jadi Santi Aji itu kemungkinan berarti, sumpah atau janji dalam memegang ilmu. Karena tim dakwah ini dari Tim Dakwah Islam, maka tentu saja sumpah dan janjinya dalam hal memegang teguh ilmu dan agama Islam. Santi Aji setidaknya datang dua minggu sekali, kadang-kadang malah seminggu sekali. Seorang daí (penceramah) Santi Aji biasanya sangat pandai menyampaikan dakwahnya. Biasanya Santi Aji itu disampaikan pada pagi hari dan tempatnya di lapangan, senang juga kalau ada Santi Aji. Pasalnya kami jadi bisa bertemu dengan teman-teman dari blok lain, lumayan, bisa tahu tentang kabar keluarga, atau bisa titip pesan dan kabar untuk keluarga, manakala sang teman bisa ketemu keluarga. Apa mungkin bisa saling menitip pesan atau kabar, orang sama-sama di dalam penjara?. Mungkin saja, sebab diantara kami diantara teman-teman tapol ada juga yang dipekerjakan di luar tembok penjara, seperti bertanam sayur-sayuran di luar tembok
56
penjara, bahkan ada juga yang dimanfaatkan oleh petugas penjara untuk bekerja di rumahnya. Tapol yang bagaimana?. Tentu tahanan-tahanan yang klasifikasikanya tingkat bawah, dan mereka dianggap tidak berbahaya, mereka-mereka inilah yang bisa mendapat kepercayaan semacam itu. Pernah juga aku mendapatkan sesobek kertas bekas sampul kertas tembakau yang bertuliskan, “Bagaimana bung, kalau istri saya tinggal bersama zus Mul (istriku) di rumah kantor?”. Pesan ini datang dari teman sekantorku, Bung Samosir. Rumah yang kutinggali bersama keluargaku memang adalah milik kantor percetakan, tempat aku bekerja. Sebuah rumah petak, berbilik satu, berpagar sesek (anyaman bambu tipis). Ku pesankan kepada pembawa surat , bahwa semua persoalan di luar itu urusan keluarga yang di luar, aku tidak bisa memberi keputusan untuk menolak atau mengizinkannya. Jika memang keluarga yang di luar sama-sama bisa dan mau, ya silahkan saja. Ternyata di kemudian hari, persoalan rumah ini menjadi penyebab putusnya kiriman besukkan dari keluargaku. Baiknya kuceritakan kembali persoalan rumah ini nanti, pada cerita berikutnya. Santi Aji, dilakukan oleh para juru dakwah dengan titik fokus, merubah mental dan moral para tahanan PKI, agar mental kafir dan anti Tuhannya berubah menjadi mental agamis, mau melaksanakan perintah agama dan meninggalkan larangan Tuhan. Beliau-beliau ini rupanya tidak pernah meneliti siapa dan bagaimana kami, para tapol PKI. Bahwa pada dasarnya, setiap warga negara Indonesia yang ber-Pancasila dengan sila pertamanya Ke-Tuhanan YangMaha Esa, itu adalah warga yang tahu menghormati kepercayaan dan keimanan sesama warga negara, bahkan tidak kurang banyaknya para tahanan politik PKI yang mempunyai keimanan sangat kuat, apakah itu Budha, Nasrani, Hindu, Kong Hu Cu dan terutama Islam. Jadi bagaimana bisa PKI itu dikatakan sebagai Atheis, anti pada agama dan Tuhan. Tengok saja tapol-tapol PKI yang bernama Haji Tabrani dari Kebun Jeruk, Kyai Sujaki dari Banten, Bapak Barabah anggota MPRS, Kyai Haji Mustahal yang bahasa Arabnya minta ampun fasihnya, bahkan kepala Blok-Q Pak Hasyim Rachman yang pada saat-saat tertentu biasa memberikan kuliah tentang arti ayat-ayat suci Al-Qurân. Suatu pagi kami menerima dakwah Santi Aji. Sang dai berkata; “Saudara-saudara, Tuhan menciptakan bumi, langit dengan segala isinya itu bukan untuk siapa-siapa, bukan untuk para malaikat ataupun setan, melainkan untuk kita, manusia
57
mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Anehnya banyak manusia yang tidak mau mensyukuri nikmat Tuhan ini, Tuhan yang penuh dengan Rahmat dan Rahim, serba pemurah dan penyayang. Tuhan oleh sebagian manusia tidak diterima dengan puji syukur, melainkan diabaikan dan disingkurlah Tuhan itu. manusia jauh meninggalkan perintahNya dan gesit menjalankan laranganNya”. “Ketahuilah saudara-saudara, bahwa sesungguhnya sebelum kita dilahirkan ke dunia dari kandungan ibu, roh kita saat itu telah menyatakan sumpah dan janji untuk taat, patuh dan setia pada Tuhannya. Patuh dan setia untuk melaksanakan perintahNya, taat untuk menjauhi segala laranganNya. Tapi Tuhan tidak bisa menerima begitu saja janji manusia, sebelum diuji kebenarannya di dunia, dunia yang penuh dengan ketidak pastian, godaan dan cobaan dengan segala macam bentuk itu adalah tempat ujian bagi manusia. Apakah sebenarnya dirimu itu?, emaskah, loyangkah atau kalengkah?, semuanya akan terlihat dan terjadi sesudah kau mengalami hidup di dunia”. “Saudara-saudara, mengapa setiap bayi yang baru dilahirkan, yang begitu brol dari rahim sang ibu langsung menangis keras?, apa masalah dan penyebabnya?” “Saudara-saudara, sebenarnya sejak kita masih menjadi janin sampai menjelang dilahirkan, kita itu dalam keadaan tenang, tentram dan aman, makan dan minum telah tersedia secukupcukupnya. Sang orok menangis itu sebenarnya adalah suatu bentuk protes, mengapa aku harus dilahirkan ke dunia?, mengapa aku harus mengalami kehidupan yang penuh dengan ketidak pastian itu?, mengapa aku harus menghadapi tantangan hidup di dunia yang penuh onak dan duri, penuh dengan keterjalan dan kecuraman?” “Nah saudara-saudara, sekarang ini anda semua merasakan sendiri kenyataan-kenyataan itu. Saat ini anda semua sedang mengalami cobaan hidup, mengalami ujian, akibat perbuatan saudara-saudara sendiri, atau kelompok saudara-saudara. Tuhan tidak bermaksud jahat pada anda, Tuhan hanya sedang menguji, adakah saudara-saudara menyadari kekeliruan saudara dan maukah saudara-saudara bertaubat, Taubatan Nasuha.Benar-benar taubat dan tidak akan mengulangi lagi segala perbuatan dan kekeliruan-kekeliruan itu. Oleh karena itu sabar dan tawaqallah saudara-saudara semua. Minta ampunlah kepada Tuhan dan berdoa. Jangan seperti anak kecil. Anak kecil itu mempunyai watak tak mau tahu pada kerepotan dan kesulitan orang tuanya. Ketika sang anak minta makan, mana mau ngerti itu bocah, bahwa makanan itu berasnya harus dibeli dulu, dimasak dulu, dibuatkan lauk pauk dulu, biar enak dimakannya. Jangan saudara-saudara, jangan seperti anak-anak. Sabar, tawaqal, taubat dan berdoalah.”
58
Bukan main dakwahnya pak Kyai itu!. Aku ingat pada sebuah pepatah latin “Ora et Labora”, kalau tidak salah artinya adalah, bekerja dan berdoalah. Seandainya aku berani bertanya, maka akan kutanyakan pada beliau, “Apakah kami di penjara ini cukup hanya dengan taubat dan berdoa, tanpa usaha?”. Tuhan sendiri telah berseru, “Hai umat manusia berusahalah dan berdoalah, Tuhanmu pasti akan mengabulkan.” Persoalan kami ini adalah persoalan politik, penyelesaiannya tentu juga memerlukan sarana politik. Kalau duduk berduaan saja sudah dilarang, karena dikhawatirkan akan ngomong soal politik, mana mungkin kami bisa menggunakan sarana politik. Jadi kalau kami hanya berdoa terus menerus tanpa usaha, ya sampai tipis bibirnya tetap saja seperti nasib si burung dalam sangkar, mata terlepas, badan terkurung. Aku bukannya tidak mempercayai doa, karena setiap malam sebelum aku tidur pun aku selalu berdoa. Berdoa bagi kesehatanku, dan keselamatan keluargaku. Tidak ada sesuatu yang langgeng, tanpa gerak dan perubahan. Blok-Q dibongkar total. Aku sendiri dipindah ke Blok-O, kepala blok juga dipindah, aku berpisah dengan Mandor, kami berlainan blok. Blok-O, bukan blok surplus tetapi juga bukan blok yang terlalu minus. Di sana ada sel panjang yang bisa dihuni oleh dua puluh tahanan lebih. Sebelum menghuni sel panjang, aku tinggal di sel nomer 17. Bicara lagi tentang jatah makan para tahanan. Suatu saat, entah apa sebabnya, apakah cadangan beras untuk kami para tahanan sudah menipis atau karena memang ada kesengajaan. Jatah makan siang menjadi terlalu amat sangat tipisnya. Pas giliran pembagian jatah makan tiba di sel nomer 16, para penghuni sel 16 menolaknya. Mereka bertiga tidak mau menerimanya, “Sangat tidak manusiawi,” kata mereka. Lalu apa akibatnya?. Mulai dari sel nomer 16 dan sel nomer selanjutnya ke belakang, mendapat hukuman, kami tidak mendapat jatah makan siang itu dan bukan hanya itu saja hukumannya, masih ada lagi yaitu, penghuni sel nomer 16 dan penghuni-penghuni sel nomer selanjutnya, tidak boleh atau dilarang menerima kiriman besukkan keluarga selama satu bulan. Di sini tampak jelas kejamnya Orde Baru dan kesewenang-wenangan para aparat yang sedang berkuasa. Dulu katanya, di jaman penjajahan Belanda, kalau ada narapidana mogok makan di Hindia Belanda entah karena sesuatu hal, maka gegerlah VOLKSTRAAD di Den Haag. Para pejabat yang bersangkutan harus bertanggung jawab. Ya tapi itu kan dulu lagi pula itu kan katanya, apa benar begitu?, nggak tahu, aku nggak mengalaminya. Yang aku alami adalah aku ditahan saat negara ini sudah merdeka dan dipimpin oleh bangsaku sendiri, aku menjadi narapidana di negriku sendiri. Negara yang katanya
59
ber-Pancasila dengan salah satu silanya “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tetapi kenapa kok memperlakukan tahanan tanpa adab dan tanpa peri kemanusiaan, kok bisa begitu? Kenapa nggak bisa, di dunia ini segalanya bisa terjadi. Jika segalanya ada di tangan yang berkuasa, maka segala hal apapun yang diinginkan sang penguasa bisa terjadi, sampai dalam hal mengambil nyawa tahanan pun bisa terwujud. Singkat cerita, kepala keamanan penjara Peltu Marjuki pun datanglah. Caci makinya kembali berderai, seperti waktu ia mencaci maki kami di Blok-E, karena pintu selnya rusak. “Eh rongsokan manusia, apa maumu hah?. Kalian menolak jatah makan, silahkan, mau mogok makan?, hayo lakukan. Saya nggak rugi kok. Siapa, yang mana orangnya yang mau bikin ribut? Ayo ngaku siapa pemimpinnya?” Tiga orang dari sel 16 maju bareng, “Kami bertiga pak, kami bertiga yang menolak. Kami menganggap jatah makan ini sangat tidak manusiawi, kami merasa seperti menerima jatah seekor kucing. Kami tidak mengajak sel-sel lain untuk berbuat seperti kami” “Eh kalian ngerti nggak, akibat perbuatan kalian yang tidak bertanggung jawab itu, mengakibatkan penderitaan bagi orang lain. Kembali saya tegaskan, di sini penjara tahu!. Penjara bukan alam bebas seperti waktu kalian masih bisa malang melintang, nuntut ini nuntut itu, mengobarkan pemogokkan, protes, aksi demo sepihak dan lain sebagainya. Periksa dirimu sendiri, kalian menjadi penghuni pejara ini juga tidak lepas dari perbuatan dan ambisi seseorang, ngerti?. Saya ulangi lagi, ini penjara!, kalian hanya manusia tahanan. Kalian tidak lagi mempunyai hak apa-apa, kecuali hak bernafas, itu pun seandainya kami perlukan, hak bernafasmu itu bisa saja kami ambil, ngerti?. Sekarang kalau kalian mau mogok makan, ayo silahkan, penjara tidak rugi kok!” Begitu marahnya si Kliwon alias Peltu Marjuki, oleh penghuni Blok-O ia memang dijuluki Kliwon. Nama Kliwon kalau di kampung biasanya adalah nama panggilan yang diberikan untuk seekor kucing ataupun anjing. Di Blok-O ini kepala bloknya adalah pak Biadi, SH. Beliau adalah seorang anggota TNI Angkatan Udara, pangkatnya Kapten, sosoknya seperti sosok orang Indonesia umumnya, tidak terlalu tinggi gede. Tetapi beliau juga seorang Judoka, hal ini tampak karena pakaian judonya yang selalu melekat, rambutnya sudah putih, tapi bukan karena usia. Sikap gesitnya nampak sekali, beliau sangat ramah terhadap sesama tahanan. Sebagai seorang kepala blok, beliau lebih menyukai tinggal di sel panjang bersama para tahanan lainnya, besukkannya sangat memadai dan beliau juga tidak egois, kenapa?.
60
Karena beliau selalu menyerahkan besukkannya pada seorang asistennya untuk mengatur makan beliau. Beliau hanya makan menurut apa saja yang disajikan asistennya itu. Manakala basukkan datang, beliau selalu memerintahkan asistennya untuk meneliti siapa-siapa diantara para penghuni sel panjang yang tidak menerima kiriman besukkan. Beliau selalu menyuruh asistennya untuk memperbaiki isi ompreng-ompreng para penghuni sel panjang, ya termasuk omprengku juga. Entah tambahan itu berupa sesendok nasi, sepotong lauk atau sepotong singkong. Hal itu beliau lakukan setiap kali besukkan datang, dan hal itu sangat berarti bagi kami para tahanan yang menanggung lapar. Aku nggak pernah kenal secara pribadi dengan pak Biadi, siapa beliau, aku juga nggak tahu. Aku kenal nama dan sosoknya hanya saat di Blok-O. Tetapi secara obyektif pak Biadi adalah seorang dermawan, seorang yang peduli pada lingkungannya. Kadang-kadang aku nggak habis pikir, kok bisa begitu ya, watak dan moral seseorang bisa berubah 180° dalam uji coba yang sebenarnya. Seseorang yang kadang-kadang sudah punya nama, sudah dianggap matang, eh nggak tahunya setelah mengalami uji coba, kok kembali mentah lagi. Apa matangnya itu karena karbitan?. Tampaknya kuning menggiurkan, tapi setelah dimakan kok rasanya sepet dan kecut. Apel untuk menghitung jumlah para tahanan di setiap blok, dilakukan pada tiap sore. Petugas pencatatnya adalah juga seorang tapol, pengawalnya seorang baju hijau (tentara). Suatu sore, Blok-O mendapat giliran apel, petugas resminya, si baju hijau adalah seorang yang berpangkat Sersan Mayor (Serma). Ketika pak Sersan Mayor memasuki halaman blok, kepala blok, pak Biadi, terlambat menyiapkan warganya untuk di hitung. Setelah kepala blok selesai menyiapkan warganya, bapak Serma ini mendatangi kepala blok dengan ucapan yang sangat tidak sopan, “Kamu seorang kepala blok yang goblok ya, budeg kamu ya, nggak dengar kalau blok sebelahnya selesai di apel?. Kenapa di sini warganya masih enak-enak main dan bercanda?” Tanpa ampun lagi pak Biadi pun ditempelengnya. Plok, jebret!. Eh nggak disangka sama pak Serma. Langsung kerah baju pak Serma ditarik sama pak Biadi, siap dibanting, kalau nggak segera dilerai barangkali pak Serma sudah patah pinggangnya. Dengan muka merah, sambil menunjuk hidung pak Serma, pak Biadi berkata, “Eh sersan gila, jangan sok kamu ya. Aku adalah seorang kapten AURI, SH (Sarjana Hukum) adalah gelarku. Aku masuk penjara ini, belum tentu karena aku bersalah, aku masuk penjara bukan karena vonis pengadilan, tahu!. Mau minta maaf nggak?, kalau kamu nggak mau minta maaf, jika aku
61
bebas nanti, kukalungi arit lehermu!” Pak Serma mukanya jadi pucat, sebagai seorang prajurit ia langsung meminta maaf, bersikap sempurna dan memberi hormat pada pak Biadi. Itulah sedikit kejadian-kejadian kecil, yang pernah aku lihat di penjara Salemba, dan mungkin hal-hal seperti itu biasa terjadi di setiap penjara, di manapun. Ada lagi kejadian, seorang tahanan yang sukar diatur, dikumpulkan dengan siapa saja ya selalu suka ribut. Kenapa mesti ribut?, apa lagi soalnya kalau bukan karena besukkan. Satu saat aku didatangi oleh pak Biadi, beliau selamanya jika perlu dengan seseorang selalu mendatangi orang yang diperlukannya. Beliau tidak pernah mentang-mentang sebagai kepala blok lalu jika perlu dengan seseorang lantas tinggal panggil orang itu. Beliau tidak pernah begitu, pokoknya orangnya respek sekali. Aku didatangi dan ditanya bagaimana seandainya aku dikumpulkan dengan pak Daryo, yang sama-sama berasal dari Jawa Timur, pak Daryo berasal dari Banyuwangi. Aku nggak mau menyulitkan kepala blok yang sangat baik ini, tawaran beliau aku terima. Aku bilang padanya, “Yang penting bagi bapak dan pak Daryo ketahui bahwa kiriman besukkan saya sangat insidentil. Betul-betul tidak menentu” “Baik pak, terima kasih. Saya nggak akan lupa kepada sesama teman yang perlu dibantu” katanya. Benar juga aku dikumpulkan dengan pak Daryo yang sama-sama besukkannya juga tidak menentu, ditambah lagi dengan seorang teman yang non besukkan. Diantara kami bertiga, yang sering mendapat kiriman besukkan hanya aku seorang. Suatu saat besukkan datang, kusiapkan makan siang dengan ditambah nasi dan lauk pauk ala kadarnya sesuai dengan apa yang kuterima. Eh memang susah adat si Daryo ini, selesai makan piring omprengnya ditendang. Aku pun menegurnya, “Eh Bung Daryo, apa maksud bung menendang ompreng?. Bung nggak puas dengan tambahan yang kuberikan tadi. Bung kan bisa lihat sendiri toh, apa yang kita makan sama. Apa mesti tambahan-tambahan itu harus kita bagi sama pas sesuai dengan timbangan? Ini kan artinya bung tidak menghargai jerih payah keluargaku.” “Maaf bung, bukan maksud saya untuk tidak menghargai keluarga bung, saya sangat berterima kasih atas bantuan bung” “Lalu apa maksudnya dengan menendang ompreng tadi?”
62
“Saya ini jengkel sama keluarga saya, kok ya tega bener, sama sekali tidak mengirim apa-apa, nggak bisa seminggu atau dua minggu sekali, mbok ya sebulan sekali. Akalnya sama sekali mati, nggak kreatif, nggak ada inisiatif, mbok ya cari usaha bagaimana caranya, ngemis kek, ngelonte kek” “Maaf bung, omongan bung kok keliwat saru, malu didengar orang. Masak sama istri ngomong kayak begitu. Aku ngerti kok bung, siapa sampeyan itu. Barangkali ketika kita masih bebas, bung sering memimpin pemogokan buruh SBKB (Serikat Buruh Kendaraan Bermotor) ya kan ?. Bung juga biasa nggebrak meja direktur sambil tolak pinggang menuntut kenaikan upah. Bung boleh saja tidak sabar, boleh marah, tapi hanya pada siapa kita bisa tidak sabar, mesti marah, jengkel kalau perlu ngamuk. Apakah sampeyan tidak terpikir, bagaimana nasib keluarga di luar? Sampeyan ngerti nggak bagaimana kesulitan keluarga, apakah kita meninggalkan harta yang melimpah saat kita ditangkap?. Berapa banyak sih harta yang kita tinggalkan untuk keluarga? Untuk keperluan sehari-hari saja belum tentu cukup kok, apa lagi buat ngirim kita. Hukuman ini belum apa-apa bung, masih ada 2B lagi yang menunggu kita. Ini baru “bui” belum “buang” atau “bunuh”, segalanya bisa saja terjadi. Kehidupan keluarga kita di luar itu juga sangat sulit, mereka juga terkena imbas dari penangkapan kita, bergaul sama tetangga saja sudah repot kok.” Dari kabar yang ku dengar memang begitu, kalau ada dua tiga orang ibu-ibu berkumpul dan kemudian salah seorang anggota keluarga kami menghampiri, coba ikut bergabung , langsung saja mereka bubar, menghindar, ya nggak diludahi saja sudah untung. Benar juga kata pak Biadi, orang ini memang bener-bener susah, kasar lagi, masak bisa-bisanya ngomongin istri kayak gitu, istri sendiri disuruh ngelonte, memang istrinya itu cakep dan masih muda apa. Jangan-jangan kalau bener kejadian, malah dia yang harus bayar. Itulah akibatnya jika masuk penjara dengan mental yang pas-pasan, penjara dengan segala kodisinya yang serba terbatas dan dibatasi memang bisa mengubah watak, jiwa dan perilaku seseorang. Pada saat itu, banyak orang yang dari luar tampaknya tangguh, tapi nggak tahunya cuma mateng karena karbitan. “Maaf bung, mungkin omonganku terlalu keras, sekali lagi maaf” “Ya, saya juga minta maaf, omongan saya keladuk. Saya bisa menerima omongan bung, dan saya juga berjanji tidak ingin mengulang kembali” “Nah gitu dong, ingat nggak sampeyan dengan nasehatnya para Rohis (Rohaniawan Islam) shalat dan berdoalah untuk keselamatan dan kemudahaan keluarga dalam menjalani hidup dan usaha.”
63
Pak Biadi memang memenuhi janjinya, ompreng kami sering mendapat perbaikan mana kala besukkan beliau datang. Suatu hari, saat shalat magrib tiba, aku mendapat giliran tugas dengan seorang teman untuk menyiapkan tikar yang akan digelar di lapangan. Giliran tugas seperti ini nggak sebulan sekali dapatnya, seingatku selama aku menghuni Salemba, nggak lebih dari dua kali aku mendapat giliran tugas menyiapkan dan mengatur tikar shalat di lapangan. Tugas ini buatku lumayan menyenangkan, mengambil dan memulangkan tikar ke Blok-A, karena kalau kebetulan bisa ketemu dengan teman, paling sedikit kami bisa saling senyum dan melambaikan tangan. Sebelum shalat dimulai, aku duduk berdekatan dengan bung Aziz, tetangga depan rumahku yang kebetulan juga bernasib sama denganku. Dia ditangkap hanya karena ia menjadi anggota SBKB. Bung Aziz ini adalah seorang supir alat-alat berat, ketika proyek jalan By Pass dibangun dalam rangka menyambut penyelenggaraan Asian Games di Jakarta. Kampungkampung antara Cililitan dan Tanjung Priok dibongkar habis jadi bulakan. Aku ingat benar, sebelum jalan ini selesai dibuat, aku sering jalan-jalan di proyek ini untuk melihat dari dekat alat-alat berat itu, tentu saja dengan pacarku, dan di sana pula pada suatu malam aku memberanikan diri menyampaikan niatku untuk melamarnya menjadi istriku. “Bung,” aku dicolek bung Aziz, “Bung sudah diperiksa belum?” Aku menggeleng, menjawab pertanyaannya. “Kebetulan kalau belum, saya sudah diperiksa. Saya kasih tau caranya menghadapi tim pemeriksa, mau nggak?” “Mau, bagaimana?” “Gini, nanti saat bung berhadapan dengan mereka bacalah doa ini, sambil menarik ibu jari kaki kanan bacalah, "Bismillahirohmannirrohim, Robbis rohli sodri, Wayam sirli amriWahlul ukdatam milisani Yafkouhu kuuli, yang artinya kurang lebih adalah, ya Allah berikan aku kemudahan dalam bicaraku dan jadikanlah lawan bicaraku mau mengerti dan mudah menerima apa yang aku bicarakan. Kalau itu bung lakukan insyaallah semuanya akan baikbaik saja. Saya sendiri sudah melakukannya dan alhamdulillah nggak terlalu lama saya diperiksa dan tidak ada siksaan apa-apa.” Aku pikir pemeriksaan di Salemba ini nggak lebih hanya untuk menentukan klasifikasi
64
golongan para tahanan saja. Sebab isue yang beredar, para tapol akan segera mendapatkan penyelesaian. Tentang bagaimana bentuk penyelesaian itu sendiri ya masih tanda tanya. Seperti yang selama ini diketahui para tapol itu hanya dihadapkan pada 3B, yaitu, Bui, Buang dan Bunuh. Selesai shalat magrib dan mengembalikan tikar ke Blok-A. aku kembali lagi ke selku di Blok-O. Salemba: Pertemuan Keluarga Yang kedua Pertemuan keluarga yang kedua ini pun diadakan saat hari besar, dalam rangka menyambut Tahun Baru 1968. Dan dalam perayaan Natal dan Tahun Baru bagi para tapol Nasrani atau Katolik ada juga kesempatan kebaktian. Malam Natal tahun itu Dewan Gereja memberikan bingkisan kepada para tapol, bingkisan itu berupa sekotak nasi lengkap dengan lauk pauknya untuk makan malam, menunya tentu saja menu khas Natal . Menurut ukuran para tahanan, menu itu sungguh sangat istemewa. Nasi komplit dengan lauknya daging dan sudah tentu masih ditambah kue-kue Natal yang belum pernah kami temui selama menjadi tahanan. Hanya sayangnya, bingkisan mewah seperti itu sudah tidak utuh lagi ketika sampai di tangan kami. Yang dimaksud dengan tidak utuh itu bukan isinya yang berkurang, tetapi jumlah bingkisan itu yang jadi berkurang. Ya, kami hanya menerima satu kardus nasi untuk berdua. Dalam benakku terlintas pikiran, apa iya yang namanya Dewan Gereja setega itu, memberikan seorang tahanan hadiah Natal, yang hanya berupa nasi saja kok cuma separo kardus?, kalau memang tidak mencukupi apakah tidak lebih baik jika volumenya saja yang dikecilkan, sehingga gampang membaginya. Rasanya tidak mungkin, suatu Dewan Gereja yang sangat pemurah dalam membantu umatnya melakukan hal semacam itu. Taruhlah di seluruh Jakarta ada sepuluh ribu orang tahanan di penjara, apakah Dewan Gereja tidak mampu mecukupinya?. Hati kecilku berkata tentu, mereka pasti mampu. Ya begitulah nasib para tahanan, menerima apa saja yang diberikan dan apa adanya menurut kehendak dan keputusan mereka yang sedang berkuasa. Akhirnya kami berkesimpulan, masih menerimanya saja sudah untung, seandainya bingkisan tidak disampaikan pada kami, kami pun tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi sudah sepatutnya kami bersyukur. Terima kasih Dewan Gereja.
65
Kembali pada pertemuan keluarga. Seperti biasa pertemuan keluarga diadakan pada pagi hari, tidak seperti pertemuan yang dahulu, pertemuan kali ini tidak dilakukan di lapangan, tapi diadakan di belakang kantor penjara, juga ada rasa sopan sedikit, halaman belakang kantor digelari tikar. Hatiku sedikit gembira ada harapan untuk bisa bertemu lagi dengan keluargaku. Benar saja hari itu aku mendapat kunjungan, aku kembali bertemu dengan istri dan anakku serta Ucih, gadis cilik yang momong anakku. Sesaat setelah kami bertemu, istriku membuka percakapan, “Gimana mas, sehat nggak sakit kan ?” “Sehat, pagi ini aku sangat sehat, semangat dan gairah untuk hidup terus bersamamu bangkit kembali. Ya cuma waktunya kapan?. Kau telah memenuhi janjimu,” jawabku sambil memangku anakku. “Janji apa mas?” “Lupa?, kapan kau pernah bilang padaku, mas, biar masuk kandang macan kalau sama sampeyan saya mau dan berani. Gitu kan ingat?” “Aku kini ada di kandang macan, suatu ketika jika sang macan lapar bisa saja aku disantap, dikunyah dan ditelannya. Kini kau datang ke kandang macan, walaupun hanya di luar jeruji. Kau tetap istriku yang cantik dan setia.” Kupeluk dia dan kucium kedua pipinya, istriku meneteskan air mata. Kembali aku teringat saat dulu aku melamarnya. Disuatu malam aku mengajaknya jalan-jalan menikmati udara malam kota Jakarta , kami berjalan-jalan sampai di sekitar proyek jalan By Pass. Capek jalan ngalor-ngidul duduklah kami di tumpukan balok-balok
beton. Aku kenal dengan pacarku memang sudah lama banget, dengan keluarganya pun aku sudah kenal lama karena kebetulan memang satu kantor, di pharmasi. Tidak kurang dari sepuluh tahun aku mengenalnya. Aku berkata dalam batinku, aku tidak bisa berbuat seperti ini terusterusan tanpa ujung, kasihan dia. Maka kuberanikan diri, menyampaikan niat suciku. Kutempelkan bibirku di telinganya, lalu kukatakan kepadanya dalam bahasa Jawa, “Dik, maukah kau menjadi istriku?” Pacarku menjawabnya dalam bahasa Jawa pula, “Mosok aku emoh, mas” Deg nratap hatiku, apakah aku terlanjur berkata demikian, sudah siapkah aku menjadi suaminya?. Aku ingat banget, di dalam novel Siti Nurbaya, di sana ada adegan ketika Samsul Bachri menyatakan cintanya pada Siti Nurbaya, “Maukah kau kelak menjadi istriku?”, dan Siti Nurbaya pun menjawab, “Masak tak mau.” Persis, pacarku menjawab seperti jawaban Siti Nurbaya, hanya beda bahasa, jika Siti Nurbaya menjawab dalam
66
bahasa Indonesia , pacarku menjawab dalam bahasa Jawa. Memang pacarku Jawanya masih medok. “Mas, ojo meneh dadi bojo, iku pancen sing tak arep-arep, senajan mlebu kandang macan nek karo sampeyan, aku wani.” (apa lagi jadi istri itu memang yang kuharapkan, walau memasuki kandang macan sekalipun kalau sama mas, aku berani). Nggak terasa tanganku menggapai pundaknya, kupepetkan dadaku kedadanya, rapet. Kucium bibirnya, kuputar-putar lidahku dalam mulutnya. Sesaat aku lupa segalanya, cintaku diterimanya dengan penuh keikhlasan. Ya, itulah janjinya dulu, dan kini setelah ia menjadi istriku, ia membuktikan janjinya itu. “Mas, maafkan saya mas, sangat mungkin aku tidak bisa lagi membesuk sampeyan. Anggap saja besukkanku kali ini adalah besukkan terakhir, ya anggap saja begitu, supaya sampeyan tidak terlalu berharap, dan kalau suatu ketika aku bisa membesuk lagi, itu adalah anugerah Tuhan” “Lho memang kenapa?, kau dipecat dari kantormu?, apa kau tidak bekerja lagi?” “Nggak mas, saya nggak dipecat, saya tetap bekerja di kantor, tapi saya sekarang tidak tinggal di Utan Kayu lagi. Rumah kantor harus dikosongkan” “Ada petugas yang mengusirmu?, lalu kau sekarang tinggal dimana?” “Bukan mas, tidak ada petugas yang datang mengusir. Ada seorang perempuan yang datang dan mengatakan kalau dia adalah istri dari pemilik rumah kantor itu. Jadi saya harus meninggalkan rumah itu segera. Katanya rumah itu akan dijualnya, nanti kalau sudah laku, saya mau diberi ganti rugi” Aku jadi bingung, rumah yang aku tinggali bersama keluargaku itu memang adalah rumah kantor, aku menempatinya pun atas izin kantor, dan memang setahuku rumah itu seratus persen rumah kantor. Kok sekarang ada seseorang datang dan mengaku istri dari pemilik rumah kantor. Aneh?, siapa dia?. Terlintas dibenakku tentang sebuah pesan yang pernah kuterima dulu saat Santi Aji, oh mungkin perempuan itu adalah istri dari rekan sekantorku itu. Ya bener, ingat aku sekarang. “Kapan itu terjadi?” tanyaku “Sudah lama juga, lebih dari sebulan yang lalu” “Lantas sekarang kau tinggal dimana?, diberi ganti rugi berapa?” “Nggak, nggak dikasih ganti rugi. Rumah itu ternyata nggak dijualnya, tapi rumah itu malah akan dibangunnya dan ditempatinya sendiri. Sekarang aku tinggal di rumah kontrakan, jauh dari Utan Kayu. Terpaksa barang-barang simpananku tak jual semua untuk kontrak rumah, mas kan tahu berapa banyak sih simpanan barang milikku, itu pun
67
masih kurang, aku harus menambahnya dengan uang dari pinjaman kantor untuk bisa kontrak selama setahun. Kalau nanti sudah habis setahun dan tidak bisa memperpanjang kontrak, ya nggak tahu. Maaf ya mas, bukan maksud saya untuk membebani pikiran sampeyan. Percayalah nanti juga ada jalan keluarnya.” Weh lha benar-benar sebuah pukulan telak. Kok bisa-bisanya rumah kantor diakui sebagai rumah milik suaminya, dan akan dibangun untuk menjadi rumah tinggalnya. Tega benar dia. Ya baiklah kalau rumah kantor bisa diakui dan dihaki menjadi rumah miliknya itu tidak apaapa, aku malah cenderung menyokongnya dari pada rumah itu dijarah buto ijo. Tetapi yang menjadi ganjalan dan yang mengenaskan, kok dia benar-benar tega, menyuruh istriku meninggalkan rumah tanpa memberi pesangon sedikitpun. Keadaan sudah jungkir balik, rasa ego, tamak, dengki, srei bermunculan. Kedok sudah terbuka, kini wajah aslinya nampak jelas. “Ya sudahlah mau apa lagi, memang rumah itu bukan milik kita,” kataku, “Apa lagi aku kini ada dalam kurungan penjara, seandainya dalam keadaan bebas pun aku juga belum tentu bisa berbuat banyak, aku ini kan hanya orang di bawah perintah. Tapi adik sehat kan ?” “Sehat mas, berdoa saja mas, agar mas bisa cepat bebas, biar kita bisa berkumpul lagi, membesarkan anak kita” “Oh tentu, aku selalu berdoa, terutama buat si gendhuk dan ibunya. Biarlah kau tak bisa kirim besukkan juga tak apa, biar sekepal penjara masih kasih makan aku, yang terpenting adalah anak kita, berikan segalanya untuk anak kita, terutama soal makan dan kesehatannya jangan sampai terlantar. Eh ya, adik kirim rokok kok cuma sebatang?, kan lebih baik rokoknya diganti saja dengan tembakau saja, biar awet” “Ya mas, memang kiriman rokoknya hanya sebatang dan nggak ada tembakaunya. Maaf ya mas, rokok itu pengasih dari orang tua. Kata beliau, rokok itu harus dihisap mas sendiri, nggak boleh dihisap oleh orang lain, mas juga nggak boleh menghisap rokok yang lain, kecuali rokok yang itu saja. Itulah sebabnya kiriman rokok hanya sebatang, kalau dicampur dengan rokok yang lain atau tembakau, nanti yang dihisap bisa rokok yang lain, bukan yang khusus itu. Rokok itu ada isinya mas” “Orang tua itu dukun, maksudmu?, siapa yang kasih ajaran macam itu?” “Ya mas, dari teman sekantor, ada yang ngasih saran agar aku berikhtiar melalui orang tua” “Oh begitu, ya bagus, terima kasih kepada yang memberi saran. Memang yang namanya ikhtiar itu baik, tapi menurutku kok rasanya kurang tepat dik” “Kurang tepatnya dimana mas?”
68
“Masak kau nggak ngerti?. Begini ya aku kasih tahu, bahwa persoalan penahananku ini adalah persoalan politik yang erat hubungannya dengan negara atau pemerintah, ini persoalan nasional bukan persoalan pribadi perseorangan, bahkan persoalan peristiwa '65 itu menjalar sampai kedunia internasional. Jadi penyelesaian para tahanan seperti diriku ini semuanya itu tergantung pada sarana politik yang bisa merubah sikap para penguasa. Selama sarana itu tidak ada, ya tetap saja para tapol akan menempati posisi seperti ini. Pak dukun tidak akan mungkin bisa membebaskan para tahanan. Karena biasanya pak dukun itu kan hanya menangani persoalan pribadi, perorangan, seperti misalnya kalau ingin mendapatkan cinta dari lawan jenis melalui ilmu pelet, atau ingin menyakiti seseorang dengan cara santet menyantet, nah itu baru bisa lewat pak dukun. Tiwas ngenteke duwit kan lebih baik uang itu digunakan buat keperluan anak kita. Dan jangan dikira loh dik, beliau-beliau itu juga suka main dukun, bahkan simpanan dukun mereka bukan sembarang dukun, bukan seperti dukun kampung kebanyakan, tidak sedikit dari beliau-beliau itu yang mempunyai pegangan ajimat yang keampuhannya sangat mumpuni segala keperluan. Jadi jangan diulang lagi ya dik, percuma nggak ada gunanya, tapi yang sudah ya sudahlah” “Ya mas, maaf kalau saya keliru” “Ya nggak apa-apa, namanya juga ikhtiar” Tak terasa waktu pertemuan berakhir, anakku diambil dari pangkuanku, sambil menggandeng anak kami istriku sekali lagi mengatakan agar aku tidak terlalu berharap dengan kiriman besukkannya, kalau ada rezeki walaupun hanya sepotong singkong tentu akan diantarnya. Istriku telah memenuhi janjinya, dia telah menunjukkan kesetiaannya, walaupun mungkin sedikit keliru, ikhtiar itu adalah caranya menunjukkan rasa keinginannya agar aku, suaminya ini dapat segara bebas kembali. Dan ternyata masih ada juga orang-orang yang menunjukkan rasa kepeduliannya serta rasa simpati dan empati terhadap kebebasanku. Ya kepada mereka mereka itu aku ucapkan terima kasih. Kembali ke Blok-O, aku nikmati kiriman besukkan dari istriku, aku tidak ambil pusing dengan rokok dari pak dukun, selesai makan bersama aku hisap rokok itu, kutarik dalam dalam asap rokok, kunikmati benar asap rokok itu, siapa tahu kiriman ini benar-benar kiriman terakhir. Besok atau lusa aku akan menjadi salah satu tahanan yang harus bisa hidup hanya dari jatah penjara saja. Kalau memang aku masih diberi umur panjang, masih deberi kesempatan untuk hidup, tentu aku akan bisa hidup walau dengan apa adanya. Insya Allah, ya mudah-mudahan saja.
69
Oplosing para tahanan berjalan lagi, kali ini aku dipindah ke Blok-G. Blok-G ini adalah blok dengan sel tunggal, sebuah kamar besar. Rata-rata penghuninya sangat kurus-kurus, kurang makan, dari jumlah seluruh penghuni sel ini yang menerima kiriman besukkan tidak lebih dari 20 % saja, itu pun tidak menentu. Di Blok-G ini aku jatuh sakit, agak parah juga, mungkin sakitku ini akibat dari pikiran-pikiranku yang belum bisa tenang karena terlalu memikirkan nasib keluarga di luar, aku selalu terpikir tentang bagaimana dengan keadaan rumah kontrakan keluargaku, bagaimana keadaan anakku kalau ditinggal ibunya ke kantor, bagaimana makanan anakku bergizikah atau hanya sekedar asal makan saja. Tapi yang jelas dan pasti aku sakit juga karena kurang makan. Di Blok-G ini juga aku mulai mengenal yang namanya “goles” alias sego teles atau nasi basah. Goles ini dikirim oleh teman-teman yang bertugas di dapur karena adanya rasa solider tentunya. Mungkin nasi ini adalah kumpulan dari nasi-nasi yang lengket di sabluk atau di kotak besar tempat menampung nasi dari sabluk. Kalau sabluk dan kotak ini dicuci, rontokan nasinya lumayan juga. Nah rontokan sisa-sisa nasi itu lalu dikumpulkan dan dimasukan kantong plastik, kemudian dikirim ke blok-blok yang dianggap memerlukannya dengan cara diselundupkan kedalam dandang yang berisi air panas. Blok-G sering menerima kiriman goles ini, biar benyek, sepo anyep tapi kalau perut sudah lapar tidak pernah menolaknya, mulut dan perut yang kelaparan tetap mau menerimanya dan tetap saja terasa enak. Tiga bulan lebih aku menjadi penghuni Blok-G, kiriman besukkan memang tidak pernah kunjung tiba. Seperti yang dikatakan istriku, aku jangan terlalu berharap mendapat kiriman besukkan, kalau ada rezeki biarpun hanya sepotong singkong pasti akan dikirimkannya. Benar juga, rupanya rezeki itu barangkali sudah datang, ketika suatu hari namaku dipanggil oleh teman yang bertugas mengambil dan membawa kiriman besukkan, meriangku langsung saja hilang. Tiga bulan lebih aku tidak pernah makan lebih dari jatah penjara, aku juga tidak pernah mimpi akan dapat kiriman besukkan yang begitu komplit. Ya saat itu aku mendapat kiriman besukkan yang terdiri dari tiga tas. Satu tas berisi nasi dan lauknya, satu tas lainnya berisi tembakau dan makanan kering yang bisa tahan lama dan satu tas lagi berisi pakaian. Kiriman pakaian itu antara lain adalah kaus dan celana dalam, celana panjang, baju-baju halus seperti sutra dan ada pula jaket dari bahan verlak halus. Aku tidak pernah merasa memiliki pakaian-pakaian itu, lantas dari mana semua pakaian ini?. Kalau boleh aku menerka-nerka, mungkin kiriman pakaian ini datang dari sahabatku, bapaknya Koko, tapi
70
kenapa?. Dari kabar burung yang pernah kudengar, penjara Salemba akan segera dikosongkan. Mungkin keluarga dan teman-teman yang di luar sudah lebih tahu akan hal itu, entah lewat radio atau pun media cetak. Kemungkinan adanya pemindahan para tapol akan segera terjadi, kemana?. Nggak tahu. Mana mungkin tapol seperti aku bisa tahu dan mengerti, tapol kan hidupnya terisolasi, lepas dari keluarga, jauh dari berita dan informasi dunia luar. Kehidupan di penjara itu kan hanya menghitung waktu, kapan bisa bebas atau kapan maut menjemput?. Kiriman besukkaanku yang mempunyai bobot istimewa, lebih dari bobot besukkan yang pernah aku terima, rupanya menjadi besukkan yang benar-benar terakhir kali, sampai tiba saatnya aku tinggalkan penjara Salemba yang jahanam itu, tak pernah lagi aku menerima kiriman besukkan dari keluarga. Dengan adanya kiriman besukkan itu oleh kepala blok aku diserahi tugas menanggung seorang teman, bernama Ahmadi untuk diajak makan bersamaku. Tak lama sesudah aku menerima kiriman istimewa ada oplosing lagi, aku dipindah lagi, kali ini ke Blok-P. Di blok ini aku kembali bertemu dengan pak Hasyim Rahman, tapi beliau tidak lagi menjadi kepala blok, beliau hanya menjadi warga blok biasa. Karena beliau sudah kenal lama denganku, maka aku diajaknya untuk satu sel dengannya ditambah lagi dengan seorang teman lain yang hidupnya juga tergantung dari jatah penjara. Saat itu bertepatan dengan hari Jum’at, aku absen shalat Jum’at, hanya karena harus menata sel yang baru. Kesibukan para petugas penjara tampak lain dari biasanya, kepala sekuriti sibuk keluar masuk blok. Berita tentang pengiriman para tapol ke Pulau Buru makin santer, terang dan jelas. Rupanya sudah bukan menjadi rahasia lagi, kepindahan para tapol hanya tinggal menunggu waktu saja, mungkin hanya tinggal satu dua hari, mungkin bisa nanti malam, segalanya bisa mungkin, bisa terjadi kapan saja. Para petugas penjara Salemba dan para tapol penghuninya, hanya tinggal menunggu perintah saja. “Ayo siap, tinggalkan tempat ini, kemudian akan kukirim dan kubuang kalian ke Pulau Buru!” Kepala sekuriti, Peltu Marjuki, sok berlagak seperti seniman atau budayawan. “Tak ada pesta tanpa akhir,” begitu ucapnya pada kami. Buat si Kliwon ini, penjara Salemba adalah tempatnya berpesta. Benar juga barangkali, memang penjara bagaikan neraka buat kami para tahanan, tetapi penjara bagi mereka yang berkuasa adalah tempat mereka berpesta.
