POTRET ETIKA KELUARGA JAWA dalam FILM (Studi Semiotika Mengenai Etika Keluarga Jawa dalam Film Opera Jawa)
JURNAL Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Oleh:
Alvi Syahrin Tamami D1210005
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014
2
POTRET ETIKA KELUARGA JAWA DALAM FILM (Studi Semiotika Mengenai Etika Keluarga Jawa dalam Film Opera Jawa Karya Garin Nugroho)
Alvi Syahrin Tamami Sutopo Widyantoro
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract The objective of research was to find out how the Javanese family ethics is featured in Opera Jawa movie, in relation to many problems in family and ethics of Javanese family recently. The method employed in this study was movie semiotic derived from Roland Barthes’ semiotic method discussing the movie narration specifically in certain section. The data presentation was conducted using mise-en-scene technique, selecting and capturing the scenes selectively from “Opera Java” movie narration as the research object. The data presentation was conducted by dividing the movie narration into three elements: visual narration, auditory narration, and other symbolic elements. In line with Brathesian semiotic theory, the research analysis was divided into three stages: denotative, connotative, and ideological cultural meanings analyses. The result of research showed that “Opera Jawa” movie contained representative element in featuring Javanese family’s life and culture, and could give a complex and fundamental description on various family problems occurring. The conclusion of research was that the representation of Javanese family in this condition had been far from ethics and harmonic value. It was recommended to the audiences and the movie art lovers and particularly the Javanese people to keep maintaining Javanese ethic principles such as harmonious and respecting values.
1
Keywords: Semiotics, Javanese familial ethics, connotative,meaning of visualaudial texts/narration. Pendahuluan Membaca masyarakat Jawa adalah menemukan sebuah masyarakat dengan berbagai problematikanya yang kompleks. Adalah sesuatu hal yang ironis kiranya, meskipun tatar regulasi keluarga Jawa diperkuat oleh budaya, tradisi dan hukum adat, namun pada titik itu pulalah berbagai persoalan sosial sering terjadi. Persoalan dalam keluarga Jawa tercermin dari persoalan yang dialami oleh setiap individunya. Individu Jawa berada dibawah tekanan terus menerus, untuk mengontrol dorongan-dorongan spontannya dan untuk menyesuaikan diri dalam berbagai otoritas. Sebagaimana telah diutarakan, sikap individu Jawa ditentukan oleh prinsip-prinsip kerukunan dan hormat. Terus menerus individu berada di bawah tekanan masyarakat untuk bertindak sesuai kedua prinsip tersebut. Tekanan dari luar ini didukung dari dalam oleh perasaan isin dan sungkan. Kedua prinsip keselarasan tersebut menuntut agar dorongan-dorongannya sendiri senantiasa dikontrol demi mencegah adanya konflik (Suseno, 2003: 168). Satu-satunya ruangan yang relatif bebas dari tekanan itu adalah keluarga. Keluarga merupakan tempat orang Jawa menjadi dirinya sendiri, dimana ia merasa bebas dan aman, dimana ia harus mengerem dorongan-dorongannya dan apabila itu memang perlu maka hal itu tidak dirasakan sebagai heteronomi (Suseno, 2003: 169). Oleh karena itu keluarga merupakan suatu kenyataan yang mempunyai arti istimewa bagi manusia Jawa. Keluarga merupakan sandaran hati, tempat untuk berlindung yang dipercaya paling aman, bebas dari paksaan-paksaan lahir dan batin, di mana ia mempelajari keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai dasar moral (Wildan, 2009: 3).
Perumusan Masalah “Bagaimanakah etika keluarga Jawa ditampilkan dalam film Opera Jawa karya Garin Nugroho ?”
2
Tujuan Penelitian “Untuk mengetahui bagaimana etika keluarga Jawa ditampilkan dalam film Opera Jawa?”
