“Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” 2016-04-30 15:57 GMT+07:00 Chan CT <
[email protected]>: Sependapat dengan bung Nesare, saya hendak menambah sedikit saja, bahwa gagasan bung Karno Persatuan Nasional berdasarkan NASAKOM adalah satu gagasan yang berdasarkan kenyataan objektif masyarakat Indonesia, kenyataan ada kekuatan Nasional, Agama dan Komunis yang selama masa kolonial Belanda bergerak dan berjuang mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Mestinya, adanya interaksi dan kontradiksi yang terjadi antar 3 kekuatan dalam masyarakat itulah merupakan tenaga penggerak kemajuan masyarakat. Bersatu dan Berjuang bersama untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Begitu cita-cita bung Karno, ... Jadi, gagasan NASAKOM bung Karno itu TIDAK SALAH! Yang salah bung Karno tidak ada KETEGASAN SIKAP dengan cepat untuk menindak dan melawan “oknum-oknum tidak benar” seperti dinyatakan dalam pidato Nawaksara di depan MPRS 1966 itu. Bukan karena bung Karno tidak cepat-cepat mengutuk dan bubarkan PKI, maka bersimbah darah. Akan lebih TEPAT dikatakan, karena bung Karno TIDAK cepat turunkan PERINTAH melawan “Oknum-oknum tidak benar” itu jadi Nusantara bersimbah darah! Dengan kata lain, selama kekuasan masih ditangan Presiden Soekarno, selama itu Nusantara tidak akan bersimbah darah. Tapi, justru karena perintah yang ditunggu-tunggu tidak juga turun, sedang jenderal Soeharto yang sejak 1 Oktober subuh itu sudah merebut inisyatif menguasai keadaan, ... dan ternyata Soeharto adalah seorang yang BERDARAH-DINGIN, yang merasa tidak cukup menangkap dan membunuh TOKOH-UTAMA G30S, tapi juga mengejar, menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh komunis, Soekarnois, ... maka tidak terhindarkan darah merah rakyat tidak berdosa membanjiri Nusantara ini! Itulah kenyataan yang terjadi, ... Yang salah Presiden Soekarno membiarkan sedang PKI tertipu oleh “oknum-oknum tidak benar” (baca jenderal Soeharto) yang ternyata berusaha membasmi kekuatan KOMUNIS di Indonesia dengan gunakan kekeras tangan besi. Yang kemudian terjadi sebagimana kita saksikan bersama, jenderal Soeharto dengan menggunakan G30S sebagai DALIH untuk membasmi komunis yg dituduh mendalangi G30S itu. Menggunakan dalih “Membunuh lebih dahulu atau dibunuh” inilah yang mengakibatkan Nusantara bersimbah darah, ...! Namun, berhasilkah usaha membasmi komunis di Nusantara ini? Saya tidak yakin! Sekalipun PKI secara organisasi sudah berhasil dihancur-lumatkan, seluruh tokoh-utama
1
pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI yang masih hidup tersisa juga sudah usur, untuk bergerak saja sudah sulit, ... sudah tidak berdaya. Namun disatu saat akan tetap muncul bersemi dan tumbuh dengan suburnya ditengah-tengah masyarakat miskin diseluruh Nusantara ini. Bukankah kenyataan sampai sekarang penguasa atau khususnya sementara jenderal masih saja menganggap komunis bahaya laten di Indonesia?! Selalu dibayang-bayangi momok komunis yang sudah mereka bantai-HABIS itu. Paham komunis yang selalu membela rakyat miskin itu akan senantiasa bangkit kembali selama masih terjadi penghisapan manusia atas manusia, selama ada lapisan masyarakat miskin, ... disatu saat akan muncul kembali kekuatan komunis di Nusantara ini, satu kekuatan yang akan membawa Rakyat Indonesia membangun masyarakat adil dan makmur. Salam, ChanCT
From: mailto:
[email protected] Sent: Saturday, April 30, 2016 3:09 AM To:
[email protected] Subject: RE: [GELORA45] “G 30 S/PKI, “Gestapu” dan “Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab” (Tanggapam wacana Salim Said)
Salim Said: Singkat cerita, sulit untuk tidak mengatakan Gestapu 1965 adalah bukti kongkrit kegagalan doktrin persatuan nasional berdasarkan Nasakom. Dengan kata lain, konsep dan ajaran persatuan nasional Sukarno gagal mengatasi konflik antara Komunis dan kekuatan anti Komunis. Akibatnya tragis dan bersimbah darah. Nesare: bagaimana kalau dilihat begini: rakyat Indonesia (sebagian saja) tidak mengerti konsep nasakom yang adalah realitas bangsa Indonesia waktu itu. Sampai sekarang pun masih begitu wajahnya. Karena tidak mengerti faham nasakom yang adalah realitas masyarakat Indonesia menjadikan sebagian rakyat Indonesia bertindak beringas dan sampai menjadi pembunuh bangsanya sendiri karena dikibulin oleh tentara AD dan intel negara asing. Paham nasakom itu tidak akan gagal karena sampai sekarang pun realitas itu masih berlaku. Saya jadi bertanya apakah gerakan LGBT pun harus diberantas karena keberadaannya adalah real dalam masyarakat Indonesia? Apakah rakyat Indonesia juga harus membunuh para LGBT itu karena tidak setuju dengan mereka? Saya yakin bung 2