71
Bagaimana tidak, coba saja pikirkan berapa banyak para narapidana yang bila malam tiba bisa dengan bebas pulang ke rumah dan tidur dengan istri, berapa pula banyaknya para pembobol uang negara yang bisa dengan mudah lolos dari penjara dan kemudian lari ke negara tetangga. Di penjara Salemba ada seorang tahanan yang bernama Aslam, dia disebut juga sebagai si Raja Karet, orangnya gede tinggi, kekayaannya barangkali sudah tidak bisa dihitung lagi, di dalam penjara saja untuk keperluan mandinya pun ada yang melayaninya. Aku tidak tahu persis tentang status tahanannya, apakah dia seorang tapol atau tahanan kriminil. Nah, pada hari raya Idul Adha atau disebut juga hari Raya Kurban, atau Lebaran Haji, sang raja karet ini menawarkan pada penguasa penjara untuk mendatangkan sapi atau kerbau sebanyak lima ekor atas tanggungannya, nanti seluruh daging hewan itu
sepenuhnya untuk keperluan makan para tapol, asalkan dia bisa diizinkan pulang untuk bertemu dengan keluarganya. "Ayo kawallah saya pulang untuk bertemu keluarga saya," demikian pintanya. Sayangnya keinginan si raja karet ini tidak dapat terlaksana, tapol tetap tidak menerima apaapa pada hari raya, jatah makan tetap saja tipis dengan sayur bening bayam, keinginan pak Aslam untuk menyumbang daging untuk para tahanan tidak terwujud. Tapi anehnya sejak hari raya Idul Adha pak Aslam tidak tampak lagi batang hidungnya di Salemba. Kemana perginya beliau?. Barangkali hanya uang yang ada di kantong para penguasa itulah yang tahu. Malam sebelum tidur pak Hasyim mengajak aku dan seorang teman satu sel bernama Sanadi, ngobrol. “Pak Sam, nih tembakau Mole dan rokok Bentoelnya, lintinglah seperti dulu saat di Blok-Q, nanti kita bisa merokok ramai-ramai, kalau perlu kita bisa merokok sampai pagi. Siapa tahu sel ini adalah sel terakhir kita, kemudian besok atau lusa kita akan berpisah” “Ya pak, sini kulintingnya,” Dulu sewaktu di Blok-Q aku biasa jadi pembantunya pak Hasyim, menisikan sarung atau celananya yang lepas jahitannya pasti aku yang mengerjakan, tentu saja karena ada imbalannya yang cukup baik. “Kalian boleh bergembira, tak lama lagi kalian akan bebas bertemu dengan keluarga lagi. Hanya kalau nanti kalian sudah bebas jangan lupa sama saya, ya. Kalau saya sih tidak akan bebas, prosesnya masih panjang. Saya mesti diproses lewat pengadilan, nah hasil proses pengadilan itu nanti bisa berupa macam-macam. Bisa saja saya diputus bebas, tapi ini tidak mungkinlah. Bisa juga saya divonis mati, atau setidaknya dipenjara seumur hidup”
72
“Pak,” selaku, “Apakah benar dengan kabar yang katanya para tapol akan dipindahkan ke Pulau Buru?. Dimana letak Pulau Buru itu, pak?” “Pulau Buru itu termasuk wilayah Indonesia bagian timur, letaknya tidak jauh dari Ambon . Pulau Buru itu termasuk ke dalam ProvinsiMaluku” “Lha kalau kita dipindahkan ke sana , apakah di sana juga sudah ada penjaranya?. Seperti dulu saat jaman penjajahan, banyak orang-orang yang dibuang ke Digul atau Tanah Merah. Kemudian setelah mereka bebas disebut Digolis. Jangan-jangan seperti itu pak?” “Saya nggak tahu, tetapi hakekatnya setiap tempat dimana ada tahanannya adalah penjara. Sudahlah kalian nggak perlu ngerti tentang Pulau Buru, besok atau lusa kalian pasti akan bebas. Tunggu saja saatnya akan segera tiba. Masih mau merokok nggak?, kalau nggak sebaiknya mari kita tidur sambil menunggu kabar, bagaimana jadinya esok pagi” Kami bertiga pun segera pergi tidur. Tapi nyatanya aku sulit untuk tidur, berbagai macam pikiran berkecamuk di benakku, terbayang olehku bagaimana nanti kalau aku bebas, ketemu keluarga lagi seperti gambaran pak Hasyim, yang nampaknya sangat meyakinkan dan memberiku harapan terang. Lha kalau nanti aku benar bisa bebas apa iya kebebasanku itu karena hasil kerjanya pak dukun melalui sebatang rokok khusus. Tetapi sayangnya ketika aku diperiksa aparat di Salemba ini aku tidak membaca doa yang telah diajarkan oleh tetanggaku, bung Aziz. Jika kelak bung Aziz bisa bebas, apakah bebasnya itu karena membaca doa itu. Aduh sayang sekali, kenapa doa itu nggak aku baca saat aku diperiksa. Seandainya saja doa itu kubaca dan rokok dari pak dukun tidak hanya satu batang, barangkali tentunya kebebasanku akan nampak terang dan jelas di depan mata. Tapi rokoknya hanya satu batang dan doanya tak kubaca, rasa gelap, khawatir dan juga penyesalan menumpuk dibenakku. Kembali aku coba menekan segala pikiran yang menyesakkan ini, kukuatkan mentalku. Apa pun yang akan terjadi, hingga sampai pada hal yang paling buruk pun, aku harus siap. Aku sendiri pernah mengingatkan Pak Daryo, “Pak, penjara ini belum apa-apa, ini baru “B” yang pertama, masih ada dua “B” yang lain menunggu kita. “B” dibuang atau “B” dibunuh, semuanya bukan tidak mungkin bisa terjadi.” Kembali modal pertamaku saat di Kodim Budi Kemuliaan muncul, “Tenang kancane akeh kok!”. Kalau sudah begitu hatiku sedikit tenang dan tentram. Mudah-mudahan saja apa yang dikatakan oleh Pak Hasyim benar, aku akan segera bebas. “Belum tidur pak Sam?, kenapa, nggak bisa tidur?. Sudahlah tidur, nggak usah dipikirkan, tunggu saja saatnya kalian pasti akan bebas. Apa yang dikatakan Peltu Marjuki itu benar, tak ada pesta tanpa akhir. Segalanya yang ada di dunia ini kan dibatasi oleh waktu. Coba
73
saja mana ada hal yang tidak dibatasi oleh waktu, tidak ada. Sampai kapanpun yang namanya waktu itu pasti tiba. Kalau pak Sam pernah nonton sebuah tontonan yang menurut pak Sam baik dan enak ditonton, taruhlah pak Sam nonton wayang kegemaran pak Sam, keindahan wayangnya makin terasa karena dibatasi oleh waktu.Waktu itu berjalan terus pak, waktu tak pernah berhenti, mandeg di jalan.Waktu yang tak pernah kita hitung itu, tahu-tahu membawa kita menjadi tua seperti sekarang ini. Sebenarnya orang yang tidak mau tahu akan waktu dan tidak pernah memperhitungkan waktu, hakekatnya adalah orang yang merugi, karena waktu itu tidak pernah dapat kembali mundur. Bagi mahkluk hidup terutama manusia yang hidupnya dibatasi oleh waktu, waktu itu adalah satu faktor penting yang perlu diperhitungkan. “Time is Money” kata pedagang. Jangan buang-buang waktu, “Lengbet”, meleng sabet, kata para pencoleng. Para pencoleng itu sangat memperhitungkan dan menghargai waktu. Nggak peduli apakah itu pencoleng di pasar atau kah pencoleng uang negara, mereka semua bekerja dengan memanfaatkan waktu.” Eh akhirnya kami nggak jadi tidur, ngobrol lagi bertiga dan kami kembali merokok lagi. “Eh dik Sanadi,” kata pak Hasyim kepada teman satu sel yang lain, “Mau tanya apa? Atau sudah punya rencana apa kalau besok atau lusa dik Sanadi benar bisa bebas?” “Ah nggak pak, saya nggak mau tanya apa-apa, ya mau tanya apa, saya ini kan nggak ngerti apa-apa pak. Bisa sampai masuk penjara ini pun saya nggak ngerti. Kenapa saya bisa sampai masuk penjara padahal saya kan nggak berbuat apa-apa” “Sebagai seorang pemuda, apakah dik Sanadi pernah masuk sebuah organisasi?” “Ya itu pak karena ikut-ikutan teman-teman di kampung saya masuk Pemuda Rakyat” “Diajari apa saat di Pemuda Rakyat?, disuruh baca buku politik ya?” “Nggak pak, nggak disuruh baca buku apa-apa, mana saya ngerti, sekolah SD saja saya nggak tamat” “Lantas ngapain di Pemuda Rakyat?” “Itu loh pak, saya kan seneng sama itu yang namanya drum band. Saya tertarik sekali jadi saya ingin bisa main seperti mereka itu. Saya seneng sekali melihat orang yang memukul tambur yang gede itu pak, tangan kirinya memukul kulit tambur sebelah kanan, tangan kanannya memukul kulit tambur sebelah kiri, jadi tangannya menyilang terus-terusan kaya baling-baling, wah gagah sekali kelihatannya. Apalagi itu cewek yang jadi komandannya, memberi komando sambil membawa tongkat yang diputar-putar, kadang-kadang berjalan mundur lalu tongkat dilempar ke atas, saat jatuh diterima tangan kanan dan terus diputar-putar lagi, wah pendeknya menarik sekali pak. Saya kepingin bisa seperti mereka maka itu saya mendaftar menjadi anggota Pemuda Rakyat.” “Oh tambur besar itu namanya drum dik, dan cewek yang memberi komando sambil
74
membawa tongkat itu disebut dengan majoret. Lantas kau pernah diberi pelajaran apa saja?, apa dikursuskan misalnya?” tanya pak Hasyim lagi. “Dikursuskan apa, cuma kalau lagi kumpul-kumpul kami suka diomongin tentang perjuangan. Katanya Indonesia ini amat kaya raya punya segalanya dan sekarang kita sudah merdeka, tapi kenapa kita ini umumnya kok masih miskin dan bodoh, begitu pak katanya” “Kata siapa?” “Ya itu kata yang ngomongin, kayaknya sih dia salah satu pembina senior di organisasi. Maka itu katanya pak, kita sebagai pemuda harus berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan. Lha caranya berjuang tidak bisa sendiri-sendiri tapi harus dilakukan bersama-sama, nah untuk bisa melakukan bersama-sama itu syaratnya ya harus melalui organisasi. Itulah sebabnya kita harus mempunyai organisasi yang namanya Pemuda Rakyat. Lewat Pemuda Rakyat inilah kita akan melawan kemiskinan dan kebodohan, gitu katanya pak. Lama-lama saya jadi anu pak” “Anu kenapa?” “Anu pak, saya jadi mulai berani nanya” “Tanya apa?” “Jadi saya pernah tanya, melawan kebodohan dan melawan kemiskinan lewat organisasi itu bagaimana?. Dijawab, bagus bung, bung sudah mulai berani bertanya, itu tandanya bung sudah ada kemajuan. Saya jadi geli pak, masak cuma nanya kayak begitu saja sudah dibilang ada kemajuan” “Bener itu,” kata pak Hasyim, "Itu memang satu kemajuan, ngomong, bertanya apalagi menjawab dalam kumpulan orang banyak itu tidak semua orang bisa dan berani. Banyak orang pintar tetapi ketika harus bicara dimuka umum, di mimbar misalnya kepintarannya jadi hilang, gelagepan ndak bisa omong apa-apa, kakinya gemetar, mukanya pucat. Jadi kalau dik Sanadi itu mau dan berani bertanya itu adalah satu kemajuan, ayo teruskan, apa jawaban pertanyaanmu itu?” “Katanya, gini bung misalnya ada seorang pejabat taruhlah misalnya seorang menteri yang menyalah gunakan kewenangannya. Saya tanya lagi pak, menteri sama manteri itu apa sih bedanya bung?. Eh saya malah ditepukin tangan sama teman-teman, malah ada yang nyeletuk, ayo Di tanya terus!” Pak Hasyim ketawa, aku pun jadi ikut ketawa geli. Selanjutnya pak Hasyim berkata lagi. “Di, ternyata diam-diam anda punya pengalaman yang menarik juga. Pertanyaan dik Sanadi itu bisa jadi sebenarnya adalah juga menjadi pertanyaan para anggota lainnya yang sebenarnya mereka juga belum mengerti tapi mau tanya mereka tidak berani. Ayo teruskan ceritanya, nggak tidur juga nggak apa-apa, rokoknya juga masih ada, mungkin besok atau
75
lusa kalian akan bebas dan kita akan berpisah jadi anggap saja ini kumpul yang terakhir dan cerita cerita semacam ini bisa menjadi kenangan kita.” “Gini lo bung,” Hadi melanjutkan ceritanya, “Manteri dan menteri itu sama-sama sebuah jabatan. Kalau manteri itu jabatan sebagai pegawai negeri sipil sedangkan kalau menteri itu jabatan anggota kabinet pemerintah. Kalau menteri itu jabatan yang mengepalai suatu departemen misalnya Departemen Sosial, Departemen Keuangan dan lain-lainnya. Menteri itu bukan pegawai negeri sipil, masa jabatannya sebatas waktu yang ditetapkan oleh undangundang, misalnya pemerintah saat ini yang dipimpin oleh presiden Soekarno, maka kabinet dengan para menterinya yang menjadi pembantu presiden masa jabatannya sesuai dengan ketetapan yang diatur oleh undang-undang. Kalau di Indonesia masa jabatan para menteri itu adalah lima tahun sesuai dengan masa pemerintahan presiden yaitu lima tahun. Kalau seorang menteri dalam melaksanakan tugas memimpin departemen sebagai pembantu presiden tidak dapat dijalankan dengan baik, bisa saja menteri itu dicopot dan diganti oleh orang lain, kemudian dia dikembalikan ke tempat asalnya. Saya lalu tanya lagi, yang dimaksud dengan tempat asalnya itu bagaimana bung?, apa di kampung gitu misalnya?, eh saya kembali ditepukin tangan pak. Lalu sang pembina menjawab lagi, bukan bung, yang dimaksud ke tempat asalnya itu begini, kalau sebelum dia diangkat menjadi menteri, dia adalah seorang pengusaha maka setelah berhenti jadi menteri dia akan kembali menjadi pengusaha lagi tapi kalau dia sebelumnya adalah seorang pegawai negeri sipil maka setelah berhenti jadi menteri dia kembali menjadi pegawai negeri sipil dan kalau dia seorang anggota partai maka dia akan dikembalikan ke partainya. Lha kalau manteri itu misalnya manteri rumah sakit atau manteri hewan, dia adalah seorang pegawai yang masa jabatannya dibatasi oleh usianya. Jadi kalau pak manteri itu usianya telah mencapai 65 tahun, maka menurut undang-undang pak manteri harus pensiun. Pak manteri tidak bisa dipecat begitu saja kecuali dia melanggar undang-undang kepegawaian. Misalnya manteri kesehatan di sebuah rumah sakit yang telah biasa melayani pasien dalam memberikan obat, yang tentunya sesuai dengan petunjuk dokter, si pasien yang menderita penyakit ini dikasih obat ini, pasien yang menderita penyakit itu dikasih obat itu, nah karena bertahun-tahun pekerjaannya begitu maka sang manteri merasa hapal bener dengan obatobatan yang harus diberikan pada para pasien, kemudian pak manteri menyalah gunakan jabatannya, misalnya dia mengaku sebagai dokter, nah dia ini bisa dipecat zonder debat, begitu bung, ngerti ya.”
76
“Bung, pertanyaan saya tentang melawan kemiskinan dan kebodohan lewat organisasi kan belum dijawab bung,” Hadi kembali melanjutkan ceritanya. “Oh ya begini bung, misalnya ada seorang menteri, menteri sosial misalnya, si menteri ini menyelewengkan dana yang mestinya untuk kepentingan masyarakat yang lemah ekonominya tidak disalurkan dengan baik, dana yang disediakan untuk membangun sekolahan di desa juga mampir ke saku pak menteri. Nah perbuatan semacam ini tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Maka kemudian kita galang front pemuda, kita ajak organisasiorganisasi pemuda lainnya untuk melawan si menteri yang suka menyeleweng ini agar si menteri dapat ditindak tegas oleh hukum dan undang-undang. Itulah pada dasarnya berjuang lewat organisasi. Sudah tentu prosesnya tidaklah segampang itu, jadi paham ya bung. Saya jawab, ngerti bung, terima kasih dan saya kembali ditepukin tangan sama teman-teman.” “Wah,” kata pak Hasyim, “Ternyata dik Sanadi bisa juga bercerita dengan baik dan lancar, padahal katanya Sekolah Dasar saja nggak tamat, ya sudah sepantasnya kalau dik Sanadi dikasih tepuk tangan. Kalau pak Sam punya cerita apa?, ayo cerita pak, biarlah nggak tidur juga nggak apa-apa, besok pagi-pagi kalau air panas datang kita bikin kopi, kan masih ada kopi dan gula sedikit, cukuplah satu muk untuk bertiga” “Gini pak Hasyim, mendengar cerita pengalaman dik Sanadi ini saya jadi teringat pada pengalaman saya sendiri saat di Blok-G, ceritanya begini, salah seorang tapol yang bernama pak Yunus yang juga pernah satu blok dengan kita di Blok-Q mendapat tugas dari pak Haji Bahrun untuk memberikan pelajaran shalat di Blok-G. Pada waktu diadakan tanya jawab saya bertanya tentang sujud sahwi. Pak Yunus, sujud sahwi itu sujud yang bagaimana, apa kegunaannya dan kapan kita harus melakukan sujud sahwi?” “Lha ini pertanyaan yang bener-bener baik. Saudara-saudara pertanyaan pak Sam ini sangat baik sekali, saya tahu persis kok, pak Sam ini bertanya tentang sujud sahwi bukan karena pak Sam tidak tahu tentang sujud sahwi, tetapi kalau pak Sam ini bertanya tentang sujud sahwi sebenarnya pak Sam menanyakan hal ini untuk saudara-saudara yang belum mengerti tapi nggak mau atau memang malu untuk bertanya.” “Saya jadi geli pak, lha wong saya ini bener-bener tanya karena nggak ngerti kok dianggap mewakili temen-temen lain yang tidak mau atau malu bertanya. Lha kalau nanti ada temen lain yang bener-bener menganggap saya ini pinter lantas menanyakan sesuatu tentang melakukan shalat yang baik dan benar, dan kemudian saya tidak bisa menjawab kan bikin malu pak. “Begini saudara-saudara,” kata pak Yunus, lanjutku, “Sujud sahwi itu adalah sujud yang
77
dilakukan karena adanya cacat atau kesalahan dalam melakukan shalat, baik shalat fardu maupun shalat sunat. Hukum melakukan sujud sahwi adalah sunat bagi imam dan orang yang melakukan shalat sendirian, yang disebut juga munfarid. Sedangkan bagi makmum tergantung pada imamnya, jika imam melakukan sujud sahwi, maka makmum harus melakukan sujud sahwi juga, jika imam tidak melakukannya maka makmum tidak boleh melakukannya. Lalu kapan kita melakukan sujud sahwi, ya itu tadi jika shalat kita rusak karena kekurangan atau kelebihan rakaat yang telah kita kerjakan, misalkan kalau kita melakukan shalat ashar yang mestinya empat rakaat, tapi karena lupa baru tiga rakaat kita telah melakukan tahiyat akhir, atau setelah kita melakukan lima rakaat baru melakukan tahiyat akhir, atau jika kita merasa ragu berapa rakaat shalat yang telah kita kerjakan, maka lakukanlah sujud sahwi sebelum melakukan salam. Dalam sujud sahwi itu kita baca tasbih yaitu, Subhaana man laa yanaamu wa laa yashuu sebanyak tiga kali, sedang arti dari bacaan tasbih itu adalah, Maha Suci Zat yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa. Nah itulah saudara-saudara jawaban saya tentang sujud sahwi. Hayo siapa yang mau tanya lagi, jangan seperti temen kita yang namanya Darmin, katanya sudah khatam Al-Quran empat puluh kali, tapi saat mengimami shalat ashar, shalatnya rusak berantakan, mau denger ceritanya nggak?", kata pak Yunus. “Ya mau pak! “ jawab kami ramai-ramai. Gini ceritanya saudara-saudara, ketika Qommat untuk shalat ashar sudah diserukan oleh muazin, maka bung Darmin yang kebetulan diminta untuk menjadi imam segera bergegas berdiri di barisan terdepan untuk memimpin shalat. Pak imam melakukan takbir dengan mengangkat kedua telapak tangannya, lalu diteruskan dengan membaca doa iftitah tentunya. Tapi eeh dasar Darmin, cuma omongnya doang yang gede, dia membaca surat Al-Fatiah dengan suara keras, seperti layaknya saat melakukan shalat maghrib, isya atau subuh. Eh kok ya ada salah seorang makmum yang sempet-sempetnya nyeletuk, gimana sih pakMin ini shalat ashar kok disuarakan dengan suara keras, yang boleh dan harus disuarakan keras dalam shalat ashar dan lohor kan cuma takbir dan “tidal, eh temen di sampingnya nimpali juga, hus! kalau shalat nggak boleh ngomong, diam. Dan celakanya, dasar si Darmin mendengar ada makmumnya yang ngomong eh malah dia nengok kebelakang sambil ngomong, siapa sih itu yang cerewet, lha karuan saja shalat jadi berantakan, saya pun jadi ketawa sampai perut ini sakit, begitulah cerita pak Yunus,” kataku."
78
Kami bertiga pun ketawa ngakak membayangkan tingkah si imam yang bernama Darmin. “Pak Sam waktu itu ikut shalat?” “Nggak pak, saya tahu hal itu dari ceritanya pak Yunus, cuma saya memang pernah kumpul dengan pak Darmin itu sejak di Kodim, suatu saat saya pernah diajak ngobrol tentang agama. Dia bilang gini, dik Sam, kau itu kan orang Jawa toh, ngerti nggak apa gunanya orang melakukan shalat?, para ustad dan kyai itu kan selalu menyerukan kata tegakkan shalat dan bayarlah zakat, lakukan perintah Allah dan jauhkan laranganNya, yang pada ujungnya kita nanti pasti akan masuk kedalam surgaNya.” Tak kandani yo (saya bilangin ya), buat orang Jawa surga dan neraka itu nggak perlu jauhjauh dicari di akhirat, kau ngerti senepo nggak?, orang Jawa itu memberi makna surga dan neraka lewat senepo tadi. Surga dalam bahasa Jawa disebut Suwargo dan neraka disebut Neroko. Dalam bahasa Jawa itu, Suwargo adalah rangkaian tiga kata yang terdiri dari kata “Su” artinya nafsu, “War” artinya luar atau keluar, dan “Go” itu artinya lego atau puas, jadi arti harafiah Suwargo itu adalah nafsunya keluar, hatinya lego, jadi kita akan mendapatkan rasa puas dan kenikmatan bila kita telah dapat mengeluarkan atau membuang hawa nafsu kita. Ada pun Neroko itu terdiri dari kata “Ner” atau nere yang artinya adalah tujuan, kemauan atau maksud, “O” dari kata ora artinya tidak dan “Ko” dari kata teko artinya datang, kesampaian atau berhasil, jadi kata Neroko kalau diurai menjadi kata nere ora teko yang artinya maksud, arah tujuan atau kemauannya tidak kesampaian, maka alhasil hatinya jadi panas. Seorang tetangga misalnya bisa beli mobil bagus, sedangkan kita walau dengan memaksakan diri tetap nggak mampu beli mobil, kita lalu jadi iri, hati kita jadi panas. Maka itu nggak perlu jauh-jauh mencari surga atau neraka, nggak usah pake nunggu mati, di dunia ini banyak surga dan nerakanya. Apakah tahanan ini nggak merupakan neraka bagi kita?, jelas-jelas penahanan kita ini adalah merupakan neraka bagi kita, bung." “Eh entengnya pak Darmin ngomong tentang surga dan neraka, itu kan cuma otak-atik gatuk, pak.” Sampai disitu cerita tidak berlanjut, adzan subuh yang biasa disuarakan oleh saudara Surip mengalun panjang. Pintu sel dibuka, kami bertiga segera bergegas ambil air sembahyang untuk melakukan shalat subuh berjemaah. Pagi makin terang, seperti kemarin kesibukan pagi hari ini makin menjadi-jadi. Para petugas hilir-mudik khususnya petugas sekuriti, si Kliwon tentunya. Benar juga pak Kliwon
79
dengan pengeras suara masuk ke Blok-P, diperintahkanlah semua penghuni blok untuk keluar dan berkumpul di halaman blok. “Nah saudara-saudara seperti apa yang telah aku katakan beberapa hari lalu, tidak ada pesta tanpa akhir. Hari ini tiba saatnya pesta itu berakhir, untuk itu aku perintahkan kalian semua segera berkemas-kemas, bungkusin pakaian-pakaianmu, alat makan, rantang dan sendok boleh dibawa, tapi tikar nggak usah dibawa.” Baju koko dan celana ukuran tiga perempat pun dibagi-bagikan, di setiap punggung baju dituliskan angka gede-gede, bahannya dari blaco putih, potongan tokdel, jahitan asal nempel, nggak pakai ukuran gede kecilnya pemakai, pokoknya asal dibagi. Aku dapat baju bernomer punggung 25, buatku ukuran baju itu timbang pas, tapi karena badanku saat itu sangat kurus, ukuranku makin jadi kecil dan baju koko itu terasa sangat longgar di badanku. Diakui atau tidak rasa panik dan was-was terasa di hati dan nampak di wajah masing-masing para tahanan. Mau dikemanakan kami ini, benarkah kami akan dibebaskan, seperti kata Pak Hasyim, ataukah benar kami akan di Pulau Buru-kan, bahkan ada desas-desus yang mengatakan kami akan dibuang di Laut Banda, laut paling dalam di Indonesia, benarkah itu?. Semua pertanyaan itu tak terjawab. Jawaban satu-satunya, tunggu saja nanti kau akan ketahui sendiri. Karena kesibukan masing-masing dan rasa cemas serta was-was yang menyelimuti setiap pribadi tak terkecuali diriku, aku jadi tak memperhatikan pak Hasyim lagi, kemana beliau pergi, apakah beliau juga mengenakan baju koko dan bercelana tiga perempat, semua itu sudah tak terpikirkan lagi bahkan kami pun tak sempat saling bersalaman, tanda perpisahan. Urusan diri sendiri menjadi prioritas. Melawan sebisa mungkin atau mati bareng seandainya terjadi teror pemusnahan, syukur kalau bisa selamat. Kami mulai bergerak, berbondong bondong meninggalkan Blok-P dan Salemba yang kami huni selama dua setengah tahun ini. Barang-barang pribadi kami yang disimpan di gudang seperti sepatu dan ikat pinggang tidak dikembalikan. Aku tinggalkan penjara Salemba dengan hanya beralas kaki gapyak, kiriman dari keluarga. Sejak pertama kali kakiku menginjak Salemba, pintu masuk yang kulalui mulai dari pintu
80
halaman sampai pintu sel berjumlah enam pintu. Jumlah pintu itu pun tidak berubah, saat aku keluar dari pintu sel sampai pintu pagar tetap berjumlah enam buah. Sejenak aku sempat melihat suasana di luar tembok penjara, sempat telihat sebuah becak lewat, melintas di depan penjara, becak itu pun tetap tak berubah, tetap saja dikayuh dengan kaki dan juga tetap beroda tiga. Banyak sekali orang-orang berdiri di kiri kanan jalan, berjajar seperti layaknya menyambut tamu agung negara, apakah dari sekian banyaknya orang-orang itu ada keluarga dari para tahanan yang turut menyaksikan, entahlah. Akhir penahanan di Salemba memang dilakukan di luar hari besukkan, jadi kalau esok atau lusa saat hari besukkan tiba tentunya akan banyak sekali keluarga para tapol yang kecelik dan tentunya rasa cemas dan was-was akan mewarnai pikiran keluarga kami. Ya hanya suasana itu saja yang sempat kulihat, perintah menaiki truk terbuka mulai diteriakkan. Deretan truk, berapa jumlahnya nggak usah dihitung lagi, pokoknya banyak. Kami mulai masuk ke dalam truk, kami tidak ada yang boleh berdiri, semuanya harus duduk seperti dulu waktu kami diangkut dari Kodim ke Salemba. Komplit sudah tak ada satu pun yang tertinggal, pluit panjang ditiup, truk paling depan mulai bergerak ke arah barat menuju jalan By Pass. Tiba giliran truk yang kutumpangi berjalan, kulambaikan tanganku, “Selamat tinggal Salemba, kuucapkan terima kasih banyak atas kebaikanmu. Selama dua setengah tahun aku tinggal bersamamu, kau bukakan dan kau tutupkan pintu sel tempatku tidur, kau antarkan jatah makanku, kau jaga aku dengan pistolmu, semua itu kau berikan dengan cuma-cuma, gratis tanpa bayar. Aku cukup membayar semua itu dengan derita, rasa pilu dan kehinaan. Terima kasih Salemba, selamat tinggal!” Sampai di ujung jalan Rawasari truk berbelok ke kiri, ke arah Tanjung priok. Deretan orang orang yang menyaksikan rombongan kami di sepanjang jalan tak kurang banyaknya seperti di depan Salemba. Mungkin saja, namanya juga manusia tentu ada bermacam pendapat dan penilaian mereka tentang tindakan pemerintah yang sedang berkuasa terhadap kami, para tapol ini, mungkin diantara mereka ada yang bersyukur bahkan mungkin ada juga yang menyumpahi kami, “Rasakan hai pengkhianat dan pemberontak, kalian harus mati ditelan ombak dan jadi penghuni dasar laut untuk membayar perbuatanmu.” Tapi mungkin ada juga yang merasa iba dan berpikir, mereka itu pada umumnya tidak tahu menahu dan tidak mengerti tentang peristiwa 30 September 65, mereka hanya terkena imbas akibat perbuatan orang-orang yang berambisi. Mereka divonis di luar proses pengadilan, sungguh tidak adil dan sangat tidak manusiawi. Bahkan mungkin juga diantara mereka ada yang berdoa, “Ya Allah, kasihanilah mereka itu,
81
lindungilah mereka dan berikan mereka keselamatan, ya Allah.” Kendaraan jalan terus, dari Koja belok ke kiri ke arah kota . Ternyata kami tidak dibawa ke Tanjung Priok. Jam 7 malam kami sampai di setasiun Kota ‘Beos’. Kereta malam telah menanti, boleh juga kereta malam itu disebut KLB, Kereta api Luar Biasa. Luar biasanya bukan pada fasilitasnya, seperti pada jaman tahun 1947-1948 an silam. KLB tempo lalu benar-benar luar biasa karena penumpangnya seorang presiden beserta para pejabat tinggi negara, penjagaan keselamatan para penumpang dan layanannya memang betul-betul luar biasa. Sedang KLB yang akan kami tumpangi luar biasa karena seluruh penumpangnya adalah para tapol. Dengan penjagaan yang juga ketat, perjalanan KLB kami pun di luar jadwal kereta api umumnya. KLB kami tidak perlu harus menunggu kereta dari arah depan maupun arah belakang. KLB kami berjalan terus tanpa pernah berhenti, yang harus menunggu justru adalah kereta-kereta api penumpang umum lainnya, kereta-kereta itu harus menunggu KLB kami lewat. Di Beos telah siap menunggu para petugas, sebelum memasuki kereta, kami menerima jatah makan malam. Satu dus nasi utuh dengan lauk rendang dan telur, ya kali ini benarbenar utuh, tidak seperti tempo hari saat kami menerima bingkisan Natal dari Dewan Gereja, yang hanya separuh dus saja, separuhnya lagi entah menguap kemana, hanya mereka, para petugas di Salemba saja yang tahu. Kami nikmati jatah makan malam itu, soal bagaimana kelanjutan nasib kami nanti, itu soal nanti, yang penting makan nasi rendang saja dulu. Tapi namanya manusia tetap saja ada yang karena saking setresnya memikirkan nasib apa yang akan menimpanya nanti hingga jadi tidak doyan makan, bahkan ada yang namanya pak Dulmanan wajahnya jadi pucat pasi bahkan sempat tak sadarkan diri, kakinya dingin dan keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya. Hal ini akhirnya jadi layatan, pak Dul, K.O sebelum bertanding. Sesudah pak Dul siuman, Pak Jai menasehatinya, “Pak Dul, jangan cemas pak, nggak usah terlalu khawatirlah, nggak nantinya kita ini dibunuh bareng-bareng, Tuhan pasti akan mengutuk mereka jika mereka melakukan hal itu. Percayalah pak, jodoh, rezeki dan maut itu ada di tangan Tuhan. Ayo sekarang dimakan nasinya, nasi dan lauknya itu enaknya keliwat kok nggak doyan, ayo dimakan, kalau nggak makan nanti malah mati karena ulah sendiri.” Mulailah pak Dul bisa memahami nasihat pak Jai, nasi jatah pun mulai dimakannya. Tak lama setelah itu kepala stasiun mengacungkan tanda perintah jalan bagi kereta, peluit berbunyi panjang. Pak masinis menengok kebelakang, gaung kereta berbunyi nyaring,
82
kereta mulai bergerak, pelan. Selamat tinggal Jakarta! Baik sebelum maupun sesudah kereta berangkat, pintu gerbong selalu tertutup rapat dengan penjagaan ketat tentunya. Senjata laras panjang dengan sangkur telanjang di ujungnya, siap beraksi mana kala ada tapol yang mencoba-coba melarikan diri. Kejadian semacam itu bukan tidak mungkin tak terjadi bagi orang yang mempunyai kenekatan luar biasa, mungkin saja karena rasa takut dan rasa putus asa akan membuat seseorang menjadi nekat, ditengah perjalanan mereka menghantam si penjaga atau jika kebetulan si penjaga lengah karena ngantuk, maka bisa saja kesempatan itu digunakan sebaikbaiknya. Loncat dari kereta dan kabur di tengah kegelapan malam. Kereta berjalan terus dengan kencang tanpa henti, ngetan apa ngulon arah kereta ini tak kuketahui dengan jelas, hanya sekilas tadi sempat nampak papan nama setasiun Purwokerto karena kereta berjalan agak pelan. Setasiun Purwokerto termasuk setasiun besar untuk lintas selatan Jakarta-Surabaya. Kalau begitu arah kereta ini menuju ke selatan, sudah bisa diraba bahwa kereta tidak akan menuju Surabaya karena jika kereta menuju Surabaya tentunya akan mengambil lintas utara yang lebih dekat. KLB berjalan terus, bang wetan menampakan merahnya tanda pagi telah tiba. Jam 7 pagi KLB berhenti, setasiun kecil dengan papan nama bertuliskan Maos menjadi titik henti KLB. Semakin jelas lagi sekarang mau di kemanakan kami ini sebenarnya. Perintah untuk turun dari kereta dikomandokan, pintu kereta dibuka lebar-lebar. Petugas militer dengan senjata AK-nya di tangan siap menarik pelatuk menjaga di kiri-kanan setiap pintu. Kami turun berturut-turut dengan membawa bungkusan sisa milik kami dari Salemba. Kami diperintahkan jongkok berjajar memanjang dengan kedua telapak tangan merangkul kuduk. Kosong sudah perut gerbong KLB, halaman setasiun Maos tak mampu menampung, rombongan tapol ini jongkok berjajar sampai menyeberang jalan. Penduduk di sekitar setasiun nampak berderet menonton, ya sejak keluar dari Salemba kami selalu jadi tontonan masyarakat, mungkin menarik bagi mereka. Barangkali ada juga orang yang sebenarnya hendak ke pasar jadi tertunda, menyempatkan diri nonton rombongan orang-orang berpakaian serba tanggung berwarna putih dengan bertuliskan angka di setiap punggungnya. Kami duduk sambil merangkul kuduk, kami diinspeksi, boleh jadi oleh komandan Kodim atau Koramil setempat, penghitungan jumlah tapol dimulai. Petugas pencatat siap dengan buku dan bolpen di tangannya, seorang petugas dengan kentesnya mulai menghitung. Kentesnya menyambar setiap kepala yang dihitungnya sambil berujar, “Nih sarapan pagi untuk kalian”, ucapan yang sangat menghina tapi hal itu menjadi sah-sah saja bagi mereka,
83
apalagi kok Cuma memukul, membunuh tapol pun seolah hukumnya sah dan wajib, tak ada dosa bagi mereka, yang ada adalah pahala. Selesai kami dihitung dengan sarapan kentes, kami digiring naik truk lagi sampai Cilacap. Prediksi pak Hasim ternyata salah, aku dan dik Sanadi ternyata tidak dibebaskan, kami hanya bebas dari penjara Salemba tapi masuk ke penjara lainnya. Ya kami hanya pindah alamat. NUSA KAMBANGAN Emakku pernah bilang, “Pakdemu dibuang ke Nusa Kambangan karena ulahnya menghajar saksi dalam sidang pengadilan.” Nusa Kambangan adalah tempat terakhir bagi nara pidana kelas berat. Menurut cerita orangorang yang pernah ke sana dan bahkan pernah tinggal di sana Nusa Kambangan adalah tempat yang sangat mengerikan. Banyak kejadian-kejadian misteri yang dapat terjadi di sana, hal-hal yang tidak masuk akal pun banyak mewarnai pulau ini. Nusa Kambangan adalah salah satu dari 17.000 untaian jambrut katulistiwa kata Multatuli. Tapi kenapa orang tidak pernah menyebut Nusa Kambangan dengan kata “Pulau Nusa Kambangan” seperti halnya Pulau Bali, Pulau Seribu, Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya, tapi orang-orang cukup menyebutnya dengan “Nusa Kambangan” saja. Karena keindahan pulau Bali maka terciptalah lagu “Pulau Bali”, untuk pulau Jawa pun ada lagu keroncongnya, Lalu apakah di Nusa Kambangan tidak ada keindahannya, tidak ada kelebihannya?. Boleh jadi memang begitu, seandainya , ya seandainya saja Nusa Kambangan itu satu pulau yang memiliki keindahan dan kelebihan, mungkin pemerintah kolonial dulu sudah menjadikan Nusa Kambangan sebagai tempat peristirahatan dengan membangun villa, bungalow serta hotel seperti halnya dengan pulau Bali atau Puncak-Cipanas dan tempat-tempat lainnya untuk ber-week end bagi para pejabat. Celaka memang, Nusa Kambangan ini namanya terlanjur dicemari dengan keseraman dan kemisteriusannya. Namanya lengket dan tak terlepas dari kisah penguasa Laut Kidul. Menurut kepercayaan orang Jawa, penguasa laut kidul atau laut selatan adalah seorang putri yang teramat cantik, yang disebut dengan “Nyi” atau “Nyai Roro Kidul”. Yang kalau diartikan, kata “Nyi” atau “Nyai” itu sebutan bagi seorang wanita, sedang ‘Roro’ berarti gadis atau perawan dan Kidul yang berarti selatan adalah tempat kediamannya atau tempatnya bersemayam. Lalu siapa “Nyi Roro Kidul” itu?, siapa nama aslinya dan dari mana asal-usul sosok tokoh yang melegenda ini?.
84
Beberapa versi cerita telah mewarnai tokoh ini. Di Jawa sendiri juga terdapat beberapa versi cerita mengenai asal-usul tokoh “Nyi Roro Kidul”. Di kampungku, di Jawa Timur sana, Nyai Roro Kidul diyakini sebagai sosok makhluk halus yang jahat, jika di kampungku atau di desa sekitarnya sedang diserang oleh suatu wabah penyakit maka masyarakat meyakini bahwa saat itu Nyi Roro Kidul sedang punya hajat mantu dan untuk mengadakan perhelatannya itu sang Nyai memerlukan banyak sayuran kacang lanjaran. Para pembantu dan bala tentara pun dikerahkan untuk mencari sayuran itu, sayang sekali ternyata para pembantunya itu agak budeg, tak pernah jelas menerima perintah. Kacang lanjaran diartikannya sebagai anak-anak yang masih muda atau lanjar dalam bahasa Jawa, maka disebarkanlah wabah penyakit bagi anak-anak lanjar. Nah kalau sudah begitu datanglah wangsit yang diterima oleh para sesepuh desa yang melakukan tapa tirakat untuk menghentikan wabah penyakit yang disebarkan oleh para pembantu Nyi Roro Kidul itu tadi. Menurut wangsit itu untuk menghentikan wabah penyakit para penduduk desa dianjurkan untuk melakukan cegah lek (jangan tidur sore-sore), jangan tidur di atas dipan atau tempat tidur lainnya melainkan tidur di lantai, di atas tanah dengan beralas tikar, agar tidak tersandung kaki para bekasakán. Diyakini oleh mereka para bekasakán kalau berjalan kakinya tidak ngambah lemah (tidak menempel tanah). Atau dikatakan pantat para badan halus ini berbentuk kerucut, jadi mereka tidak bisa kerja dengan duduk untuk ngerjain orang-orang yang sedang tidur di atas lantai. Lain lagi dengan masyarakat Sunda, mereka mempunyai versi lain tentang cerita Nyi Roro Kidul ini. Menurut versi Sunda Nyai Roro Kidul adalah penjelmaan dari Putri Kandita, anak Prabu Siliwangi. Menurut ceritanya suatu hari Putri Kandita dan sang ibunda terkena gunaguna yang menyebabkan wajah keduanya menjadi buruk penuh dengan koreng, sehingga mereka pun lalu diusir, keluar dari keraton. Dalam perjalanan sang ibunda wafat, tinggalah sang putri seorang diri. Sang putri berjalan seorang diri menyusuri pantai selatan. Karena kelelahan sang putri pun tertidur, dalam tidurnya ini sang putri bermimpi, mendapat petunjuk dari Dewata, jika sang putri ingin wajahnya kembali cantik, sang putri harus menceburkan dirinya ke Laut Kidul. Maka saat ia terbangun, tanpa berpikir panjang lagi sang putri pun segera menerjunkan dirinya ke dalam laut, Putri Kandita pun akhirnya hilang tanpa bekas di dalam Laut Kidul. Sejak kejadian itu ketentraman penduduk di sekitar pantai Laut Selatan mulai terganggu, mereka selalu diganggu oleh sesosok wanita berwajah cantik yang setiap hendak ditangkap selalu hilang lenyap begitu saja. Nah sejak saat itu lah sebutan Nyai Roro Kidul menjadi populer di kalangan masyarakat. Menurut versi Jawa Tengah pun agak berbeda. Kepercayaan keluarga Keraton Solo dan
85
Yogyakarta pada Nyai Roro Kidul cukup beralasan, karena tanpa Nyi Roro Kidul agaknya keberadaan kerajaan Mataram, yang kini diwariskan pada Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta tidak akan ada, begitu menurut kepercayaan Jawa. Cerita tentang Nyai Roro Kidul itu sendiri muncul di kalangan keraton pada jaman ketika Jaka Tingkir alias PanjiMas bergelar Sultan Hadiwijaya bertahta di Pajang (1500-1582). Awal ceritanya begini : Suatu hari terjadilah perebutan kekuasaan antara Jaka Tingkir dengan Ariyo Penangsang. Jaka Tingkir yang saat itu menjadi Adipati Pajang memiliki penasehat ulung di bidang strategi perang bernama Kyai Gede Pemanahan, atas nasehatnya Hadiwijaya memperoleh kemenangan dalam peperangan itu. Ariyo Penangsang pun mati terbunuh. Kemudian pusat kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang. Sebagai tanda terima kasih, Kyai Gede Pemanahan mendapat hadiah sebidang tanah yang terletak di kota Gede atau Mataram. Kyai Gede Pemanahan pun lalu pindah ke Kota Gede dan sebagai penggantinya diangkatlah anak Kyai Gede Pemanahan, bernama Sutawijaya yang kemudian diberi gelar ‘Senopati Ing Alaga Sayidin Panotogomo’ (Panglima Perang dan pengatur Agama). Sampai pada akhirnya Sutawijaya pun berambisi untuk menjadi raja dan untuk mencapai maksudnya itu, sang Senopati itu lalu menjalani tapa brata di sebuah batu karang di tengah laut selatan. Dalam tapanya itu Sutawijaya mendapat gangguan dari seorang wanita cantik yang mengaku bernama Nyi Roro Kidul, tapi gangguan itu tak berhasil menggagalkan semedi sang Senopati, yang terjadi Nyai Roro Kidul malah jatuh cinta pada Sutawijaya. Usai melakukan semedi keduanya sepakat untuk menikah dan Nyi Roro Kidul sebagai istri Sutawijaya siap membantu perjuangan suaminya. Sutawijaya adalah mahkluk kasar (kasat mata) sedang Nyi Roro Kidul adalah mahkluk halus, kedatangan mereka berdua di kerajaan Pajang tidak menimbulkan pergunjingan. Singkat cerita hajat Sutawijaya pun akhirnya kesampaian, kudeta terjadi dan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir mati terbunuh. Kerajaan Pajang di pindah ke Kota Gede, inilah cikal bakal kerajaan Mataram. Setelah Sutawijaya mangkat ia pun digantikan oleh Sultan Anyokrowati atau Pangeran Sedo Krapyak. Begitu seterusnya, Nyi Roro Kidul tetap mendampingi raja-raja Mataram sampai dengan Hamengku Buwono VIII. Menurut pengakuan Sultan Hamengku Buwono IX, Nyi Roro Kidul itu adalah eyangnya. Nenek beliau pun mengaku pernah bertemu dengan eyangnya itu setelah menjalani semedi dan puasa. Pada malam-malam tertentu Nyi Roro Kidul datang ke keraton dengan mengendarai kereta kencana. Tanda-tanda kedatangannya bisa berupa seberkas sinar
86
atau berupa pelangi yang masuk ke dalam keraton, atau bisa juga berupa angin kecil yang berputar-putar di bagian keraton disertai dengan bau wangi yang sangat semerbak, demikian kata Sri Sultan. Ketika Amangkurat II masih bertahta di Kasunanan Surakarta Hadiningrat atau ketika Sultan Hamengku Buwono VII di singgasana Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Konon Nyi Roro Kidul sering datang ke keraton cuma untuk melihat cucu-cucu dan cicit-cicitnya. Menurut cerita kedua kerajaan Jawa Tengah itu, Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat akan tetap tegak keberadaannya selama cerita tentang Nyi Roro Kidul belum sirna dari kalangan masyarakat Jawa. Nyi Roro Kidul sering digambarkan sebagai perempuan berparas sangat ayu. Bertubuh langsing, berambut panjang ikal mayang, kulit putih, hidung mancung, pipi lesung pipit, bibir tipis, mata jeli dan bersuara merdu. Pendek cerita sempurna tanpa cacat. Tetapi menurut Sri Sultan Hamengku Buwono IX wajah Nyi Roro Kidul dapat berubah-ubah. Pada bulan purnama wajah Kanjeng Ratu Kidul ini sangat cantik sekali, tapi ketika bulan mengecil wajah Kanjeng Ratu Kidul tampak keriput. Kira-kira kecantikan Nyi Roro Kidul itu sama dengan cantiknya Dewi Banowati atau Dewi Banuwati (istri raja Astina). Kata Ki dalang, Dewi Banowati itu dari ujung rambut sampai telapak kaki sempurna tanpa cacat, setiap hari kecantikannya bertambah menurut irama bulan. Jika tanggal muda jadi muda, kalau tanggal tua jadi perawan sunti. Pelukis Basuki Abdullah pun mereka-reka kecantikan Kanjeng Ratu Kidul, lewat lukisan cat minyaknya yang banyak disukai oleh para kolektor lukisan. Dan lukisan itu kini terpajang di Samudra Beach Hotel kamar 308, Pelabuhan Ratu - Jawa Barat. Tidak keliru kalau Nyi Roro Kidul itu memang ayu. Versi komik Joko Tarub pun mengatakan Nyi Roro Kidul itu adalah jelmaan Dewi NawangWulan yang setelah menemukan pakaiannya kembali, dia pulang ke khayangan. Tetapi kedatangannya ke khayangan itu ditolak, karena dia sudah dicemari noda hitam. Dia tidak lagi murni sebagai dewi karena telah bercampur dengan manusia yang bernama Joko Tarub. (Warnasari, No.118 Nov 1988). Nah itulah Nusa Kambangan yang termasuk wilayah kekuasaan Kanjeng Ratu Kidul. Ngomong tentang Nusa Kambangan tidak bisa lepas dari keberadaannya sebagai penjara,
87
dan bicara tentang penjara tentu tidak terlepas dari derita dan nista, kekerasan dan cemohan pun jadi hal biasa, tinju lepas, tendangan bebas tak perlu diulas lagi, setiap hidung pun telah memaklumi. Bukan kebetulan kalau tokoh jahat si Lowo Ijo dalam serialMahesa Jenar, diceritakan juga bersarang di Nusa Kambangan. Dari pantai Cilacap dengan ponton kami menyeberangi segara anakan, nggak lama hanya beberapa menit, sampailah ke daratan yang berupa perbukitan dengan tanah tandus. Sepintas nampak tak ada kehidupan pedesaan. Tak aku lihat seorang pun berjalan membawa hasil ladangnya, tak kulihat juga adanya perumahan penduduk. Sebagai penjara yang tentunya mempunyai aparat dengan anak istrinya, perumahan tempat tinggalnya pun tak kuketahui, mestinya sih ada tapi di mana, itu yang nggak kuketahui. Yang nampak adalah bangunan yang akan kami huni, ya itu penjaranya. Konon ada beberapa penjara di pulau ini, ada penjara Karang Tengah, inilah yang jadi tempat hunianku dengan rombongan, ada Penjara Gliger, ada juga yang bernama Candi. Bukan Candi Semarang Kidul, perumahan rakyat yang berhias lampu, yang kalau malam terlihat keindahannya dari kejahuan. Tetapi Candi Nusa Kambangan adalah candi penjara. Rombonganku diketuai oleh pak Slamet, Drs. Sospol dan kalau nggak salah diwakili oleh Pak Pram (novelis kenamaan). Karena lamanya pemeriksaan di Cilacap, kami datang di Karang Tengah sudah tertinggal makan siang. Ampas makan malam di setasiun Beos rupanya telah meninggalkan kantong nasi. Tidak ada sarapan pagi tadi, yang ada kami sarapan pagi dengan pukulan kentes di setiap kepala, satu pukulan. Di pimpin oleh pak Slamet dan di wakili oleh pak Pram hati ini jadi mantep dan tenang. Mereka adalah orang-orang pintar dan pemberani, yang selalu bicara tentang perjuangan. Dalam setiap bukunya, penulis ini tak pernah lepas dari perjuangan. Novelnya yang pertama kali aku baca adalah “Perburuan”, novel ini memperoleh hadiah pertama dari Balai Pustaka. Den Hardo yang diburu pasis Jepang berlindung dan menyamar sebagai pengemis. Pak Pram, baik omong keseharian mau pun dalam novelnya selalu sakleg. Kalau bicara tahi ya tahi. Jalan ceritanya perburuan aku sudah lupa, lebih dari setengah abad yang lalu aku membaca buku itu, cuma dalam akhir cerita yang kuingat adalah tekad den Hardo untuk membalas dendam pada petinggi Jepang itu. Ketika pekik kemerdekaan bergelora, semangat kepemudaan den Hardo memuncak. Dicarinya para petinggi Jepang. Salah satu petinggi Jepang hendak di pancung batang lehernya. Dengan pedang samurai di pancungnya leher si petinggi Jepang, namun meleset yang kena cuma umbun-umbunnya, batok kepala terkelupas, benda putih yang namanya otak muntub-muntub, antara mau
88
keluar dan tenggelam dari ubunubunnya. Walaupun hanya membaca tapi itu mengerikan. Dan novelnya Pram memang begitu, kalau memang harus ngomong jorok ya ditulis jorok. Di kemudian hari aku baca bukunya ‘BumiManusia’. Tuan Herman penguasa perkebunan tebu mati karena kebanyakan minum-minuman keras, gantinya seorang Belanda juga bernama Tuan Fleibeyer, rupanya tuan ini adalah seorang play boy, pemburu perempuan, terutama gadis-gadis. Barangkali sudah banyak gadis-gadis di sekitar perkebunan yang dinodainya. Oleh karena itu jika diketahui Tuan Fleibeyer masuk desa kebanyakan perempuan desa itu pada lari, terutama para gadis-gadisnya. Suatu ketika seorang gadis melihat Tuan Fleibeyer masuk desa, nggak pakai tempo lagi dia langsung lari sambil berteriak, “Ee ayo pada lari, Tuan Peligayer masuk kita mau dijarah!”, dan perempuan-perempuan desa itu terutama para gadis-gadisnya segera kabur, bersembunyi. Orang kampung itu lugu, buat mengucap kata yang beraksen Belanda itu susah, lidahnya kaku, ucapannya hanya disesuaikan dengan bunyi yang didengarnya, bunyi Peligayer mirip dengan Fleibeyer. Di Blok-Q, Salemba, tempo hari pernah aku tanyakan kepada pak Pram. “Pak, saya baca di koran Angkatan Bersenjata, ada berita tentang perlawanan bapak ketika hendak ditangkap, bener nggak pak?” “Ya bener, bener banget. Apa sih dosanya orok saya kok popoknya dibuangi, apa pula dosanya itu pohon mangga pake dirusak?. Mau tangkep ya tangkep saja, masak begitu harus diam saja dan tak boleh melawan?” Kami masuki barak tahanan, seratus tahanan masuk dalam satu barak. Barak yang kuhuni berhadapan dengan pos penjagaan yang tak pernah melepaskan pengawasannya terhadap para tapol. Ada tiga buah kentongan besar-besar, seperti kentongan lurah di desa. Ketiga kentongan digantungkan di pojok aula, apa fungsinya kentongan itu?. Nggak tahu. Kalau kentongan di desa jelas untuk memanggil aparat desa, bunyi kentong satu misalnya, kentongan dipukul sekali dengan jarak baru dipukul sekali lagi dan seterusnya, itu tanda para aparat desa harus berkumpul di kelurahan, kalau kentongan di pukul tiga kali berturut-turut itu tanda ada kebakaran, kentong titir ada rajapati, tapi itu di kampung atau di desa. Nah, di Nusa Kambangan ini lain, ketiga kentongan itu dipukul bareng oleh tiga orang tahanan kriminal, layaknya seperti mengiramakan sebuah lagu, enak juga didengar, bahkan seorang teman suka joget di barak saat kentongan itu dipukul. Itulah
89
tapol PKI dimana dan kapan saja bahkan dengan perut lapar pun masih sempat bercanda, ya
mau apa lagi?, dipikir terus malah tiwas ngenes, lebih baik ketawa dan coba bergembira, hitung-hitung memupuk mental, menebalkan keberanian, siapa tahu suatu saat nanti bisa bebas dan kami tidak jadi orang sinting. Lalu apakah bunyi kentongan itu tanda waktunya shalat?, rasanya nggak juga, wong mesjid juga nggak ada, boro-boro mesjid, langgar dan musolah juga nggak ada. Jadi 40 hari kami di Nusa Kambangan kami tak pernah melakukan shalat, mungkin saja masih ada yang melakukan shalat walau pun dalam keadaan darurat. Memang shalat hukumnya wajib, tak boleh ditinggalkan kapan saja, dimana saja, dalam keadaan berperang pun shalat harus jalan terus, bahkan saat maut akan tiba shalat tetap wajib ditegakkan. Kalau di kampungku jika waktu senggang para ibu-ibu suka melakukan kotekan dengan menggunakan lesung (penumbuk gabah), emakku pinter memainkan kotekan, lagunya Celeng Mogok atau Asu Gancet. Lantas untuk apa bunyi kentongan itu di Nusa Kambangan?. Terkesan dalam telingaku, bunyi-bunyian tadi sepertinya mengundang bala tentara Nyai Roro Kidul, "Hai Nyai, datanglah ke Karang Tengah, di sini ada banyak mangsa, di sini ada manusia-manusia berjiwa binatang, manusia laknat. Datanglah Nyai, lahap dan habiskan saja manusia-manusia seperti ini!" Makan sore tiba, di manapun menu penjara ya tetap menu penjara, kalau di Salemba sekali sayur bayem selamanya tetap sayur bayem, kalau di Nusa Kambangan sekali daun singkong selamanya ya tetap daun singkong.. Tapi kali ini rupanya ada rasa kemanusiaan sedikit, jatah makan siang yang tak sempat kami makan pada waktunya karena kedatangan kami terlambat, disatukan dengan jatah makan sore, jadi jatah makan sore kelihatan banyak, ikan asinnya pun ada dua, ya untuk hari itu kami makan agak lumayan, tapi hari-hari selanjutnya ya kembali ke jatah aslinya. Apa sih masalah yang paling mendasar bagi para tahanan kalau bukan urusan perut yang lapar. Kalau di Salemba kurang makan masih mungkin di atasi dengan makanan kiriman dari keluarga, masih juga bisa membantu mereka yang sudah terputus dari keluarga. Lha kalau di Nusa Kambangan ini, mau mengharapkan kiriman dari siapa?. Di Nusa Kambangan, baik yang mampu maupun yang tidak mampu nasibnya sama saja, tidak bisa berharap memperoleh bantuan dari siapa pun. Sangat sulit membayangkan keluarga datang dengan membawa besukkan. Oleh karena itu hati kecilku berharap janganlah aku berlamalama di penjara yang satu ini, kalau memang aku akan dibuang ke Pulau Buru atau
90
kemana saja, ayo cepatlah, jangan aku terlalu lama menderita kurang makan, mandi air tawarpun nyaris tak pernah apalagi nyuci pakaian ya lewat saja. Di Nusa Kambangan ini kami pun pernah digiring seperti bebek untuk mandi di laut, mandi dengan air laut yang asin, badan terasa lengket, buat orang yang sakit rematik mungkin mandi di laut bisa jadi obat itu pun biasanya dilakukan pada malam hari atau pada waktu sesudah subuh. Di dalam penjara memang ada yang sakit tulang, aku pun merasa tulang-tulangku sakit semua tapi bukan karena rematik melainkan sakit akibat siksaan para petugas, tinju, jotosan dan bantingan adalah jatah setiap para tahanan. Suatu ketika kandang dibuka, ada perintah mandi dengan air tawar. Sebuah bak air besar ukuran kira-kira dua kali empat meter, penuh berisi air tawar. Saat peluit ditiup tanda mandi boleh dimulai, kami pun berebut, yang fisiknya kuat bisa bergerak cepat, lepas pakaian dan mandilah, itupun baru beberapa gayung saja peluit tanda berhenti mandi pun telah berbunyi. Mau coba melanggar, jangan tanya, si bandit-bandit kriminal siap menghajar. Begitu berulang kali. Tapi namanya juga orang banyak, watak pun beraneka corak, ada beberapa tapol yang nekat, mereka melepas pakaiannya, begitu peluit tanda mulai mandi berbunyi, tanpa ambil pusing mereka langsung saja menceburkan diri ke dalam bak. Apa jadinya?. Jago-jago kepruk pun segera mengayunkan bogem mentahnya yang sudah gatal, bahkan yang tidak berbuat pun terkena imbasnya. Lalu bagaimana denganku?. Aku tapol yang lemah secara fisik, berebut pun nggak mampu, pasti kalah dengan mereka yang berbadan kuat. Dengan usahaku yang apa adanya, alhamdulillah aku sempat juga kebagian mandi dengan air tawar walau hanya sebanyak dua gayung. Sesudah itu tak pernah lagi ada tontonan manusia berebut mandi di tanah airnya sendiri yang kaya akan segala macam sumber air yang melimpah. Memang itulah nasib para tahanan penuh dengan derita dan hinaan, kalau tidak begitu bukan penjara namanya. Selama 40 hari di Nusa Kambangan, aku lupa bulan apa waktu itu, para tapol ya kok sempat juga mengadakan pentas sandiwara dengan judul “Sekejap Mata”. Pentas sandiwara ini atas perintah para pejabat penjara ataukah prakarsa para tapol sendiri aku juga nggak ngerti. Kalau pentas itu permintaan para petinggi penjara bisa-bisa saja, tapi kalau itu kemauan para tapol sendiri rasanya kok nggak mungkin. Mana boleh jadi wong perut lapar kok mau macammacam, apakah mengharapkan imbalan, dapat makanan tambahan?. Sampai selesai pentas jatah makan ya tetap nasi seperes batok kelapa gading dengan lauk sepotong ikan asin serta sup daun singkong tanpa merica.
