KTSP DAN PENJELASAN TENTANG PERISTIWA KONTROVERSI G-30-S 1965 DALAM MATA PELAJARAN SEJARAH Dedi Irwanto*) Abstrak: Tulisan ini sebagai pandangan kritis penulis tentang subpokok bahasan dalam KTPS 2006 di sekolah menengah tentang peristiwa G-30-S tahun 1965. Dalam kompetensi dasar KTSP tersebut pemerintah, Departemen Pendidikan Nasional, menetapkan bahwa kata-kata “G-30-S” tetap memakai embel-embel kata “PKI”. Menurut penulis, semangat dari KTSP atau kurikulum 2006 tidak berbeda dengan Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dirancang untuk memenuhi reformasi atau perubahan zaman. Sementara, di sisi lain peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah melahirkan kontroversial, selama masa orde baru versi tunggal bahwa dalang dari peristiwa ini ditujukan pada Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi sejalan dengan gerakan reformasi dan antitesis terhadap orde baru muncul berbagai versi mengenai dalang dari Gerakan 30 September 1965. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa dalam penjelasan tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 sejalan dengan KTSP perlu dijelaskan juga versiversi lain tersebut, tidak saja versi tunggal, sehingga ruh dalam perubahan paradigma sejarah secara luas tetap terjaga. Kata-kata Kunci: KTSP, G-30-S, Mata Pelajaran Sejarah, Sekolah Menengah
Reformasi yang sedang berjalan saat ini menghendaki terjadinya berbagai perubahan paradigma di segala bidang. Secara teoretis, perubahan-perubahan yang terjadi bermaksud mendorong percepatan reformasi itu sendiri. Namun, secara praktik perubahan tersebut masih terlihat berada pada arus labirin reformasi itu yang seolah tidak memiliki ujungnya. Arus perubahan dalam lingkup pendidikan nasional yaitu mulai tahun pelajaran 2006/2007, Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar. Pada dasarnya KTSP ini nantinya memberi hak penuh pada sekolah-sekolah untuk menentukan sendiri kurikulumnya. Tujuannya adalah agar potensi tiap-tiap sekolah dapat menonjol, sehingga tercipta kompetisi antar sekolah (Riyanafirly, 2006). Dengan KTSP tersebut, masing-masing sekolah bisa membuat silabus, kurikulum, dan indikator-indikatornya sendiri. Walaupun untuk saat sekarang sekolah diberi kebebasan apakah masih mau tetap memakai kurikulum 1994 (kuri-
kulum lama) atau tidak dan meskipun mereka menentukan silabusnya sendiri tetapi standar kompetensi dan isinya harus sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. KTSP dilaksanakan secara bertahap selama 4 tahun. Selanjutnya secara bertahap bisa dilaksanakan secara keseluruhan, sehingga sampai tahun 2010 nanti, seluruh sekolah sudah harus memakai KTSP. Kalau pada Kurikulum 1994 materi yang akan disampaikan pada tiap mata pelajaran telah dirinci secara detail, pada KTSP ternyata tidak demikian. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) hanya memberi standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk tiap mata pelajaran, sebagaimana yang tertuang dalam Standar Isi yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional. Sementara, materi yang akan disampaikan selama satu semester, indikator, dan bahan ajar harus dirancang sendiri oleh sekolah dan guru. Berdasarkan hal demikian, KTSP membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama, yakni terlalu bergantung pada birokrasi. Guru-guru dalam sistem KTSP lebih dituntut untuk kreatif dalam menyampaikan materi. Artinya, sistem KTSP lebih up date, dimana yang berperan bukan saja
*) Dedi Irwanto adalah dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Unsri 79
80
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
gurunya, melainkan juga murid-murid yang dituntut harus mandiri. Walaupun demikian, ternyata model KTSP menyimpan kebingungan di kalangan guru, sebab selama bertahun-tahun guru hanya menerima jadi kurikulum dari pemerintah pusat. Sementara dalam model KTSP, guru dituntut menyusun model pendidikan yang sesuai dengan kondisi lokal sekolah tersebut berada. Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh perubahan kurikulum tersebut, tetapi hanya ingin menghubungkan bagaimana perspektif perubahan kurikulum tersebut dengan timbulnya adigium pada mata pelajaran sejarah. Standar ganda tersebut tercipta, di mana dalam KTSP, mata pelajaran sejarah, “berusaha” “menjauhi dan menutupi” bagian dari sejarah kontroversial peristiwa Gerakan 30 September 1965 dengan mencantumkan embel-embel “PKI” di belakang “G-30-S”. Bahkan “usaha” tersebut disertai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang melarang berbagai versi tentang peristiwa politik berdarah tersebut. (Tempo Interaktif, Jum’at, 29 September 2006) Akan tetapi menariknya di lapangan, walaupun masuk dalam materi pelajaran sejarah di sekolah dengan hanya satu versi tunggal, tetapi sejalan dengan perkembangan informasi dan teknologi, kontroversial mengenai hal itu menjadi pertanyaan kritis para siswa. Dari survei awal, penulis melihat guru mengalami kesulitan untuk menjelaskan pertanyaan kritis siswa tersebut. Dari berbagai jawaban yang diuraikan guru “formulasi uraian” mereka masih tetap “terapi lama” dalam menjelaskan persitiwa tersebut. Jawaban guru cenderung semakin menguatkan stigma lama yang telah mengakar kuat di masyarakat, yaitu dalang dari peristiwa G-30S 1965 tersebut adalah PKI. Mereka hanya menguraikan dari satu versi tunggal tersebut saja. Sementara daya pengetahuan siswa tentang peristiwa 1965 tersebut semakin kritis dan di kalangan sejarawan pun angin perubahan untuk mematahkan stigma ini semakin kuat. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis bermaksud dan berusaha menguraikan bagaimana hubungan “semangat” KTSP dengan cara menjelaskan kontroversial peristiwa 1965 tersebut. Berdasarkan pendahuluan tersebut, ada beberapa pertanyaan pada tulisan ini yang akan dijawab dalam uraian selanjutnya, yaitu: Seperti apa KTSP mata pelajaran sejarah, terutama tentang Gerakan 30 September 1965?