Karno akan melindungi mereka walaupun mungkin bung Karno tidak akan memasukkan LGBT dalam konsep nasakomnya. Tidak ada argument mengatakan persoalan Gestapun 1965 itu adalah kegagalan nasakom. Persoalan Gestapu 1965 itu adalah peristiwa sendiri dimana ada keributan dalam menguasai Indonesia. Sedangkan nasakom adalah hasil suatu pemikiran. Tidak boleh dicampuradukkan. Kalau boleh menganaloigikan “Islam tidak bisa bersanding dengan komunisme” dengan “Islam tidak bia bersanding dengan LGBT” dan atau “Islam tidak bisa bersanding dengan kristen”, berarti premis bung yang mengatakan “Sukarno gagal mengatasi konflik antara Komunis dan kekuatan anti Komunis” tidak berdasar. Salim Said: Presiden Sukarno berkeras tidak bersedia menerima, apalagi mengakui kegagalan Nasakom. Dan karena itu dia bertahan terhadap tekanan pembubarkan PKI. Sikap mempertahankan PKI (hingga dibubarkan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soeharto pada 11 Maret 1966) memperkuat alasan masyarakat bertindak sendiri “menghabisi PKI sampai ke akar-akarnya.” Ini artinya pertumpahan darah, pembantaian massal. Alasannya, mereka takut PKI bertahan, tidak dibubarkan, dan lalu melakukan aksi berdarah sebagai yang dulu mereka lakukan ketika Pristiwa Madiun 1948. Semboyan yang terdengar di kalangan kaum anti Komunis waktu itu, terutama di Jawa Tengah dan Timur, ”Membunuh lebih dahulu atau dibunuh.” Nesare: pertama kecintaan bung Karno terhadap bangsanya melebihi kecintaannya terhadap dirinya sendiri. oleh karena itu beliau “menghabiskan” dirinya sendiri sebagai tawanan dalam rumah karena tidak mau melihat ada perang sipil/saudara bagis Indonesia yang baru. Kedua premis menghubungkan “sikap bung karno mempertahankan PKI” dan “memperkuat masyakat menjadi pembunuh” itu seakan2 bung mau bilang: bung karnolah biang permasalahannya yang menyebabkan rakyat beringas dan menjadi pembunuh. Bukan begitu pemahaman saya: ABRI AD yang memprovokosi rakyat Indonesia terutama kaum konservatif agama dalam membunuh para anggota PKI dan pengikut bung Karno. Semua pembunuhan ini terjadi karena adanya provokasi ABRI AD dibawah Soeharto. Sejarah ini sudah terbuka sedikit demi sedikiti. Ini sudah diperjuangkan lama sekali terutama dengan Cornell paper dari Ithaca, NY. Jadi jangan berpropaganda dengan mengatakan pembunuhan massal 1965 itu karena nasakom dan bung Karno yang gagal. Salim Said: Jenderal Ibrahim Aji, Panglima Siliwangi cepat membubarkan PKI diwilayahnya, hingga Jawa Barat tidak terpaksa mengalami pembantaian Komunis. Jawa Barat juga tertolong oleh struktur masyarakatnya yang dominan Islam (partai politik Islam Masyumi memenangkan pemilu 1955 di Jawa Barat), artinya tidak terpecah antara kaum Abangan dan kaum Santri seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3
Nesare: dengan kalimat ini seakan2 bung mau mengatakan “PKI dijawa barat dibubarkan oleh ibrahim aji makanya kurban berkurang atau tidak ada”. Saya tidak setuju. Kalimat ini kalau diperluas “kalau PKI kalau dibubarkan oleh bung Karno, niscaya peristawa pembunuhan massal 1965 tidak akan terjadi”. Pembunuhan massal 1965 bukan disebabkan oleh ada atau tidak adanya PKI, melainkan ABRI AD mau menjadi penguasa. Tidak ada PKI pun, kelompok Islam akan menjadi rivalnya ABRI. Inilah realitas politik saat itu bahwa kekuasaan riil ada ditangan: ABRI, PKI dan Islam. Inilah buah arti pemahaman bung Karno yang brilian: NASAKOM, yang sampai sekarang masih riil. Salim Said; Berbeda dengan jalan yang ditempuh Tiongkok, PKI tidak yakin bisa berkuasa lewat jalan kekerasan. Mereka menghadapi Angkatan Darat yang dipimpin para Jenderal yang sangat anti Komunis, karena itu mereka merencanakan menang lewat pemilihan umum (jalan parlementer) yang direncanakan akan diadakan pada tahun 1970. Nesare: coba kalau pemahamannya begini: PKI adalah partai politik 4 besar dan suaranya meningkat naik. Dalam tempo singkat setelah peristiwa madiun 1948, PKI bisa bangkit lagi karena memang hanya PKI lah yang mikirin rakyat jelata. Parpol yg lain mainnya dikalangan elit. Setelah muso ditembak mati dan amir sjariffoeddin di eksekusi, aidit dan Lukman lari ke tiongkok. 1950 mereka mulai bangkit. Pemilu 1955 PKI sudah menjadi parpol ke 4 diindonesia. PNI terbesar dengan hampir 23% pemilih, Masyumi 22%, NU 18% dan PKI 16%. Hasil pemilu pertama 1955 itu bikin takut para elit Indonesia atas kekuatan PKI, makanya pemilu 1959 dibatalkan. Kenapa PKI harus pakai kekerasan, sedangkan kemenangan melalu jalan konstitusi sudah didepan mata? Saya jadi bertanya2 kenapa bung mempunyai pendapat: “PKI tidak yakin bisa berkuasa lewat jalan kekerasan”? jawaban pertanyaan ini jelas sekali: PKI itu bukan partai kekerasan. PKI itu adalah partai rakyat. Salim said: Tapi pengalaman sejarah menunjukkan kemungkinan tampilnya Komunis nasional, sebagai yang terlihat pada gagasan-gagasan Tan Malaka dulu, menakutkan sejumlah orang. Nesare: mungkin bagi bung kesannya begitu. Bagi saya dan banyak yang lainnya tidak begitu sederhana dalam menafsirkan jalan pikiran Tan Malaka. Idenya: madilog, adalah salah satu hasil pendalaman antara pemikiran barat dan konteks kultural Indonesia yang sangat mendalam. Makanya disebut banyak orang Madilog adalah hasil karya filsafat dan yang pertama di Indonesia termasuk magnis suseno. Anhar gonggong sejarahwan UI yang bersuara miring terhadap komunisme juga bilang Tan Malaka adalah pakar keilmuan. Tan Malaka sebagai filsuf dan ilmuwan lebih pragmatis dalam mengeksekusi pemikiran2nya dalam memperbaiki nasib rakyat Indonesia terutama dalam melawan penjajah dan kaum feudal. Konsep materialismenya jelas melihat kesusahan rakyat Indonesia yang dijajah.
