PROPAGANDA MEDIA DALAM BENTUK KEKERASAN TERBUKA (STUDI SEMIOTIKA TERHADAP FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh : Mamik Sarmiki NIM : 1111051000115
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H /2015
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Mei 2015
Mamik Sarmiki
ABSTRAK
Mamik Sarmiki NIM 1111051000115 PROPAGANDA MEDIA DALAM BENTUK KEKERASAN TERBUKA (ANALISIS SEMIOTIKA TERHADAP FILM FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI) Berawal dari sebuah tragedi sadis pada tahun 1965, saat itu terjadi kudeta yang dilakukan oleh sekelompok pasukan yang menculik para Jederal dan menguburnya di Lubang Buaya yang sampai sekarang dikenal sebagai peristiwa G 30 S PKI. Pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tragedi ini pun diangkat ke layar lebar dengan judul Pengkhianatan G 30 S PKI. Film Pengkhianatan G 30 S PKI ini membawa unsur propaganda, terutama propaganda yang ditampilkan dalam bentuk kekerasan didalamnya. Dalam film ini yang banyak menampilkan adegan kekerasan yang dilakukan oleh para anggota dan simpatisan PKI Berdasarkan penjabaran diatas, maka peneliti ingin mengetahui Bagaimana tanda kekerasan yang ditampilkan dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI yang dibuat oleh PPFN (Pusat Produksi Film Nasional)? Apa teknik propaganda yang digunakan oleh media dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI yang dibuat oleh PPFN (Pusat Produksi Film Nasional)? Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau analisis semiotika model Ferdinan de Saussure yang mengelompokan lambang menjadi dua jenis: signifier (the concept) dan signified (the sound-image). Signifier menunjuk pada aspek fisik dari lambang, misalnya ucapan, gambar, lukisan. Sedangkan signified menunjuk pada aspek mental dari lambang, yakni pemikiran bersifat asosiatif tentang lambang. Berdasarkan hasil penelitian, Tanda kekerasan yang ditampilkan dalam film ini menggambarkan sifat kebrutalan dan kekejaman dalam proses kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Teknik propaganda yang dipakai dalam film ini adalah Name Calling (penjulukan), Testimony (kesaksian), Fear Arousing (membangkitkan ketakutan). Glittering Generality (kemilau generalitas). Namun teknik yang sering dipakai untuk merepresentasikan kekerasan adalah teknik Fear Arousing (membangkitkan ketakutan) dan teknik yang menggambarkan sosok kepahlawanan adalah teknik Glittering Generality (kemilau generalitas). Dari penjelasan singkat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa berbagai adegan-adegan yang menandakan kekerasan dalam film ini membuat rasa kebencian itu timbul dibenak para penonton dan upaya penumpasan gerakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Soeharto dan pasukannya membuat sebaliknya, yaitu para penonton bangga dan senang karena telah hadir sosok pahlawan yang menumpas semua kekerasan yang dilakukan dalam pemberontakan yang menewaskan para Jenderal elit di Angkatan Darat. Kata kunci :Propaganda, Film, PKI
i
KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan kuasa-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Sebagai manusia biasa, peneliti menyadari bahwa dalam penulisans kripsi ini masih terdapat kekuarangan dan kelemahan. Peneliti yakin skripsi ini tidak akan berjalan lancer tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terimakasih kepada : 1.
Dr. Arief Subhan, MA. Selaku Dekan beserta jajarannya di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam ,Rachmat Baihaky, MA beserta Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fita Fathurokhmah, M.Si yang selalu berkenan membantu peneliti.
3.
Drs Jumroni, M.Si selaku dosen Penasihat Akademik. Terimakasih atas saran dan masukan yang diberikan selama ini.
4.
Fita Fathurokhmah, M.Si selaku dosen pembimbing yang dengan sangat sabar membimbing saya. Terimakasih atas waktu, tenaga serta ilmunya yang telah Ibu berikan selama ini.
5.
Orang Tuaku, Bapak Santa Sarim (alm) dan Ibu Sani Buang dan kakak ku Pedri Haryadi beserta istri Yuniawati yang telah banyak memberikan doa, waktu, tenaga, pikiran, cambukan semangat dan harta kalian untuk
ii
peneliti. Maaf jika sampai saat ini belum bisa menjadi yang diharapkan. Alhamdulilah akhirnya Mamik sebentar lagi wisuda. 6.
Kekasih ku, Eka Rahmawati. yang selama ini selalu menjadi penyemangat dan motivator agar cepat menyelesaikan skripsi ini. Ayo sekarang giliran kamu kuliah !!!
7.
Teman-teman Kahfi Motivator School, om Sofwan, didin, isnen, kak tiar, kak sukri, kak izul, teh silvi. Terimakasih atas semua bantuanya nya selama ini.
8.
Kawan-kawan Band Jelly Spotters, Rizki Dwi Summaputra, Hedy Afwan, Surya Agung Wibisono, Fajar Yugaswara. Wujudkan mimpi kalian, Go Internasional.
9.
Teman-teman KPI D 2011, Zahid, Wawi, Ican, Alwan, Ajat, Wira, Ojan, Lukem, Fais, Anhar, Kahfi, Miler, Ganjar, Ical, Edvan, Uuz, Kiki, Dita, Tria, Ijah, Ita, Nay, Tebe, Lely, Rina, Rani, Nadhiroh, Hasna, Sifa, Fitri. Terimakasih untuk empat tahun yang berkesan ini.
10. Keluarga besar KPI angkatan 2011 yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Jaga terus tali silaturahmi diantara kita ya kawan. 11. KKN P.E.A.R.L, Wira, Hasby, Hendra, Ali, Subhi, Yudho, Herdian, Ivan, Fitri, Aska, Sherty, Fina, Lela, Fea Terimakasih atas suka duka selama sebulan di Ciseeng. Jangan lupakan semua kenangan kita yah pearls. 12. Seluruh Dosen dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas ilmu dan bantuannya selama ini. 13. Segenap staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Komunikasi.
iii
14. Semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan skripsi ini hingga akhir yang tak disebutkan satu-persatu, semoga Allah senantiasa membalas kebaikan kalian semua, Amin. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu peneliti membutuhkan kritik dan saran yang membangun agar kedepannya bisa lebih baik lagi. Akhir kata, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bisa menjadi bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.
Jakarta, 10 Juni 2015
Mamik Sarmiki
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK………………………………………………………………………...i KATA PENGANTAR………………………………………………………........ii DAFTAR ISI……………………………………………………………………...v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………..……. 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah…………………………….....……....5 C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian……………………….…………........6 D. Metodologi Penelitian……………………………….……………….. 7 1. Paradigma Penelitian………………………………...………7 2. Pendekatan Penelitian………………………………...……. 8 3. Sifat Penelitian………………………………...…................ 8 4. Metode Penelitian……………………………..………......... 8 5. Teknik Pengumpulan Data..........…………………………..10 6. Teknik Analisis Data…………………….....…..................... 11 E. Tinjauan Pustaka………………………………………..……........... .13 F. Sistematika Penulisan………………………………………..……....15 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Ruang Lingkup Propaganda.……………………………….....…...... 17 B. Semiotika..............................……………………………….....…......25 C. Semiotika Ferdinand de Saussure........…………………….....…...... 27 D. Kekerasan............................................................................................ 29 E. Film...............................................................………………….......... 34 BAB III GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umun dan Profil......................................................…...... 40 B. Sinopsis Film Pengkianatan G 30 S PKI...................………………. 47 C. Partai Komunis Indonesia………………........................................... 49 D. Orde Baru.....……………………………….......................................58
BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS A. Analisis Semiotika Film Pengkhianatan G 30 S PKI........................ 61 1. Analisis Semiotika Pada Adegan Penyerbuan Terhadap Tempat Training Centre Pelajar Islam Indonesia..................................... 62 2. Analisis Semiotika Pada Adegan Pemberitaan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)....................... 64
v
3. Analisis Semiotika Pada Adegan Penyerangan Kepada Brigjen D.N Pandjaitan.............................................................................68 4. Analisis Semiotika Pada Adegan Penganiayaan di Lubang Buaya........................................................................................... 71 5. Analisis Semiotika Pada Adegan Perampasan Radio Republik Indonesia (RRI) oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)............... 75 6. Analisis Semiotika Pada Adegan Soeharto Memberitahukan Bahwa Tidak Ada Gerakan Dewan enderal................................ 78 7. Analisis Semiotika Pada Adegan Soeharto Memerintahkan Untuk Mengambil Alih RRI dan Telkom Yang Dirampas Oleh PKI.............................................................................................. 81 8. Analisis Semiotika Pada Adegan Ucapan Terimakasih Oleh Soeharto Atas Ditemukannya Jasad Para Korban....................... 83 B. Analisis Propaganda Film Pengkhianatan G 30 S PKI......................86 1. Analisis Propaganada Pada Adegan Penyerbuan Terhadap Tempat Training Centre Pelajar Islam Indonesia........................86 2. Analisis Propaganda Pada Adegan Pemberitaan Kekerasan Yang Dilakukan Oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)..............87 3. Analisis Propaganda Pada Adegan Penyerangan Kepada Brigjen D.N Pandjaitan...................................................88 4. Analisis Propaganda Pada Adegan Penganiayaan di Lubang Buaya............................................................................................89 5. Analisis Propaganda Pada Adegan Perampasan Radio Republik Indonesia (RRI) oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)................90 6. Analisis Propaganda Pada Adegan Soeharto Memberitahukan Bahwa Tidak Ada Gerakan Dewan Jenderal................................92 7. Analisis Propaganda Pada Adegan Soeharto Memerintahkan Untuk Mengambil Alih RRI dan Telkom Yang Dirampas Oleh PKI...................................................................................... 93 8. Analisis Propaganda Pada Adegan Ucapan Terimakasih Oleh Soeharto Atas Ditemukannya Jasad Para Korban....................... 94
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.....................................…………………………………95 B. Saran…………………………………………………………….......96 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Film saat ini bukanlah hal baru dalam kehidupan masyarakat, dan juga tidak hanya sebagai media hiburan semata melainkan sebagai media komunikasi antara pembuat dengan penikmat film tersebut. Film sebagai sarana hiburan masyarakat telah melalui banyak perubahan hingga sampai saat ini, itu dikarenakan perkembangan teknologi yang semakin maju dan berkembang dengan sangat pesat. Pada tahun 1984 ada sebuah film fenomenal yang dibuat atas restu Presiden Soeharto dan langsung ditangani oleh PPFN (Pusat Produksi Film Nasional). Karya berdana 800 juta yang disutradarai oleh Arifin C. Noer ini pun laris di masyarakat pada saat itu, penayangan film ini pun menjadi suatu kewajiban yang selalu ditayangkan oleh stasiun TVRI pada waktu itu dan menjadi tontonan wajib setiap tanggal 30 September. Namun, pada September 1998 diumumkan oleh Menpen Yunus Yosfiah, bahwa film ini tidak akan diputar atau diedarkan lagi, di samping film-film Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1981), karena berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seseorang yaitu Presiden Soeharto.1 Film Pengkhianatan G 30 S PKI ini membawa unsur propaganda, terutama propaganda yang ditampilkan dalam bentuk kekerasan di dalamnya. Dalam film ini yang banyak menampilkan adegan kekerasan yang dilakukan oleh para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang secara tidak 1
Film Indonesia, Pengkhianatan G 30 S PKI, artikel diakses pada 12 Desember 2014 dari http://filmindonesia.or.id/movie/title/lf-p022-82-358646_pengkhianatan-g-30-spki#.VInX_dKUdmw
1
2
langsung memancing emosi para penontonnya ketika melihat tayangan yang mereka tonton. Film yang berdurasi hampir empat jam ini mampu menjadi alat untuk meyakinkan dan membuat masyarakat percaya bahwa kudeta yang dilakukan pada tahun 1965 adalah ulah dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka adalah sekelompok manusia yang kejam dan brutal karena banyak sekali melakukan kekerasan terhadap para musuhnya. Film ini dikemas dengan begitu baik
dengan para pemain yang hampir
menyerupai para tokoh yang diperankannya lalu ditambah dengan akting yang penuh dengan totalitas membuat film ini menjadi seperti nyata, adegan demi adegan yang menggambarkan kejadian saat peristiwa berlangsung dikemas dengan begitu rapi dan dibuat seakan sedang menayangkan kejadian yang sebenarnya, namun dalam film ini banyak menampilkan adegan-adegan yang sangat brutal dan sadis yang mengisahkan kekejaman pada saat kudeta dilakukan membuat adrenalin para penonton semakin dipermainkan. Sebuah film yang bagus dan berkualitas bukan hanya dilihat dari alur ceritanya saja tetapi harus mempunyai pesan moral yang ingin disampaikan kepada penonton melalui tandatanda yang terdapat di dalamnya. Film ini layak untuk ditonton, selain karena sinematografisnya bagus, penonton akan mendapat pelajaran berharga dari film tersebut. Pada tahun-tahun sebelum peristiwa 1 Oktober 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) tampak berkembang pesat. Dari sebuah partai kecil dengan latar belakang
yang
diragukan
iktikad
baiknya
karena
berperanan
dalam
pemberontakan madiun pada tahun 1948, PKI tumbuh menjadi sebuah partai massa yang hebat. Pengaruhnya dapat dirasakan disetiap lapangan kehidupan
3
sosial politik. Wakil-wakil partai itu duduk di kabinet, dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Di samping ke dalam bidang
politik, jalur partai pun merembes ke bidang ekonomi, pendidikan, kesenian, dan kesusasteraan.2 Operasi 1 Oktober 1965 di ibukota oleh “Gerakan 30 September” direncanakan dalam serentetan pertemuan yang dihadiri para pemimpin Biro Khusus PKI dan para simpatisan yang ada dalam Angkatan Bersenjata, yang mendapat tugas menjalankan apa yang telah direncanakan.3 Pada pukul 2.30 pagi dini hari tanggal 1 Oktober 1965, Letnan Satu Dul Arief selaku pimpinan Kesatuan Pasopati dari “Gerakan 30 September”, memeriksa barisannya di Lubang Buaya pada sebidang lapangan di pinggiran Pangkalan Udara Halim, sebelah tenggara Jakarta. Kesatuan Pasopati dibagi dalam tujuh subkesatuan. Setiap Kesatuan bertanggung jawab untuk menculik serta membawa ke pangkalan Lubang Buaya masing masing satu Jenderal dalam daftar yang dibuat para pengkhianat.4 Sesuai dengan perintah Letnan Dul Arief, pemimpin kesatuan Pasopati, para korban penculikan dan pembunuhan dibawa ke Lubang Buaya. Meskipun sampai pada dini hari itu belum jelas benar apa yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965, namun telah menjadi kenyataan bahwa para korban mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh anggota kesatuan-kesatuan Pasopati dan Pringgodani, termasuk beberapa oknum Tjakabirawa dan Pasukan Para Angkatan
2
Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa 1968), h. 1. 3 Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia, h. 9. 4 Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia, h. 14.
4
Udara, para anggota Pemuda Rakyat serta Gerwani. 5 Tidak dapat disangkal lagi bahwa media sangat berperan dalam kegiatan propaganda. Mengingat propaganda merupakan kegiatan komunikasi untuk mempengaruhi massa, media yang paling tepat digunakan sebagai wahana untuk mencapai tujuan propaganda adalah media massa. Dalam hal ini, pemilihan bentuk media massa perlu disesuaikan dengan target massa yang hendak dituju oleh propaganda.6 Media juga mampu memperluas kemampuan seseorang atau institusi dalam menyebarkan pesan. Penyebaran pesan yang dilakukan dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi disebut propaganda. Menurut Comstock, ada tiga aspek yang mempengaruhi propaganda yang dilakukan melalui media massa, yakni: pertama, pengaruh sosial. Dalam aspek pengaruh perubahan sosial, terdapat teori dasar yang dapat digunakan yakni teori perbandingan sosial. Teori ini menggambarkan kecenderungan seorang individu jika sedang membandingkan dirinya dengan orang lain dan apa yang ia dapatkan dalam perbandingan itu (refleksi). Kedua, perilaku konsumen. Perilaku konsumen, menurut McCarthy, dapat dipahami berdasarkan model 4P (Price, Product, Place, Promotion), yakni model perilaku konsumen dalam memutuskan untuk memilih barang atau jasa yang ingin dibeli. Model tersebut mempengaruhi konsumen dalam mekanisme transaksi. Propaganda mempengaruhi massa dalam mekanisme hubungan sosial. Ketiga, sosialisasi, yakni memperkenalkan konsep kepada massa atau publik, melalui berbagai cara, antara lain memanfaatkan peran kelompok 5
Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia, h. 20. 6 Mohammad Shoelhi, Propaganda Dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012), h. 117.