Tinjauan Pustaka 1. Film Peter Woolen dalam Signs and Meaning in the Cinema (1969) menyatakan bahwa film memuat ketiga kategori tanda yaitu: ikon, index dan simbol, yang didasarkan pada pendekatan tanda oleh Charles Sanders Pierce. Pierce (dalam, Indriyani,
2008: 28) menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan
objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebabakibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tandatanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk hubungan sebab akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional. (Sobur, 2006: 34). Menurut Van Zoest, film lebih banyak menggunakan sistem tanda ikonik daripada sistem tanda yang lain. Christian Metz menegaskan bahwa sinema adalah juga bahasa, meski memiliki pengertian yang berbeda dengan bahasa verbal yang telah dikenal masyarakat. Bukanlah karena sinema adalah bahasa maka kemudian ia dapat menceritakan kisah-kisah, jalinan cerita secara baik, maka ia otomatis sudah dapat dianggap sebagai sebuah bahasa. Menurut Metz, film bukan sistem bahasa tetapi bahasa, sebuah shot selalu memberi kita lebih dari sekedar sebuah kata, barangkali malah tepat kalau diperbandingkan dengan sebuah kalimat. Tentu saja yang dijadikan titik tolak Metz adalah film narasi (narrative film), jenis film yang memiliki alur cerita realis, memiliki awal dan akhir “yang jelas”, dan merupakan jenis film yang banyak dikenal masyarakat. Dalam menjelaskan kategori paradigmatik dan sintagmatik dalam sinema, ia menolak anggapan bahwa hubungan paradigmatik dalam bahasa sinematografi itu tidak ada. Menurutnya, pada titik-titik tertentu sepanjang jalinan gambar,
3
terdapat unit-unit yang tidak bisa eksis sendiri sebagai sebuah peristiwa atau proses, maka unit-unit tersebut menggali maknanya dari anggota-anggota lain dalam paradigmanya. Sebuah shot gambar dalam film adalah sebuah kalimat (satu atau lebih kalimat) dalam bahasa, ia bukanlah sebuah kata, karena gambar ini hampir selalu menyertakan sesuatu (assertive), didalamnya memuat hasil dari kombinasi bermacam hal, seperti kata-kata yang telah tersusun. Sedangkan hubungan sintagmatik memiliki peran jauh lebih penting daripada hubungan paradigmatik, karena pengaturan gambar-gambar ke dalam susunan yang dapat dipahami–melalui cutting dan montage–yang membawa kita ke inti dari dimensi semiologi film. Dari aspek sintagmatik inilah narasi film dapat menjadi hidup dan dipahami. Film bisa dipahami sebagai suatu sistem tanda yang mengandung makna, atau semacam bahasa audio visual dengan pola grammar dan sintaksisnya sendiri. Sebagai konsekuensinya: “.........according to Christian Metz, that we will only be interested incertain aspect of film. We will be concerned only with the various ways inwhich particular film can have meaning and significance for normal spectators. We will be directly concerned with the nature of the film image, the relation between sound and image, and the effect of various kind of editing”. (Mast & Cohen 1979: 204). Dalam Indriyani, (2008: 30). Semua itu bisa kita temukan pada elemen-elemen struktural film-form (bagaimana gambar diciptakan atau framing, misalnya sudut dan gerakan kamera) dan film-content (apa yang ada dalam gambar) dan pada beberapa code of meaning-nya yang lebih mendasar seperti montage dan mise-en-scene. Montage artinya editing; membangun elemen-elemen film yang terpisah, membangun suatu scene melalui penggabungan beberapa shot. Sedangkan mise-en-scene artinya putting into scene; pengarahan bermacam-macam elemen pembuatan film dari actor hingga teknik pencahayaan ke dalam scene, terjadi di lokasi syuting (on the set) berlawanan dengan montage yang dilakukan sesudah pengambilan gambar selesai.