Bagaimana dengan perubahan perspektif penelitian, penulisan, dan penjelasan sejarah? Apakah cara pandang sejarah tersebut tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 tersebut? Lebih lanjut, bagaimana korelasi perubahan paradigma KTSP dengan penjelasan tentang kontroversial peristiwa Gerakan 30 September 1965 kepada anak didik sekolah menengah? Kurikulum KTSP Mata Pelajaran Sejarah Perubahan dalam pendidikan tentunya selalu diharapkan oleh masyarakat Indonesia, terutama bagi mereka pelaku pendidikan. Pelajar dan pengajar yang secara langsung terkena dampak dari perubahan itu tentunya berharap yang terbaik. Dalam KTSP, pelajaran Sejarah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak berdiri sebagai mata pelajaran sendiri, tetapi dimasukan dalam satu payung mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Demikian juga di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sejarah dijadikan satu paket dengan Sosiologi, PPKN, dan Geografi. Ada beberapa karakteristik mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah menengah. Pertama, karakter rasional, artinya manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang menjadi penghuni bumi ini senantiasa berhadapan atau berhubungan dengan dimensi-dimensi ruang, waktu, dan berbagai bentuk kebutuhan (needs) serta berbagai bentuk peristiwa baik dalam skala individual maupun dalam skala kelompok (satuan sosial). Dalam kurikulum KTSP, berkenaan dengan sebagian dari hakikat manusia tadi, dan kemudian dihadapkan pada beberapa disiplin ilmu sosial, maka tentu saja terdapat relasi, relevansi, dan fungsi yang cukup signifikan. Dimensi ruang (permukaan bumi) dengan segala fenomenanya, sangat relevan menjadi objek (bahan) kajian geografi. Sedangkan dimensi manusia baik dalam skala individual maupun dalam skala kelompok sangat relevan menjadi bahan kajian disiplin sosiologi dan psikologi sosial. Kemudian dimensi waktu dan peristiwaperistiwa yang dialami manusia dari waktu ke waktu sangat relevan menjadi objek atau bahan kajian bagi disiplin ilmu sejarah. Sedangkan dimensi kebutuhan (needs) yang senantiasa
81
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
memiliki karakteristik atau sifat keterbatasan (kelangkaan) sangat tepat menjadi objek kajian bagi disiplin ilmu ekonomi. Kedua, mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan perpaduan dari beberapa disiplin ilmu sosial antara lain : Sosiologi, Geografi, Ekonomi dan Sejarah. Materi bagian IPS terdiri atas sejumlah konsep, prinsip, dan tema yang berkenaan dengan hakikat kehidupan manusia sebagai makhluk sosial (homo socious). Ketiga, Kajian IPS dikembangkan melalui tiga pendekatan utama, yaitu pendekatan fungsional, pendekatan antardisiplin, dan pendekatan multidisiplin. Pendekatan fungsional digunakan apabila materi kajian lebih dominan sebagai kajian dari salah satu disiplin ilmu sosial, sementara disiplin-disiplin ilmu sosial lain berperan sebagai penunjang dalam kajian materi tersebut. Pendekatan interdisipliner digunakan apabila materi kajian betul-betul menampilkan karakter yang dalam pengkajiannya memerlukan keterpaduan dari sejumlah disiplin ilmu sosial. Pendekatan multidisipliner digunakan apabila materi kajian memerlukan pendeskripsian yang melibatkan keterpaduan antar atau lintas kelompok ilmu, yaitu ilmu alamiah dan humaniora. Materi IPS senantiasa berkenaan dengan fenomena dinamika sosial, budaya, dan ekonomi yang menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat, baik dalam skala kelompok masyarakat, lokal, nasional, regional, dan global. Dalam pengembangan silabus dengan KTSP ini sekolah, kelompok kerja guru, atau dinas pendidikan dapat meminta bimbingan teknis dari perguruan tinggi, LPMP, atau unit utama terkait yang ada di Departemen Pendidikan