91
Apapun keadaannya tapol tetap tapol, harus menuruti semua perintah. Pentas jalan terus. Rupanya ibu-ibu Dharma Wanita hadir menonton, buat para ibu-ibu ini yang barangkali tak pernah mendapat tontonan di wilayah penjara ini, pentas tersebut adalah hal yang luar biasa. Sangat sulit dibayangkan kalau selama ini isi penjara yang terdiri dari manusia-manusia kriminal atau bandit itu bisa diharapkan mampu menghibur para penggede beserta istrinya, maklum nggak di mana-mana yang namanya kelompok kriminal itu perkara rokok sebatang saja pun bisa adu tinju. PakMuji turun tangan mensutradarai pentas ini. Orang yang satu ini memang cekatan dalam bidang seni pentas, aku kenal bener sama beliau, bahkan di tahun 1949 aku pernah berkumpul dengan beliau di daerah gerilya, desa Pejok, kecamatan Sumberejo, Bojonegoro. Ibu-ibu Dharma Wanita dibikin tercengang oleh adegan-adegan pentas, mereka juga dibikin terpingkal-pingkal oleh adegan di Pasar Baru, pasalnya seorang pedagang dari suku Padang bersaing dengan seorang pedagang dari suku Jawa. Orang Padang memang terampil dalam berdagang, kalau menawarkan barang dagangan nggak henti-hentinya, pakai pantun pula, “Hujan rintik-rintik angin lalu, barangnya baik-baik siap merayu, sayang anak sepuluh perak, pilih warna pilih model, cocok harga barang boleh dibawa. Ayo siapa lagi, banting harga buat keluarga!” Si pedagang dari Jawa yang nggak pandai berpantun, ngomongnya pun belekak-belekuk coba membalas, “Jangan percaya omongannya mana ada harga dibanting kalau nomor satu, harga dibanting karena tidak laku. Teliti sebelum membeli, kalau dasarnya barang jelek biar diapain juga tetap jelek!” Si pedagang dari Padang merasa barang dagangannya dicemooh nyaut lagi, “Orang
berdagang di pasar bebas terserah saja bagaimana caranya bisa laku. Siapa yang terampil itu yang berhasil, siapa cepat itu yang dapat. Ayo siapa lagi, obral besar, laris manis tanjung kimpul, barang habis duit kumpul!” Dalam adegan itu memang si pedagang dari Padang ramai dikerumuni pembeli. Si pedagang Jawa jengkel, "Dasar Padang bengkok lo!”, si Padang pun membalas "Jawa kowek lo!” Bertengkar mulut pun terjadi, polisi yang sedang patroli melerainya.
92
Surut tertawa salah seorang ibu ada yang bertanya pada tapol, “Mas, kenapa sih orang Padang kok disebut Padang bengkok?” “Gini bu, Padang itu kan ibu kota tanah Minangkabau. Lha kata Minangkabau ini menurut ceritanya berasal dari kata "Menang Kerbau". Dulu kerajaan Majapahit ditantang mengadu kerbau oleh tanah Minang. Lha Majapahit kok ditantang , ya nggak akan nolak. Dikirimlah seekor kerbau pilihan, kerbau yang gagah dengan tanduk runcing seperti belati. Sesampai di arena aduan, lawan tidak menampilkan kerbau jantan yang gagah melainkan mengeluarkan seekor gudel (anak kerbau) dengan pisau tajam yang diikatkan di kepalanya. Rupanya si gudel ini sudah seminggu nggak dikasih netek (nyusu) ke induknya, maka begitu dilepas di arena, melihat ada kerbau di sebelah sana ya dikira induknya, karuan saja tak pakai tempo lagi si gudel lari mencari tetek induknya, sundul sana sundul sini, ya nggak ketemu, wong kerbau jantan, si gudel makin bernafsu mencari tetek induknya, disundul-sundulkanlah kepalanya di perut si kerbau jantan, pisau tajam yang diikatkan di kepala si gudel pun merobek perut si jantan. Matilah si kerbau jantan, makanya tanah Minang disebut Minangkabau, asal kata dari menang kerbau tadi itu. Ternyata bu, okol (otot) kalah sama akal.” “Oh begitu, lha kalau orang Jawa dibilang Jawa kowek itu ceritanya bagaimana?” “Wah kalau itu saya nggak ngerti bu, cuma barangkali karena kowek itu dari kata kowe (engkau) yang dipelesetkan menjadi kowek. Dan karena kata kowek ini sudah biasa diucapkan oleh siapa saja yang sedang berolok-olok dengan orang Jawa, sepertinya sudah menjadi setempel bagi orang Jawa.” Adegan lain seorang tukang obat berpropaganda tentang kemanjuran obatnya, satu macam obat bisa meyembuhkan berbagai macam penyakit. Pilek, encok, meriang, panas dingin, ngilu dan lain sebagainya bisa sembuh dengan obat ini. Di samping mempromosikan obat dia juga mempromosikan kepandaian meramalnya. Seorang konsumen pun datang menanyakan nasibnya. “Pak, tolonglah pak, bagaimana caranya supaya saya mudah memperoleh rejeki yang halal?. Beri saya ilmunya, pak” “Wah itu permintaan susah mas, saya nggak mampu” “Lha tadi kan bapak ngomong siapa saja boleh tanya tentang nasib” “Iya mas, tapi untuk memperoleh rejeki yang halal itu memang susah, lha wong yang haram saja sudah habis!” Gerr, penontonpun tertawa kepingkel-pingkel. Pentas selesai, tak ada imbalan apa-apa. Tapi para tapol telah membuat para penonton kagum atas kemampuan para tapol.
93
Mungkin juga ada di antara mereka, para penonton yang merasa iba dan tidak percaya kalau tapol-tapol itu adalah benar para pembunuh karena tapol itu juga banyak orang-orang pinternya, sikap dan tingkah lakunya santun, bicaranya juga lembut. Akhirnya para pemain hanya ngomong, “Apa sih dosanya membuat orang lain senang dan tertawa!”. Yang lainpun ikut ngomong, “Jangan dihitung ruginya saja bung!, kita bisa keluar kandang beberapa jam saja seperti ini juga sudah satu keuntungan, ditambah lagi kita bisa cuci mata” “Cuci mata apa!”, sahut yang lain “Eh, bagaimana sih kau ini penonton pentas tadi kan banyak perempuannya, banyak ibuibunya, jangan perhatikan yang tua bung, yang muda-muda tadi juga banyak, mungkin yang masih perawan juga ada, lumayanlah mata ini sempat melihat perempuan yang cakep-cakep. Kecantikan perempuan-perempuan yang jauh dari pengaruh moderen kota-kota besar itu adalah kecantikan alami, bukan kecantikan yang dibuat-buat, kecantikan dasar bung!, dasarnya memang sudah cantik, lha kalau dasarnya sudah cantik kemudian dilengkapi dengan sarana yang memadai apakah nggak mungkin membuat lelaki jadi tergila-gila?. Sangat mungkin kan ?, sampai-sampai mereka siap berbuat apa saja, ya berbuat yang harampun menjadi halal demi untuk si cantik. Ngaku sajalah bung, kita ini laki-laki jangan sok suci, belagak alim. Alim karena pura-pura itu namanya munafik!” Kalau aku pikir-pikir omongan teman ini benar juga. Batinku pun membenarkan omongan teman tadi. Memang sempat juga aku perhatikan di antara para ibu-ibu tadi ada yang kecantikan dan model berpakaiannya agak lain dari yang lainnya, mungkin dia sudah sering jalan-jalan ke kota besar. Sepertinya pengaruh kota besar sudah menjadi bagian hidupnya. Berpakaian dengan celana ketat hingga pantat kelihatan sangat menonjol. Kaosnya ngepres di badan, bagian dada agak terbuka lebar, sehingga barang yang mestinya terlindung nampak mau loncat keluar, melihat hal seperti itu nggak kusadari mataku menjadi melotot liar. Lha kalau tahu ada pemandangan kaya begitu nggak dilihat kan mubazir. Saat itu aku masih terbilang muda, belum berumur empat puluh tahun, nggak aku pungkiri, aku seorang lelaki yang masih hidup, syarafku pun masih hidup dan bekerja dengan normal, kelengkapanku sebagai lelaki pun masih bekerja dengan baik. Jadi terus terang
94
saja, melihat pemandangan yang seperti itu sifat kejantananku pun bangkit. Terpisah dari keluarga yang sudah mencapai tiga tahun lebih, menjadi faktor pendorong bangkitnya sifat-sifat tersebut. Ingatanku jadi melayang jauh ke Jakarta . Bagaimana keadaan anak dan istriku, masihkah ia menjanda sepihak karena terpaksa, ataukah saat ini sudah ada laki-laki lain yang menjadi suaminya sebagai pengganti diriku, dan apakah anakku sudah punya adik lain bapak?. Aku belum kenyang momong anakku. Anakku belum sempat menggoda bapaknya ini, belum sempat pula dia menangis, meronta dan merengek minta dibelikan mainan oleh bapaknya. Terlintas pula ingatan di Budi Kemuliaan, membayangkan si ibu baru dan si bapak baru hidup damai, santai dan harmonis bersama si kecil. Oh alangkah indahnya kehidupan mereka. Aku dipisahkan dari keluarga oleh rezim yang berkuasa, sampai kapan?, nggak seorang pun yang tahu. Mau tanya pada rumput yang bergoyang?, itu pun hanya sebuah nyanyian. Jadi sudahlah diteruskan pun tak ada guna, yang penting jaga kesehatan sebisa mungkin, buang jauh-jauh dan basmi pikiran-pikiran yang menggoda agar tidak menjadi sinting, siapa tahu esok atau lusa atau entah kapan saja ada keberuntungan yang mampir, memihakku dan aku bisa kembali pada keluarga yang kucintai. Selesai pentas giliran kepala sipir penjara memberi sambutannya. “Saudara-saudara, kami sangat berterima kasih, saudara-saudara telah menghibur kami. Ternyata saudara-saudara adalah orang-orang yang pintar. Dalam keadaan darurat tanpa persiapan serta sarana apapun saudara-saudara mampu berkarya begitu menarik. Tetapi sayang saudara-saudara, kalian pinter tapi keblinger. Apa sih sebabnya kok kalian bisa sampai di sini?. Itu yang saya katakan keblinger. Lha wong kalian orang-orang pintar seperti ini kok ya mulang sarak. Apa lagi itu yang namanya Slamet, kepala rombongan kalian, dia itu kan sudah sarjana, titelnya Doktorandus Sosial Politik, secara nalar apa kekurangan dia, kurang makan nggak, nggak bisa nyandang juga nggak, nggak bisa nyekolahin anak, omong kosong itu, keleleran nggak punya rumah, saya juga nggak percaya. Lantas apa yang dia cari?. Met, rungokno (dengarkan) Met. Kau mengerti nggak gegayuhaning wong urip (jangkauan orang hidup) menurut falsafah Jawa?. Sederhana saja kok. Met catat ini, kalau nggak ya kau ingatingatlah agar kau hidup selamat dunia akhirat, wong jenengmu dewe wis ngarani (orang namamu sendiri sudah bicara) ‘Slamet!’, kok mengalami hidup macam begini dan kalau sekarang ini kau ada di sini, ini bukan tempat yang terakhir Met.
95
Nampaknya kau akan melanjutkan perjalanan lagi, jauh kemana nanti kau akan tahu sendiri. Di sini kau hanya barang titipan, mau dikemanakan lagi, itu urusan yang punya mau, apakah itu salah kalau saya katakan keblinger?” Tuntutan hidup menurut falsafah Jawa itu adalah “Buangen sing limo iku lan gayuhan sing limo iku” (Buanglah yang lima itu tapi carilah yang lima itu), kelihatannya aneh, membuang yang lima kok mencari yang lima, apa sih itu?. "Nah dengarkan baik-baik. Buanglah yang lima itu adalah membuang “Mo-limo” yaitu ; Satu “Main” (judi). Jagat ini sudah menjadi saksi, nggak ada orang yang hidupnya mapan, tenang dan tentram apa lagi jadi kaya karena main judi. Dua “Minum”, sami mawon, pada wae, karena minum bisa berbuat diluar nalar, mabuk, ngamuk, maki orang tanpa sadar. Tiga “Madat”, karena madat badan jasmani jadi rusak, kesehatan berantakan, jalan pikiran jadi kacau balau. Lihat saja remaja-remaja kita sekarang yang rusak dan teler akibat narkoba. Keempat adalah “Madon” (main perempuan), main dengan perempuan liar atau pelacur disamping bisa merusak rumah tangga juga bisa merusak keturunan, seorang bayi yang nggak tahu dan nggak ngerti apa-apa hidupnya mengalami cacat fisik akibat bapaknya mengidap penyakit kelamin seperti sphylis, raja singa, vietnam rose dan lain-lain. Yang ke lima “Maling”. Nah kalau sudah sampai yang kelima ini sangatlah berbahaya. Maling arti harafiahnya memasuki rumah orang, mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Tapi maling juga bisa berarti luas dari arti harafiahnya. Maling di jaman moderen, ooh jangan ditanya akibatnya. Ada maling yang disebut dengan ungkapan musang berbulu ayam, maling ini bukan seperti maling kebanyakan. Jas dan dasi pakainnya sehari-hari, mobil mewah seperti Mercedes atau BMW adalah kendaraan tumpangannya, nah dengan penampilan seperti itu siapa yang berani bilang mereka maling?. Tapi di balik itu semua eeh nggak tahunya negara kebobolan di mana-mana. Seandainya kalian itu orang-orang yang bebas, yang dibolehkan membaca koran dan mendengar berita, tentu akan kaget, setiap hari berita koran dihiasi dengan berita korupsi.” Aku kaget, badanku disenggol teman di sebelahku serta bisiknya, “Tuh, itu bapak kepala kok berani memberi informasi tentang kerusakan negara akibat korupsi, kalau ketahuan yang lebih berkuasa bisa ditangkap dia, itu omongan kan sudah kebablasan. Tuh lihat lagi ikat pinggangnya, kendor melorot kebawah keberatan pistolnya kali, tuh!” “Oh iya,” kataku, “Itu kan akibat ngomongnya terlalu bersemangat, jadi tak terasa
96
pistolnya merosot kebawah” Si teman terus berbisik, “Pistolnya pak kepala itu diproduksi di jaman Lois XIV, “Raja Matahari” “Ah bisa saja ente ngomong” “Eh, bener,” katanya “Raja Matahari itu siapa?” tanyaku “Raja Matahari itu ya si Lois XIV tadi, dia menganggap dirinya penguasa mutlak, seperti halnya matahari yang merupakan pusat dari alam semesta dan menjadi sumber segala kehidupan. Demikian juga Lois XIV menganggap dirinya sebagai pusat kehidupan di Perancis. Itulah sebabnya dia disebut Raja Matahari. Istana Versailles pun dibangunnya dengan biaya yang sangat tinggi. Untuk itu dia menekan dan menguras pajak rakyatnya habishabisan. Tak heran kalau kemudian timbul benih-benih pemberontakan yang merupakan cikal bakal Revolusi Perancis. Bung, katanya pistol buatan abad ke delapan belas itu nggak semua orang bisa menggunakannya, terlalu kuno” “Ah sekuno-kunonya pistol kalau pelornya melesat tetap saja bisa mematikan.” “Mematikan apa?, wong sebelum pistolnya bunyi orang yang mau ditembak sudah lari duluan” “Ya tapi kan secepat-cepatnya orang lari, masih lebih cepat larinya peluru” “Nggak mungkin bung, yang mau ditembak kan sudah keburu ngumpet” “Mana bisa begitu” “Lha iya, orang bilang pistol seperti punya pak kepala itu kalau mau dipakai menembak harus diangetin dulu, dipanggang dulu, gitu” “Gila lo, menghina tuh!” Pak kepala meneruskan sambutannya, “Buang dan jauhkan ‘Mo-limo’itu, upayanen wo limo. Ngerti nggak, ‘Wo’ itu huruf Jawa kalau huruf latinnya ‘W’, kebalikan dari huruf ‘M’. Jungkir dan balikan huruf ‘M’ itu, kepalanya jadi kaki, kakinya jadikan kepala, dia akan mempunyai arti yang jungkir balik juga dengan arti “Mo-limo”. “Wo” sepisan (kesatu) itu Wareg, artinya kenyang, nggak kurang makan, karena kenyang pikiran jadi tenang dan tentram, nggak ada niat cendolo (melanggar) aturan, nggak ada niat jahat. “Wo” kedua Waras, artinya sehat lahir batin, apa lagi kalau yang dimakan itu empat sehat lima sempurna. Perut kenyang, badan sehat ini akan menyebabkan orang jadi nggak malas bekerja dan berpikir. Dengan bekerja dan berpikir sehat, rejeki jadi mudah dicari, kalau toh sakit ya bisa dan mampu untuk berobat.
97
“Wo” ketiga itu Wutuh, artinya bisa nyandang dengan baik, nggak kumal seperti nggak pernah ganti pakaian, karena dengan berpakaian yang baik dan sopan kita bisa bergaul dengan sesama, kita menghormati dan menghargai orang maka orang lain pun akan menghormati dan menghargai kita. Kan enak dilihat dan dirasakan. “Wo” keempat adalah Wulang, artinya pendidikkan, orang hidup itu perlu wulang, nggak cukup hanya kenyang thok!, kalau hanya asal kenyang saja itu sama halnya dengan yang berkaki empat. Bayangkan seandainya hidup ini tanpa pendidikkan, kira-kira ya kayak hidupnya orang-orang primitif, menutupi auratnya saja dengan ala kadarnya, dengan rumput atau kulit kayu, seperti koteka itu.” Kami sempat tertawa, boleh juga si bapak ini. “Iya toh!” katanya, “Coba saja tanpa pendidikkan apa kita bisa merdeka seperti sekarang ini?. Kemerdekaan yang kita miliki ini kan berkat bapak-bapak bangsa, para pendiri republik ini yang memiliki pendidikkan lebih, hingga menjadi orang-orang yang tidak bisa dibodohi terusterusan. Pendidikkan sebaiknya juga bukan pendidikkan lahiriyah saja, tapi pendidikkan rohani juga perlu melengkapinya. Lha kalau sudah begitu kita ini bisa menjadi bangsa yang sehat dan kuat lahir batinnya. Bener nggak kira-kira omongan saya ini?” “Bener pak!”, kami menjawab ramai-ramai. Pak kepala menjadi bungah, bangga. Temanteman tersenyum, apa sih dosanya membuat orang senang?. “Nah "Wo" yang kelima itu Wismo (rumah, tempat tinggal). Rumah adalah tempat kita berteduh dari hujan dan panas, tempat berkumpul sanak kadang, tempat beralamat. Rumah merupakan idaman setiap orang hidup. Seorang anak, misalnya, sebelum dia berkeluarga kumpul serumah dengan orang tua adalah wajar. Tetapi kalau dia sudah beristri atau bersuami, tentu akan berusaha pisah dari orang tuanya, ingin berdikari, berdiri sendiri, walaupun hidup di rumah kontrakan misalnya. Kalau "W-limo" atau "W" yang kelima ini sudah bisa dicapai, mau apa lagi?. Lha kalau setiap orang hidup bisa mencapai "W-lima" ini maka kehidupan akan jadi tenang dan tentram, tidak saling gontok-gontokkan. Seperti yang biasa diucapkan Ki Dalang,"Toto tentrem karta raharja". Nah itulah yang bisa saya pesankan kepada saudara-saudara sekalian. Ya Met, Slamet, ingat-ingatlah ini!. Saya pikir kau sudah bisa menggapai "W-lima" ini, Eh kok kebangetan Met. Saya jadi nggak ngerti jalan pikiranmu. Ya nasi sudah menjadi bubur, mau apa lagi, kalau itu yang menjadi cita-citamu, teruskanlah!” Aku jadi bingung dengan ucapan terakhir pak kepala sipir ini, “Kalau memang itu yang menjadi cita-citamu, teruskanlah!” Ini kan bertentangan dengan celaannya terhadap
98
jalan pikiran kami. Ya namanya juga orang pidato, kadang-kadang nggak disadari sudah kebablasan, karena macam-macam yang diomongin kadang-kadang lidah jadi keseleo. Pidato selesai, penonton bubar, dan kami pun kembali ke kandang. Pak sipir kepala mencegah temannya yang mau meninggalkan aula. Dalam bahasa Jawa gaya Banyumasan ia berseru, “Arep maring endi sih kok kesusu mene ngombe kopi panas dingin” Teman yang menyenggolku tadi ngomong lagi, “Bung, di Nusa Kambangan ini kok banyak yang aneh-aneh ya, sudah ada pistol panggang eh ada lagi tuh kopi meriang” “Kopi meriang gimana sih maksudmu?” “Lha itu tadi pak kepala bilang ngombe kopi panas dingin, itu kan berarti kopinya lagi sakit meriang” “Oh itu, ngombe kopi panas dingin, itu artinya minum kopi dulu, kalau bahasa Sundanya mangga ngaleeut kopi heulak” “Oh gitu!” Dari pentas tadi rupanya ada juga yang diuntungkan. Salah seorang dari sekian banyak tapol ada yang mendapatkan keberuntungan, namanya Brahim. Dialah yang tadi menjelaskan tentang asal kata Minangkabau kepada salah seorang ibu yang menonton. Esok paginya, Brahim diperintahkan oleh pak kepala sipir untuk bekerja di komplek perumahan pegawai, rupanya si ibu itu berkenan dan merasa iba pada si Brahim ini. Anaknya memang cakep, ngomongnya halus, santun pula. Mungkin juga untuk ganti pandangan dari muka kriminal ke muka tapol, bagi si ibu. Rupanya sudah bertahun-tahun beliau dilayani oleh muka kriminal, bosen dan nyebelin, bisa jadi. Maka Brahim diminta jadi gantinya. Pagi-pagi Brahim sudah dibukakan pintu untuk bekerja di komplek. Lalu kerjanya apa?. Ya kerja rumah tangga, seperti nyapu, ngangsu (ngisi bak mandi dan gentong) juga mencuci. Pulang kerja biasanya sudah jam empat sore, masuk kandang lagi. Yang tidak pernah ketinggalan adalah bawaan dari komplek, singkong rebus, kira-kira ada 2 kiloán, ya lumayanlah, singkong rebus itu kalau dibagi ke seluruh isi kandang yang jumlahnya seratus orang, kira-kira seorang bisa kebagian tidak lebih dari sejempol kaki. Karena Brahim sudah makan di komplek, tentunya cukup kenyang dan mesti pakai lauk, maka jatah makannya di penjara siang dan sore diserahkan untuk dibagi bergiliran seorang sesendok. Lumayan, mau bilang apa?. Ya itu lumayan. Disamping itu aku juga termasuk orang yang diuntungkan.
99
Selama empat puluh hari di Nusa Kambangan, dua kali aku sempat titip baju dan celana kolor yang kotor untuk dicuci. Terima kasih Him!, aku tak akan melupakan jasamu. Hari "H" akhirnya tiba, masa transit selesai dan habis. Dua hari sebelum hari "H" ada pemeriksaan kesehatan masal oleh tim kesehatan. Perjalanan jauh dan akan menempati tempat baru tentunya memerlukan ketahanan fisik yang memadai. Pas giliran aku diperiksa kok makan waktu agak lama, padahal teman-teman yang lain cepat, hanya dengan stateskop, tutul sini tutul situ, beres, sehat, lulus dan lolos, artinya bisa ikut berangkat. Tapi kenapa pemeriksaanku kok lama, barangkali mereka meragukan ketahanan fisikku. Berdasarkan hal ini aku sudah bisa mengira-ngira, di sana , di tempat yang akan di tuju, kami pasti dan harus menghadapi kerja berat. Kalau memang begitu, ya itulah tanah buangan seperti romusha di jaman Jepang (kerja paksa, kultur stelsel di jaman VOC). Aku berdoa dalam hati, ya Allah jangan kau biarkan aku tetap tinggal di penjara yang satu ini, ya Allah. Keadaan sudah kepalang basah, jangan nantinya aku mati di sini, mati di tangan para kriminal yang tak kenal iba, teman-temanku sudah banyak yang mati disini. Keluarga pun sulit bisa diharapkan datang menengok, untuk hidup sehari-hari saja mereka sudah sulit, apa lagi untuk datang dengan menyebrang laut, tak akan terjadi ya Allah. Biarlah kalau aku harus mati di tempat yang baru nanti tak apalah, itu juga masih tanah airku. Rupanya doaku itu dikabulkan, aku akhirnya lolos, bisa ikut berangkat dengan rombongan teman-temanku. Perintah berkemas diserukan, kami pun bersiap. Barang bawaan dari penjara Salemba menjadi bawaan berwisata, mengarungi Lautan Indonesia (laut kidul), dengan gelombangnya yang menggulung setinggi gunung. Dengan alas kaki gapyak pun masuk perut kapal tidak dilarang. Pak Slamet dan pak Pram memimpin kami. Jam 11 selesai makan siang kami pun diberangkatkan ke Sodong, tempat kapal merapat. Satu jam berlalu kami menunggu kedatangan kapal, kapal belum datang, dua jam, tiga jam hingga empat jam kami menunggu, kapal masih tak kunjung tiba. Setahuku, di alam bebas, kalau hendak berpergian jauh, apakah pergi dengan kereta api, bus, kapal atau peasawat udara, biasanya kendaraanlah yang menunggu penumpangnya. Tapi ini sebaliknya penumpang yang harus menunggu kedatangan kendaraan, maklum menumpang dengan gratis, ya sak kobere yang mengangkut. Mau ya begini, nggak mau ya begini.Waktu sudah jam 4 sore, kapal tak jadi datang, perut kami sudah mulai lapar lagi. Kami harus kembali ke kandang. Waktu makan sore sudah lewat, apakah sesampainya kami di kandang nanti masih sempat
100
medapat ransum sore?. Memasak untuk perut seratus orang akan memerlukan waktu cukup lama. Kami pun cemas, dengan terseok-seok kami berjalan, mau tak mau kami harus kembali ke Karang Tengah. Jalan kaki antara Sodong dengan Karang Tengah sebenarnya tak lama, hanya dua puluh atau dua puluh lima menit saja sudah sampai. Tapi sependek apa pun waktu yang diperlukan jika berjalan dengan perut lapar sambil menggendong barang bawaan pula, terasa banget beratnya. Di tengah perjalanan kembali ke Karang Tengah, seorang teman melihat ada kulit pisang raja di jalan, karena perut lapar diambilah kulit pisang itu, diusap dengan ala kadarnya, lalu dimakannya kulit pisang yang tebal itu, habis tanpa sisa. Aku pun tak mau ketinggalan, kucabut batang singkong yang tumbuh di pinggir jalan, tanaman berumur kurang lebih tiga bulan dengan otot yang masih tinggal, berhasilah aku dapat akar singkong yang sudah mulai membesar. Pak sipir yang mengawal kami tahu perbuatanku itu, tapi kali ini dia diam saja tak bereaksi, ada rasa kasihan juga rupanya. Singkong pun aku bagikan pada teman-teman yang lain untuk dimakan mentah-mentah. Alhamdulillah perut bisa menerima dan tidak berulah. Jam setengah lima sore kami sampai di kandang. Benar juga dugaan kami, jatah makan sore nggak ada. Tapi untungnya jadwal makan siang keesokan harinya dipercepat jadi lebih pagi. Jam sepuluh pagi kami sudah dapat makan siang. Ada hal yang lebih mencemaskan dari penundaan keberangkatan kami, yaitu adanya informasi tentang ketidak datangan kapal kemarin itu dikarenakan kapal mengalami kerusakan mesin dan perlu diperbaiki dahulu. Kapal yang akan mengangkut kami katanya diberi tanda dengan nama “ADRI-11”, jadi kira-kira kapal itu milik Angkatan Darat. Oleh karena kabar adanya kerusakan mesin kapal itulah seorang teman yang mempunyai pengalaman berlayar memberi penerangan dan penjelasan. Dia mengatakan dalam menghadapi kapal yang rusak dan mungkin bisa mengakibatkan kapal tenggelam kita jangan panik. Kapal itu kalau mau tenggelam tidak langsung bles masuk kedalam air, tapi dia tenggelam pelan-pelan, prosesnya itu cukup buat persiapan menyelamatkan diri. Ada waktu bagi kita untuk mengirm sinyal dan tanda S.O.S, minta bantuan dan pertolongan kepada perahu atau kapal lain yang sedang lewat. Mendengar keterangan itu seorang teman nyeletuk, “Itu kan buat orang yang punya pengalaman berlayar seperti bung, lha kalau buat orang awam seperti saya ini bagaimana nggak panik, wong berenang saja nggak bisa, gimana mau mempersiapkan penyelamatan yang ada juga saling berebut menyelamatkan diri masing-masing. Taruhlah tenggelamnya kapal memang memerlukan waktu satu sampai dua jam, lalu kalau ternyata nggak ada
101
kapal yang lewat gimana?, kalau pun ada untuk memberi pertolongan berapa banyak sekoci yang diperlukan?, berapa sih kapasitas tampung tiap sekoci?. Kan yang bakal mengisi perut kapal ADRI-11 itu bukan hanya kita yang dari Karang Tengah saja, tapi juga dari Gliger, Candi dan lainnya. Sudahlah bung jangan diterusin cerita tentang tenggelamnya kapal, bikin hati ciut saja. Kalau kapal kita tenggelam seperti tenggelamnya KRI. Macan Tutul dalam perang merebut kembali Irian Barat yang di comodori oleh Yos Sudarso di perairan Aru itu adalah tenggelamnya seorang patriot sehingga nama Yos Sudarso menempel di pulau Dolak (Pulau Yos Sudarso). Lha kalau kapal yang kita naiki tenggelam karena memang kapalnya yang rusak itu kan mati konyol namanya. Dan kalau pun memang ada sarana penyelamat tentu perioritas utama untuk awak kapal itu sendiri, soal tapol sih biar mati jadi penghuni dasar laut itu mah bukan perkara, wong tapol memang diharapkan mati dan jika tapol mati karena kecelakaan mereka kan bisa bebas dari tanggung jawab. Sudahlah sebaiknya kita berdoa menurut keyakinan masing-masing saja agar perjalanan kita nanti bisa selamat sampai tujuan.” Jam sebelas siang, kembali ada perintah berangkat ke Sodong. Kami berbondongbondong di giring ke Sodong. Apa pun alasannya kami tetap datang lebih dahulu dari si kapal dan kami pun tetap harus menunggu kedatangannya walaupun hanya setengah jam. Benar juga, setengah jam kemudian nampak dari arah timur gundukan hitam bergerak ke arah barat. Lama-lama gundukan itu makin jelas bentuknya. Itu dia si ADRI-11 datang. Oh Allah, badan kapal sudah banyak lukanya, berkarat di sana-sini, warna catnya pun sudah kusam, membuatnya tampak semakin tua, kasihan dia, perutnya harus diisi ratusan orang sampai membengkak, kalau nanti penumpang sudah masuk semua mungkin dia akan miring, berat sebelah. Ya namanya kapal, dia barang mati, nggak bisa ngomong, apalagi menolak karena kebanyakan muatan. Semuanya tergantung pada yang mengusai, apa kata penguasa harus ditaati. Mudah-mudahan saja kapal tua ini masih mampu bekerja dengan baik dan bisa mengantar kami sampai ke tempat tujuan yang entah di mana dengan selamat. Seluruh penghuni Karang Tengah sudah masuk ke perut ADRI-11, komplit, tak ada yang tertinggal menjadi penghuni kuburan Karang Tengah. Kami selamat dari amukan bekasakáan, bala tentara Kanjeng Ratu Kidul. Kami ini orang-orang yang santun, tahu menghormati orang lain, tidak pernah usil atau mengusili keberadaan Kanjeng Ratu Kidul,
102
kalau toh kena marah dan harus dilahap, apanya yang akan dilahap?, orang badannya saja kurus-kurus, tinggal kulit pembalut tulang doang, darahnya pun barangkali terasa pahit. Begitulah akhirnya kami semua selamat, keluar dari Nusa Kambangan. Seperti halnya bung Baho ketika di Blok-E, Salemba, pak Slamet pun menunjukkan kelasnya sebagai seorang pemimpin di antara kami. Apa yang beliau lakukan?. Ditemuinya kapten kapal, kepala logistik dan kepala dapur. Kepada mereka beliau mohon agar kami mendapat jatah makan siang, hasilnya memang nol. Tapi apa pun hasilnya pak Slamet telah berbuat sesuatu untuk kami, beliau tidak takut untuk dikatakan cerewet, banyak tuntutan dan lain sebagainya. Pak Kapten Cs mengatakan, “Jatah makan siang di sini ketentuannya jam 11 siang, sekarang sudah jam setengah satu. Makan siang sudah lewat, dapur hanya masak untuk jatah makan sore nanti, jam 4 sore”, begitu jawaban kepala dapur ADRI-11, persis seperti di Karang Tengah, jawabannya sama. Bolak-bolak perut kami ini menjadi korban di luar perhitungan. Saat di Salemba kami mengalami tidak makan siang karena ulah teman, penghuni salah satu sel yang menolak ransum karena dipandang sangat tidak manusiawi. Di Karang Tengah, kami mengalami tidak makan sore karena diperhitungkan akan makan sore di kapal, eh sialnya kapal tidak datang, terpaksa kembali ke kandang tanpa dapat jatah makan sore lagi. Sekarang di kapal karena urusan administrasi dan lain sebagainya, kami masuk kapal sudah jam setengah satu, jam makan siang sudah lewat. Oh perut-perut tapol kok sial banget nasibmu. Memang begitulah nasib para tahanan, mungkin di mana-mana sama saja seperti itu harus mentaati seluruh aturan penjara tanpa kompromi. Biar apa pun bentuknya sebuah kapal sekalipun kalau isinya para tahanan tetap saja itu berarti penjara. Itu kata Pak Hasyim tempo hari. Akhirnya kami hanya bisa pasrah, menurut apa kata sang penguasa kapal. Sebelum kapal berangkat pak Kapten memberi pengumuman dan perhatian serius kepada seluruh para penumpang. "Saya adalah salah satu anggota satuan awak kapal yang bertanggung jawab di dalam kapal ini. Kami seluruh satuan awak kapal yang bertanggung jawab atas keselamatan saudara saudara selama saudara-saudara berada di dalam kapal ini. Kami dengan rasa senang hati, ridho serta ikhlas akan mengantar saudara-saudara sampai ke tempat tujuan dengan tanggung jawab sepenuhnya. Oleh karena itu hargailah kerelaan kami, janganlah saudara-saudara bikin ulah yang membuat kami marah. Jangan coba-coba memancing kemarahan kami. Bagi siapa saja yang membuat ulah di kapal ini, kami tidak
103
akan pandang bulu, akan kami tindak tegas. Perlu saudara-saudara ketahui, kami di sini punya tempat yang sangat menyeramkan untuk menghukum siapa saja yang membuat ulah. Tempat itu berupa ruang satu meter persegi dengan penerangan lampu berkekuatan seribu watt. Jika saudara-saudara kepingin tahu dan merasakannya, silahkan mencoba, ayo berulahlah!. Jika tidak, patuhilah peraturan dan tata tertib di kapal ini. Ngerti dan siap patuh?. Terima kasih." Ah benar-benar sial jadi tahanan ini. Aku pernah berbuat apa sih dalam peristiwa '65 itu?, kok akibatnya begitu hebat, di mana-mana selalu menerima ancaman. Hak yang aku miliki hanya satu, yaitu bernafas itu pun bila perlu sewaktu-waktu bisa dicabut. Mudah-mudahan saja aku kuat menghadapi segala cobaan ini. Persiapan segala sesuatunya sudah beres, kapal siap angkat jangkar. Suling kapal berbunyi melengking, kapal pun mulai bergerak, putar haluan dan terus melaju ke arah timur, munuju laut bebas. Dari jendela kapal kupandangi daratan yang baru kutinggalkan. "Selamat tinggal pulau Jawa, mudah-mudahan suatu saat kita bisa bertemu kembali." PULAU BURU Sebelum tahun 70-an pulau ini tidak banyak dikenal dan diketahui oleh banyak orang, bahkan mungkin saja anak sekolahan pun tidak tahu dan tidak dapat dengan cepat menunjukkan dimana letak Pulau Buru itu. Seperti halnya pulau-pulau lain, Pulau Buru juga salah satu untaian jambrut katulistiwa. Kalau kita perhatikan peta bumi Indonesia, Pulau Buru terletak di bagian timur Indonesia, pulau ini termasuk kedalam propinsi Maluku. Tepatnya terletak di 127° Bujur Timur dan 3° Lintang Selatan. Lalu mengapa pulau ini tidak banyak diketahui oleh umum?, ya barangkali karena memang pulau ini tidak mempunyai keistimewaan apa-apa, tidak punya kelebihan apaapa, tidak mempunyai potensi apa-apa, Pulau Buru seolah menjadi suatu pulau yang terabaikan dan terlantar. Seandainya saja pulau ini mempunyai potensi sebagai suatu pulau kepariwisataan, tentunya oleh pemerintah daerah pulau ini telah lama dibudidayakan untuk menambah devisa (pendapatan) daerah. atau mungkin saja karena masih banyak pilihan pulau-pulau lain yang lebih berpotensi sehingga pulau ini jadi benar-benar tertinggal tanpa tersentuh oleh tangan-tangan terampil. Tetapi setelah tahun 1970-an pulau ini mendadak muncul kepermukaan, bahkan namanya mencuat dan dikenal oleh dunia internasional. Apakah di sana ditemukan tambang emas
104
yang melimpah?, atau telah ditemukan tambang minyak yang menjadi sumber devisa negara?, atau telah ditemukan sumber mineral lain yang sangat bermanfaat bagi negara dan dunia internasional?. Tidak!, tidak ada ditemukan apapun di Pulau Buru . Pulau Buru menjadi terkenal dan menjadi pembicaraan khayalak ramai karena di sana telah didatangkan dan diisi oleh manusia-manusia buangan, manusia-manusia yang menjadi musuh pemerintah, manusia-manusia yang dicap anti Pancasila, anti Tuhan, anti agama dan manusia manusia yang dicap tidak bernilai manusia. Kalau pada jaman kolonial Belanda, Digul menjadi tempat pembuangan orang-orang yang dicap pembangkang oleh pemerintah Belanda sehingga para tahanan itu dikenal dengan sebutan Digulis, maka Pulau Buru menjadi pelengkap, tempat manusia-manusia yang dicap sebagai pembunuh. Lalu mengapa Pulau Buru dipilih menjadi tempat pembuangan tapol?. Mungkin saja hal itu dilakukan oleh pemerintah dengan pertimbangan yang antara lain : Untuk mengurangi kepadatan penduduk, khususnya di pulau Jawa. Sebagai tempat pembuangan pulau ini mudah dikontrol. Karena letaknya berdekatan dengan Ambon, ibu kota provinsiMaluku, dengan pesawat helikopter Pulau Buru bisa dicapai dalam hitungan menit saja. Pulau ini tidak mempunyai hutan yang lebat, tidak mempunyai hutan yang kaya akan aneka tumbuhan yang bisa menghidupi. Tingkat budaya penduduknya pun relatif rendah, sehingga sulit diajak berkomunikasi. Oleh karena itu bagi tapol yang ingin meneruskan kegiatan politiknya dan bagi tapol yang sangat extrim dan nekat mencoba lari masuk hutan, maka mereka harus berpikir seribu kali. Orang-orang buangan ini masih tetap merupakan tahanan. Sebagai orang yang dibuang tentunya mereka harus bertahan hidup dengan keringat, otot dan tulangnya sendiri, dan sebagai tahanan, kapan saja bilamana diperlukan orang-orang ini tetap masih bisa ditangkap lagi. Pulau Buru dijadikan sebagai pilot proyek pertanian, siapa tahu dengan modal sekecil mungkin dan sikap menekan serta intimidasi bisa berhasil dan mungkin bisa menjadi lumbung bagi kawasan timur Indonesia. Pulau Buru memang tidak bisa dikatakan subur, terutama Pulau Buru bagian Utara, tanahnya tidak bertulang (tidak berbatuan), tidak berkapur. Tetapi bagian selatan pulau ini agak lain, karena di bagian selatan ada pegunungan, yang oleh penduduk setempat disebut gunung Batabual. Pulau Buru yang lebih kecil dari pulau Bali ini penduduknya masih jarang dan bisa dikatakan setengah nomaden, hidup berpindah-pindah dengan
105
berburu, makanan pokoknya sagu. Rawa sagu di pulau ini juga tidak terlalu banyak. Kalau keberadaan sagu ini hanya untuk konsumsi penduduk asli, barangkali saja seumur-umur pun tak akan habis mereka makan, tetapi kalau pulau ini harus menampung manusiamanusia buangan dari pulau Jawa dan mengkonsumsi sagu itu sehari-hari, barangkali hanya sepuluh atau dua puluh tahun saja sagu-sagu itu sudah habis ludes. Oleh karena itulah pertanian di pulau ini harus digalakkan dan sagu-sagu itu hanya sebagai makanan pendukung saja. Tenaga-tenaga terampil dari orang-orang buangan yang juga banyak dari kalangan petani diharapkan dapat membuat pulau ini mempunyai masa depan yang cerah dan bisa menjadikan pulau ini sumber makanan atau lumbung bagi kawasan timur Indonesia . Dan jika sudah demikian maka pulau ini bisa diexploitasi habis-habisan dan oleh karena itu setatus tahanan bagi para tapol tidak akan berakhir selama-lamanya. Hal ini terbukti di belakang hari sesudah para tapol mendiami pulau ini. Tak bisa dibilang lain, seperti halnya dengan Nusa Kambangan, pulau ini adalah tetap merupakan penjara. Itulah sedikit gambaran umum tentang Pulau Buru. ADRI-11 yang mengantar kami ke wilayah perairan Maluku ini sesuai dengan informasi yang kami terima memang benar-benar kapal rusak. Hal ini terasa dari jalannya yang lambat, terseok-seok. Suara mesinnya juga terdengar keras, gelondangan seperti mesin giling jalanan. Olengnya kapal ke kiri dan ke kanan sangat terasa sekali, kalau sedang oleng ke kiri lambung kanan kapal terangkat ke atas dan lautan di sebelah lambung kiri terlihat jelas dari jendela di sisi kiri kapal dan tentu begitu juga sebaliknya kalau kapal oleng ke kanan, seolah-olah sisi kanan kapal serasa mau tenggelam. Aku tidak menghitung berapa lama kapal berlayar melintasi laut kidul (Lautan Indonesia ). Kapan kapal belok ke kiri menuju ke arah timur laut, menerobos ujung selat Sumba, belok ke kiri melewati selat Sape (selat antara Sumbawa dan Flores ), tidak ada yang tahu dan juga tidak ada keterangan dari pihak awak kapal ADRI-11. Yang aku ketahui sesudah empat-lima hari kapal berlayar, saat tengah malam entah jam berapa kapal berhenti membuang sauh. Dan baru pada pagi harinya ada sedikit berita, kapal mau merapat di Ujung Pandang . Untuk apa?, Mengisi bahan bakar atau tangki air tawar?, atau barangkali para awak perlu belanja bahan makanan?. Tidak, kapal berhenti bukan untuk itu dan kapal tidak merapat di Ujung
106
Pandang, ADRI-11 berhenti jauh dari pelabuhan Ujung Pandang, bahkan sejauh mata memandang pelabuhan itu sama sekali tak nampak. Jelas bagi kami ternyata mesin kapal kembali rusak dan mati jadi perlu diperbaiki. Baru pada sore harinya kapal kembali berlayar lagi. Matinya mesin kapal ADRI-11 ini mengingatkan kami saat di Nusa Kambangan, saat seorang teman menjelaskan, "Tenggelamnya kapal itu tidak sekaligus ambles kedalam air, dia tenggelam pelan-pelan." Bagiku cepat atau lambatnya kapal kalau tenggelam ya tetap tenggelam, dan sarana penyelamat tentu diutamakan bagi para awak kapal. Perkara nasib tapol kalau harus tenggelam bersama ADRI-11 itu adalah kecelakaan, kalau hal itu terjadi maka mereka semua akan bebas dari tanggung jawab. Kalau mengingat hal itu hati ini benar-benar menjadi kecil dan menciut. Kalau melihat peta, jika seandainya kapal berlayar menerobos selat Sumba terus ke timur melalui laut Sawu, menerobos selat Ombai yang ada di antara Timor-Timur dan pulau Alor kemudian terus belok ke kiri berlayar menuju ke utara, lempeng melewati laut Banda maka sampailah kita di Pulau Buru itu. Tapi itu tidak dilakukan, kapal tidak melewati Timor-Timur yang masih menjadi wilayah sengketa, barangkali karena dikhawatirkan akan ada di antara para tapol yang nekat terjun ke laut, menuju Timor-Timur dan bergabung dengan gerombolan fretelin, ooh sangat berbahaya. Hari terus berganti, aku tak sempat menghitung berapa lama perjalanan kapal mengarungi lautan. Walaupun jalannya ADRI-11 terengah-engah, sesuai dengan kondisinya yang telah tua, alhamdulillah akhirnya kapal yang kami tumpangi sampai juga di Namlea, ibu kota Pulau Buru dengan selamat. Kapal tidak bisa merapat, kami turun dari kapal naik “lending” menuju ke darat. Naik ke darat kepala jadi puyeng, kalau menunduk kepala terasa bergoyang, begitu juga dengan teman teman yang lain, orang bilang itu namanya mabuk darat. Namlea kota kecamatan, kota satu-satunya kota terbesar di pulau ini. Tidak ada pemandangan yang menarik untuk diperhatikan, mungkin karena mabuk darat itulah kami jadi tak sempat memperhatikan keadaan sekelilingnya dan memang tak ada pemandangan yang menarik untuk diperhatikan. Dengan dikawal oleh aparat baju hijau tentu, kami menuju bedeng penampungan sementara sebelum menuju tempat kami yang sesungguhnya, belantara pembuangan. Sejenak di bedeng penampungan sementara ini kami beristirahat. Seluruh badan terasa lengket, karena tak pernah tersiram air tawar sejak di Nusa Kambangan, ditambah lagi
107
selama perjalanan di kapal, ya hampir dua bulan badan ini tak pernah tersentuh air tawar, kecuali hanya dua gayung, saat ada mandi masal di Nusa Kambangan. Walau bagaimana pun kami tetap harus bersyukur karena kami masih diberi air tawar untuk minum, bukan air laut yang asin. Karena itu sesampainya kami di darat yang pertama kali kami lakukan adalah mencari sumber air tawar. Seperti yang telah kuceritakan di muka, Pulau Buru Utara yang akan kami huni ini tidak bertulang, tidak berbatu. Di belakang bedeng penampungan sementara ini ternyata ada juga diusahakan menggali sumur. Karena tidak berbatu dan tanahnya berupa pasir, maka galian sumur itu pun diberi cerobong dari bambu, agar tanah tidak kembali gugur ke bawah. Airnya tidak banyak, tidak lebih dari 10 cm tingginya dari dasar sumur, tambang atau timba pun tidak ada, kalau toh ada tetap tidak bisa di timba. Karena keadaan darurat aku bersama beberapa teman nekat turun ke dalam sumur, dengan sebuah rantang aku gayung air serantang demi serantang, tidak kurang dari satu jam kemudian terkumpulah air sebanyak dua ember. Dengan dua ember air inilah kami sepuluh orang bisa mandi awak-awak, caranya dengan mencelup sebuah kain untuk membasuh badan, lumayan, badan terasa pera tidak lengket lagi dan terasa enteng. Seorang petugas memberi penjelasan, “Saudara-saudara, tempat ini bukan tempat kalian yang sebenarnya, tempat ini hanyalah untuk sementara saja. Tempat bagi kalian yang sesungguhnya masih jauh, masih memerlukan perjalanan sekitar satu atau dua jam lagi, dengan lending menyusuri sungaiWai Apu. Mudah-mudahan kalian bisa segera menuju ke sana . Di sana tersedia air melimpah, tidak perlu berebut.” Di tempat penampungan sementara ini barangkali hanya untuk menyelesaikan urusan administrasi. Dan mungkin saja di tempat ini pak Slamet dan beberapa orang yang dipandang pantas mewakili kami, berunding dengan penguasa. Berapa lama para tahanan ini masih memerlukan bantuan dari pemerintah sebelum bisa berdikari. Sedikit yang bisa kami dengar, wakil kami mengajukan permohonan bantuan selama satu tahun penuh. Tapi ditolak, permohonan turun tiga bulan menjadi sembilan bulan, itu pun juga ditolak. Rupanya sudah ada harga mati, pas bandrol, sesuai dengan ketentuan dari Jakarta, bantuan hanya diberikan sampai enam bulan saja. Mereka mengatakan, “Sesudah enam bulan segalanya menjadi urusan kalian sendiri. Kalau masih mau hidup silahkan bekerja, tanah tersedia luas. Kalau nggak mau bekerja dan pilih mati, jika itu maumu ya silahkan.” Mau bilang apa?, sekali lagi kami harus kalah. Namanya juga tapol, akidah agama rupanya
108
telah berubah, bagi para penguasa membuat tapol mati seolah hukumnya wajib dan pahala menanti di surga. Di penampungan ini kami mendapat kelambu untuk kerudung tidur, seperti umumnya daerah pantai, nyamuk sangat banyak dan angin laut bertiup kencang, yah rupanya masih ada juga rasa kemanusiaan mereka. Di tempat ini pula seorang Letnan memberikan penjelasan tentang niat baik pemerintah untuk merehabilitasi status tapol menjadi warga negara yang baik, warga negara yang sehat fisik dan mental, menjadikan tapol warga negara yang utuh dan Pancasilais. Rupanya pak Letnan ini adalah mantan ajudan Jendral Basuki Rahmad, Mentri Dalam Negri yang meninggal di atas pangkuan pak Letnan itu. Mungkin saja sebagai seorang ajudan mentri, pak Letnan mendapat penjelasan dari sang jendral tentang rencana pemerintah soal pembuangan para tapol, bahkan bisa jadi sang jendral itu sendiri adalah salah seorang inspirator “Pulau Buru” sebagai pulau yang ideal untuk pembuangan tapol. Sesudah istirahat semalam dengan jatah makan tetap seperti yang dulu-dulu juga bahkan lebih parah dari sebelumnya karena kami mendapat ransum nasi tanpa sayur, pagi harinya kami pun sudah diperintahkan untuk bekerja, sebagian mencabuti rumput tanpa alat, sebagian lagi dikerahkan untuk mencari kayu bakar buat masak di dapur umum. Kali ini aku termasuk beruntung, kebagian tugas mencari kayu bakar. Dengan dikawal oleh seorang prajurit kami jalan menuju pantai, di sana terdapat banyak pohon kelapa yang tak terawat, pohonnya tinggitinggi dan buahnya jarang, pohon lamtoro juga ada di pulau ini.