2. Semiotika
4
Pendekatan semiotika dipilih sebagai pisau analisis utama dalam penelitian ini, karena pendekatan ini bisa menguak kompleksitas dari sebuah narasi teks, termasuk narasi film, sehingga pada akhirnya bisa diperoleh makna-makna yang ada di dalamnya. Secara etimologis, semiotika berasal dari bahasa yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri di definisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat mewakili sesuatu yang lain (Sobur, 2001: 95). Analisis semiotik merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambanglambang pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah segala bentuk serta sistem lambang (sign) baik terdapat pada media massa (sepeti sebagai paket tayangan televisi, media cetak, film, radio dan berbagai bentuk iklan) maupun yang terdapat di media massa (seperti karya lukis, patung, candi, monument). Pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam teks yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik (Pawito, 2007: 156). Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang lain atau menambahkan dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai segala apapun. Diantara semua jenis tanda-tanda yang terpenting adalah kata-kata. Studi sistematis suatu tanda-tanda dikenal dengan semiologi. Arti harfiahnya adalah kata-kata mengenai tanda-tanda (Berger, 2005: 1). Terdapat dua nama yang berperan besar dalam sejarah kajian tentang tanda ini. yaitu Ferdinand de Saussure dari Prancis (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce dari Amerika (1839-1914). Saussure sebagai ahli linguistik, mengembangkan dari dasar-dasar linguistik dan memberi tekanan pada struktur yang menyusun tanda, sementara Peirce lebih menekankan pada konsep-konsep di luar tanda. Dalam usaha mencari makna suatu tanda, Pierce membuat teori triangle meaning yang terdiri atas sign, object dan interpretant. Salah satu bentuk dari tanda adalah kata, sedangkan object adalah sesuatu yang dirujuk tanda, sementara interpretant adalah tanda yang ada dalam
5
bentuk seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut (Sobur, 2001: 115).
Metodologi Pendekatan semiotika dipilih sebagai pisau analisis utama dalam penelitian ini, karena pendekatan ini bisa menguak kompleksitas dari sebuah narasi teks, termasuk narasi film, sehingga pada akhirnya bisa diperoleh makna-makna yang ada di dalamnya. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan cara meng-capture bagian-bagian adegan (scene) dan contain yang lain sebagai unit analisis yang penting, representatif dan terpilih dalam film “Opera Jawa”. Scene-scene dari film ini secara kronologis diolah dalam proses koding dan dijabarkan makna denotatif dan konotatifnya. Berdasarkan kerangka teori semiotika film, proses pengumpulan dan koding data akan didasarkan pada tujuan untuk melihat hubungan tanda dan makna film “Opera Jawa” dalam tiga tingkatan, yakni: 1. Tingkat Realitas: terdiri dari penampilan, pakaian, rias wajah, gerak tubuh, ekspresi, suara dan lain-lain. 2. Tingkat representasi: terdiri dari kamera, pencahayaan, editing, musik, lagu, nyanyian, dan hal lain yang ditransmisikan lewat narasi, konflik, karakter aksi, dialog dan lainnya.
Sajian dan Analisis Data A. Kodifikasi Tematik 1. Representasi Karakter Manusia Jawa 2. Karakter Manusia Jawa secara Individual Film Opera Jawa melukiskan karakter manusia Jawa berdasarkan representasi tokoh-tokohnya. Scene yang masuk ke dalam kodifikasi ini diantaranya adalah; 5, 7, 8, 15, 18, 19, 37,40, 41, 42. Scene-scene itu melukiskan beragam karakter manusia Jawa secara personal lewat
6
representasi tokoh-tokohnya. Berikut ini pemaparan karakter manusia secara individual yang ditampilkan dalam “Opera Jawa”: a) Tokoh Setyo: merupakan representasi sosok manusia Jawa elit, kesadaran kelas priyayi, mentalitas hirarkis, kepemilikan/posesifitas, dan cerminan subjek patriarki. Tokoh Setyo juga digambarkan memiliki. b) Tokoh Siti: representasi manusia Jawa priyayi, kesadaran seniman Jawa, kesetiaan perempuan, sosok wanita yang ikut dan terikat pada kultur patriarki Jawa. c) Tokoh Ludiro: representasi sosok manusia Jawa borjuis, kesadaran kelas menengah, kesadaran kekuasaan ekonomi, mentalitas dengan banyak kepribadian, personifikasi subjek kultur matriarki. d) Tokoh Suksesi: representasi wanita Jawa borjuis, kemandirian kaum wanita, watak budaya matriarki, simbol orangtua tunggal/singleparent. 3.