Nasional. Untuk pelajaran sejarah, sumber belajar dalam KTSP adalah buku sejarah pegangan siswa atau buku referensi, atlas sejarah, dan situs sejarah di daerahnya. Kompetensi dasar sejarah untuk sub pokok bahasan peristiwa “Gerakan 30 September 1965” dalam KTSP mendeskripsikan strategi nasional peristiwa Partai Komunis Nasional di Madiun, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Gerakan 30 September/PKI (G-30-S/PKI) dan konflik-konflik internal lainnya. KTSP sejarah tersebut juga menekankan kegiatan pembelajaran meliputi membaca referensi, mengamati gambar dan menggali informasi dengan wawancara mengenai keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebelum
terjadinya peristiwa G-30-S/PKI. Kemudian hasil dari membaca referensi, mengamati gambar atau film serta wawancara peserta didik dapat menelaah terjadinya peristiwa G-30-S/PKI dan cara penanggulangannya. Indikator pembelajarannya adalah mengidentifikasi keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebelum terjadinya peristiwa G-30-S/PKI dan mendiskripsikan terjadinya peristiwa G-30S/PKI serta cara penumpasannya. Instrumen dalam kurikulum KTSP yang diajarkan adalah melakukan wawancara kepada tokoh-tokoh atau anggota masyarakat yang mengalami keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebelum terjadinya peristiwa G-30-S/PKI. Selanjutnya peserta didik dapat membuat kesimpulan dan laporan serta penjelasan terjadinya peristiwa G30-S/PKI dan cara penanggulangannya. Yang menjadi persoalan dalam penjelasan ini, bahwa kompetensi dasar KTSP ternyata tidak berbeda dengan Kurikulum 1994, bahwa ia tetap mengarahkan guru untuk menarasikan ”versi tunggal” saja, bahkan KTSP menghilangkan wacana yang sempat dilontarkan dalam kurikulum 2004 tentang penghilangan kata ”PKI” dibelakang ”G-30-S”. Kembalinya penulisan kata ”PKI” setelah kata ”G-30-S” tersebut ditanggapi dengan sangat sinis oleh sejarawan Asvi Warman Adam. Asvi dalam majalah Tempo Interaktif, Jum’at tanggal 29 September 2006, menganggap KTSP sebagai perlakuan yang gegabah sebab menurutnya epilog (babak akhir) peristiwa Gerakan 30 September 1965 masih berlangsung dan "dampaknya masih panjang”. Asvi menjelaskan pancalogi dari peristiwa ini adalah fenomena terbesar dalam sejarah G-30-S tahun 1965. Pancalogi itu meliputi peristiwa G-30-S sebagai awal, pembantaian manusia, 570 orang dicabut kewarganegaraannya, pembuangan masyarakat “golongan B” ke Pulau Buru untuk dijadikan pekerja paksa, dan masyarakat “golongan B” dilarang menjadi pegawai negeri atau kedudukan penting. Menurut Asvi hal ini merupakan hukuman yang berat bagi masyarakat itu. Perlakuan pemerintah kala itu dianggapnya terlalu kejam. Padahal, sejarah itu belum tentu benar. Peristiwa ini akhirnya menjadi pembatas jaman yang mengakibatkan perubahan besar dalam kehidupan bangsa di berbagai bidang. Akhirnya, epilog peristiwa itu masih panjang karena masih banyak kasus yang tertutup dan simpang siur. Oleh karena itu, Asvi berpendapat bahwa
82
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
memunculkan kembali kata “PKI” dibelakang kata-kata “G-30-S”, jelas mengakibatkan kebingungan masyarakat dan sudah tak objektif lagi. Menurutnya, justru versi tunggal ini cenderung mengaburkan sejarah, padahal dengan berbagai versi peristiwa itu akan membuat publik dapat menerjemahkan dan memiliki gambaran yang lebih luas. Jika hanya satu versi, sulit menggambarkan sejarah yang sebenarnya. Asvi memandang jangan sampai ada usaha pengarahan sejarah yang belum tentu benar. Ia mencontohkan pada masa Orde Baru, PKI sangat dipojokkan oleh kisah sejarah yang disusun oleh rezim di masa itu. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dalam Pelajaran Sejarah di Sekolah Menengah. Selama orde baru, materi pelajaran tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965, hanya memuat “versi tunggalnya”, bahwa gerakan tersebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Angin reformasi, kemudian turut berpengaruh dengan perubahan paradigma di mana dalam kurikulum 2004 kata “PKI” di ujung katakata “G-30-S” dibuang. Dalam kompetensi dasar Kurikulum 2004, pelajaran Sejarah untuk SMP kelas IX (kelas III dalam pengertian lama) disebutkan kemampuan menjelaskan peristiwa G-30-S dan perkembangan sosial, ekonomi, politik masa Orde Baru. Sebagai indikatornya, siswa dituntut dapat menjelaskan peristiwa sekitar Gerakan 30 September 1965. Adapun materi pokok tentang Peristiwa G30-S dan perkembangan sosial, ekonomi, politik pada masa Orde Baru. Kemudian dalam kurikulum untuk SMA dan Madrasah Aliyah (MA) kelas XII (kelas III pengertian lama) yang terkait kompetensi dasar adalah kemampuan menganalisis perkembangan politik dan ekonomi serta perubahan masyarakat di Indonesia di tengah usaha mengisi kemerdekaan. Adapun materi pokoknya mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan peralihan kekuasaan politik. Tampak jelas kata "PKI" tidak tercantum lagi dalam Kurikulum 2004. Dari sinilah persoalan berawal. Bukankah keterlibatan PKI dalam "Gerakan 30 September 1965" adalah fakta. Tetapi soal keterlibatan, bukankah juga ada pihak lain? Jadi, yang terlibat bukan hanya PKI. Oleh karena itu, seharusnya ada berbagai versi atau pendapat tentang keterlibatan pihak-pihak lain dengan "G-30-S 1965". Oleh karena itu, pada saat kurikulum 2004
diujicobakan, mata pelajaran sejarah menuai reaksi keras karena tidak mencantumkan kata “PKI” pada “G-30-S 1965”. Setelah reaksi keras ini dibahas, maka untuk mata pelajaran sejarah di sekolah tetap menggunakan kurikulum 1994. mengapa reaksi ini muncul? Menurut Zuhdi (2004:4), bukan soal fakta "G-30-S 1965" dengan "PKI" saja, tetapi ada dua hal lain yang diangkat. Pertama, siswa kelas II dan III SLTA jurusan IPA dan SMK tidak diberi lagi pelajaran sejarah. Tuntutan agar mata pelajaran sejarah diberikan secara mandiri atau terpisah baik untuk SD maupun SLTP. Seperti diketahui, dalam Kurikulum 2004 mata pelajaran sejarah di SD digabung bersama Geografi dan Ekonomi. Ada pun untuk SLTP, pelajaran Sejarah diberikan dalam kelompok IPS. Kedua, tidak seperti pelajaran lain, Sejarah tidak hanya memiliki ranah ilmu pengetahuan, tetapi juga makna subyektif berbangsa. Tentu tidak ada "Matematika Indonesia" atau "Biologi Indonesia". Namun, ada "Sejarah Indonesia", seperti halnya "Sejarah Amerika" atau "Sejarah Jepang". Artinya, selain sebagai ilmu yang bekerja secara kritis, sejarah juga bermuatan “makna” yang dipegang dan nilai yang dianut suatu masyarakat pemilik sejarah itu. Makna kehidupan adalah arti yang diberikan terhadap proses dan tujuan yang hendak dicapai suatu masyarakat atau bangsa. Bangsa Indonesia dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hendak mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara dengan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa. Dalam konteks mencerdaskan kehidupan bangsa, nilai-nilai Pancasila itulah yang menjadi landasan tujuan pendidikan nasional. Jadi, tidak tercantumnya "PKI" dilihat dari penolak Kurikulum 2004 adalah upaya sistematik bagi hidupnya kembali partai yang berlawanan dengan ideologi Pancasila. Pihak yang tidak setuju dihilangkannya "PKI" dalam kurikulum baru melihat ada latar belakang dan motivasi perjuangan politik dan ideologi dari kelompok tertentu. Untuk memperkuat argumentasinya, mereka menunjukkan indikator keberhasilan pembelajaran. Disebutkan, siswa diharapkan mampu "membandingkan beberapa pendapat tentang peristiwa Gerakan 30 September". Bagi mereka, ini adalah upaya mengaburkan fakta "keterlibatan PKI" dalam G30-S 1965.