Kami belum tahu persis bagaimana watak-watak para prajurit penjaga yang umumnya dari suku Ambon . Di manapun dan apapun suku dan kebangsaannya yang namanya manusia tentu mempunyai aneka macam watak dan perilaku.Walaupun kami mendapat cap dan sebutan sebagai orang kejam, kafir, atheis anti Pancasila dan sebagainya, kami juga tetap manusia normal yang tahu menghargai seseorang. Pak prajurit yang mengawal kami ternyata orangnya ramah, sopan dan senang ngobrol. Dia ngomong, “Nanti kalau sudah tiba di pantai, di sana banyak pohon kelapa, mas-mas boleh kasih panjat dan ambil buahnya, nanti bisa dimakan.” Benar juga, beberapa orang di antara kami ada yang bisa memanjat pohon kelapa, langsung saja mereka memetiki kelapa-kelapa itu, sedang yang tidak bisa memanjat seperti aku, karena sudah nafsu banget ingin meminum dan memakan kelapa yang pastinya segar banget juga tak mau kalah, kami memunguti kelapa-kelapa yang berjatuhan karena sudah kering, untuk dimakan. Melihat perbuatan kami pak prajurit
109
berkata, “mas, jangan ambil itu kelapa kering seng enak dimakan, ambil saja toh yang di pohon masih ada yang muda, airnya enak diminum.” Dalam keadaan darurat akal manusia tetap saja selalu ada, karena tak ada alat untuk mengupas kelapa, aku pun mengambil batang lamtoro segede lengan, kuruncingi ujungnya dengan golok satu-satunya yang ada, kutancapkan batang itu ke pasir, kukupas kelapa yang baru dipetik itu dari sabutnya, kelapa pun terkelupas. Suatu pekerjaan yang tak pernah kulakukan selamanya, ee kok dalam keadaan terpaksa segalanya bisa dilakukan, alhamdulillah. Kami sengaja berlama-lama menikmati kelapa dan airnya yang telah lama tak kami cicipi lagi. Pak prajurit diam membiarkan kami berpesta, rupanya pak prajurit memaklumi keadaan fisik kami yang kurus ini dan ia merasa iba dan kasihan. Sebagai seorang prajurit sudah seharusnya ia patuh menjalankan perintah dan menjalankan disiplin keprajuritan. Tetapi sebagai seorang manusia biasa manakala ada kesempatan yang baik tidak ada salahnya pak prajurit memperlihatkan naluri kemanusiaannya. Sekali lagi, tidak peduli kepada siapa saja kalau memang ia pantas diacungi jempol ya kami acungi jempol. Terima kasih pak prajurit!, hanya itu yang bisa kami katakan. Sesudah sedikit kami merasakan kelonggaran, tugas pokok mencari kayu bakar pun kami kerjakan. Batang-batang kayu kering yang sudah lama roboh banyak berserakan. Memasuki garis pantai ke dalam sedikit banyak pula kayu-kayu kering di sana. Kami semua bejumlah kira-kira dua puluh orang, masing-masing membawa sepanggul kayu, ada juga kami membawa beberapa butir kelapa untuk oleh-oleh teman-teman di bedeng. Di penampungan sementara ini juga ada klinik darurat yang membagikan obat-obatan, kami manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya, sakit nggak sakit bilang saja puyeng dan meriang, lumayan bisa buat persediaan jika nanti barangkali kami benar-benar jatuh sakit. Rupanya perundingan rampung, tanda jadi sudah diterima dan ditanda tangani. Esok paginya sesudah jatah makan siang selesai disantap, kami siap untuk digiring ketempat pembuangan terakhir (sempat terpikir mungkin tempat itu akan menjadi tempat abadi bagi kami). Lending sudah siap, harta kekayaan kami sudah kami bawa, tidak banyak acara dan upacara, rongsokkan manusia ini pun segera berangkat menuju belantara untuk menapaki hidup baru. Lending itu bentuknya seperti kotak yang bagian depannya bisa dibuka untuk pendaratan. Lending berjalan menyusuri tepian sungaiWai Apu. Di kiri-kanan tepian sungai tampak
110
kerindangan dengan pohon-pohon gede, pohon timbul (kluwih) banyak tumbuh dan pada berbuah. Mungkin penduduk setempat nggak ngerti kalau buah timbul bisa dimakan, terutama untuk disayur. Karena tanah yang tidak berbatu pohon-pohon ini banyak yang tumbang terkena erosi dan jatuh melintang di sungai menjadi penghalang jalannya pelayaran. Kami pun berharap mudah-mudahan di tempat kami yang baru nanti juga banyak terdapat pohon timbulnya, lumayan bisa untuk ganjel perut. Ya apa lagi yang terpikir kecuali memikirkan perut, mau mikir apa?, kebebasan?, ngelamun, atau mikir keluaga?, bisa sinting nanti. Tengah hari kami menapaki daratan, petugas yang mengawal kami memberi tahu tempat mendarat ini bukanlah tempat kami, ini unit-I sedang kami akan menempati Unit-II, dan kami meneruskan perjalanan ke Unit-II dengan berjalan kaki. Aku berpikir, kapan aku sampai di tempat yang sebenarnya?, harus berjalan kaki lagi. Karena unit-I ini juga belum digarap, kayu-kayu gede yang sudah ditebang oleh Transkop masih tampak malang melintang dan tumpang tindih di mana-mana. Transkop hanya bertugas menebangi saja, selesai menebang, selesailah tugas mereka dan terus ditinggal. Urusan pohon-pohon yang tumbang malang melintang itu semuanya menjadi urusan para pecundang ini. Dengan membawa harta masing-masing, perjalanan terasa lambat, kadang-kadang kami harus merangkak di atas pohon yang melintang untuk menghindari duri-duri rotan yang berserakan. Sebenarnya jika saja jalan setapak sudah ada perjalanan itu tidak memakan waktu terlalu lama. Jarak antara unit-I dan Unit-II sebenarnya tidak lebih dari dua kilo meter. Aku jadi teringat kembali pada lamunanku saat di Budi Kemuliaan, ketika sang calon bapak mendongengi istrinya cerita tentang Palgunadi dengan istri tercintanya memasuki hutan belantara menuju negri Astina. Eh nggak tahunya cerita dalam lamunanku itu menjadi kenyataan yang kualami sendiri. Hanya saja aku memasuki hutan belantara bukan sebagai seorang ksatrya yang berkelana mencari guru untuk menuntut ilmu, tetapi sebagai manusia buangan yang harus melakukan kerja paksa. Biar lambat, kepastian tempat yang di tuju pasti akan tiba. Dan akhirnya sampailah kami di tempat tujuan. Unit-II yang tercinta.
111
PULAU BURU: - Unit-II Unit-II juga terletak di tepi sungaiWai Apu, ini tentu dimaksudkan agar memudahkan komunikasi atau koordinasi antar unit. Di seberang sungai terletak Unit-III, di kemudian hari aku ketahui bahwa nasib pak Hasyim tak beda denganku beliau menjadi penghuni Unit-III, hanya waktu keberangkatan kami saja yang tidak bersamaan. Unit-II berdiri di atas lapangan yang luas dan dipagari kawat berduri dua lapis di sekelilingnya, di pinggir bagian depan sebelah kiri ada bangunan tempat jaga para prajurit Patimura, di hadapannya ada sebuah tiang bendera dengan “Merah Putih” yang selalu berkibar di siang hari. Di sebelah kanan berhadapan dengan pos jaga terletak bedeng asrama prajurit dan di sebelah kirinya berdiri sebuah bangunan villa untuk komandan unit. Di depan pagar kawat terpancang sebuah papan nama dengan tulisan yang berbunyi “INSTALASI REHABILITASI (INREHAB)”. Menurut teman yang lebih ngerti, tulisan itu berbahasa Inggris yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya ‘tempat untuk pemulihan’. Rehabilitasi menurut teman tersebut sama halnya jika kita habis sakit, sesudah sembuh maka kesehatannya perlu direhabilitasi agar bisa kembali pulih seperti semula. Lha kalau seperti kita orang-orang yang sudah cacat namanya, maka di tempat ini kita dipulihkan namanya dan akan kembali menjadi warga negara yang baik. Begitu kata temanku. Dulu saat di Salemba gara-gara ompreng ditendang aku pernah berkata pada bung Daryo, "Ee bung, Salemba ini sih belum apa-apa, ini baru "B" ke satu, "Bui". Kemungkinan masih ada dua "B" lagi yang menanti yaitu "Buang" dan "Bunuh". Dan omongan itu kini menjadi kenyataan, lepas dari "Bui" aku dan teman-teman tapol lainnya mengalami "B" ke dua, yaitu "Buang". Apakah "B" ke dua ini sudah merupakan terminal akhir bagi masa tahananku?. Belum tentu. Kalau aku mati di tempat ini, itu artinya tempat ini menjadi terminal akhir dari hayatku dan sekaligus akhir dari masa tahananku. Tetapi kalau aku masih hidup, masa tahananku belum tentu berakhir, selamanya bisa jadi. Dan “B” ke tiga siap menunggu. Apakah benar kami akan direhabilitasi. Ah entar dulu jangan berilusi, seperti punguk merindukan bulan. Buktinya barak kami terlindung oleh pagar kawat berlapis dua dan dijaga oleh para prajurit yang semuanya menyandang senjata, bahkan kemana pun kami
112
pergi, kami masih tetap diawasi dengan ketat. Lalu di mana ujung pangkalnya rehabilitasi?. Kalau menurutku ini bukanlah rehabilitasi melainkan justru exploitasi. Memang di kemudian hari pendapatku ini terbukti kebenarannya. Kami masuki barak yang bentuk dan konstrusinya serba ala kadarnya. Ada 20 barak di Unit-II ini yang saling berhadapan, sebaris sepuluh barak. Rupanya barak ini sudah lama dibangun dan mungkin dengan biaya yang minim pula. Oleh siapa?, nggak tahu!. Tiang-tiang barak terbuat dari kayu asal-asalan saja, pagarnya dari bambu gelondongan yang dibelah, dibuang ruasnya dan dibuka melebar, dipaku dengan tiang-tiang tanpa gapit, atap dari daun sagu selembar yang jika kena angin bisa terbuka dan menutup kembali seperti layaknya tangan melambai. Tentu saja kalau ada hujan angin badan kami harus siap
basah terkena air hujan. Waktu kami masuki, barak ini sudah dipenuhi oleh rumput dan alang-alang, baik di luar maupun di dalam. Apa lagi di belakang barak, benar-benar hutan. Sebelum kami tempati barak ini rupanya juga sempat dihuni oleh binatang liar seperti luak, musang garangan, tikus dan kucing liar yang memang banyak kami temui binatang-binatang tersebut di pulau ini. Pak Slamet tetap memimpin kami, bahkan di kemudian hari pak Slamet sempat jadi Koordinator Unit-II. Pekerjaan pertama sesudah kami mendapat alat-alat pertanian dan perlengkapan dapur dari bagian logistik Inrehab adalah membenahi barak yang dipenuhi rumput dan alang-alang. Salah satu keputusan dari hasil perundingan yang harus diterima dan dilaksanakan para tahanan adalah masa bantuan yang hanya enam bulan harus dibayar dengan pencapaian target mencetak sawah 5 hektar per barak yang siap panen hanya dengan kekuatan 50 orang perbarak, itu adalah pekerjaan yang sulit dan bukan main beratnya buat kami semua. Tanah yang belum pernah dijamah, tebangan pohon yang malang melintang, bulakan yang penuh dengan pohon krinyuh, alang-alang dan belukar serta bagaimana pengairannya adalah benar-benar merupakan pekerjaan raksasa yang harus dikerjakan secara paksa. Belum lagi jika bicara tentang jatah makan yang juga nyatanya tak jauh berbeda dengan jatah makan saat di Salemba, bahkan tanpa sayur. Berapa kalori yang masuk dan berapa kalori yang harus kami keluarkan?. Seimbangkah makan siang dan sore hanya dengan 200 gram nasi plus ikan asin tanpa yang lain, sedang kami harus mengayun pacul, membabat belukar, memotong dan menyingkirkan gelondongan kayu-kayu besar sehari penuh, selama enam bulan?. Jawabannya tergantung pada tapol itu sendiri. Oleh karena itu koordinator dan para kepala barak harus benar-benar orang yang mau
113
dan bisa bekerja, mengatur dan membagi tenaga. PULAU BURU: - Anak KucingMengisi Rantang Keputusan sepihak tidak mengharuskan kami mati. Kami masih kepingin hidup dan kami harus bertahan hidup. Kelompok kerja mulai dibentuk, 50% tenaga untuk membuka areal sawah, lima sampai sepuluh orang membuka ladang untuk menanam tanaman siap panen jangka pendek seperti umbi-umbian, aku nggak tahu dari mana didapatkannya bibit-bibit itu. Lalu empat sampai lima orang tenaga dapur, termasuk tenaga pencari sayur mayur (kluwih, kangkung atau rebung), memang di pulau ini selain rawa sagu kami juga menemukan rawa kangkung, pohon bambu juga kami dapati di sini. Dan empat sampai lima orang lainnya harus belajar dan berani terjun ke rawa sagu, walau pun kami belum mengenal medan ini, kami membutuhkan sagu untuk tambahan makan harian, karena tanpa tambahan makanan rasanya tidak mungkin kami mampu mencapai target yang diberikan penguasa. Dan ini harus, tidak boleh tidak. Hatiku bicara, teman-temanku semua hebat, mereka gagah berani, siap dan mampu menghadapi tantangan berat ini. Rasa ikhlas dan solidaritas menyala-nyala. Aku termasuk dalam kelompok pembuka areal sawah, babat belukar, dongkel tunggak, kumpulkan ranting, rumput, batang krinyuh lalu membakarnya. Begitu berhari-hari tanpa henti. Sebulan kemudian areal nampak bersih dan siap dipacul. Nggak terasa tangan pada lecet, tulang-tulang sakit dan badan terasa lemas semua. Tentu saja, ini dikarenakan alih pekerjaan yang selama hidup ini tak pernah kami lakukan sebelumnya. Lonceng jam lima sore dipukul tanda berhenti bekerja. Tidak ada istilah tanggung, waktunya berhenti bekerja ya berhenti, besok diteruskan lagi. Badan lelah penuh tanah, masuk nyebur kali untuk mandi. Inilah air yang melimpah itu!. Sampai di barak makan sore sudah siap, nasi dijatah oleh dapur umum. Dapur barak hanya memasak apa yang diperoleh teman tadi pagi. Perintah rantang kumpul diserukan, aku pun menaruh rantangku. Aduh minta ampun ya Gusti Allah!, aku berteriak, rantangku berisi anak kucing utuh dengan kepala dan ekor yang masih berbulu. Kutarik rantangku, kubuang jauh-jauh, aku memang lapar, tapi aku nggak sampai hati jika harus makan apa yang baru saja kulihat itu. Rupanya hari itu satgas dapur tidak mendapatkan apa-apa. Itu bisa dimengerti karena kami semua belum menguasai medan. Apa pun yang bisa dilakukan itulah yang dikerjakan.
114
Jadi tanpa pikir panjang, kucing bunting pun dihajar. Masya Allah, ulah teman yang mana ini?, kok ya tega banget, dia kan ngerti kalau si kucing ini lagi bunting, milikilah pertimbangan barang sedikit, kasihlah kesempatan si kucing biar melahirkan dan membesarkan anaknya dulu. Kucingkan bukan musuh manusia atau khususnya petani, bahkan dia bisa jadi teman yang bisa membantu menangkap tikus, si hama padi. Dia juga mahkluk hidup yang memiliki hak untuk berkembang biak, jangan karena dia hanya seekor binatang yang tak berdaya lalu boleh diperlakukan seperti itu. Kita semua memang lapar, dalam keadaan darurat, agama pun menghalalkan sesuatu yang haram untuk dimakan. Tetapi apakah sudah sedemikian rupa kedaruratan kita hingga harus melakukan hal seperti itu?. Lagi pula berapa banyak protein yang bisa kita peroleh dari sepotong daging seekor kucing yang dibagi untuk sekian banyak orang?. Aku bukannya sok suci, aku pun doyan yang haram, agama juga menghalalkan yang haram dimakan jika memang terpaksa, tapi kalau sudah menyangkut mahkluk yang tanpa dosa seperti anak kucing itu, nuraniku berkata lain. Ya sudahlah, yang sudah biarlah berlalu jangan diulang kembali, yang lainnya juga masih ada kok. Dua tiga bulan sudah kami tinggal di barak kamp tahanan. Barak tempat tinggal sudah tak memadai lagi. Rencana membangun barak mendekati areal persawahan pun terpikir. Untuk keperluan itu harus tersedia tenaga penggergajian, bangunan dan sebagainya. Bukan hanya tenaga untuk membangun barak baru saja yang harus tersedia, pembangunan unit-unit baru pun harus segera dilakukan. Harus segera jadi untuk dihuni oleh tapol-tapol yang akan segera datang menyusul. Maka akhirnya tenaga untuk membuka sawah pun semakin berkurang. Biasanya pembiayaan suatu proyek ada pemborongnya dan si pemborong biasanya mengajukan proposal, rencana kerja, rincian material dan termasuk ongkos tenaga kerja. Lha kalau tenaga kerjanya gratis, lalu kemana dana ongkos tenaga kerja itu? Ya tahu sendirilah. Bukan hanya itu saja yang harus dikerjakan, setiap hari masing-masing barak harus kena giliran merawat dan menjaga villa komandan, mengendapkan air kali buat mandi bapak Komandan dan menjaga tidurnya setiap malam merupakan kerja tambahan bagi kami semua.
115
PULAU BURU: - Mengerek Bendera Merah Putih Pulang dari kerja lapangan aku kena giliran piket ke villa komandan dari jam 5 sore sampai besok pagi jam 6. Sesudah itu istirahat sehari tanpa kerja. Aku piket di villa tidak sendiri, ada seorang teman dari barak lain. Kerja kami mengisi ember-ember dengan air kali, beberapa ember air dibiarkan mengendap, kalau sudah bening dipindahkan ke ember lain hingga siap dipakai mandi bapak komadan. Melek semalaman di villa, kami mendapat jatah tembakau, seorang sebungkus kecil dan teh manis semuk seorang, lumayanlah. Karena jatah gula hanya seminggu sekali. Seingatku, komandan yang kujaga villanya ini adalah komandan pertama yang menurut penilaianku beliau adalah komandan terbaik, selama aku menetap di Pulau Buru. Beliau berasal dari keluarga petani, kakeknya petani unggul, begitu cerita beliau kepada kami berdua pada satu kesempatan. Karena itu beliau juga pernah berusaha mengalirkan air sungai Wai Apu untuk mengairi areal persawahan, namun sayang gagal. Akhirnya untuk mengairi areal persawahan dicarilah usaha lain yaitu dengan cara membuat waduk, dan setelah jadi waduk itu diberi nama “KARSONTANI”, singkatan dari "Karso Ingsun Tani”. Demikian populernya nama waduk ini sehingga wilayah sekitar waduk dikenal dengan nama “Karsontani” atau disingkat “Karson”. Penduduk asli setempat pun menyebutnya dengan “Karson”. Bukan itu saja usaha bapak Komandan ini, sebelum areal persawahan benar-benar siap ditanami, ditanamlah padi gogo, telah tersedia bibit padi ini, sedang hutan-hutan yang tidak mungkin dijadikan sawah dicarikan bibit padi sinta, jenis padi yang berbatang kuat dan tinggi agar bisa menembus sinar matahari dari lindungan pohon lain. Jam 6 pagi tiba, tanda tugas piket di villa selesai. Pak Komandan siap menerima laporan petugas piket. Kami berdua bersikap sempurna, menghadap komandan, kali ini aku jadi pelapor, “Lapor, tugas piket selesai, hormat!” Komandan menjawab, “Kembali ke barak!” Segera temanku kembali ke barak, sedang aku dipanggil penjaga pos, selintas kulihat namanya, Saleh, pangkatnya Kopral, “Mas, sini dulu!” Aku pun datang menghampiri. “Ini bendera kasih naik tiang ya, sudah itu boleh kembali ke barak.” Kuterima bendera itu, kulepas tambang yang terikat di tiang. Ku ikat tali bendera ke
116
tambang, kemudian kukerek bendera itu sampai ke puncak tiang, selesai. Aku tinggalkan tiang bendera dan berjalan kembali menuju barak. Sang Kopral berteriak menghentikan langkahku, “Harus kasih hormat dulu pada sangMerah Putih,” katanya, aku menurut kukerjakan apa perintah pak Kopral. Dan kembalilah aku ke barak, tapi belum juga aku sampai di barak, kali ini Komandan pleton memanggil, kembali aku menghadap. “Mas, tolong beta, ini surat bawa ke Wai Babi dan kasihkan surat ini ke pak Sastra dan ini minyak goreng kasihkan juga sama dorang” “Siap pak, tapi izinkan saya pulang dulu untuk pamit sama teman di barak” “Boleh, kasih tahu pula sama pak Sastra, nanti jam 11 siang beta datang kesana.” Aku tidak tahu isi surat itu, tetapi dengan minyak goreng setengah botol, rupanya ada perintah untuk masak sesuatu. Oh, barangkali pak Letnan mau berweek-end ke Wai Babi, kan hari itu hariMinggu. * dorang = dia orang Sesampai di barak aku pamit pada teman dan meninggalkan pesan, bila kepala barak menanyakan aku, katakan aku diperintah oleh Danton ke Wai Babi. Jarak antara Unit-II dengan Wai Babi sekitar 3 atau 4 Km, jalannya masih jalan setapak, padang ilalang belum terbabat semuanya, aku berdoa, ya mudah-mudahan aku nggak ketemu babi hutan di jalan. Sedikit ada cerita tentang Wai Babi ini. Dulu sebelum komandan yang pertama datang, sepertinya komandan logistik Inrehab mewakili menjadi komandan sementara. Wai Babi menurut bapak Komandan ini terlihat baik, letaknya agak tinggi dibanding dengan unit. Di tempat ini ada kolam alami, airnya sangat bening, disekitarnya terdapat hutan rindang, ada pula ditumbuhi pohon enau di beberapa tempat. Pak Komandan rupanya merekareka, tempat seasri ini sebaiknya jangan diberi nama Wai Babi, tetapi sebaiknya diganti namanya menjadi “Widoro Kandang”, alangkah indahnya nama itu. Widoro Kandang adalah nama suatu tempat kademangan dalam cerita wayang. Diceritakan dalam cerita itu,Widoro Kandang adalah tempat persembunyian para ksatrya Mandura untuk menghindari pembunuhan dari Prabu Anom Kongso Dewo (musuh dalam selimut) kerajaan Mandura. Di kademangan Widoro Kandang inilah para ksatrya Mandura mendapatkan jati dirinya, mendapatkan segala ilmu yang kelak mampu mengalahkan
117
musuh dalam selimut dengan segala bentuknya. Pak Komandan tidak menyadari bahwa di antara mereka juga banyak yang mengerti tentang cerita wayang. Aku nggak ngerti apa memang karena kisah itu, lalu mereka menganggap seolah Wai Babi juga akan menjadi tempat para tapol mendapatkan segala ilmu dan tempat menggembleng diri untuk bangkit dan melakukan perlawanan kembali. Sekali lagi apa memang karena masalah itu, karena Wai Babi diganti dengan nama Widoro Kandang lalu beberapa hari kemudian pak Komandan sementara itu jadi tak nampak lagi di pulau ini (di mutasi barangkali, nggak tahu) dan Widoro Kandang dikembalikan ke nama aslinya Wai Babi. Satu jam lebih perjalanan melalui jalan setapak dan aku pun selamat sampai di tempat tujuan, nggak ketemu celeng di jalan. Surat segera kuberikan pada pak Sastra dengan minyak gorengnya, tentu. Bung Sitompul datang menyalami sambil memberikan semuk kecil nira aren. Masya Allah nikmatnya!. Untuk memenuhi kebutuhan zat gula maka menyadap bunga aren pun telah dilakukan bung Sitompul. “Sendiri bung kemari?, nggak kesasar?, kok berani pergi sendiri, nggak ketemu babi di jalan?” “Kenapa nggak berani, berani nggak berani kan yang namanya perintah ya harus dijalankan” “Kebetulan saya ada keperluan juga ke unit, entar pulangnya bareng, sore-sorean saja. Istirahat dulu sajalah di sini, lumayan sehari bebas kerja paksa.” Benar jam 11 siang pak Danton datang dengan dua orang perempuan, yang satu sudah setengah tua sedang yang satunya lagi masih muda. Lumayan juga kecantikannya. Habis karena nggak ada tandingannya, tahu yang segitu saja ya sudah dikatakan cantik. Dasar mata lelaki!. Aku nggak ada urusan dengan apa keperluannya pak Danton, yang jelas saat makan siang tiba aku mendapat makan pakai nasi pak Danton dan lauk kepala ayam digoreng. Aku jadi geli sendiri, kemarin dulu aku mendapat jatah makan dengan kepala anak kucing yang kemudian aku buang hingga akhirnya aku harus menahan lapar tapi sekarang aku dapat ganti kepala ayam goreng. Aku bilang sama bung Sitompul, “Bung, jangan iri ya, kepala ayam ini ongkos jalanku tadi”, dia ketawa nyengir. Jam 4 sore berangkat pulang dari Wai Babi dan jam 5 tiba kembali di Unit-II. Masuk
118
barak kepala barak berkata, “Pak Sam dicari kopral Saleh untuk datang ke pos jaga. ”Ada apa ya?, grendengku. Bergegas aku datang ke pos jaga. Kopral Saleh sudah menanti dengan tangan bertolak pinggang, “E tapol cukimai ose!, ose seng tahu menghormati sang Merah Putih toh. Itu bendera pusaka boleh kita rebut dengan nyawa dari penjajah. Kenapa ose tinggal menaikkan saja seng bisa. Bodoh ose!, itu bendera merahnya lepas dari talinya toh dan jadi satu dengan putihnya jadi seng mau berkibar lagi, cukimai!. Ayo ose sikap sempurna depan tiang bendera dan beri hormat sang DwiWarna itu. Ose seng boleh lepas dari hormat sebelum beta kasih berhenti!.” Ah sialan bener aku ketemu buto ijo keparat. Aku memang salah, aku nggak pernah mengerjakan pekerjaan semacam itu sebelumnya. Mestinya tali bagian yang merah itu diikatkan di atas tali simpul tambang, sehingga kalau dihembus angin kencang sekalipun tak akan melorot. Tapi omongannya itu sangat menyakitkan, dianggapnya aku anak kecil yang nggak mengenal dan mengalami zaman revolusi. Batinku berkata. O kranjingan lo!, jadi tentara baru kemarin sore saja sok ngomong merebut Merah Putih dengan nyawa, orang seumurmu barangkali tahun ‘45 juga belum lahir. Apa bener elo tentara yang sudah pernah perang melawan Belanda?, barangkali mendengar ledakan mortirnya saja sudah berak di celana. Jangan sombong lo!, jelek-jelek begini aku pernah juga menghadang konvoi musuh dengan trekbom bersama teman-teman seperjuangan dulu. Kami tungguin berlama-lama sampai pada saatnya konvoi lewat untuk dihajar dengan trekbom. Salah satu teman seperjuangan yang masih kuingat namanya adalah Sutmantoko. Apa beliau masih hidup ya nggak tahu, kami berpisah pada tahun 50-an, saat penyerahan kedaulatan RI dan sampai sekarang nggak pernah ketemu lagi. Barangkali kalau ketemu saat ini beliau bisa jadi saksi. Sampai orang-orang pulang dari ladang aku tetap berdiri tegak di depan tiang bendera sambil mendongak memberi hormat pada sang Merah Putih. Tak urung teman-teman mengetahui keadaanku yang lagi kena hukuman dari si buto ijo. Seorang Sersan kepala jaga rupanya memperhatikan aku, dia menegurku dan memerintahkan aku berhenti menghormat. Katanya, “Eh mas, siapa dorang kasih perintah hormat di depan tiang toh?” “Kopral Saleh”, kataku” “Dimana dorang sekarang?” Aku ngomong berlagak seperti tahu bahasa Ambon, “Supi Sersan nggak tahu kemana”
119
“kopral Saleh!” teriaknya, “Ayo kemari”, yang dipanggil datang. “Ose kasih perintah sama tapol hormat bendera?” “Ya, beta kasih hukuman karena dorang kasih hina sama Merah Putih. Dorang bodoh tidak bisa kasih naik bendera, merahnya lepas dari talinya, bendera seng mau berkibar lagi.” “Ose sukasih tahu cara menaikkan bendera?. Kalau ose sukasih tahu caranya dan dorang seng bisa kerjakan itu, boleh ose kasih dorang hukuman” * supi = sudah pergi * dorang = dia orang * sukasih = sudah kasih Yang ditanya tidak menjawab, akhirnya pak sersan memerintahkan aku kembali ke barak dan jadilah aku bahan tertawaan teman-teman sebarak. Hukuman ringan telah menimpaku, tapi seringan-ringannya hukuman yang namanya hukuman tetap merupakan hukuman. Itulah perlakuan terhadap orang buangan. Jadi apa benar ini rehabilitasi?. Tugas dan kewajiban boleh sama tapi watak dan sikap boleh jadi berbeda. Pak Komandan pertama yang mengerti seluk beluk pertanian itu juga seorang prajurit yang siap melaksanakan tugas dan disiplin prajurit. Tetapi dalam melaksanakan tugasnya, beliau tetap menggunakan naluri kemanusiaannya. Satu ketika beliau mengontrol huma (tanaman padi gogo di hutan). Padi tumbuh subur, pohonnya ledung-ledung sepundak orang dewasa berdiri. Hanya dalam umur dua bulanan lebih padi mulai jebrol dan buahnya mulai semanten (calon beras yang masih cair). Pak Komandan mencoba memencet butiran calon gabah, butirannya mengeluarkan cairan putih seperti santen. Ku perhatikan pak Komandan brebes mili, menitikan air mata, seraya katanya, "berkat tanganmu dan kerelaan hatimu serta keingananmu untuk hidup, hutan ini memberikan imbalan untukmu. Peliharalah padimu ini dan nikmati hasilnya untuk makanmu!" Kami jadi menunduk diam dan hanya mengucapkan terima kasih. Apakah pak Komandan ini ngomong basa-basi atau memang ngomong dengan hati nuraninya. Terserahlah yang tahu hanya beliau sendiri. Dalam waktu-waktu selanjutnya perilaku pak Komandan ini nampak dari sikap dan perilakunya dalam menjalankan tugas selalu atas dasar naluri kemanusiaannya. Target 6 bulan mencetak sawah siap tanam dan siap panen ternyata tidak tercapai dan
120
pekerjaan ini tetap harus diteruskan. Sawah tetap harus dicangkul walau tanpa alat bantu lainnya. Panen huma telah tiba, hasilnya cukup mengagumkan. Setiap barak menyiapkan tenaga-tenaga trampil dan cekatan. Bikin lumbung di hutan, panen secepatnya, hasil jangan semua disetorkan ke lumbung unit, tapi isi juga lumbung kita. Memang begitu jempolan pak Komandan ini. Kami diperintahkan membikin lumbung di luar kamp. Lumbung terletak di lokasi calon villa komandan dan barak-barak baru yang bakal dibangun. Beliau bukan tidak tahu bahwa kami diam-diam nyolong gabah. Mungkin sudah ada yang melaporkan, tapi pak Komandan pura-pura tidak tahu. Namanya juga orang, sementara sesama tapol juga ada yang ingin mencari nilai lebih di mata komandan. Satu ketika seorang tapol melapor pada komandan bahwa di hutan "T" sebutan hutan menurut caranya tapol memberi nama, ada hutan "T", ada hutan ", ada hutan percobaan, ada hutan mandar dan lain-lain. Ya, si tapol melapor bahwa di hutan "T" ada warga yang nyolong padi dan menumbuknya di sana. Sebagai komandan yang mendapat laporan tentu beliau harus mengambil sikap dan bertindak. “Di mana mereka mencuri?” “Di hutan "T" pak” “Ayo tunjukkan aku tempatnya” Pak Komandan pergi ke tempat yang di tunjuk dengan diiringi si tapol “gila”. Sampai di pinggiran hutan pak Komandan mencabut pistolnya. Ditariklah pelatuk pistol dengan laras ke atas, layaknya seperti melakukan salvo. Beberapa kali pistol meletup. Apa maunya pak Komandan membunyikan pistol ini?. Mungkin itu hanya satu tanda peringatan bahwa di situ ada pak Komandan. Bagi sang pencuri tentu tanggap dengan tanda itu dan mereka segera membersihkan jejak, sehingga kalau pun ketahuan tidak ada bukti mereka itu nyolong. Betul juga rupanya, saat pak Komandan dan si pelapor tiba di tempat, ternyata di tempat itu tidak ada tanda-tanda pencurian. “Mana ada pencurian?” tanya pak Komandan “Ya di sini pak, tadi saya melihatnya sendiri” “Mana buktinya?, tak ada kan?, kamu kan tapol juga masa bikin laporan palsu tanpa bukti. Menuduh tanpa bukti itu namanya fitnah, ngerti?” Si pelapor diam saja, sedang tapol yang dilaporkan tentu saja mengutuk dan menyumpahi
121
dia, “Mampuslah kau!” Ada lagi kejadian lain yang berhubungan dengan sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh pak Komandan. Areal sawah di Wanatirta yang berlokasi di bekas hutan tipis ini ada kali kecil yang bisa di bendung untuk mengairi sawah. Pembendungan ini juga atas petunjuk dan prakarsa pak Komandan. Karena belum ada sapi atau kerbau untuk menggaru, meratakan areal, maka untuk meratakan tanahnya hanya menggunakan pacul dan alat apa adanya. Melempar tanah ke tempat yang rendah dan menginjak rumput yang nongol ke permukaan oleh para buto ijo dianggapnya sedang main-main, tak mau bekerja. Maka di panggilah teman yang melakukan hal itu, dan dihukumlah dengan tempelengan. Mengetahui hal ini pak Komandan marah-marah, sang Danton ditegur untuk memperingatkan anak buahnya agar tak usah mengurusi hal yang bukan urusannya. Pak Danton sendiri juga pernah ditegur dan diperingatkan oleh pak Komandan. Pasalnya suatu hari saat aku dan teman-teman masih mengerjakan sawah di sekitarWanatirta, hujan gerimis tiba-tiba mengguyur. Pak Komandan segera memerintahkan kami naik, berteduh. Melihat hal ini pak Danton memprotes. “Pak, bagi petani yang bener, hujan begini ini mestinya malah membuat giat dan semangat bekerja, mengapa bapak perintahkan mereka naik?” “Petani yang mana?. Letnan tahu nggak, mereka itu kan belum menjadi petani profesional, mereka itu masih dalam masa peralihan dan tidak bisa dipaksakan. Bagi mereka alih profesi ini merupakan pekerjaan yang sama sekali baru. Tefaat (tempat pemanfaatan) ini proyek, Let!. Biaya yang dikeluarkan sudah banyak dan kalau mereka sampai sakit karena dipaksa bukan tidak mungkin proyek ini akan gagal dan berantakan. Lebih baik kita perlakukan dengan sabar, pelan-pelan tapi pasti. Mereka juga manusia kok, kalau mereka kita perlakukan dengan ramah masak mereka nggak tahu diri. Kalau nanti mereka tahu dan merasakan hasilnya, semangat kerjanya juga akan timbul dengan sendirinya.” Begitulah sikap pak Komandan ini. Ada satu lagi kejadian yang sangat menarik dari sikap pak Komandan pertama ini. Suatu ketika beberapa penekun ladang melakukan penumbukkan padi gogo di ladangnya, di antara mereka ada yang bertugas mengawasi keadaan, siapa tahu ada patroli komandan.
122
Entah kebetulan atau memang ada yang lapor, seperti halnya pencurian padi di hutan. Pak Komandan betul-betul mendatangi gubuk ladang itu. Si pengawas segera kasih tanda bahaya. Tentu saja para penekun segera menghilangkan jejak. Tapi lha wong namanya gabah ditumbuk, beras dan gabahnya banyak yang tercecer, ya jelas-jelas kasat mata. Melihat itu pak Komandan negur, “Numbuk padi ya?, siapa yang menumbuk?” “Ya pak, kami yang melakukan, kami menumbuk padi buat beras kencur pak, lumayan bisa menghilangkan rasa ngilu. Kalau habis kerja, malam hari rasanya tulang-tulang sakit semua pak. Maklum kami ini belum biasa bekerja sekeras ini” “Ya saya ngerti. Tapi masak nggawe beras kencur sakmene akehe. Mau diliwet yo dilewet wae. Pari olehe nandur-nandur dewe kok dicolong. (masak bikin beras kencur saja kok segini banyak. Mau ditanak ya ditanak saja. Padi boleh nanem-nanem sendiri kok dicuri). Nggak usah dicuri, makan, diatur sebaik-baiknya hingga cukup sampai panen mendatang.” Cep klakep!, penekun nunduk dan hanya menjawab, “Nggih pak” (Bungkam tak ada yang menjawab, hanya berkata, “Ya pak”). Begitulah sikap bapak Komandan yang satu ini. Hati kecil kemanusiaannya selalu berbicara. Beliau memaklumi benar sikap dan perilaku para tapol, yang selama masa penahanan mereka tidak lepas dari tekanan dan rasa takut. PULAU BURU: - Nyolong Garam Unit-XVI yang baru saja selesai dibangun harus segera diisi oleh tapol, tentu saja segalanya harus dipersiapkan dengan baik. Peleton pengawal yang harus menjaga Unit-XVI pun datang. Karena kedatangan tonwal ini hanya sampai di Air Mendidih, maka segala peralatan dan perlengkapannya harus diangkut oleh tapol, dan kebetulan tempat yang paling dekat dengan Air Mendidih itu adalah Unit-I dan Unit-II, maka Unit-I dan Unit-II lah yang mesti mendapat kerja ekstra, melakukan pengangkutan. Aku pun mendapat kewajiban korve mengangkut barang-barang itu. Jarak antara Air Mendidih dengan Unit-XVI sekitar 8 Km, dan jalan menuju ke dermaga Air Mendidih adalah pasir seutuhnya, jadi kalau ketimpa panas matahari rasanya betul-betul seperti Air Mendidih, bahkan jika sebutir telur dibenamkan ke dalam pasirnya maka telur itu pun akan segera matang, karena itulah daerah itu disebut Air Mendidih.
123
Saat kami tiba di dermaga barang-barang sudah didaratkan dan siap diangkut. Temanku yang menjadi patnerku memikul barang ternyata matanya sangat jeli, dia melihat adanya karung plastik berisi garam di antara tumpukan barang-barang itu. Tanpa menunggu perintah lagi dan tanpa buang-buang waktu ditariknya segera tanganku, karung ditaruhnya di sandat (rotan untuk tali dan tatakan barang), langsung pikul dan jalan setengah lari. Sebelum melalui hutan kantong wilayah Wai Babi kami berhenti sebentar menengok ke belakang, belum tampak seorangpun pemikul yang mengikuti jejak kami. Rupanya jarak antara kami dengan temanteman lainnya terlalu jauh. Kesempatan ini digunakan oleh temanku, dengan cekatan ia segera mengorek karung itu. Segera baju dan caping kami lepas, dua buah baju dan caping itu kami isi dengan garam hingga penuh, lalu kami taruh barang colongan itu ke dalam gerumbulan alang-alang. Setelah merasa aman menyembunyikan barang curian itu, kami pun meneruskan perjalanan dengan santai sambil menunggu rombongan teman-teman pengangkut yang ada di belakang. Kami benar-benar berjalan santai karena barang yang dipikul juga menjadi ringan. Awalnya sekarung plastik garam mempunyai berat nggak kurang dari 40 Kg, tetapi setelah kami colong karung itu kini hanya berbobot sekitar 25 Kg saja. Keluar dari hutan kantong tak disangka turun hujan lebat. Kata temanku hujan ini sangat baik hati dengan kita. “Lho kok ada hujan yang baik hati, apa artinya itu?” “Eh gimana sih ente ini, turunnya hujan ini kan bisa kita pakai alasan nanti, bahwa kita jatuh karena jalan licin dan karung ini sobek dan sebagian isinya tumpah. Ya itu kalau ketahuan dan ada teguran dari danton. Nah sebagai bukti kalau kita jatuh sekarang kita poles dulu karung ini dengan lumpur” Dan untuk lebih meyakinkan lagi tak urung celana kami pun dipoles dengan lumpur juga. Dalam hatiku tertawa geli memikirkan akal-akalan ini, ah dasar otak maling. Tak berapa lama rombongan teman-teman pengangkut lain yang ada di belakang kami pun datang menyusul, kami jalan beriringan memasuki Unit-XVI. Barang-barang segera kami taruh, langsung ke dapur. Petugas yang ada di sana tampaknya tak mencurigai kami, mereka tak melihat adanya tanda-tanda barang yang hilang, bahkan dengan kemurahan hati bagian logistik kami mendapat makan dan minum teh manis yang masih hangat.