Karakter manusia Jawa secara Kolektif dan Relasional Sementara itu, karakter manusia Jawa secara kolektif tampak pada secene 7,8, 67, 78, 65, 42. Penggambaran karakter kolektif di sini maksudnya adalah melihat bagaimana watak, sifat dan perilaku keluarga Jawa dilihat dari interaksi antar individunya. Secara lebih spesifik, potret manusia Jawa
ini dapat kita lihat
dengan lebih dekat lewat relasi antar subjeknya, seperti hubungan seorang suami istri, dan hubungan seorang ibu dan anak. Representasi manusia Jawa secara relasional dapat dijabarkan sebagai berikut:
7
Scene 19
Scene 20
(00:20:59)
(00:20:33)
a) Hubungan dengan orang dekat/keluarga : 1) Hubungan Suksesi dengan Ludiro adalah hubungan orangtua tunggal dengan anak semata wayang, Suksesi cenderung memberikan keberlimpahan dan kemanjaan pada Ludiro. 2) Hubungan Ludiro dengan ibunya yang harmonis menunjukkan keutamaan posisi wanita dalam kelas sosial di mana Ludiro berada. Dalam teori etika Jawa Franz Magnis telah disebutkan bahwa bagi individu Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Itu pertama-tama berlaku bagi orang tua. Mereka adalah sumber pertama kesejahteraan jasmani dan rohani bagi anak mereka, dari mereka ia menerima berbagai macam kebaikan, dan berkat mereka ia mendapatkan kedudukan. Orang tua memberikan cinta kasih mereka kepada anaknya dan segala apa yang dibutuhkannya, tanpa menghitung dan tanpa prasarat. Mereka berusaha memaafkan kekeliruan dan kenakalan-kenakalannya,
dalam
keadaan
bagaimanapun,
mereka
merupakan batu karang keamanan bagi anak-anaknya (Suseno, 2003: 169). Keterkaitan teori dengan konteks film ini dalam tafsiran penulis adalah bahwa sosok Ibu Ludiro terlepas dari semua problem, memiliki tindakan cinta dan kasih sayang yang ideal yang menjadi dambaan setiap anak. Sekalipun di sini ada sisi-sisi tertentu yang „dirumpak‟ (dilewati dengan melebihi batas), namun dari adegan/scene inilah kita bisa melihat gambaran
bagaimana dukungan seorang ibu sangatlah berperan dan
menentukan dalam proses kehidupan seorang anak; dukungan dan restu seorang ibu akan menentukan tingkat keyakinan seorang anak dalam mengambil pilihan dan keputusan dalam hidup. b) Hubungan antara laki-laki dan perempuan/relasi gender:
8
1) Dalam tradisi patriarki, wanita harus patuh sepenuhnya pada suami, ini tercermin dari sikap Siti pada Setyo. 2) Dalam kehidupan kelas sosial bawah, kaum wanita sesungguhnya banyak dikecewakan oleh kaum laki-laki. 3) Lelaki dalam kultur patriarki sangat merasa memiliki/posesif dan berhak sepenuhya atas perempuan yang mendampinginya. Wanita digambarkan sebagai sosok yang hanya menjadi korban bagi kultur patriarki yang berfihak pada kepentingan kaum laki-laki. Salah satu sisi negatif dari keluarga tradisional Jawa adalah wanita diposisikan sebagai subordinan atas laki-laki dalam segala hal, dan secara otomatis terjadilah represi dari kaum laki-laki terhadap wanita. (Falah, 2008: 17). Film menggambarkan sisi lain dari kehidupan keluarga Jawa. Dalam teori etika Jawa disebutkan bahwasannya etika keselarasan secara teoritis memang menjadi dasar dari hukum keluarga Jawa. Keluarga Jawa mengatur interaksi-insteraksinya melalui dua prinsip, yakni prinsip kerukunan dan hormat, dan dua prinsip tersebut dijadikan landasan terciptanya harmoni didalam keluarga (Suseno, 2003: 69). Paparan teoritis ini merupakan idealitas nilai bagi kehidupan berkeluarga dalam masyarakat Jawa.
