Membongkar Propaganda Film Joshua Komentar: Setelah membaca dan mempejajari tulisan Kristian Ginting, yang berjudul Membongkar Propaganda Film Joshua, saya juga menyadari bahwa masalah-masalah yang di ungkapkan dalam film ``Ack of Killing``, tidak dapat dimengerti secara tepisah dari peranan rezim militer fasis pimpinan jendral TNI AD Soeharto, CIA, Imperialisme AS, PP, Jendral TNI AH Nasutuon dll, selain itu juga peranan para Ulama NU. Masalah-masalah itu adalah merupakan masalah sistemik, artinya bahwa semuanya saling terkait dan tergantung satu sama lain. Kita memiliki dokumentasi yang cukup tentang masalah-masalah pembantaian massal jutaan rakyat Indonesia yang tak bersalah, dan masalah-masalah penting lainnya, seperti yang diungkapkan dalam tutisan Kritian Ginting, yang berkaitan dengan konteks ini. Kesimpulan akhir : Film “Ack of Killing” hayalah merupakan salah satu fenomena pembantaian massal yang terjadi Medan, jadi tidak dapat digunakan untuk menerangkan Kejahan berat kemanusiaan secara keseluruhan, yang terjadi di NKRI, yang dilakukan oleh rezim NKRI dibawah kekuasaan jendral TNI AD Soeharto, yang mendominasi kekuasaan politik di NKRi selama 32 tahun lamanya. Selamat Tahun Baru 2015. Roeslan. Von:
[email protected] [mailto:
[email protected]] Gesendet: Dienstag, 30. Dezember 2014 14:11 An: Temu Eropa; Sastra Pembebasan; DISKUSI FORUM HLD Betreff: [temu_eropa] Membongkar Propaganda Film Joshua
Sebuah pendapat/analisa yang mencoba menembus gejala luar dan mencapai pada hakekat film itu sendiri. Contoh ketajaman dalam menganalisa sebuah produk kebudayaan dari kawan generasi muda. Sungguh sangat menarik.
Membongkar Propaganda Film Joshua Oleh: Kristian Ginting 29 december 2014 om 12:08
1
Saya belum menonton film berjudul Senyap atau The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer. Saya bahkan tak [lagi] tertarik untuk menontonnya. Selain karena sudah membaca banyak kritik dan pendapat orang tentang film itu, juga karena film sebelumnya: Jagal atau The Act of Killing. Film Jagal bagi saya nyaris sama dengan sejarah yang dipropagandakan Orde Baru. Meski di awal film Joshua menyinggung sedikit soal peran militer/TNI dalam tragedi kemanusiaan 1965-1966, namun di ujung film, Joshua menyuguhkan bagaimana Anwar Congo, “Sang Jagal” menyesal, menangis, dan trauma atas perbuatannya yaitu membantai kaum komunis Medan, Sumatera Utara. Karena itu, saya menangkap kesan Anwar Congo juga merupakan “korban” dari peristiwa tersebut. Ada beberapa alasan mengapa film tersebut saya anggap sebagai propaganda sejarah Orba. Pertama, Joshua lewat filmya itu tak berupaya mencari, menggali atau seolah-olah lupa bahwa Pemuda Pancasila dibentuk para jenderal anti-komunis, salah satunya adalah AH Nasution [sejarah pembentukan PP akan saya terangkan kemudian]. Maka, tak heran mengapa PP kemudian berada di bawah Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia,partainya para tentara yang dibentuk Nasution, Gatot Subroto dkk pada 20 Mei 1954. Kedua, dengan melupakan sejarah pembentukan PP, maka pembantaian kaum komunis di Kampung Kolam, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deliserdang pada 1965-1966 seperti yang digambarkan Joshua, seolah-olah hanya konflik antar-masyarakat [antar-ormas] tanpa adanya campur tangan militer dan lebih jauh seolah-olah tak ada campur tangan lembaga intelijen negara imperialis Amerika Serikat yaitu CIA. Terakhir, keberadaan PP sebagai sebuah ormas di Medan seolah-olah dibentuk untuk menandingi militansi Pemuda Rakyat [ormas PKI] secara politik. Padahal kita ketahui kiprah PP dari awal hingga saat ini identik dengan premanisme, kekerasan dan suka memalak pedagang sebagai jatah preman atas nama keamanan. Ganjil Karena itu, lewat tulisan ini saya ingin mengungkapkan keganjilan-keganjilan yang ada pada film TAoK. Sebaga orang yang tak mengerti film, saya mempertanyakan apakah film dokumenter pada dasarnya tak membutuhkan hal-hal mendetail yang berkaitan dengan sejarah, misalnya. Sebab, ketiadaan hal-hal mendetail dalam film TAoK justru mengaburkan fakta pembantaian kaum komunis Medan pada 1965-1966.