124
Usai makan dan minum kami semua pulang, kami merasa aman. Hari mulai merambat gelap kesempatan ini kami gunakan untuk menjemput barang colongan yang kami sembunyikan. Hanya bercelana tanpa baju kami berjalan, udara dingin tak kami rasakan, kegembiraan telah mengalahkan semua itu, biar sedikit kami telah berhasil mengurangi kelangkaan garam di unit yang sudah terjadi hampir selama dua minggu belakangan. Kelangkaan garam ini sebenarnya telah pernah kami keluhkan pada komandan Unit-I yang kebetulan juga mengomandani Unit-II. Tapi keluhan kami itu mendapat jawaban yang sangat tidak manusiawi sekali dan juga sangat menyakitkan hati, apa jawaban sang komandan yang terhormat itu?. Dengan ketusnya ia berkata, “Kalian tahu kuda itu nggak pernah makan garam, tapi larinya kenceng!, masak kalian manusia kalah sama kuda!” Ya Allah masa kami disamakan dengan kuda, walaupun setatus kami ini tapol tapi pada hakekatnya kami juga manusia sama dengan dirinya. Tapi lagi-lagi begitulah nasib kami sebagai tapol, derajad kami tak beda dengan kuda. Sungguh keparat dia!. Tak ada awal tanpa akhir. Masa tugas pak Komandan pertama selesai dan beliau meninggalkan Inrehab, kembali ke Jakarta. Komandan baru segera menggantikannya. Kami berharap komandan baru ini tak beda dengan pendahulunya, syukur kalau lebih baik. Rencana membuat barak-barak baru mendekati areal persawahan segera dimulai. Unit-unit atas (unit baru yang jauh dari unit-I, II dan III) pun segera dibangun jumlahnya tidak kurang dari 18 unit. Target pencetakan sawah juga harus selesai. Dan kebutuhan makan pun tidak bisa ditunda. Tenaga ladang tak bisa diganggu. Kebutuhan akan zat bakar (gula) perlu diusahakan. Penumbukkan sagu juga segera dimulai. Benar-benar habislah tenaga kerja, belum lagi yang jatuh sakit. Aku sendiri sakit, mata kakiku sebelah kiri dimakan mata pacul, robek!. Sementara aku tak bisa kerja di lapangan, koordinator dan kepala barak harus kerja keras, memutar otak. PULAU BURU: - Menjadi Pengannyam Atep, Kena Hukuman Setiap pemimpin mempunyai gaya dan cara kerjanya sendiri. Kalau komandan pertama menamai waduk dengan “Karsontani” dan areal persawahan pertama dengan “Wanatirta”, lalu komandan logistik menamaiWai Babi dengan “Widoro Kandang”. Maka pak Komandan ke-2 ini menamai unit dengan sebutan “Wanareja”. Klinik berobat pun dinamai sesuai dengan nama beliau, “Klinik Mardi Waluyo”. Dari nama-nama itu yang tetap tinggal dan bertahan hanya nama “Karsontani”, suatu nama yang selalu mengingatkan akan sikap dan perilaku penciptanya. Bahkan sampai kami meninggalkan Inrehab, Pulau Buru, nama
125
tersebut tetap digunakan, bahkan mungkin hingga saat aku menulis cerita ini pun nama tempat itu masih ada dan tetap disebut banyak orang (penduduk di Pulau Buru). Pak Komandan ke-2 ini tentu saja mempunyai kebijaksanaannya sendiri. Dibuatlah peraturan dan pengumuman baru. Untuk menghadapi paceklik dan kekurangan pangan karena sawah belum menghasilkan, maka tanaman pala wija penggunaannya harus terkendali dan terpimpin, tidak boleh mencabut singkong tanpa izin, tidak boleh merusak rawa sagu. Entah bagaimana caranya beliau akan berusaha supaya kami tetap bisa makan nasi. Perintah harus dijalankan dan dipatuhi, siapa saja yang melanggar harus siap menerima sanksi. Pembuatan barak dimulai, bangunan barak dibuat panggung dua tingkat kiri dan kanan. Di tengah dibuat ruang makan, dapur dan sekaligus ruang kumpul atau ruang tamu. Aku mendapat tugas membabat dan menganyam alang-alang untuk atap, aku membabat alangalang di suatu wilayah perkampungan yang disebut Walonangan, kampung yang sangat jarang penduduknya. Di samping hutan yang banyak ditumbuhi pohon kinar (semacam pohon waru dan sangat baik untuk bahan gapyak), ada juga bulakan (lapangan) yang dipenuhi alang-alang. Bersama dengan seorang teman bernama pak Salimin, kami berdua membabat alang-alang sebanyak mungkin, lalu kami bersihkan dan menjemurnya di tempat sampai setengah kering supaya lemes dan gampang ditekuk. Hasil babatan dua tiga hari dapat dianyam dalam sehari. Selain membabat alang-alang kami juga harus menebang bambu untuk gapitnya. Bukan main, pekerjaan yang sangat sulit bagiku dan tanpa upah ini tetap harus dilakukan. Belum lagi gesekkan daun alang-alang di badan membuat gatal. Bekas pembabatan dua hari yang lalu setelah terkena embun akarnya pun sudah kuncup lagi, keinjak kaki yang tanpa alas rasanya sakit juga. Luka bekas kena pacul di kakiku belum sembuh sama sekali, kini kerja mendesak harus dilakukan, nggak boleh ngulo (seperti tabiat ular habis makan langsung tidur, tak mau bekerja lagi), nggak boleh makan tulang teman. Kalau alang-alang yang siap dianyam sudah cukup banyak dan bambu untuk gapit serta tutus (iratan bambu untuk tali) sudah tersedia, penganyaman pun dilakukan. Sambil menjaga ladang, kami melakukan penganyaman di gubug ladang. Lumayan juga, bekerja di tempat yang teduh tentu lebih enak jika dibandingkan dengan kerja membuka areal persawahan. Saat makan siang tiba kami tidak pulang ke barak untuk makan siang, tetapi makan siang dikirim ke ladang oleh tenaga dapur. Jam istirahat
126
jadi agak panjang, lumayan bisa tidur-tiduran di gubug, begitu kami lakukan berhari-hari. Di ladang tempat kami bekerja sudah ada tanaman singkong berumur 3 atau 4 bulan, penekunnya bernama Wasirin, dia memang dari keluarga tani, benar-benar anak tani tulen dan ngerti banget tentang bercocok tanam, terutama cocok tanam tembakau. Walau pun hanya sarapan kluwih rebus dari barak, kami tak berani menggangu tanaman singkong. Peraturan komandan harus dipatuhi. Tapi dasar kalau awak lagi apes blebes (jatuh sial), nggak merasa berbuat tapi harus menanggung akibat. Ceritanya begini. Suatu saat alang-alang yang siap dianyam sudah habis, pembabatan harus dimulai lagi. Aku dan pak Salimin kembali pergi membabat alang-alang. Selesai membabat kami bawa hasil babatan yang kemarin untuk dianyam. Biasanya kami sudahi kerja pagi itu sampai jam 11 siang untuk istrihat makan siang. Saat kami tiba di ladang kembaliWasirin tidak ada di ladang. Jam kerja kedua (jam 1 siang) kami berdua kembali bekerja. Nggak kuketahui sangkan pirane bilahi (datangnya musibah). Pak Komandan mendatangi gubug kami. Biasa di gubug ladang suka dibuat tambunan api untuk mengusir nyamuk dan menghangati badan. Apa yang dilakukan pak Komandan?. Beliau mengorek-ngorek tambunan api dan menemukan kulit-kulit singkong yang hangus terbakar api. Tentu saja nalurinya langsung bicara, pasti ada yang sudah membakar singkong. “Eh, kalian mencabut singkong ya?” “Nggak pak, kami nggak mencabut singkong” “Wong jelas-jelas bekasnya ada gini kok masih mungkir. Yang ada disini kan cuma kalian berdua, mau nuduh siapa?. Apa kalian nggak dengar pengumuman, bahwa mencabut singkong itu dilarang?. Budeg ya kalian?, atau memang kalian sengaja mau melawan perintah saya?. Ayo terus terang saja, sebelum lebih banyak lagi yang bisa kalian lakukan. Kalian benar-benar manusia yang nggak tahu terima kasih, nggak tahu diuntung!. Lihat itu temantemanmu yang macul membuka areal, kepalanya meletak kena terik matahari, punggungnya bongkok, tangannya bengkak dan lecet karena mengayun cangkul, tahu nggak?. Kalian dikasih pekerjaan ringan yang bisa dikerjakan sambil duduk di tempat teduh, eh kok masih nyolong singkong lagi. Mau makan tulang teman ya?. Ayo ngaku nggak, siapa yang bakar singkong ini kalau bukan kalian!. Kalian anggap apa aku ini?. Aku ini komandanmu yang berhak mimpin dan ngatur perutmu. Ngerti!” “Ngerti pak, tapi benar kami tidak mencabut dan membakar singkong ini?” “Eh lha, lalu siapa?, ayo jawab.” Plok plok, dua tempelengan buat dua kepala dihadiahkan, masing-masing satu tempelengan. “Ayo ikut aku, lari!”
127
Kami pun nurut dan segera berlari. Tongkat komando dari belakang menyodoki pantat kami berdua. Mau di kemanakan kami?. Siapa pula yang sebenarnya punya ulah ini?. Aku dan pak Salimin benar-benar nggak ngerti, kami nggak nyolong tapi kok kami harus menanggung hukumannya. Kami terus berlari, pak Komandan mengikuti dari belakang dengan tongkat komandonya terus menyodoki pantat dan punggung kami. Tiba di areal persawahan yang sedang dipacul perintah berhenti diteriakan dan kami disuruh memasuki areal persawahan. Kepala barak yang sedang memimpin kerja dipanggil, yang dipanggil pun segera datang. “Dua anak buahmu ini orang yang nggak tahu diri, kau beri tugas apa mereka?” “Bikin atep, pak” “Mereka ini nyolong singkong, mereka mau kenyang sendiri. Nggak mau tahu kesulitan orang lain karena itu mereka harus dihukum. Ngerti?. Batas mana yang belum dipacul?” “Batas sebelah sini, yang sudah digalengin ini, pak” “Awas ya, perhatikan. Barang siapa yang membantu kedua orang jelek ini macul di areal yang saya tunjuk, jangan tanya dosa!” “Pak?” tanya kepala barak “Apa?” “Kalau bantu kasih minum, boleh nggak pak?. Mereka kan nggak bawa bekal dari barak?” “Tidak!, kataku tidak ada bantuan buat mereka titik!”, “Ayo! “, kami dipanggil dan perintah untuk mulai bekerja pun diteriakan pak Komandan. Ya mau apa lagi namanya juga tahanan, bahkan sekarang sebagai orang buangan, sawah pun menjadi penjara. Kami segera menjalani hukuman, mengerjakan perintah. Areal setengah hektar dipacul dua orang dan harus selesai dalam tiga hari. Kerja kami ditungguin pak Komandan. Setengah berbisik aku bertanya pada pak Salimin, “PakMin, kira-kira siapa sih yang nyolong singkong?” “Ya nggak tahu, siapa?. Kan tadi kita pergi ambil babatan yang kemarin.” "Ah sial benar nasib ini!" Jam 5 sore lonceng dipukul, tanda waktu kerja selesai sudah. Tapi khusus untuk kami berdua hal itu tidak berlaku. Kami nggak boleh meninggalkan tempat, kerja tetap harus dilanjutkan dan kami tetap ditungguin. Ya ayolah!. Yang kerja dan yang jaga sama-sama kepanasan dan sama-sama kehausan, tidak minum. Ya ayo betah-betahan!. Rupanya capek juga bapak Komandan nugguin kami, haus juga barangkali?. Beliau nengok
128
jam tangannya. Sudah jam 6 rupanya, kami disuruh berhenti macul dan boleh pulang ke barak.
Tapi besok pagi selesai apél kami harus kembali ke areal untuk melanjutkan hukuman. Sesampai di barak aku jadi bahan tertawaan teman-teman lagi. Seperti halnya saat kami nyolong padi gogo. Kami (barak) pun nyolong singkong untuk sarapan pagi dan tambahan makan siang serta sore. Lucu kan bolehnya nanem sendiri kok dicolong. Di unit ada istilah “dua tak” (bensin campur), perut kami juga diisi “bensin campur” yaitu beras dan singkong. Kebetulan salah seorang koordinator unit adalah warga barakku sendiri, namanya Hamid. Bung Hamid menghadap komandan, mencoba memintakan maáf untuk aku dan pak Salimin, jika memang benar aku dan pak Salimin telah berbuat salah, mencuri singkong. Bung Hamid juga mencoba meminta pada komandan agar hukuman kami disudahi, karena tenaga untuk
membuat atap tidak ada lagi yang bisa kecuali kami berdua. Tetapi permohonan itu ditolak. “Sebagai komandan aku merasa tidak dihargai, peraturanku dilanggar, aku merasa disepelekan. Tidak!, tidak akan aku cabut hukuman itu, selain hati dan mauku sendiri yang akan mencabutnya. Ngerti?” Esok paginya kami berdua kembali menjalankan hukuman. Dengan bekal air seceret kami mulai bekerja kembali, memacul areal persawahan. Kali ini yang menjaga dan mengawasi kami bekerja adalah wakil komandan. Kalau teman-teman bisa pulang ke barak saat istirahat makan siang, kami berdua tetap di areal, makan siang untuk kami dikirim dari barak. Jam 11 siang kami istirahat makan siang, jam 1 kami kembali bekerja lagi.. Musim panas menambah beratnya pekerjaan. Jam 3 sore pak Komandan datang, beliau menggantikan wakilnya, menjaga dan mengawasi kami. Seperti kemarin kami bekerja hingga jam 6 sore. Begitu juga pada hari ketiga, kami tetap meneruskan hukuman, tetapi mungkin karena desakan dari koordinator, pada hari ketiga itu kami mendapat keringanan, discount kerja 1 jam. Jadi jam 5 sore kami sudah boleh pulang ke barak bersama dengan teman-teman yang lain. Sebelum pulang kami mendapat peringatan serius dari pak Komandan agar tidak mengulangi kembali perbuatan terlarang itu. Sore harinya aku dan pak Salimin dipanggil oleh pak Hamid. Pak Hamid meminta maaf pada kami berdua, katanya, "Pak maafkan saya, pak. Sebenarnya yang mencabut dan membakar singkong itu saya, pasalnya ada teman dari unit atas (unit-V) datang untuk
129
berkonsultasi dengan kami para koordinator di unit ini. Mereka datang untuk mencari tahu dan belajar dari pengalaman unit-unit yang lebih tua, mereka menganggap kita ini seniornya. Karena di barak nggak ada makanan apa-apa, saya ajak mereka ke ladang. Sekedar untuk menolak lapar saya cabutkan singkong. Dan kebetulan sampeyan berdua nggak ada, Wasirin juga nggak ada, kemana?” “Kalau Wasirin kami nggak tahu kemana dia, barangkali dia pergi cari bibit tembakau ke ladang barak 17. Kalau kami berdua ada di tempat pembabatan” “Ya begitulah pak, sekali lagi saya minta maaf.” “Ya nggak apa-apa sama teman ini, cuma besok-besok kalau nyolong mbok ya yang rapi agar teman yang lain nggak terkena getahnya, ikut nanggung.” Begitulah kejadian-kejadian yang biasa menimpa para buangan ini, datangnya tidak disangkasangka. Bebas dari hukuman, tugas menganyam atap kami teruskan kembali. Sambil menganyam aku mengobrol dengan pak Salimin. “Pak Min, biar aku dihukum kok hatiku merasa bahagia.” “Kok bisa begitu, apa sebabnya?” “Gini pak, dengan pengakuan pak Hamid kan terbukti bahwa kita tidak makan tulang teman, kita juga nggak ngulo. Yang kedua dengan keringat kita, kita bisa mbantu menolak lapar tamu dari unit atas, ya kan pak?” Di kemudian hari unit-V menjadi unit yang loh (berlimpah) dengan sayuran. Mereka banyak membantu Unit-II dalam hal subsidi sayuran, misalnya saja pada saat Unit-II punya hajat, mereka membantu dengan mengirim banyak sayuran hasil ladang mereka. PULAU BURU: Apél Malam Sejak berada di Salemba, badan ini seperti benda mati saja. Pagi dikeluarkan, malam dimasukkan dan dihitung pula setiap hari. Aku menghuni Salemba selama dua setengah tahun dan sepanjang dua setengah tahun itu pula aku dihitung setiap hari. Tetapi selama 40 hari aku ditahan di Nusa Kambangan tak sekalipun aku apél untuk dihitung, karena selama 40 hari kami dikunci di dalam sel, hanya dibuka saat antri jatah makan siang dan sore. Lain lagi saat di Inrehab, selama tinggal di kamp (komandan pertama) apél dilakukan sekali setiap hari, yaitu saat malam menjelang tidur antara jam 7 atau jam 8 malam. Setelah apél tidak ada kewajiban lagi yang harus dikerjakan dan kami bisa tidur nyenyak,
130
memulihkan tenaga untuk persiapan kerja esok hari. Tetapi lain halnya setelah kami tinggal di barak yang baru dengan komandan yang baru pula (komandan ke-2). Barak yang baru berdiri berderet di bibir sawah sepanjang jalan antara Wanatirta hingga Karsontani, kurang lebih sepanjang setengah kilometer. Apel untuk dihitung tetap berjalan, bahkan sekarang dilakukan sebanyak dua kali sehari, yaitu pagi hari sebelum aktivitas kerja dimulai dan sore atau malam hari setelah kami selesai bekerja. Apel dan penghitungan di pagi hari dilakukan di lapangan depan villa sedang sore hari dilakukan di barak masing-masing. Cuma celakanya dan ini sangat menjengkelkan adalah apel yang kedua ini dilakukan oleh tonwal pada jam-jam yang tak bisa ditentukan dan dihitung kapan apel akan dilaksanakan. Seolah apel dilakukan kapan saja mereka mau, sak kobere, semau gue!, sehingga sebelum tidur kami pun harus berjaga-jaga, menunggu apel. Kalau apel dilakukan pada jam 8 atau jam 9 malam itu berarti anugerah bagi kami semua. Tetapi apel bisa jadi dilakukan pada jam 11 malam, bahkan bisa juga pada jam 1 atau jam 2 dini hari. Mereka datang mendadak, jam-jam tidur untuk beristirahat, menghilangkan letih sehabis bekerja seharian pun jadi terganggu. Dengan senter di tangan mereka memasuki barak, menggedor-gedor dinding barak, berteriak dan menghentakan kaki sekencangkencangnya. Barak kami yang berbentuk panggung juga memperlambat gerak kami, dengan mata yang masih terasa sepet, menuruni anak tangga barak jadi tidak bisa cepat. Sehingga bentakan dan caci maki jadi hidangan telinga setiap kali apel. Tidak jarang gebukan kayu atau belahan rotan mampir menimpa punggung dan kepala kami. Di barakku pernah terjadi insiden penyiksaan terhadap seorang teman saat apél tengah malam dilakukan. Saat itu ketika kami sudah berbaris rapi, siap untuk dihitung, dengan sorot senter mereka memeriksa dan meneliti wajah kami satu persatu, mencari seseorang. Tiba di wajah yang mereka cari, ditariklah teman itu dari barisan. Dipukulinya temanku hingga puas dan setelah itu temanku diperintahkan untuk tiarap, dengan bengis mereka pun menginjak-injak punggung temanku itu sekuat-kuatnya, hingga melelehlah tinja, keluar dari anusnya. Apa pasalnya hingga si teman ini mendapat perlakuan seperti itu?. Gara-garanya sepele saja, hari itu sepulang bekerja dari ladang turun hujan gerimis, temanku pulang ke barak melewati pos jaga. Lalu seorang tonwal memanggilnya, si tonwal dengan alasan tidak memakai sepatu minta agar temanku menggendongnya menuju barak asramanya. Temanku menolak dan melawan perintah itu. Dan malam harinya terjadilah peristiwa tersebut.
131
Satu lagi kejadian yang sangat menjengkelkan. Karena apél malam dilakukan pada waktu yang tak menentu, kami jadi biasa mewajibkan piket malam secara bergilir, hal ini dilakukan untuk mengetahui kapan kami akan dihitung, sehingga petugas piket bisa membangunkan teman-teman sebaraknya untuk segera turun apél. Barakku nomer 12 berada di sebelah kanan, tidak lebih dari 20 meter jaraknya terletak barak-13. Agak lebih jauh lagi terletak barak-14. Begitu seterusnya, setiap antar barak berjarak 20 meter. Karena letak barak di tepi hamparan sawah, maka apél yang tengah dilakukan di barak-14 pun terdengar. Suara tapol terdengar sedang menghitung dirinya, “Satu, dua, tiga,” begitu seterusnya. Teman yang piket pun segera membangunkan yang lagi nyenyak tidur. Kami segera bangun menyiapkan diri dan tentu kepala barak segera menyiapkan barisan. Tapi apa yang terjadi?. Kami penghuni barak-13 dan 12 yang telah berdiri berbaris di halaman depan barak dan telah siap dihitung ternyata dibiarkan saja oleh mereka. Mereka berlalu di depan kami begitu saja tanpa menghitungnya. Begitulah nasib kami para tapol, layaknya benda mati yang bisa dipermainkan semau hati. Apakah ini yang namanya rehabilitasi. Begitukah cara manusia yang mengatakan dirinya Pancasilais memperlakukan manusia lain?. Sudah sesuaikah perilaku mereka dengan butirbutir Pancasila khususnya dengan sila ke-2, Kemanusiaan yang adil dan beradab itu?. Dikemudian hari sampai aku menuliskan ceritaku ini, yang namanya rehabilitasi tidak pernah aku temui dan aku jumpai. Komandan kedua masih mengkomandani kami. Persawahan belum semuanya siap ditanami. Paceklik sewaktu-waktu bisa datang mengancam. Simpanan pakaian pun sudah habis. Air dan lumpur yang menyebabkan teponya kain. Apa yang bakal terjadi untuk menghemat pakaian?. Apakah kami harus memacul tanah di sawah hanya dengan mengenakan koteka sebagai penutup aurat?. Jangan, janganlah hal itu sampai terjadi. Koordinator dengan seluruh jajarannya melakukan penggergajian kayu yang terkoordinasi. Hasilnya lumayan, setelah ditukar setiap orang mendapatkan dua lembar sarung baru. Satu lembar sarung digunakan untuk perlengkapan tidur dan selembar lainnya untuk baju kerja. Nggak urung aku pun menjadi tukang jahitnya. Dengan alat apa adanya, kupotong sarung dan kujahit dengan tangan, hingga berubalah selembar sarung
132
itu menjadi dua potong baju kerja. Paceklik benar-benar menghantui kami, tanaman singkong hampir habis, sudah tidak bisa digrilya lagi. Kalau ada tanaman jagung, itu pun belum siap panen. Jalan satu-satunya adalah grilya sagu. Sejak tinggal di kamp kami sebenarnya sudah melakukan pemukulan sagu, tapi itu hanya sambilan saja, memang pohon sagu masih banyak ditemukan di pinggiran rawa. Dengan berdirinya unit-unit baru, maka rawa sagu adalah sasaran yang paling dekat untuk bisa diambil sagunya dan dijadikan makanan. PULAU BURU: - Menjadi Satgas Pemukul Sagu Begitu kompleks pekerjaan yang harus kami lakukan. Papan hasil penggergajian menjadi alat pembayaran yang sah (gantinya uang). Barter barang kebutuhan dengan papan adalah jalan yang biasa dilakukan, walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi. Para tonwal juga melakukan perdagangan gelap dengan tapol, bahkan ada pula di antara mereka yang langsung melakukan penggergajian di hutan. Karena sulitnya mencari tenaga pemukul sagu, serta adanya larangan dari komandan, maka jarang sekali ada orang yang mau ditunjuk untuk menjadi pemukul sagu. Akhirnya aku nekat menawarkan diri, aku siap terjun ke rawa, perut lapar tak bisa menunggu.
Dengan beberapa teman yang sudah berpengalaman dan masih bersedia melakukan pemukulan sagu, aku pun masuk menjadi tim pencari sagu dengan gelar “Drs” (Dinas rawa sagu) Kalau diamati, rawa sagu dengan pohon sagunya itu hak milik siapa?. Sepertinya rawa sagu itu merupakan lahan tak bertuan. Pohon sagu yang tumbuh liar tanpa ditanam dan dirawat, bisa dijarah rayah oleh siapa pun. Pernah aku dengar pemerintah telah memberikan kompensasi kepada penduduk setempat agar pencarian sagu oleh tapol tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan kemarahan penduduk. Jadi sekarang tidak ada lagi pengakuan oleh penduduk bahwa rawa sagu dengan isinya itu semata-mata hanya milik mereka pribadi. Menurut ukuran fisikku selain menggergaji, mencari sagu adalah pekerjaan yang berat. Memasuki rawa sagu, pertama yang pasti ditemui adalah nyamuk rawa yang ganas. Begitu kaki menginjak tanah rawa, nggak usah menunggu waktu lama, kaki, lengan, muka, serta bagian badan lain yang terbuka segera terasa panas dan gatal. Tangan yang menepuk
133
lengan, kaki dan bagian-bagian lain segera saja terlihat merah, penuh dengan darah. Belum lagi bicara soal lintah yang tahu-tahu sudah menempel di telapak kaki. Namanya lintah, kalau sudah menempel sangat susah untuk dilepasnya, kecuali kalau perut si lintah sudah kenyang dengan darah. Yang masih bisa dihitung untung adalah rawa sagu tidak dihuni buaya. Barangkali saja kalau ada buayanya bukan tidak mungkin tentu sudah ada tapol yang menjadi penghuni perut buaya. Alhamdulillah buaya tidak ada di rawa sagu. Kecuali di unit-12 yang terkenal dengan nama Unit Buaya. Karena setiap barak punya “Drs”nya, tentu semakin lama pencarian sagu semakin jauh ke dalam. Menentukan pohon sagu yang bisa dipastikan banyak isinya tidaklah terlalu sulit. Mana kala batang sagu itu dipukul dengan benda keras menimbulkan suara nyaring itu tandanya pohon sagu sudah berumur dan siap ditebang untuk diambil sagunya. Menapaki rawa sagu juga membawa resiko tersendiri, kalau kita tidak hati-hati salah-salah kaki bisa terbenam ke dalam tanah rawa yang sangat dalam. Pelepah daun sagu pun bisa melukai telapak kaki dengan tepi daunnya yang tajam. Berjalan di rawa sagu tidak boleh lepas dari tongkat yang gunanya untuk menjajagi bagian rawa yang akan diinjak. Sebelum batang sagu dipukul dengan alat pemukul yang disebut “nani”, dibuatlah penampung cairan perasan sagu, yang disebut “goti”, yang dibuat dari batang sagu pula. Dikupaslah seperempat batang sagu itu, sedang tiga perempat sisanya dibagi menjadi tiga petak dan setiap petak dikeduk yang tidak sama dalamnya. Biasanya kedukkan di petak kedua lebih dalam dari kedukkan petak pertama dan kedukkan di petak ketiga adalah kedukkan yang terdalam. Hal ini dibuat dengan maksud untuk menampung cairan perasan yang berisi tepung sagu, dan ampas perasan biasa disebut dengan “hela”. Tepung sagu sangat mudah terpisah dari air. Jika petak pertama telah penuh dengan cairan perasan, cairan dengan sendirinya akan mengisi petak kedua. Begitu seterusnya hingga petak ketiga akan dipenuhi oleh sisa cairan dari petak sebelumnya. Di petak ketiga inilah tepung sagu mengendap, biasanya endapan sagu itu tidak langsung diangkat tetapi dibiarkan hingga keesokan harinya, baru diangkat.. Bila petak-petak goti sudah penuh terisi cairan sagu, maka tempat sagu pun pun siap dibawa pulang dan tempat sagu yang sudah siap dibawa pulang ini disebut dengan “tomang”. Tomang ini dibuat dari daun sagu pula, seberapa besarnya tergantung dari diameter dasar tomang yang diinginkan. Biasanya kami membuat tomang untuk tempat sagu basah sebanyak empat-lima rantang. Melintasi rawa sagu dengan memikul dua atau empat tomang sudah cukup berat. Batang sagu yang sudah lama terbuang dan mulai membusuk biasanya terdapat uret. Aku nggak
134
tahu jenis binatang macam apa itu, yang jelas sebelum mejadi binatang yang sebenarnya ia mengalami proses menjadi ulat (uret), ukurannya sebesar jempol tangan, bulat panjang dan berwarna putih penuh lemak, kepalanya kecil berwarna kecoklatan, tak seimbang dengan badannya. Biasanya kalau kami mendapatkan uret ini, kami masak dengan kacang panjang atau terong, yang kami bawa dari barak dengan bumbu garem dan lengkuas, rasanya cukup lezat. Saat istirahat kami makan dengan hasil keringat sendiri, kadang-kadang karena sangking gurih dan lezatnya si uret ini membuat kami tak menyadari bahwa kami sedang makan di tengah hutan rawa sagu, jauh dari barak dan sangat jauh dari lingkungan keluarga. Itulah keadaan yang mendidik dan melatih setiap tapol, situasi dan kondisi membuat kami terbiasa dan akhirnya menjadi bisa. Hampir segalanya kami bisa, kami bisa tahan lapar, bisa tahan menjalani hukuman, bisa tahan menerima pukulan, tendangan, bantingan, siksaan, pokoknya kami bisa tahan segala macam wong namanya saja juga tahanan! Dalam tim “Drs” ini akulah yang tertua, dan biasanya sebagai yang tertua maka anak-anak kalau ada keinginan selalu ngomong dan minta pertimbanganku. “Pak, gimana ya pak, seandainya hasil sagu ini kita sisihkan barang dua atau tiga tomang buat kita tukar dengan tembakau dan sabun cuci buat kita pak?, kita kan memerlukan barangbarang tersebut” “Ya boleh, asal sekedarnya saja nggak apa-apa, silahkan. Yang penting dan terutama adalah untuk keperluan barak, karena hasil kerja kita ini sangat ditunggu teman-teman lainnya. Dalam keadaan serba sulit begini kita bisa menyumbangkan tenaga dan keringat untuk orang banyak itu menurutku sangat mulia dan terpuji. Mari kita lakukan semuanya ini dengan tulus ikhlas.” Dan biasanya anak-anak mau memberikannya Kami mengkonsumsi sagu tidak seperti penduduk setempat. Penduduk setempat mengkonsumsi sagu dengan cara dibuat menjadi semacam bubur kental, tetapi lebih encer dari adonan lem kertas, namanya “papeda”. Cara memakannya, papeda ditaruh dalam sebuah piring lalu pinggiran piring itu ditempelkan di ujung bibir, dicubit dan ditariklah papeda itu dengan jari telunjuk dan ibu jari, masuk ke dalam mulut, kemudian ikan mujair yang sudah dibakar atau dicukai menjadi lauknya.. Oleh karena itu kalau pohon sagu hanya untuk dikonsumsi penduduk setempat saja ya seumur-umur memang nggak akan habis. Walaupun pohon sagu baru bisa dialap acinya jika sudah berumur tiga-empat tahun. Lain
135
halnya dengan cara tapol dalam mengkonsumsi sagu. Kami mengkonsumsi sagu dengan cara lain, tepung sagu yang sudah setengah kering dibuat seperti adonan tiwul, lalu adonan ini ditaruh pada tutup rantang atau misting, dan kemudian dikukus. Setelah 10 menit tutup rantang diangkat dan diambilah sagu yang sudah matang itu. Sagu masakan itu kalau masih panas (anget) bentuknya seperti karet mentah untuk bahan sandal. Tetapi rasanya cukup enak, empuk dan terasa adem di perut dibanding dengan singkong. Sagu masakan itu jika tidak habis dimakan, dibiarkan saja kering, mengeras. Nah jika mau dimakan lagi sagu itu dapat direbus, dibuat menjadi bubur dan dicampur dengan sayuran, garam, ikan mujair jika ada maka jadilah sagu sisa itu menjadi masakan baru, namanya adalah “burdog” alias bubur godog!. PULAU BURU: - Sayur Perwira Tidak selamanya setiap tapol menekuni pekerjaan yang sama, itu-itu saja. Alih pekerjaan sewaktu-waktu bisa terjadi. Begitu juga dengan diriku, gelar “Drs” pun aku serahkan kembali pada kepala barak, yang selanjutnya kepala barak menunjuk orang lain sebagai pengganti diriku. Setelah itu aku ganti pekerjaan, menjadi penekun ladang. Ini sangat baik agar kami dapat menjadi tenaga serba bisa. Di samping tanaman palawija, menanam sayuran mutlak harus dilakukan. Apa sebabnya?. Ya karena sayuran memang sangat kami butuhkan, di sisi lain ada aturan yang mewajibkan setiap barak secara bergilir harus setor sayuran ke dapur villa komandan. Itulah sebabnya ada istilah “sayur perwira”. Tak peduli apakah itu kacang panjang, buncis, terong, cabai, tomat dan lain sebagainya, kalau hanya untuk melayani kebutuhan villa saja tidaklah terlalu berat. Yang repot dan menjadi masalah adalah kalau ada buto ijo yang lepas dan grasak ladang. Mereka nggak mau tahu dan nggak mau ngerti. Apa pun yang nampak oleh mata mereka itulah yang diminta. Lihat kacang panjang, mereka minta, lihat terong ya minta terong. Apa lagi kalau lihat jagung, selain minta dibakarin mereka juga minta dipenuhi ranselnya dengan jagung hasil keringat kami. Berani menolak atau melawan?, boleh rasakan sendiri
akibatnya. Hal-hal semacam ini sebenarnya sudah pernah kami laporkan pada komandan, tapi laporan ya tinggal laporan saja, nggak pernah ada tindakan apa-apa dan watak buto ijonya selamanya nggak pernah berubah.
136
Ada satu cerita dari unit atas yang kebetulan Dantonnya orang Jawa. Suatu ketika sang Danton ini mendapat laporan dari tapol bahwa ada anak buah pak Danton berulah yang membuat para pekerja ladang tidak tenang. Akhirnya Lettu (Pelet Satu) yang sering minta hasil ladang dengan paksa itu dijatuhi hukuman yang setimpal, yaitu push-up 100 kali. Saat menjadi penekun ladang inilah aku sedikit banyak jadi mengerti bagaimana cara menanam singkong yang benar. Caranya adalah, batang singkong yang berumur dua-tiga bulan jangan di dangir dalam-dalam, karena kalau tanah dangiran menimbun di sekitar batang maka batang itu akan tumbuh dan mengeluarkan akar baru sehingga akar bawah yang merupakan calon umbi singkong tidak akan bisa membesar, tetapi justru tanah di sekitar batang harus dibersihkan, sekalian dengan membersihkan rumputnya. Demikian pula cara menanam ubi jalar. Kalau ruas-ruas batangnya sudah tumbuh akar dan dibiarkan maka akarakar itu akan mengganggu akar tunggal. Itu sebabnya batang ubi harus sering dibalik. Dari pengalaman menjadi penekun ladang inilah aku jadi mengetahui kalau tanah di Pulau Buru tidak terlalu subur. Kenapa?. Umumnya hasil panen tanaman yang berhasil baik hanya bisa sekali atau paling banyak dua kali panen saja, sedang untuk ketiga kali dan selanjutnya tanaman memerlukan banyak pupuk. Pernah kami menanam kacang tanah di ladang di tepi sungai Wai Apu, yang kami sebut dengan ‘Hutan Percobaan’ (HP). Saat panen pertama hasilnya sangat baik dan memuaskan, setiap satu rumpun kacang bisa berisi tiga puluh lebih butir kacang. Setelah tanah itu kami istirahatkan satu- dua bulan, kami ulangi menanami tanah itu kembali dengan tanaman yang sama, ternyata hasilnya sangat jauh dari harapan dan sama sekali tak memadai. Bayangkan saja pada panen kedua, setiap satu rumpun kacang hanya menghasilkan 4 sampai 7 butir kacang saja, bahkan ada juga yang hanya berisi 2-3 butir kacang perumpunnya. Jadi bercocok tanam di Pulau Buru ini nggak bisa lepas dari pupuk, bertanam jagung terlebih lagi sayuran peggunaan pupuk juga nggak boleh ketinggalan. Nah, karena persoalan pupuk untuk ladang inilah aku pernah mendapat hukuman, caci-maki, hinaan, bahkan juga pemukulan. Tapi nantikanlah barang sebentar, nanti ceritaku ini akan sampai juga kesana.
137
PULAU BURU: - Dinas Di Dapur Barak Kejenuhan dalam menekuni suatu pekerjaan bisa terjadi, seorang tenaga dapur suatu saat minta alih kerja, nggak tanggung-tanggung, ia minta alih kerja jadi tenaga penggergaji, apa pasalnya?. Karena kelompok penggergajian sama halnya dengan kelompok “Drs”, punya kesejahteraan. Jika jatah gergajian untuk unit dan barak sudah terpenuhi, kelompok penggergaji bisa melakukan penggergajian untuk kelompoknya, yah sekedar untuk mendapatkan tambahan sabun atau gula. Di dalam perkembanganperkembangan selanjutnya kelompok-kelompok semacam ini makin berkembang, terlebih lagi setelah uang beredar di lingkungan rehabilitasi ini. Sayangnya dinas dapur tidak punya kelompok kesejahteraan.Waktu kerjanya juga tak terukur, seharian tanpa henti. Jam 3 dini hari mesti sudah harus bangun, menyiapkan sarapan untuk lima puluh orang, apakah itu hanya singkong atau jagung rebus, apa lagi kalau sarapan itu berupa sagu yang penyajiannya agak repot dan tentu saja air untuk minum nggak boleh telat. Jam 11 siang, makan siang sudah harus siap, nasi campur (dua tak) harus dikirim ke ladangladang. Tiba di ladang harus mencabut singkong, mengupas lalu mencucinya di sungai hingga bersih, setelah itu baru kembali ke barak sambil membawa singkong buat sarapan besok pagi. Jam 4 sore, makan sore juga sudah harus siap, begitu terus setiap hari. Kalau pun ada keuntungan dinas di dapur barak, kelebihannya itu hanya bisa merasakan makanan terlebih dahulu sebelum yang lain menikmati, atau relatif orang-orang dinas dapur perutnya bisa lebih kenyang. Ya jadi nggak salah kalau ada yang merasa jenuh dan ingin alih tugas. Aku sendiri termasuk lama menjadi tenaga dapur, satu ketika singkong di ladang makin habis, sedang jagung belum juga berbuah, terpaksa tambahan makanan hanya terpusat pada sagu saja. Di belakang dapur sisa-sisa tebangan kayu masih terlihat malang-melintang. Setiap hari Minggu, jam kerja bagi para pekerja lain di luar petugas dapur hanya sampai jam 9 pagi, sisa jam selanjutnya di gunakan mereka untuk beristirahat. Nah pada hariMinggu itulah ada teman-teman yang secara suka rela menyingkirkan kayu-kayu yang malang-melintang di belakang dapur, kayu-kayu itu dipinggirkan, sekalian untuk persedian kayu bakar,
138
tanah yang telah terbebas dari kayu dan alang-alang, dipacul dan ditanami ketimun, hasilnya cukup baik, ya walau hanya untuk sekali itu saja, seperti halnya bercocok tanam di hutan (ladang). Kalau kerja di dapur agak senggang, aku paculi juga tanah di belakang dapur, ada tempat jalur sepanjang 5 meter, dan kebetulan juga ada bibit ubi walaupun sudah agak layu. Bibit ubi disebut “Ubi 70 hari”, artinya tanaman ubi yang berumur 70 hari sudah siap dipanen. Aku coba praktek nanem ubi, aku tanam bibit itu, seminggu kemudian bibit ubi sudah tumbuh baik, jagalah batangnya agar tidak menyebar ke jalur di sebelahnya. Saat sudah kelihatan ngegerumbyung aku balik batang itu, agar ruas-ruas batang tidak menempel dan mengakar di tanah . Begitulah aku rawat tanaman itu selama 70 hari sampai 3 bulan umur ubi ini pun siap di panen. Dan hasilnya. Masyaallah!, setiap batang berisi 3 sampai 4 buah umbi yang besarnya secengkir kelapa, dan hasil keseluruhan dari 4 jalur itu aku mendapat lebih dari 5 karung urea munjung. Bukan main senangnya hati ini, ternyata aku pintar juga bercocok tanam!. Dari hasil kerja sambilanku itu, teman-teman sebarak jadi bisa sarapan ubi jalar selama seminggu, lumayan!. Komandan ke-2 tugasnya berakhir dan Komandan ke-3 pun datang menggantikannya. Komandan yang satu ini menurutku adalah Komandan yang paling kejam, paling ganas. Tidak kurang dari tiga kali aku mendapat hukuman dari bapak Komandan yang terhormat ini. Panen padi yang bisa dikatakan berhasil untuk pertama kalinya memang dari Komandan ke-3 ini. Mengapa?. Pertama, memang gaya dan sistem yang diterapkan kepada para tapol adalah menekan, disiplin tanpa riserve. Kedua, hama padi seperti wereng, belalang, dan tikus belum siap menyerang. Merasa berhasil dengan sistem yang diterapkannya, maka bapak Komandan ini semakin bertambah-tambahlah ambisinya. Hampir setiap hari Minggu, sesudah apél pagi mesti ada corve membersihkan jalan atau membuka jalan baru, gagasan menciutkan jumlah barak dari 20 menjadi hanya 10 barak saja serta pembuatan barak baru mendekati villa pun datang dari beliau ini. Menciutkan jumlah barak tentunya dimaksudkakn untuk mengurangi tenaga kepengurusan, tidak boleh ada pemborosan tenaga. Setiap tenaga harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dari 20 kepala barak sekarang menjadi hanya 10 kepala barak, dan tenaga dapur yang tadinya berjumlah 80 orang untuk 20 barak sekarang menjadi 40 orang untuk 10 barak.
139
Lalu hasil pengurangan tenaga itu dikemanakan?. Ya masuk kelompok tenaga kerja lapangan di sawah. Untuk memperbesar produksi padi ada istilah “babat depan, bajak belakang”. Begitu maunya beliau ini, tanah tidak boleh istirahat. Bukan itu saja maunya bapak yang satu ini. Dikerahkan pula tenaga untuk membangun kolam rekreasi di dekat Wanatirta, dengan jembatan lengkung dari kayu, yang menghubungkan antara tepi utara dan selatan, di pinggir kolam di tanami pohon kelapa, dan di antara pohonpohon itu dibuat bangku-bangku tempat duduk untuk bersantai, menikmati pemandangan kolam.Wah, layaknya seperti sanatorium. Dengan rasa bangga dan puas diri yang tak habis-habisnya pak Komandan berkata, “Biar gegerlah Jakarta!” Tak sulit dibaca apa maunya bapak Komandan ini, tentu agar Lettunya itu segera berubah menjadi Kapten. Komandan ke-3 ini juga yang selalu mencari-cari kesalahan para tapol. Mungkin saja dia mengendus, entah dari mana sumbernya, ada kegiatan politik yang dilakukan oleh beberapa tapol. Maka dicarinya orang-orang itu. Diyakini ada orang-orang yang dicarinya itu, dan tanpa membuang waktu lagi dipindahkanlah tapol-tapol yang dicurigai itu ke tempat isolasi.Tempat isolasi itu dekat dengan unit IV, Savana Jaya. Dan teman-teman menyebut pengucilan itu dengan istilah, di “Jigo Kecil” kan atau di “Ancol” kan. Unit-IV itu sendiri kemudian dibubarkan, kemudian dijadikan pedesaan untuk tempat tinggal keluarga (anak-istri) tapol yang datang menyusul atau disusulkan. Di kemudian hari setelah aku dibebaskan, kuketahui dari cerita istriku bahwa ia dan anakku pun pernah dipaksa untuk berangkat ke Pulau Buru, menyusul diriku. Dan untuk menghindar dari paksaan itu, istriku terpaksa mengajukan rapak (cerai sepihak) ke Pengadilan Agama. Aku masih menjadi juru masak barak, kerja di dapur siang-malam. Suatu ketika pada jam istirahat makan siang, sesudah makan teman-temanku mencuri waktu untuk istirahat, tidur. Badan lelah, perut kenyang jadi lelaplah tidur mereka. Keenakan tidur membuat mereka nggak dengar lonceng kerja jam kedua dibunyikan. Seperti biasanya komandan berjalan, mengontrol sawah dari arah utara sampai selatan (arah barakku). Melihat komandan yang sedang melakukan inspeksi, teman yang berdinas di dapur berteriak sangat keras, "Awas ada komandan, ada komandan kontrol!". Mendengar teriakan, yang tidur pun jadi
140
gedandapan bangun, lari pontang-panting, bahkan ada yang ngumpet di belakang kandang ayam. Nah, karena suara ribut orang berlari itulah akhirnya sang komandan curiga, jadi berbelok arah ke barak. Saat itu kebetulan aku sedang mencuci beras untuk makan sore di dekat kandang ayam. Segera saja aku diteriaki oleh komandan; “Eh bung, siapa yang ngumpet di belakang kandang?” “Nggak ada pak,” aku berbohong, memang ada seorang temanku yang bernama Suhadi, ngumpet di sana. “Ada, saya tahu itu. Siapa?” “Nggak ada pak,” dan setengah berbisik aku berkata pada temanku, “Buk (panggilan untuk Suhadi) kalau mau lari, larilah, kalau mau menghadap, menghadaplah segera” "Benar nggak ada?" tegas pak Komandan “Benar pak, nggak ada” “Kemari kau, ayo cepat kemari,” teriak pak Komandan marah. Cucian beras kutinggalkan, segera aku menghadap pak Komandan. "Buta mata lo ya!, mau melindungi para penyabot?. Gue yang di sini tahu, bangsat!" Tangannya mengepal, keras. Bet!, aku gloyor sempoyongan. “Mau ikut-ikutan sabotase lo?, mau gue pindahkan? (di Ancolkan)”. Aku tak menjawab. Puas dengan perbuatannya, pergilah si bapak Komandan. Di hati aku mengucap syukur, aku telah melindungi teman. Biarlah aku dipukul para beliau, tapi aku nggak dimaki dan dijauhi teman. Kalau itu yang terjadi, harganya sangat mahal, seumur-umur nggak akan hilang. Ya seperti si Kasim, sak anak turune menanggung perbuatan orang tuanya. Hukuman ke-2 dari komandan ketiga ini juga. Saat itu panen besar segera tiba, aku lepas dari kerja dapur, kembali ke lapangan. Para tenaga kerja di sawah diperintahkan naik, baris, termasuk barak-barak lainnya. Kami semua naik, turut perintah. Berbaris rapi. Komandan meneliti setiap wajah, ditanyakannya siapa dan mana yang bernama Anang. Tidak ada yang menjawab. Karena memang Anang nggak ada di dalam barisan. Pak Anang adalah anggota barakku, dia kerja di ladang. Nggak ketemu yang dicari, apes lagi aku. Aku ditarik keluar barisan, di perkenalkan dan dipertontonkan kepada semua orang yang berbaris, katanya, “Inilah manusianya, calon Bupati Tangerang kalau PKI menang!. Kalau Bupatinya saja macam begini, bagaimana Lurahnya.”