5
rujukan (reference group).7 Menarik untuk menelusuri tanda-tanda apa yang ada dalam film ini, terutama bagaimana tanda-tanda dalam film ini yang menandakan propaganda dalam bentuk kekerasan terbuka. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tandatanda itu dikolaborasikan untuk mencapai efek yang diinginkan. Karena film merupakan produk visual dan audio, maka tanda-tanda ini berupa gambar dan suara. Dari latar belakang inilah peneliti mencoba untuk meneliti konstruksi propaganda
dalam
berbentuk
kekerasan
yang
terkandung
dalam
Film
Pengkhianatan G 30 S PKI. Maka peneliti tertarik menelitinya dengan judul “Propaganda Media Dalam Bentuk Kekerasan Terbuka (Analisis Semiotika Terhadap Film Film Pengkhianatan G 30 S PKI)”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Agar penelitian ini lebih terarah peneliti membatasi permasalahan dengan hanya menganalisis adegan yang menampilkan bentuk dilakukan oleh para anggota atau simpatisan
kekerasan yang
Partai Komunis Indonesia
melalui propaganda media dalam Film Pengkhianatan G 30 S PKI. 2. Rumusan Masalah Peneliti merumuskan masalah penelitian ini, yaitu :
7
Mohammad Shoelhi, Propaganda Dalam Komunikasi Internasional, h. 118.
6
a.
Bagaimana
tanda
kekerasan
yang
ditampilkan
dalam
film
Pengkhianatan G 30 S PKI yang dibuat oleh PPFN (Pusat Produksi Film Nasional)? b.
Apa teknik propaganda yang digunakan oleh media dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI yang dibuat oleh PPFN (Pusat Produksi Film Nasional)?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti kemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: a. Untuk mengetahui tanda-tanda kekerasan yang terdapat dalam Film Pengkhianatan G 30 S PKI yang dibuat oleh PPFN (Pusat Produksi Film Nasional). b. Untuk mengetahui teknik propaganda apa yang digunakan oleh media dalam Film Pengkhianatan G 30 S PKI yang dibuat oleh PPFN (Pusat Produksi Film Nasional). 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis Diharapkan menjadi bahan kajian yang memberi kontribusi bagi khasanah kepada ilmu komunikasi, dan juga untuk memberikan gambaran dalam membaca tanda yang terkandung dalam sebuah film melalui kacamata semiotika. b. Manfaat Praktis
7
Penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala para penonton untuk memaknai pesan dalam film, terutama film yang memunyai nilai sejarah bagi bangsa Indonesia.
D. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Sebagaimana dikatakan Patton, paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradifma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, mnunjukan pada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang.8 Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme, yakni salah satu cara pandang dalam menganalisis realitas signifikanya isi film tersebut, paradigma dalam penelitian semiotika banyak mengacu pada paradigma konstruktivis. Dalam Film ini tidak sepenuhnya menggambarkan kejadian yang sebenarnya, tetapi juga mempunyai maksud dan makna tertentu. Maka, dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui lebih jauh konstruksi propaganda yang terbentuk dalam Film Pengkhianatan G 30 S PKI.
8
Deddy Mulyana, Metodelogi Penelitian Kualitatif. (bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003) h.9.
8
2. Pendekatan Penelitian Dalam memaparkan hasil penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskritif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.9 Pendekatan kualitatif ini bertujuan untuk mendapat pemahaman yang sifatnya umum yang diperoleh setelah melakukan analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus penelitian, kemudian ditarik kesimpulan
berupa
pemahaman
umum
tentang
kenyataan-kenyataan
tersebut.10 3. Sifat Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif, yaitu metode penelitian yang bertujuan melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu secara faktual dan cermat.11 Penelitian ini tidak menceritakan atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis. Deskriptif diartikan melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu. Pengertian ini sama dengan analisis deskriptif statistik, sebagai lawan dari analisis inferensial. Penelitian deskriptif bukan saja menjabarkan tetapi memadukan. Bukan saja melakukan klasifikasi tetapi juga organisasi.12 4. Metode Penelitian Secara sigkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna9
Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 3. 10 Rosady Ruslan, Metodologi Penelitian Public Relation dan Komunikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 215. 11 Jumroni, Metode-Metode dan Penelitian Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 37. 12 Jumroni, Metode-Metode dan Penelitian Komunikasi, h. 41-43.
9
makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambanglambang pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang (sign) baik terdapat pada media massa (seperti berbagai paket tayangan televisi, karikatur, media cetak, film, sandiwara radio, dan berbagai bentuk iklan) maupun yang terdapat di luar media massa ( seperti karya tulis, patung, candi, monumen, fashion show, dan menu masakan pada suatu food festival). Urusan analisis semoitik adalah melacak makna-makna yang diangkat dengan teks berupa lambang-lambang (signs). Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis. Kendati sebagai suatu metode ilmiah, analisis semiotik dapat dikatakan relatif baru, namun ia memiliki akar sejarah yang panjang. Kata semiotik (semiotics) berasal ari bahasa yunani semion yang lazim diartikan sebagai a sign by which something is known (suatu tanda dimana sesuatu dapat diketahui). John Locke mengembangkan pemahaman demikian untuk menguraikan tentang bagaimana manusia memahami sesuatu melalui lambang-lambang, seperti muncul dalam karyanya yang berjudul Essay Conserning Human Understanding. Pemikiran Locke sampai sekarang masih dinilai sebagai sebagian dari doktrin filsafat mengenai lambang. Dalam konteks akademik modern, istilah semiotik digunakan Margareth Mead pada tanggal 19 Mei 1962 di Univeritas Indiana AS ketika diselenggarakan Seminar tentang Paralinguistik dan Kinesis. Mead, dalam hal ini, menggunakan istilah semiotik untuk menunjuk patterned communication
10
in all modalities (komunikasi yang terpolakan dalam segala bentuk modalitas).13 5. Teknik Pengumpulan Data a.
Copy File Film Untuk mendapatkan Film Pengkhianatan G30 S PKI, peneliti mengkopi file dari media internet dari situs Youtube. Film inilah yang kemudian dijadikan bahan untuk menganalisis penelitian ini.
b.
Observasi Dalam teknik penelitian ini, peneliti mengamati dan mencatat fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi dilakukan dengan cara menonton Film Pengkhianatan G30 S PKI. Dalam konteks ilmu komunikasi, penelitian dengan metode pengamatan atau observasi biasanya dilakukan dengan melacak secara sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultur masyarakat.14 Dalam praktik penggunaannya,
metode observasi dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis sesuai dengan tingkat keterlibatan peneliti dalam atau terhadap aktivitas serta proses-proses yang ada pada masyarakat yang diteliti. Dengan memeperhatikan hal ini, kita pada dasarnya dapat membedakan dua jenis metode pengamatan, yaitu observasi dengan ikut terlibat dalam kegiatan komunitas yang diteliti dan observasi tidak telibat.15 Ada dua macam teknik observasi:
13
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif,(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2007) h. 155-157 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h.111. 15 Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h.114. 14
11
1. Observasi Partisipan Observasi partisipan adalah observasi yang memungkinkan periset atau peneliti mengamati kehidupan individu atau kelompok dalam situasi rill, di mana terdapat seeting yang rill tanpa dikontrol atau diatur secara sistematis seperti riset eksperimental.16 2. Observasi Non Partisipan Observasi non partisipan adalah observasi yang dalam pelaksanaannya tidak melibatkan penelitian sebagai partisipasi atau kelompok yang diteliti. 17 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi non partisipan karena observasi yang dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung dan bebas terhadap objek penelitian dengan cara menonton dan mengamati adegan-adegan dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI, kemudian mencatat, memilih dan menganalisanya sesuai dengan model penelitian yang digunakan. c.
Studi Kepustakaan Untuk melengkapi data penelitian dipergunakan pula studi kepustakaan untuk mencari referensi yang sesuai dengan tujuan penelitian.
6. Teknik Analisis Data Setelah
data
terkumpul,
kemudian
diklarifikasikan
sesuai
pertanyaan yang terdapat pada rumusan masalah. Selanjutnya, dilakukan analisis data dengan menggunakan teknik analisis semiotik Ferdinand de 16
Rachmat Kriyantono, Tehnik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 112. Jalaluddin Rachmat, Metodologi Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 83.
17
12
Saussure. Saussure menggunakan istilah semoilogi dengan makna suatu sciene that studies the life of signwithin society (ilmu yang mempelajari seluk-beluk
lambang-lambang
yang
ada
atau
digunakan
dalam
masyarakat). Saussure dengan pemaknaan semiologi seperti itu bermaksud memberi penekanan pada perihal yang ikut membentuk atau menentukan lambang-lambang, dan hukum-hukum atau adanya ketentuan-ketentuan bagaimana yang mengaturnya. Sejak saat ini kemudian berkembang pandangan bahwa semiotika atau semiologi tidak lain adalah the science of signs (ilmu tentang lambang-lambang). Kalau Pierce mengidentifikasi tiga jenis lambang (yakni lambanglambang yang bersifat ikonik, indeks, dan simbolik) maka Saussure menyarankan pengelompokan lambang menjadi dua jenis: signifier (the concept) dan signified (the sound-image). Signifier menunjuk pada aspek fisik dari lambang, misalnya ucapan, gambar, lukisan, sedangkan signified menunjuk pada aspek mental dari lambang, yakni pemikiran bersifat asosiatif tentang lambang. Kedua jenis lambang ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Bagi Saussure, lambang-lambang pada dasarnya adalah berkenaan dengan the relation of a concept (not a thing) and sound image (not a name). Makna dari lambang, menurut Saussure, terletak pada perbedaan dengan lambang-lambang lain.18 Karena bagi Saussure, lambang-lambang pada dasarnya adalah berkenaan dengan the relation of a concept (not a thing) and sound image
18
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h.161-162.
13
(not a name), maka hal ini lah yang mendasari saya untuk memilih teoriini yang dipakai dalam penelitian saya. Sedangkan dalam teknik penelitian skripsi ini, peneliti berpedoman pada buku “Pedoman Akademik Program Strata 1 2011/2012)
E. Tinjauan Pustaka Analisis ini merujuk pada penelitian-penelitian terdahulu dan buku-buku yang membahas tentang analisis semiotika. Beberapa skripsi yang mengenai analisis semiotika yang menjadi acuan diantaranya yaitu: Propaganda Media Dalam Bentuk Representasi Dominasi Kaum YahudiAmerika Terhadap Amerika Serikat Dalam Bidang Keuangan (Studi Analisis Semiotika Terhadap Serial Film Kartun Family Guy Episode When You Wish Upon a Weinstein) oleh Zainal Abidin Jurusan Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Hasil analisa penelitian ini dapat diketahui bahwa dalan episode When You Wish Upon a Weinstein , kaum YahudiAmerika digambarkan sebagai pihak yang penolong yang pandai dalam mengurus keuangan sedangkan masyarakat Amerika digambarkan sebagai pihak yang tidak sanggup mengatasi masalah keuangan mereka sendiri sehingga bergantung pada kaum Yahudi-Amerika. Persamaan dalam penelitian ini yaitu peneliti sama-sama menggunakan analisis semiotik model Ferdinand de Saussure, di mana peneliti mencari tandatanda dalam penelitiannya. Walaupun sama-sama menggunakan analisis semiotik dengan model Ferdinand de Saussure tetapi penelitian ini berbeda karena dalam penelitian ini peneliti meneliti Film Pengkhianatan G30 S PKI sebagai objeknya
14
sedangkan pada penelitian sebelumnya meneliti Serial Film Kartun Family Guy yang menjadi objek penelitiannya. Propaganda Barat Terhadap Islam Dalam Film (Studi Tentang Makna Simbol dan Pesan Film "Fitna" Menggunakan Analisis Semiologi Komunikasi) oleh Anggid Awiyat tahun 2009 Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret. Hasil analisa penelitian ini dapat diketahui bahwa salah satu tujuan utama propaganda anti Islam yang dilakukan pihak Barat adalah menebarkan gejolak Islamophobia di kalangan masyarakat luas. Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan sekelompok kecil umat Muslim dengan membawa simbol-simbol agama Islam telah dimanfaatkan oleh orangorang Barat dengan memanfaatkan media massa sebagai alat utama dalam memegang tampuk wacana peradaban, sehingga Islam terus menerus dipojokkan oleh publik. Media-media massa Barat berusaha memperingatkan bahwa Islam tengah berkembang pesat, dan tak lama lagi Islam juga akan mencengkeram Eropa dan Amerika, bahkan dunia. Persamaan dalam penelitian ini yaitu peneliti sama-sama menggunakan analisis semiotik. Walaupun sama-sama menggunakan analisis semiotik namun berbeda modelnya, yaitu peneliti menggunakan model Ferdinand de Saussure. Selain itu objek dalam penelitian ini pun berbeda dimana peneliti meneliti Film Pengkhianatan G30 S PKI sebagai objeknya sedangkan pada penelitian sebelumnya meneliti Film “Fitna“ yang menjadi objek penelitiannya. Analisis Semiotik Film “Freedom Writers“ oleh Dahliana Syahri tahun 2011 KPI, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Hasil penelitian skripsi ini yaitu peneliti mendapatkan hasil bahwa ada pesan tersirat mengenai layaknya seorang guru
15
bukan hanya sebagai pengajar tapi hendaknya juga sebagai pendidik dan mampu menggunakan metode pengajaran yang tepat berdasarkan latar belakang muridnya. Persamaan dalam penelitian ini yaitu peneliti sama-sama menggunakan analisis semiotik. Walaupun sama-sama menggunakan analisis semiotik namun berbeda modelnya, yaitu peneliti menggunakan model Ferdinand de Saussure. Selain itu objek dalam penelitian ini pun berbeda dimana peneliti meneliti Film Pengkhianatan G30 S PKI sebagai objeknya sedangkan pada penelitian sebelumnya meneliti Film “Freedom Writers“ yang menjadi objek penelitiannya. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulisan, maka sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub-bab dengan penyusunan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah penelitian, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN TEORITIS Bab ini akan membahas ruang lingkup propaganda, Semiotika, semiotika Ferdinand de Saussure, kekerasan, film. BAB III : GAMBARAN UMUM Bab ini memaparkan Gambaran Umum Film Pengkhianatan G 30 S PKI, Sinopsis Film Pengkhianatan G 30 S PKI, Partai Komunis Indonesia, Orde Baru dan Youtube. BAB IV : HASIL TEMUAN DAN ANALISIS Bab ini membahas tanda-tanda yang ditampilkan dalam film Pengkhianatan G 30 SPKI, teknik propaganda dalam
16
film Pengkhianatan G 30 S PKI dan analisis jenis kekerasan dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI. BAB V : PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup dari berbagai sub bab yang memuat kesimpulan penulisan dan saran.
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEP A. Ruang Lingkup Propaganda 1.
Pengertian Propaganda Propagada berasal dari bahasa latin yaitu propagare artinya cara tukang
kebun menyemaikan tunas suatu tanaman ke sebuah lahan untuk memproduksi tanaman baru yang kelak akan tumbuh sendiri. Dengan kata lain juga berarti mengembangkan atau memekarkan (untuk tunas). Dari sejarahnya sendiri, propaganda awalnya adalah mengembangkan dan memekarkan agama katholik Roma baik di Italia maupun negara-negara lain. Sejalan dengan tingkat perkembangan manusia, propaganda tidak hanya digunakan dalam bidang keagamaan saja tetapi juga dalam bidang pembangunan, politik, komerdial, pendidikan, dan lain-lain. Dalam ensiklopedia internasional dikatakan propaganda adalah, “suatu jenis komunikasi yang berusaha mempengaruhi pandangan dan reaksi, tanpa mengindahkan tentang nilai benar atau tidak benarnya pesan yang disampaikan”.19 Menurut Harold D. Laswell dalam tulisannya propaganda (1937) mengatakan propaganda adalah teknik untuk mempengaruhi kegiatan manusia dengan memanipulasikan representasinya (propaganda in Broadst sense is the technique of influencing human action by the manipulation of representations). Dalam buku lainnya Propaganda Technique in the World War (1927) menyebutkan propaganda adalah semata mata kontrol opini yang
19
Nurudin, Komunikasi Propaganda (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), h. 9.
17
18
dilakukan melalui simbol-simbol yang memiliki arti, atau menyampaikan pendapat yang konkrit dan akurat (teliti), melalui sebuah cerita, rumor laporan gambar-gambar dan bentuk-bentuk lain yang bisa digunakan dalam komunikasi sosial.20 2.
Teori Propaganda Secara
teoritis
pengulangan sangat
pesan
propaganda
harus
diulang-ulang.
Teknik
penting dan merupakan dasar dalam kegiatan
propaganda. Ditilik dari sejarahnya, teori propaganda mengalami perubahan secara evolusioner selaras dengan dinamika perkembangan masyarakat. Berikut ini teori-teori tersebut:21 a. Early Propaganda Theory Teori ini menganut asumsi bahwa setiap orang menyukai kesenangan. Di sini, propagandis menggunakan kata-kata yang menghibur, gambar-gambar yang memukau atau pertunjukanpertunjukan atraktif dihadapan orang banyak sehingga mereka merasa senang dan selamanya menerima pesan-pesan propaganda yang ditawarkan atau memberikan sumbangan atau bantuan. Propaganda dilakukan secara satu arah (one way) dengan efek langsung dan segera pada target. b. Reaction Against Early Propaganda Theory Sebagai reaksi terhadap Early Propaganda Theory (teori propaganda awal), muncul sebuah pemikiran bahwa tidak selamanya propaganda hanya bersifat searah. Kerika seorang propagandis 20 21
Nurudin, Komunikasi Propaganda, h. 10. Nurudin, Komunikasi Propaganda, h. 38-40.