2
Keengganan Joshua untuk menyelidiki lebih jauh tentang sejarah PP di Sumut dan bagaimana hubungannya dengan TNI juga patut dipertanyakan. Lalu, Joshua juga tak menjelaskan sejak kapan Anwar menjadi “orang” PP? Apa jabatannya dalam ormas tersebut? Dan benarkah hanya Anwar satu-satunya jagal dalam tragedi 1965-1966 di Medan? Mengapa Joshua sama sekali tak menyinggung nama Efendi Nasution atau Pendi Keling [pendiri dan ketua pertama PP Sumut dan Ketua II Partai IPKI Sumut] Ucok Mayestik [pendiri PP], Yan Paruhum Lubis, atau Amran YS, misalnya? Dalam tulisan ini saya membedakan antara Ucok Mayestik dan Yan Paruhum Lubis berdasarkan keterangan ayah saya. Menurutnya, Ucok dan Yan Paruhum Lubis adalah 2 orang yang berbeda. Yan merupakan generasi selanjutnya setelah kepengurusan Pendi Keling dan Ucok di ormas PP. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Joshua memilih Anwar Congo untuk filmnya? Padahal nama-nama terakhir yang saya sebutkan cukup terkenal di Medan, baik sebagai pendiri PP maupun dalam dunia preman. Amran YS, misalnya, “ketokohannya” itu justru mengantarkannya sebagai orang “penting” di Sumut. Setidaknya Amran dikenal sebagai tokoh pemuda, tokoh olahraga, dan menjadi anggota DPRD Sumut pada periode 1999-2004. Pada titik inilah mengapa saya tak setuju dengan tulisan Rio Apinino yang berjudul “Sebuah Catatan Setelah Menonton Senyap” dimuat www.perspektifnews.com pada 12 Desember 2014. Dalam tulisannya, Rio berpendapat hasil penelitian Wijaya Herlambang yang telah dibukukan dengan judul “Kekerasan Budaya Pasca 1965” tak dapat menjelaskan kekerasan yang terjadi di daerah-daerah. Sebab, kekerasan yang terjadi di daerah lebih kompleks dan mendalam sehingga akan berbeda-beda tergantung lingkup geografisnya. Rio lalu mengambil contoh pembantaian kaum komunis di Medan yang menyebut ormas PP sebagai “aktor”pembantaian. Sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur aktornya justru para agamawan, dalam hal ini Nahdlatul Ulama. Menurut saya, pendapat Rio itu justru bentuk keberhasilan propaganda dari film Joshua. Seolah-olah ormas PP di Medan dan NU di Jawa adalah aktor tunggal dalam pembantaian tersebut tanpa berupaya melihat hubungan ormas itu dengan militer dan sejarah pembentukannya. Penelitian Wijaya justru membantu dan membongkar hubungan antar-lembaga yang selama ini “gelap” dan “abu-abu” menjadi terang benderang
3
sebagaimana dia membongkar hubungan yang dijalin kelompok seniman Manifes Kebudayaan dan Ivan Kats, perwakilan Congress for Cultural Freedom di Asia. Seperti halnya ormas PP, Manikebu yang dibentuk pada Agustus 1963, menurut Wijaya tak semata-mata untuk kebudayaan, tapi sesungguhnya untuk memberangus paham komunisme di Indonesia, pemberangusan yang menjadi bagian politik kapitalisme global negara imperialis AS. Jauh sebelum Manikebu dideklarasikan, untuk mempromosikan liberalisme sebagai upaya melawan komunisme di bidang kebudayaan, pemerintah AS mendirikan CCF di Berlin pada 1950 melalui agen CIA Michael Josselson. Misinya jelas. Agar para seniman dan intelektual di seluruh dunia lepas dari komunisme. CCF dikendalikan oleh unit khusus CIA dengan nama Office of Policy Coordination yang dikepalai Frank Wisner. Mochtar Lubis sebagai pemimpin harian Indonesia Raya [1949-1974] dikenal cukup dekat dengan pemimpin Partai Sosialis Indonesia seperti Sjahrir serta Sumitro Djojohadikusumo dan juga berpengaruh membangun jaringan dengan Barat. Bersama