141
Sungguh menyakitkan kata-kata itu. Ya begitulah manusia tapol diperlakukan oleh bangsanya sendiri, di negerinya sendiri. Tak urung sejak kejadian itu panggilan “Pak Bupati” menjadi candaan di barak. Bagus, jadi nggak sepi. Sak karepmu bapak-bapak, kowe gek kuwoso (semaumulah kau sedang berkuasa). Tugas Komandan di setiap unit itu umumnya selama satu tahun. Enam bulan pertama boleh cuti, kembali ke Jakarta. Aku nggak pernah tahu dan mengerti, kenapa dan bagaimana, tapi sejak komandan ke-3 ini berlaku upeti. Setiap komandan yang cuti apa lagi kalau mau di aplus, kami para tapol mesti menyediakan sangu berupa papan beberapa puluh meter kubik. Aku nggak tahu persis berapa jumlahnya, karena urusan upeti itu urusan koordinator. Tapi barangkali tidak kurang dari 30 sampai 50 kubik. Lalu berapa untuk wakil komandannya?. Ya nggak jauh berbeda tentunya. Jelas banget sekarang, ketika pertama kali aku menginjak unit ini dan membaca papan nama yang terpampang bertuliskan, “Instalasi Rehabilitasi”. Terpikirkah kami akan direhabilitasi?. Oh nggak!, bukan itu, yang akan terjadi nanti justru kami bakal dieksploitasi. Dan dugaan ini benar sepenuhnya. Kami tetap tapol!, kami tetap tahanan!. Yang berubah adalah, kalau di Salemba kami ditahan dan diberi makan. Sedang sebagai orang buangan di Pulau Buru, kami tetap ditahan tapi kami harus memberi makan dan melayani segala kebutuhan yang menahan selama kami dianggap bisa dan mampu. Hebatkan!. Budak memang harus melayani majikan, tapi pantaskah jika budak juga harus nyangoni majikan pulang kampung?. Tapol selalu dicap sebagai anti Pancasila, tetapi mereka yang mengaku Pancasilais bertingkah polah seperti itu, adakah kemiripannya dengan sila-sila Pancasila yang ditegakkan dengan murni dan konsekwen?. Ya pertimbangkanlah sendiri. Manusia tetap manusia, bagaimanapun hebatnya suatu konsep, ilmu dan teori, pada akhirnya nasibnya terletak di tangan manusianya itu sendiri. Kalau kebetulan pribadi manusianya itu benar (kebetulan benar) maka nasib segala macam teori tadi tidaklah akan jauh menyimpang. Ada kejadian yang patut dicatat, di unit atas, aku lupa unit berapa. Saat pak Komandan akan cuti, kepada beliau disediakan juga sangu, oleh-oleh untuk keluarga beliau. Papan
142
beberapa puluh kubik disediakan, rakit untuk mengangkut papan pun siap berangkat. Setelah semuanya siap, berangkatlah rakit itu. Sampai di kaki air (muara Wai Apu) tali rakit tiba-tiba putus, di terjang arus. Papan pun buyar berantakan. Saat menerima laporan tentang peristiwa itu pak Komandan hanya mesem seraya berkata, “Yo wis le, ora opo-opo, kowe wis melaksanakan perintah, nanging Gusti Allah ora ngeparengake, (Ya sudahlah nggak apa-apa, kalian sudah melaksanakan perintah, tapi Tuhan tidak mengijinkan dan meridhoinya)”. Tapol itu juga manusia yang tahu etika, kalau ada petugas yang seperti ini, apakah keliru kalau kami menghormati perilaku dan sikapnya?. Akhirnya sampai tugasnya berakhir pak Komandan ini tidak mau mendapat sangu dari tapol. Terima kasih pak Komandan!. Panen raya berlangsung, wakil Komandan terus-menerus nongkrongin kami bekerja. Dengan matanya yang kedep tesmak (tanpa melepas pandangannya) mengawasi kami bagaimana membabat dan merontokkan padi. Panen tidak bisa diselesaikan dalam waktu dua-tiga hari, berminggu-minggu bisa terjadi. Biasanya sebelum berangkat memanen ada kerja corve, pagipagi mengambil papan di tempat penggergajian untuk dibawa ke unit. Setiap barak punya penggergajian yang berlainan tempat dan jauhnya dari unit. Aku pun tidak terkecuali, harus ke hutan penggergajian. Membawa papan yang masih basah karena baru turun dari galangan, papan itu berukuran panjang 4 meter dengan lebar 10 centi meter dan tebal 3 centi meter, beratnya lumayan juga, apa lagi melewati jalan setapak dengan embun pagi membasahi badan. Sesampai di unit tenaga pun tinggal separuhnya. Panen adalah segalanya, nggak boleh lamban. Babat, numpuk, ngerontok dan ngangkut ke lumbung adalah bagian-bagian dari pekerjaan memanen. Badanku terasa panas, air kencingku berwarna merah. Rasanya sudah nggak sanggup untuk meneruskan pekerjaan. Kuberanikan diri melapor pada koordinator, aku sakit. Pak Pangat (koordinator) membawaku ke bapak wakil Komandan, memberikan kesaksian bahwa aku sakit dan mohon izin untuk beristirahat. Izin memang diberikan, tetapi tatapan matanya menteleng, mukanya sama sekali tak sedap dipandang. Peristiwa ini rupanya dicatat oleh beliau. Aku pulang ke barak. Pak Sugi petugas kesehatan memberiku obat penurun panas. Aku usahakan juga meminum rebusan daun kumis kucing, yang memang ada ditanam di pagar. Dari sejak memasuki Pulau Buru memang ada teman-teman yang mengerti tentang tumbuhtumbuhan yang bisa berguna untuk pengobatan. Akar alang-alang, akar aren, akar
143
paya gantung, daun remujung kunyit yang bisa ditemukan di pulau ini direbus dan siapa saja yang mau dan membutuhkan boleh meminumnya. Istimewanya penyediaan jamu-jamuan ini adanya bukan di barak, tapi di dalam hutan atau di ladang tempat kerjanya. Jadi kepada siapa saja yang kebetulan lewat dan mampir bisa meminumnya. Teman-teman dari Jawa Barat punya resep obat yang bisa mengeluarkan batu kencing. Ramuan berupa santan kelapa yang dikasih gula merah, dan sedikit dicampur dengan sabun bisa mengeluarkan batu kencing bagi pengidap kencing batu. Dua-tiga kali sehari aku meminum rebusan daun kumis kucing. Aku tidak mengidap penyakit perempuan (penyakit kelamin), selama hidupku aku nggak pernah merasakan perempuan lain, kecuali istriku sendiri. Pernyataan ini kuberikan pada petugas kesehatan yang mengkhawatirkan aku sedang mengidap penyakit perempuan. Panen raya usai sudah. Dimabuk keberhasilan, nafsu untuk segera tanam lagi menyala, seperti mengejar maling. “Segera bajak di belakang yang sudah dibabat!”. Senggang dua bulan sesudah panen, musim tanam dimulai lagi. Sudah kuceritakan Pulau Buru tidak terlalu subur, menanam tanpa pupuk hasilnya muspro, kembali modal juga sudah beruntung. Tanah seolah hanya sebagai tempat berpijaknya akar, makanan yang dihisap akar perlu ditransfer dari luar. Masa tanam akhirnya selesai. Padi yang baru ngelirir nggak boleh kerendam air, airnya cukup macak-macak saja. Setelah akarnya kuat baru boleh diairi. Saat padi berumur 40 hari harus dilandak (seperti dangir) tanaman darat. Matun kadang-kadang memerlukan tenaga banyak, nggak bisa dikerjakan oleh penekun sendiri. Ada petakan yang rumputnya tebal, tanahnya keras sehingga rumput susah dicabut. Kepala barak memerintahkan agar petakan yang tanahnya keras dan rumputnya susah dicabut ditinggalkan saja dan sisakan barang seember pupuk buat ladangnya Wasirin. Anggap saja matun selesai. Dan kami lakukan perintah kepala barak itu. Selagi senggang pekerjaan penekun, sore hari aku kena giliran piket villa. Pulang pagi dari piket, kepala barak minta supaya aku kembali ke villa mewakilinya untuk mempertanggung jawabkan soal pupuk yang disisakan untuk ladangnya Wasirin. Rupanya kemarin sore sewaktu aku masih ada di sawah, wakil Komandan melakukan swipping, mencari kemungkinan adanya barak-barak yang mencuri gabah atau menyimpan pupuk untuk ladangladang. Perladangan memang bukan proyek Inrehab, perladangan merupakan proyek setiap barak,
144
proyek yang tidak resmi terserah barak masing-masing, mau meladang atau tidak itu urusan barak dan komandan nggak mau tahu soal itu. Sedang proyek Inrehab yang sebenarnya adalah persawahan. Selesai sarapan pagi aku kembali ke villa, karena masih pagi komandan dan wakilnya belum melakukan kegiatan apa-apa, beliau-beliau masih santai di villa. Aku datang dengan ditemani oleh pak Oei (Oei Ho Liang), seorang Tionghoa keturunan, kelahiran Tegal untuk menjadi saksi, siapa tahu ada hal-hal yang memang memerlukan kesaksian. “Selamat pagi pak,” aku menghormat sambil membungkukan badan.Wakil komandan duduk di kursi memandangi wajahku. “Pagi,” jawabnya ketus “Katanya ada panggilan dari bapak, kepala barak memerintahkan saya menghadap bapak” “Kamu dari barak-12 ya?” “Ya, pak” “Kamu penekun sawah?. Ngerti tentang persawahan?” “Ya pak, saya penekun sawah, tentang persawahan ya sedikit-sedikit saya ngerti.” “Kamu ngerti gunanya pupuk untuk tanaman?” “Gunanya pupuk ya untuk menyuburkan tanaman, pak” “Kalau pupuk berguna untuk menyuburkan tanaman dan masa tanam sudah selesai, kenapa aku menemukan seember pupuk di barakmu?. Ayo jawab!, untuk apa pupuk itu disimpan?. Kamu mau sabotase ya?. Aku tidak lupa dengan mukamu. Kamu adalah orang yang tempo hari berpura-pura sakit, mengaku air kencingnya merah segala, sedangkan orang lain sibuk menyelamatkan panenan. Jangan coba membodohi saya, di sini nggak ada perempuan, jadi nggak mungkin ada penyakit perempuan di sini.” “Maaf pak, kalau boleh saya menjelaskan” “Mau pakai alasan apa kamu?” “Begini pak, memang ada pupuk yang disimpan karena ada dua petak kedukan yang rumputnya tebal dan tanahnya keras. Dua petak ini belum selesai dioyos (matun), kalau ngoyosnya belum selesai diberi pupuk juga percuma, nanti rumputnya malah semakin tebal karena menghisap pupuk. Jadi ngoyosnya harus diselesaikan dulu pak, baru nanti diberi pupuk, karena itu kami simpan seember pupuk.” “Benar pak,” pak Oei menimpali. “Ah omong kosong itu!. Aku ngerti sebenarnya kalian simpan pupuk itu untuk ladang kalian. Kalau pupuk itu memang untuk sawah, kenapa nyimpannya begitu rapi?. Ngerti nggak kamu kalau persawahan itu merupakan proyek utama Inrehab ini?. Dasar memang yang namanya PKI itu sampai kapan pun tetap saja PKI, dari dahulu kerjanya ya menyabot!. Nih tebusannya!," lalu bet! bet! dua tempelengan mampir di kepalaku.
145
Komandan menyambung dengan perkataannya, "Ini pula manusianya yang dicalonkan jadi Bupati Tangerang kalau PKI menang.” Setelah itu kami berdua pulang kembali ke barak. Aku berjalan sambil memegangi kepalaku yang terasa panas dan kemeng. Entah masih berapa kali lagi aku harus merasakan kepalaku ini menjadi landasan pukulan para beliau. Yang pasti selama aku masih berada dalam kungkungan mereka, maka selama itu pula kepalaku ini harus siap menjadi bemper hantaman mereka, siap menjadi kopyor!. Ya nggak apa-apa memang ini sudah menjadi nasibku. Kepala barak dan Wasirin selamat dari amukan wakil komandan, kepala barak tetap bisa memimpin barak dan Wasirin nggak terganggu menjadi penekun ladang. Sebagai manusia biasa yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa, kecuali kelebihan kebodohan dan ketidak tahuan, sering kali pikiran dan batinnya yang menonjol ke atas, mengadukan segala hal kepada yang patut menerima pengaduan. Siapa?. Siapa lagi kalau bukan Allah sang maha pencipta dan maha mengetahui. Dua hari setelah menghukumku, entah mengapa bapak wakil komandan yang terhormat ini bisa tersesat, tak tahu jalan pulang ketika memasuki hutan. Mungkin ia masuk ke hutan itu untuk melakukan sidak (inspeksi mendadak), bisa inspeksi galangan penggergajian atau inspeksi di gubug penderesan (tempat membuat gula aren). Hingga habis isya bapak wakil komandan ternyata nggak juga kembali ke villa. Waktu itu di Inrehab belum ada warung, kino apa lagi bar tempat untuk kongkow-kongkow. Lalu kemana dia?. Hal ini membuat bapak Komandan jadi agak panik, kecurigaannya pun timbul. Maka diperintahkannya seluruh kepala barak dan koordinator untuk mencari sang wakil. Pasang petromak, bawa senter, telusuri hutan dan temukan wakil Komandan, hidup atau mati. Pak Komandan sendiri memimpin pencarian itu. Tiba di pinggir hutan, pistol pun diletupkan beberapa kali ke atas, cahaya senter menembus kerimbunan hutan, lonceng besi juga ramai dipukul. Tetapi yang dicari tetap nggak ngasih sambutan. Hal ini berarti yang dicari jauh dari lokasi, dan hingga malam berakhir sang wakil komandan tetap nggak ditemukan. Akhirnya baru sesudah para penggergaji memasuki galangan, kira-kira jam 8 pagi, beliau pun ditemukan dalam keadaan lusuh dan pucat, masih dengan pakai dinas lengkap yang terlihat kotor serta muka yang penuh dengan bintik-bintik, bekas gigitan nyamuk.
146
Aku nggak tahu apakah beliau mengucapkan terima kasih atau nggak, pada orang-orang yang menemukan dan menolongnya, itu urusan beliau. Sudah untung dia bisa kembali ke villa dengan selamat, nggak di seruduk celeng. Apakah peristiwa itu merupakan ganjaran atas kesewenangwenangannya selama ini?.Wallahhualam!. Mudah-mudahan saja begitu. Jelas memang pupuk nggak datang dengan gratis, begitu juga dengan obat-obatan pertanian, seperti semprotan dengan endrin, bubuk furadan, semuanya nggak datang dengan cuma-cuma. Itu semua merupakan “Saprodi” (sarana produksi) yang harus dibayar. Lantas dari mana uangnya?. Ya dari hasil panen padi kami semua. Padi hasil panen setelah disisihkan untuk keperluan kami makan sehari-hari sisanya dijual untuk saprodi. Di jual kepada siapa?, oleh siapa?, dan berapa rupiah harga jual padi per-tonnya?. Kami semua nggak ada yang tahu dan mengerti, karena semua itu adalah urusan bapak Komandan dan jajarannya.. Hanya sekali kami pernah mendengar, ketika Komandan Mako (Markas Komando) memberikan penjelasan, “Kalian sekarang sudah menghasilkan, pemerintah tidak mungkin lagi mensubsidi pupuk dan obat-obatan, saprodi harus kalian bayar sendiri. Karena itu hasil panen yang kalian peroleh sesudah disisihkan untuk keperluan makan kalian sehari-hari sampai panen mendatang harus dijual, dan berhubung kalian belum bisa langsung menjualnya sendiri kepada pembeli, maka kami siap membantu, menolong kalian untuk menjualkannya. Tetapi terus terang untuk itu, tentu saja kami harus mendapat imbalan. Jadi sebagai imbalan kami mendapat 30% dari seluruh hasil penjualan padi kalian. Bagaimana, kalian setuju dan bisa menerima?” “Setuju!” jawab kami beramai-ramai. Eh baik hati benar bapak-bapak ini, kok siap membantu dan menolong kami. Berapa banyak hasil panen secara keseluruhan?. Memang aku nggak pernah punya catatan data yang akurat tentang berapa banyak padi yang kami hasilkan setiap panennya. Tetapi secara hitungan kasar, kira-kira ya begini. Untuk keperluan makan sehari setiap kepala mendapat jatah 200 gram beras, di Unit-II ada 1000 kepala, jadi setiap hari diperlukan ; 200 gram X 1000 = 200.000 gram atau 2 kwintal beras. Ini berarti hingga panen mendatang, kirakira 4 sampai 6 bulan kami harus menyimpan beras sebanyak ; 2 kwintal X 30 hari X 6 bulan = 360 kwintal atau sama dengan 36 ton beras. Setiap satu ton gabah kering menghasilkan 7 kwintal beras. Artinya kami memerlukan 360 : 7 = 50 ton gabah kering.
147
Dan untuk membayar keperluan saprodi anggap saja sama dengan keperluan makan kami yaitu 50 ton gabah kering. Total jendral minimal kami memerlukan 100 sampai 120 ton gabah kering setiap panennya. Areal sawah Unit-II tercatat ada 70 hektar, kalau minimal setiap hektar sawah menghasilkan 2 ton gabah kering, maka para tapol memiliki gabah kering sebanyak 140 ton. Jika hasil itu di kurangi 100 sampai 120 ton berarti masih ada sisa gabah 20 sampai 40 ton, dan setiap tahun kami ada 2 kali panen, jadi setiap tahun para tapol mempunyai simpanan gabah kering sebanyak 40 sampai 80 ton. Nah inilah yang dijual lewat bapak-bapak penolong. Hasil penjualan dipotong 30%, hasil riil yang sampai ke tangan para tapol sebanyak “satu potong celana kolor”. Dan hal ini terus dilestarikan, jadi sampai budeg, status tahanan nggak bakal berubah. Penindasan dan eksploitasi semacam inilah yang barangkali menjadi salah satu pemicu terjadinya pelarian beberapa tapol. Peristiwa ini mempunyai ceritanya sendiri, aku tak mampu menceritakannya, hanya yang kuingat akibat dari peristiwa itu sungguh amat mencekam. Waktu itu tengah malam, jam 2 dini hari pelarian beberapa tapol terjadi, kami semua diperintahkan apel, berbaris di lapangan hanya boleh mengenakan celana dalam saja, di seberang jalan, di depan lapangan senapan mesin telah siap menyalak, salah hitung dan salah langkah, nyawa kami menjadi tukarannya. Untunglah Komandan Mako saat itu, bapak Kolonel Samsi cepat bertindak. Beliau mengatakan, “Pulau Buru ini memang teritorial Kodam XVI Patimura, tapi wilayah unit ini adalah wilayah Mako. Aku yang berkuasa di sini. Ayo Danton, perintahkan anak buahmu kembali ke barak. E, para koordinator dan kepala barak kumpul, warga kembali ke barak masing-masing. Bubar!” Kami pun kembali ke barak masing-masing. Tindakan selanjutnya, kami dikenakan konsinyus selama satu bulan. Selama satu bulan itu tak ada kegiatan. Jatah beras dari gudang pun diantar oleh petugas yang ditunjuk. Lumayan, sebulan istirahat, makan, tidur. Sawah kosong, ladang tutup, hutan juga sepi. Dalam waktu konsinyus ini aku pacul sebidang lahan di samping dapur. Pak Warsan, penekun ladang Walonangan nekat gremet ke ladang, mengamil bibit terong. Aku tanam bibit itu, kusirami setiap sore. Terong itu jenis terong biru, panjang-panjang. Aku senang banget, setiap metik bisa dapat sepikul. Seminggu sekali terong dipetik, hasilnya sepikul. Lumayan bisa makan sayur terong
148
sampai konsinyus dicabut. Selama sebulan ladang nggak terawat, jadinya rusak. Piaraan ayam para penekun, mati semua. Benar dugaan teman-teman, para pelari yang nggak kuat dan nggak tahan kembali, menyerahkan diri ke unit. Saat diinterogasi mereka menjelaskan, mereka nggak ada niat lari untuk melakukan perlawanan, “Kami lari hanya untuk menghindar dari tekanan dan paksaan bekerja yang tanpa henti. Kami ingin bebas.” Ada juga untungnya, sejak ada pelarian itu sikap dan perilaku para beliau jadi agak kendor, nggak boleh lagi ada istilah panggilan tapol, tapi jadi “warga baru.” Unit-II dianggap unit bandel, tetapi juga salah satu unit yang berhasil terutama bidang pertanian padi, ini bisa menjadi catatan bahwa, Unit-II pernah memberikan bantuan beras pada Unit-XIII di musim paceklik. Tahun 1974, di Unit-II ada televisi, tv itu dikirim dari Jakarta atau dibeli sendiri oleh unit, aku nggak tahu. Kalau dikirim dari Jakarta, kenapa unit atas kalau hari Minggu mengalir ke Unit-II untuk menontonnya?. Ini kan menunjukkan bahwa unit atas belum mempunyai tv. Tv mulai disetel dari jam 5 sore hingga jam 10 malam. Saat pembukaan acara TVRI selalu diawali dengan lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Bagi para penonton yang berdiri harus bersikap sempurna, yang duduk harus diam dan suasana hening tercipta. Penonton tv merasa senang dan terhibur melihat yang namanya iklan sabun mandi, dengan bintang perempuanperempuan cantik, perempuan dengan setengah dada telanjang, paha, dan betis mulus diusap dengan yang namanya hand body atau penghalus kulit, sungguh erotic. Musik dangdut dengan goyang pinggul adalah tontonan yang mengasyikkan, maklum sudah hampir 10 tahun kami nggak ketemu dengan tontonan yang seperti itu.. Tapi jam 7 malam saat warta berita, volume tv dikecilkan, siaran berita di TVRI menjadi bisu tak bersuara, demikian juga pada saat acara Dunia Dalam Berita, pada jam 9 malam, tv kembali bisu lagi dan setelah itu tv dimatikan, tontonan selesai. Begitulah kami nggak boleh ngerti berita, putus hubungan dengan dunia luar, kuping kami ditutup, mulut disumbat. Hanya tahu dengarkan dan jalankan perintah. Si tapol sendiri segera membuka mulutnya dan berucap “nuwun inggih sendiko dawuh.” (siap menjalankan perintah). Aku hampir nggak pernah menonton tv sampai selesai dan menontonnya juga nggak setiap
149
hari. Aku kurang menyukai musik pop atau dangdut atau lainnya yang aku nggak mengerti, kalau keroncong masihlah sedikit-sedikit aku mengerti. Kalau gamelan aku sangat menyukainya walaupun aku juga nggak ngerti banget. Tapi kupingku merasa enak terbuai oleh suara alunan musiknya dan larasnya gamelan-gamelan itu. Kalau ada tontonan wayang, aku berusaha untuk menontonnya, walau tontonan itu ada di unit lain, tentu saja kalau dapat ijin. Dan seingatku, aku nonton tv sampai dini hari hanya pada saat adanya Kejuaraan Sepak Bola, Piala Dunia, yang dijuarai oleh Argentina dengan Maradona dan Mario Kempes bintangnya. Berbarengan dengan adanya tv, toko pun diadakan. Toko (disebutnya koperasi) di Unit-II merupakan pusat perbelanjaan bagi seluruh unit. Uang yang beredar menyebabkan Unit-II disebut dengan "Unit Dollar". Rokok, sabun, gula, kopi, susu, jaket, selimut, jam tangan, sampai studio foto diadakan. Bagi barak yang ingin membeli tape recorder pun bisa memesannya di koperasi, tapi hanya tape jangan radio. Aku pernah menemukan sobekkan koran bekas pembungkus, aku pungut sobekkan itu, apa jadinya?. Sobekkan itu dirampas. Ada isinya apa sih sobekkan koran itu?, nggak ada isi berita apa-apa kecuali iklan shampoo. Modal toko itu milik siapa?, ya nggak ngerti. Kalau modal itu milik tapol mestinya, setiap tutup tahun kan ada pembagian keuntungan. Nyatanya sampai hari pembebasan, pembagian keuntungan toko nggak pernah terjadi. Barang-barang toko yang serba menarik itu menyebabkan para tapol lupa membatasi diri. Sesudah kerja unit, waktunya digunakan untuk kerja pribadi, apakah itu kelompok penggergaji, menanam bawang, piara bebek, bikin kerajinan ukiran Garuda, keranjang rotan, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak kegiatan yang paling banyak menyita waktu adalah piara bebek. Bebek-bebek itu nggak mau bertelur kalau nggak dikasih empan ikan. Oleh karena itu banyak teman-teman yang nggak lagi memperdulikan waktu dan kesehatannya, sering sampai hari gelap pun mereka tetap ngubek parit, mencari ikan buat empan bebekbebeknya. Gogo ikan mujair itu gampang, mujair adalah ikan yang bodoh, dia biasa membenamkan diri dalam lumpur, kalau diinjak kaki pun dia diam saja, nggak bergerak, jadi gampang ditangkap. Awal kami datang ke pulau ini mujair sangat banyak, bisa dikatakan setiap genangan air ada ikan mujairnya. Tetapi dengan berjalannya waktu makin kesini ikan mujair semakin
150
jarang dan sulit didapatkan. Untuk itu setiap barak piara ikan di empang. Karena sulitnya mencari ikan, piara bebek pun jadi nggak produktif. Banyak diantara mereka yang menderita penyakit lever. Penyakit yang satu ini nggak ada obatnya, kecuali mati. Tepi Wai Apu menjadi saksi bisu, ladang kami menjadi makam rekan-rekan tapol yang nggak beruntung. Hanya saja berapa lama umur makam itu bisa bertahan keberadaannya. Seperti telah kukatakan di muka, tanah di Pulau Buru itu tidak bertulang, erosi terjadi setiap saat, pohon kluwih (timbul) yang tadinya tumbuh di ladang HP, beberapa bulan kemudian sudah berada di tengah sungaiWai Apu. Aku juga punya kerja sampingan, memelihara ayam, lebih gampang, dibiarkan lepas, makan ceceran nasi atau gabah sudah bisa bertelor. Aku tidak menyalahkan teori tentang perkembangan masyarakat. Mulai dari masyarakat yang paling sederhana, kerja kolektif terasa kental, saling bantu-membantu berlaku setiap saat. Kehidupan masyarakat di Pulau Buru pun menunjukkan hal itu. Mereka pergi berburu bersama-sama. Hidup berkelompok di suatu tempat (kampung dengan kepala sukunya), kalau pindah juga bersama-sama. Biasanya perpindahan terjadi mana kala ada anggota kelompok itu yang meninggal. Masyarakat tapol juga mengalami perkembangan, pelan-pelan tanpa disadari perubahan terjadi juga. Makin hari keinginan untuk mendahulukan kepentingan pribadi makin tampak. Ada juga contoh-contoh yang bisa di ketengahkan. Penyadapan aren untuk gula nggak sepenuhnya disetorkan ke barak, penumbuk sagu pun begitu, penyulingan kayu putih secara hitung dagang, barak bisa dikatakan malah merugi, itu semua adalah konsekwensi dari perkembangan itu sendiri.. Secara keseluruhan penyimpamgan itu relatif kecil dan bisa dikatakann wajar, dan hidup bergotong-royong masih dominan. Nggak tahu ya jika seandainya di pulau ini ada perempuan atau sengaja didatangkan perempuan liar (pelacur), barang kali saja perkembangan akan mengalami perubahan percepatan ganda. Untunglah itu nggak terjadi. Komandan yang kuanggap paling ganas akhirnya habis juga masa dinasnya. Dan segera diganti dengan komandan baru. Sebelum selesai tugasnya sempat pula beliau memindahkan Wasirin ke Unit-XV. Barakku merasa kehilangan tenaga yang sangat produktif dan jujur. Aku sempat dipamiti oleh Wasirin, dengan penuh haru ia berkata, “Pak, saya dipindahkan ke Unit-XV, selama saya kumpul dengan bapak, kalau ada kesalahan saya minta maaf dan untuk kali ini saya mungkin mengganggu bapak.”
151
“Rin, kau nggak punya salah padaku, tapi kalau kau perlu minta maaf, ya boleh-boleh saja, ya saya maafkan. Lalu kau mau mengganggu apa?” “Gini pak, buat kenang-kenangan, tolong jaket bapak buat saya saja, buat penahan dingin pak.” Aku ketawa kuusap-usap kepalanya seperti pada anak kecil, “Ya, boleh-boleh, tapi jaket itu sudah jelek, malulah aku ngasih tanda mata kok barang yang sudah amoh.” “Nggak apa-apa pak, yang penting barang itu dari pak Nur, bukan dari orang lain.” “Ya baik,” kuambil jaket itu, “Nih Rin, sebenarnya jaket ini juga pemberian orang, saat aku masih jadi penghuni Blok-G, Salemba dulu. Aku sudah kenyang memakainya, sekarang giliran kau yang memakainya. Ayo angkat tanganmu,” dan kukenakan jaket itu pada badannya, layaknya seorang istri mengenakan jas pada suaminya. “Rin, kami akan kau tinggalkan, sebenarnya kami merasa berat dan juga merasa sangat kehilangan. Tapi apa mau dikata, ini bukan mau kita, nggak usah cemas, nanti di sana kau juga akan menemukan teman yang pas di hatimu. Mereka juga bukan orang lain, mereka teman kita juga. Seperti halnya kau dulu juga nggak pernah kenal denganku, jangankan kenal ketemu juga nggak pernah, tetapi mengapa hubungan kita sekarang seperti bapak dan anak?, itu kan karena kulino, nantinya disana juga bisa terjadi semacam di sini. Ya kalau nanti kau merasa kangen kan bisa anjangsana dua-tiga bulan sekali ke sini, ketemu teman-teman lama dan jangan lupa kalau ke sini bawa tembakau yang enak. Pesanku bekerja dan berbuatlah seperti kau bekerja dan berbuat di sini. Bekerja dan berbuatlah untuk orang banyak” “Ya terimakasih pak.” Teman-teman ngeriung memberi salam dan pelukan kepadanya, mereka saling meneteskan air hangat dari mata. Terakhir kupeluk dan kucium dia. Kemudian bersama rombongan ia pun meninggalkan Unit-II dikawal oleh seorang petugas. Datangnya komandan baru selalu diikuti oleh tim pembinaan mental, Rohkat (Rohaniawan Katolik), Rohprot (Rohaniawan Protestan), dan sudah tentu Rohis (Rohaniawan Islam), Islam adalah mayoritas di Inrehab. Ada juga Tim Kesehatan (dokter dan mantri kesehatan), umumnya mereka masih muda-muda atau memang lulusan-lulusan baru, untuk praktek ujicoba. Walaupun mesjid dan gereja setiap hari Jumat dan Minggu dipenuhi oleh para jemaahnya, pembinaan mental berjalan tanpa putus. Untuk dokumentasi sekaligus publikasi, pernah dibuat film shalat bohong-bohongan.
152
Selagi asyik kerja di ladang dan sawah, lonceng tanda berkumpul berbunyi, tapol yang beragama Islam diperintahkan pakai sarung dan songkok, berkumpul di mesjid untuk pembuatan film shalat, begitu juga yang Katholik dan Protestan beribadah menurut agama masing-masing. Saat itu jam 10 pagi, matahari teramat terang, untuk gampangnya shalat jemaah itu kiblatnya dibalik menghadap timur. Peragaan shalat hanya diambil pada rakaat terakhir, rukuk, itidal, sujud dan salam. Tentu saja datangnya warga memasuki masjid menjadi kepura-puraan yang pertama. Itulah shalat bohongan yang pernah dibuat di sana. Rupanya tim-tim pembina mental dan kesehatan ini senang mendatangi kami, bagaimana nggak senang, Pulau Buru bukan lagi daerah terpencil, di sana telah dipenuhi tapol, mayoritas dari Pulau Jawa, budaya, bergaul dan tata caranya sudah dikenal, lain halnya jika harus bertugas di pedalaman Irian, mungkin banyak yang menolak. Lagi pula semuanya atas biaya pemerintah, hitung-hitung mereka berdarmawisata gratis mengenal wilayah Indonesia bagian timur ditambah dengan uang saku, asyik kan!. Coba seandainya, ya seandainya saja mereka itu harus menetap di Pulau Buru terpisah dari keluarga seperti kami, tanpa batas waktu, betah nggak?. Seperti dikatakan, Santi Aji berjalan terus, kalau di Salemba waktunya bisa kapan saja. Kalau di Pulau Buru lain, agar tidak mengganggu aktifitas kerja para tapol, Santi Aji hanya dilakukan pada hari Minggu atau sesudah magrib. Suatu saat Santi Aji dilakukan sudah lebih dari setengah waktu, nggak tahu aku lupa namanya, ada teman kami menanyakan hal-ikhwal tapol sampai ke Pulau Buru ini. “Pak, bolehkan saya bertanya?, barangkali bapak berkenan menjawabnya.” “Ya, saudara mau tanya apa?” “Begini pak, hukum apa yang dikenakan pada kami ini sehingga kami dibuang di Pulau Buru ini?, menurut ingatan saya pak, saya ini tidak pernah berbuat apa yang dituduhkan oleh pemerintah. Saya tidak pernah diproses di pengadilan, cukup hanya mengisi formulir, berisi nama, umur, pekerjaan, istri, anak serta saudara dan kemudian menandatanganinya, itu saja. Ingatan saya hanya itu pak, tetapi kenyataannya saya akhirnya dibuang ke Pulau Buru ini tanpa tahu kapan berakhir. Kalau tidak salah teman-teman yang hadir di sini juga serupa halnya dengan saya, pak” “Maaf saudara-saudara, sebenarnya hak untuk menjawab pertanyaan saudara itu bukan wewenang saya, tetapi kalau saya boleh menjawab, saudara-saudara itu tidak dan bukan dibuang, kata buang itu kata yang kasar dan tidak manusiawi. Saudara-saudara di sini, dibina, didandani mentalnya, bagaimana dikatakan di buang, areal untuk sawah disediakan,
153
ladang boleh dibuka, dokter ada, kami tak pernah berhenti mengunjungi saudara-saudara, dan bagi siapa yang sudah siap mentalnya, keluarga akan disusulkan. Sebenarnya tinggal satu hal yang belum meyakinkan saudara-saudara, yaitu mental saudara-saudara sendiri. Kalau boleh diumpamakan, saudara-saudara itu seperti halnya sepotong baju yang kotor. Baju itu sebenarnya bersih, bahkan baru saja disetrika, tapi karena terkena lumpur, entah itu di lengan, kantong, atau kerahnya, jika baju itu dicuci hanya dibagian yang kotornya saja, tentu tidak akan bersih. Jadi lebih baik kan kalau baju itu sepenuhnya dicuci pakai sabun, dijemur, kalau sudah kering terus disetrika, nah kemudian baju itu bisa dipakai lagi.” “Maaf pak, jawaban bapak itu kan hanya satu perumpamaan, kami diumpamakan sebagai sepotong baju yang kotor di bagian tertentu. Maaf pak, sekali lagi maaf, saya juga punya perumpamaan pak. Seandainya kami ini serombongan penumpang bis dari Jakarta ke Surabaya, bis resmi pak, kami membayar tiket sesuai harga, kami ber-KTP, supir bis mempunyai SIM, montir berijazah, demikian juga kondekturnya, semuanya orang- orang yang jelas identitasnya. Lalu tidak kami ketahui apa sebabnya terjadi musibah pak, dalam perjalanan bis yang kami tumpangi menabrak orang hingga mati, siapa yang salah sopir yang mengendarai bis, ataukah orang yang tertabrak itu, urusan penyelidikan belum jelas siapa yang bersalah. Akan menjadi satu hal yang sangat aneh kan pak, jika kami yang hanya sebagai penumpang bis dianggap ikut bertanggung jawab atas musibah itu. Kalau mau adil, mestinya orang pertama yang paling bertanggung jawab kan si supir, kedua montir atau kondektur, kemudian mungkin pemilik perusahaan bis itu, jika sudah ketahuan bis itu ternyata tak layak digunakan tetapi tetap dioperasikan. Itulah perumpamaan saya, sekali lagi saya minta maaf pak” “Saudara-saudara, tadi sudah saya jelaskan, untuk menjawab pertanyaan saudarasaudara itu bukan wewenang saya, wewenang saya hanya sebatas menjawab pertanyaanpertanyaan yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban saya, itu yang pertama, yang kedua, forum ini bukan forum diskusi politik, ini forum Santi Aji, jadi jangan disalah gunakan. Menggunakan sesuatu yang tidak pada tempatnya itu bisa menyimpang dari sasaran yang sebenarnya.” Itulah sesuatu yang pernah dipertanyakan oleh seorang teman pada suatu kesempatan Santi Aji. Kenyataannya pertanyaan itu tak terjawab, boleh jadi pertanyaan semacam itu memang sengaja dibiarkan tidak akan pernah terjawab. Ada lagi satu pertanyaan dari wakil komandan unit, aku juga lupa siapa nama wakil
154
komandan itu. PakWadan bertanya kepada seorang tapol yang kebetulan juga seorang Imam Katholik, Muji nama tapol itu, kebetulan aku sebarak dengannya. Diceritakan bahwa pak Wadan pernah menanyakan, bahkan setengah menuduh. Apa benar umat Katholik itu jika sedang melakukan kebaktian, doa terakhirnya mendoakan para komandan, wakil dan petugas lainnya agar lekas pada mati. Tentu saja dik Muji tak akan mengiyakannya, sudah gila barangkali jika menjawab demikian. Dengan bersumpah, dikMuji menjawab bahwa doa semacam itu tidak pernah terjadi, doa yang mereka ucapkan adalah doa keselamatan, keberkahan dari Bunda Maria dan Kristus, serta doa semoga kami bisa segera bebas, bisa bertemu dan berkumpul dengan anak-istri serta keluarga. Rupanya para beliau ini ada yang tahu diri, menyadari dan merasa telah berbuat jauh dari perikemanusiaan, atau memang benar ada di antara para beliau yang kena musibah atau mati dengan tidak wajar, setelah bertugas di Pulau Buru ini?. Entalahlah, hanya beliaubeliau sendiri yang tahu dan mengerti. Tahun 1976, kalau aku nggak salah, katanya ada proyek kemanusiaan. Apa dan bagaiman bentuk proyek itu. Mungkin pengiriman keluarga, anak-istri para tapol ke Pulau Buru itulah yang dikatakan sebagai proyek kemanusiaan. Pengosongan Unit-IV untuk dijadikan pedesaan adalah salah satu petunjuk kebenaran tentang adanya proyek itu. Lebih nyata lagi, sesudah barakku (gabungan dari barak-XII dan barak-XVII) menjadi barak-III, salah satu warganya yang berasal dari Jogyakarta, istri dan anaknya disusulkan ke Pulau Buru. Beliau ini adalah seorang yang bisa dikatakan lemah fisiknya, yang terbawa sejak menjadi tahanan dan ditambah lagi karena usia yang memang sudah menua, karena itu di barak beliau tidak dikenakan pekerjaan berat. Tapi sekarang anak-istrinya datang, disusulkan, mau nggak mau beliau harus meninggalkan unit dan barak, pindah menuju kepedesaan yang telah disiapkan. Beliau harus siap dan sanggup hidup mandiri dengan anak dan istrinya, menggarap sawah dan ladang dengan tenaga sendiri. Kalau melihat ini, apa ini yang disebut sebagai proyek kemanusiaan?, belum lagi jika bicara tentang anak-istrinya, apakakh mereka memang datang menyusul sang bapak-suami dengan suka rela ataukah karena dipaksa?. Kalau sudah begitu apakah tega kami melepas begitu saja teman senasib?. Nggak urung akhirnya kami dari barak-III yang turun tangan, membantu kelangsungan hidupnya di pedesaan. Saat menggarap sawah kami kirim tenaga pembajak dan penggaru dari unit, khususnya barak-III Bukankah hal yang begini ini akhirnya menjadi beban barak?.
155
Tentu!. Tapi sebagai konsekwensi dari rasa solidaritas antar sesama tapol, maka beban itu harus kami terima dan kami pikul bersama. Sesudah merasa ada keberhasilan dalam mengirimkan keluarga para tapol dan pedesaan sudah terwujud, maka usaha untuk lebih banyak lagi mendatangkan keluarga tapol makin gencar dilakukan. Tak kurang dari dua kali aku didata, dalam rangka usaha mendatangkan keluargaku. Yang pertama aku didata oleh bapak Wadan, dalam pendataan ini terjadi hal-hal yang lucu dan menggelikan. Cobalah bayangkan, apakah jawabanku atas pertanyaan beliau ini memang salah atau ngawur?. “Nama saudara siapa dan umur berapa?” “Nursamhari pak, umur 46 tahun” “Belum terlalu tua, masih kuat macul baik siang maupun malam. Sejak kapan saudara masuk tahanan?” “Tahun 1966, pak” Sekarang tahun 1976, jadi sampai sekarang sudah 10 tahun nggak ketemu anak-istri, bagaimana rasanya 10 tahun tanpa perempuan, tahan begitu terus?. Anak saudara berapa?” Pertanyaan itu dilancarkan, tangan kiri menjepit rokok, tangan kanan memegang bolpoint, kadang-kadang tangan kanannya melepas bolpoint, merangkul sandaran kursi, bibir bawahnya dijulurkan ke bawah sambil manggut-manggut. “Anak saya satu pak, tahan tidak tahan pak, ini semua kan bukan mau saya.” “Kalau anak baru satu saudara masih layak punya anak lagi. Asal saudara dari mana?” “Jakarta, pak.” “Jakarta?, kalau maelihat logat omongan saudara, saudara pasti bukan asli dari Jakarta. Yang saya maksud kelahiran saudara. Kalau saudara orang Jawa seperti saya ini, Jawanya dimana?” “Oh itu yang bapak maksudkan.” “Ya, ya itu maksud saya, di mana Jawanya?” “Jawa saya Tuban, pak” “Haa!, sekali lagi ulangi!” “Jawa saya Tuban, pak.” “Eh, kamu jangan main-main ya, saya ini wakil komandan yang mendapat tugas untuk mendatamu. Pendataan harus jelas, tidak boleh ada pemalsuan, ngerti!” suaranya agak mengeras, bibir bawahnya yang tadi menjulur ke bawah dan kelihatan ndomble, sekarang
156
bibir atas dan bibir bawahnya rapet ditarik ke belakang. Jadi dari ndomble sekarang kelihatan mbetem. Geli dan ingin ketawa aku melihatnya, masak jawabanku dianggapnya main-main. “Eh, Tuban itu dimana?, Tuban itu kota apa desa?. Asal kamu tahu kota atau desa yang namanya Tuban itu nggak pernah ada. Apa yang kamu bilang itu bohong, Tuban itu nggak ada di peta, itu penipuan, ngerti!” “Pak, Tuban itu ada pak, itu kota kelahiran saya, saya besar dan sekolah di sana, dewasa di perantauan, dan tua di sini, pak. Kalau bapak ingin lebih jelas, kampung kelahiran saya namanya Kebonsari, kecamatan Tuban, kabupatennya juga Tuban, dulu kerisedenannya Bojonegoro, provinsinya Jawa-Timur, ibu kota provinsinya Surabaya, kota revolusi, pak. Itu benar ada pak, yang sekarang tidak ada keresidenan Bojonegoro itu, sekarang kerisedenan itu dihapus dan Bojonegoro jadi sama dengan Tuban, yaitu menjadi kabupaten. Kalau bapak tidak yakin dan mengira saya bohong, boleh lihat peta bumi, pak” “Eh, kurang ajar kamu, merintah saya ya?” “Ya nggak pak, masak saya berani merintah bapak.” “Buktinya kamu menyuruh saya melihat peta, apa itu bukan menyuruh, gila kamu!” “Habis bapak tidak percaya jawaban saya, jadi bagaimana. Lha kalau bapak memang tidak percaya, tulis sajalah apa maunya bapak, disamakan dengan kampung bapak juga nggak apaapa” “Menghina kamu sama saya ya, dasar tapol goblok, aku disuruh menulis apa yang tidak ada. Tuban itu nggak ada goblok!, marah kamu saya katakan tapol goblok?”, aku diam saja, dalam hati tersenyum geli juga. “Ya baik saya tulis, tapi awas kalau jawabanmu itu bohong dan merupakan pemalsuan, jangan tanya akibatnya kamu. Sudah sana kembali ke barak!” Ya Allah, ya Robbi, baru kali ini aku menghadapi orang kodo (setengah sinting), masak Tuban dibilangnya nggak ada di peta, kalau begini siapa yang geblek sih?, aku apa dia?. Ya begitulah namanya juga orang lagi berkuasa, apa yang diucapkannya itulah yang benar. Sampai di barak temanku, Sugeng berteriak, “Nur nggak punya kampung, Tuban nggak ada di peta!” “Apa Geng?” tanya teman-teman, Ada apa sih?, kok pak Nur nggak punya kampung, Tuban nggak ada di peta?” “Tanya aja sama dia?” “Jangan panggil dia Sugeng, kataku, “Namanya dia sekarang juga diganti, menjadi SugÃng”. Teman-teman makin ribut.
157
“Ini ada apa sih?” tanya seorang teman “Nih, gini aku jelaskan.” “Tadi aku dan SugÄng kan dipanggil untuk didata, aku didata oleh Wadan dan Sugáng didata oleh bagian Kejaksaan, yang kebetulan petugasnya orang dari suku Batak, dialek Batak kan nggak bisa bilang "ÁŠ" bisanya "Á", makanya nama Sugeng sekarang jadi SugÄ ng "Gila lo!," celetuk Sugeng "Siapa yang gila, yang panggil SugÄ ng yang gila" Teman-teman makin ngakak ketawanya dan sejak itu oleh teman-teman Sugeng dipanggil menjadi SugÄ ng, atau GÄ ng saja, dan dia nggak marah. “Gini aku ceritakan sedikit,” lalu aku pun menceritakan kejadian saat aku didata tadi, mendengar ceritaku teman-teman sebarak kembali ketawa ngakak. "Lha wong sejak zaman Majapahit, Tuban itu sudah dikenal kok dibilang nggak ada di peta. Kalau aku nggak salah pelabuhan Tuban dulu pernah menjadi bandar gede di Nusantara ini" Asal-usul nama kota Tuban itu ada dua versi, ada yang bilang kata Tuban itu berasal dari kata “Watu Tiban”, ceritanya dulu ada watu (batu) jatuh dari langit, bisa jadi itu sisa meteor yang tidak terbakar habis. Batu itu menurut cerita mestinya jatuh di desa Runggahan, tetapi karena diteriaki oleh anak angon (gembala) batu itu nggak jadi jatuh di desa Runggahan tapi akhirnya jatuh ke utara desa itu, dan jadilah nama Tuban sampai sekarang ini. Desa Runggahan sendiri sekarang berubah ucap menjadi Prunggahan. Versi
yang lain mengatakan Tuban itu berasal dari 2 suku kata yaitu, “Tuâ” dari kata “Metu” (keluar) dan “Ban” dari kata “Banyu”(air). Pak Sartono, dari barak dua yang menjadi pembantunya pak Pram (Pramoedya), pernah tanya padaku, “Pak Nur dari Tuban ya?” “Ya pak, ada apa?” “Di Tuban itu ada desa yang namanya “Awiskrambil”, pak Nur tahu nggak?” “Nggak tahu pak, mungkin dulu-dulunya ada, bisa jadi nama itu sudah tergusur oleh waktu atau memang sudah dilupakan oleh masyarakat setempat. Memang ada nama-nama desa atau kampung yang telah berubah.” “Maksudnya berubah gimana pak?” “Orang-orang kampung itu kan nggak mau sulit-sulit pak, selalu ambil gampangnya saja, seperti nama desa Gedung Ombo disebutnya Galombo, dukuh Putro Sobo disebut Turosobo, ada juga nama gua Akbar tapi disebutnya gua Nggabar. Apalagi kalau sudah memasuki bahasa pergaulan, itu teman-teman dari Jogya itu juga suka merubah ucapan,
158
mengko disik (nanti dulu) diucap menjadi mengko sikik atau kosik bahkan menjadi kokik, begitulah kalau sudah biasa ya enak saja.” Pak Sartono juga menuturkan bahwa di Tuban dulu pernah lahir seorang tokoh, kata beliau, seandainya tokoh itu lestari hidupnya mungkin saja kebesarannya bisa disetarakan dengan Gajahmada, tokoh itu ahli perkapalan namanya “Ki Nolo”, nggak tahu didapat dari mana cerita ini, mungkin dibaca beliau dari ensiklopedi Indonesia atau apa saja. Pak Sartono itu profesinya guru, asal Semarang, beliau berteman baik dengan Harjoendrin, nama aslinya Harjo, karena pernah minum endrin (obat semprot padi, atau racun serangga) yang dikiranya susu, maka namanya berubah menjadi Harjoendrin, bahkan dipanggil endrin saja dia juga nggak marah. Pak Sartono oleh pak Pram disebut sebagai komputernya, karena apa yang pernah dibaca oleh beliau nggak akan pernah lupa. Pak Sartono juga pernah ditanggap oleh barakku (barak-III) untuk ndongeng kisah Mahabrata (aslinya bukan wayang) dari Purwa I sampai Purwa 17, sangat baik dan enak didengar. Oleh karena itu nggak salah kalau pak Pram mengambilnya untuk dijadikan asistennya. Jadi kalau Tuban dikatakan nggak ada di peta oleh Wadan, yang goblok dan geblek itu aku atau beliau, siWadan. - Barak-III menyunati anak pedesaan Di atas diceritakan bahwa salah seorang warga barak-III, asal Jogyakarta disusul oleh istri dan anak-anaknya. Setiap masa tanam dan panen bantuan dari barak-III tetap ada. Kali ini anak si bapak sudah waktunya dikhitan. Barak-III kembali menunjukan solidaritasnya, khitanan diambil alih oleh barak. Sang anak dibawa ke Unit-II, dokterdokter tapol yang berada di Mako pun siap mengkhitannya. Pesta kecil diadakan, penduduk setempat (asli) diundang. Unit-II berbatasan dengan desa Italaheng dengan kepala soanya (kepala suku) bernama Patoda. Papa Patoda ini bertubuh agak tinggi, kulitnya nggak kaskado seperti umumnya penduduk setempat. Mulutnya nggak pernah lepas dari kinang, pakaiannya juga agak rapi, ikat kepalanya juga nggak asal-asalan saja. Beliau kami undang dengan beberapa warganya.