B. Paradoksi Simbolik atas Makna-makna di Dalam Hubungan Cinta Kasih dan Keluarga Film “Opera Jawa” memakai strategi paradoksi simbolik, artinya membenturkan suatu simbol atau tanda dengan simbol atau tanda lain yang memiliki makna kontras. Dengan strategi ini, sesungguhnya film “Opera Jawa” tengah membuka kemungkinan dari timbulnya makna-makna lain yang bisa ditangkap oleh penonton. Diantaranya adalah: 1. Hati Babi dan Tangan Sepasang Kekasih Sebagai pembuka cerita: “Sang Dalang bertutur bahwa ini adalah kisah Ramayana sebagai cerminan kehidupan manusia, tegasnya dalang menyatakan bahwa inilih
9
kisah Dewi Shinta”. Dalang juga berkata bahwa kebenaran adalah milik semua manusia, semua persepsi. Tembang dalang: “dalam hati babi seseorang bisa melihat seluruh kehidupan. kau bisa membaca takdir seseorang lewat hati seekor babi. cinta dan kematian menyatu. inilah kisah Dewi Sinta. dengarkanlah kisah Dewi Sinta. kaum lelaki dari berbagai tempat bersaing mendapatkan hatinya. sejak awal mula dunia ini ada. dari jaman nabi Adam hingga zaman Adam Smith. setiap orang ingin tau apa yang terjadi”
Scene 1 (00:01:43)
Scene 2 (00:01:56)
Pada scene 1 dan 2 digambarkan sepasang tangan kekasih, yakni tangan Setyo dan Siti yang saling terpaut, dan di bawah itu diletakkan seonggok hati babi. Dua simbol yakni sepasang tangan kekasih dan hati babi adalah simbol yang kontras dan paradoks. Sepasang tangan kekasih adalah simbol cinta kasih yang merupakan anugerah yang tinggi dan indah pada manusia, sedangkan hati babi adalah simbol dari kehinaan, kebinatangan dan kebrutalan. Pembenturan dua simbol ini memiliki keterkaitan dengan sifat tragis dari narasi kisah film ini, yakni dimana kisah cinta Setyo dan Siti berakhir dengan terbunuhnya Siti oleh Setyo. Kisah asmara Setyo dan Siti adalah sesuatu yang nihil
dan berakhir dengan kesia-siaan, di mana
sepasang hati yang awalnya bertabur cinta justru kemudian berakhir dengan penuh egoisme dan gelap mata. Simbol hati babi yang ditampilkan dekat dengan tangan sepasang kekasih itu adalah sebuah peringatan, sebuah siratan dari makna yang mengandung sarkasme yang sangat tajam;
10
bahwa meskipun tengah berada dalam gelombang asmara, tetapi hati manusia rentan tergelincir pada derajat hewani dan kebutaan nurani.
2. Rasa Posesif dan Penguasaan Berlebihan yang Dijustifikasi “Pada sepertiga malam, tidak bisa tidur bulan purnama menerangi alasan duduk sendirian dengan fikiran saya diterpa dengan angin lembab hati saya dingin sehingga benar-benar sendirian di dunia ... saya ... tidak ada saudara, tidak ada adik, ada sepupu di sini saya menderita hal ini bagai lempengan marmer miskin jiwa saya! tubuh saya yang buruk ! cintaku padamu ... seperti cintaku kepada bumi jadi saya telah memilih kamu Aku tidak hanya bumi, tetapi bumi dipercepat dengan kehidupan manusia Saya tidak diresapi dengan minyak bumi dan saya tidak memiliki hasil panen atau saya bumi yang suci atau bumi untuk diperjuangkan dalam pertempuran Aku dibuat sebagai manusia yang bisa berpikir yang memiliki tangan, yang memiliki kaki.
Scene 57 (01:15:15)
Scene 58 (01:18:04)
11
Kecemburuan telah membakar hati Setyo, ia melumuri tubuh Siti dengan tanah basah/lumpur. Tanah adalah benda yang fundamental dalam dari kehidupan manusia. ia adalah dasar dari segala sesuatu. narasi film ini mensejajarkan lambang tanah dengan perasaan cemburu yang meledak-ledak, dengan suatu kekuasaan posesif yang sangat mengikat dari seorang lelaki atas perempuan.