83
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
Perspektif Baru dalam Sejarah Tentang Gerakan 30 September 1965 Pentas politik Indonesia dalam empat tahun terakhir diwarnai oleh terjadinya berbagai perubahan besar, yang sebagian di antaranya bisa dikatakan merupakan perubahan yang sangat tidak terduga. Jiwa zaman (zeit geist) yang sebelumnya ditandai oleh kuatnya budaya politik parokial dan kaula kini telah diganti oleh zaman baru yang diwarnai oleh semakin berkembangnya budaya politik partisipan. Dalam kaitan itu, seiring dengan runtuhnya kekuasaan Soeharto, muncul tuntutan-tuntutan untuk merevisi sejarah Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan sepak terjang orde baru, termasuk sepak terjang para tokoh orde baru. Adapun satu di antara kisah perjalanan sejarah orde baru yang kini banyak digugat kembali adalah peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G-30-S. Menurut Dienaputra (2005:14), pada dasarnya ada empat alasan yang membuat suatu peristiwa sejarah perlu ditelusuri kembali. Pertama, adanya ketidakpuasan terhadap sejarah yang ada. Kedua, adanya penemuan sumber baru. Ketiga, adanya reinterpretasi sumber lama. Keempat, adanya perubahan sikap dan pandangan terhadap masa lalu. Berpijak pada keempat alasan tersebut, jelaslah bahwa pengkajian kembali suatu peristiwa sejarah akan selalu terbuka dan bisa dilakukan setiap saat bila kondisi-kondisi sebagaimana dikemukakan di atas muncul ke permukaan. Bila penelusuran kembali peristiwa sejarah dilakukan tidak hanya akan membuka peluang bagi lahirnya "versi" baru tentang sebuah peristiwa sejarah, tetapi juga bisa jadi akan membuka peran sesungguhnya dari para aktor sejarah. Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian dan penulisan sejarah di Indonesia tentang peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah muncul beberapa eksplanasi mengenai siapa dalang dari peristiwa Gerakan 30 September 1965. Salah satu tulisan tentang Peristiwa 1965 yang tidak ubahnya segumpalan benang kusut di mana satu simpulnya dicoba diuraikan oleh Kerstin (2004: 12) dengan serius. Kerstin berupaya mengumpulkan bahan yang ada yaitu sebanyak 22 buku, makalah, laporan yang terbit dari tahun 1965 sampai dengan 2001, yang menyinggung keterlibatan atau ketidakterlibatan Soekarno atau Bung Karno dalam kudeta itu. Tulisannya tersebut berusaha menyelidiki sejauh mana Bung Karno mengetahui, mengikuti, atau
merencanakan gerakan itu. Kerstin mengusahakan agar setiap versi tentang dalang G-30-S terwakili, yang berupa tulisan, mewakili pandangan pemerintah dan swasta atau pribadi, yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Bentuk tulisan yang dikutip Kerstin tersebut sangat beragam mulai dari laporan ilmuwan seperti Cornell Paper, disertasi Antonie Dake, ”Buku Putih” Sekretariat Negara, sampai kepada karya penulis novel Arswendo Atmowiloto. Menurut Kerstin, terdapat beberapa teori tentang dalang G-30-S yaitu 1) Partai Komunis Indonesia (PKI), 2) Perwira Progresif, 3) Angkatan Darat (AD) dan Soeharto, 4) Central Intelligent Agency (CIA), 5) Chaos atau dalangnya tidak tunggal, dan 6) Soekarno. Pendapat Kerstin hampir serupa dengan beberapa teori yang sudah ada. Namun dalam pengantarnya, sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam mempertanyakan tentang tidak jelasnya penggolongan Kerstin seperti ini. Kenapa AD digabungkan dengan Soeharto? Kalau Bung Karno menjadi kategori tersendiri kenapa Soeharto tidak diperlakukan sama. Bahkan belakangan ini “kudeta merangkak” Soeharto semakin sering disebut. Di samping itu, bagian dari AD seperti Kodam Diponegoro sebetulnya bisa juga dianggap sebagai kategori sendiri. Demikian pula unsur luar negeri, bukan hanya CIA tetapi dinas rahasia Inggris pun disebut-sebut ambil andil dalam penghancuran komunis. Salah satu teori lain tentang siapa dalang dari Gerakan 30 September datang dari analisis Antonie C. A. Dake. Dake (2005:45), berpendapat bahwa Soekarno adalah mastermind kudeta 1 Oktober 1965. Dake juga menyebutkan bahwa Central Intelligent Agency (CIA) maupun Mayor Jenderal Soeharto kala itu, tidak memiliki keterkaitan yang kuat. Namun buku ini memiliki banyak kelemahan, salah satunya mengenai pengambilan sumber, di mana kritik ekstern terhadap sumber tersebut hampir tidak ada sama sekali. Salah satu data yang digunakannya adalah dokumen Teperpu (team pemeriksa pusat) Kopkamtib ketika mengadili pelaku yang diduga terlibat peristiwa 30 September 1965. Berdasarkan pengakuan ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko, dalam salah satu dokumen Teperpu tersebut. Dake menginterpretasikan bahwa Soekarno harus bertanggungjawab atas pembunuhan enam orang jenderal dan atas genosida