159
Ya begitulah, karena budayanya masih relatif rendah, ketika kami sediakan makanan, jagung rebus, pisang matang, pisang rebus, pisang goreng, dan juga ubi goreng. Kami jajarkan makan-makanan tersebut di meja. Begitu mereka datang, tanpa dipersilahkan lebih dahulu mereka langsung menyerbu makanan itu dan langsung memakannya. Mulut makan, tangan kiri pun dempet dada, penuh berisi segala makanan yang ada di meja, terus meraup makanan, sebanyak yang bisa diambil, karuan saja makanan jadi awut-awutan. Kepala barak menegur halus, “Papa, nggak boleh begitu, makanlah yang tenang, nggak boleh berebut.” “Nggak papa, ini makanan nanti buat anak, istri, saudara dan nenek beta yang tidak bisa datang” “Oh gemblung kowe!, ayo tenang jangan berebut, nanti juga dibagi untuk dibawa pulang.” Akhirnya kami membolehkan semua makanan yang telah tersedia di meja dibawa mereka pulang, dan kami segera menyuruh mereka pulang, apa boleh buat. Kalau kami ikut makan makanan yang ada di meja rasanya juga nggak tega dan (maaf) jijik untuk memakannya. Siapa sih yang punya mau mengundang penduduk segala?. “Jangan begitu dong,” kata kepala barak, “Maksud kita kan agar kita ini dekat dengan penduduk setempat, jangan malah melukainya, kalau terjadi begitu itu pendatang bisa dianggap menjadi musuh. Seperti itu lho, masak sesaji dan piring yang ada di rumah pamali (rumah persembahan) bisa hilang, itu tentu ada yang nyolong. Hormatilah kepercayaan mereka, wong memang baru segitu tingkat budaya mereka, nanti lama-lama kalau mereka terus bergaul dengan kita kan pelan-pelan mereka bisa berubah.” Teman yang lain pun menjawab, “Bung, saya kasih tahu ya, penduduk asli di sini itu kalau sesajinya yang ada di rumah pamali itu hilang malah senang, mereka anggap hilangnya sesaji dan piring itu sebagai tanda kalau sesaji itu telah benar-benar sampai dan diterima oleh para leluhurnya.” “Ah omong kosong!,” celetukku, “Itu kan sama saja artinya dengan dongeng di buku bacaan ketika aku masih di Sekolah Rakyat (ongko loro), zaman Belanda dulu. Buku itu berjudul Pak Begog” Ceritanya begini, seorang suami istri yang tinggal di desa punya anak yang tinggal dan bekerja di kota. Satu ketika si anak mengirim telegram pada kedua orang tuanya di desa, agar mereka mengirimkan bajunya yang masih tertinggal di desa ke kota untuk dipakai ganti sehari-hari. Ketika petugas pengantar telegram sampai di alamat yang di tuju serta menjelaskan isi telegram pada si bapak, bapak si anak ini bertanya, apa itu surat
160
telegram. Dijelaskanlah bahwa surat telegram atau surat kawat itu adalah surat yang dikirim melalui kawat. “Itu lho pak, kawat yang ada di tiang besi itu namanya tiang telepon, dan surat dari anak bapak ini dikirim melalui kawat di tiang itu. Anak bapak minta dikirimkan bajunya yang masih ada di rumah ke kota untuk dipakai ganti” Karena pengertian si bapak surat ini dikirim lewat kawat, maka baju yang diminta si anak pastinya juga bisa dikirim lewat kawat juga. Malamnya dicantolkanlah baju-baju si anak di kawat telepon yang ada dekat rumahnya, karuan saja baju itu hilang diambil orang. Paginya saat si bapak menengok dan ternyata baju-baju itu sudah nggak ada, si bapak pun menjadi senang, dianggapnya baju-baju itu sudah sampai pada sang anak di kota. Penduduk setempat memang masih punya kebiasaan yang sulit diterima oleh kebiasaan umumnya manusia. Coba saja, nilai seorang perempuan itu ditentukan oleh banyaknya harta (mahar atau mas kawin). Seorang perempuan suku asli pulau Buru bisa bernilai 50 atau 100 harta, satu harta itu bisa berupa satu buah piring atau mangkok.Walaupun harta belum dibayar lunas, si calon suami sudah bisa memiliki dan menggunakan perempuan itu, persis seperti kalau orang sekarang kredit motor, mobil atau rumah, barang belum lunas terbayar tapi kita sudah bisa menggunakannya. Anehnya lagi jika si calon suami nggak bisa melunasinya, maka si perempuan itu bisa diambil oleh orang tua dan keluarganya kembali. Ada satu hal yang pernah aku dengar, katanya ada tapol yang tahu persis dan melihat kejadian itu. Pasangan suami istri dari suku asli jika ingin melakukan hajatnya (berhubungan sex) selalu pergi ke hutan, di dalam hutan mereka melepas pakaian mereka, lalu si istri berlari jauh ke dalam hutan dan si suami pun memburunya, kemana saja si perempuan ini lari si lelaki tetap memburunya, adegan ini persis seperti si ayam jago keluar dari kandang pagi hari dan memburu si babon, sampai si babon tertangkap dan tak berkutik, perilaku setengah hewan ini memang benar adanya. Kapan perbuatan itu berakhir, tergantung pada mereka sendiri, dan pengaruh alam dan lingkungan yang bisa mempengaruhinya. Apapun keadaannya, penduduk setempat perlu kita dekati. Papa Patoda pun diajarkan bertani, kepadanya diberikan sepetak persawahan untuk belajar bersawah, diajarkan juga cara-cara bertanam padi yang baik. Ada seorang penduduk setempat yang bahasa Indonesianya agak lancar, namanya Waitena, kulitnya juga nggak terlalu hitam, tetapi tetap bersisik seperti ular, kakinya besar sebelah, terkena penyakit kaki gajah, mukanya
161
seperti orang Tionghoa, mungkin dia keturunan Jepang. Ini bisa saja karena saat perang Pasifik dulu Jepang katanya pernah menginjakkan kakinya di pulau ini, nah bisa jadiWaitena ini adalah keturunan Jepang dengan gadis-gadis dari Jawa yang pernah diangkut Jepang yang dulu katanya dijanjikan akan disekolahkan. Aku jadi teringat lagi pada saat semasa aku masih di kampung, di kotaku ada seorang piyayi, panggilannya “Ndoro Siner”, ya kalau sekarang siner itu sama dengan penilik sekolah. Si ndoro mempunyai dua anak gadis, orang kampung memanggilnya den Rus dan den Endam, ada juga seorang gadis anak ndoro patih, ketiga gadis ini dibawa pergi Jepang katanya akan disekolahkan. Sekolah apa?, nyatanya ketiga gadis itu nggak pernah kembali, boleh jadi mereka atau salah satunya ada yang menjadi penduduk pulau ini, ya siapa tahu. Famili dekatku (pernah adik) menjadi heiho Jepang dan pernah mengalami perang frontal melawan sekutu di Birma. Sesudah proklamasi adikku itu termasuk dari 25 orang sisa hidup yang bisa kembali pulang ke tanah air. Di Birma adikku itu pernah mendapati seorang wanita remaja dari pulau Jawa, dia juga penah berpacaran dengan gadis (keturunan) Jepang namanya Inungrutari. Jadi nggak aneh kalau ada paenduduk Buru yang mukanya seperti Cina, seperti Waitena itu. Istri Waitena ini agak akrab dengan kami, dia sama anaknya sering juga ke barakku, ya sekedar main atau minta singkong atau jagung. Anak-anak mereka juga sering bertegur sapa manakala ketemu di jalan. “Eh mas, mau kemana?” “Eh Mukakodo, eh Pocen (nama anak-anakWaitena), lo mau kemana?” Sapaan-sapaan seperti itu sudah biasa terjadi dan begitulah mereka bergaul akrab dengan kami. Kebodohan melahirkan kejujuran. Ada kejadian yang agak aneh dan lucu, tapi ini nyata adanya. Satu ketika di galangan (penggergajian) sekitar jam 11 siang, waktu istirahat makan, datang seorang penduduk setempat, dia berkata, “Papa, minta tembakau.” “Ya mari,” jawab si teman. Papa dari mana, siapa nama papa?” “Beta dari Italaheng, nama beta Mandepa, papa” “Oh ya, kalau begitu kenalin nama saya Mandepo”, teman-teman yang mendengar tentu saja tertawa, teman yang berasal dari Yogya ini cepat saja menyebut nama yang mirip dengan nama penduduk setempat, boleh jadi si teman ini pernah satu grup dengan pak Basio, pelawak Yogya yang beken itu. Dan sejak itu teman seunit memanggilnya dengan nama Mandepo.
162
“Ayo makan dulu, nanti habis makan dikasih tembakau.” “Papa,” kata siMandepa, “Beta senang papa di sini. Sekarang ada jalang-jalang (jalan) yang lebar, papa pintar tanam padi, pintar tanam nasi pulut (padi ketan), pintar tanam kasbi (ubi), pintar tanam cili (cabai). Papa pintar macam-macam, anak-anak diajak main bola” (seorang anak penduduk asli bernama Satali, ternyata punya bakat main bola, larinya cepat, tendangannya bagus, bukan tidak mungkin jika ada kesempatan satu ketika Pulau Buru melahirkan pemain bola yang handal). Perkara sepak bola Unit-II adalah jagoannya, Amsidi dari barak-2 adalah setan bola, Limbuk dari barak-3 sangat lincah, Kasno barak-3 mempunyai tendangan maut, bukan hanya sekali Kasno melakukan tendangan sudut, langsung masuk gawang, Mitro barak-4 licin bagai belut, Giri barak-3 sesuai dengan namanya yang berarti gunung adalah tembok gawang. Setiap ada kesempatan bertanding para Komandan saling bertaruh, entah apa yang dipertaruhkan, bisa uang bisa papan atau apa pun, yang tahu ya hanya beliau-beliau, dan kalau sudah begitu Unit-II berubah layaknya seperti kota kecil, penonton dari unit-unit lain tumpah ruah memenuhi lapangan. Seingatku Unit-II hanya sekali mengalami kekalahan, yaitu saat pertandingan melawan pemain gabungan seluruh unit dengan skor 2-1. Peringatan 17 Agustus 1979, adalah peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang terakhir bagiku di Pulau Buru, dan peringatan di Unit-II itu barangkali adalah peringatan Agustusan yang terbesar yang pernah diadakan di Inrehab. Di sekitar aula didirikan tenda-tenda sebanyak jumlah barak yang ada. Tenda-tenda itu menyediakan makanan, terutama nasi dan lauk-pauknya, siap melayani tamu selama 12 jam penuh. Tak kurang dari 15 ekor sapi dipotong, sapi memang sudah berkembang biak dengan baik di sini, jenis sapi Bali seperti jenis kelapa genjah, kecil-kecil tapi mudah berbiak. Sesudah upacara bendera, pembacaan teks proklamasi dan sumpah setia pada Pancasila, perayaan Agustusan dibuka dengan pagelaran wayang kulit, dalangnya Ki Tristuti Rahmadi Suryosaputro, dalang tapol pindahan dari Unit-IV ke Markas Komando (Mako) seperti seniman-seniman beken lainnya, diMako ada Pramoedya, Basuki Effendi, Gultom, pelukis Bronto K. Atmojo dan lain-lainnya. Jam 4 sore pertunjukkan istirahat, pertandingan bola dimulai, tribun dengan kursi duduknya dipenuhi oleh para komandan. Reportase dengan menggunakan pengeras suara diadakan, reka-rekanya seperti pertandingan besar di sebuah kota besar, semua itu
163
adalah perintah dan tapol hanya tinggal manut, mengikuti dan melaksanakan keinginan beliau-beliau. Penduduk setempat tak ketinggalan ikut menonton dan menikmati perayaan besar itu, makanan pun disediakan untuk mereka, tetapi tempatnya khusus. Dalam kesempatan itu mereka sering mengucapkan kata “kaboki”, ucapan untuk menyatakan keheranan mereka atas apa yang mereka lihat, kalau diartikan kira-kira artinya sama dengan kata “edan” bagi wong Solo, atau “gile” bagi orang Jakarta. Barangkali inilah salah satu penyebab mengapa Mandepa senang dengan kedatangan para tapol di pulaunya ini, dia berkata, “Tapol tidak jahat, tapol baik, tapol suka kasih bantu,” sehingga celetukan hati nuraninya tak bisa disembunyikan, suatu kali berceletuklah dia, “Mas, beta senang sama tapol, beta kepengin jadi tapol, bagaimana caranya bisa jadi tapol?”. Mandepo dan teman-teman lain terperanjat, ucapan jujur, polos dan tak dibuat-buat. Ini aneh tapi nyata. PULAU BURU: Anakku kirim surat dengan fotonya Tahun 1977, kalau nggak salah tanggal 11 Januari. Jam istirahat makan siang, aku sedang makan seorang teman bernama Ngatmin datang menghampiri, “Pak,” katanya, “Pak Nur dapat surat dan potret dari anaknya yang dibawa oleh Romo pastur, nih pak. Lho, bapak kok bengong, tenang pak, makan dululah pak”. Nggak terasa kalau aku mbengong, mulutku terasa susah untuk mengunyah, perut terasa langsung penuh, kenyang dan rasa laparku langsung jadi hilang. Makan tak kuteruskan, kubawa surat itu ke tempat tidur, surat ditulis di atas selembar kartu pos. Kubuka amplop yang berisi dua lembar potret ukuran kartu pos. Satu lembar bergambar seorang anak perempuan kira-kira berumur 9 tahun, pakai kain dan kebaya, kepalanya berkonde dengan setangkai bunga diselipkan, di balik foto tertulis, “Mumuk akan menari, Peringatan 17 Agustus 1975”. Satu lagi gambar seorang anak perempuan pakai rok, sepatu dan kaos kaki, menenteng tas berdiri di antara meja dan tv, seperti mau berangkat sekolah, di belakang foto itu tertulis tanggal 15 Februari 1976, dan di kedua foto itu tertulis nama Diah Mukanti untuk bapak Nursamhari. Tak bisa kutahan, air mataku mengalir deras. Seperti orang gila aku ciumi kedua gambar
164
itu, aku nggak perduli ada teman lain yang memperhatikan atau nggak, hatiku ngomong sendiri, "Oh Allah nduk, anak bapak kau sudah gede, kau kutinggalkan tahun 1966 saat itu kau masih tengkurap, dua kali kau menemui bapakmu ini di penjara Salemba, saat itu kau masih berumur 2 tahun, tentu kau belum bisa dan belum pandai mengingat wajah bapakmu. Kau yang lahir pada hari Rabu pon, 22 Desember 1965, kini kau sudah berumur 11 tahun." Kutaruh kedua lembar foto itu di bawah bungkusan pakaian yang sekaligus kujadikan bantal. Lalu kuambil kartu pos dan kubaca berita yang ditulis anakku; Untuk bapakMumuk, Pak, Mumuk sehat nggak sakit. Mumuk sekarang sudah kelas IV SD. Mumuk tinggal sama bude di Grogol. Kalau ibu tinggal di Rawamangun. Ibu masih bekerja di kantor. Ibu disekolahkan lagi sama kantor. Kalau hari Sabtu dari kantor Ibu pulang ke Grogol. Hari Senin Ibu pergi kerja terus pulang ke Rawamangun. Bapak kapan pulang?, Mumuk pengin ketemu bapak. Dari anak bapak. Mumuk. Deg!, kembali kaya tersumbat tenggorokan ini, pertanyaan anakku, “kapan bapak pulang?, Mumuk pengin ketemu bapak”, itu adalah pertanyaan dan ungkapan keinginan seorang anak kepada bapaknya, wajar dan polos, tapi susah dan nggak bisa dijawab. Hal itu membuat tekadku semakin kuat, aku harus bertahan hidup!. Aku nggak mau dan nggak akan mau keluargaku disusulkan, kalau aku harus mati di pembuangan ini, itu adalah urusanku sendiri, keluarga terutama anakku tak boleh ikut jadi korban dan menanggung resiko. Tak lama dik Ngatmin menghampiriku lagi, “Pak Nur dapat surat kok nampaknya sedih?. Bapak kan mestinya gembira, gambarnya anak bapak itu nampak sehat, kalau dilihat dari dandanannya, anak pak Nur itu nampak kecukupan nggak jadi bocah terlantar” “Gembira sih gembira dik Ngatmin, lha wong ketemu anak, walaupun hanya gambar. Yang bikin aku terenyuh itu kan karena pertanyaannya, "kapan bapak pulang?, Mumuk pengin ketemu bapak". Siapa yang bisa menjawab pertanyaan itu?. Coba dik Ngatmin apa bisa?, nggak kan?. Kapan kita pulang?, nggak ada yang tahu kan?. Lha kalau aku harus mati di sini, apa anakku klakon nggak kenal bapaknya. Bocah itu kan saya tinggalkan saat masih berumur 9 bulan, dia baru bisa tengkurap. Pernah ketemu di Salemba saat umurnya baru 2 tahunan. Jadi dia nggak tahu bapaknya ini kayak apa” Dik Ngatmin bisa menerima omonganku, dia diam saja, hanya punggungku di tepuknya,
165
“Sudahlah pak lupakan dulu, lonceng jam kerja kedua telah dipukul, mari kita kembali ke sawah.” Malam harinya aku susah tidur, kalau hanya melihat gambar, nampaknya anakku sepertinya nggak terlihat kesempitan hidupnya. Tapi ya namanya gambar kan bisa direkayasa juga, siapa tahu semuanya itu palsu, tempat bisa pinjam, tas dan baju sekolah juga bisa pinjam, apakah itu hanya sekedar menghibur agar aku nggak terlalu sedih?. Seperti halnya pembuatan film shalat, apakah shalat itu shalat beneran apa nggak, kan hanya pembuatnya yang tahu. Gambar tak jarang menunjukkan kepalsuannya. Gambar jagoan, coboy Roy Rogers dengan dua pistol di kedua tangannya, kepalanya bisa diganti dengan kepala orang lain, temanku pernah melakukan hal itu. Jadi aku baru bisa yakin akan keadaan keluargaku bila aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Seperti biasa hariMinggu jam kerja hanya sampai jam 9.00 pagi, kuambil buku tulis, kutulis surat untuk anakku karena Romo pastur akan segera kembali ke Jakarta. Dik Ngatmin juga bilang supaya aku pergi ke Mako, minta resep kaca mata pada dokter Marapai atau dokter Manto. Romo pastur akan mengusahakan kaca mata untuk siapa saja yang memerlukannya, tapi tentu harus pakai resep. Nanti jika sudah ada kaca mata itu akan dikirim ke Inrehab, Cuma waktunya agak lama, maklum harus menunggu petugas yang akan dikirim ke Inrehab. Mumuk, anak bapak sayang. Bapak sudah terima suratmu, ada pula kau kirim gambarmu dua lembar untuk bapak. Bapak senang sekali melihat gambarmu, kau kelihatan sudah besar. Hanya kelihatan agak kurus jadi tampak tinggi. Seperti bapak, bapak nggak pernah punya badan gemuk, selamanya kurus. Biar kurus tapi bapak selalu sehat. Bapak nggak mau sakit, Mumuk juga jangan mau sakit, kalau sakit nanti Ibu yang susah, oleh karena itu bilang sama ibu kalau bisa minumlah susu dan makan buah, makan yang banyak, nggak boleh telat, olah raga dan istirahatlah yang cukup, belajar yang benar dan jangan terlalu banyak main. Kau kalau sekolah sangunya berapa?, apa sangumu itu habis untuk jajan semua?. Kau sekarang sudah kelas IV, sudah pintar menulis surat, nanti kalau sudah kelas VI tentu akan lebih pintar lagi. Apa lagi kalau sudah SMP, tentu kepandaianmu membuat surat semakin bertambah. Sekarang kau tinggal sama bude di Grogol, itu sangat baik, bude kan nggak punya anak perempuan, anaknya cuma satu, lelaki, jadi kau bisa untuk teman bude. Bapak pesan kau nggak boleh nakal seperti ngikut Ibu sendiri. Ibumu tinggal di Rawamangun, sendiri?, siapa temannya?. Rawamangun itu rumah siapa ya?. Kalau dulu rumah kita di Utan kayu,
166
tapi katanya sudah diambil lagi sama pemiliknya, yaitu kantornya bapak dulu. Mumuk ketemu ibu cuma tiap hari Sabtu sore sampai Senin pagi, apa kau kalau prei nggak pernah nengok ibu di Rawamangun?. Sebaiknya, kalau Sabtu sore pulang kantor ibu ambil Mumuk di Grogol terus pulang ke Rawamangun, tidur di Rawamangun semalam. Minggu sore atau Senin pagi kau pulang lagi ke Grogol. Ya nggak bisa seminggu sekali, ya dua minggu sekali, biar tetangga tahu kalau ibu punya anak dan kau bisa kenal sama tetangga di sana. Jadi orang harus kenal sama tetangga, tetangga adalah saudara kita yang terdekat. Kita itu tak bisa hidup tanpa orang lain, saling tegur sapa dengan tetangga, menghormati yang lebih tua itu harus kau lakukan, apa lagi kau sudah sekolah, kelas IV sebentar lagi naik kelas V, terus ke kelas VI, terus SMP. Kalau sudah SMP itu berartiMumuk sudah memasuki remaja dewasa, harus lebih santun. Katanya orang-orang pintar, berlakulah seperti tanaman padi. Padi itu kalau buahnya sudah berisi beras, batangnya makin merunduk, kau ngerti merunduk?. Merunduk itu kepala melihat ke bawah bukan ke atas, kalau ke atas itu namanya mendongak. Kalau kepala melihat ke atas nanti kalau jalan bisa nendang batu atau terperosok ke lubang, sakit jadinya. Maka tirulah tanaman padi itu, makin banyak isi berasnya, makin merunduk jadinya. Kalau kau bisa mencontoh tanaman padi kau akan jadi anak yang sopan dan tidak sombong. Dalam suratmu kau tanya, kapan bapak pulang?. Mumuk pengin ketemu bapak. Gini ya cah ayu, bapak pasti pulang kalau tugasnya bapak sudah selesai, bapak dan teman-teman bapak sekarang ini lagi kena tugas. Banyak sekali deh teman-teman bapak, ada barangkali 10.000 orang yang kena tugas. Bapak dan teman-teman sekarang lagi bangun pulau, nduk, ngerti pulau ya. Kelas IV mestinya sudah ngerti kata pulau, itu kaya Pulau Seribu, sudah pernah ke Pulau Seribu belum?. Pulau Seribu adalah pulau wisata. Nah, bapak juga lagi bangun pulau taman wisata, pulau itu namanya Pulau Buru. Letaknya jauh dari Jakarta, ke timur sana, lebih jauh dari Pulau Bali. Kalau naik kapal laut dari Bali ke timur lagi terus belok ke kiri, ke arah utara agak ke timur melewati laut yang dalam di Indonesia, namanya Laut Banda. Tentu karena kau masih kelas IV, kau belum belajar ilmu bumi Indonesia, jadi kau belum tahu di mana letak pulau itu. Barangkali kau baru belajar peta tentang Jakarta, seperti di mana letaknya Monas, Jembatan Semanggi, letaknya Rawamangun, rumahnya ibu dan tempattempat lainnya. Nanti kalau kau sudah kelas VI atau SMP pasti kau akan mengerti di mana letaknya Pulau Buru itu, bahkan kau juga akan mengerti letaknya Pulau Elba. Bapak ceritakan sedikit ya, mau nggak?. Pulau Buru itu masih banyak hutannya, iya hutan yang dihuni binatang-binatang. Babi hutan banyak, kijang juga ada. Bapak sering ketemu babi, babi bukan termasuk binatang buas, tapi kalau lagi punya anak yang masih kecil biasanya jadi galak, seperti biang ayam yang lagi momong anaknya. Temannya bapak, namanya pak Salimin, waktu mencari rotan di hutan pernah ketemu babi yang lagi momong anak, pak Salimin takut setengah mati.
167
Sampai rumah dia sakit panas-dingin selama tiga hari. Kijang pernah bapak temui di hutan, sedang makan kuncup alang-alang yang masih muda atau rerumputan. Bapak dengan teman-teman ingin menangkapnya. Dari arah belakang kami runduk dia, kami merangkak pelan-pelan, iya merangkak biar dikira temennya, bahkan tiarap seperti tentara kalau lagi latihan, maunya kalau sudah dekat kami gaet kaki belakangnya. Ee, nggak tahunya kurang dari tiga meter dia sudah mencium bau orang, maka mancallah kaki belakangnya sampai tanahnya terangkat, dan larilah dia masuk hutan, melesat seperti anak panah lepas dari busurnya. Bapak dan temanteman jadi ketawa geli, lha wong kijang kok mau ditangkap dengan tangan kosong, seperti mau melepas kambing dari kandangnya, ya tiwas badan kotor dan gatel, tak dapat apa-apa. Ular sanca yang gede di sini juga ada, teman bapak pernah dapat ular yang besarnya hanya setengah badan , hanya kepala dan badannya sepotong tanpa ekor. Rupanya ular tadi sedang bergulat dengan anak babi untuk ditelannya. Nah teman bapak yang lain tahu kejadian itu, maka dihantamlah ular dan babi yang lagi bergulat itu dengan goloknya, bet!, yang kena badan ular putus, anak babi lepas dan lari masuk hutan, badan ular yang masih berkepala juga lari, jadi teman bapak yang mbacok tadi maunya dapat ular dan anak babi, tapi akhirnya hanya dapat sepotong badan ular dan ekornya. Sedang sepotong badan ular dan kepalanya yang lari rupanya mati di jalan dan ditemukan oleh teman bapak yang lain. Burung sebangsa betet juga banyak, ada yang gede sebesar burung merpati, bulunya hijau, paruhnya merah, ada yang lebih kecil, bulu dadanya hijau tua, sayap bagian atas berwarna merah jingga, paruhnya juga merah, bagus deh. Biar bagus burung-burung ini jadi hama bagi tanaman jagung. Burung-burung ini kalau lagi masuk ladang untuk makan jagung, dia tidak terlalu banyak membawa teman, seperti burung gelatik atau manyar yang kalau menyerbu padi di sawah bisa ratusan bahkan ribuan. Burung rajawali di sini juga banyak jenisnya, burung jenis ini adalah burung yang pandai terbang, kalau lagi mengintai mangsanya dia melayang-layang di atas, berputar-putar dengan sayap terbentang, matanya sangat jeli, begitu dia melihat mangsanya, dengan cepat sekali dia menukik ke bawah, dan seekor tikus pun berhasil dicengkram dengan cakarnya. Bapak dan teman-teman bapak bekerja membabat hutan untuk dijadikan sawah atau ladang. Jalan-jalan pun dibuat pula, parit untuk mengairi sawah juga kami buat. Rumahrumah berdinding papan, mesjid dan gereja pun dibangun. Itu semuanya untuk siapa?, ya untuk yang mau. Yang mau siapa?, yang mau ya yang memberi tugas bapak.
168
Nah, cah ayu itulah tugas bapak. Nanti kalau kau sudah gede kau pasti tahu dan ngerti apa yang bapak ceritakan ini. Sekarang kalau bapak cerita banyak-banyak kau tak akan ngerti. Yakinlah suatu hari bapak pasti pulang. Kalau Mumuk pengin ketemu bapak, tanya sama ibu, mana gambarnya bapak, kalau surat nikah bapak dan ibu masih disimpan ibumu kau bisa lihat gambar bapak, di surat itu ada gambar bapak dan ibu. Gambar itu diambil waktu bapak masih berumur 35 tahun, ya masih muda, rambutnya masih hitam, giginya masih utuh, kulitnya masih kenceng belum kendor . Sekarang umur bapak sudah 46 tahun, satu-dua rambutnya mulai memutih, giginya juga sudah ada yang copot. Kulit bapak itu termasuk hitam, sekarang tampak lebih hitam lagi karena kena panas dan lumpur. Barangkali saja kalau dijejerkan dengan gambarnya sudah jauh berbeda. Itulah bapak sekarang ini, tapi kok kau ingin ketemu bapak, itu tandanya Mumuk sayang sama bapak. Bapak ingin tanya sama Mumuk, Mumuk nggak kepengin bapak yang lain?. Mumuk kan masih kecil dan masih perlu ada yang melindungi dan menyayangi. Nggak apa-apa kalau ibumu kepingin mencari bapak lain buat Mumuk, bapak senang. Ibumu masih termasuk muda dan masih dinas kantor, tentunya nggak terlalu sulit mencari bapak buat Mumuk. Ikut bapak tiri juga nggak apa-apa, kalau dimulai dari kecil, nantinya juga bisa seperti ikut bapaknya sendiri. Banyak juga bapak tiri yang lebih baik dari bapaknya sendiri, biasanya seorang bapak tiri itu kalau sudah mau dengan seorang ibu biar sudah punya anak, dia akan senang juga dengan anak tirinya. Bapak malah sering dengar cerita, yang jahat itu malah ibu tiri. Banyak dongeng-dongeng yang bercerita tentang kejahatan ibu tiri. Bawang merah bawang putih misalnya, bercerita tentang kejahatan ibu tiri. Nyanyian pun ada yang melagukan kejahatan ibu tiri. Tetapi ada juga ibu tiri yang baik, bahkan sangat baik. Ditambah sedikit deh cerita bapak, mau ya?, anggap saja bapak lagi ngobrol denganmu sambil makan kacang di rumah. Nah ceritanya begini, Seorang istri raja, namanya Dewi Kunti Talibroto atau sering juga diebut Dewi Prito. Dia seorang putri yang sangat cantik, bukan hanya parasnya saja yang cantik, tapi budinya juga sangat cantik dan mulia. Sang Dewi adalah istri dari seorang raja dan ia punya tiga orang putra, sang raja ini juga punya istri satu lagi namanya DewiMadrim, dan DewiMadrim ini dikisahkan berputra kembar, sayangnya DewiMadrim meninggal ketika melahirkan putranya itu, sedang sang raja lebih dulu mati akibat peperangan. Jadilah dua bayi yang baru lahir itu tak beribu bapak. Maka Dewi Kuntilah
169
yang menjadi ganti ibu mereka. Dua anak kembar ini diasuhnya sampai dewasa, menjadi ksatrya-ksatrya yang gagah. Dewi Kunti ini mengasuh kelima anaknya tanpa suami. Dan kelima orang anaknya itulah yang disebut Pendawa. Cerita ini, cerita Maha Barata, bapak sering bercerita wayang pada temanteman bapak, menjelang tidur. Bapak memang senang sama cerita wayang, sejak kecil di kampung dulu kalau ada orang mantu atau khitanan dan nanggap wayang, bapak mesti nonton. Ya cuma nontonnya anak kecil, kalau ngantuk ya tidur di tempat tontonan. Kalau wayangnya lagi perang bapak bangun karena gamelannya kan berbunyi kenceng, tapi kalau perangnya sudah selesai ya bapak tidur lagi. Ya gitulah nontonnya bocah. Nah Mumuk bukan anak yang tidak punya ibu bapak, ibunya masih gagah dan pegawai kantor lagi, bapak pun masih hidup, hanya sekarang bapak lagi tugas, tugas membangun, nanti kalau tugasnya selesai, bapak mesti pulang. Bapak ini dosa nduk sama ibumu. Ya benar-benar dosa, lha bapak nggak memberi nafkah sama ibumu selama ini kok, apalagi ngasih sama Mumuk, belum pernah. Bapak nggak pernah ngasih duit jajan, nggak pernah beliin baju, sepatu atau buku. Tapi kokMumuk pengin ketemu sama bapak, bapak macam apa itu. Itulah namanya anak yang baik, biar seperti apa pun bapaknya itu adalah orang tuanya, tanpa orang tua ya nggak ada anak. Maka orang tua itu harus diakui dan wajib dihormati. Muk, seandainya kau terpaksa harus punya bapak baru, bapak ikhlas nduk, dan bahkan muji syukur kau ada yang momong, aku tetap bapakmu. Nah menurut ukuranmu surat bapak ini terlalu panjang dan mungkin ada yang tak kau mengerti, tapi tak apalah. Kalau kau nggak bisa baca surat ini karena tulisan bapak sudah makin jelek, mintalah tolong sama ibu atau bude untuk membacakannya, biar sekalian tahu kabar bapak. Sampaikan maaf bapak pada ibumu, salam mesra buat bude terutama cium bapak untukmu. Bapakmu sayang. Surat selesai kutulis, resep kaca mata pun sudah kudapat, keduanya kumasukan amplop tanpa perangko. Kuserahkan pada dik Ngatmin untuk diteruskan kepada Romo Pastur. Tahun 1976 itu pula sesudah Unit-IV (Savana Jaya) dibongkar jadi pedesaan, menyusul Unit-IX dihapus, dan Unit-XIV dilenyapkan. Mengapa begitu?. Nggak ngerti, ada berbagai alasan untuk itu. Hal itu dilakukan bisa karena unit bersangkutan tak produktif,
170
bisa juga karena untuk mengurangi pembiayaan petugas, atau boleh jadi untuk menghancurkan jaringanjaringan atau sel-sel yang telah terbentuk oleh para tapol, yang disinyalir masih aktif. Atau pertimbangan lain yang tak dapat diketahui. Semuanya bisa mungkin. Unit-II adalah unit yang strategis letaknya, berdekatan dengan Markas Komando, jadi nggak mungkin dibubarkan, ditambah penghuni boleh jadi. Memang begitu, jebolan Unit-IV dan Unit-IX masuk ke Unit-II, barakku mendapat tambahan teman-teman dari Jawa Timur, bahkan ada juga yang dari Tuban, walaupun Tuban dianggap tak ada di peta oleh bapak Wadan yang terhormat. Tahun 1977, aku dipanggil lagi oleh petugas kejaksaan, tidak untuk didata lagi tapi untuk diajak berbincang-bincang dari hati ke hati, nampak sangat persuasive, banyak senyum. “Bagaimana keadaan anda, sehat?. Bagaimana hasil padi tahun ini?, sama dengan tahun lalu atau naik?” “Sehat pak, soal naik turunnya panen padi itu yang ngerti ya koordinator pak, bagi kami cukup untuk makan saja juga sudah baik.” “Tidak boleh begitu dong, harus ada peningkatan, baik hasil sawah maupun ladang. Kalau hasilnya hanya cukup untuk makan saja, bagaimana nanti kalau keluarga menyusul. Begini saudara, pemerintah itu berusaha menuntaskan persoalan saudara-saudara semuanya yang ada di Inrehab ini, sudah tentu termasuk anda. Pemerintah tidak akan membiarkan para tapol terkatung-katung tanpa penyelesaian. Dengan didasari pelaksanaan Panca Sila secara murni dan konsekwen, pemerintah akan menjabarkan Sila ke-2, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Nah untuk itu bagaimana kalau keluarga anda dikirim ke sini?. Proyek kemanusiaan yang sedang dilakukan pemerintah ini jangan ditanggapi negatif, jangan menganggap keluarga anda ikut dibuang, anda sendiri sebenarnya juga tidak dibuang, anda itu oleh pemerintah diarahkan untuk tidak terbuai oleh cita-cita dan propaganda PKI, anda diarahkan untuk menjadi manusia yang utuh lahir batin. Tanah tersedia luas, prasarana juga tersedia. Seberapa anda ingin bersawah, silahkan sekuatnya. Pulau Jawa sudah terlalu padat. Anda dari Jakarta ya?. Apa lagi Jakarta, lapangan buat main anak-anak saja sudah sulit dicari. Biar saya ini dari suku Batak, saya juga ngerti pameo orang Jawa yang sudah tidak layak jadi pegangan, apa itu?, mangan nggak mangan kumpul, itu kan namanya watak nrimo, nggak boleh diterusin itu. Nah itulah sedikit gambaran, coba saudara renungkan dan pikirkan.” “Terima kasih pak atas gambaran yang bapak berikan. Tapi maaf pak, saya tidak siap kalau keluarga saya disusulkan, usia saya sudah mendekati 50 tahun pak, kekuatan fisik
171
saya makin menurun, kalau keluarga saya harus disusulkan itu berarti mempercepat kematian saya pak. Yang ke dua, istri saya masih dinas sebagai pegawai negri, mungkin tenaganya masih diperlukan, dan barang kali saja istri saya telah mengajukan rapak, karena tak pernah ada beritanya, pak” “Nanti dulu saya mau tanya, anda bilang istri anda masih dinas sebagai pegawai negri, serta tenaganya masih diperlukan, maaf istri anda seperti kayak tenaga ahli, kok masih diperlukan, lalu istri anda telah mengajukan rapak. Apa itu rapak?” “Maaf pak, saya nggak tahu apakah istri saya itu sebagai pelayan atau pesuruh kantor, nyatanya dia masih dinas, itu kan artinya tenaganya masih diperlukan. Dan rapak yang bapak tanyakan itu adalah mengajukan cerai secara sepihak melalui Pengadilan Agama. Menurut agama Islam pak, seorang suami yang tidak mampu memberikan nafkah lahir batin selama tiga bulan berturut-turut, maka si istri berhak mempertanyakan pada suami, setidaknya kepada keluarga terdekatnya. Dan jika tiga bulan berikutnya si istri tidak mendapatkan jawaban, maka ia bisa mengajukan cerai sepihak, apa lagi saya ini kan sudah lebih 10 tahun tidak memberikan apa-apa, apakah itu bukan suatu siksaan buat istri saya pak?” “Ya, saya bisa mengerti itu. Tapi kan bukan karena kemauan anda untuk meninggalkan istri dan tidak memberikan nafkah lahir batin, itu semua karena musibah yang menyangkut nama anda. Dan bagaimana anda tahu dan ngerti perihal istri anda, kalau istri anda tidak pernah ada kabarnya?” “Anak saya pak yang ngomong. Dia telah kirim surat pada saya melalui Romo Pastur.” “Anda ada bukti bahwa istri anda telah mengajukan perceraian sepihak?, kok sepertinya kayak aksi sepihak yang biasa dilakukan oleh S.O.B.S.I atau B.T.I. Maaf saudara saya tidak membangkit-bangkit persoalan lama, tapi itu kenyataan yang pernah terjadi.” “Begini pak, tata cara mengajukan perceraian itu ada aturannya pak. Gugatan dan pengajuan cerai itu diajukan kepada Pengadilan Agama, untuk mendapatkan pembuktian biasanya si suami dipanggil oleh pengadilan agama untuk medapatkan bukti-bukti dari kedua belah pihak, tetapi kalau sang suami tidak memenuhi panggilan maka diulangi lagi panggilan itu dua-tiga kali di panggil si suami tetap tidak hadir, maka biasanya permohonan sepihak itu bisa diterima dan dikabulkan. Itu bagi suami yang dalam keadaan normal. Lha saya ini kan suami yang keadaannya tidak normal. Jelas-jelas saya dipisahkan dari anak dan istri secara paksa sejak tahun 1966 sampai sekarang 1977, sudah 11 tahun pak saya jauh dari keluarga dan Jakarta. Itulah pak, barangkali pengadilan agama tinggal teken dan menstempel saja, tanda setuju.” “Ya, tapi itu semua belum ada bukti yang konkrit dan saudara sendiri hanya bisa memperkirakan dengan kata “barangkali”. Nah untuk ketentraman anda pemerintah
172
menawarkan jasa, kami akan melakukan pendekatan dengan keluarga anda, bagaimana?. Keikhlasan dan good will pemerintah ini harus diterima secara ikhlas pula, sadarilah kekeliruan anda di masa lalu, mulailah kehidupan baru bersama keluarga di sini. Perlu saya jelaskan saudara, hidup di Jakarta itu serba sulit, lapangan kerja juga sulit didapat, itu satu sisi. Sisi yang lain masyarakat secara umum juga sulit menerima kembali kehadiran anda. Dari pada anda disingkirkan oleh masyarakat setempat, kan lebih baik anda lupakan saja untuk sementara Jawa itu. Bangun pulau Buru ini, kalau anda berhasil, anda akan tercatat oleh sejarah bahwa anda adalah pahlawan pembangunan dan masyarakat akan melupakan masa lalu anda. Pulau Buru ini juga bagian dari tanah air yang kita cintai, dan perlu mendapat sentuhan tangan-tangan anda. Suatu saat anda bisa saja berkunjung ke Jawa atau kemana saja anda suka, dan anda bisa bicara tentang keberhasilan anda. Kalau perlu ajak sanak saudara melakukan bedol desa untuk bertransmigrasi ke pulau ini. Gini ya saudara, menerima seorang pekerja itu tidak mudah, calon pekerja itu harus jelas identitasnya, harus bersih lingkungan, kalau calon pekerja itu bisa membuktikan identitasnya dan bersih lingkungan maka barulah ia bisa dipertimbangkan, tapi ya tidak langsung diterima begitu saja, masih perlu dilihat apa keahliannya, bagaimana fisik dan kesehatannya. Jangan-jangan baru kerja sebulan dua bulan lantas sakit, kan malah menjadi beban. Kalau itu yang terjadi lantas apa enaknya hidup di Jakarta?. Dari pada di mana-mana mendapat kecurigaan kan lebih baik di sini.” “Ya pak, tapi masak jadi tukang sapu atau tukang cuci mobil saja nggak bisa” “Ya baiklah, anda rupanya masih ragu dengan kemauan baik pemerintah. Masih ada dan masih banyak waktu untuk berfikir secara jernih dan benar. Silahkan kembali ke barak.” Hebat juga si bapak ini, telaten benar dia memberikan penjelasan, merayu dan meyakinkan tapol akan iktikad baik pemerintah Suharto. Proyek kemanusiaan itulah yang barangkali dianggapnya jasa baik yang bisa mengurangi atau menebus dosa-dosanya setelah melakukan tindakan sepihak yang brutal, membunuh, menghukum dan membuang ribuan rakyat Indonesia tanpa proses pengadilan. Oo, tidak bisa bung, aku tidak berbuat apa-apa, aku hanya dianggap barang mati, ya dianggap sepotong baju yang kotor di bagian tertentu. Apa pun rayuan yang diajukan padaku, aku tidak mau dan tetap tidak akan pernah mau menerima tawaran proyek kemanusiaan yang tidak manusiawi itu. Apalagi setelah aku menerima surat dan gambar anakku, jika memang benar keadaan anakku sperti apa yang ada di gambar, itu berarti anakku hidup dalam keadaan layak dan tidak dalam kesulitan. (mudah-mudahan saja memang begitu adanya). Jadi untuk apa aku meminta istri dan anakku datang menyusul ke pulau ini?.
173
Sampai di barak aku dikerumuni teman-teman, mereka bertanya kenapa aku begitu lama menghadap petugas kejaksaan. Aku jelaskan apa adanya pada mereka, barangkali nanti ada giliran teman-teman yang akan dipanggilnya, siap-siap saja!. Aku heran dengan diriku sendiri, selama ini belum banyak teman-teman yang didata atau mendapat tawaran begitu rupa seperti aku. Apa sih istimewanya aku ini?, apa pula kelebihanku?. Banyak teman lain yang tentunya lebih pantas dianggap istimewa, atau apa aku dianggap makhluk berbahaya kalau aku dibebaskan. Aneh!, tapi ya nyata!. Dilema Pembebasan Kabar burung menyebar membawa angin segar, sepoi pembebasan makin hari dan makin kemari makin terasa silirnya. Siapa nara sumbernya tak ada yang tahu, hanya pernah aku dengar ada suatu badan atau lembaga dunia yang pernah berkunjung ke Inrehab, tepatnya di Savana Jaya. Apakah itu PalangMerah Internasional atau Lembaga Amnesti Internasional tidak jelas. Seperti halnya di Salemba yang juga pernah dikunjungi Palang Merah Internasional untuk melihat secara langsung kehidupan para tapol. Praktek penipuan mentah-mentah pun terjadi. Para tapol tetap terkurung dalam sel, yang dipertontonkan adalah tahanan kriminal, penghuni Blok-E yang badannya gede-gede serta sehat-sehat untuk main voli di lapangan. Tentu saja sebagai tamu yang sopan mereka pun harus puas dengan penjelasan tuan rumah. Apakah di Inrehab juga terjadi penipuan? Bisa saja, mengapa tidak. Sebenarnya dunia sudah mengetahui tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia yang jauh melampui kewajaran. Yang jelas nampak menahan sesama bangsa tanpa batas, menjebloskan ke penjara dan membuang sesama ke Pulau Buru sebagai exil tanpa proses pengadilan. Kalau proses pengadilan dilakukan tentunya akan ada vonis, karena ada vonis maka berlakunya hukuman pun terbatas, 10, 20 tahun atau seumur hidup. Tetapi karena tanpa proses pengadilan maka tidak ada vonis, dan masa tahanan pun berlaku seumur-umur, sampai gepeng ya tetap tahanan. Itulah nasib manusia tak ubahnya seperti menjagal ayam potong, bisa jadi kesalahan manusia-manusia ini dulunya hanya karena ikut bertepuk tangan ketika PKI berulang tahun, atau mungkin hanya karena sentimen perorangan, orang-orang yang sebenarnya
174
tak mengerti apaapa sama sekali. Dan dunia tahu tentang ini. Dunia tidak buta, dunia juga tidak budeg!. Amerika Serikat tidak kecil andilnya dalam memicu pecahnya peristiwa 1965, setiap hidung pun mengerti. Adanya daftar nama orang-orang PKI yang harus dibunuh pun bukan rahasia lagi. Hanya yang mendapat tugas untuk melaksanakan perintah inilah yang kebablasan, sehingga tanpa pandang bulu mereka babat habis semua, beres. Hingga hari saat kutulis pengalaman hidupku ini, siapa dalang di balik semua kejahatan politik ini tetap tak diungkap. Tak ada yang bertanggung jawab, tak ada yang mau mengakui. Harian Kompas, Sabtu 17 Desember 2005 menurunkan sebuah tulisan seorang Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma (Baskara T.Wardaya), artikel itu menuturkan, "Jika dalam kasus operasi militer yang dilakukan Gerakan Tiga Puluh September dugaan tentang siapa dalangnya berkisar pada sejumlah pihak (seperti Bung Karno, PKI, Letkol. Untung, Mayjen. Suharto dan CIA), dalam kasus pembunuhan massal 1965 dugaan serupa bisa lebih dipersempit. Bung Karno tentu bukan dalangnya karena tak ada tanda-tanda dia pernah membunuh secara massal anggota Partai Komunis atau partai politik apapun di negri ini. Letkol. Untung juga bukan, karena pada 2 Oktober 1965 gerakan yang dipimpinnya telah gagal dan dia melarikan diri. PKI juga tidak, karena justru merekalah korban pembunuhan massal itu. Akhirnya yang tinggal hanya sedikit kemungkinan dan itu mendesak untuk segera diteliti lebih lanjut. Dengan begitu diharapkan penelitian dan wacana tentang tragedi 1965 tidak lagi hanya berkisar pada pencarian dalang Gerakan 30 September saja, tetapi juga dalang pembantaian massal 1965-1966. Dengan kata lain, bahkan jika dalang dari operasi militer 1 Oktober 1965 telah ditemukan, masyarakat masih harus mencari siapa dalang dari pembunuhan massal 1965.” Kalau berpegang pada tulisan di harian Kompas tersebut tidaklah heran kalau opini dunia bergerak. Protes dunia mengalir, mungkin untuk mengurangi dosa besarnya kepada Republik Indonesia ini, dan untuk menarik simpati dunia maka Amerika Serikat (AS) bersikap menekan pemerintah di negri ini untuk segera membebaskan para tahanan politik, dan jika pemerintah Jakarta tetap membandel, tunggu saja resikonya. Apa sih yang tak bisa dilakukan oleh negara sebesar AS?. Bagi negara sesuper power seperti itu untuk mengkomando negara-negara donor, Bank Dunia bahkan PBB sekalipun bukanlah hal yang sulit, “Stop pinjaman untuk Indonesia, Hentikan kredit!”, ayo mau apa lo?.