3. Kasih yang Tulus
Scene 3 (00:02:05)
Scene 6(00:08:37)
Percintaan antara Setyo dan Siti bermula dari pandangan pertama. Menunjukkan cinta mereka tulus pada scene 3. sejak tanah kita tandus, kita bagaikan Rama dan Sinta yang terbuang dari kampong halaman. apa yang tersisa dari kita hanyalah iman, harapan dan cinta. Setyo melantunkan syair yang menyatakan cintanya pada Siti; bahwa mereka laksana Rama dan Shinta, meskipun mereka “terbuang” dari tanah asal (dalam hal ini kraton dan posisi sosial didalmnya), tetapi cinta akan tetap menyatukan mereka. Meskipun kini sepasang kekasih itu terbuang dari Kraton, namun keduanya berjanji untuk tetap saling setia meski hidup dalam keadaan yang sangat sederhana.
12
Melalui karakterisasi tokoh dan pergerakannya dalam narasi, film ini memperlihatkan atau lebih tepatnya mempersonifikasikan cerminan keluarga yang telah gagal dalam mendidik putranya. Peranan Ibu Sukesi disini telah melanggar nilai-nilai etika kelurga Jawa, dimana beliau disini telah mendukung Ludiro untuk mendapatkan hati Siti, sementara Siti telah bersuami. Dalam titik ini, Suksesi tetap tidak tepat dalam bersikap karena telah mendukung anaknya untuk merebut istri orang lain, dengan alasan apapun. Dengan kata lain, film ini menyorot secara lebih dekat potret suatu keluarga, beserta sekian sistem nilai dan ideologi yang inheren di dalamnya, melalui bentuk yang nyata, dalam kesadaran dan perilaku setiap individu. Pola penggambaran dari film ini dalam melakukan pembacaan. (Istilah
“pembacaan”
di
sini
memiliki
makna
bagaimana
film
memvisualisasikan sebuah konteks menjadi sebuah adegan/scene. Proses visualisasi ini berdasar pada sebuah paradigma, pola kognitif dan pola mental tertentu yang dimiliki oleh si pembuat film, karena itu visualisasi adalah sebuah cara bagaimana film menafsirkan realitas). Konteks adalah dengan memakai logika negasi (logika negasi adalah sebuah bentuk logika yang melihat sesuatu entitas tidak sebagai sesuatu yang bulat, utuh dan positif, melainkan sebagai sesuatu yang problematis, yang memiliki kekurangan dan paradoks dan kontradiksi dalam dirinya). (Bagus. 2005: 123). Dalam menguraikan struktur sistem di dalam keluarga, di dalam persfektif “Opera Jawa”, semua sistem ; balik itu kultur patriarki, kultur matriarki, secara gamblang bahkan vulgar, juga ditampilkan segala batasan sisi kekurangan/kelemahan dari sistem-sistem dan ideologiideologi itu, terutama yang tercermin dari kelemahan subjek-subjeknya. a. Nihilisme Kultur Patriarki Kultur patriarki yang bergandengan dengan kesadaran kelas priyayi yang diwakilkan oleh sosok Setyo digambarkan sebagai
13
sebuah sistem nilai yang memiliki kehalusan, kecerdasan yang mendalam dan pengetahuan yang adiluhung tentang karakter manusia dan norma-norma dan budi pekerti. Namun, rupanya kesadaran kelas priyayi pun memiliki sisi lemah dan kekurangannya. Normatifitas dan budi pekerti formal yang melekat pada kesadaran Setyo sirna perlahan untuk kemudian musnah sama sekali saat ia berhadapan dengan goncangan-goncangan batin yang ia temui di kehidupan nyata, di luar wilayah kraton. Ciri dari kultur patriarki terutama adanya hierarki internal yang sangat senjang antara perempuan dengan laki-laki dalam hal peran publik; laki-laki memiliki peran sebagai pengatur keluarga dan memiliki wilayah aktualisasi diri yang lebih luas terutama dalam hal profesi. Sementara