84
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
orang komunis maupun non komunis, baik pada waktu itu maupun sesudahnya. Dokumen pemeriksaan Bambang tersebut adalah fakta lemah sebab beberapa tahun kemudian Bambang Widjanarko meralat pengakuannya. Ia mengungkapkan bahwa pengakuan yang dilakukannya terpaksa dibuat karena ia mengalami siksaan yang berat. Bahkan di kalangan sejarawan Indonesia yang telah membaca buku ini banyak yang mengeluh karena isinya sama sekali tidak ilmiah. Tesis Dake memang sangat argumentatif, apalagi bukti-bukti sejarah yang mendukung masih merupakan ”dokumen tertutup”. Selain itu teori-teori lain tentang siapa dalang Gerakan 30 September 1965 datang dari buku-buku yang pernah dilarang pada masa orde baru. Buku-buku tersebut seperti terbitan ISAI berjudul “Bayang-Bayang PKI” yang terbit pada tahun 1995. Buku ini serupa dengan tulisan Kerstin yang selain meletakkan dalangnya pada PKI dan "Biro Chusus", juga berkesimpulan bahwa dalang lainnya adalah Angkatan Darat, pihak asing (CIA dll), Soekarno dan Soeharto (kudeta merangkak). Pada pasca orde baru beredar buku-buku “terlarang” lainnya seperti tulisan Anderson (1971:24) berjudul Cornell Paper, desertasi Sulistyo (2000:112) yang diterbitkan menjadi buku berjudul Palu Arit di Ladang Tebu, buku yang disunting Cribb (1990:76) berjudul Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Tulisan Pramoedya Ananta Toer (1997:45) Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kesaksian Setiawan (2004:120) yang dibukukan dalam Memoar Pulau Buru. Menurut Irawanto (1999:15) pada masa orde baru, selain melalui pendidikan, dengan Buku Putih dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto, untuk legitimasi kekuasaan, militer orde baru juga memanfaatkan monumen dan museum serta tidak ketinggalan media film untuk memuja Soeharto dan menohok PKI. Buku-buku “terlarang” tersebut di atas, mengadakan “interpretasi terbalik” atas karya-karya sejarawan orde baru yang cenderung melakukan stigma bahwa dalang dari gerakan 30 September adalah PKI. Sebaliknya, buku-buku ini menguraikan fakta-fakta lain bagaimana perlakuan “pemerintah orde baru” terhadap mereka yang dicap sebagai “PKI”, sekaligus membuktikan bahwa PKI hanya menjadi “kambing hitam” dalam peristiwa 1965 tersebut. Pendapat - pendapat tersebut di atas kemu-
kemudian disokong dengan sangat kuat oleh versi Asvi (2004: 32-57), bahwa Gerakan 30 September 1965 didalangi oleh Soeharto. Jika Dake mengatakan Soekarno terlibat dalam G-30S, maka Asvi yakin Soeharto terlibat dalam G30-S. Untuk membuktikan kebenaran analisisnya, Asvi menyoroti masa peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto yang pada hematnya bukan sebuah suksesi yang wajar. Pertama, transisi, peralihan, itu dimulai dengan percobaan kudeta G-30-S. Kedua, ia berakhir dengan keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) tahun 1966. Ada penulis yang menamakan kejadian-kejadian antara tanggal 1 Oktober 1965 sampai dengan 11 Maret 1966 sebagai suatu "kudeta merangkak". Ada pula penulis lain yang merujuk bahwa tanggal 1 Oktober 1965 sebagai "kup pertama" dan peristiwa 11 Maret 1966 sebagai "kup kedua". Sama seperti Asvi, Dale-Scott (1972:2327) memandang kejadian ini sebagai suatu kudeta tiga tahapan. Pertama, datang Gerakan 30 September (G-30-S) yakni suatu "kup palsu". Kedua, pembalasan dendam yang berwujud pembantaian para anggota PKI. Ketiga, pelenyapan sisa-sisa kekuasaan Soekarno. Pada hemat Asvi, Soeharto terlibat di dalam dua kejadian besar tersebut yakni G-30-S tahun 1965 dan Supersemar tahun 1966. Kendati Soeharto menyatakan dia tidak memaksa Soekarno, pada hakikatnya para pembantunya dan ketiga jenderal telah memaksa Soekarno dengan ”ancaman pistol” untuk mengeluarkan Supersemar tersebut. Di samping hal ini, Asvi memperkuat argumennya bahwa pada pagi tanggal 11 Maret 1966 pasukan yang tidak dikenal disebarkan di sekitar Istana Negara sehingga Soekarno memutuskan pergi ke Bogor. Keterlibatan Soeharto dalam ”kup pertama”, juga kentara sekali, beberapa hari sesudah insiden, yakni Soeharto dan para perwira Angkatan Darat-nya mengontrol Radio Republik Indonesia (RRI) dan media massa, salah satunya suratkabar Warta Bhakti yang pro Soekarno dilarang terbit. Kemudian tentara melancarkan propaganda melalui pers Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) seperti surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, untuk membangkitkan permusuhan terhadap PKI. Mereka memberitakan bahwa mayat ketujuh korban G-30-S yang dilemparkan ke dalam sumur Lubang Buaya telah dicincang-cincang. Jenazah mereka telah disilet dan kelamin mereka di potong, dan ternyata di kemudian hari berita
85
