“G 30 S/PKI, “Gestapu” dan “Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab” (Tanggapam wacana Salim Said) JULIUS GUNAWAN Saya belum membaca buku tulisan Salim Said, baik yang berjudul “Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian”, maupun yang berjudul “GESTAPU 65: PKI, AIDIT, SUKARNO, DAN SOEHARTO”. Oleh karena itu, tulisan ini tidak bermaksud mengomentari kedua buku itu. Yang ingin saya tanggapi -- sebagai warga biasa yang menginginkan pengungkapan Peristiwa Tragedi Nasional G 30 S se-objektif mungkin -adalah wacana Salim Said, “bangsa Indonesia harus bisa menyelesaikan masalah ini [masalah Peristiwa G 30 S] secara beradab” [REPUBLIKA.CO.ID, 21/10/2015] dan istilah “G 30 S/PKI” dan “Gestapu” yang dalam beberapa kesempatan masih saja dipakai oleh Guru Besar ilmu Politik Unhan ini. Saya berpendapat bahwa penyelesaian secara beradab Peristiwa G 30 S -- sebagaimana diwacanakan Salim Said -- hanya bisa terwujud apabila pengungkapan fakta-fakta di seputar peristiwa itu dilakukan tanpa diskriminasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik dalam peristiwa yang merupakan tragedi nasional tersebut. Pengungkapan seperti itu hanya dimungkinkan manakala pihak pengungkap bersih dari konflik kepentingan (conflicts of interest). Sebagaimana kita ketahui, pada dini hari 1 Oktober 1965, G 30 S -- gerakan yang dipimpin oleh perwira-perwira kiri, Sukarnois dan anggota Biro Khusus PKI bernama Sjam Kamaruzzaman -- telah melakukan operasi militer penjemputan paksa sejumlah jenderal SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) dan Jenderal Nasution. Operasi militer itu disusul kemudian dengan pendemisioneran Kabinet Dwikora pada pukul 7.20 pagi hari 1 Oktober 1965. Penjemputan paksa sejumlah jenderal tersebut dalam pelaksanaannya berujung dengan terbunuhnya enam jenderal SUAD dan satu perwira pertama AD. Pendemisioneran Kabinet Dwikora dan keberadaan anggota Biro Khusus PKI bernama Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S, oleh mesin propaganda kelompok Suharto (dan rezimnya) dipropagandakan kepada masyarakat sebagai bukti bahwa PKI terlibat atau bahkan mendalangi pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia yang sah. Kemudian, peristiwa terbunuhnya enam Pati dan satu Pama AD oleh mesin propaganda tersebut dibumbui dengan berbagai fitnah agar terbentuk opini
1
masyarakat
bahwa
PKI
telah
melakukan
kebiadaban
yang
setara
dengan
kebiadaban Gestapo (Geheime Staatspolizei, Polisi rahasia Jerman Nazi). Benarkah PKI terlibat/dalang dalam Peristiwa G 30 S? Sebagaimana telah disinggung di atas, kelompok Suharto dan rezim yang dibangunnya menjadikan keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S sebagai bukti bahwa PKI mendalangi gerakan tersebut. Tapi siapa sebenarnya Sjam Kamaruzzaman ini? Dalam kapasitas sebagai apa keberadaan dia dalam jajaran pimpinan G 30 S? Sebagai oknum PKI atau sebagai wakil PKI? Siapa yang memberi mandat Sjam Kamaruzzaman duduk dalam jajaran pimpinan G 30 S? Di depan Mahmilub (Makamah Militer Luar Biasa), Sjam Kamaruzzaman mengaku bahwa dia adalah Ketua Biro Khusus (Biro Chusus) PKI. Tapi apa itu Biro Khusus? Bagaimana hubungan hierarki antara Biro Khusus dengan Biro Politik (Politbiro) PKI? Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa biro politik partai komunis adalah badan tertinggi pelaksana keputusan kongres partai. Biro Politik menjalankan tugasnya sepanjang periode antara dua kongres. Adapun ketua partai, adalah fungsionaris pelaksana keputusan dan bertanggung jawab kepada biro politik. Lalu, Biro Khusus itu dibawah komando Ketua atau Biro Politik PKI? Sepanjang pengetahuan saya, apa yang dinamakan Biro Khusus itu tidak terdapat dalam AD/ART PKI. Oleh karena itu, lumrah bila tidak ditemukan penjelasan tentang hubungan struktural antara Biro Khusus dengan Biro Politik di dalam AD/ART PKI. “De jure”, Biro Khusus itu tidak ada, tapi de facto, Biro Khusus itu ada. Secara struktural, Biro Khusus langsung berada di bawah komando Ketua PKI. Pada perkembangan selanjutnya, selain Ketua PKI, tidak ada satu pun komponen organisasi atau fungsionaris PKI yang mengetahui secara eksak aktivitas Biro Khusus. Dengan sendirinya tidak ada satu pun pula komponen organisasi PKI bisa mengontrol aktivitas Biro Khusus bersama Ketua PKI. Diakui atau tidak, Ketua PKI berserta Biro Khusus-nya pada hakikatnya merupakan “organisasi di dalam organisasi” PKI. Kembali ke pertanyaan: Dalam kapasitas sebagai apa keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S? Dari uraian terkait Biro Khusus di atas, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S semata-mata adalah dalam kapasitas sebagai wakil Biro Khusus; bukan sebagai wakil PKI. Tidak ada satupun kelompok anti-PKI sejauh ini yang bisa membuktikan bahwa keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S adalah dalam kapasitas sebagai wakil PKI yang mendapat mandat dari Biro Politik PKI.