4
Konsep dialetikanya penuh dengan kerohanian dan logika dalam menjabarkan kesusahan2 itu sangat relevan dalam perkembangan bangsa Indonesia saat itu. Semua itu tidak menakutkan sama sekali melainkan sangat prihatin dengan kehidupan rakyatnya. Salim said: Kecemasan terhadap kemungkinan demikian itulah yang mendorong munculnya sikap tidak toleran sebagian anggota masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan yang dipersepsikan sebagai tanda-tanda ancaman kebangkitan kembali kekuatan Kiri. Nesare: oh tidak bukan begitu. Sikap tidak toleran masyarakat dan sampai menjadi pembunuh itu karena sudah diatur oleh tentara. Tadinya masyarakat ini tidak berani tetapi karena dikompori oleh tentara yang ada bedil, ya jadi masyarakat jadi berangas. Ini namanya: diprovokosi. Permintaan maaf pribadi Gus Dur itu adalah cermin kesalahan yang telah dilakukan oleh Ansor dalam pembunuhan massal 1965. Salim said: Tapi harap dicatat, sikap intoleran yang cukup marak sekarang ini bukan melulu tertuju kepada gerakan Kiri melainkan juga terhadap sejumlah kelompok lain. Yang terakhir ini bersumber pada perbedaan tafsiran pelaksanaan syariat agama. Dengan latar belakang seperti inilah kita harus mengerti perlakuan kasar dan intoleransi yang dialami golongan Ahmadiah, Syiah dan GPT di Tanah Air kita. Pertanyaannya tentu apakah nasib Ahmadiah dan Syiah sama dan sebanding dengan nasib golongan Kiri Indonesia hari-hari ini? Nesare: setuju! Memang rakyat Indonesia itu adalah majemuk. Pluralisme itu sudah disebutkan dengan jelas sebagai: bhinneka tunggal ika. Seharusnya perbedaan ini jangan menjadi divider melainkan harus jadi pemersatu. Apalagi perbedaan ini digunakan oleh para provokator untuk memancing diair keruh. Jangan begitu lagi. Sudah banyak yang kita ketahui bersama bahwa banyak persoalan horizontal masyarakat Indonesia itu menjadi pertumbahan darah karena diprovokasi. Kasus2 poso, ambon dll itu adalah lagu lama yang didendangkan terus menerus oleh yang punya bedil. Jangan lagi begitu! Kalau tidak revolusi sosial akan terjadi! Kita semua tidak mau! Hati hati bermain api, suatu saat akan kebakaran! Salam Nesare From:
[email protected] [mailto:
[email protected]] Sent: Thursday, April 28, 2016 8:02 PM To: GELORA_In
5
Subject: Fw: [GELORA45] “G 30 S/PKI, “Gestapu” dan “Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab” (Tanggapam wacana Salim Said)
Begini jawaban bung Salim, ... dan untuk memudahkan kw-2 mengikuti bagaimana sikap dan posisi bung Salim terhadap G30S, ada baiknya saya lampirkan saja Makalah yang akhirnya tidak sempat dibacakan didepan Simposium 18-19 April Yl, “Membedah Tragedi 1965”. Salam, ChanCT From: Salim Said Sent: Friday, April 29, 2016 7:53 AM To: Group Diskusi Kita ; [email protected] ; alumnas-oot ; [email protected] Subject: Re: Fw: [GELORA45] “G 30 S/PKI, “Gestapu” dan “Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab” (Tanggapam wacana Salim Said)
Jawaban Prof. Dr. Salim Haji Said, MA,MIA. Untuk mengerti posisi saya thdp Gestapu dan terjadinya pembunuhan massal pasca Gestapu 1965, Sdr Julius Gunawan dan siapa saja yang berminat, sangat saya anjurkan membaca buku saya Gestapu 65 dan makalah saya pada Simposium yang diadakan di hotel Arya Duta, Jakarta, beberapa hari lalu.