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
ini tidak benar. Ada sejumlah pengamat yang juga memperkuat teori bahwa Gerakan 30 September didalangi oleh Angkatan Darat. Mereka menilai gerakan itu sebagai suatu gerakan intelijen tentara, dilakukan oleh segolongan tentara terhadap golongan tentara lainnya di dalam angkatan bersenjata. Segolongan “membersihkan” segolongan lainnya. Surat kabar beraluhan PKI "Harian Rakyat", pada tanggal 1 Oktober 1965, menilai G-30-S sebagai gerakan yang terjadi di kalangan AD, dilakukan oleh segolongan perwira patriotik untuk membela Presiden Soekarno. Menariknya, ada kenyataan lain berdasarkan pendapat Bung Karno. Bung Karno untuk peristiwa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 sekitar jam 03.00 pagi hari tersebut lebih menyebutnya dengan nama Gestok (Gerakan Satu Oktober). Bukan nama G-30-S, Gerakan 30 September, seperti yang disebut oleh para pencetus gerakan, dan juga bukan Gestapu, seperti penamaan yang diberikan oleh Jenderal Soeharto, dengan maksud menarik persamaan dengan organisasi fasis Hitler, Gestapo. Dari segi namanya tersebut, apa yang terjadi ketika itu, sudah terdapat perbedaan tanggapan. Apalagi mengenai hakikat dan isi gerakan tersebut. Menurut Sophiaan (1994:82) mengenai penyebab G-30-S, Presiden Sukarno menyebut ada tiga faktor, yaitu: Pertama, Keblingernya pemimpinpemimpin PKI. Kedua, lihaynya nekolim, dan ketiga, adanya oknum yang tidak benar. Menjelaskan dan Menuturkan (Kembali) Peristiwa Gerakan 30 September 1965 dalam KTSP Secara akademis berbagai pendapat tentang suatu topik, bukan hanya perlu tetapi harus dibahas. Kemampuan kritis dituntut bagi pembelajaran sejarah, sebab tidak ada sejarah tanpa pertanyaan atau permasalahan. Analisis terhadap persamaan dan perbedaan fakta dalam rekonstruksi dan memahami sejarah suatu keharusan akademis. Salah satu pertanyaan itu adalah di mana letak perbedaan pendapat yang satu dibanding yang lain. Namun, prasyarat untuk melakukan perbandingan perlu dipenuhi. Oleh karena itu, menurut Zuhdi ( 2004: 64), guru harus memahami peta perbedaan pendapat, tersedianya buku atau bahan ajar memadai. Argumentasi lebih lanjut dikemukakan, bahwa alih-alih siswa, mahasiswa sejarah saja belum
tentu mampu "membandingkan" berbagai pendapat tentang "G-30-S 1965". Memang ada beberapa pendapat tentang siapa pelaku atau yang terlibat gerakan. Beberapa pendapat atau teori mengatakan, selain PKI pelaku "G-30-S 1965" juga dilatarbelakangi masalah internal Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat, ada yang mengatakan peran Mayor Jenderal Soeharto, peran CIA, intelijen Inggris, dan keterlibatan KGB agen rahasia Rusia, atau boleh jadi teori konspirasi. Mengapa bukan fakta yang ditegaskan, tetapi menurut Zuhdi justru pendapatlah yang dikedepankan dalam pembelajaran sejarah di sekolah menengah. Padahal, istilah "pendapat" adalah sesuatu yang lebih dekat dengan opini. Mungkin istilah interpretasi jauh lebih akademis jika mau digunakan. Jadi, jika sebuah perbandingan hendak dilakukan adalah dengan menyandingkan fakta-fakta dari berbagai interpretasi. Seperti diketahui dalam sejarah ada fakta kuat (hard-fact) contoh "Proklamasi 17 Agustus 1945" dan fakta lunak (soft-fact) contoh "Tan Malaka ter(di)bunuh suatu pasukan bersenjata di Jawa Timur tahun 1948". Sejarah adalah soal sudut pandang. Topik yang dibicarakan sebenarnya adalah masalah saat sejarah sebagai persoalan akademis dipindah ke materi pelajaran untuk pendidikan dalam arti subyektif bangsa. Akan tetapi, faktanya harus benar dalam lingkup kerja akademis. Untuk tujuan pendidikan, materi sejarah adalah yang disepakati (accepted history). Tidak semua fakta harus dan pantas disampaikan pada anak didik. Karena sejarah juga soal seleksi bagi tujuan yang hendak dicapai, misalnya untuk tujuan berbangsa dan bernegara. Maka, apa perlunya terlalu menekankan fakta perang antarkerajaan. Tidakkah yang perlu dicari fakta sejarah yang merekatkan hubungan antarmasyarakat di kepulauan Indonesia. Perbedaan interpretasi tetap perlu dan penting guna melihat keragaman sejarah. Apalagi bangsa ini dibangun dari keragaman suku bangsa dan kebudayaan. Meski demikian, bagi perluasan wawasan, diperlukan sejumlah acuan beragam termasuk yang kontroversial di luar buku teks yang kelak ditetapkan (accepted history). Oleh sebab itu, bahwa jelas Kurikulum 2004 (KBK) dan 2006 (KTSP) sekarang dirancang dalam suasana reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998. Kurikulum 1994 perlu diganti karena bersifat sentralistik, muatan berlebih, pemberian
86
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