2
Jadi, benarkah PKI terlibat/dalang dalam Peristiwa G30S? Menurut pandangan saya, yang terlibat dalam Peristiwa G 30 S adalah kelompok Biro Khusus bersama Ketua PKI. Malangnya, disebabkan Ketua PKI ada di dalam kelompok ini, maka secara tak terelakkan terseret pula lah PKI secara totalitas, en bloc, ke dalam pusaran konsekuensi Peristiwa Tragedi Nasional G 30 S -- Peristiwa penjemputan paksa sejumlah jenderal dan pendemisoneran Kabinet Dwikora oleh G 30 S pada dini dan pagi hari 1 Oktober 1965! Benarkah Suharto tidak terlibat dalam Peristiwa G 30 S? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita focus ke inti persoalannya: Benarkah Suharto tidak mengetahui bahwa G 30 S akan melancarkan operasi militer penjemputan paksa sejumlah jenderal menjelang operasi itu dilancarkan pada dini hari 1 Otober 1965? Pada hemat saya, satu fakta krusial yang pertama-tama harus kita kaji adalah perihal pertemuan Suharto dengan Kolonel Latief di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) pada larut malam 30 September 1965. Pada tahun 1968, kepada seorang wartawan Amerika Serikat bernama Brackman, Suharto bercerita bahwa tujuan Kolonel Latief datang ke RSPAD adalah untuk mengecek keberadaannya. Jadi menurut alur cerita ini, Kolonel Latief datang ke RSPAD sekadar untuk mengecek keberadaan Suharto, tidak untuk membunuh-nya. Namun dua tahun kemudian, pada tahun 1970, dalam wawancaranya dengan mingguan Jerman “Der Spiegel”, Suharto mengatakan bahwa tujuan Kolonel Latief datang ke RSPAD adalah untuk membunuh-nya. Dalam kesempatan lain, di dalam otobiografinya (Soeharto – Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, 1989), cerita Suharto tentang pertemuannya dengan Kolonel Latief di RSPAD sudah lain lagi. Diceritakan-nya bahwa dia tidak bertemu dengan Kolonel Latief di RSPAD. Dari kamar tempat anaknya dirawat, dia (Suharto) hanya melihat Kolonel Latief berjalan di koridor lewat di depan kamar rawat anaknya itu. Bagaimana mungkin, Kolonel Latief -- seorang perwira militer berpengalaman, salah satu pimpinan kelompok militer yang beberapa jam kemudian akan melancarkan operasi militer beresiko tinggi -masih meluangkan waktu untuk blusukan di sebuah rumah sakit? Tidak seorang pun berakal sehat akan mempercayai cerita Suharto ini.
3
Berbagai versi cerita Suharto (ver. 1968, ver. 1970 dan ver. 1989) yang berbelit-belit, tidak konsisten, perihal pertemuannya dengan Kolonel Latief di RSPAD mengundang kecurigaan orang bahwa ada sesuatu yang busuk yang disembunyikan Suharto. “Something is rotten in the story of the meeting at the RSPAD”! Apa sesuatu yang busuk yang disembunyikan Suharto itu? Yang disembunyikannya adalah fakta yang kemudian diungkap Kolonel Latief di dalam sidang Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) pada tahun 1978. Di dalam sidang tersebut, Kolonel Latief menyatakan bahwa dia telah memberi tahu Suharto pada larut malam 30 September 1965 di RSPAD perihal G 30 S akan melancarkan operasi militer penjemputan paksa sejumlah jenderal beberapa jam sesudah pertemuan tersebut. Di dalam surat yang ditujukan kepada Ketua Mahmilti pada 9 Mei 1978, Kolonel Latief mengajukan permohonan agar Suharto diajukan sebagai saksi yang meringankan (saksi a de charge). Permintaan saksi a de charge dari Kolonel Latief ini ditolak Ketua Mahmilti dengan alasan "tidak relevan". Penolakan Ketua Mahmilti terhadap permohonan Kolonel Latief tidaklah terpisah dari sikon Indonesia ketika itu di mana kekuasaan mutlak negara ada di tangan Suharto. Oleh karena itu penolakan Mahmilti tersebut haruslah dimaknai sebagai perwujudan kemauan sang penguasa mutlak yang punya semboyan “Saya yang kuasa sekarang”, suatu varian dari semboyan "L'état, c'est moi"! Jika pernyataan Kolonel Latief tersebut di atas tidak benar, mengapa Suharto tidak berani menyanggahnya di depan Mahmilti? Padahal ketika itu Suharto sudah menjadi penguasa mutlak negara RI, yang mana memiliki kekuasaan seribu kali lebih besar ketimbang Kolonel Latief yang tidak memiliki kekuasaan apapun. Ibarat Suharto seekor “buaya”, maka Kolonel Latief hanyalah seekor “cecak”. Seandainya setelah menerima informasi dari Kolonel Latief perihal G 30 S akan melancarkan operasi militernya, Suharto kemudian melakukan dua tindakan pencegahan: pertama, melaporkan informasi dari Kolonel Latief tersebut kepada atasannya, yaitu Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani; kedua, (dengan persetujuan Pangad) melancarkan kontra-operasi militer terhadap operasi militer G 30 S dengan mengerahkan Batalion 454/Raiders dan Batalion 530/Raiders yang berada di bawah komandonya; bisa dipastikan penjemputan paksa sejumlah jenderal yang berujung dengan terbunuhnya enam jenderal SUAD dan satu Pama AD serta pendemisioneran Kabinet Dwikora tidak akan pernah terjadi.