perempuan, selalu berposisi subrodinan di bawah laki-laki, ia hanyalah pendamping hidup suami yang harus ikut kemanapun suaminya memerintahkan dan menuruti apapun yang suaminya inginkan/perintahkan, dan wilayah aktualisasi dirinya terbatas di ruang domestik (urusan rumah tangga belaka). Kultur patriarki yang bergandengan dengan kesadaran kelas priyayi memang memiliki watak kebijaksanaannya sendiri. Ini tercermin dari bagaimana tuturan Setyo yang ditujukan kepada istri yang berisi wejangan, tutur kata yang santun dan sarat dengan nilai kearifan. Namun rupanya semua hal, semua landasan nilai yang dibangun oleh Setyo dalam kehidupannya terkikis dan sirna dengan cepat oleh beberapa hal; pertama, kekalahan kehidupan ekonomi Setyo. Tatkala ia menjauh dari lingkungan kraton, yang artinya ia sudah tidak mendapatkan pengayoman dan akomodasi lagi dari kraton, Setyo berjuang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi antara ia dan istrinya, namun rupanya mereka hidup dalam keadaan serba sangat pas-pasan, bahkan terkadang kebutuhan pangan mereka seringkali digambarkan kurang artinya kehidupan ekonomi Siti dan Setyo sangat sederhana dan tidak stabil.
14
Kedua, kejatuhan Setyo diakibatkan oleh kecemburuan dan prasangkanya yang berlebihan atas hubungan Ludiro dan Siti. Ini merupakan faktor dari puncak kejatuhan Setyo; kemarahan dan kecemburuan yang menghanguskan hati akhirnya mendorong Setyo untuk melakukan tindakan amoral yakni membunuh Siti dengan cara merobek dan mengambil hatinya. Tindakan Setyo yang kelewat batas ini menunjukkan bahwa betapa manusia yang terdidik dalam ajaran dan bentukan nilai-nilai bisa terjatuh, bisa melakukan hal-hal yang jauh bertentangan dengan ajaran nilai kraton yang membentuknya. Titik nihil dari kultur patriarki terletak pada penguasaan berlebih dari laki-laki atas perempuan itu sendiri. Rasa posesif yang berlebihan dari Setyo atas Siti membentuk Setyo merasa dirinya memiliki sepenuhnya atas diri Siti dan berhak melakukan apapun pada Siti, termasuk tindakan-tindakan hewani yang didasarkan pada amarah yang gelap mata.
b. Nihilisme Kultur Matriarki Meskipun konsep budaya matriarki memiliki pengertian sendiri yang ketat dalam konteks ajaran tradisional, namun dalam film Opera Jawa ini, kultur matriarki dikontekstualisasikan dengan kondisi keluarga Jawa kontemporer. Kultur matriarki di sini dilihat sebagai sistem sosial yang menjadikan perempuan sebagai pusat dari peran utama, perempuan adalah yang pemimpin. Dalam teks Opera Jawa, hubungan Suksesi (representasi kultur matriarki) sebagai ibu dari Ludiro (reprsentasi kekuasaan ekonomi) menunjukkan adanya hubungan antara kultur matriarki dengan kekuasaan ekonomi. “Opera Jawa” mempersepsikan kultur matriarki sebagai sistem sosial yang menjadikan kekuasaan ekonomi sebagai basis sistemnya, dengan kata lain kekuasaan kapitalisme adalah anak dari budaya matriarki. Simbol kaum raksasa.
15
Dengan tampilan etika keluarga Jawa, dalam film, “Opera Jawa” terkesan sebagai sebuah teks yang penuh dengan konflik di dalamnya. “Opera Jawa” menggambarkan betapa keluarga Jawa, sudah melenceng dari konsep rukun dan hormat, sesuai dengan teori Franz Magnis Suseno. Film “Opera Jawa” ini menyodorkan sebuah kritik nilai yang sangat tajam pada pemirsa bahwa sistem kekuasaan dan ideologi apapun memiliki kelemahan-kelemahan yang bisa menjeremuskan manusia
pada
arah
yang
salah.