19
sedang melancarkan propaganda kepada targetnya, bukan mustahil sang target pun melancarkan propaganda balik, baik disadari maupun tanpa disadari. Di sini, propagandis memperhatikan reaksi-reaksi yang diberikan oleh targetnya dan berupaya mengefektifkan propaganda yang dilancarkannya. c. Libertarianism Theory Teori ini beranjak dari sumsi bahwa propaganda merupakan upaya untuk memperluas pengaruh atau memperoleh kekuasaan, bukan merupakan monopoli kaum borjuis seperti penguasa atau elite masyarakat. Siapapun berhak dan tidak boleh dilarang menyusun kekuasaan atau memiliki pengaruh melalui propaganda selama bisa dipertanggungjawabkan. d. Libertarianism Reborn Theory Teori mutakhir mengenai propaganda yang didasari oleh asumsi bahwa setiap manusia memiliki kebebasan berkehendak untuk melakukan apa saja, termasuk untuk memperoleh keuntungan ekonomi atau kekuasaan politik. Acuan teori ini adalah sejarah peradaban yang menginginkan kemajuan perkembangan tiada henti dalam kehidupan masyarakat. e. Freudianism Theory Teori ini lahir dari konsep pembagian kepribadian manusia ke dalam tiga elemen yang bisa direkayasa melalui propaganda. Tiga elemen tersebut adalah ego (rasio), internal desire (ID-kesenangan pribadi), dan superego (perasaan terdalam-hati nurani). Mekanisme
20
propaganda yang dilancarkan adalah ‘meyakinkan’ ego, kemudian ‘mempersuasi’ ID, untuk ‘melemahkan’ superego. f. Behaviorism Theory Teori ini berasumsi bahwa masyarakat sosial memiliki respon terhadap stimulus tertentu sehingga propaganda dapat mempengaruhi aspek kognitif dalam perilaku kehidupannya. g. Propaganda Thory versi Harold D Lasswell Teori ini mengadaptasi teori freudianisme dan teori behaviorisme, puncak implementasinya untuk mencapai efek dukungan massa. Teori ini tersublimasi dalam rumusan paradigma komunikasi yang terkenal (‘Who’ says ‘What’ to ‘Whom’ in which ‘Channel’ with what ‘Effect’). h. Public Opinian Theory versi Walter Lipmann Teori ini menunjukan proses rangkaian kegiatan propaganda dari bawah yang berkembang mulai dari kaum proleter (buruh, petani, nelayan, dan mereka dari kelas kurang pendidikan) maupun pada golongan
masyarakat
paling
bawah
lain,
hingga
kemudian
pengaruhnya merambat naik mencapai golongan tertinggi, seperti kaum borjuis atau kelompok elit maupun golongan masyarakat lainnya. i. IPA Theory (Institute for Propaganda Analysis) Menurut
teori IPA,
propaganda
adalah komunikasi
yang
dilancarkan secara halus atau kasar dengan landasan pemikiran
21
berdasarkan fungsi propaganda yang seharusnya relevan dengan kebutuhan masyarakat. j. Modern Propaganda Theory Teori ini dipopulerkan oleh sebuah kalimat, ‘Dunia adalah panggung propaganda’. Teori propaganda modern berasumsi bahwa propaganda harus dilakukan dengan teknik-teknik propaganda yang jitu tanpa diketahui orang banyak atau kelompok yang dijadikan sasaran. 3.
Teknik-teknik propaganda Untuk mencapai sasaran dan tujuannya, propaganda seperti halnya
komunikasi, sangat membutuhkan teknik. Sebab dengan teknik yang tepat akan menghasilkan capaian yang optimal seperti yang diharapkan oleh propagandis. Ini juga sangat berkait erat dengan objek sasaran yang dituju. Berikut beberapa teknik propaganda22 : a. Name calling Name calling adalah propaganda dengan memberikan sebuah ide atau label yang buruk. Tujuannya adalah agar orang menolak dan menyangsikan ide tertentu tanpa mengoreksinya atau memeriksanya terlebih dahulu. b. Glittering Generalities Glittering Generalities adalah mengasosiasikan suatu dengan suatu “kata Bijak” yang digunakan untuk membuat kita menerima dan menyetujui hal itu tanpa memeriksanya terlebih dahulu. c. Transfer Transfer meliputi kekuasaan, sanksi dan pengaruh sesuatu yang lebih dihormati serta dipuja dari hal lain agar membuat “sesuatu” lebih
22
Nurudin, Komunikasi Propaganda, h. 29-34.
22
bisa diterima. Teknik propaganda transfer bisa digunakan dengan memakai pengaruh seseorang atau tokoh yang paling dikagumi dan berwibawa dalam lingkungan tertentu. Propagandis dalam hal ini mempunyai maksud agar komunikan terpengaruh secara psikologis terhadap apa yang sedang dipropagandakan. juga bisa digunakan dengan menggunakan cara simbolik. d. Testimonial Testimonials berisi perkataan manusia yang dihormati atau dibenci bahwa idea atau program atau produk adalah baik atau buruk. Propaganda ini sering digunakan dalam kegiatan komersial, meskipun juga bisa digunakan untuk kegiatan politik. Dalam teknik ini digunakan nama seseorang terkemuka yang yang mempunyai otoritas dan prestise sosial tinggi di dalam menyodorkan dan meyakinkan sesuatu hal dengan jalan menyatakan bahwa hal tersebut didukung oleh orang-orang terkemuka tadi. e. Plain Folk Plain Folk adalah propaganda dengan menggunakan cara memberi identifikasi terhadap suatu ide. Teknik ini mengidentikan yang di propagandakan milik atau mengabdi pada komunikan. f. Card Stacking Card Stacking adalah meliputi seleksi dan penggunaan fakta atau kepalsuan, ilustrasi atau kebingungan dan masuk akal atau tidak masuk akal suatu pernyataan agar memberikan kemungkinan terburuk atau terbaik untuk suatu gagasan, program, manusia dan barang. Teknik propaganda yang hanya menonjolkan hal-hal atau segi baiknya saja, sehingga publik hanya melihat satu visi saja. g. Bandwagon Technique Teknik ini dilakukan dengan menggembar-gemborkan sukses yang dicapai oleh seseorang, suatu lembaga atau suatu organisasi.
23
h. Reputable Mouthpiece Teknik ini dilakukan dengan mengemukakan sesuatu yang tidak sesuai kenyataan. Teknik ini biasanya digunakan oleh seseorang yang menyanjung pemimpin, akan tetapi tidak tulus. i. Using All Forms of Persuations Teknik ini digunakan untuk membujuk orang lain dengan himbauan atau iming-iming. Teknik propaganda ini sering digunakan dalam pemilu. j.
Frustration or Scapegot23 Teknik ini digunakan untuk menciptakan kebencian atau menyalurkan frustasi dengan cara menciptakan kambing hitam.
k. Fear Arousing Teknik ini adalah cara propaganda untuk mendapatkan dukungan dari target massa dengan menimbulkan emosi negatif, khususnya ketakutan. 4.
Media Propaganda Dalam komunikasi, faktor media menduduki peran yang sangat penting dalam proses penyebaran pesan. Berikut ini beberapa contoh media yang biasanya digunakan dalam kegiatan propaganda:24 a.
Media massa Media massa yang dimaksud dalam hal ini adalah media elektronik dan media cetak. Salah satu keunggulan ini adalah jangkauannya yang luas. Peran media massa dalam propaganda sangat efektif.
b.
Buku Buku menjadi sangat efektif karena sangat mempengaruhi pemikiran orang dan pemikiran dapat mempengaruhi perilaku.
c.
Film Film juga bisa dijadikan media propaganda.
23
Mohammad Shoelhi, Propaganda Dalam Komunikasi Internasional (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), h. 67-69. 24 Nurudin, Komunikasi Propaganda, h. 35-37.
24
d.
Selebaran Selebaran ini biasanya digunakan oleh sekelompok tertentu yang ada dalam masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan publik pemerintahnya.ini sangat dimungkinkan
5.
Jenis-jenis Propaganda Ada beberapa jenis propaganda yang dikemukakan beberapa pengamat. Jika dilihat dari cara yang dilakukannya atas isi pesan ada propaganda tersembunyi dan terbuka.25 a. Propaganda tersembunyi Dalam propaganda tersembunyi ini, propagandis menyembunyikan tujuan utamanya dalam kemasan suatu pesan lain. contohnya seorang yang sedang menjabat sebagai gubernur. Namun pada saat yang sama ia dijagokan menjadi presiden. Pertanyaan yang sebenarnya ditujukan pada posisi dirinya sebagai gubernur, namun ia kemas agar juga bisa menguntungkan dirinya dalam usahanya merebut kursi presiden. a. Propaganda terbuka Adalah setiap kemasan pesan, cara dan perilakunya dikemukakan secara transparan tanpa dikemas dengan pesan yang lain. misalnya, ketika seorang kandidat presiden mengatakan, “pilihlah saya sebagai presiden, karena saya akan mengantarkan serta mengatasi bangsa ini untuk mengatasi krisis ekonomi. Sedangkan Ellul (1965) membagi jenis propaganda menjadi propaganda vertikal dan horisontal. a. Propaganda Vertikal Propaganda vertikal adalah yang dilakukan oleh satu pihak kepada orang banyak dan bisanya mengandalkan media massa untuk menyebarkan pesan-pesannya.
25
Nurudin, Komunikasi Propaganda, h. 38-39.
25
b. Propaganda Horisontal Propaganda horisontal adalah propaganda yang dilakukan seorang pemimpin suatu organisasi atau kelompok pada anggota oganisasi atau kelompok itu melalui tatap muka ataukomunikasi antar personal dan biasanya tidak mengandalkan media massa.
B. Semiotika Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.26 Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang bearti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan peotika. “tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.27 Secara sigkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotika merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan atau teks.
26 27
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009). H. 15. Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, H. 16-17.
26
Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang (sign) baik terdapat pada media massa (seperti berbagai paket tayangan televisi, karikatur, media cetak, film, sandiwara radio, dan berbagai bentuk iklan) maupun yang terdapat di luar media massa ( seperti karya tulis, patung, candi, monumen, fashion show, dan menu masakan pada suatu food festival). Urusan analisis semoitik adalah melacak makna-makna yang diangkat dengan teks berupa lambang-lambang (signs). Dengan kata lain, pemaknaan terhadap lambanglambang dalam tekslah yang menjadi pusat perhatian analisis. Kendati sebagai suatu metode ilmiah, analisis semiotik dapat dikatakan relatif baru, namun ia memiliki akar sejarah yang panjang. Kata semiotik (semiotics) berasal ari bahasa yunani semion yang lazim diartikan sebagai a sign by which something is known (suatu tanda dimana sesuatu dapat diketahui). John Locke mengembangkan pemahaman demikian untuk menguraikan tentang bagaimana manusia memahami sesuatu melalui lambang-lambang, seperti muncul dalam karyanya yang berjudul Essay Conserning Human Understanding. Pemikiran Locke sampai sekarang masih dinilai sebagai sebagian dari doktrin filsafat mengenai lambang. Dalam konteks akademik modern, istilah semiotik digunakan Margareth Mead pada tanggal 19 Mei 1962 di Univeritas Indiana AS ketika diselenggarakan Seminar tentang Paralinguistik dan Kinesis. Mead, dalam hal ini, menggunakan istilah semiotik untuk menunjuk patterned communication in all modalities (komunikasi yang terpolakan dalam segala bentuk modalitas).28
28
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2007) h. 163-164.
27
C. Semiotika Ferdinand de Saussure Pandangan-pandangan Saussure tentang semiotika kebanyakan disampaikan ketika memberi kuliah di University of Geneva sekitar tahun 1906 sampai 1911, yang kemudian dibukukan di bawah judul Course in General Languistics (diterbitkan tahun 1915). Saussure menyarankan bahwa studi tentang bahasa selayaknya menjadi bagian dari area yang ia sebut dengan semiology yang ketika itu belum banyak berkembang. Saussure mendasarkan pemikiran demikian pada keyakinan bahwa studi tentang bahasa pada dasarnya adalah studi tentang sistem lambang-lambang. Dalam hal ini, saussure menggunakan istilah semoilogi dengan makna suatu sciene that studies the life of signwithin society (ilmu yang mempelajari selukbeluk lambang-lambang yang ada atau digunakan dalam masyarakat). Saussure dengan pemaknaan semiologi seperti itu bermaksud memberi penekanan pada perihal yang ikut membentuk atau menentukan lambang-lambang, dan hukumhukum atau adanya ketentuan-ketentuan bagaimana yang mengaturnya. Sejak saat ini kemudian berkembang pandangan bahwa semiotika atau semiologi tidak lain adalah the science of signs (ilmu tentang lambang-lambang). Kalau Pierce mengidentifikasi tiga jenis lambang (yakni lambang-lambang yang bersifat ikonik, indeks, dan simbolik) maka Saussure menyarankan pengelompokan lambang menjadi dua jenis: signifier (the concept) dan signified (the sound-image). Signifier menunjuk pada aspek fiik dari lambang, misalnya ucapan, gambar, lukisan, sedangkan signified menunjuk pada aspek mental dari lambang, yakni pemikiran bersifat asosiatif tentang lambang. Kedua jenis
28
lambang ini saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Bagi Saussure, lambanglambang pada dasarnya adalah berkenaan dengan the relation of a concept (not a thing) and sound image (not a name). Makna dari lambang, menurut Saussure, terletak pada perbedaan dengan lambang-lambang lain. Di sini, Saussure mengajukan dua dalil berkenaan dengan sistem lambang, terutama dalam linguistik sebagai berikut. Pertama, bahwa hubungan antara signifier dan signified bersifat ditentukan atau dipelajari, pemberian makna terhadap lambang merupakan hasil dari proses belajar. Kedua, bahwa signifier linguistik (misalnya kata-kata atau ucapan) dapat berubah dari waktu ke waktu. Hal demikian berbeda dengan signifier visual, yang relatif tidak berubah, seperti gambar-gambar dan lukisan.29 Ikatan yang mempersatukan penanda dan petanda bersifat semena, atau juga karena lambang bahasa kita mengartikan sebagai keseluruhan yang dihasilkan oleh asosiasi suatu penanda dengan suatu petanda. Kita dapat mengartikan bahwa tanda bahas abersifat semena. Prinsip kesemenaan tanda tidak dibantu oleh seorangpun, tetapi sering kali dibantu lebih mudah untuk menemukan suatu kenyataan dari pada memberinya tempat yang sesuai. Kata semena perlu pula dijelaskan. Kata ini tidak boleh memberi gagasan bahwa penanda tergantung pada pilihan bebas penutur (akan nampak di bawah ini bahwa bukan wewenang individu untuk mengganti sebuah lambang, sekali lambang itu melembaga di dalam suatu masyarakat bahasa); yang kami maksud 29
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h.160-163.
29
adalah tanpa motif, artinya semena dalam kaitannya dengan petanda karena penanda tidak memilikiikatan alami apapun dengan petanda di dalam kenyataan. Penanda yang haekatnya auditif, berlangsung dalam waktu dan memiliki ciriciri yang sama dengan waktu; a) ia mengisi masa tertentu dalam waktu, dan b) masa ukur dalam suatu dimensi, yaitu sebuah garis. Prinsip ini gamblang, tetapi nampaknya orang selalu lalai menyebutkannya, kemungkinan karena prinsip ini terlalu sederhana, padahal prinsip ini mendasar dan konsekuensinya tak terhitung, kepentingannya sama dengan prinsip pertama.30
D. Kekerasan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Bahaya kekerasan dalam media mempunyai alasannya yang kuat, meskipun sering lebih mencerminkan bentuk ketakutan dari pada ancaman riil. Apa yang ditakutkan ialah skenario penularan kekerasan dalam media menjadi kekerasan sosial riil. Informasi tentang kekerasan juga bisa menambah kegelisahan umum sehingga membangkitkan sikap represif masyarakat, alat penegak hukum. Politikus sering mengeksploitasi perasaan tidak aman untuk kepentingannya. Ketika kekerasan dalam media berfungsi seperti nilai barang, ia digunakan menjadi alat untuk menormalisir situasi, 30
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988) h. 148-151.
30
sarana untuk memecah belah, dan alat efektif untuk demoralisasi individu atau kelompok tertentu. Menurut hasil studi tentang kekerasan dalam media televisi di Amerika Serikat oleh American Psychological Association pada tahun 1995, seperti dikutip oleh Sophie Jehel, ada tiga kesimpulan menarik yang perlu mendapat perhatian serius: pertama, mempresentasikan program kekerasan meningkatkan perilaku agresif; kedua, memperlihatkan secara berulang tayangan kekerasan dapat menyebabkan ketidakpekaan terhadap kekerasan dan penderitaan korban; ketiga, tayangan kekerasan dapat meningkatkan rasa takut sehingga akan menciptakan representasi dalam diri pemirsa, betapa berbahayanya dunia. Masalah representasi kekerasan dalam media berlangsung dalam hubungan segi tiga, yaitu produktor, penerima, dan instansi regulasi. Instansi produksi adalah para pencipta, pengarang, saluran televisi, rumah produksi, dan studio. Para pelaku dari instansi produksi ini biasanya lebih menuntut hak kebebasan berekspresi dan lebih menginginkan regulasi diri. Sedapat mungkin campur tangan negara atau regulasi dari luar dihindarkan. Sedangkan, instansi penerima bisa pemirsa, pembaca, pendengar, pengguna, dan bisa juga asosiasi perlindungan konsumen, kelompok terorganisir lainnya (pers khusus, sekolah, peneliti, asosiasi psikiater atau psikolog, dan organisasi kesehatan). Kelompok ini tidak otomatis menyetujui regulasi oleh negara. Mereka sering terombang-ambing antara menyetujui pelarangan kekerasan dalam media dan yang lebih longgar demi kreativitas dan hiburan. Akhirnya, instansi regulasi (negara) berkepentingan menjaga keseimbangan antara
31
kepentingan instansi produksi dan instansi penerima sehingga hak akan informasi dan sekaligus kebebasan berekspresi dijamin.31 1.