4
Pertanyaan yang tebersit dari akal sehat tentulah: Mengapa Suharto dengan sengaja tidak melakukan dua tindakan pencegahan yang sangat menentukan nasib negara dan bangsa itu? Karena tindakan pencegahan seperti itu tidak mendatangkan keuntungan apapun bagi Suharto. Walaupun saya bukan pakar hukum, tapi saya akan mencoba di sini mengkaji kesengajaan Suharto tidak melakukan tindakan pencegahan dari sudut hukum. Pasal 56 ke-2 KUHP menyebutkan: “Dipidana sebagai pembantu kejahatan: ......... mereka yang sengaja memberi kesempatan ...... untuk melakukan kejahatan.” Didasarkan pada fakta bahwa Suharto dengan sengaja tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap terjadinya penjemputan paksa sejumlah jenderal oleh G 30 S, maka secara hukum dia sesungguhnya termasuk ke dalam kategori “mereka yang sengaja memberi kesempatan ....... untuk melakukan kejahatan” (zij die opzettelijk gelegenheid verschaffen tot het plegen van het misdrijf). Terhadap perbuatan ini, Suharto sesungguhnya harus “dipidana sebagai pembantu kejahatan” (medeplichtige van een misdrijf). Jadi, benarkah Suharto tidak terlibat dalam Peristiwa G 30 S? Tidak benar! Suharto jelas termasuk ke dalam kategori pembantu kejahatan (medeplichtige van een misdrijf) dalam Peristiwa G 30 S! Tidak hanya itu sesungguhnya. Dengan memanfaatkan tragedi dan blunder menyusul Peristiwa G 30 S, Suharto mengomandoi sendiri kampanye penghancuran PKI dan penggulingan Sukarno yang berlangsung dari awal Oktober 1965 hingga awal Maret 1967. Di ujung kampanye yang dikomandoinya itu, Suharto merayakan kemenangannnya dengan menobatkan dirinya sebagai penguasa mutlak negara RI pada 12 Maret 1967. “G 30 S/PKI” dan “Gestapu” “G 30 S/PKI” dan “Gestapu” (yang jelas merupakan pemlesetan dari “Gestapo”) adalah dua istilah yang oleh mesin propaganda kelompok Suharto dan rezimnya dijadikan sebagai slogan propaganda memosisikan PKI sebagai dalang G 30 S dan pihak yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya enam Pati dan satu Pamen AD. Aspek jahat dan menyesatkan dari kedua istilah terletak dalam hal pemosisian PKI sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas meletusnya Peristiwa G 30 S. Padahal kenyataan di lapangan membuktikan bahwa Suharto juga termasuk sebagai
5
pembantu kejahatan (medeplichtige) dalam Peristiwa G 30 S (sebagaimana telah dibahas di muka). Namun demikian, kedua istilah, “G 30 S/PKI” dan “Gestapu”, tidak menyiratkan sedikitpun peran Suharto sebagai pembantu kejahatan. Mengapa? Karena istilah “G 30 S/PKI” dan “Gestapu” memang sengaja didesain, di satu sisi untuk membusukkan PKI sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas meletusnya Peristiwa G 30 S; di sisi lain untuk menyelubungi peran busuk Suharto sebagai medeplichtige dalam peristiwa tersebut. Penyelesaian masalah Peristiwa G 30 S secara beradab haruslah berupa penyelesaian yang adil. Artinya, pembedaan terhadap fakta-fakta dalam peristiwa tersebut harus mutlak dipantangkan. Jika Salim Said memang benar-benar dengan tulus menginginkan penyelesaian masalah Peristiwa G 30 S secara beradab, maka hal itu pertama-tama harus dibuktikan dengan menghentikan sama sekali pemakaian istilah laknat “G 30 S/PKI” dan “Gestapu”. Jika mengambil langkah yang elementer inipun Salim Said tidak mau melakukannya, maka hanya satu kesimpulan yang bisa saya tarik: Wacana Salim Said -- “bangsa Indonesia harus bisa menyelesaikan masalah ini [masalah Peristiwa G 30 S] secara beradab” -- hanyalah sebuah kemunafikan belaka! __._,_.___
6