dengan elite PSI itu, Mochtar menjadi akrab dengan CCF dan akhirnya menjadi anggota pada 1954, setahun sebelum kongres pertama CCF di Asia. Sedangkan Sumitro ditunjuk sebagai ketua kehormatan konferensi CCF di Asia. Dari sinilah bermula terjalin kedekatan Mochtar Lubis dengan Ivan Kats, perwakilan CCF untuk Asia. Bahkan kedekatan hubungan tersebut berlanjut hingga generasi setelahnya, yakni Goenawan Mohammad. Seperti Wijaya, Suar Suroso lewat bukunya berjudul “Akar dan Dalang” [2013] memaparkan tentang rencana imperialis AS untuk menghadang lajunya komunisme setelah Perang Dunia II. Awalnya, penghadangan tersebut ditujukan untuk Eropa dan Jepang lalu berkembang dan meluas ke negara-negara lainnya termasuk Indonesia. Kebijakan penghadangan laju komunisme itu disebut sebagai the policy of containment yang diterbitkan pemerintah AS pada 1946. Suar juga menyebutkan peran CIA dalam pembantaian kaum komunis pada 1965-1966. Menurut Suar, bekas pejabat CIA, Ralph Mcghee, penulis buku Deadly Deceits-My 25 Years in the CIA menulis sejumlah artikel pada 1980 hingga awal 1990, dimana dia memaparkan bahwa CIA dan Kementerian Luar Negeri AS terlibat dalam menyusun nama-nama orang PKI yang diserahkan kepada tentara. Itu kemudian dipergunakan dalam pembantaian1965-1966. Tesis Wijaya
4
Tesis Wijaya juga mendapat pembenaran dari pengakuan Ucok Mayestik yang juga mengaku sebagai Yan Paruhum Lubis. Ucok mengajukan keberatan atas pemberitaan Majalah Tempo Edisin 22-28 Oktober 2012 yang memuat liputan utama tentang film Joshua antara lain soal sejarah pembentukan PP, dan soal “ketokohan” Anwar Congo. Ucok bercerita, bersama dengan Sekretaris IPKI Sumut Kosen Cokrosentono dan Ketua II Partai IPKI Bidang Pemuda, Pendi Keling berangkat ke Jakarta pada Maret 1962 untuk bertemu Ratu Aminah Hidayat di Menteng Raya 70, serta Jenderal Nasution di Cijantung. Kedua orang itu, kata Ucok, meminta mereka untuk membentuk ormas sebagai sayap partai IPKI di Sumut dan Medan seperti Kubu Pancasila, Pemuda Pancasila, Sarjana Pancasila dan lain sebagainya. Misinya: untuk menjaga keutuhan tegaknya 4 Pilar Kebangsaan. Ratu Aminah Hidayat menjelaskan, pada 1959, IPKI telah membentuk Pemuda Patriotik. Lalu pada 1960 dalam kongres pertama IPKI di Lembang-Bandung, Pemuda Patriotik berubah nama menjadi Pemuda Pancasila. Sepulang mereka dari Jakarta, pada Juni 1963, Pendi Keling dilantik sebagai Ketua PP Wilayah Sumut di Balai Selekta, Jalan Listrik, Medan. Karena tak hadir dalam pelantikan itu, pengurus IPKI Sumut menunjuk Ucok sebagai Ketua Kubu Pancasila Sumut dan Koordinator PP Medan. Bukan ingin membenarkan apa yang dilakukan Ucok dan PP, namun ceritanya dan film Joshua saling bertolak belakang. Sejak awal pembentukannya pada 1963, nama Anwar Congo sama sekali tak ada dalam susunan pendiri ormas PP Sumut dan Medan. Cerita yang hampir serupa disampaikan ayah saya [Satria Ginting, sekitar 70 tahun] yang pernah aktif dalam ormas Pemuda Indonesia, sayap Partindo pada 1960an. Bedanya, menurut ayah saya, Ucok dan Yan Paruhum Lubis adalah 2 orang berbeda. Ayah saya menyebut Yan Paruhum Lubis merupakan adik seorang petinju kelas berat pertama dari Indonesia. Sedangkan soal Anwar Congo, ayah saya justru baru mengetahui dan mengenal namanya setelah film TAoK diputar. Ketika saya menyebutkan nama-nama seperti Pendi Keling, Amran YS, dan Ucok, ayah mengakui keterlibatan orang-orang tersebut dalam pembantaian kaum komunis di Medan. Sementara untuk pembantaian kaum komunis di Kampung Kolam, ayah saya secara khusus menyebut nama Pendi Keling. Pendirian PP pada 1963 di Sumut, kata ayah saya, sejak awal tak bisa dipisahkan dari militer. Baju kebesaran ormas PP, loreng berwarna merah itu sebagai tanda kedekatan mereka dengan tentara. Awalnya, ormas ini diperuntukkan bagi keluarga tentara, namun pada praktiknya secara struktur, ormas tersebut dikuasai oleh mereka yang aktif di
5
dunia preman. Itu sebabnya, sejak awal kehadiran ormas tersebut identik dengan premanisme, pemeras dan lain sebagainya. Ayah saya bercerita, Front Pemuda adalah wadah tempat berkumpulnya ormas kepemudaan dari berbagai latar belakang. Secara struktur Front Pemuda didominasi oleh Pemuda Rakyat dan Pemuda Marhaen [ormas PNI]. Sedangkan pengurus PP sama sekali tak mendapat tempat dalam Front Pemuda. Karena itu, sulit dikatakan jika Pemuda Rakyat merasa tersaingi dengan kehadiran PP. Ansor juga terlibat aktif dalam Front Pemuda. Meski didominasi Pemuda Rakyat, ormas sayap pemuda NU itu tak merasa tersisih. Sebab, kata ayah saya, siapapun tahu betapa militannya Pemuda Rakyat dalam mengkampanyekan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme. Kampanye ini pula yang merekatkan ormas-ormas yang memiliki kesamaan gagasan soal itu, termasuk Ansor. Jika ada yang merasa iri terhadap Pemuda Rakyat justru itu datang dari Pemuda Marhaen karena dominasi Pemuda Rakyat dalam kepengurusan Front Pemuda. Pembantaian kaum komunis di Medan baru terjadi beberapa bulan kemudian setelah peristiwa G30S meletus di Jakarta. Kalau pun ada pembunuhan dan penculikan itu masih bersifat individu-individu yang telah diincar oleh orang-orang tertentu. Ayah saya mengatakan, beberapa bulan setelah peristiwa G30S terjadi, seruan pembantaian terhadap kaum komunis di Sumut kali pertama datang dari pihak militer. Slogan mereka adalah ganyang PKI. Struktur TNI ketika itu terdiri atas 3 Komando Pertahanan Wilayah. Kowilhan I berbasis di Medan dan panglimanya adalah AZ Mokoginta, berpangkat letnan jenderal yang merupakan orangnya Jenderal Nasution. Sementara Panglima Kodam I Bukit Barisan adalah Mayor Jenderal Soewiran yang merupakan loyalis Bung Karno. Sedangkan Kepala Staf Kodam, Leopalisa merupakan pembina ormas PP, sehingga terjepitlah posisi Jenderal Soewiran. Jenderal Mokoginta-lah yangmenyerukan pengganyangan PKI melalui pidato terbuka. Menurut ayah saya, PP tak akan sanggup “menghabisi” PKI dan ormasnya di Kampung Kolam tanpa bantuan militer. Buktinya, PP kerap dipukul mundur oleh PKI beserta ormasnya. Ketika militer mulai ikut bertindak barulah kemudian PKI dan ormasnya berhasil dihabisi dan hingga kini belum diketahui berapa jumlah korban akibat pembantaian itu. Atas fakta-fakta di atas menjadi jelas bahwa tragedi 1965-1966 baik di Jakarta maupun di daerah-daerah seperti di Medan tak berdiri sendiri. Pembantaian kaum komunis oleh 6
ormas PP tanpa menyebutkan peran militer dan CIA harus ditolak seperti yang digambarkan film Joshua itu. Kita tak boleh lagi lengah dan mau disesatkan atas propaganda sejarah yang mau membenarkan pembantaian dan melanggengkan anti-komunisme. Atas alasan itulah mengapa saya pada akhirnya tak lagi tertarik untuk menonton film Senyap. Lalu bagaimana pula kita memaknai banyaknya penolakan atas pemutaran film Senyap di berbagai kota? Dapatkah itu kita simpulkan sebagai keberhasilan Joshua dalam mempropagandakan anti-komunisme?
7