175
Inilah barangkali dilema pembebasan itu, bagai makan buah simalakama, dimakan mati bapak, nggak dimakan mati ibu, serba sulit. Bagaimana nggak sulit?. Jika tapol dibebaskan rasa curiga dan phobia mereka terhadap tapol PKI masih melekat kuat, tapi jika nggak dibebaskan kucuran dana kredit macet total, dan pembangunan sudah pasti terbengkalai. Kalau sudah begini apa boleh buat, keputusan tetap harus diambil, perkara yang mungkin ada sesudah pembebasan itu urusan belakang, segalanya masih bisa diatur. Tahun 1978 rumor tentang pembebasan akhirnya menjadi kenyataan. Unit Ragil (Unit-R) dan Unit-Tmendapat giliran pertama. Aku jadi heran semenjak ada pembuktian pembebasan semangat kerja menjadi menurun, untuk apa bekerja habis-habisan toh hasil produksi tak akan dibawa pulang saat kami bebas. Apalagi sikap penguasa juga mulai menggunakan ‘stel kendor’, jadi mengapa juga kami tidak menggunakan ‘perseneling dua’ Dari dulu nggak ada niat kami untuk bekerja menggebu-gebu demi suksesknya program Inrehab. Kalau selama ini kami bekerja keras, itu semata-mata karena paksaan dan tekanan. Anehnya dengan bekerja apa adanya sperti itu, hasilnya juga cukup memadai. Rupanya Dewi Fortuna sedang berpihak pada kami, panen padi berhasil baik. Aku dan pak Salimin pernah bertanam tales (jenis tales Bogor), membajak areal sepanjang 25 X 10 meter di belakang dapur barak yang hasilnya bisa untuk sarapan pagi bagi 100 orang selama sebulan. Juga penekun ladang, pak Jarwo yang iseng ‘neger’ (mengail tanpa pengail) dengan anak tikus sebagai umpannya. Tali kail yang diikatkan di sebatang pohon dibiarkan begitu saja, lalu duatiga hari sekali ditengok, jika tali kail bergerak naik-turun itu pertanda ada sesuatu yang nyangkut di kail. Benar saja, ikan kakap sebesar tebok (tampah kecil) siap menjadi lauk, teman makan. Hal seperti itu bukan sekali itu saja terjadi, pernah pula diperoleh moa (belut raksasa) padahal sebelumnya sangat sulit mendapat rejeki seperti itu. Barak lain pun pernah mendapat rejeki besar, seekor babi biyang dengan ke-empat anaknya terperangkap dan kejeblos dalam sunggak (lubang tanah, lebar ±1 meter dan kedalaman 1 meter, dan di dasar lubang ditancapkan beberapa bambu runcing) yang ditutup dengan ranting dan dedaunan. Babi yang apes itu pun tak bisa bergerak lagi. Saat kami tengah panen padi, waktunya antara jam 10 pagi, panas matahari masih pas terasa gatel, aku lihat berbondong-bondong tapol melintas di depan sawah dengan
176
menggendong bawaannya. Aku tanya mereka, “Ei, mau kemana kalian?” “Arep mulih! (mau pulang)”, dialek Surabayanya kelihatan banget “Yok opo rek cik enake, lah wong tekane buri kok mulihe disik, sopo sing ngongkon? (Gimana ini enak banget, dateng belakangan kok pulang duluan, siapa yang suruh)” “Lho cak, yok opo sih sampeyan iku, sampeyan ngerti rak carane wong baris?. Tak kandani yo, wong baris iku nek ono komando ‘Balik kanan, jalan’, sing ngarep dadi buri, sing buri dadi ngarep.Wis yo aku mulih sik! (Lho kang, gimana anda itu, anda ngerti nggak tata caranya orang baris?, saya kasih tahu ya, orang baris itu kalau ada komando “balik kanan jalan”, itu yang di depan jadi belakang yang belakang jadi di depan. Sudah ya aku pulang dulu)” Ooh dasar ludruk lo!, ya sudah selamat jalan, sampai ketemu!. Hal itu terjadi pada tahun 1978. Pada hari-hari prei (hariMinggu) banyak teman-teman melakukan anjang sana ke unit-unit lain, menemui kenalan-kenalan lama atau famili, kerabat atau bahkan saudara kandungnya yang tinggal berbeda unit. Aku juga melakukan hal yang sama, beranjang sana. Izin untuk kongkow ke unit lain dipermudah, bahkan izin untuk menginap juga diberikan. Seluruh unit kudatangi, Unit-XIII unit yang paling jauh dari unitku, ku inepi, melepas kangen, ngobrol dengan pakMuyono yang pernah satu sel di Blok-Q Salemba dulu sampai larut malam. Lain saat kukunjungi Unit-S (Sawung Galing), unitnya pamanku, aku minta pertolongannya kalau kebetulan beliau bebas duluan dan aku belakangan, kabarkan pada istriku kalau bisa ketemu, bahwa aku pulang belakangan. Dan jika kami bebas berbarengan tolonglah aku, agar bisa berteduh barang seminggu di rumah keponakannya yang lain, sementara aku mencari anakistriku. Aku sangat berharap mereka bisa segera kutemukan dan mereka masih mau mengakui dan menerimaku kembali sebagai suami dan bapak anakku. Tetapi jika ternyata harapanku itu tak terkabul tentu aku akan berusaha untuk tidak memberatkan keponakan pamanku itu. “Ya, aku nggak berjanji, tapi akan aku usahakan apa maumu itu. Lha kalau kau ditolak istrimu bagaimana?” “Ya gimana nanti saja pak, aku ada pengalaman hidup di Jakarta kok, aku nggak malu bekerja apa saja, asal nggak maling. Dari kecil aku sudah biasa kerja keras membantu emak, pengalaman kerja di pabrik tahu juga sudah kumulai dari kampung, masak iya untuk perutnya sendiri kok nggak bisa ngisi. Aku yakin pak, aku bisa.” “Ya bagus, itu yang aku mau, aku kenal kau dari kecil, umurmu juga nggak beda terlalu jauh dengan usiaku. Kau adalah salah satu dari sekian banyak keponakanku yang pernah
177
bersamaku di daerah grilya (tahun 1948-1949), kau telah menunjukkan kesetianmu, dulu kau pernah mendapat tugas masuk ke daerah musuh untuk menyebarkan majalah bulanan “SUANTIM” (Suara Anti Imperalis) yang kita cetak dengan alat apa adanya, saat kau pulang kau membawa kertas, tinta dan bama (bahan makanan), semua itu kau lakukan tanpa pamrih, semata-mata hanya demi kebebasan Republik tercinta ini.” “Sudahlah pak, itu kan masa lampau, sekarang ini aku bisa jadi lain pak. Dulu yang kita hadapi itu jelas Belanda yang memang adalah bangsa lain, kita semua masih satu pikiran, satu tujuan, mengusir Belanda, menegakan Republik Indonesia, nah kalau sekarang ini lain, Belandanya nggak ada, yang ada justru sesama bangsa, tapi ini justru malah susah, menurut para Daí yang biasa memberikan Santi Aji, masyarakat bebas di luar sana sulit menerima dan mengakui keberadaan kita. Dan tampaknya yang berkuasa itu membebaskan kita juga hanya setengah hati.” “Ya nggak apa-apa itu hak mereka. Tapi ingat Republik ini tanah air kita juga, kita pernah menyabung nyawa untuk merebut dan mempertahankan negara ini, jadi apapun dalihnya kita tetap berhak hidup di negeri ini.” “Ya pak, sekarang aku makin mantep bahwa aku sanggup dan akan bisa hidup sesudah kebebasan nanti.” Sampai di situ obrolanku dengan pamanku, saat itu jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, aku pamit pulang, kembali ke unit dan barakku. Aku diberikan oleh-oleh gula aren barang sepuluh keping. Pamanku di Unit-S bertugas nderes dan bikin gula. Gula buatku adalah gula jatah barak yang dikumpulkan dan ada pula diberikan kepada tamu-tamu yang datang berkunjung. Pamanku dalam soal ketekunan belajar memang patut dicontoh, saat di Salemba beliau mempelajari bahasa Perancis dan hal itu tetap berlanjut hingga tiba di Unit-S. Sering juga ada teman dari Unit-S yang datang membawa pesan dari pamanku yang minta dibelikan buku tulis dengan bolpointnya, atau minta dikirimkan tembakau kalau ada, atau satu flakon vitamin B-compleks dan satu flakon lever. Kalau kebetulan aku ada ayam piaraan yang sudah patut dijual tentu permintaan beliau aku penuhi. Beliau adalah gantinya orang tuaku, aku pernah dihidupi dan dibesarkan oleh beliau. Di kemudian hari sesudah pembebasan belajar bahasa Perancis beliau tetap berlanjut dan pada akhirnya beliau bisa bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Perancis.
178
PULANG Fajar tahun 1979 hampir menyingsing. Obrolan pembebasan sudah menjadi obrolan rutin para tapol, di mana-mana, di sawah, di ladang, di hutan gergajian, apa lagi di barak ya pokoknya di mana saja, kapan saja masalah pembebasan selalu menjadi bahasan yang menarik. Ya namanya orang banyak, macam-macam pula pikiran dan angan-angannya. Ada yang berucap kaul (nazar), kalau bebas mau puasa 40 hari sebagai ungkapan rasa syukur, sebaliknya ada pula yang berujar akan makan bersama istrinya selama seminggu non-stop. Gila!, tapi semua sah-sah saja namanya juga orang berujar semau-maunyalah, itu kan cuma ucapan sekedar pernyataan kegembiraan. Kerja santai berjalan terus, panen kacang tanah di ladang HP berjalan dari pagi hingga sore, petugas dapur yang mengirim makan siang datang, mukanya tampak ceria, setengah teriak dia berucap, “Aku bebas, aku bebas!, namaku tercantum dalam papan!” “Hei, jangan teriak-teriak kayak orang sinting gitu, ayo bawa sini kirimannya kami sudah lapar nih!” “Siapa saja yang namanya tercantum di papan?” tanya kami “Dari yang panen ini, kalau nggak salah cuma seorang yang nggak tercantum namanya, mang Karna” Kami semua bersorak dan bertepuk tangan, sebaliknya mang Karna lemas lunglai tak berdaya. Aku tepuk punggung mang Karna, "Jangan sedih mang. Mang Karna juga pasti akan bebas, hanya waktunya saja yang berbeda, atau bisa jadi ada salah tulis, atau mungkin tulisan di papan itu belum lengkap semuanya,". aku mencoba menghibur. “Lihat saja sendiri mang, atau nanti di barak tanyakan kebenaran berita itu pada kepala barak,” lanjut yang lain. Karena aku sudah termasuk dalam rombongan orang-orang yang dibebaskan laparku mendadak jadi hilang, apalagi sambil panen kami tadi juga ngemil kacang rebus. Rasa lapar kami semua lenyap begitu saja tertelan oleh luapan kegembiraan, ya maklumlah, itu bisa dimengerti. Ternyata nama-nama yang tertulis di papan barak banyak yang berubah, nama yang tadinya tertulis bebas berganti dengan nama orang lain. Perubahan ini menjadikan teman-teman yang tadinya penuh semangat dan harapan kembali lunglai dan hilang semangat, seperti bara yang tersiram air. Dan ternyata dari 100 orang warga barak-III
179
tidak semuanya bebas, ada lebih dari separuh yang tertinggal. Untuk membuat kenangan dalam menyambut perpisahan, barak-III akan membuat acara istimewa, pesta kecil-kecilan akan diselenggarakan, makan enak menurut kemampuan barak. Dua-tiga hari sebelum kami meninggalkan Unit-II, barak-III memenuhi janjinya, pesta kecilkecilan pun diadakan. Kemin, nama seekor kerbau yang telah banyak memberikan jasanya kepada tapol. Kemin, si penarik bajak dan garu, entah sudah berapa ribu hektar sawah yang dibajak dan diinjak-injak kakinya sampai lumat. Begitu setianya si Kemin menemani pakWongso (pembajak dan penggaru asal Klaten, Jawa Tengah) dan aku biasanya suka menjadi buntut garu. Dia nggak pernah menuntut apa-apa, sesudah rucat Kemin cukup puas dengan berkubang, makan rerumputan atau sekedar memburu betinanya. Pengorbanan Kemin selama ini sudah luar biasa, tapi rupanya pengorbanan Kemin belum cukup sampai di situ. Saat-saat terakhir pembebasan para tapol, Kemin harus memberikan pengorbanan terakhir, pengorbanan yang teramat besar. Kemin harus merelakan jiwanya melayang, menyerahkan daging, darah tulang dan kulitnya pada para tapol. Kemin siap mati untuk disembelih. Demikian juga yang terjadi pada seekor anjing betina, bernama Hella, anjing yang satu ini adalah anjing kesayangan warga barak. Hella anjing cikal bakal yang dimiliki barak, banyak keturunannya yang sudah menjadi santapan. Kepandaian Hella menangkap tikus saat menemani panen susah dicari tandingannya, Hella bisa menyusup di kelebatan tanaman padi, dan saat ia keluar ia pasti membawa tikus tangkapannya. Tikus itu mati digigitnya dan kemudian ditinggalkannya di pematang, lalu ia kembali menulusup berburu lagi. Sedang tikus yang ia tinggalkan menjadi rebutan para tapol. Hella anjing yang tahu balas budi dan warga makin menyayanginya. Tapi apa boleh buat Hella pun harus mengikuti jejak si Kemin, Hella juga harus mengorbankan dirinya, Hella harus siap mati dicekik demi majikannya. Ya begitulah nasib hewan, kegagahannya yang tidak disertai akal, apapun kehendak manusia, dia tak pernah bisa menolak dan membantahnya, hanya manusianya yang kadang-kadang keterlaluan, berbuat semena-mena, apa lagi kalau sudah menjadi penguasa, sering lupa daratan. Aji mumpung menjadi modal dan andalan. Sekecil apa pun yang namanya kekuasaan pasti mempunyai nilai lebih, dan untuk itu orang tak segan-segan berbuat apa pun demi sebuah kekuasaan. Kekuasaan bisa mendatangkan kehendak apa pun yang diingkinkan, kekuasaan dapat mendatangkan kekayaan, kekayaan bisa memenuhi
180
kehendak di atas perut dan di bawah perut. Kekuasaan dan kekayaan memang dapat menjungkir balikan dunia. Pertengahan bulan Desember 1979, kami siap meninggalkan Unit-II. Unit yang kami bangun dengan kucuran keringat, darah, tulang dan otot selama 10 tahun harus kami tinggalkan. Kami tinggalkan seluruh hasil karya kami untuk siapa saja yang menghendaki, kami tak ada lagi sangkut paut dan urusan dengan Unit-II, kalau sejarah mau mencatat hasil kerja kami ya silahkan jika tidak pun kami tak peduli. Diakui atau tidak kami telah memberikan apa yang kami miliki, sampai kepada harta kami yang paling berharga yaitu nyawa kami, kami telah membangun sebagian dari tanah air tercinta. Jam 11 siang rombongan siap diberangkatkan, kami saling berpelukan, menangis penuh haru, masa 10 tahun dalam kebersamaan bukanlah waktu yang singkat, 10 tahun yang lalu kami tak saling mengenal, kesamaan nasiblah yang mempertemukan kami, persahabatan, kekeluargaan, rasa saling mengasihi dan menyayangi yang kami jalin selama 10 tahun ini akan segera berakhir dan akhirnya akan tinggal menjadi kenangan, dan boleh jadi dengan berjalannya waktu segala kenangan itu tak terasa akan lenyap seperti menguapnya embun ditelan sinar mentari, nggak apa-apa, tak ada pesta yang tak berakhir, kata si Kliwon. Apa yang sedang terjadi saat ini adalah suatu hal yang selama ini kami inginkan dan kami kehendaki. Ya kami ingin bebas berapa pun harga kebebasan itu kami siap membayarnya. Rasa sedih akan perpisahan ini pasti akan hilang lenyap saat kami bertemu kembali dengan keluarga yang kami cintai, keluarga yang selama ini kami rindukan. Apakah nanti setelah kami ketemu keluarga keadaan makin sulit, berantakan atau runyam, itu soal nanti. Dengan diantar suasana yang haru biru kami berjalan, memasuki lending, komando terdengar dan lending bergerak laju. Seperti ketika ADRI-11 meningggalkan Nusa Kambangan, kulambaikan tanganku, kuucapkan selamat tinggal pada Unit-II, Inrehab dan Pulau Buru. Tak lupa kuucapkan pula selamat tinggal pada Pocen dan Mukakodo serta khususnya untuk Mandepa, akankah Mandepa tetap ingin menjadi tapol?. Kasihan dia. Perjalanan pulang kami sangat jauh berbeda dengan keberangkatan kami ke Pulau Buru, baik itu alat transportasinya maupun perlakuan yang kami terima. Kali ini kapal haji “Gunung Jati” yang mengangkut kami, keadaannya jauh lebih baik dari ADRI-11. Dulu katanya kapal ini milik PT.ARAFAT, nggak tahu mengapa sekarang ada di tangan ALRI. Awak kapal seluruhnya dari Angkatan Laut. Selama perjalanan kembali ke Pulau Jawa tak ada intimidasi.
181
Kapal
berjalan
lancar,
suara
merdu
mbakWaljinah
yang
keluar
dari
kaset
mengumandangkan lagu "Walang Kekek" lagu pop daerah yang populer ikut mengantar dan menghibur kami dalam perjalanan pulang. Para penumpang yang beragama Katholik atau Protestan sempat bernatalan di kapal, kopi susu yang tersedia bisa kami minum sepuas kami, entah dari mana biayanya tak kami pedulikan, hati dan pikiran kami terlalu sibuk memikirkan saat-saat akan pertemuan kembali dengan keluarga kelak. Kami mendapat satu set alat makan, piring, sendok dan mug untuk minum, kami juga mendapat sepasang sepatu dan sebuah tas pakaian. Dalam perjalanan kapal menuju ke tanah Jawa, setiap kali kapal melewati daerah tertentu selalu ada informasi yang diberikan, seperti “kapal kini sudah memasuki Laut Jawa”, “kapal sudah melintas di atas Surabaya” dan mendengar informasi ini kami semua bersorak. 48 jam lagi barangkali kami akan memasuki pelabuhan Tanjung Priok. Mudah-mudahan. Jam tiga dini hari, kapal berhenti, mandeg tak bergerak. Aku melongok ke jendela terlihat jelas di sekeliling laut cahaya lampu. Kedipan dan gemerlapnya lampu membenarkan dugaanku, bahwa kapal sudah sampai di Tanjung Priok. Benar juga, kapal sudah tiba di tempat tujuan tinggal menunggu kapal tandu yang akan memandu ke dermaga. Pikiran dan hatiku makin bergelora, bagaimana nantinya aku ini?. Bisakah aku bertemu kembali dengan keluargaku, terutama dengan anakku?. Apakah aku akan menjadi seorang gelandangan sesudah aku menginjak Jakarta kembali?. Akankah terbukti kesombonganku di depan petugas Kejaksaan dulu yang aku tolak bujukannya untuk mendatangkan keluargaku ke Pulau Buru?. Ya saat kebebasan sudah menjadi kenyataan, apapun resikonya nanti harus bisa kuterima dan kuhadapi. Tanggal 31 Januari 1979 pada jam enam pagi, kami sudah naik darat, pertama kalinya kaki ini kembali menginjak tanah Jawa, khususnya kota Jakarta, truk-truk penjemput sudah siap menungu, serah terima penumpang dari Kapten kapal kepada Komandan Kodim setempat selesai. Kami lalu diangkut dengan truk ke Kodim. Sesampai di Kodim kami dihitung ulang, beres penghitungan kami menerima pengarahan dan diteruskan dengan janji sumpah setia pada Pancasila dan kemudian diakhiri dengan pembagian makan siang (nasi kardus). Dari Kodim inilah kami mulai berpisah dengan teman-teman seperjalanan. Kami berpisah menuju alamat tinggal masing-masing, berpencar ke lima wilayah Jakarta, aku sendiri masuk ke dalam rombongan yang menuju ke Jakarta Timur.
182
Dulu ketika meninggalkan Salemba kami diangkut dengan truk dan kami nggak boleh berdiri, kali ini kami diangkut juga dengan truk tapi ada sedikit perbedaan, kami boleh berdiri. 13 tahun yang lalu di kiri-kanan jalan By pass masih berupa bulakan sawah dan rawa-rawa, tapi kini di kiri-kanan jalan By pass telah berubah menjadi gedung-gedung, seperti bangunan pabrik atau gudang. Jalan satu arah dipenuhi lalu-lintas berbagai kendaraan yang tidak pernah kutemui ketika di Pulau Buru. Ya Jakarta ternyata telah banyak berubah. Ketika truk pengangkut melintasi jembatan Jatinegara, di bawah jembatan melintas kereta listrik, dari jembatan jalan agak menurun, truk belok kanan ke arah Prumpung. Lajunya truk makin lambat, belok lagi ke kiri, di depan pintu kereta truk mandeg karena macet. Aku agak bingung, sebenarnya mau kemana truk ini. Nggak tahunya, sesudah kemacetan reda tujuan truk hanya tinggal beberapa meter dari pintu kereta. Itulah Kodim Jakarta Timur. Di sekitar kantor Kodim telah dipadati orang-orang, laki-perempuan, tua muda bahkan anakanak. Mereka adalah keluarga para tapol yang hendak menjemput kami. Masih di atas truk aku melihat sosok istri dan anakku, kakak perempuanku yang tertua pun terlihat, mengelompok dengan anak dan istriku. Ketika kakakku melihatku, tak sadar dia setengah berteriak memanggil namaku. Nampak mbakyuku itu mengusap air matanya. Rasa haru dan gembira menyatu. Belum ada komando untuk turun dari truk, kutebarkan pandanganku di sekitar para penjemput, terlihat olehku pak Alex (guru pijatku di Salemba), ibu-istrinya pamanku juga datang menjemput suaminya. Satu hal yang nggak pernah terpikir olehku dan nggak pernah kuperkirakan, teman lamaku Suparno dan adiknya Suprapto ada pula dalam kerumunan para penjemput. Tapi siapa yang hendak mereka jemput?. Setahuku mereka adalah keluarga “bersih lingkungan”, nggak ada satu pun dari keluarga mereka yang tersangkut peristiwa hebat itu. Akhirnya kami diperintahkan turun juga, apel dan penghitungan kembali dilakukan, satu persatu nama dipanggil untuk mengetahui keberadaannya. Semua komplit nggak ada yang kececer. Komandan Kodim kemudian memberikan pengumuman, "Harap para penjemput tenang dan tertib!, penyerahan tapol kepada keluarganya akan segera dimulai. Saudara-saudara harus menandatangani berkas penyerahan ini, dan seterusnya bekas tahanan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab si penanda tangan. Oleh karena itu berikan kepada kami alamat yang komplit dan jelas. Tunjukkan KTP anda sebagai penanggung jawab.
183
Maaf saudara-saudara, perlu saya jelaskan, untuk saudara-saudara ketahui bahwa pembebasan para tapol ini masih dalam masa percobaan. Apakah masyarakat setempat tidak keberatan dan bisa menerima kehadiran para tapol ini, apakah dalam masa percobaan ini mereka tidak bikin ulah lagi. Kalau kedua hal ini terjadi, maka kami tidak akan segan-segan untuk mengambil tindakan tegas, dan boleh jadi kami akan mengamankan mereka kembali. Bagaimana saudara-saudara, sanggup?” Para penjemput serentak menyahut, “Sanggup!” Rupanya para keluarga nggak perlu banyak berfikir, sanggupi saja, habis perkara, soal kemudian adalah soal nanti. Satu persatu nama penjemput dipanggil untuk menerima dan menandatangani surat penerimaan, persis seperti menerima barang yang baru di keluarkan dari gudang. Saat keluarga yang menjemput dan dijemput bertemu dan berpelukan terdengarlah tepuk tangan, isak tangis, sedu-sedan dan haru tumpang tindih. Mereka saling melepas rindu, senyum kegembiraan tampak pada wajah masing-masing, tanda rasa syukur yang tiada tara. Entah sudah berapa banyak nama yang dipanggil, tetapi nama istriku kok lama banget nggak dipanggil-panggil, sesaat terfikir olehku mungkin bukan istriku yang menjadi penanggung jawab, boleh jadi mbakyuku, siapa tahu?. “Nyonya Mulyani Nursamhari!”, akhirnya terdengar juga nama istriku disertai dengan namaku dipanggil. Hatiku nratap, deg!, tak ubahnya seperti saat aku dipanggil ke depan ketika di Budi Kemuliaan. Kalau dulu aku dipanggil untuk menghadapi singa lapar, sekarang aku dipanggil untuk bertemu dengan gemulainya seorang istri tercinta. Terlihat istriku maju, dengan tangan gemetar dia membubuhkan tanda tangannya. Nggak perlu malu dan rikuh, tanganku dibimbingnya, dan segera saja kami berpelukan, dan tepuk tangan terdengar lagi. Pak Alex menghampiri, menyalami dan merangkulku, “Selamat datang, Ji!,” katanya. Panggilan Kajiku ternyata tetap diingatnya, kami tertawa lega. Mbakyuku kupeluk, air matanya terus meleleh. “Sudah tenang, yu!, kita kan sudah berkumpul lagi,” bujukku, tanganku terus merengkuh pundaknya yang kurus erat-erat. Anakku sudah merambat menjadi remaja, sekolahnya mulai menginjak SMP, tentu saja aku nggak kuat lagi menggendongnya seperti saat pertemuan keluarga dulu di Salemba. Tangannya terus memegangiku tanganku, nggak mau lepas dari tangan bapaknya, padahal tangan bapaknya
184
kasar dan gedebel, mati rasa, mungkin diiris pun nggak akan terasa, semua itu akibat gesekan dengan doran (gagang) pacul selama 10 tahun tanpa henti, badan bapaknya ini tambah kurus, kulitnya tambah hitam, dekil karena mandinya air kali tanpa sabun pula, kalau pakai sabun pun itu hanya sabun cuci sekalian mencuci pakaian dinas persawahan. Bibi yang kupanggil ibu, istri pamanku datang menyalami sambil berucap, “Kau harus berterima kasih sama istrimu, bojomu anak yang setia sama suami. Coba perhatikan, istrimu masih kerja, masih kelihatan muda, kulitnya nampak putih bersih, ee kok gelem-geleme nompo uwong koyo ngene rupane (mau-maunya menerima orang macam begini).” Hanya sampai di situ percakapanku dengan ibu, ibuku mendapat panggilan untuk menerima suaminya, apa yang terjadi dalam pertemuan mereka, aku nggak tahu. Pikiranku hanya tertuju pada satu arah, ketemu keluargaku. Pikiranku saat di atas truk benar, teman lamaku yang terlihat tadi memang nggak menjemput siapa-siapa. Mereka berdua, temanku dan adiknya sengaja datang untuk menjemputku. Mereka membiarkan aku berlama-lama menuntaskan rasa rindu yang memenuhi dadaku ini kepada istri dan anakku. Baru sesudah itu mereka menghampiri, menyalami dan merangkulku. “Kami sengaja datang untuk menjemputmu, kami mengerti keadaanmu, apa maksud keadaanmu itu nggak perlu kau ketahui sekarang, nanti sajalah aku beri tahu. Keluargaku sudah sepakat, untuk sementara kek, atau seterusnya kau boleh tinggal bersamaku. Satu kamar telah kami sediakan untukmu.” Adiknya menyambung, “Mas, mas Nur nggak saya anggap orang lain, mas Nur adalah saudaraku juga. Kami ikhlas mas, terimalah tawaran ini tanpa perasaan macam-macam, ini tawaran dari saudara sendiri. Kalau mas Nur kesel dan bosen tinggal di rumah mas Parno datanglah ke rumahku, rumahku cukup untuk ditambahi satu orang.” Tak tahan air mataku menetes tanpa henti, tak kusangka aku mendapat perhatian begitu besar dari orang lain, mereka hanyalah teman, orang lain bapak, lain emak, kakek dan neneknya juga lain, mereka kukenal sejak tahun 1953, ketika sama-sama satu kelas di Taman Dewasa, yang ada di jalan Garuda 25, Jakarta. Memang sejak itu sampai saat aku ditangkap, kami nggak pernah putus hubungan. Bahkan sampai dengan seluruh keluarganya, aku nggak dianggap orang lain. Dan sahabatku inilah yang dulu sering mengirim besukkan roro ireng untukku saat aku masih dalam tahanan Budi Kemuliaan dan Salemba.
185
Sebuah taksi bercat kuning dipanggilnya, kami sekeluarga naik, mas Parno dan dik Prapto ikut mengantar, kemana tujuannya aku belum tahu. Istriku lalu bilang pada supir, “Utan Kayu pak, gangMangga.” Aku tanya sama istriku, “Kita akan pulang dan menempati rumah kita dulu?, kapan katanya rumah itu sudah diambil sama yang punya?” “Iya mas, rumah kita yang dulu memang sudah diambil oleh yang punya, kita pulang bukan ke rumah itu, tapi ke rumah kita sendiri hanya tempatnya memang nggak jauh dari rumah kita yang dulu.” “Lho lantas rumah siapa itu, rumah sewaan?” “Nggak mas, itu rumah kita sendiri, nanti sajalah aku ceritakan tentang rumah kita sekarang ini.” Mas Parno nyambung, “Sudahlah ndak usah tahu dulu tentang rumah, yang penting sekarang pulang dulu, nggak peduli rumah siapa kek, masuk dan tempati saja dulu kan ada yang mengajak dan tanggung jawab ini.” Taksi terus melaju menuju alamat yang di tuju, nggak lebih dari setengah jam taksi pun sampailah ke rumah. Rumah itu kecil, lebarnya nggak lebih dari 3 meter hanya agak panjang kayak gerbong kereta api, suasananya gelap maklum belum ada listriknya. Rumah itu memang sudah tembok dan tingkat, tapi bangunannya terlihat serba sederhana, malah sangat sederhana sekali dibanding dengan rumah-rumah di sekelilingnya, ruang tamunya kecil dan sempit, kursinya pun hanya berupa kursi besi dengan jog berbalut plastik seperti pentil sepeda, pantas kalau disebut kursi pentil, dan kursi semacam ini biasanya lebih cocok untuk kursi santai di bawah pohon jambu. Lantai rumah terbuat dari tegel berwarna kuning kehitaman dan sudah pecah-pecah. Kamar tidur yang kecil dan sempit ada di belakang ruang tamu, kamar itu bersekat tripleks untuk memisahkannya dari ruang makan. Kamar mandi dan wc menjadi satu bersebelahan dengan dapur, tempat inilah yang paling gelap karena tak ada jendela di sana. Jadi biar siang hari pun lampu teplok minyak tanah harus disundut. Rumah tinggalku ini tingkat bagian atasnya hanya terdiri dari satu ruangan, seperti geladak, panjang dari depan sampai ke belakang, hanya bagian belakang sedikit di pisah untuk tempat menjemur.Walau keadaan rumah ini teramat sangat sederhana aku tetap bersyukur, karena masih ada tempat bagiku bernaung bersama keluarga. Tetangga kiri-kanan mulai berdatangan, memberi salam selamat dan kami saling
186
berkenalan. Sore hari adik laki-lakiku terkecil datang bersama istrinya, ternyata mereka juga tinggal di bilangan Utan Kayu hanya berbeda gang saja, kami saling berpelukan penuh haru, adikku sudah beranak empat, masih kecil-kecil semuanya. Mas Parno pamit pulang sebentar, tak lama ia pun kembali sambil menenteng petromaks, langsung saja lampu itu dinyalakan, “Nih, pakailah lampu ini, lumayan buat penerangan sebelum ada listriknya, dan ini accu (aki) masih baik, barangkali ada radio, bisa dimanfaatkan.” Mbak Kasri, istri sahabatku yang datang menyusul setelah menyalamiku langsung mengajak istriku masuk kamar, ada keperluan apa aku nggak tahu, itu urusan mereka. Karena banyaknya tamu yang berdatangan rumah kecil ini kelihatan sangat padat, hal ini rupanya menjadi tontonan menarik bagi anak-anak, mereka nampak berdiri di gang menonton entah apa. Menjelang magrhib mereka semua pamit pulang, tinggallah kami berempat, anak, istri dan kakak perempuanku. Malam hari kami berempat makan sambil ngobrol, saling bercerita pengalaman selama 13 tahun terpisah, hingga tak terasa waktu telah larut malam, waktu akan istrihat tidur aku agak bingung, di mana kamar tidurku?. Anakku tentunya tidur sama ibunya di kamar yang sempit itu, kalau aku ikut tidur di sana nggak tahu kok rasanya sungkan. Di tengah kebingunganku istriku berkata, “Mas, malam ini mas tidur di atas saja sama bude (mbakyuku)”, aku pun menurut. Ah 10 hari yang lalu aku masih tidur di barak di Pulau Buru, satu ruangan bersama 30 orang temanku, dan malam ini aku sudah tidur di Pulau Jawa tepatnya di sebuah gang sempit, bernama gang Srikaya nomer 17 di daerah Utan Kayu, Jakarta Timur. Sungguh cepat peredaran waktu yang kulalui. Apakah waktu mendatang sesudah pembebasanku ini akan membawa perubahan?, semua itu masih merupakan tanda tanya besar bagiku. Pagi hari istriku berkemas berangkat ke kantor sekalian mengantar anak kami kembali ke Grogol, anakku untuk sementara memang masih tinggal bersama budenya di Grogol, hingga menamatkan SMPnya. Otomatis malam ke dua kami hanya tinggal bertiga, saat kami hendak tidur terjadi problem kecil. Seperti layaknya pasangan yang telah terpisah begitu lama, rasa rindu dan kangen adalah hal yang wajar. Aku masih seorang pria normal, malam itu ada niatku untuk menyampaikan rasa rinduku kepada istriku, tapi apa kata istriku, “Mas, maaf, saat-saat sekarang ini aku belum bisa menerima maksud sampeyan,
187
sekali lagi maaf mas. Saat ini kita kan bukan suami istri lagi” “Lho apa maksudmu kita bukan suami istri lagi?, apa kita sudah cerai?” "Iya mas, kita sudah lama cerai, agar mas tahu, dulu aku mendapat tekanan dari kantor, saat itu aku disuruh memilih tetap bekerja sebagai pegawai negri sipil (PNS) tapi harus segera bercerai dengan sampeyan atau tetap bersuamikan seorang tapol tapi aku harus keluar dari PNS. Dan maaf mas, pilihanku jatuh pada tetap menjadi PNS, tentunya sampeyan bisa mengerti pilihanku ini. Menjadi PNS adalah penghidupan kami selama ini. Jadi sabarlah dulu." “Aku ingin tanya, jika sudah jelas-jelas kita bercerai, mengapa kau menjemputku?,” suaraku terdengar agak keras. “Aku menjemput sampeyan karena sampeyan itu adalah bapaknya anakku” “Lha kalau kita sudah bercerai, lalu kenapa surat perceraiannya nggak kau kirimkan bersama suratnya Mumuk lewat Romo pastur?” “Ya mas aku ngerti, tapi aku sadar kalau surat cerai itu aku kirimkan ke sana aku khawatir akan lebih membebani penderitaan sampeyan. Oleh karena itu aku harap sampeyan bisa memaklumi dan menerimanya. Percayalah entah esok atau lusa kita akan kembali menjadi suami-istri lagi.” Aku sadar dan mengerti akan alasan istriku, ternyata selama kami terpisah ia pun mendapat tekanan dan kesulitan yang begitu rupa. Yah akhirnya sementara kaulku gagal, sampai kapan?, aku sendiri belum tahu kepastiannya. Apakah teman-temanku yang lain juga mengalami hal yang sama denganku?, hanya merekalah yang tahu. Aku tahu penolakan istriku itu sepenuhnya benar adanya. Penolakan itu tentu atas dasar hukum dan perintah agama, kami atau siapa pun tidak boleh dan tidak dibenarkan untuk melakukan hubungan suami-istri di luar pernikahan. Dengan begitu kami terlepas dari hidup kumpul kebo. Seminggu sesudah kebebasanku, tapatnya tanggal 7 Pebruari 1979, saat itu pagi hari jam belum juga menunjukkan pukul 7 pagi, mbak Kasri datang dengan membawa nampan, satu nampan berisi nasi kuning dengan lauk pauknya, dan satu nampan lagi terisi pisang setangkap (dua sisir). “Dik Nur, hari ini ujar kaulku terlaksana sudah.” Dik Nur ini adalah teman baik bapaknya anak-anak, saya tahu dan ngerti betul bahwa dik Nik (biasa beliau memanggil istriku dengan sebutan Nik) melakukan perceraian sepihak karena terpaksa. Hubungan kami bersama dik Nik berjalan biasa selama dik Nur tinggalkan. Satu ketika saya pernah berujar, “Jika diijinkan oleh Allah SWT, kapan saja jika dik Nur bebas aku akan berusaha mempertemukan kembali dik Nur dengan dik Nik, dan walaupun barang sekepal
188
aku sing bancaki (selamatan ala kadarnya). Nah sekarang angan-anganku terwujud. Berkemaslah, hari ini dik Nur akan melakukan ijab kembali” “Mbak Kasri, begitu besar perhatian mbak sekeluarga pada kami, peristiwa ini akan menjadi catatan dalam hidup saya, mbak. Dan saya nggak akan pernah melupakannya,” hanya itu yang bisa kukatakan. Kujabat tangannya dan tak urung tangis dan haru menyesaki dada dengan ditandai lelehan air mata. Terima kasih mbak. Kami berangkat ke Kantor Urusan Agama di bilangan Grogol, karena KTP istriku memang masih KTP Grogol. Aku dengan berpakaian apa adanya, hem putih pemberian barak dan celana biru hasil barter dengan ayam piaraan, yang keduanya sudah tampak lecek. Ya selama 13 tahun menjadi seorang tapol hanya harta itulah yang kumiliki. Kemarin saat aku di jemput pulang dari Kodim menuju rumah di Utan Kayu aku dinaikan taksi bercat kuning, sekarang kami pergi menuju ke KUA Grogol dengan naik bis umum yang juga bercat kuning. Di pinggir jalan dari jendela bis ada kulihat kotak pos yang juga bercat kuning, bahkan ada jembatan penyebrangan yang juga bercat kuning. Melihat semuanya ini aku jadi bertanya pada calon istriku, kenapa banyak fasilitas umum yang bercat kuning. Calon istriku pun menerangkan bahwa warna kuning itu adalah lambang Golkar, Golkar yang singkatan dari Golongan Karya adalah nama partai besar yang sedang berkuasa di saat itu. “Waktu pemilihan umum mas, kewajibanku sebagai PNS adalah harus mencoblos gambar beringin lambang partai Golkar jika nggak ingin dipecat” “Oh begitu bagus!. Tapi warna kuning keemasan itu sebenarnya kan juga lambang kematian. Setahuku dulu jika ada bendera kuning dipasang di depan jalan atau gang itu tandanya ada kematian di sekitar situ. Apakah sekarang masih begitu?” “Ya masih mas, Tapi soal kematian itu kan nggak bisa diketahui kapan terjadinya, yang penting dan jelas warna kuning itu adalah juga lambang ‘ketinggian’, coba lihat mobil presiden pun dipasangi bendera kecil berwarna kuning. Jaket anak-anak mahasiswa Universitas Indonesia juga berwarna kuning. Pokoknya warna kuning itu warna keemasan harus dipuja, dihormati dan dijunjung tinggi. Orang biasa mengatakan ada kesempatan emas ya harus digunakan sebaik-baiknya. Sekarang ini banyak sekali orang yang mencari kesempatan itu” “Lha apa kau nggak ikut mencari kesempatan itu?” “Ah mana mungkin mas, wong aku cuma pegawai rendahan, dapat tambahan uang lembur saja juga sudah beruntung.”
189
Jam 9 pagi, akhirnya kami tiba di KUA, kakak perempuan calon istriku dan suaminya telah datang menunggu untuk menjadi saksi pernikahan kami kembali. Tidak lebih dari sejam perhelatan kecil itu pun selesai, kami saling bersalam-salaman dan berpelukan, sesudah itu kami pun kembali pulang ke Utan Kayu. Setibanya di rumah sambil duduk beristirahat pikiranku menjelajah ke mana-mana. 13 tahun aku di dalam penjara dan tanah pembuangan adalah waktu yang sangat panjang dan terasa lambat bergeraknya. Tetapi sesudah pembebasan ini waktu terasa sangat cepat berlalu. Kalau kemarin aku masih menyandang setatus duda, hari ini aku sudah kembali menjadi seorang suami. Sebulan lalu aku masih menjadi seorang penekun sawah yang harus bertanggung jawab atas hidup matinya tanaman padi, mulai hari ini aku kembali menjadi seorang suami yang harus ikut bertanggung jawab atas kelangsungan hidup
keluargaku. Lalu apa yang bisa kulakukan?. Di tengah lamunanku istriku datang membawa dua cangkir kopi dan menemaniku duduk. “Kau tetap masih cantik istriku, di mataku kecantikanmu semakin bertambah karena kesetian dan kesabaranmu menunggu kedatanganku.” “Terima kasih mas, aku nggak bisa berbuat banyak selama ini, hanya itu saja yang bisa aku lakukan.” Tak kusadari di siang bolong dan pintu rumah terbuka lebar kami saling berpelukan melepas rindu. Jauh dari apa yang dikatakan oleh para petinggi Inrehab bahwa masyarakat akan sulit menerima kedatangan dan pembebasan tapol. Kenyataan yang kualami berkata lain. Masyarakat di sekeliling rumahku ternyata menerima baik keberadaanku. Tak terkecuali sahabat lamaku yang begitu antusias menerima kedatanganku dengan segala pengorbanannya. Kemauan dan kesediaannya untuk menerima kedatanganku adalah merupakan sikap dan perbuatan yang mempunyai nilai lebih. Bahkan pernikahan ulangku dengan ibu anakku juga tak terlepas dari peran mas Parno sekeluarga. Barangkali inilah yang dikatakan oleh orang-orang pintar, “Sahabat sejati adalah sahabat di kala duka”, dan aku sudah menemukannya.
190
PENUTUP
Bulembangbu Itulah sekelumit kisah pengalamanku dalam dunia Bulembangbu, ya Bulembangbu itu adalah ringkasan dari empat nama tempat yang pernah kuhuni dengan status tapol, jelasnya Bulembangbu itu adalah, Budi Kemulian (BU), Salemba (LEM), Nusa Kambangan (BANG), dan Pulau Buru (BU). Empat tempat yang saling berjauhan ini hakikatnya mempunyai satu sifat yang sama, sama-sama “Jahanam!” Di dunia Bulembangbu itulah kuhabiskan 13 tahun perjalanan hidupku, di sana banyak kuketahui, kualami, dan kurasakan. Pahit getir, hinaan, caci maki, hantaman, pukulan, tendangan, dan pemerasan yang jauh dari sila ke-2 dari Pancasila, "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab", jika kami tapol dicap sebagai manusia-manusia yang anti Pancasila, lalu siapa mereka?. Dunia Bulembangbu adalah tempat manusia yang tidak bernilai manusia, entah berapa banyak nyawa yang melayang karena siksaan dan rasa frustasi, berapa banyak manusiamanusia yang produktif berakhir menjadi seonggok daging tanpa arti, menjadi gila karena tak tahan pada intimidasi yang dilakukan oleh manusia yang mengaku Pancasilais sejati. 13 tahun kami di tahan dalam dunia Bulembangbu, kami tidak pernah di proses secara hukum, kami tidak pernah diadili, kami tidak pernah divonis, kami hanya ditahan, diamankan dan direhabilitasi. Ya, kami tidak dibui, kami hanya ditahan. Kami juga tidak dipenjara, kami hanya diamankan, dan kami tidak dibuang, kami hanya direhabilitasi. Mungkin begitulah cara mereka menginterprestasikan sila ke-2 dari Pancasila secara murni dan konsekwen. Bukan main indahnya istilah itu. Apapun dalih yang mereka katakan, tak ada yang menyangkal jika empat tempat itu adalah jahanam yang digelar oleh rezim yang sedang berdaulat. Selaku manusia yang masih mempunyai nalar, aku berusaha berfikir obyektif. Kekuasaan
memang menggiurkan, dengan kekuasan manusia bisa berbuat apa saja, mendapatkan apa saja yang diinginkannya, banyak manusia yang menjadi buta karena kekuasan. Tetapi kekuasaan itu tidak begitu saja datang, kekuasaan itu harus direbut, apapun resikonya.
191
Dan bila kekuasaan sudah ada digenggaman, gunakan kekuasaan itu sebaik-baiknya dan pertahankan semampunya. kelestariannya.
Bunuh
dan
babat
habis
musuh-musuh
politik
demi
Manusia tetap manusia, disamping manusia-manusia brutal yang tak berperi kemanusiaan, aku pun masih menemukan sisa-sisa manusia yang masih mempunyai rasa welas asih, walaupun hanya satu-dua gelintir. Sekalipun dia seorang petugas dan prajurit yang harus melaksanakan perintah. Tetapi mereka melaksanakan tugas dengan tetap memelihara rasa keadilan dan naluri kemanusiaannya. Mereka tahu dicubit itu sakit karena itu jangan mencubit orang lain. Mereka tahu menghargai sesama manusia, siapa pun mereka, sekalipun mereka itu para tahanan, mereka juga tetap manusia yang mempunyai kedudukkan yang sama di mata hukum. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan ; Segala warga negara bersamaan kedudukkannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Kepada mereka para petugas yang nyata-nyata menghargai nilai manusia dan menjunjung hukum, tak segan-segan aku mengacungkan kedua jempolku dan tak lupa ucapan terima kasih. Di harian Kompas, Sabtu 31 Desember 2005, seorang dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, bernama Baskara TWardaya SJ, menulis artikel yang berjudul “Indonesia Yang Lain”. Antara lain beliau menulis, “Pada dekade 1950-an terjadi berbagai pemberontakan daerah. Para pemimpinnya ditangkap, tetapi tak disertai pembantaian massal. Tampak sekali waktu itu ada sikap saling menghormati diantara sesama warga negara, meski ada berbagai perbedaan sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan. Tak mengherankan, meskipun baru merdeka, saat itu proses demokrasi dipahami dengan baik, sampai ketingkat akar-rumput, sebagaimana tercermin dalam pemilu 1955. Pun bangsa Indonesia mendapat tempat terhormat di kalangan bangsa-bangsa lain. Kepercayaan dunia terhadap kepeloporan Indonesia tercermin dalam Gerakan Non Blok dan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika. Gagasan Indonesia untuk membangun dunia kembali pasca kolonialisme juga diterima secara internasional. Tak terbantah pernah ada Indonesia yang lain, yang meskipun sangat majemuk para warganya saling menghoramati dan dengan demikian dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Akan tetapi entah mengapa mulai tahun 1965 berbagai konflik politik yang terjadi selalu
192
disertai kekerasan massal. Kekerasan yang satu disusul dengan kekerasan yang lain. Setidaknya ratusan ribu nyawa melayang di tangan sesama warga bangsanya sejak tahun itu. Sejak itu pula korupsi merajalela, sumber-sumber alam dijarah, rumah-rumah ibadah dirusak, ekonomi makin tak memihak rakyat. Rasa hormat dan kagum dari bangsa-bangsa lain juga terus berkurang..” Begitu tulisan beliau. Bagiku tulisan itu sangat menyentuh dasar dan pokok persoalan tentang kekuasaan. Kalau boleh ditambahkan, sejak berdirinya negara RI, republik ini tak pernah lepas dari rongrongan dan pemberontakan. Andi Aziz , Kahar Muzakar, DI.TII, PRRI, Permesta semuanya selingkuh dan ingin berkuasa. Terakhir dan masih sangat hangat adalah pemberontakan yang dilakukan oleh GAM, 30 tahun mereka melawan pemerintah, angkat senjata, ingkar terhadap NKRI dan SangMerah Putih. Bahkan mereka telah menyiapkan mentri-mentrinya. Begitu banyak yang telah mereka lakukan tetapi begitu solusi tercapai antara NKRI dan GAM, seluruh anggota GAM mendapat rehabilitasi dan kompensasi. Nyaman rasanya. Bandingkan dengan G.30 S, umur gerakan Untung tak lebih dari 24 jam tetapi akibatnya mencapai puluhan tahun. Ada sebagian warga negara yang menjadi warga negara kelas kambing di negrinya sendiri dan di mata sesama bangsanya sendiri, walau mereka tak tahu apa yang membuat mereka harus menerima hal itu. Banyak anak-anak yang harus menjadi yatim-piatu dan hidup menderita hanya karena orang tua mereka ikut bertepuk tangan saat perayaan hari jadi PKI. Kalau sudah demikian halnya dimana letak rasa adil dan keadilan. Sebagai warga negara yang tak berdaya aku hanya pasrah, aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tak bisa menuntut hakku selama ini yang telah dizalimi. Kepasrahanku itu akhirnya kuletakan pada unen-unen, "Sopo becik ketitik, sopo olo ketoro, sing bener ketenger, sing salah bakal seleh, sing temen bakal tinemu". Kepasrahanku ini bukan karena aku merasa salah, kepasrahan itu semata-mata karena aku tak dapat dan tak sempat membela diri. Aku telah kalah, aku telah dibungkam, aku telah disrimpung (diikat), dan aku tidak diberi hak membela diri. Selama 13 tahun dalam dunia Bulembangbu tidak membuatku hilang kesadaran, aku tetap warga negara Indonesia yang sah, aku pun pernah turut merebut kemerdekaan negara ini
193
dan aku yakin aku mempunyai hak untuk hidup di negara ini. Bahkan ada rasa bangga atas diriku. Aku dipenjarakan bukan karena aku korupsi, ngerampok atau membobol bank yang kesemuanya sangat merugikan bangsa ini. Aku dipenjarakan hanya karena aku seorang buruh percetakan yang menerbitkan Harian Rakyat dan sebagai distributor. Tugasku sebagai distributor inilah yang menjadi dasar kuat untuk melemparku ke dunia Bulembangbu selama 13 tahun, mereka menuduhku tahu akan segalanya yang berhubungan dengan peristiwa G.30.S 1965. Kebanggaanku lainnya adalah karena aku dipenjarakan akibat fitnah seorang teman, tetapi sebaliknya tak seorangpun yang celaka karena mulut dan perbuatanku. Oleh karena itu mengapa aku mesti merasa rendah diri dan malu menghadapi masyarakat. Ku tanamkan paengertian ini kepada anak dan istriku. Biarlah yang benci biar benci, toh yang mau bersahabat masih ada dan banyak. Kenyataan menunjukkan, sesudah kebebasanku aku tetap dapat hidup dan bergaul normal dan baik dalam masyarakat di kampungku, akrab dan bahkan ada rasa persaudaraan, tak ada tetangga di sekitar tempat tinggalku yang merasa takut dan jijik akan keberadaanku sebagai eks-tapol. Dan mendapatkan semua ini aku merasa sangat bersyukur, mungkin inilah karuniaNya sebagai buah penderitaanku di dunia Bulembangbu. Selesai
194