materi yang mengulang, tidak tampak penjenjangan apakah perluasan atau pendalaman. Maka, ketika Kurikulum 2004 (KBK) dan 2006 (KTSP) umumnya lebih memenuhi persyaratan pembelajaran yang disebut berbasis kompentensi dan berbasis sekolah. Oleh karena itu, menurut hemat penulis, walaupun dibatasi dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional agar peristiwa G-30-S/PKI tidak diganggu gugat. Namun, ada baiknya juga ketika siswa bertanya dengan kritis tentang siapa dalang dari kejadian tersebut, guru sejarah hendaknya menuturkan ”pendapat” tadi tidak saja dari versi tunggalnya dan itu pun sudah dibuktikan dengan kompetensi dasar KTSP yang dikeluarkan pemerintah, namun juga dari berbagai versi apakah sebagai intrik di kalangan angkatan darat, Soeharto, Soekarno, CIA, KGB, atau versi teori konspirasi. Dalam penjelasannya tersebut hendaknya guru tidak berpihak pada salah satu versi tersebut, tetapi dalam menjelaskan versi-versi ini guru tetap harus bersandar dengan alasan kuat dari masing-masing ”teoriteori”. Dan, akhirnya biarkan siswa dapat berpikir kritis dalam menyikapi peristiwa tersebut. Penutup Sejarah bukanlah alat untuk menjustifikasikan suatu peristiwa. Walaupun kita ketahui bahwa eksplanasi sejarah sering menciptakan stigma tentang suatu peristiwa. Namun, sekali lagi sejarah bukanlah alat untuk menyatakan ”dengan pasti” bahwa peristiwa yang ditulisnya tersebut mempunyai kebenaran tunggal dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sama seperti ilmu sosial lainnya, kebenaran ilmiah adalah kebenaran tentatif, karena walaupun sudah sangat objektif pastilah kebenaran tersebut tetap mengandung unsur subjektif. Oleh karena itu, selagi dapat dilakukan penelitian ulang terhadapnya maka kebenaran atas fenomena tersebut masih bisa diganggu gugat secara ilmiah. Perkembangan perspektif dalam penelitian dan penulisan sejarah, membawa ruh perubahan pandangan baru mengenai kebenaran, termasuk tentang peristiwa kontroversial Gerakan 30 September 1965. Kalau selama ini, terutama zaman orde baru, ketika orang berbicara tentang gerakan tersebut, maka stigmanya mengarah pada ”penyudutan” Partai Komunis Indonesia (PKI). Stigma-stigma tersebut diikuti dengan pelarangan terhadap buku-buku yang dianggap membela PKI dalam peristiwa tersebut. Maka
ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) bergulir dengan semangat perubahan atau reformasi, meskipun diikuti dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional agar subbahasan mengenai ”Peristiwa 1965” tidak diganggu gugat, hendaknya para guru sejarah yang mengajar di sekolah menengah ketika menghadapi pertanyaan kritis dari siswanya tentang G-30-S menjawabnya tidak dengan ”satu versi tunggal saja”, melainkan juga dengan ”berbagai versi” yang diungkapkan oleh para sejarawan dengan mengambil bukunya sebagai kutipan dan referensi dalam menjelaskan tentang peristiwa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ananta Toer, Pramoedya. 1997. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu: II. Jakarta: Lentera. Anderson, Ben dkk. 1971. A Pleliminary Analysis Coup in Indonesian of the October 1, 1965. New York: Cornell University. Cribb, Robert (ed). 1990. Pembantaian PKI di Jawa/Bali, 1965/1966. Monash University: The Southeast Asian Studies. Dake, Antonie C.A. 2005. Soekarno File: Berkas-Berkas Soekarno, 1965-1966. Jakarta: Aksara Kurnia. Dale-scott, Peter. 1972. The War Conspiracy. California: University of Barkeley California. Dienaputra, Rieza D. 2005. Penelusuran Kembali Peristiwa G30S/PKI. Tim Penerbitan Institut Studi Arus Informatika. 1995. Bayang-Bayang PKI. Jakarta: ISAI. Irawanto, Budi. 1999. Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo. Kerstin, Beise. 2004. Apakah Soekarno Terlibat Peristiwa G30S?. Yogyakarta: Ombak. “Kurikulum Pendidikan Tutupi Sejarah G30S”. Tempo Interaktif, Jum’at, 29 September 2006. Riyanafirly. “KTSP Terbuka Untuk Mulok”. Pikiran Rakyat, 25 November 2006. Setiawan, Hersri. 2004. Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesia Tera. Sophiaan, Manai. 1994. Kehormatan bagi yang Berhak: Bung Karno tidak Terlibat G30S/PKI. Jakarta: Penerbit Sinar harapan.
87
FORUM KEPENDIDIKAN, VOLUME 27, NOMOR 2, MARET 2008
Sulistyo, Hermawan. 2000. Palu Arit di ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan, 1965-1966. Jakarta: Gramedia Pustaka. Susanto, Nugroho. 1976. Sejarah Nasional Indonesia: Jilkid 6. Jakarta: Balai Pustaka. Warman Adam, Asvi. “Epilog G30S/PKI masih Panjang”. Tempo Interaktif, Jum’at, 29 September 2006. Warman Adam, Asvi. 2004. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Warman Adam, Asvi. 2004. Soeharto File: Sisi Gelap Soeharto. Yogyakarta: Ombak. Zuhdi, Susanto. “G30S dalam Pelajaran Sekolah”. Kompas. 29 September 2004. hlm. 4.