Teori-Teori Kekerasan32
Menurut Thomas Santoso, teori kekerasan dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu sebagai berikut : a. Teori Kekerasan Sebagai Tindakan Aktor (Individu) atau Kelompok Para ahli teori kekerasan kolektif ini berpendapat bahwa manusia melakukan kekerasan karena adanya faktor bawaan seperti kelainan genetik atau fisiologis. Menurut para ahli teori ini, agretivitas perilaku seseorang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan, seperti kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh pasangan suami istri. Wujud kekerasan yang dilakukan oleh individu tersebut dapat berupa pemukulan, penganiayaan ataupun kekerasan verbal berupa kata-kata kasar yang merendahkan martabat seseorang. Sedangkan kekerasan kolektif merupakan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang atau sekelompok orang (crowd). Munculnya tindak kekerasan kolektif ini biasanya karena adanya benturan identitas suatu kelompok dengan kelompok lain seperti identitas berdasarkan agama atau etnik. b. Teori Kekerasan Struktural Menurut teori ini kekerasan struktural bukan berasal dari orang tertentu, melainkan terbentuk dalam suatusi stemsosial. Para ahli teori ini memandang kekerasan tidak hanya dilakukan oleh aktor (individu)
31
Haryatmoko, Etika Komunikasi (Yogyakarta: Kanisius, 2007), h. 124-126. Academia, Kekerasan, artikel diakses pada 12 maret 2015 dari https://www.academia.edu/6469488/Kekerasan 32
32
atauk elompok semata, tetapi juga dipengaruhi oleh suatu struktur seperti aparatur negara. Pada umumnya bila seseorang atau kelompok memiliki harta kekayaan berlimpah,
maka akan selalu ada kecenderungan untuk
melakukan kekerasan kecuali ada hambatan yang jelas dan tegas . c. Teori Kekerasan Sebagai Kaitan Antara Aktor dan Struktur Menurut pendapat ahli teori ini, konflik merupakan sesuatu yang telah
ditentukan
sehingga
bersifat
endemik
bagi
kehidupan
masyarakat. Menurut Thomas Santoso istilah kekerasan digunakan untuk mengembangkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Oleh karena itu ada empat jenis kekerasan yang dapat diidentifikasi : 1) Kekerasan terbuka (kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian) 2) Kekerasan tertutup (kekerasan tersembunyi atau yang secara tidak langsung dilakukan seperti pengancaman) 3) Kekerasan
agresif
(kekerasan
yang
dilakukan
untuk
mendapatkan sesuatu, seperti penjambretan) 4) Kekerasan defensif (kekerasan untuk melingdungi diri) 2. Kekerasan Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang dibuat oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
33
Dalam BAB III Pasal 33 Tentang Kekerasan, Kecelakaan, dan Bencana dalam program Faktual dijelaskan bahwa lembaga penyiaran harus
memperhatikan
keseimbangan
antara
kebutuhan
untuk
memperlihatkan realitasdan pertimbangan tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan. Karena itu, penyiaran adegan kekerasan, kecelakaan, dan bencana dalam program faktual harus mengikuti kebutuhan sebagai berikut:33 a. Adegan kekerasan tidak boleh disajikan secara eksplisit b. Gambar luka-luka yang diderita korban kekerasan, kecelakaan, dan bencana tidak boleh disorot secara close up (big close up, medium close up, extreme close up) c. Gambar penggunaan senjata tajam dan senjata api tidak boleh disorot secara close up (big close up, medium close up, extreme close up) d. Gambar korban kekerasan tingkat berat, serta potongan organ tubuh korban dan genangan darah yang diakibatkan tindak kekerasan, kecelakaan dan bencana, harus disamarkan e. Durasi dan frekuensi penyorotan korban yang eksplisit harus dibatasi f. Dalam siaran adio, penggambaran kondisi korban kekerasan, kecelakaan, dan bencana tidak boleh disiarkan secara rinci g. Saat-saat kematian tidak boleh disiarkan h. Adegan eksekusi hukuman mati tidak boleh disiarkan
33
Sudirman Tebba, Etika Media Massa Indonesia (Tangerang: Penerbit Pustaka irVan, 2008) h.
134-135.
34
E. Film 1. Jenis-Jenis Film Marcel Danesi dalam buku Semiotik Media, menuliskan tiga jenis atau kategori utama film, yaitu film fitur, film dokumenter, dan film animasi, penjelasannya adalah sebagai berikut:34 a.
Film Fitur Film fitur merupaka karya fiksi, yang strukturnya selalu berupa
narasi, yang dibuat dalam tiga tahap. Tahap praproduksi merupakan periode ketika skenario diperoleh. Skenario ini bisa berupa adaptasi dari novel, atau cerita pendek, cerita fiktif atau kisah nyata yang dimodifikasi, maupun karya cetakan lainnya, bisa juga yang ditulis secara khusus untuk dibuat filmnya. Tahap produksi merupakan masa berlangsungnya pembuatan film berdasarkan skenario itu. Tahap terakhir, post-produksi (editing) ketika semua bagian film yang pengambilan gambarnya tidak sesuai dengan urutan cerita, disusun menjadi suatu kisah yang menyatu. b.
Film Dokumenter Film dokumenter merupakan film nonfiksi yang menggambarkan
situasi kehidupan nyata dengan setiap individu menggambarkan perasaannya dan pengalamannya dalam situasi yang apa adanya, tanpa persiapan, langsung pada kamera atau pewawancara. Robert Claherty mendefinisikannya sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan”, creative treatment of actuality.35
34
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media (Yogyakarta: Jalasutra, 2010) h. 134-
135.
35 Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), h. 139.
35
Dokumenter seringkali diambil tanpa skrip dan jarang sekali ditampilkan di gedung bioskop yang menampilkan film-film fitur. Akan tetapi, film jenis ini sering tampil di televisi. Dokumenter dapat diambil pada lokasi pengambilan apa adanya, atau disusun secara sederhana dari bahan-bahan yang sudah diarsipkan. Dalam kategori dokumenter, selain mengandung
fakta,
film
dokumenter
mengandung
subjektivitas
pembuatnya. Dalam hal ini pemikiran-pemikiran, ide-ide, dan sudut pandang idealisme mereka. Dokumenter merekam adegan nyata dan faktual (tidak boleh merekayasanya sedikitpun) untuk kemudian diubah menjadi sefiksi mungkin menjadi sebuah cerita yang menarik. c.
Film Animasi Animasi adalah teknik pemakaian film untuk menciptakan ilusi
gerakan dari serangkaian gambaran benda dua atau tiga dimensi. Penciptaan tradisional dari animasi gambar-bergerak selalu diawali hampir bersamaan dengan penyusunan storyboard, yaitu serangkaian sketsa yang menggambarkan bagian penting dari cerita. Sketsa tambahan dipersiapkan kemudian untuk memberikan ilustrasi latar belakang, dekorasi serta tampilan dan karakter tokohnya. Pada masa kini, hampir semua film animasi dibuat secara digital dengan komputer. Salah satu tokohnya yang legendaris adalah Walt Disney dengan film-film kartunnya seperti Donald Duck, Snow White, dan Mickey Mouse.
36
2. Unsur-Unsur Pembentuk Film Film, secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik, dua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain:36 a. Unsur Naratif Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Dalam hal ini unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu adalah elemen-elemennya. Mereka saling berinteraksi satu sama lain untuk membuat sebuah jalinan peristiwa yang memiliki maksud dan tujuan, serta terikat dengan sebuah aturan yaitu hukum kausalitas (logika sebab akibat). b. Unsur Sinematik Unsur sinematik merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi sebuah film. Terdiri dari : (a) Mise en scene yang memiliki empat elemen pokok: setting atau latar, tata cahaya, kostum, dan make-up, (b) Sinematografi, (c) editing, yaitu transisi sebuah gambar (shot) ke gambar lainnya, dan (d) Suara, yaitu segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran. 3. Struktur Film a. Shot Shot adalah a consecutive series of pictures that constitutes a unit of action in a film, satu bagian dari rangkaian gambar yang begitu panjang, yang hanya direkam dalam satu take saja. Secara teknis, shot adalah
36
Himawan Pratista, Memahami Film (Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2009), h.1-2
37
ketika kamerawan mulai menekan tombol record hingga menekan tombol record kembali.37 b. Scene Adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan. c. Sequence Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu peristiwa yang utuh. Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diartikan seperti sebuah bab atau sekumpulan bab.38 4. Teknik Pengambilan Gambar Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan gambar, yaitu:39 a. Basic Shoot 1. Close Up (CU) Sebuah shoot yang memperlihatkan wajah seseorang dalam ukuran penuh. 2. Medium Close Up (MCU) Sebuah shoot yang memnampilkan seseorang dengan ukuran dari dada ke atas
37
Wahyu Wary Pintoko dan Diki Umbara, How to Become A Cameraman (Yogyakarta: Interprebook, 2010), h.97.s 38 Himawan Pratista, Memahami Film, h.29-30. 39 Joni Arman Hamid, Dasar-dasar Fotografi dan Kamera Televisi (2014). H. 12-21.
38
3. Medium Shoot (MS) Suatu bentuk penyajian untuk memperlihatkan seseorang dari batas pinggang ke atas 4. Medium Long Shoot (MLS) Pengambilan shoot dari atas lutut atau di bawah lutut ke atas. 5. Long Shoot (LS) Sebuah shoot yang memperlihatkan penampilan seseorang secara utuh mulai dari kepala hingga kaki. 6. Big Close UP (BCU) Ukurannya lebih kecil dari close up, mulai dari leher sampai rambut. 7. Extreame Close UP (ECU) Shoot yang terfokus hanya pada bagian tertentu saja. Misalnya mata, hidung atau mulut. 8. Very Long Shoot (VLS) Menampilkan seseorag dalam ukuran di atas pengambilan long shoot agar latar sebjek terlihat lebih dominan dari subjek itu sendiri. 9. Extrieame Long Shoot (ELS) Shoot yang diambil dari jarank yang sangat jauh. 10. One shoot (1S) pengambilan gambar dengan satu objek. 11. Two Shoot (2S) pengambilan gambar dengan dua objek.
39
12. Three Shoot (3S) pengambilan gambar dengan tiga objek. 13. Group Shoot (GS) pengambilan gambar dengan sekelompok orang. b. Camera angle 1. Low Angle Shoot Sudut pengambilan dengan menempatkan kamera lebih rendah dari subjek. 2. Eye Angle Shoot Posisi kamera ditempatkan sejajar dengan mata subjek. 3. High Angle Shoot Pengambilan gambar dengan menempatkan kamera lebih tinggi dari subjek c. Gerakan kamera 1. Pan Menggerakan kamera yang ditempatkan di atas tripod secara horizontal. Gerakan tersebut dapat dilakukan ke arah kanan atau kiri. 2. Tilt Menggerakan kamera yang berada di atas tripod dengan gerakan ke
atas
atau
bawah
BAB III GAMBARAN UMUM FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI A. GAMBARAN UMUM Dalam bab ini peneliti membahas tentang gambaran umum mengenai beberapa profil orang-orang yang terlibat di dalam pembuatan film tersebut dan sinopsis dari film Pengkhianatan G 30 S PKI. Diawali dari Produser kemudian sang Sutradara dan dilanjutkan profile penulis kemudian beberapa pemain, dibahasnya sutradara pertama kali Karena menurut peneliti peran sutradara disini adalah motor penggerak produksi ini berlangsung, Sutradara memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat. Di lapangan seorang sutradara berperan sebagai manajer, kreator, dan sekaligus inspirator bagi anggota tim produksi dan para pemain, bagaimana dan akan seperti apa film itu akan dibuat sutradaralah yang mempunyai
andil
besar
dalam
menentukannya,
namun
tidak
mengindahkan departement lainnya, ini adalah pekerjaan kolektif dan saling bergantung satu sama lain. Masing-masing mempunyai peranan dalam pembuatan film, mempunyai jobdes masing-masing dalam perannya.
40
41
1. PROFIL SUTRADARA FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI Arifin C. Noer Lahir di Cirebon, Jawa Barat. Pendidikan: Sarjana Publik Administrasi, Fak. Sospol, Universitas Cokroaminoto, Yogya. Sudah mulai menyair ketika masih di bangku SLTP. Ketika meneruskan ke pendidikan tinggi di Yogya, ia mulai terlibat kegiatan teater, yang kemudian memberi warna paling penting dalam hidupnya. Naskah-naskah dramanya banyak mendapatkan penghargaan dan diterjemahkan ke bahasa asing. Pementasan-pementasan grup teaternya, Teater Kecil, merupakan tonggak penting dalam sejarah teater modern Indonesia. Dunia film dimasukinya sejah 1971 melalui penulisan skenario Pemberang yang memenangkan hadiah Golden Harvest di FFA 1972. Sejak itu ia banyak menulis skenario. Yang mendapatkan Piala Citra: Rio Anakku (FFI 1973), Melawan Badai (FFI 1974), Pengkhianatan G-30-S PKI (FFI 1984), Taksi (FFI 1990). Mulai 1977 ia mulai menangani film pertamanya, Suci Sang Primadona. Dua penyutradaraannya mendapatkan Citra: Serangan Fajar (FFI 1982), dan Taksi (1990). Ada lima lagi karya penyutradaannya dan penulisan skenarionya yang diunggulkan dalam FFI. Penghargaann lain diterimanya dari dunia sinetron: Skenario dan Penyutradaraan dalam Keris (FSI 1995), Cerita dan Skenario Bukan Perempuan Biasa (FSI 1997).40
40
Film Indonesia, Pengkhianatan G 30 S PKI, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bad3d5d1cb_arifin-c-noer#.VMI8QtKUdmw
42
2. PROFIL PRODUSER FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI Gufran Dwipayana (lahir di Jember, Jawa Timur, 12 Desember 1932; umur 82 tahun) atau lebih dikenal dengan nama G. Dwipayana adalah salah satu sutradara televisi Indonesia dan juga mantan Direktur PPFN. Karya karya film baik di layar lebar maupun televisi yang pernah dibuatnya
antara
lain
adalah Si
Unyil, Pengkhianatan
G
30
S/PKI,Serangan Fajar, Aku Cinta Indonesia (ACI) dan Si Huma. Sebelum terjun di bidang film, Dia adalah mantan anggota militer.41
3. PROFIL PENULIS FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI a. Arifin C. Noer Lahir di Cirebon, Jawa Barat. Pendidikan: Sarjana Publik Administrasi, Fak. Sospol, Universitas Cokroaminoto, Yogya. Sudah mulai menyair ketika masih di bangku SLTP. Ketika meneruskan ke pendidikan tinggi di Yogya, ia mulai terlibat kegiatan teater, yang kemudian memberi warna paling penting dalam hidupnya. Naskahnaskah
dramanya
diterjemahkan
ke
banyak bahasa
mendapatkan asing.
penghargaan
dan
Pementasan-pementasan
grup
teaternya, Teater Kecil, merupakan tonggak penting dalam sejarah teater modern Indonesia. Dunia film dimasukinya sejah 1971 melalui penulisan skenario Pemberang yang memenangkan hadiah Golden Harvest di FFA 1972. Sejak itu ia banyak menulis skenario. Yang mendapatkan Piala Citra: Rio Anakku (FFI 1973), Melawan Badai 41
Wikipedia, Gufran Dwipayanan, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Gufran_Dwipayana
43
(FFI 1974), Pengkhianatan G-30-S PKI (FFI 1984), Taksi (FFI 1990). Mulai 1977 ia mulai menangani film pertamanya, Suci Sang Primadona. Dua penyutradaraannya mendapatkan Citra: Serangan Fajar (FFI 1982), dan Taksi (1990). Ada lima lagi karya penyutradaannya dan penulisan skenarionya yang diunggulkan dalam FFI. Penghargaan lain diterimanya dari dunia sinetron: Skenario dan Penyutradaraan dalam Keris (FSI 1995), Cerita dan Skenario Bukan Perempuan Biasa (FSI 1997).42 b. Nugroho Notosusanto Lahir di Rembang tanggal 15 Juni 1931. Setelah menamatkan SMA di Yogyakarta, memasuki Fakultas Sastra Universitan Indonesia, dan meraih gelar Sarjana Sastra pada tahun 1990. Selanjutnya, memperdalam pengetahuan di bidang Metode dan Filsafat Sejarah pada University of London (1961-1962). Gelar Doktor dalam IlmuIlmu Sastra Bidang Searah diraihnya pada tahun 1977 pada Universitas Indonesia, dengan disertasi yang berjudul : “Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia”. Sejak masa pelajar beliau aktif dalam kancah perjuangan dan revolusi fisik sebagai Anggota BKR Jakarta (1945), Angota Batalyon A Mobiele Brigade MBT TNI (1947), dan Anggota Detasemen Staf Bragade 17 (1948). Pernah menjadi Guru Besar pada Fakultas Sastra UI, Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan FSUI, Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan UI, Kepala Pusat Sejarah ABRI/pengajar 42
Film Indonesia, Pengkhianatan G 30 S PKI, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bad3d5d1cb_arifin-c-noer#.VMI8QtKUdmw
44
pada SESKO ABRI/pengajar pada Lemhanas, tahun 1982 menjadi Rektor UI, dan pada tahun 1983 diangkat menjadi Menteri P dan K RI dalam Kabinet Pembangunan IV, serta banyak lagi tugas-tugas negara yang pernah diembannya. Beliau juga sangat aktif mengikuti kegiatan ilmiah baik di dalam, maupun di luar negeri terutama memberi prasaran-prasaran di bidang sejarah militer. Selain itu, beliau juga seorang penulis yang sangat produktif dala sastra dan sejarah militer pada majalah-majalah serta berupa buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pada tahun 1985, beliau meninggal dunia secara mendadak pada usia 54 tahun.43
4. PROFIL PEMAIN FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI a. Bram Adrianto Lahir di Jogyakarta. Pendidikan: Mahasiswa UBKIPK sampai tingkat III (DO) dan kursus Perhotelan/Pariwisata oleh HAL tahun 1971. Sebelum ke film pada 1971-1975 Bram mengikat kontrak kerja dengan HAL (Holland America Line). Selama aktif di film juga anggota teater Wijaya Kesuma pimpinan Rendra Karno (alm). Debut pertama sebagai peran pembantu dalam Gadis di Seberang Djalan (1960) produksi PT Sarinande Film. Di luar film aktif sebagai pelukis dan wiraswastawan. Di "kenal" sebagai Kolonel Untung dalam Pengkhianatan G-30-S/PKI (1982). Pertama di sinetron dalam Ken Angrok (1976) produksi TVRI. selain itu juga main di sinetron 43
Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia, (Jakarta: PT. Pembimbing Masa 1968), h. 219.