Makalah Singkat Prof.Dr. Salim Haji Said, MA, MAIA Untuk Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965: Pendekatan Kesejarahan. Jakarta 18-19 April 2016. Tragedi 1965 tidak bisa dimengerti terpisah dari kontek sejarah Indonesia moderen yang bermula pada awal abad 20. Pertama, haruslah disadari sepenuhnya konsep “Indonesia” adalah konsep baru yang secara berangsur menggantikan konsep “Hindia Belanda”. Konsep “Hindia Belanda” sendiri adalah konsep kreasi Belanda akhir abad ke 19. Sebelum itu Nusantara ini belum suatu kesatuan yang dari padanya ada persepsi diri yang mendasari persatuan yang menciptakan konsep “Kita” bagi penduduk Nusantara. Sejumlah perang melawan kekuasaan kolonial Belanda hanya merupakan perang para raja yang bahkan tidak berdasar konsep suku atau wangsa. Ini sebabnya Belanda dengan mudah melumpuhkan kekuatan para Raja dengan memecah belah mereka.
6
Sejarah mencatat, konsep pertama tentang “Kita” lahir dari Perang Padri (Sumatra Barat) yang memandang diri mereka sebagai kekuatan Islam melawan Belanda yang kafir. Konsep “kita” sebagai Islam kemudian merambat ke Aceh (Perang Aceh) dan Jawa Tengah (Perang Diponegoro) yang keduanya melihat diri mereka—antara lain -- sebagai kekuatan Islam melawan Belanda yang kafir. Dengan latar belakang inilah kita mudah mengerti jika gerakan massal pertama di Indonesia adalah Sarekat Islam. Waktu itu pada umumnya apa yang kemudian menjadi bangsa Indonesia para warganya lebih mengenal diri mereka sebagai bangsa Islam. Konsep “Indonesia” secara perlahan baru muncul pada dekade ke dua abad ke 20. Puncaknya adalah Sumpah Pemuda 1928. Jadi apa yang sekarang kita kenal sebagai bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa buatan yang sejarahnya bermula pada awal abad 20. Warga bangsa ini pluralistik dalam hampir semua aspek: suku,bahasa, tradisi,agama dan kecenderungan. Perbedaan dan keadaan pluralistik itu bukan sesuatu yang tidak menjadi tantangtan dalam proses menjadi Indonesia yang bersatu dan rukun.Barangkali menyadari rangkaian perbedaan inilah seruan utama dalam lagu kebangsaan kita adalah ”Marilah Kita Bersatu.” Ketika Proklamasi dibacakan oleh Ir Sukarno pada 17 Agustus 1945, usia konsep dan bangsa Indonesia belumlah setengah abad. Kesadaran terhadap rangkaian perbedaan yang menjadi ciri terpenting bangsa baru itu menyebabkan metafor sapu lidi sangat menonjol di masa revolusi. Sapu lidi dipakai sebagai contoh bagi perlunya persatuan, sebab lidi di luar ikatannya amat mudah dipatahkan. Mengingat dan menyadari latar belakang kemajemukan masyarakat Indonesia mudah dimengerti sulitnya persatuan yang tadinya dibayangkan dan didambakan para elit tatkala mereka menghadapi kekuatan Kolonial Belanda atau fasisme Jepang sekalipun. Dalam kenyataanya, bangsa majemuk Indonesia dengan kemakmuran yang rendah dan karena itu peradaban yang belum berkembang menderita “penyakit” fragmented Society. Ciri utama masyarakat yang demikian adalah tidak adanya trust (kepercayaan) antar fragmen-fragmen dalam masyarakat. Salah satu penjelasan kegagalan Dewan Konstituante menciptakan sebuah konstitusi yang disepakati bersama adalah fragmentasi itu. Juga kegagalan sistim parlementer bisa dijelaskan oleh keadaan fragmented tsb. Dengan latar belakang inilah kita harus mengerti lahirnya konsep Nasakom yang diperkenalkan Presiden Sukarno. Konsep persatuan tersebut bukan konsep baru. Sukarno menciptakannya di masa mudanya (tahun 1926). Latar belakang politik internasional ketika Nasakom diperkenalkan pertama kali amat berbeda dengan kondisi ketika Nasakom didoktrinkan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin Perang dingin sedang berkecamuk dengan ganas dan
7
Indonesia jelas tidak bebas dari dampak “perang” demikian. Sebagai respon terhadap Nasakom yang dipaksakan oleh pemerintahan otoriter Presiden Sukarno, masyarakat Indonesia yang fragmented “terpecah” ke dalam dua kubu. Kubu Komunis dan anti Komunis. Kedua kubu yang berseteru secara tajam sadar konflik pisik akan datang dan tak terhindarkan. Kenyataan itu mendorong kedua kubu melakukan mobilisasi. Singkatnya, keduanya bersiap “perang.” Dan seperti yang telah diperhitungkan dan diantisipasi, pada Satu Oktober 1965 pihak Komunis bertindak lebih dahulu. Sebuah pertumpuhan darah yang amat dramatis terjadi di pagi hari. Yang jadi korban pembantaian adalah para Jenderal pimpinan Angkatan Darat. Mereka menjadi sasaran pembantaian karena dianggap sebagai