Dengan
mempelajari
dan
mengantisipasi kesalahan-kesalahan dalam pola kekuasaan dan sistem yang ada, diharapkan agar kita bisa meningkatkan harmoni dalam membangun kehidupan dengan sesama manusia, yang salah satu bagian terpentinya adalah kehidupan berkeluarga.
Kesimpulan Berdasarkan proses dan hasil dari penelitian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Dengan strategi simbolisasi etika Jawa lewat teks audiovisual, film “Opera Jawa” ini tidak saja mempresentasikan kondisi aktual keluarga Jawa yang kini tengah rentan dengan konflik; seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, perceraian karena persoalan kondisi ekonomi yang minim, dan lain sebagainya sebagaimana yang terepresentasikan lewat film ini. Film “Opera Jawa” pun memperingatkan bahwa siapapun, sekalipun ia seorang ibu, bisa saja melanggar etika Jawa. Misalnya sebagaimana ditampilkan oleh sosok Ibu Ludiro yang tetap mendukung keinginan anaknya untuk mendekati Siti yang sudah bersuami walaupun ia jelas tahun ia adalah suatu hal yang tidak benar (salah) dalam konteks etika keluarga Jawa yang menghormati kesetiaan. 2. Secara luas, representasi keluarga Jawa yang tersirat secara tajam di balik film“Opera Jawa” ini terutama adalah pada kondisi keluarga Jawa yang sudah jauh dari etika dan nilai keselarasan, ini dicirikan oleh banyaknya konflik yang
16
terjadi antar keluarga. Film “Opera Jawa” juga berhasil memperingatkan sisi rentan dari suatu sistem kekuasaan, yakni bahwa ia bisa semata menjadi suatu hal yang sepenuhnya berisi kepentingan yang jauh dari kebenaran dan nilai melanggar etika; contohnya adalah tokoh Ludiro dengan kekayaannya (kekuasaan ekonomi) menggeser saingan-saingannya dan sebagai alat untuk memikat perempuan yang sudah memiliki ikatan perkawinan, atau seperti tokoh Setyo yang menggunakan kharismanya (kekuasaan struktural) sebagai modal untuk memobilisasi massa untuk kepentingan pribadinya. Saran Adapun saran-saran berkenaan dengan dari penulis dalam hal ini adalah: 1. Bagi pemirsa dan penikmat seni film serta masyarakat Jawa khususnya, agar senantiasa menjaga prinsip-prinsip etika Jawa seperti nilai keselarasan, saling menghormati, dsb, juga hikmah serta pesan moral dari film ini dapat menjadi bahan refleksi diri untuk memperbaiki banyak hal dan sikap-sikap dalam kehidupan sosial dewasa ini yang semakin kompleks. 2. Bagi peneliti selanjutnya; agar menggali lebih dalam teks film “Opera Jawa” dari sudut pandang yang lain. Penelitian atas film juga terbuka untuk metode dan pendekatan lain, salah satunya adalah analisis linguistik untuk melihat perkembangan bahasa Jawa saat ini, karena film “Opera Jawa” sangat kaya akan bentuk-bentuk dialek bahasa Jawa yang digunakan dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Berger, Artur Asa. (2005.) Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana. Falah, Falasifatul. (2008.) “Javanese Women in Hybridism”. Malaysia, Jurnal Proyeksi vol.4 (2). Indriyani, Febrina Dwiki. 2008. “Analisis Semiotik Mengenai Perjuangan Perempuan Sebagai Single Mother dalam Film Dawn Anna dan Erin Brokovich”. Yogyakarta. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Soial dan Ilmu Politik. UGM. Yogyakarta. Pawito. (2007.) Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.
17
Sobur, Alex. (2001.) Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya. _________.2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda Karya. Suseno, Franz Magniz. (2003.) Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wildan, Syaiful. “Kedudukan dan Peran Perempuan Sebagai Istri dalam Masyarakat Kraton Yogyakarta Hadiningrat”. Yogyakarta. Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
18