45
Singgasana Brama Kumbara, Mahkota Mayangkara, Suro Buldog dan Nyai Dasima.44 b. Amoroso Katamsi Lahir Jakarta. Pendidikan : dokter lulusan UGM (1966).Sebelum masuk ke film Amoroso pernah menjadi pemain dan sutradara untuk pentas dan TV, pengajar pada almamaternya dan sebagai Dokter TNI Angkatan Laut. Terjun ke dunia film sejak 1976 sebagai pemain dalam film "Menanti Kelahiran", kemudian dilanjutkan dalam "Darah Ibuku" (1976), "Terminal Cinta" (1977), "Duo Kribo" (1977), "Ballada Anak Tercinta" (1977) dan lain -lain.Di luar film masih sebagai militer dan anggota team perancang kota Cilacap.45 c. Umar Kayam Lahir di Ngawi. Pendidikan : Fakultas Pedagogik UGM sampai BA, New York University mendapat MA dan Ph D dari Cornel University (1963).Pada tahun 1956 sampai tahun 1966 pegawai Departemen P&K; Direktur Jendral Radio Televisi dan film Departemen Penerangan (1966-1969); Ketua Dewan Kesenian Jakarta tahun 1969-1973; Do Fak. Ilmu Sosial UI; anggota Komite Kerjasama Kebudayaan Indonesia-Belanda; anggota YayasanTenaga
Kerja
Indonesia; Dosen Universitas Hasanudin Ujung Pandang; Dosen Universitas Gajahmada; ketua Dewan Film Nasional dan anggota Lembaga Film Nasional. Pernah main film sebagai pemain pembantu 44
Film Indonesia, Pengkhianatan G 30 S PKI, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4c451df157f43_bram-adrianto#.VMI_ItKUdmw 45 Film Indonesia, Pengkhianatan G 30 S PKI, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bce4466685_amoroso-katamsi#.VMI9EdKUdmw
46
dalam "Karmila" (1974), "Ku Gapai Cintamu" (1976). Cerita skenarionya "Yang Muda Yang Bercinta" di angkat ke layar putih oleh Sjumandjaja pada tahun 1977. Pada 1978 menulis Skenario "Jalur Penang", "bulu bulu Cendrawasih", dan lain-lain.46 d. Syubah Asa Syubah Asa (lahir di Pekalongan, Hindia Belanda, 21 Desember 1941 – meninggal di Pekalongan, Indonesia, 24 Juli 2010 pada umur 68 tahun) adalah seorang sastrawan dan wartawan senior Indonesia, dan juga seniman. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana muda di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menjadi redaktur TEMPO sejak 1971 hingga 1987 sebelum pindah ke Editor pada 1987 dan 1988 dan Panji Masyarakat. Ia aktif di Teater Muslim dan Bengkel Teater di Yogyakarta pada 1950-1969. Pada era 1970-an ia juga pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta. Akting Syubah pernah menghiasi layar kaca saat ia diminta Arifin C Noer menjadi pemeran tokoh pemimpin PKI DN Aidit dalam film dokudrama propaganda kolosal "Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI" tahun 1982, yang kemudian dirilis tahun 1984. Syubah juga menulis sejumlah novel, di antaranya Cerita di Pagi Cerah (1960). Selain itu, ia juga banyak menulis kolom, termasuk juga puitisasi ayatayat Alquran dan menerjemahkan karya klasik berbahasa Arab ke bahasa Indonesia, di antaranya Asraful Anam dan Qasidah Barzanji. 47 46
Film Indonesia, Pengkhianatan G 30 S PKI, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bad4a188a5_umar-kayam#.VMI9FNKUdmw 47 Wikipedia, Syubah Asa, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Syubah_Asa
47
B. SINOPSIS FILM PENGKHIANATAN G 30 S PKI Bulan Agustus 1965 Bung Karno sakit keras. Tim Dokter yang merawatnya menyatakan kepada Aidit, ( ketua umum Partai Komunis Indonesia), bahwa keadaan Bung Karno sangat gawat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Aidit, akan adanya kekosongan pemegang kekuasaan tertinggi. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sudah merasa sangat kuat pengaruhnya, mengkhawatirkan kekuasaan itu akan jatuh ke tangan Pimpinan Angkatan Darat, yang selalu bertentangan dengan ideide Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk itu Aidit, Syam, Nyono, Pono, Nyoto, dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI)
lainnya segera
merencanakan strategi menyusun kekuatan, membuat isu-isu adanya Dewan Jendral, dan mempersiapkan KUP (Perebutan kekuasaan di Indonesia). Gerakan perebutan kekuasaan itu harus memberikan kesan sebagai gerakan Intern Angkatan Darat. Gerakan ini dilaksanakan bersamaan waktunya dengan persiapan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata (tanggal 5 Oktober 1965). Tengah malam tanggal 30 September 1965, pasukan bersenjata di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung, Komandan Pasukan Kawal Kepresidenan yang terkenal dengan nama Resimen Cakrabirawa, mengadakan gerakan penculikan terhadap Letnan Jendral Achmad Yani, Mayor Jendral S. Parman, Mayor Jendral Suprapto, Mayor Jendral MT. Haryono, Brigadir Jendral Sutoyo S, Brigadir Jendral
48
D.I. Pandjaitan, Letnan Satu Piere Tendean (Ajudan Jendral AH. Nasution), dan Jendral AH. Nasution. Namun Jendral AH Nasution, berhasil meloloskan diri. Tujuh Jendral dan Perwira itu yang berhasil diculik itu disiksa dengan sangat kejam, tanpa perikemanusiaan, dibunuh, kemudian dimasukkan ke dalam sumur tua di desa yang bernama Lubang Buaya Tanggal 1 Oktober 1965, Pukul 7.00 pagi. Letkol Untung, mengumumkan melalui Radio Republik Indonesia (yang sudah mereka kuasai), bahwa gerakan yang dipimpinnya adalah Gerakan 30 September. Pagi itu juga, Panglima Kostrad Mayjen Suharto, mengambil inisiatif untuk mengambil alih sementara Pimpinan Angkatan Darat, menumpas gerakan tersebut dan sekaligus mencari dimana para Jendral yang menjadi korban penculikan para pemberontak tersebut. Tanggal 1 Oktober pagi, kekuatan utama Gerakan 30 September berhasil dipatahkan. Kemudian tanggal 3 Oktober 1965, keenam orang Jendral dan satu orang Perwira pertama yang diculik dan dibunuh , diketemukan oleh pasukan Resimen Para Komando, dengan kondisi sangat menyedihkan dan sudah mulai membusuk. Pagi harinya, tanggal 4 Oktober 1965, dilaksanakan pengangkatan jenazah para korban dengan dibantu oleh satuan Penyelam dari K.K.O.A.L , dan rakyat setempat. Pada tanggal 5 Oktober 1965, dari Markas Besar Angkatan Darat, tempat dimana para jenazah tersebut disemayamkan, dan dengan menggunakan kendaraan khusus “Para Pahlawan Revolusi” tersebut diberangkatkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, untuk
49
dimakamkan dengan upacara Kebesaran Militer.48
C. PARTAI KOMUNIS INDONESIA Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia. PKI adalah partai komunis non-penguasa terbesar di dunia setelah Rusia dan Tiongkok sebelum akhirnya dihancurkan pada tahun 1965 dan dinyatakan sebagai partai terlarang pada tahun berikutnya. Sebuah organisasi awal yang penting didirikan oleh sosialis Belanda Henk Sneevliet dan Sosialis Hindia lain yang pada dasarnya membentuk tenaga kerja di pelabuhan pada tahun 1914, dibawah nama Indies Social Democratic Association (dalam bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging, ISDV). ISDV pada dasarnya dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, SDAP dan Partai Sosialis Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia Belanda. Para anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial. Pada Oktober 1915 ISDV mulai aktif dalam penerbitan surat kabar berbahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun, partai ini dengan cepat berkembang 48
PFN, Film Penghianatan G30S PKI, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://pfn.co.id/id/portfolio/film-penghianatan-g30s-pki/
50
menjadi radikal dan anti kapitalis. Tapi berubah ketika Sneevliet memindahkan markas mereka dari Surabaya ke Semarang dan menarik banyak penduduk asli dari berbagai elemen seperti agama, nasionalis dan aktivis gerakan lainnya yang akhir-akhir ini tumbuh di Hindia Belanda sejak tahun 1900. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV dan menolak untuk bekerjasama dengan pemerintah karena menolak
"berpura-pura"
menjadi
Dewan
Masyarakat
(Volksraad
Volksraad (Hindia Belanda). Pada tahun 1917 kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri, dan membentuk partai sendiri dengan nama Partai Demokrat Sosial Hindia. Pada tahun 1917 ISDV meluncurkan sendiri publikasi pertama berbahasa Indonesia, Soeara Merdeka. Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti di Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah 'Pengawal Merah' dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun. Sementara itu, ISDV membentuk blok dengan organisasi anti-kolonialis
51
Sarekat Islam. Banyak anggota SI seperti dari Surabaya, Semaun dan Darsono dari Solo tertarik dengan ide-ide Sneevliet. Sebagai hasil dari strategi Sneevliet akan "blok dalam", banyak anggota SI dibujuk untuk mendirikan revolusioneris yang lebih dalam Marxis-didominasi Sarekat Rakjat. ISDV terus bekerja secara klandestin. Meluncurkan publikasi lain, Soeara Rakyat. Setelah kepergian paksa beberapa kader Belanda, dalam kombinasi dengan pekerjaan di dalam Sarekat Islam, keanggotaan telah berpindah dari mayoritas Belanda ke mayoritas Indonesia. Pada tahun 1919 hanya memiliki 25 anggota Belanda, dari total anggota yang kurang dari 400. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah orang Belanda. PKH adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis Internasional 1921. Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, anggota menyadari strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya. Agus Salim, sekretaris organisasi, memperkenalkan sebuah gerakan untuk melarang anggota SI memegang keanggotaan dan gelar ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggot komunis kecewa dan
52
keluar dari partai, seperti oposisi dari Tan Malaka dan Semaun yang juga keluar dari gerakan karena kecewa untuk kemudian mengubah taktik dalam perjuangan pergerakan indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial Belanda menyerukan tentang pembatasan kegiatan politik, dan Sarekat Islam memutuskan untuk lebih fokus pada urusan agama, meninggalkan komunis sebagai satu-satunya organisasi nasionalis yang aktif. Bersama Semaun yang berada jauh di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor Conference pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan terhadap pekerja pegadaian pemerintah menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat buruh Indonesia. Hal ini ternyata gagal, Tan Malaka ditangkap dan diberi pilihan antara pengasingan internal atau eksternal. Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke Rusia. Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur semua serikat buruh dalam satu organisasi. Pada tanggal 22 September, Serikat Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk. Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa "prioritas utama dari partai-partai komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari persatuan buruh" karena tidak mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan kelas buruh ini. Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
53
Sukarno bersikap seimbang terhadap PKI. Para militer, faksi nasionalis, dan kelompok-kelompok Islam terancam oleh pertumbuhan dan dukungan rakyat terhadap PKI. Pertumbuhan dan pengaruh PKI fokus terhadap Amerika Serikat sebagai anti-komunis dan kekuatan anti-komunis Barat lainnya. Karena situasi politik dan ekonomi pada saat itu menjadi lebih tidak stabil; inflasi tahunan mencapai lebih dari 600 persen dan kondisi hidup bagi masyarakat Indonesia memburuk. PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin kuat. Sehingga para pesaing PKI mulai khawatir PKI akan memenangkan pemilu berikutnya. Gerakan-gerakan untuk menentang PKI mulai bermunculan, dan dipelopori oleh Angkatan Darat. Pada Desember 1964, Chaerul Saleh dari Partai Murba (dibentuk oleh mantan pemimpin PKI Tan Malaka) menyatakan bahwa PKI sedang mempersiapkan kudeta. PKI menuntut larangan Partai Murba, tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno pada awal 1965. Dalam konteks Konfrontasi dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk 'mempersenjatai rakyat'. Sebagian besar pihak dari tentara Angkatan Darat melarang hal ini. Sikap Soekarno tetap secara resmi untuk tidak terlalu mengambil komitmen atas hal tersebut karena dalam konteks Konfrontasi dengan Malaysia seperti PKI. Pada bulan Juli sekitar 2000 anggota PKI mulai menggelar pelatihan militer di dekat pangkalan udara Halim. Terutama dalam konsep 'mempersenjatai rakyat' yang telah memenangkan banyak dukungan di antara kalangan militer Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Pada tanggal 8 September demonstran PKI memulai untuk pengepungan selama dua
54
hari di Konsulat AS di Surabaya. Pada tanggal 14 September, Aidit mengalamatkan kepada gerilyawan PKI untuk mendesak anggota agar waspada dari hal-hal yang akan datang. Pada 30 September Pemuda Rakyat dan Gerwani, kedua organisasi PKI terkait menggelar unjuk rasa massal di Jakarta terhadap krisis inflasi yang melanda. Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia dibunuh dan mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan keesokan harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri mereka "Gerakan 30 September ("G30S"). Dengan banyaknya jendral tentara senior yang mati atau hilang, Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta yang gagal pada 2 Oktober. Tentara dengan cepat menyalahkan upaya kudeta PKI dan menghasut dengan kampanye propaganda anti-Komunis di seluruh Indonesia. Bukti yang mengaitkan PKI untuk pembunuhan para jenderal tidak meyakinkan, yang mengarah ke spekulasi bahwa keterlibatan mereka sangat terbatas, atau bahwa Suharto mengorganisir peristiwa, secara keseluruhan atau sebagian,
dan
mengkambinghitamkan
kepada
komunis.
Dalam
pembersihan anti-komunis melalui kekerasan berikutnya, diperkirakan 500.000 komunis (atau dicurigai) dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan (lihat Pembantaian di Indonesia 1965–1966). Jenderal Suharto kemudian mengalahkan Sukarno secara politik dan diangkat menjadi presiden pada tahun 1968, karena mengkonsolidasikan pengaruhnya atas militer dan pemerintah.