penghalang utama kemajuan Komunis yang secara berangsur membangun kekuasaan. Pada Satu Oktober 1965 pagi itu sebenarnya yang terbantai bukan hanya pimpinan Angkatan Darat, tapi juga konsep Nasakom itu sendiri.Pada sore hari Satu Oktober itu juga, lagu “Nasakom Bersatu” yang selama bertahun-tahun dikumandangkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI)secara resmi dinyatakan lagu terlarang, dan sejak hari itu orang-orang Komunis juga mulai ditangkapi. Singkat cerita, sulit untuk tidak mengatakan Gestapu 1965 adalah bukti kongkrit kegagalan doktrin persatuan nasional berdasarkan Nasakom. Dengan kata lain, konsep dan ajaran persatuan nasional Sukarno gagal mengatasi konflik antara Komunis dan kekuatan anti Komunis. Akibatnya tragis dan bersimbah darah. Presiden Sukarno berkeras tidak bersedia menerima, apalagi mengakui kegagalan Nasakom. Dan karena itu dia bertahan terhadap tekanan pembubarkan PKI. Sikap mempertahankan PKI (hingga dibubarkan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soeharto pada 11 Maret 1966) memperkuat alasan masyarakat bertindak sendiri “menghabisi PKI sampai ke akar-akarnya.” Ini artinya pertumpahan darah, pembantaian massal. Alasannya, mereka takut PKI bertahan, tidak dibubarkan, dan lalu melakukan aksi berdarah sebagai yang dulu mereka lakukan ketika Pristiwa Madiun 1948. Semboyan yang terdengar di kalangan kaum anti Komunis waktu itu, terutama di Jawa Tengah dan Timur, ”Membunuh lebih dahulu atau dibunuh.” Seandainya Presiden Sukarno cepat membubarkan PKI, besar kemungkinan pembantaian orang-orang Komunis, bisa dihindarkan. Jenderal Ibrahim Aji, Panglima Siliwangi cepat membubarkan PKI diwilayahnya, hingga Jawa Barat tidak terpaksa mengalami pembantaian Komunis. Jawa Barat juga tertolong oleh struktur masyarakatnya yang dominan Islam (partai politik Islam Masyumi memenangkan pemilu 1955 di Jawa Barat), artinya tidak terpecah antara kaum Abangan dan kaum Santri seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
8
Selain trauma pengalaman berdarah pembantaian Madiun 1948, menjelang Gestapu 1965 masyarakat Indonesia juga dibanjiri tulisan mengenai kekejaman Komunis di Uni Sovyet, Tiongkok dan Eropa Timur. Bacaan-bacaan ini – sumbernya besar kemungkinan dari intel Barat -- makin meningkatkan ketakutan publik kepada golongan Komunis. Ketakutan demikian jelas menambah “semangat” memberantas PKI dan orang-orangnya “hingga ke akar-akarnya.” Sebagai catatan tambahan terhadap pembantaian kaum Komunis pada masa pasca Gestapu, saya melihat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, PKI memang tidak mempersiapkan dan melibatkan massanya dalam Gestapu. Ini karena kebijakan PKI, khususnya D.N. Aidit, mendesain Gestapu sebagai hanya “masaalah internal Angkatan Darat.” Artinya bukan atau belum gerakan PKI untuk merebut kekuasaan yang mempersyaratkan mereka memobilisasi dan mempersiapkan anggotanya yang konon berjumlah tiga juta dengan simpatisan 20 juta. Berbeda dengan jalan yang ditempuh Tiongkok, PKI tidak yakin bisa berkuasa lewat jalan kekerasan. Mereka menghadapi Angkatan Darat yang dipimpin para Jenderal yang sangat anti Komunis, karena itu mereka merencanakan menang lewat pemilihan umum (jalan parlementer) yang direncanakan akan diadakan pada tahun 1970. Gestapu bagi PKI adalah hanya langkah menyingkirkan pimpinan Angkatan Darat yang anti Komunis untuk membuka jalan bagi para Jenderal pengikut Sukarno menguasai Angkatan Darat. Dengan tentara yang tidak anti Komunis (seperti Laksamana Madya Omar Dani yang memimpin AURI waktu itu), perjalanan PKI memenangkan pemilihan umum 1970 diperhitungkan Aidit akan lebih mulus. Peranan tentara dalam pembantaian orang-orang Komunis juga harus dicatat. Tapi mereka terutama hanya berperan pada daerah-daerah yang masyarakatnya memang mempunyai pertentangan yang tajam antara yang Komunis dan anti Komunis. Keadaan seperti ini terutama terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seperti sudah kita ketahui pada kedua provinsi ini ada pertentangan yang makin menajam antara kaum Santri –umumnya anti Komunis—dan golongan Abangan yang umumnya pro Komunis. Di kedua provinsi ini tentara terutama berperan menggalakkan, bahkan kadang mendukung golongan anti Komunis untuk bertindak. Di Solo, misalnya, pada 1965 RPKAD melatih para pemuda untuk menghadapi PKI, setelah PKI dengan Batalion Kodam Diponegoro di Solo membunuh mereka yang berdemo anti hari-hari awal bulan Oktober.