55
Pada tanggal 2 Oktober basis Halim berhasil ditangkap oleh pihak tentara. Harian Rakyat mengambil isu pada sebuah artikel yang berisi untuk mendukung kudeta G30S, tetapi spekulasi kemudian bangkit mengenai apakah itu benar-benar mewakili pendapat dari PKI. Sebaliknya pernyataan resmi PKI pada saat itu adalah bahwa upaya G30S merupakan urusan internal di dalam angkatan bersenjata mereka. Pada tanggal 6 Oktober kabinet Sukarno mengadakan pertemuan pertama sejak 30 September. Menteri PKI hadir. Sebuah resolusi mengecam G30S disahkan. Njoto ditangkap langsung setelah pertemuan itu. Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang bertindak di luar kontrol dan terpancing oleh insinuasi Barat, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah
56
memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia. Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan PKI. Kantor utama milik PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober organisasi Islam Ansor mengadakan aksi unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa. Pada tanggal 18 Oktober sekitar seratus PKI dibunuh oleh pihak Ansor. Pemusnahan secara sistematis untuk partai telah dimulai. Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal yang digelar. Para korban termasuk juga nonkomunis yang dibunuh karena kesalahan identitas atau "kesalahan oleh asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak mungkin untuk menentukan angka pasti dari jumlah korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini menjelaskan korban yang dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang. Meskipun motif pembunuhan tampaknya bernuansa politik, beberapa ahli berpendapat bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh keadaan panik dan ketidakpastian politik. Bagian dari kekuatan antikomunis yang bertanggung jawab atas pembantaian terdiri dari para pelaku tindak kriminal seperti para preman, yang telah diberi izin untuk terlibat dalam tindakan yang tidak masuk akal berupa kekerasan. Motif lain yang terjadi juga telah dieksplorasi. Di tingkat internasional, Kantor Berita RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Xinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September
57
1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI. Di antara daerah-daerah yang terkena dampak terburuk adalah pulau Bali, di mana PKI telah berkembang pesat sebelum tindakan kerasasan. Pada tanggal 11 November bentrokan meletus antara PKI dan PNI, yang berakhir dengan pembantaian terhadap anggota dan simpatisan yang dituduh PKI. Jika banyak dari pogrom anti-PKI di seluruh daerah lain itu dilakukan oleh organisasi-organisasi politik Islam, pembunuhan di Bali dilakukan atas nama Hindu. Bali berdiri sebagai satu-satunya tempat di negara di mana tentara lokal dalam beberapa cara intervensi untuk mengurangi pembantaian tersebut. Pada tanggal 22 November, Aidit ditangkap dan dibunuh. Pada bulan Desember militer menyatakan bahwa Aceh telah dibersihkan dari komunis. Bersamaan, khusus Pengadilan Militer yang dibentuk untuk mengadili dan memenjarakan para anggota PKI. Pada 12 Maret, partai PKI secara resmi dilarang oleh Suharto, dan serikat buruh pro-PKI SOBSI dilarang pada bulan April. Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan untuk menahan anggota PKI. Banyak tahanan politik ditahan tanpa dasar yang jelas. Sejak saat itu, identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat anti-kolonialisme hilang dan antikomunisme menjadi dasar identitas bangsa. Kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang
58
jahat dan baik.49
D. ORDE BARU Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela. Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. Orde Baru bertujuan meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan
yang
dipimpin
oleh
Presiden
Soekarno
sedang
berlangsung. Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk menghindari halhal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. J. Laimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr 49
Wikipedia, Partai Komunis Indonesia, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia
59
Subandrio, dan Waperdam II Chaerul Saleh. Dr. J. Laimena sendiri menyusul presiden segera setelah sidang berakhir. Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden. Segera setelah mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga. Namun, mereka juga memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini. Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur, Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa. Surat perintah inilah yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar. Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet
60
baru yang diberi nama Kabinet Ampera. Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama Dwidarma Kabinet
Ampera. Program kerja yang
dicanangkan Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu: memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan; melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968); melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional
sesuai
dengan
Ketetapan
MPRS
No.
XI/MPRS/1966;
melanjutkan perjuangan anti-imperialisme dan anti-kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu. Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto. Penyerahan ini tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967. Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS
No.
XV/MPRS/1966
yang
menyatakan
apabila
presiden
berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan presiden. Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai
61
terjadinya penyerahan kekuasaan. Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional. Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru". Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.50
50
Wikipedia, Orde Baru, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Analisis Semiotika Film Pengkhianatan G 30 S PKI Analisis semiotika dalam adegan-adegan film Pengkhianatan G 30 S PKI akan dilakukan menggunakan 2 tahapan. Tahap yang pertama adalah melalui aspek penanda (signifier) dan yang kedua adalah aspek petanda (signified). Dalam menganalisis penggambaran semiotika bentuk kekerasan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI) sebagai bentuk propaganda
media dalam film ini, peneliti membagi materi analisis ke dalam 2 pokok permasalahan utama, yaitu: (1) adegan-adegan yang memperlihatkan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), terutama pada saat melakukan kudeta kepada pemerintah. (2) adegan-adegan yang memperlihatkan kekuatan orde baru atau seoharto yang menjadi pahlawan dalam mengatasi kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) Adegan-adegan dengan tema yang menggambarkan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). 1. Penyerbuan terhadap tempat training center Pelajar Islam Indonesia 2. Pemberitaan kekerasan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) 3. Penyerangan Kepada Brigjen D.N Pandjaitan 4. Penganiayaan di Lubang Buaya 5. Perampasan Radio Republik Indonesia (RRI) oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) Kekerasan-kekerasan yang ditampilkan dalam film ini sekaligus diikuti dengan penggambaran bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah
62
63
sekelompok orang yang sangat brutal dalam melakukan aksinya demi mendapatkan apa yang mereka inginkan, sehingga membuat penonton yang melihatnya berkesimpulan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) ini adalah otak dari semua kerusuhan yang terjadi pada masa itu. Berikut ini adalah analisis pada adegan-adegan tersebut. 1. Analisis Semiotika Pada Adegan Penyerbuan Terhadap Tempat Training Center Pelajar Islam Indonesia sinopsis: Film ini diawali dengan adegan yang menggambarkan kebrutalan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Adegan dimulai pada suatu subuh di Desa Kanigoro yang terletak tidak jauh dari Kota Kediri dimana ketika orang-orang sedang melakukan sholat berjamaah, tiba tiba ribuan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) menyerbu dan melakukan pemukulan terhaap jamaah tersebut. selain itu mereka juga merusak dan menginjak-injak kitab suci Al-Qur’an.
64
PENTANDA (SIGNIFIER) Visualisasi Shoot Size Pesan NonVisualisasi Verbal Pesan Verbal close up
Salah seorang anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang mengambil benda tajam.
PENANDA (SIGNIFIED)
peristiwa penganiayaan ini terjadi pada tanggal 13 Januari 1965 sekitar subuh di Desa Kanigoro yang terletak Para pelajar tidak jauh dari Training Center Kota Kediri. sedang melakukan ibadah solat subuh berjamaah.
Penyerbuan terhadap tempat Training Center Pelajar Islam Indonesia pada waktu solat subuh menunjukan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat cerdas karena akan sangat mudah utuk melakukan penyerangan disaat para umat islam sedang melakukan ibadah solat subuh.
medium shoot
Para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan penyerangan terhadap jamaah Training Center pelajar Islam Indonesia.
Close up
Para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang melakukan perusakan terhadap kitab suci Al-Qur,an
Dalam penyerbuan ini para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak segan untuk menghajar para jamaah yang baru selesai melaksanakan ibadah solat subuh dan melakukan perusakan terhadap kitab suci Al-Qur’an. Mereka juga menggunakan senjata tajam dalam melakukan aksinya.
group shoot
close up
Ribuan orang orang Partai Komunis Indonesia (PKI) menyerbu tempat Training Center Pelajar Islam Indonesia, kecuali melakukan pemukulan terhadap salah seorang kyai dan beberapa orang guru, mereka menginjak injak kitab suci Al-Qur’an
65
Adegan ini menampilkan sebuah penyerbuan yang dilakukan oleh sekelompok anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dilakukan di Desa Kanigoro yang terletak tidak jauh dari Kota Kediri. Penyerbuan ini memperlihatkan betapa anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat kejam karena menyerang para umat islam yang sedang melakukan ibadah solat subuh. Dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak segan menghajar para jamaah yang tidak siap menerima penyerangan tersebut. kekejaman ini diperlihatkan melalui adegan pemukulan para jamaah yang baru saja selesai melakukan ibadah solat subuh. Dalam melakukan aksinya, Partai Komunis Indonesia (PKI) ini pun menggunakan senjata tajam untuk menyerang para jamaah yang sedang melakukan ibadah solat subuh, dan kekejaman mereka diperparah dengan melakukan perusakan terhadap kitab suci al-qur’an yang merupakan kitab suci umat islam yang semakin membuat kebencian terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan gerakan komunisme pada waktu itu.
2. Analisis Semiotika Pada Adegan Pemberitaan Kekerasan Yang Dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) sinopsis: Dalam adegan selanjutnya ditampilkan berbagai pemberitaan dari media cetak dengan mengambil shoot ke koran yang memberitakan
66
beberapa kekerasan yang telah dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
PETANDA (SIGNIFIER) Shoot Size
Visualisasi Pesan NonVerbal
Visualisasi Pesan Verbal
PENANDA (SIGNIFIED)
Close up
Berita di koran yang berjudul “PKI Bandel Terus Bantu Aksi Sepihak”
Dua hari kemudian pada tanggal 15 Januari 1965, di suatu desa juga di kediri, ribuan orang orang Partai Komunis Indonesia (PKI) menyerang para petani sujarno dengan dalih sengketa sawah. kepala desa yang coba meleraikan da menengahi Tidak luput pula dari pengeroyokan dan penganiyayaan.
Judul yang ditampilkan dalam berita ini membuat para penonton yang melihatnya mejadi geram karena aksiaksi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi provokator terhadap buruh tani.
Close up
Berita di koran yang berjudul “Sabotage Terhadap Pelaksanaan Reboisasi”
pada tahun yang sama di Sumatera Utara, teradi aksi sepihak Partai Komunis Indonesia (PKI) yang di kenal sebagai Peristiwa Bandar Bensi. peristiwa ini merupakan sengketa tanah
Lalu dilanjutkan dengan pemberitaan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) mensabotase terhadap pelaksanaan reboisasi, aksi ini juga menambah daftar kebrutalan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa itu.
67
milik negara dengan kaum tani yang menggarap secara tidak sah. dan sebenarnya persoalannya telah diselesaikan secara baik. tetapi kaum tani kemudian dihasut oleh orang-orang BTI Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk kembali menduduki tanah itu secara sepihak melawan pemerintah.
Karena ulah Partai Komunis Indonesia (PKI) ini menimbulkan dampak yang buruk terhadap sengketa tanah yang seharusnya sudah selesai menjadi pemicu keributan kembali.
Close up
Berita di koran yang berjudul “S. Soedjono Tewas, kepalanja Petjah Ditjangkul”
dalam peristiwa ini seorang petugas soejono tewas karena dikeroyok dan dianiyaya, aksi aksi sepihak yang didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI) ini, juga terjadi di Indramayu, Boyolali, Klaten dan berbagai tempat lainnya di Indonesia.
Kemudian dampak yang ditimbulkan adalah tewasnya seorang petugas, berita ini semakin menambah daftar hitam kekerasan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Close up
Berita di koran yang berjudul “PENGHINAAN THD. PEMERINTAH JG SAH”
sementara itu sebenarnya, pada bulan Desember 1964 terungkap tentang adanya dukungan
Lalu adanya berita yang membuat kejahatan Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin lengkap dengan terungkapnya
68
perebutan kekuasaan yang akan dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), namun oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dikatakan dokumen itu adalah palsu dan malah menuduh balik pembawa fitnah itu sengaja disebarkan oleh lawan politiknya yaitu partai murba yang terobsikis dalam hal ini Khairul Saleh dan Soekarni.
dukungan perebutan kekuasaan. Berita ini sekaligus menjadi titik terang terhadap aksi yang tidak diakui oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Adegan ini menampilkan beberapa pemberitaan tentang kekerasan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), dalam adegan ini menampilkan beberapa judul pemberitaan yang menunjukan betapa jahatnya para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa itu. Dalam adegan ini menggambarkan bahwa peristiwa kekerasan atas ulah para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah mulai diberitakan secara nasional karena berita ini menjadi berita penting pada masa itu. Dengan adanya beberapa berita buruk yang ditampilkan pada adegan ini membuat pembukaan dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI ini menjadi pelengkap fakta-fakta yang menunjukan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), sehingga para penonton semakin
69
percaya bahwa pada masa itu memang benar terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)
3. Analisis Semiotika Pada Adegan Penyerangan Kepada Brigjen D.N Pandjaitan Sinopsis: Adegan yang sangat dramatis ditampilkan ketika para pasukan yang menculik Brigjen D.N. Pandjaitan. Dalam adegan ini ditampilkan saat para penculik mendobrak rumah Brigjen D.N. Pandjaitan, mereka menembak dua orang keponakan Brigjen D.N. Pandjaitan. Brigjen D.N. Pandjaitan yang sedang tertidur lelap pada saat itu, terbangun oleh serangan di rumahnya. Secara spontan dia mengambil senapannya untuk melawan namun sayang senjatanya rusak, lalu dia pun menyerah. Lalu dia mengenakan seragamnya dengan tenang dan melangkah keluar rumah. Ketika Brigjen D.N. Pandjaitan sedang berdoa di teras rumahnya, sebuah peluru ditembakakan ke kepalanya dan diikuti rentetan tembakan yang menembus tubuhnya hingga dia tersungkur dan dibawa oleh para penculik. Lalu sang anak perempuannya berlari sambil berteriak ke arah tumpahan darah Brigjen D.N. Pandjaitan dan menangis histeris sambil mengusap mukanya dengan darah tersebut.
70
PETANDA (SIGNIFIER) Shoot Size Grup Shoot
Visualisasi Pesan NonVerbal Para anggota penculik sedang memanggil Brigjen D.N. Pandjaitan. Pemimpin pasukan sedang memanggil sekali lagi Brigjen D.N. Pandjaitan dengan nada mengancam.
Visualisasi Pesan Verbal
PENANDA (SIGNIFIED)
Anggo ta penculik: segera turun jenderal, lekas !! atau saya ledakan rumah ini !! saya peringatkan sekali lagi jenderal !!
Suasana penculikan di rumah Brigjen D.N. Pandjaitan yang menunjukan bahwa para penculik melakukan penculikan dengan kekerasan dan ketidaksabaran.
Close Up
Para pasukan suara pecahan penculik gelas yang menembaki gelas ditembaki. agar Brigjen D.N. Pandjaitan segera turun.
Mereka menembaki isi rumah agar Brigjen D.N. Pandjaitan segera turun dari kamarnya yang berada di lantai dua.
Long Shoot
Brigjen D.N. Pandjaitan yang sudah turun lalu berdoa di depan teras. Seorang pasukan yang tidak sabar menunggu Brigjen D.N. Pandjaitan kemudian menembak ke arah D.N. Pandjaitan. Brigjen D.N. Pandjaitan yang tertembak lalu
Brigjen D.N. Pandjaitan melakukan doa sejenak sebelum berangkat ketempat penculikan. Namun pasukan penculik yang tidak sabar dengan sengaja menembaki Brigjen D.N. Pandjaitan hingga ia tersungkur bersimbah darah.
Close Up
Medium Shoot
Anggota penculik: ayo cepat jenderal kita habis waktu !!
71
Medium Shoot
tersungkur bersimbah darah
Long Shoot
Anak Anak D.N. perempuannya Pandjaitan: berlari tak kuasa Papiiiiiiiii...... menahan tangis menuju lokasi penembakan. Lalu ia memegang darah sisa penembakan tersebut. sambil menagis histeris mengusapkan darah Brigjen D.N. Pandjaitan ke mukanya
Close Up
Close Up
Dengan berlari kencang sambil berteriak , anak perempuan Brigjen D.N. Pandjaitan mendatangi tempat tertembaknya sang ayah yang hanya dipenuhi sisa-sisa darah dan kemudian sambil menangis histeris ia mengambil darah itu lalu mengoleskannya ke bagian mukanya.
Kejahatan kembali digambarkan dalam adegan ini pada saat terjadi penculikan terhadap Brigjen D.N. Pandjaitan di kediamannya, dalam adegan ini digambarkan bahwa para penculik memiliki watak tidak sabar dan kejam. Mereka yang tidak sabar menunggu Brigjen D.N. Pandjaitan sedang berdoa malah langsung menembakinya tanpa kompromi,
hal ini
memunculkan respon yang sangat emosional bagi para penonton karena tidak adanya belas kasihan dan rasa hormat sama sekali dari penculikan
72
Brigjen D.N. Pandjaitan yang tidak diberikan waktu walaupun hanya untuk sekedar berdoa kepada Tuhannya. Adegan ini kemudian lebih didramatisir lagi dengan penggambaran anak perempuannya yang menjerit sambil berlari keluar rumah hanya untuk menemukan genangan darah ayahnya. Seketika ia mengambil darah tersebut dengan kedua tangannya dan menyapukannya ke wajahnya sendiri sambil menjerit histeris.
4. Analisis Semiotika Pada Adegan Penganiayaan di Lubang Buaya Sinopsis: Para Jenderal yang dibawa ke Lubang Buaya kemudian mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Penyiksaan ini sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan yang membuat para jenderal sangat tersiksa dan bahkan sampai meninggal dunia. Silet dan benda tajam lainnya digunakan untuk menyiksa para jenderal agar mau meneken surat pernyataan yang diberikan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Para jenderal yang sudah meninggal karena penyiksaan ini kemudian diseret ke Lubang Buaya dan dimasukkan ke dalamnya.
73
PETANDA (SIGNIFIER) Shoot Size
Visualisasi Pesan NonVerbal
Close Up
Salah seorang anggota mengambil silet
Medium Shoot
Menggoreskan silet ke muka salah satu Jenderal
Group Shoot
Para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) menyiksa salah satu jenderal
Medium Shoot
Salah seorang sedang anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) berkomunikasi dengan jenderal.
Medium Shoot
Wajah yang disiksa
Visualisasi Pesan Verbal
Anggota Gerwani: Penderitaan itu pedih jenderal, pedih sekarang coba rasakan sayatan silet ini juga pedih tapi tidak sepedih penderitaan rakyat. belum juga mau bicara, ayo bicara!!
Anggota PKI: siksaan neraka ini belum dimulai jenderal kecuali jenderal mau menuruti apa kata saya. Bukan main jenderal wanginya sedang minyak wangi jenderal begitu harum sehingga mengalahkan bau amis darah sendiri. Mana nasution? manaa? jawab ayo jawab masih terus bungkam?
PENANDA (SIGNIFIED)
Penyiksaan di Lubang Buaya dengan menggunakan senjata tajam seperti silet dan pisau membuat para jenderal semakin tersiksa, sayatan dan tusukan yang dilakukan oleh para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) ini adalah hal yang sangat kejam dan sangat brutal.
Bahkan mereka menyebut bahwa penyiksaan itu bagaikan siksaan di neraka yang mana pasti akan sangat pedih dan sakit seperti di neraka. Sampai muka para jenderal sudah penuh dengan luka dan darah yang menandakan bahwa mereka tidak segan untuk menganiaya tanpa belas kasih.
74
Medium Shoot
Close Up
bungkam? Penyiksaan dengan mengikat Bicara !! ditiang lalu dipukul dengan gagang senjata api. Mematikan api rokok ke tangan Lenan Tendean.
Close Up
Menusuk bagian belakang badan jenderal dengan senjata tajam.
Medium Shoot
Lalu melakukan penginjakan terhadap salah satu jenderal.
Anggota PKI: saya bisa injek sampe mampus jenderal.
Medium Shoot
Para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang menakutnakuti akan memahat muka jenderal
Anggota PKI: saya pemahat jenderal, sekarang saya akan memahat muka jenderal
Long Shoot
Memasukkan para jenderal yang telah tewas ke Lubang Buaya
Dengan sadis penganiayaan ini pun diakhiri dengan dimasukannya para jasad jenderal ke dalam Lubang Buaya dengan cara menyeret jasad tesebut hingga
75
sampai ke Lung buaya dan memasukannya sepeti memasukan bangkai binatang ke dalam lubang.
Adegan penganiayaan di Lubang Buaya adalah adegan dengan penganiayaan paling sadis, dimana tidak ada sensor terhadap penyayatan, penusukan dan pemukulan yang dilakukan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada para jenderal yang mereka culik. Hal ini menimbulkan respon yang sangat negatif dan akan selalu diingat dalam benak masyarakat. Adegan ini menandakan tiada lagi belas kasihan dan rasa hormat terhadap para jenderal yang menjadi tawanan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Darah bercucuran dan perlakuan seperti binatang yang ditampilkan dalam adegan ini akan berdampak pada kesan negatif yang sulit untuk dimaafkan karena masyarakat sebagai penonton akan menganggap bahwa kejadian kejam dalam adegan-adegan di film ini adalah kisah nyata yang sama seperti kejadian sebenarnya. Apalagi para penonton yang belum lahir atau tidak menyaksikan langsung ketika kejadian itu terjadi. Pada akhirnya hal ini semakin menyudutkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai satu-satunya pihak yang bersalah dalam rencana pemberontakan yang terjadi pada masa itu.
76
5. Analisis Semiotika Pada Adegan Perampasan Radio Republik Indonesia (RRI) oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) Sinopsis: Setelah penganiayaan di Lubang Buaya, para pasukan Partai Komunis Indonesia (PKI) bergegas menuju Radio Republik Indonesia (RRI) untuk segera mendudukinya dan menyiarkan bahwa Letnan Kolonel Untung telah menyelamatkan presiden Soekarno dari rencana KUP Dewan Jenderal.
PETANDA (SIGNIFIER) Shoot Size
Visualisasi Pesan NonVerbal
Visualisasi Pesan Verbal
PENANDA (SIGNIFIED)
77
Close Up
Medium Shoot
Group Shoot
Two Shoot
Long Shoot
Close Up
Shoot pada logo Letnan Kolonel Radio Republik Untung Indonesia (RRI). menyelamatkan Presiden Soekarno dari KUP Dewan Jenderal. Para angkatan pada hari kamis bersenjata dari tanggal 30 pasukan Partai September 1965 Komunis di Ibukota Indonesia (PKI) Republik telah bersiaga di Indonesia, depan gedung Jakarta telah Radio Republik terjadi gerakan Indonesia (RRI). militer dalam Pasukan Partai angkatan darat Komunis dengan dibantu Indonesia (PKI) oleh pasukantelah memasuki pasukan dari gedung Radio angkatanRepublik angkatan Indonesia (RRI). bersenjata lainnya.
Para angkatan bersenjata dari pasukan Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menduduki gedung Radio Republik Indonesia (RRI) dengan maksud untuk menyiarkan bahwa Letnan Kolonel Untung menyelamatkan Presiden Soekarno dari KUP Dewan Jenderal. Tujuan utama perampasan Radio Republik Indonesia (RRI) ini agar rakyat ahu bahwa yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah benar.
Salah serang anggota pasukan Partai Komunis Indonesia (PKI) sedang mengawasi jalannya siaran Anggota pasukan Partai Komunis Indonesia (PKI) berjaga di luar ruang siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Tampak wajah penyiar Radio Republik Indonesia (RRI).
Dengan dijaga ketat oleh salah satu anggota pasukan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari ruang siaran maupun diluar ruang siaran, penyiar Radio Republik Indonesia (RRI) dengan raut muka terpaksa menyiarkan apa yang diminta oleh para pasukan Partai Komunis Indonesia (RRI).
78
Adegan perampasan Radio Republik Indonesia (RRI) oleh pasukan bersenjata Partai Komunis Indonesia (PKI) ini menjadi penutup kekerasan yang dilakukan oleh pasukan bersenjata Partai Komunis Indonesia (PKI). Perampasan ini menjadi suatu cara untuk membalikan fakta bahwa apa yang telah mereka lakukan dengan menculik para jenderal itu tidak bersalah dimata masyarakat. Mereka pun memaksa penyiar yang sedang siaran di Radio Republik Indonesia (RRI) pada waktu itu menyiarkan bahwa Letnan Kolonel Untung telah menyelamatkan Presiden Soekarno dari rencana KUP Dewan Jenderal. Hal ini membuat citra mereka menjadi baik dimata masyarakat.
79
Analisis yang kedua adalah pada adegan-adegan yang memperlihatkan kekuatan orde baru atau seoharto yang menjadi pahlawan dalam mengatasi kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam adegan ini ditampilkan peran Soeharto dalam menumpas kejahatan seperti seorang pahlawan yang membuat gerakan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) ini berakhir dan dimusnahkan. Adegan-adegan tersebut antara lain: 1. Soeharto Memberitahukan Bahwa Tidak Ada Gerakan Dewan Jenderal 2. Seoharto Memerintahkan Untuk Mengambil Alih RRI Dan TELKOM Yang Dirampas Oleh PKI 3. Ucapan Terimakasih Oleh Soeharto Atas Ditemukannya Jasad Para Korban Penggambaran kepahlawanan pihak Soeharto dan para pasukannya dalam menumpas kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) diperlihatkan sebagai sebuah bentuk hal yang sangat berjasa karena telah menyelamatkan bangsa dari tangan-tangan jahat komunis. Berikut adalah hasil analisis dari pada adegan-adegan tersebut.
1. Analisis Semiotika Pada Adegan Soeharto Memberitahukan Bahwa Tidak Ada Gerakan Dewan Jenderal Sinopsis: Adegan ini menandai kemunculan Soeharto, dimana ia baru muncul pada bagian akhir film ini. Awal kemunculannya langsung memperlihatkan bahwa ia menyadari bahwa gerakan Untung didalangi oleh Partai Komunisa Indonesia (PKI).
80
PETANDA (SIGNIFIER) Shoot Size Two Shoot
Visualisasi Pesan NonVerbal
Visualisasi Pesan Verbal
Dua anggota Soeharto: pasukan masuk silahkan keruangan duduk Soeharto
Medium Shoot Mereka Soeharto: dipersilahkan apa tugas kamu? duduk oleh Soeharto
Medium Shoot
Medium Close Up
Medium Close Up
Mereka sedang Anggota TNI: berbincang tugas kami dengan Soeharto mengamankan presiden pak kami diberitahu akan ada KUP dari Dewan Dengan muka Jenderal serius menjelaskan tentang kup ke Soeharto
Soeharto sedang menjelaskan bahwa Presiden Soekarno tidak ada di Istana. Dan menyuruh kepada seluruh anggota kesatuan supaya segera kembali ke kostrad
Soeharto: itu semua tidak betul, kamu tahu bahwa presiden soekarno saat ini tidak berada di istana. coba kamu cek sendiri ke istana. dan
PENANDA (SIGNIFIED)
Pemanggilan anggota TNI ini sekaligus memperlihatkan bahwa Soeharto memegang peranan penting dimana ia tahu bahwa sebenarnya ada ulah Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam penculikan terhadap para jenderal. Dan pernyataan Soeharto yang memberitahukan akan menghadapi pasukan pemberontak dan menyuruh pasukan lain agar ikut bergabung menandakan bahwa peran Soeharto sangat besar karena ia yang menjadi pemimpin dalam pemberantasan pemberontakan ini. Dan ketegasan Soeharto yang digambarkan dalam adegan ini menandakan bahwa ia sangat serius untuk menyelamatkan bangsa ini dari
81
kamu juga harus tangan-tangan tahu bahwa komunis. gerakan untung ini pasti didalangi PKI. saya kenal betul mereka dan cara cara mereka, gerakan mereka merupakan pemberontakan, jadi saya memutusken untuk menghadapinya sampaiken hal ini kepada seluruh anggota kesatuan supaya segera kembali ke kostrad. dan juga sampaiken hal ini ke komandan batalyon, saya beri batas waktu hingga jam 6 sore. kalau sampai jam 6 sore nanti belum juga kembali ke kostrad, berarti kamu dan pasukanmu sudah berhadapan dengan pasukan saya
Dalam adegan ini menggambarkan sosok Soeharto yang sangat berjiwa pemimpin, ia meminta kepada pasukan lain agar segera memberantas kudeta yang dilakukan oleh Untung cs yang menurutnya didalangi oleh Partai Komunis Indoneisa (PKI).
82
Selain itu kehadirannya bagian akhir setelah penyerangan dan langsung mucul dengan karakter yang ingin menumpas pemberontakan yang terjadi mencerminkan bahwa ia seperti pahlawan yang datang untuk menyelamatkan bangsa ini dari tangan komunis.
2. Analisis Semiotika Pada Adegan Seoharto Memerintahkan Untuk Mengambil Alih RRI Dan TELKOM Yang Dirampas Oleh PKI Sinopsis: Pada
saat
Soeharto
memanggil
Kolonel
Sarwo
Edi,
ia
memerintahkan agar segera merebut kembali Radio Republik Indonesia (RRI) dan TELKOM yang digunakan sebagai corong Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk memuluskan gerakannya.
83
PETANDA (SIGNIFIER) Shoot Size
Visualisasi Pesan NonVerbal
Visualisasi Pesan Verbal
Long Shoot
Kolonel Sarwo Soeharto: Edi menghadap kolonel Sarwo Soeharto Edi sudah tau apa yang terjadi? kolonel Sarwo Edi: Sudah pak. kami sudah mendengar siaran untung jam 7 tadi.
Medium Close Up
Soeharto memberi penjelasan dan sekaligus perintah kepada Sarwo Edi sambil berdiri
Dibalik untung pasti PKI, rupanya sejarah sedang mereka ulang, kita terpanggil untuk menghadapi gerakan pengkhianatan ini saya perintahken kolonel segera merebut kembali RRI dan telkom yang saat ini mereka kuasai corong mereka harus segera dibungkem
Medium Close Up
Kolonel Sarwo Edi menerima perintah dari Soeharto
kolonel Sarwo Edi: siap segera kami laksanakan !
PENANDA (SIGNIFIED)
Kata-kata yang menyatakan bahwa Soeharto terpanggil untuk menghadapi gerakan pengkhianatan ini dan memerintahkan kolonel Sarwo Edi untuk segera merebut kembali Radio Republik Indonesia (RRI) dan TELKOM ini menujukan kalau Soeharto adalah pemimpin yang menggerkan penumpasan dari gerakan kup tersebut.
84
Kepemiminan Soeharto dalam memerangi kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) ini sangat ditonjolkan dalam adegan ini, dai pun sudah tidak sungkan lagi memerintahkan anggota TNI agar segera merebut kembali Radio Republik Indonesia (RRI) dan TELKOM yang telah jatuh ketangan Partai Komunis Indonesia PKI). Hal ini semakin mempertegas bahwa Soeharto lah yang menjadi penggerak tunggal dalam menyelamatkan bangsa ini dari tangan komunis. Dan disini dia sudah sepeti mempunyai kuasa yang sangat besar seperti Presiden.
3. Analisis Semiotika Pada Adegan Ucapan Terimakasih Oleh Soeharto Atas Ditemukannya Jasad Para Korban Sinopsis: Setelah perebutan kembali Radio Republik Indonesia (RRI) dan TELKOM, pasukan dari TNI menyusuri daerah Lubang Buaya untuk mencari jasad para Jenderal yang hilang. Akhirnya dengan usaha yang gigih mereka menemukan para jasad Jenderal tersebut di dalam sumur tua. Pengangkatan jasad pun dilakukan dengan didampingi oleh Soeharto langsung. Dan ktika semua jasad telah diangkat, ia pun memberikan pidato ucapan terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan oleh satuan dan rakyat dalam upaya pengangkatan jasad para Jenderal hingga semua jasad ditemukan.
85
PETANDA (SIGNIFIER) Shoot Size Medium Long Shoot
Long Shoot
Medium Shoot
Medium Long Shoot
Close Up
Visualisasi Pesan NonVerbal
Visualisasi Pesan Verbal
Soeharto sedang Soeharto: berpidato dari saya sangat jarak sedang berterima kasih bahwa akhirnya tuhan memberikan petunjuk yang terang jelas Soeharto sedang kepada kita berpidato dari sekalian bahwa jarak jauh setiap tindakan yang tidak jujur setiap tindakan yang tidak baik pasti akan terbongkar Jasad salah satu dan saya jenderal yang berterima kasih teelah disamukan kepada satuan ke peti mati satuan khususnya dari Resimen Palako dan AnggotaAnggota Kakao Jasad-jasad para dan satuan Jenderal yang satuan lainnya sudah dimsukan serta rakyat ke dalam peti yang telah mati yang siap membantu untuk di bawa menemuken dengan ambulan bukti ini dan turut serta mengangkat Peti mati berisi jenasah ini jasad Jenderal hingga jumlah dimasukan ke dari pada dalam ambulan korban seluruhnya dapat kami temuken sekianlah yang Ambulan pun perlu kami pergi jelasken pada
PENANDA (SIGNIFIED)
Adegan ini menjadi pelengkap bahwa peran Soeharto dalam mengusut ksus kudeta ini sangat vital. Dan dia pun menyampaikan kepada masyarakat luas dengan pidatonya yang menandakan bahwa dia sangat mengapresiasi semua kerja keras yang dilakukan semua kesatuan dan rakyat dalam pencarian terhadap para jenderal yang diculik. Adegan ini pun diakhiri dengan ucapan terima kasih.
86
Medium Shoot
meninggalkan sodara sodara lokasi Lubang sekalian Buaya. terimakasih.
Adegan ini menjadi puncak dari semua upaya yang dilakukan oleh Soeharto dan pasukannya. Dalam adegan ini Soeharto digambarkan sebagai sosok yang sangat mengapresiasi semua upaya yang telah dilakukan oleh kesatuan dan rakyat dalam mencari jasad para Jenderal yang hilang. Ucapan terima kasih nya menandakan bahwa ia senang dengan ditemukannya semua jasad para Jenderal dan mengakhiri gerakan kudeta yang dilakukan oleh pihak Partai Komunis Indonesia (PKI).
87
B. Analisis Propaganda Film Pengkhianatan G 30 S PKI Analisis propaganda yang pertama yaitu pada adegan-adegan dengan tema yang menggambarkan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), yaitu: 1. Analisis Propaganda Pada Adegan Penyerbuan Terhadap Tempat Training Center Pelajar Islam Indonesia Dalam adegan ini teknik propaganda yang digunakan adalah teknik Name Calling (penjulukan). Dalam teknik ini propagandis memberikan label buruk kepada yang ingin dituju dalam hal ini media yang mempropagandakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah kejam dan cerdas dalam melaksanakan aksinya. Dalam adegan ini diawali ketika para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan penyerangan pada waktu umat muslim sedang melaksanakan ibadah Solat Subuh dan melakukan perusakan terhadap kitab suci Al-Qur’an. Begitu terkena terpaan propaganda ini, target propaganda dalam hal ini masyarakat sebagai penonton film ini akan menolak atau mengutuk Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa harus melihat fakta-fakta dan bukti-bukti lagi, dikarenakan dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam membuat adegan ini sangat berpengaruh terhadap pandangan masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam terhadap gerakan komunis yang sangat radikal dan merupakan musuh bagi agama Islam itu sendiri. Dalam adegan penyerbuan terhadap tempat training center pelajar Islam Indonesia ini terdapat bentuk kekerasan terbuka yang ditampilkan dalam bentuk pemukulan, pengeroyokan baik dengan tangan hampa maupun dengan senjata
88
tajam. Hal ini menunjukan bahwa dalam adegan ini menampilkan sosok Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tidak mengenal ampun dalam melakukan aksinya. Mereka tidak segan memukuli dan menghabisi para musuh mereka baik dengan tangan kosong maupun dengan menggunakan senjata tajam yang semakin memperkuat kebencian para masyarakat khususnya umat Islam yang menonton film ini dan melihat para saudaranya dikeroyok oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
2. Analisis Propaganda Pada Adegan Pemberitaan Kekerasan Yang Dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) Dalam adegan ini teknik propaganda yang dilakukan adalah teknik Testimony (kesaksian).