secara terbuka bulan Oktober dukungan satu Komunis pada
Pembunuhan massal di Pulau Bali memerlukan pengertian kultural selain penjelasan politik. Tapi selain faktor kultural, di Pulau itu memang juga terjadi kelumpuhan otoritas militer dan sipil hingga 9
tidak bisa bertindak mencegah ketegangan berdarah yang menelan banyak korban. Pembantaian baru dapat diatasi justru setelah tentara (RPKAD) didatangkan dari Jakarta. Setengah Abad Kemudian. Akhir-akhir ini muncul kesadaran dan usaha rekonsoliasi mengatasi luka masa lama. Tapi pada saat yang sama juga tampak adanya aksi-aksi membatasi gerak mereka yang dipandang bahkan dicurigai sebagai “Kekuatan Kiri” yang mencoba bangkit kembali. Petemuan-pertemuan mereka digrebek, kegiatan kultural mereka dicegah dan diskusi-diskusi mereka dibubarkan. Komunisme internasional memang sudah bangkrut setelah Uni Sovyet bubar dan Tiongkok menjadi kapitalis. Dulu PKI adalah kekuatan integral dari gerakan Komunius internasional dan selama masa Demokrasi Terpimpin menjadi sangat kuat karena perlindungan Presiden Sukarno di bawah payung Nasakom. Tapi pengalaman sejarah menunjukkan kemungkinan tampilnya Komunis nasional, sebagai yang terlihat pada gagasan-gagasan Tan Malaka dulu, menakutkan sejumlah orang. Kecemasan terhadap kemungkinan demikian itulah yang mendorong munculnya sikap tidak toleran sebagian anggota masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan yang dipersepsikan sebagai tanda-tanda ancaman kebangkitan kembali kekuatan Kiri. Tapi harap dicatat, sikap intoleran yang cukup marak sekarang ini bukan melulu tertuju kepada gerakan Kiri melainkan juga terhadap sejumlah kelompok lain. Yang terakhir ini bersumber pada perbedaan tafsiran pelaksanaan syariat agama. Dengan latar belakang seperti inilah kita harus mengerti perlakuan kasar dan intoleransi yang dialami golongan Ahmadiah, Syiah dan GPT di Tanah Air kita. Pertanyaannya tentu apakah nasib Ahmadiah dan Syiah sama dan sebanding dengan nasib golongan Kiri Indonesia hari-hari ini? ***** 2016-04-28 18:36 GMT+07:00 Chan CT <[email protected]>: From: mailto:[email protected] Sent: Thursday, April 28, 2016 5:31 PM To: Gelora45 Subject: [GELORA45] “G 30 S/PKI, “Gestapu” dan “Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab” (Tanggapam wacana Salim Said)
10
“G 30 S/PKI, “Gestapu” dan “Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab” (Tanggapam wacana Salim Said) Saya belum membaca buku tulisan Salim Said, baik yang berjudul “Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian”, maupun yang berjudul “GESTAPU 65: PKI, AIDIT, SUKARNO, DAN SOEHARTO”. Oleh karena itu, tulisan ini tidak bermaksud mengomentari kedua buku itu. Yang ingin saya tanggapi -- sebagai warga biasa yang menginginkan pengungkapan Peristiwa Tragedi Nasional G 30 S se-objektif mungkin -adalah wacana Salim Said, “bangsa Indonesia harus bisa menyelesaikan masalah ini [masalah Peristiwa G 30 S] secara beradab” [REPUBLIKA.CO.ID, 21/10/2015] dan istilah “G 30 S/PKI” dan “Gestapu” yang dalam beberapa kesempatan masih saja dipakai oleh Guru Besar ilmu Politik Unhan ini. Saya berpendapat bahwa penyelesaian secara beradab Peristiwa G 30 S -- sebagaimana diwacanakan Salim Said -- hanya bisa terwujud apabila pengungkapan fakta-fakta di seputar peristiwa itu dilakukan tanpa diskriminasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik dalam peristiwa yang merupakan tragedi nasional tersebut. Pengungkapan seperti itu hanya dimungkinkan manakala pihak pengungkap bersih dari konflik kepentingan (conflicts of interest). Sebagaimana kita ketahui, pada dini hari 1 Oktober 1965, G 30 S -- gerakan yang dipimpin oleh perwira-perwira kiri, Sukarnois dan anggota Biro Khusus PKI bernama Sjam Kamaruzzaman -- telah melakukan operasi militer penjemputan paksa sejumlah jenderal SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) dan Jenderal Nasution. Operasi militer itu disusul kemudian dengan pendemisioneran Kabinet Dwikora pada pukul 7.20 pagi hari 1 Oktober 1965. Penjemputan paksa sejumlah jenderal tersebut dalam pelaksanaannya berujung dengan terbunuhnya enam jenderal SUAD dan satu perwira pertama AD. Pendemisioneran Kabinet Dwikora dan keberadaan anggota Biro Khusus PKI bernama Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S, oleh mesin propaganda kelompok Suharto (dan rezimnya) dipropagandakan kepada masyarakat sebagai bukti bahwa PKI terlibat atau bahkan mendalangi pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah. Kemudian, peristiwa terbunuhnya enam Pati dan satu Pama AD oleh mesin propaganda tersebut dibumbui dengan berbagai fitnah agar terbentuk opini masyarakat bahwa PKI telah melakukan kebiadaban yang setara dengan kebiadaban
11
Gestapo (Geheime Staatspolizei, Polisi rahasia Jerman Nazi). Benarkah PKI terlibat/dalang dalam Peristiwa G 30 S? Sebagaimana telah disinggung di atas, kelompok Suharto dan rezim yang dibangunnya menjadikan keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S sebagai bukti bahwa PKI mendalangi gerakan tersebut. Tapi siapa sebenarnya Sjam Kamaruzzaman ini? Dalam kapasitas sebagai apa keberadaan dia dalam jajaran pimpinan G 30 S? Sebagai oknum PKI atau sebagai wakil PKI? Siapa yang memberi mandat Sjam Kamaruzzaman duduk dalam jajaran pimpinan G 30 S? Di depan Mahmilub (Makamah Militer Luar Biasa), Sjam Kamaruzzaman mengaku bahwa dia adalah Ketua Biro Khusus (Biro Chusus) PKI. Tapi apa itu Biro Khusus? Bagaimana hubungan hierarki antara Biro Khusus dengan Biro Politik (Politbiro) PKI? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa biro politik partai komunis adalah badan tertinggi pelaksana keputusan kongres partai. Biro Politik menjalankan tugasnya sepanjang periode antara dua kongres. Adapun ketua partai, adalah fungsionaris pelaksana keputusan dan bertanggung jawab kepada biro politik. Lalu, Biro Khusus itu dibawah komando Ketua atau Biro Politik PKI? Sepanjang pengetahuan saya, apa yang dinamakan Biro Khusus itu tidak terdapat dalam AD/ART PKI. Oleh karena itu, lumrah bila tidak ditemukan penjelasan tentang hubungan struktural antara Biro Khusus dengan Biro Politik di dalam AD/ART PKI. “De jure”, Biro Khusus itu tidak ada, tapi de facto, Biro Khusus itu ada. Secara struktural, Biro Khusus langsung berada di bawah komando Ketua PKI. Pada perkembangan selanjutnya, selain Ketua PKI, tidak ada satu pun komponen organisasi atau fungsionaris PKI yang mengetahui secara eksak aktivitas Biro Khusus. Dengan sendirinya tidak ada satu pun pula komponen organisasi PKI bisa mengontrol aktivitas Biro Khusus bersama Ketua PKI. Diakui atau tidak, Ketua PKI berserta Biro Khusus-nya pada hakikatnya merupakan “organisasi di dalam organisasi” PKI. Kembali ke pertanyaan: Dalam kapasitas sebagai apa keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S? Dari uraian terkait Biro Khusus di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S semata-mata adalah dalam kapasitas sebagai wakil Biro Khusus; bukan sebagai wakil PKI. Tidak ada satupun kelompok anti-PKI sejauh ini yang bisa membuktikan bahwa keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S adalah dalam kapasitas sebagai wakil PKI yang mendapat mandat dari Biro Politik PKI. Jadi, benarkah PKI terlibat/dalang dalam Peristiwa G30S? Menurut pandangan saya, 12
yang terlibat dalam Peristiwa G 30 S adalah kelompok Biro Khusus bersama Ketua PKI. Malangnya, disebabkan Ketua PKI ada di dalam kelompok ini, maka secara tak terelakkan terseret pula lah PKI secara totalitas, en bloc, ke dalam pusaran konsekuensi Peristiwa Tragedi Nasional G 30 S -- Peristiwa penjemputan paksa sejumlah jenderal dan pendemisoneran Kabinet Dwikora oleh G 30 S pada dini dan pagi hari 1 Oktober 1965! Benarkah Suharto tidak terlibat dalam Peristiwa G 30 S? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita focus ke inti persoalannya: Benarkah Suharto tidak mengetahui bahwa G 30 S akan melancarkan operasi militer penjemputan paksa sejumlah jenderal menjelang operasi itu dilancarkan pada dini hari 1 Otober 1965? Pada hemat saya, satu fakta krusial yang pertama-tama harus kita kaji adalah perihal pertemuan Suharto dengan Kolonel Latief di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) pada larut malam 30 September 1965. Pada tahun 1968, kepada seorang wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, Suharto bercerita bahwa tujuan Kolonel Latief datang ke RSPAD adalah untuk mengecek keberadaannya. Jadi menurut alur cerita ini, Kolonel Latief datang ke RSPAD sekadar untuk mengecek keberadaan Suharto, tidak untuk membunuh-nya. Namun dua tahun kemudian, pada tahun 1970, dalam wawancaranya dengan mingguan Jerman “Der Spiegel”, Suharto mengatakan bahwa tujuan Kolonel Latief datang ke RSPAD adalah untuk membunuh-nya. Dalam kesempatan lain, di dalam otobiografinya (Soeharto – Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, 1989), cerita Suharto tentang pertemuannya dengan Kolonel Latief di RSPAD sudah lain lagi. Diceritakan-nya bahwa dia tidak bertemu dengan Kolonel Latief di RSPAD. Dari kamar tempat anaknya dirawat, dia (Suharto) hanya melihat Kolonel Latief berjalan di koridor lewat di depan kamar rawat anaknya itu. Bagaimana mungkin, Kolonel Latief -- seorang perwira militer berpengalaman, salah satu pimpinan kelompok militer yang beberapa jam kemudian akan melancarkan operasi militer beresiko tinggi -masih meluangkan waktu untuk blusukan di sebuah rumah sakit? Tidak seorang pun berakal sehat akan mempercayai cerita Suharto ini. Berbagai versi cerita Suharto (ver. 1968, ver. 1970 dan ver. 1989) yang berbelit-belit, tidak konsisten, perihal pertemuannya dengan Kolonel Latief di RSPAD mengundang kecurigaan orang bahwa ada sesuatu yang busuk yang disembunyikan Suharto. “Something is rotten in the story of the meeting at the RSPAD”!
13
Apa sesuatu yang busuk yang disembunyikan Suharto itu? Yang disembunyikannya adalah fakta yang kemudian diungkap Kolonel Latief di dalam sidang Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) pada tahun 1978. Di dalam sidang tersebut, Kolonel Latief menyatakan bahwa dia telah memberi tahu Suharto pada larut malam 30 September 1965 di RSPAD perihal G 30 S akan melancarkan operasi militer penjemputan paksa sejumlah jenderal beberapa jam sesudah pertemuan tersebut. Di dalam surat yang ditujukan kepada Ketua Mahmilti pada 9 Mei 1978, Kolonel Latief mengajukan permohonan agar Suharto diajukan sebagai saksi yang meringankan (saksi a de charge). Permintaan saksi a de charge dari Kolonel Latief ini ditolak Ketua Mahmilti dengan alasan "tidak relevan". Penolakan Ketua Mahmilti terhadap permohonan Kolonel Latief tidaklah terpisah dari sikon Indonesia ketika itu di mana kekuasaan mutlak negara ada di tangan Suharto. Oleh karena itu penolakan Mahmilti tersebut haruslah dimaknai sebagai perwujudan kemauan sang penguasa mutlak yang punya semboyan “Saya yang kuasa sekarang”, suatu varian dari semboyan "L'état, c'est moi"! Jika pernyataan Kolonel Latief tersebut di atas tidak benar, mengapa Suharto tidak berani menyanggahnya di depan Mahmilti? Padahal ketika itu Suharto sudah menjadi penguasa mutlak negara RI, yang mana memiliki kekuasaan seribu kali lebih besar ketimbang Kolonel Latief yang tidak memiliki kekuasaan apapun. Ibarat Suharto seekor “buaya”, maka Kolonel Latief hanyalah seekor “cecak”. Seandainya setelah menerima informasi dari Kolonel Latief perihal G 30 S akan melancarkan operasi militernya, Suharto kemudian melakukan dua tindakan pencegahan: pertama, melaporkan informasi dari Kolonel Latief tersebut kepada atasannya, yaitu Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani; kedua, (dengan persetujuan Pangad) melancarkan kontra-operasi militer terhadap operasi militer G 30 S dengan mengerahkan Batalion 454/Raiders dan Batalion 530/Raiders yang berada di bawah komandonya; bisa dipastikan penjemputan paksa sejumlah jenderal yang berujung dengan terbunuhnya enam jenderal SUAD dan satu Pama AD serta pendemisioneran Kabinet Dwikora tidak akan pernah terjadi. Pertanyaan yang tebersit dari akal sehat tentulah: Mengapa Suharto dengan sengaja tidak melakukan dua tindakan pencegahan yang sangat menentukan nasib negara dan bangsa itu? Karena tindakan pencegahan seperti itu tidak mendatangkan keuntungan apapun bagi Suharto. 14
Walaupun saya bukan pakar hukum, tapi saya akan mencoba di sini mengkaji kesengajaan Suharto tidak melakukan tindakan pencegahan dari sudut hukum. Pasal 56 ke-2 KUHP menyebutkan: “Dipidana sebagai pembantu kejahatan: ......... kesempatan ...... untuk melakukan kejahatan.”
mereka
yang
sengaja
memberi
Didasarkan pada fakta bahwa Suharto dengan sengaja tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap terjadinya penjemputan paksa sejumlah jenderal oleh G 30 S, maka secara hukum dia sesungguhnya termasuk ke dalam kategori “mereka yang sengaja memberi kesempatan ....... untuk melakukan kejahatan” (zij die opzettelijk gelegenheid verschaffen tot het plegen van het misdrijf). Terhadap perbuatan ini, Suharto sesungguhnya harus “dipidana sebagai pembantu kejahatan” (medeplichtige van een misdrijf). Jadi, benarkah Suharto tidak terlibat dalam Peristiwa G 30 S? Tidak benar! Suharto jelas termasuk ke dalam kategori pembantu kejahatan (medeplichtige van een misdrijf) dalam Peristiwa G 30 S! Tidak hanya itu sesungguhnya. Dengan memanfaatkan tragedi dan blunder menyusul Peristiwa G 30 S, Suharto mengomandoi sendiri kampanye penghancuran PKI dan penggulingan Sukarno yang berlangsung dari awal Oktober 1965 hingga awal Maret 1967. Di ujung kampanye yang dikomandoinya itu, Suharto merayakan kemenangannnya dengan menobatkan dirinya sebagai penguasa mutlak negara RI pada 12 Maret 1967. “G 30 S/PKI” dan “Gestapu” “G 30 S/PKI” dan “Gestapu” (yang jelas merupakan pemlesetan dari “Gestapo”) adalah dua istilah yang oleh mesin propaganda kelompok Suharto dan rezimnya dijadikan sebagai slogan propaganda memosisikan PKI sebagai dalang G 30 S dan pihak yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya enam Pati dan satu Pamen AD. Aspek jahat dan menyesatkan dari kedua istilah terletak dalam hal pemosisian PKI sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas meletusnya Peristiwa G 30 S. Padahal kenyataan di lapangan membuktikan bahwa Suharto juga termasuk sebagai pembantu kejahatan (medeplichtige) dalam Peristiwa G 30 S (sebagaimana telah dibahas di muka). Namun demikian, kedua istilah, “G 30 S/PKI” dan “Gestapu”, tidak menyiratkan sedikitpun peran Suharto sebagai pembantu kejahatan. Mengapa? Karena istilah “G 30 S/PKI” dan “Gestapu” memang sengaja didesain, di satu sisi untuk membusukkan PKI sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas meletusnya Peristiwa G 30 S; di 15
sisi lain untuk menyelubungi peran busuk Suharto sebagai medeplichtige dalam peristiwa tersebut. Penyelesaian masalah Peristiwa G 30 S secara beradab haruslah berupa penyelesaian yang adil. Artinya, pembedaan terhadap fakta-fakta dalam peristiwa tersebut harus mutlak dipantangkan. Jika Salim Said memang benar-benar dengan tulus menginginkan penyelesaian masalah Peristiwa G 30 S secara beradab, maka hal itu pertama-tama harus dibuktikan dengan menghentikan sama sekali pemakaian istilah laknat “G 30 S/PKI” dan “Gestapu”. Jika mengambil langkah yang elementer inipun Salim Said tidak mau melakukannya, maka hanya satu kesimpulan yang bisa saya tarik: Wacana Salim Said -“bangsa Indonesia harus bisa menyelesaikan masalah ini [masalah Peristiwa G 30 S] secara beradab” -- hanyalah sebuah kemunafikan belaka! JULIUS GUNAWAN
16