Dalam penerapan teknik propagandis biasanya
menggunakan pribadi atau lembaga yang dapat dipercaya untuk mendukung atau mengkritik sebuah gagasan atau kesatuan politik. Dalam adegan ini menampilkan beberapa surat kabar yang memperlihatkan kekejaman anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di berbagai daerah di tanah air. Adegan yang menjadi pelengkap setelah adegan pengeroyokan terhadap pelajar Islam Indonesia ini seakan memberikan penguatan terhadap adegan tersebut dengan berbagai berita yang ditampilkan. Pemberitaan ini pun akan membuat dampak negatif terhadap citra Partai Komunis Indonesia (PKI), dimana kekejaman yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) bukan hanya sebatas kepada umat muslim saja melainkan kepada seluruh rakyat Indonesia yang membuat semua rakyat indonesia ikut membenci para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberitaan ini pun sudah menyebar luas
89
keseluruh negeri, dan dengan banyaknya pemberitaan tersebut yang membuat para masyarakat yang menjadi penonton semakin percaya dengan adanya buktibukti pemberitaan yang sah dari beberapa media cetak pada saat itu. Dalam adegan ini pun diselipkan adegan kekerasan terbuka dengan menampilkan pemberontakan yang terjadi di Madiun pada tahun 1948 yang kemudian semakin mempertegas pemberitaan tersebut dengan adanya bukti kekerasan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekerasan yang ditampilkan dalam adegan ini menjadi pelengkap dengan berbagai berita yang ditampilkan seakan ingin membuat kesan bahwa berita ini tidak dibuatbuat dan memang benar adanya yang kembali memperkuat adegan tersebut dan membuat persepsi masyarakat yang menjadi penonton semakin percaya bahwa gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) ini sudah tidak bisa dimaafkan.
3. Analisis Propaganda Pada Adegan Penyerangan kepada Brigjen D.N Pandjaitan Dalam adegan ini teknik propaganda yang dilakukan adalah teknik Fear Arousing (membangkitkan ketakutan). Teknik ini adalah sebuah cara untuk mendapatkan dukungan dari target massa agar semakin membenci gerakan gerakan komunis dengan menimbulkan emosi negatif. Dalam adegan ini memperlihatkan pembunukan D.N. Pandjaitan yang dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam penculikan di rumahnya. Adegan yang membangkitkan ketakutan ialah ketika para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) diperlihatkan sebagai sosok yag sangat tidak sabar dan kasar. Puncaknya ialah ketika D.N. Pandjaitan sudah bersedia untuk
90
ikut dengan pasukan Partai Komunis Indonesia (PKI) namun ketika sudah keluar rumah D.N. Pandjaitan berdoa sejenak sebelum meninggalkan rumahnya, lalu para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) menunjukan sikap ketidaksabarannya dan langsung menghabisi nyawa D.N. Pandjaitan dengan tembakan. Kemudian hal ini diperparah dengan adegan anak perempuan D.N. Pandjaitan yang berlari sambil menangis histeris menghampiri lokasi penembakan sambil mengambil sisa-sisa darah D.N. Pandjaitan dan mengoleskannya ke mukanya. Dalam adegan ini menimbulkan kekerasan terbuka yaitu melakukan penembakan secara langsung dan memeperlihatkan darah segar akibat tertembaknya D.N. Pandjaitan yang langsung meninggal di lokasi kejadian. Hal ini membuat rasa benci dalam benak masyarakat sebagai penonton dan membuat persepsi bahwa kekerasan yang dilakukan oleh para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah keterlaluan dan sudah tidak bisa dimaafkan karena sudah berani membunuh dalam setiap aksinya.
4. Analisis Propaganda Pada Adegan Penganiayaan di Lubang Buaya Dalam adegan ini teknik propaganda yang dilakukan adalah teknik Fear Arousing (membangkitkan ketakutan). Teknik ini adalah sebuah cara untuk mendapatkan dukungan dari target massa agar semakin membenci gerakan gerakan komunis dengan menimbulkan emosi negatif dalam hal ini melihat kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh para anggota Partai Komunis Indonesia dalam menyiksa para Jenderal di Lubang Buaya hingga meninggal dunia. Dalam adegan penganiayaan di Lubang Buaya ini memperlihatkan
91
sebuah kekejaman yang sangat tidak bisa dimaafkan, dikarenakan penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indinesia (PKI) sangat melewati batas, selain itu setelah melakukan penganiayaan tersebut, para jenderal kemudian dimasukan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya dan dikubur di dalamnya secara bersamaan yang membuat penganiayaan ini semakin membuat para penonton murka. Dalam adegan ini menampilkan kekerasan terbuka yaitu pemukukan, penganiayaan dan penyiksaan yang membuat para penonton akan terpacing emosinya karena melihat kekejaman tersebut.
5. Analisis Propaganda Pada Adegan Perampasan Radio Republik Indonesia (RRI) oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) Dalam adegan ini teknik propaganda yang dilakukan adalah teknik Fear Arousing (membangkitkan ketakutan). Teknik ini adalah sebuah cara untuk mendapatkan dukungan dari target massa agar semakin membenci gerakan gerakan komunis dengan menimbulkan emosi negatif. Dalam adegan ini memperlihatkan ketika para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) berupaya pendudukan Radio Republik Indonesia (RRI) dan TELKOM. Setelah mereka menguasai tempat tersebut, kemudian mereka menyebarkan berita palsu yang disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) melalui penyiar yang memberitakan kepada masyarakat Indonesia bahwa telah ada KUP dari Dewan Jenderal. Adegan ini pun menimbulkan kesan negatif bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan cara kotor dengan
92
menyampaikan berita palsu kepada seluruh rakyat yang semakin mempertegas watak negatif para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam melancarkan aksi kudeta yang dilakukannya. Dalam adegan ini terdapat kekerasan terbuka yaitu ketika melakukan penyerbuan terhadap Radio Republik Indonesia (RRI), para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) menggunakan senjata tajam dan senjata api demi menaklukan tempat yang sangat strategis pada wakti itu. kemudian ditambah dengan adanya adegan penodongan senjata di kepala penyiar yang sedang melakukan penyiaran agar mau memberitakan berita yang dipesan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) ini membuat aksi ini semakin menakutkan, karena jika tidak mau mengikuti arahan dari para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) maka si penyiar tidak segan akan dibunuh.
93
Analisis propaganda yang kedua adalah pada adegan-adegan dengan tema yang memperlihatkan kekuatan orde baru atau seoharto yang menjadi pahlawan dalam mengatasi kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam adegan ini ditampilkan peran Soeharto dalam menumpas kejahatan seperti seorang pahlawan yang membuat gerakan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) ini berakhir dan dimusnahkan. 1. Analisis Propaganda Pada Adegan Soeharto Memberitahukan Bahwa Tidak Ada Gerakan Dewan Jenderal Dalam adegan ini teknik propaganda yang dilakukan adalah teknik Glittering
Generality
(kemilau
generalitas),
yaitu
berupaya
untuk
membangkitkan emosi, semangat, dan gairah khalayak atau massa dengan katakata yang mengandung spirit. Dalam adegan ini Soeharto dengan tegas dan lantang layaknya seorang pemimpin menjelaskan bahwa tidak ada gerakan Dewan Jenderal yang selama ini diisukan oleh para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai alasan melakukan setiap aksinya, hal ini membuat nama angkatan darat menjadi bersih dari tuduhan tersebut. Selain itu dalam adegan ini menampilkan citra baik bahwa Soeharto sebagai
sosok tegas dan berjiwa pemimpin yang akan
memerangi kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan adanya adegan ini membuat para masyarakat yang menjadi penonton menganggap bahwa sosok Soeharto lah yang menjadi pahlawan di dalam gerakan ini untuk menumpas para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menggila. Sosok kepemimpinannya dalam adegan ini membuat masyarakat yakin bahwa Soeharto lah pemimpin sebenarya bukan seorang
94
Presiden Soekarno karena dalam adegan ini tidak dimunculkan sama sekali sosok Presiden Soekarno
2. Analisis Propaganda Pada Adegan Seoharto Memerintahkan Untuk Mengambil Alih RRI Dan TELKOM Yang Dirampas Oleh PKI Dalam adegan ini teknik propaganda yang dilakukan adalah teknik Glittering
Generality
(kemilau
generalitas),
yaitu
berupaya
untuk
membangkitkan emosi, semangat, dan gairah khalayak atau massa dengan katakata yang mengandung spirit. Dalam adegan ini Soeharto meminta para pasukan untuk merebut kembali Radio Republik Indonesia (RRI) dan TELKOM yang saat itu sedang dikuasai oleh para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam adegan ini memperlihatkan sosok Soeharto lagi-lagi seperti menjadi sosok pahlawan dengan memerintahkan kesatuannya untuk segera mengambil alih kembali Telkom dan Radio Republik Indonesia (RRI) dari penguasaan Partai Komunis Indonesia (PKI). Atas perintah Soeharto lah gerakan kudeta yang dilakukan oleh para angota Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengambil alih Radio Repubik Indonesia (RRI) dan TELKOM bisa dihentikan. Adegan ini semakin memperkuat persepsi masyarakat yang menonton film ini, karena masyarakat diperlihatkan adegan yang membuat mereka lega dengan hadirnya sosok Soeharto sebagai pahlawan yang menghentikan peristiwa tragis yang hampir saja membuat negara ini menajdi negara komunis. Harapan mulai muncul dan dengan adanya adegan ini memuat penawar dari adegan awal yang sangat menyakitkan untuk dilihat.
95
3. Analisis Propaganda Pada Adegan Ucapan Terimakasih Oleh Soeharto Atas Ditemukannya Jasad Para Korban Dalam adegan ini teknik propaganda yang dilakukan adalah teknik Glittering
Generality
(kemilau
generalitas),
yaitu
berupaya
untuk
membangkitkan emosi, semangat, dan gairah khalayak atau massa dengan katakata yang mengandung spirit. Dalam adegan ini Soeharto mengucapkan terimakasih kepada tuhan, kesatuan dan rakyat yang telah membantu pencarian dan penggalian jasad para Jenderal yang terkubur di Lubang Buaya. Hal ini membuat haru dan sekaligus mengakhiri peristiwa kejam dari pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Adegan ini menjadi adegan puncak yang memperlihatkan kebaikan, kepemimpinan dan kepahlawanan sosok Soeharto dalam film ini. Masyarakat yang melihat sebagai penonton akan merasa sangat bangga dengan kehadiran Soeharto sebagai pahlawan yang menumpas gerakan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Penonton merasa senang dan bersemangat ketika film ini berakhir karena semua kudeta yang dilakukan oleh para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) telah berakhir dan para jasad jenderal yang dikubur di Lubang Buaya telah ditemukan dan dimakamkan
di
tempat
yang
layak.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari temuan dan hasil analisis data pada film Pengkhianatan G 30 S PKI, adalah sebagai berikut: Tanda kekerasan yang ditampilkan dalam film ini menggambarkan sifat kebrutalan dan kekejaman dalam proses kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Berbagai adegan-adegan yang menandakan kekerasan dalam film ini membuat rasa kebencian itu timbul dibenak para penonton dan upaya penumpasan gerakan pengkhianatan yang dilakukan oleh Soeharto dan pasukannya membuat sebaliknya, yaitu para penonton bangga dan senang karena telah hadir sosok pahlawan yang menumpas semua kekerasan yang dilakukan dalam pemberontakan yang menewaskan para Jenderal elit di Angkatan Darat. Kekerasan yang ditampilkan didalam adegan yang menjadi fokus penelitian ini adalah kekerasan terbuka, dimana banyak adegan pemukulan, pengeroyokan, penganiayaan hingga pembunuhan secara terang-terangan yang dilakukan oleh para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika melakukan pemberontakan, khususnya pada saat melakukan adegan penculikan terhadap para Jenderal dan pengasingan di daerah Lubang Buaya. Propaganda dalam penelitian ini adalah bentuk kekerasan terbuka yang ditayangkan dalam film ini, dimana dalam film ini banyak menampilkan adeganadegan kekerasan terbuka yang sangat kejam dengan banyak menampilkan
96
97
penyiksaan dan penganiayaan tanpa sensor yang dilakukan oleh simpatisan dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) terhadap lawannya yang akhirnya menimbulkan propaganda anti-PKI. Teknik propaganda yang dipakai dalam film ini adalah Name Calling (penjulukan), Testimony (kesaksian), Fear Arousing (membangkitkan ketakutan). Glittering Generality (kemilau generalitas). Namun teknik yang sering dipakai untuk merepresentasikan kekerasan adalah teknik Fear Arousing (membangkitkan ketakutan) dan teknik yang menggambarkan sosok kepahlawanan adalah teknik Glittering Generality (kemilau generalitas). B. Saran Saran-saran yang bisa diberikan peneliti yang bisa dijadikan bahan masukan dan evaluasi terhadap film Pengkhianatan G 30 S PKI. Saran-saran ini ditujukan oleh penulis kepada: 1. Sutradara Seharusnya Sutradara dalam mengemas film ini lebih banyak memberikan adegan dari masyarakat biasa agar lebih menarik jalan ceritanya dan tidak bosan karena dalam durasi yang panjangnya lebih dari tiga jam. Contohnya seperti adegan salah seorang tokoh laki-laki yang berulang kali mengungkapkan kemarahannya kepada PKI dan pemerintah yang menyebabkan kemiskinan merajalela.
2. Penonton Untuk khalayak pecinta film harus lebih teliti melihat makna film yang ditonton. Serta harus cermat dalam memaknai pesan yang disampaikan sebuah
98
film tersebut, karena sejatinya banyak pesan yang tersirat dan ada muatan kepentingan yang ingin disampaikan oleh pihak yang membuat film tersebut, apalagi film ini adalah salah satu film sejarah yang selalu ditayangkan pada masa lalu. Serta penonton harus mengabil pelajaran berharga yang bisa dipetik dari pesan yang disampaikan film yang ditonton. 3. Civitas Akademika Diharapkan universitas menyediakan sarana yang memadai untuk mendukung, perkuliahan khususnya dalam bidang broadcast dan perfilman. Agar mahasiswa bisa mempraktekkan teori-teori yang sudah didapatkannya, serta mempunyai skill yang memadai untuk terjun dalam dunia broadcast dan perfilman. Serta memberikan dosen yang mumpuni dan berkompenten dibidang Broadcast dan perfilman.
DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Buku Ardianto, Elvinaro dan Komala, Lukiati. Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007. Danesi, Marcel. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra, 2010. de Saussure, Ferdinand. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988) Hamid, Joni Arman. Dasar-dasar Fotografi dan Kamera Televisi. 2014 Haryatmoko, Etika Komunikasi. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Jumroni, Metode-Metode dan Penelitian Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. Kriyantono, Rachmat. Tehnik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2010. Maleong, J. Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Mulyana, Deddy. Metodelogi Penelitian Kualitatif. bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003. Notosusanto, Nugroho dan Saleh, Ismail. Tragedi Nasional Percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia. Jakarta: PT. Pembimbing Masa 1968. Nurudin, Komunikasi Propaganda. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008. Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2007. Pintoko, Wahyu Wary. dan Umbara, Diki. How to Become A Cameraman. Yogyakarta: Interprebook, 2010. Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2009. Rachmat, Jalaluddin. Metodologi Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001. Ruslan, Rosady. Metodologi Penelitian Public Relation dan Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Shoelhi, Mohammad. Propaganda Dalam Komunikasi Internasional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012. Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009. Tebba, Sudirman. Etika Media Massa Indonesia. Tangerang: Penerbit Pustaka irVan, 2008.
B. Sumber Internet Academia, Kekerasan, artikel diakses pada 12 maret 2015 dari https://www.academia.edu/6469488/Kekerasan Indonesia, Film. Pengkhianatan G 30 S PKI, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://filmindonesia.or.id/movie/name/nmp4b9bad3d5d1cb_arifin-cnoer#.VMI8QtKUdmw PFN, Film Penghianatan G30S PKI, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://pfn.co.id/id/portfolio/film-penghianatan-g30s-pki/ Wikipedia, Gufran Dwipayanan, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Gufran_Dwipayana Wikipedia, Orde Baru, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Orde_Baru Wikipedia, Partai Komunis Indonesia, artikel diakses pada 23 Januari 2015 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia