KEPERCAYAAN MASYARAKAT JAWA DALAM FILM KUNTILANAK
Oleh: Tassa Ary Maheswarina* Universitas Negeri Malang, Jalan Semarang 5 Malang 65145 Email:
[email protected] Abstract: The purpose of this study to describe (1) form of the Java community confidence in the film Kuntilanak spirits, and (2) form of the Javanese belief in supernatural powers Kuntilanak movie. Data collected by the technique of documents and observation techniques, and analyzed by the methods of semiotic analysis of Roland Barthes. The result are: (1) the issue of public trust Java Kuntilanak ghosts in the film, the figure includes the belief of spirits, the appearance of ghosts, spirit inhabit certain place, and offerings, (2) the issue of the Java community confidence in the movie magic Kuntilanak include belief in supernatural powers, pesugihan, and crime. Keyword: trust, the Java community, Kuntilanak movie Abstrak: Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan (1) wujud kepercayaan masyarakat Jawa terhadap makhluk halus dalam film Kuntilanak, dan (2) wujud kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan gaib dalam film Kuntilanak. Data dikumpulkan dengan teknik dokumen dan teknik observasi, serta dianalisis dengan metode analisis semiotika Roland Barthes. Hasil penelitian adalah: (1) masalah kepercayaan masyarakat Jawa terhadap makhluk halus dalam film Kuntilanak, meliputi kepercayaan sosok makhluk halus, kemunculan makhluk halus, makhluk halus mendiami tempat tertentu, dan sesajian; (2) masalah kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan gaib dalam film Kuntilanak meliputi kepercayaan terhadap kesaktian, pesugihan, dan kejahatan. Kata kunci: kepercayaan, masyarakat Jawa, film Kuntilanak
Film merupakan suatu produk kebudayaan yang menjadi bagian dalam kehidupan manusia. Film diciptakan oleh manusia dan untuk manusia sehingga sedikit banyak film memiliki pengaruh dalam berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, film tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Film merefleksikan makna kehidupan dan juga mencerminkan nilainilai yang ada di dalamnya. Ungkapan seorang pembuat film dalam sebuah karya film merupakan suatu pelajaran yang mengandung pesan-pesan yang bisa saja bernilai moral, pendidikan, sosial, kemanusian, sejarah, kebudayaan, religi, filsafat dan sebagainya. Film adalah salah satu karya seni yang paling banyak dinikmati oleh masyarakat, sehingga sedikit banyak film pun memiliki pengaruh dalam kehidupan masyarakat. Ada beberapa film yang banyak diminati dan dikonsumsi oleh masyarakat secara luas, tidak hanya dari kalangan tertentu saja. Film tersebut adalah film berjenis horor. Salah satu film yang pernah populer di Indonesia adalah film Kuntilanak. Film Kuntilanak memiliki latar kehidupan sosial masyarakat perkotaan yang masih percaya praktik-praktik mistik dan hal-
* Tassa Ary Maheswarina adalah mahasiswa Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang.
hal gaib. Melalui film ini tergambar bahwa praktik mistik bukan saja merupakan urusan masyarakat pedesaan yang belum terjamah modernitas, melainkan juga warga kota elit lengkap dengan perabot, atribut, dan gaya hidup modern. Film tersebut adalah film berjenis horor. Salah satu film yang pernah populer di Indonesia adalah film Kuntilanak. Film Kuntilanak memiliki latar kehidupan sosial masyarakat perkotaan yang masih percaya praktik-praktik mistik dan halhal gaib. Melalui film ini tergambar bahwa praktik mistik bukan saja merupakan urusan masyarakat pedesaan yang belum terjamah modernitas, melainkan juga warga kota elit lengkap dengan perabot, atribut, dan gaya hidup modern. Cerita dari film Kuntilanak menyuguhkan kepercayaan masyarakat Jawa yang bermunculan seperti mitos sosok hantu kuntilanak dan sebagainya serta masih banyak praktik-praktik budaya mistik di masyarakat yang masih kental melekat. Dalam penelitian ini, untuk memahami dan menelusuri kepercayaan masyarakat Jawa yang dimunculkan pada film Kuntilanak perlu adanya analisis dengan menggunakan suatu pendekatan. Dalam menelusuri dan memahami kepercayaan masyarakat Jawa pada film Kuntilanak dilakukan analisis film dengan menggunakan kajian semiotika. Film merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Zoest menyatakan bahwa film dibangun dengan tanda sematamata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Oleh karena itu, menurut Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda arsitektur, terutama indeksikal, pada film terutama digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Adapun ciri gambar-gambar film adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjuknya. Gambar yang dinamis dalam film merupakan ikonis bagi realitas yang didenotasikannya (dalam Sobur, 2009:128). Pada tahun 2006 sebuah film Kuntilanak muncul dengan menyisipkan halhal berbau mistik yang berkaitan budaya Jawa dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Film Kuntilanak ini ditulis oleh Van Hendoko dan disutradarai oleh Rizal Mantovani. Film tersebut cukup mendapat sambutan yang bagus dari dunia perfilman dan masyarakat penikmat film. Penelitian dengan judul “Kepercayaan Masyarakat Jawa Dalam Film Kuntilanak” ini berawal dari prinsip bahwa film merupakan cerminan dari realitas sosial dalam masyarakat yang secara potensial mengemban gambaran objek, gagasan, pesan, dan nilai tertentu. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan wujud kepercayaan masyarakat Jawa terhadap makhluk halus dan kekuatan gaib dalam film Kuntilanak. METODE Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengandalkan analisis serta data induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan dasar teori, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitian bersifat sementara, dan hasil penelitiannya disepakati kedua belah pihak, peneliti dan subyek penelitian (Moleong, 2001:27).
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa katakata, gambar dan bukan angka. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan yang sifat-sifat suatu individu, keadaan atau gejala dari kelompok yang dapat diamati (Moleong 2001:6). Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk mendeskripsikan kepercayaan masyarakat Jawa dalam film Kuntilanak. Sumber data merupakan subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2002:107). Sumber data dalam penelitian ini adalah film Kuntilanak yang dirilis pada 17 Oktober 2006 dan diproduksi oleh PT MVP. Film ini berdurasi 95 menit. Data penelitian ini berupa bahasa verbal dan bahasa visual dalam film Kuntilanak. Data penelitian berupa bahasa verbal meliputi dialog, kata, kalimat dalam film Kuntilanak. Bahasa visual berupa potongan gambar-gambar dalam film Kuntilanak. Dalam proses selanjutnya data yang diperoleh dari sumber data tersebut kemudian ditafsirkan dan dianalisis dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes untuk memperoleh deskripsi kepercayaan masyarakat Jawa dalam film Kuntilanak. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik dokumen dan teknik observasi. Guba dan Lincoln menjelaskan dokumen sebagai setiap bahan tertulis maupun film yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan sumber data (dalam Moleong, 2005:216217). Teknik dokumen digunakan karena sumber data yang digunakan berupa dokumen. Teknik observasi digunakan karena data yang diperoleh dengan cara mengobservasi (menonton/menyimak) dokumen yang berupa film tersebut, selanjutnya direkam dalam bentuk tabel pengumpulan data. Berikut ini tahapan yang dilalui peneliti dalan penelitian ini. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis semiotika Roland Barthes karena teknik tersebut sesuai dengan obyek penelitan mengenai media film. Fiske menyatakan bahwa teknik analisis model Roland Barthes menggunakan model dua tahap signifikasi dalam menganalisis makna dari tandatanda. Roland Barthes merupakan salah satu pengikut Ferdinand de Saussure. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan-gagasan signifikasi dua tahap (two order of signification) (dalam Sobur, 2009:127). HASIL Wujud Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Makhluk Halus dalam Film Kuntilanak Sosok Makhluk Halus. Sosok kuntilanak yang hadir dalam kepercayaan masyarakat ada berbagai versi. Berdasarkan hasil temuan menunjukkan bahwa sosok kuntilanak yang dihadirkan dalam film Kuntilanak, wujudnya setengah manusia dan setengah kuda. Jenis kelamin kuntilanak, yaitu wanita tua dengan rambut panjang terurai berwarna putih. Sosok kuntilanak yang dihadirkan dalam film Kuntilanak berbeda dengan mitos kuntilanak yang berkembang di masyarakat. Masyarakat sering menggambarkan kuntilanak sebagai sosok hantu perempuan berambut panjang, berbaju putih panjang, dan raut muka putih pucat dengan mata merah. Suara tertawa kuntilanak mengikik panjang membelah
kesunyian malam. Sosok kuntilanak dalam film Kuntilanak berbeda dengan sosok kuntilanak yang beredar di masyarakat. Hal tersebut menambah suasana seram dan menakutkan dalam film ini. Kemunculan Makhluk Halus. Dalam film Kuntilanak, karakter hantu yang dihadirkan adalah kuntilanak. Dalam kepercayaan tradisional terutama yang berlaku di Jawa, kuntilanak merupakan makhluk halus yang masuk golongan memedi. Dalam kepercayaan masyarakat, kuntilanak muncul saat menjelang malam (maghrib). Kepercayaan bahwa sosok makhluk halus muncul saat menjelang malam (maghrib) membuat orang tua melarang anaknya keluar saat menjelang malam (maghrib). Hal tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan masyarakat Jawa yang mensakralkan waktu tertentu, misalnya di mana dilarang melakukan aktivitas di luar rumah pada saat menjelang matahari terbenam. Masyarakat Jawa meyakini bahwa saat-saat itulah makhluk halus keluar. Berdasarkan hasil temuan menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat bahwa kuntilanak muncul saat menjelang malam (maghrib). Kuntilanak dipercaya akan menculik anak-anak jika keluar saat menjelang malam (maghrib). Mitos tersebut sering digunakan oleh orang tua untuk menakuti anak-anaknya agar tidak keluar saat menjelang malam (maghrib). Kepercayaan masyarakat terhadap makhluk halus muncul saat menjelang malam tiba (maghrib). Hal tersebut setidaknya membuat orang Jawa untuk disiplin waktu dan mengenal waktu. Makhluk Halus Mendiami Tempat Tertentu. Dalam film Kuntilanak, masyarakat yang tinggal di sekitar pohon besar yang berada di dekat kuburan percaya bahwa pohon besar tersebut dihuni makhluk halus, yaitu kuntilanak. Oleh karena itu, masyarakat sekitar menyebutnya dengan pohon kuntilanak. Salah satu contoh pohon yang dipercaya dihuni oleh makhluk halus, yaitu pohon beringin. Pohon beringin sangat akrab dengan budaya asli Indonesia. Tumbuhan berbentuk pohon besar ini sering kali dianggap suci dan melindungi penduduk setempat. Sesajian sering diberikan di bawah pohon beringin yang telah tua dan berukuran besar karena dianggap sebagai tempat kekuatan magis berkumpul. Berdasarkan hasil temuan menunjukkan bahwa pepohonan, terutama pohonpohon besar dipercaya oleh orang Jawa memiliki penunggu, bahkan dikeramatkan. Misalnya, beringin (Ficus Benjamina) sangat akrab dengan budaya asli Indonesia. Tumbuhan berbentuk pohon besar ini sering kali dianggap suci dan melindungi penduduk setempat. Sesajian sering diberikan di bawah pohon beringin yang telah tua dan berukuran besar karena dianggap sebagai tempat kekuatan magis berkumpul. Beberapa orang menganggap tempat di sekitar pohon beringin adalah tempat yang angker dan perlu dijauhi. Sesajian. Dalam masyarakat Jawa makhluk halus juga berhubungan dengan tindakan-tindakan keagamaan yang terwujud dalam upacara keagamaan. Penyembahan atau sesajen (biasanya berupa makanan, minuman, bunga, kemenyan, dan buah-buahan) kepada makhluk-makhluk halus tertentu dan sebagai imbalannya makhluk-makhluk halus tersebut akan memberi imbalan sesuai dengan yang diinginkan oleh yang memberi persembahan. Makhluk-makhluk yang diberi persembahan ini tidak selamanya harus leluhur, dan tidak semuanya digolongkan sebagai leluhur.
Dalam film Kuntilanak ini, setelah kejadian kematian beberapa penghuni kos. Sesajen diletakkan di salah satu ruangan di rumah kos tersebut. Sesajen yang diberikan berupa buah-buahan, yaiu buah pisang. Sesajen ini berkaitan dengan kepercayaan terhadap makhluk halus. Hal tersebut dimaksudkan agar terhindar dari gangguan makhluk halus, seperti kuntilanak. Tujuan menyediakan sesajen tersebut adalah agar roh-roh, terutama kuntilanak yang dipercaya masyarakat sekitar kos tidak mengganggu ketenteraman dan keselamatan anggota seisi rumah. Wujud Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Kekuatan Gaib dalam Film Kuntilanak Kesaktian. Kepercayaan terhadap kekuatan benda sakti memang telah lama mewarnai hidup orang Jawa. Kekuatan sakti benda pusaka, tergolong kenikmatan kultural. Orang Jawa akan merasa lega dan dunia batinnya bangga ketika berhasil memelihara pusaka. Artinya, barang yang dikeramatkan, dihormati, dan disakralkan di atas barang-barang lain. Orang Jawa meyakini bahwa benda-benda bertuah memiliki roh. Sebagian orang Jawa memang ada yang mengeramatkan benda-benda pusaka. Salah satunya benda pusaka yang dipercaya dalam film Kuntilanak yaitu berupa benda-benda antik dan cermin antik Mangkoedjiwo. Dalam film Kuntilanak, cermin antik Mangkoedjiwo mampu menciptakan suasana mistik dalam film tersebut. Cermin antik Mangkoedjiwo bukanlah barang sembarangan, karena cermin tersebut hanya ada di beberapa ruangan rumah kos Mangkoedjiwo. Cermin antik Mangkoedjiwo dipercaya sebagai media munculnya sosok kuntilanak. Bentuk cermin yang unik dan kuno membuat suasana film lebih bernuansa mistik. Pesugihan. Dalam film Kuntilanak, seperti halnya ngingu thuyul, keluarga Mangkoedjiwo memelihara kuntilanak untuk pesugihan. Keluarga Mangkoedjiwo harus memberikan tumbal agar kuntilanak tetap berada di bawah pengaruh keluarga Mangkoedjiwo. Pada saat ini, golek pesugihan juga masih tampak jelas dalam kehidupan masyarakat. Tempat-tempat yang dianggap keramat ataupun yang dihuni oleh makhluk halus biasanya sering digunakan sebagai tempat bertapa atau bersemedi. Biasanya orang yang bertapa memiliki keinginan tertentu untuk menjalin kerjasama dengan makhluk halus yang sering disebut pesugihan, ataupun yang mencari benda-benda pusaka. Misalnya golek pesugihan di gunung Kemukus di Sragen, gunung Kawi di Malang, dan beberapa tempat lain merupakan bentuk hedonis Jawa yang menginginkan hidup enak. Hal itu sah-sah saja, asalkan dilakukan dengan laku tertentu yang tidak merugikan pihak lain. Dari hasil temuan menunjukkan bahwa adanya sikap orang Jawa yang hedonis dalam hal ekonomi. Mereka sering melakukan golek pesugihan, misalnya golek pesugihan di gunung Kemukus di Sragen, gunung Kawi di Malang, dan beberapa tempat lain merupakan bentuk hedonis Jawa yang menginginkan hidup enak. Hal tersebut sah-sah saja, jika dilakukan dengan laku tertentu yang tidak merugikan pihak lain. Namun yang menjadi masalah jika laku demikian sampai terjebak pada konsep pesugihan: ngingu thuyul. Langkah ini akan membuat cedera orang Jawa, karena sering memerlukan tumbal (korban). Hal tersebut merupakan langkah negatif yang biasanya ditempuh oleh penganut berbagai aliran ilmu hitam.
Kejahatan. Dalam film Kuntilanak, kuntilanak merupakan sosok makhluk halus yang jahat. Kuntilanak membunuh setiap orang yang akan mengganggu Samantha. Samantha sebagai pemilik wangsit pemanggil kuntilanak belum mampu mengendalikan kekuatan jahat kuntilanak. Apabila Samantha dibuat marah, maka Samantha akan melantukan tembang durma yang dapat memanggil kuntilanak. Kuntilanak akan membunuh orang yang mendengar tembang durma yang dilantunkan oleh Samantha. Dari hasil temuan menunjukkan bahwa Samantha memanggil kuntilanak jika seseorang membuatnya marah. Kuntilanak akan membunuh setiap orang yang mendengar lantunan tembang durma. Hal tersebut menujukkan bahwa kuntilanak adalah sosok makhluk halus yang jahat, bahkan sampai membunuh manusia. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, kuntilanak termasuk golongan memedi yang keluar pada malam hari, senang mengganggu, dan membunuh manusia. PEMBAHASAN Wujud Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Makhluk Halus dalam Film Kuntilanak Sosok Makhluk Halus. Masyarakat sering menggambarkan kuntilanak sebagai sosok hantu perempuan berambut panjang, berbaju putih panjang, dan raut muka putih pucat dengan mata merah. Suara tertawa kuntilanak mengikik panjang membelah kesunyian malam. Namun, sosok kuntilanak yang beredar dalam masyarakat ada berbagai versi. Sosok kuntilanak yang dihadirkan dalam film Kuntilanak berbeda dengan mitos kuntilanak yang berkembang di masyarakat. Dari sekian banyak jenis kuntilanak, dalam film Kuntilanak ini dihadirkan sosok kuntilanak wujudnya setengah manusia dan setengah kuda. Jenis kelamin kuntilanak, yaitu wanita tua dengan rambut panjang terurai berwarna putih. Sosok kuntilanak yang dihadirkan dalam film Kuntilanak berbeda dengan pendapat Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (1994:340), kuntilanak merupakan setan-setan wanita yang cantik rupawan, yang menampakkan dirinya di jalan-jalan yang sunyi di malam hari, dalam keadaan telanjang bulat untuk mencari mangsanya, yaitu pria-pria yang berjalan sendiri. Kuntilanak dinamakan juga punthianak adalah memedi perempuan dalam bentuk seorang perempuan yang sangat cantik dengan rambut terurai sampai tanah. Namun, dia tidak mempunyai alat kelamin, dan sebagai penggantinya hanya mempunyai suatu lubang yang bulat, yang bergerak-gerak menjalar melalui sekujur tubuhnya. Oleh karena itu, mereka juga dinamakan Sudelbolong. Secara umum, kuntilanak ditakuti oleh anak-anak serta ibu dari anak-anak kecil. Kuntilanak tidak diberi sesajen atau disembah. Seorang dukun bersalin biasanya membakar kemenyan dan menempatkan pisau tajam di bawah kolong tempat tidur ibu yang bersalin untuk melindungi dari serangan kuntilanak (Suyono, 2007: 88). Berdasarkan kedua pendapat di atas, kuntilanak merupakan sosok makhluk halus perempuan yang cantik rupawan dengan rambut panjang terurai. Kuntilanak
yang dihadirkan dalam film Kuntilanak sangat berbeda dengan kedua pendapat di atas. Kuntilanak dalam film Kuntilanak diciptakan oleh pembuat film untuk menciptakan suasana seram dan menakutkan dalam film ini. Hal tersebut menujukkan bahwa sosok kuntilanak yang berkembang di masyarakat ada berbagai versi. Adanya perbedaan pendapat dalam penggambaran dari kuntilanak tersebut, karena tidak adanya teori yang pasti mengenai hal-hal gaib ini. Kemunculan Makhluk Halus. Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap mitos, mistik dan hal gaib masih sulit dihilangkan dari masyarakat sampai sekarang. Kepercayaan yang dianut masyarakat Jawa merupakan warisan secara turun-temurun leluhurnya. Salah satu bentuk kepercayaan orang Jawa, ialah gugon tuhon yang berisi nasihat dan larangan. Hal ini terbukti dengan adanya kepercayaan terhadap salah satu mitos tentang munculnya sosok makhluk halus saat menjelang malam (maghrib). Mitos tersebut membuat orang tua melarang keluar rumah saat maghrib atau saat pergantian waktu. Hal tersebut merupakan bagian dari gugon tuhon. Kepercayaan masyarakat terhadap kemunculan makhluk halus saat menjelang malam (maghrib), membuat masyarakat Jawa untuk disiplin dan mengenal waktu; siang untuk bekerja dan malam untuk istirahat. Pada saat menjelang senja adalah saat-saat untuk merapikan diri. Bagi muslim, adalah waktu yang tepat agar bersiap-siap untuk sholat maghrib tepat waktu. Selain itu, pada saat maghrib, cahaya matahari meredup dan hari berganti malam. Seseorang jika menempuh perjalanan saat maghrib, maka dibutuhkan banyak kewaspadaan. Hal tersebut mengajarkan agar berhati-hati jika keluar saat menjelang malam (maghrib) supaya terhindar dari hal-hal buruk. Gugon tuhon kurang dapat diterima secara rasional/ilmiah, tetapi sebagian besar masyarakat Jawa menghormati dan mempercayainya. Hal ini dikarenakan ada nilai-nilai moral tersirat yang dapat diambil dari gugon tuhon tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hadisutrisno (2009:27) bahwa falsafah orang Jawa “ora ilok” merupakan pendidikan budi pekerti yang luar biasa dampaknya bagi orang Jawa. Misalnya, orang membuang sampah lewat jendela akan disukai Batara Kala. Artinya, perilaku membuang sampah lewat jendela tersebut merupakan perilaku buruk yang jika dilakukan maka tidak terpuji. Dengan demikian, pasemon tersebut pada hakikatnya merupakan pendidikan akhlak dan budi pekerti. Makhluk Halus Mendiami Tempat Tertentu. Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang masih memegang kepercayaan animisme-dinamisme. Animisme-dinamisme sangat erat dengan budaya dan tradisi masyarakat Jawa, yang paling identik di dalamnya adalah kepercayaan terhadap makhluk halus. Mereka percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang tinggal di tempattempat tertentu. Adapun tempat-tempat yang biasa didiami oleh para makhluk halus itu adalah di persimpangan jalan, kuburan leluhur yang dianggap keramat, pohon besar tertentu seperti pohon beringin, pohon bambu, sudut atau penjuru rumah, dan tempat-tempat lainnya. Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap makhluk halus mendiami tempat tertentu, seperti pohon besar. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Endraswara (2010:9) menyatakan bahwa sebagian orang Jawa boleh dikatakan masih percaya
adanya setan atau hantu yang mengganggu manusia. Itulah sebabnya pada saat melakukan perjalanan kemana pun hendaknya berhati-hati, apalagi melewati tempat-tempat angker. Hal tersebut dikarenakan di tempat yang sepi, kayu besar, batu besar dan seterusnya sering dihuni oleh makhluk halus. Pepohonan, terutama pohon-pohon besar dipercaya oleh orang Jawa memiliki penunggu, bahkan dikeramatkan. Menurut Suyono (2007:217), waringin atau pohon beringin menurut kepercayaan orang Jawa, di antara pohon-pohon keramat, waringin (beringin) menempati urutan pertama. Pohon waringin (beringin) dipercaya sebagai tempat hunian hantu-hantu yang berkuasa. Oleh karena itu, sesajian sering diberikan di bawah pohon beringin yang telah tua dan berukuran besar karena dianggap sebagai kekuatan magis berkumpul. Sesajian. Setiap masyarakat memiliki beranekaragam kepercayaan yang menjadi keyakinannya. Setiap kepercayaan dan keyakinannya tersebut diwujudkan dalam tingkah lakunya sehari-hari. Masuknya berbagai agama sebelum kedatangan Islam di Pulau Jawa berpengaruh besar pada adat istiadat, tata cara hidup, maupun praktik keagamaan sehari-hari orang Jawa. Keyakinan akan adanya Tuhan, dewa-dewa, utusan, malaikat, setan, demit, roh-roh alam, rohroh manusia, berbagai jenis hantu, dan kepercayaan atas kekuatan alam mempengaruhi kehidupan orang-orang di Pulau Jawa. Dalam hubungannya dengan kepercayaan akan gangguan makhluk halus berupa setan, agar tidak mengganggu orang Jawa harus diberi tumbal dan sesajen. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suseno (2003:15) bahwa keagamaan orang Jawa kejawen ditentukan oleh kepercayaan pada pelbagai macam roh yang tak kelihatan, yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit apabila mereka dibuat marah atau kurang berhati-hati. Orang bisa melindungi diri dengan sesekali memberi sesajen. Sebagai wujud penghargaan kepada makhluk halus, masyarakat Jawa memberikan upeti, yaitu dalam bentuk upacara-upacara ritual keagamaan dan berkorban sesajian. Menurut Koentjaraningrat (2002:84) bahwa tindakan keagamaan orang Jawa meliputi antara lain selamatan atau wilujengan, melakukan upacara-upacara keagamaan dan perbuatan keramat. Wujud sikap masyarakat Jawa ini pun terlihat melalui tradisi sesajen. Wujud Kepercayaan Masyarakat Jawa Terhadap Kekuatan Gaib dalam Film Kuntilanak Kesaktian. Kepercayaan terhadap kekuatan benda sakti memang telah lama mewarnai hidup orang Jawa. Kekuatan sakti benda pusaka, tergolong kenikmatan kultural. Orang Jawa akan merasa lega dan dunia batinnya bangga ketika berhasil memelihara pusaka. Artinya, barang yang dikeramatkan, dihormati, dan disakralkan di atas barang-barang lain. Orang Jawa meyakini bahwa benda-benda bertuah memiliki roh. Sebagian orang Jawa memang ada yang mengeramatkan benda-benda pusaka. Sesuai dengan pendapat Kalff bahwa orang Jawa menganggap kesaktian sebagai energi yang kuat yang dapat mengeluarkan panas, cahaya, atau kilat. Kesaktian itu dapat berada di berbagai bagian tertentu dari tubuh manusia, seperti:
kepala (terutama rambut dan mata), alat kelamin, kuku, air liur, keringat, dan air mani. Kesakten mungkin juga ada dalam tubuh binatang, terutama binatang yang besar, perkasa, atau yang aneh bentuknya, seperti harimau, gajah putih, kera putih, ayam sabungan, burung elang, kura-kura putih dan sebagainya. Namun, kesakten pada umumnya ada dalam benda-benda suci, terutama benda-benda pusaka (dalam Koentjaraningrat, 1994:341). Suyono (2007:75-76) menyatakan bahwa di Jawa ada kepercayaan yang percaya bahwa semua yang berada di alam mempunyai jiwa. Jiwa atau roh bebas dan tidak terikat kepada sesuatu, dan dapat menggerakkan semua benda di alam. Kepercayaan orang Jawa bahwa dengan bantuan mantra-mantra, benda hidup atau mati dapat diisi dengan roh yang baik atau jahat. Dalam masyarakat Jawa terdapat benda-benda yang diyakini mengandung roh yang patut dihormati atau ditakuti. Pada masyarakat Jawa, rasa takut atau hormat terhadap benda atau tempat-tempat “berjiwa” dilakukan dengan cara yang berbeda-beda. Pemujaan dilakukan terhadap roh yang ada di suatu benda atau tempat, ataupun langsung memuja benda itu sendiri. Pemujaan terhadap benda yang dimiliki seseorang, penghormatan dan pemujaan oleh pemiliknya ditujukan kepada barang itu sendiri (misalnya pemujaan pada keris, akik, dan benda-benda antik/kuno lainnya). Pesugihan. Pengaruh mitos legenda serta dimensi alam gaib sangat besar bagi masyarakat Indonesia, terutama di Jawa. Fenomena supranatural tetap diperhitungkan sebagai nilai untuk menciptakan ketentraman. Dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi golek pesugihan. Dalam masyarakat Jawa tradisi golek pesugihan yaitu melakukan ritual-ritual yang berhubungan dengan makhluk halus, misalnya ngingu thuyul. Dalam film Kuntilanak menunjukkan bahwa keluarga Mangkoedjiwo memelihara kuntilanak untuk pesugihan. Hal tersebut menunjukkan adanya kepercayaan mistik dengan memelihara kuntilanak untuk pesugihan. Keluarga Mangkoedjiwo memberikan tumbal pada kuntilanak agar tetap di bawah pengaruhnya. Golek pesugihan menunjukkan bahwa adanya sikap hedonis dalam masyarakat Jawa. Menurut Sukatno, hedonisme adalah sebuah sistem filsafat yang secara etimologis berasal dari bahasa Yunani hedone yang artinya kenikmatan serta hedys yang berarti enak atau menyenangkan. Dalam pandangan budaya Jawa, hedonisme adalah sebuah pencarian kenikmatan yang luar biasa dalam kehidupan (dalam Endraswara, 2010: 246). Dalam film Kuntilanak sikap hedonisme keluarga Mangkoedjiwo yaitu memelihara kuntilanak untuk pesugihan. Keluarga Mangkoedjiwo memberikan tumbal pada kuntilanak agar memberikan pesugihan untuk keluarga Mangkoedjiwo. Kejahatan. Dalam budaya Jawa, orang Jawa mengenal makhluk halus seperti gendruwo, demit, kuntilanak dan sebagainya untuk menyebut roh-roh jahat atau setan. Roh-roh itu dipercaya sebagai roh yang gentayangan, yang suka mengganggu ketenteraman manusia. Oleh sebab itu, biasanya di persimpangan atau di perempatan jalan, sering ditemukan aneka sesajen atau kembang yang diletakkan atau ditaburkan untuk mengusir roh-roh jahat itu. Konsep tentang roh ini berangkat dari tradisi animisme dan dinamisme. Roh jahat adalah roh yang ditakuti, karena sering menyebabkan kematian, sakit, konflik dan segala sesuatu yang buruk.
Dalam film Kuntilanak, kuntilanak merupakan sosok makhluk halus yang jahat. Kuntilanak membunuh setiap orang yang akan mengganggu Samantha. Samantha sebagai pemilik wangsit pemanggil kuntilanak belum mampu mengendalikan kekuatan jahat kuntilanak. Apabila Samantha dibuat marah, maka Samantha akan melantukan tembang durma yang dapat memanggil kuntilanak. Kuntilanak akan membunuh orang yang mendengar tembang durma yang dilantunkan oleh Samantha. Kuntilanak merupakan sosok makhluk halus yang jahat sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1994:338) bahwa sistem keyakinan agama Jawa kejawen mengenal roh-roh yang baik, yang bukan nenek moyang atau kerabat yang telah meninggal, yaitu dhanyang, bahureksa, sing ngemong, dan widadari. Namun, orang Jawa lebih banyak mengenal roh jahat daripada roh baik. Roh, jin, setan, dan raksasa pada umumnya dianggap jahat dan oleh orang Jawa disebut memedi. Orang Jawa pada umumnya sependapat bahwa setan dharat, setan bisu, setan mbelis, dan sebagainya adalah setan-setan berjenis kelamin pria dan bermuka buruk, sedangkan wewe adalah setan wanita yang jelek sekali. Sebaliknya ada setan-setan wanita yang cantik rupawan, seperti misalnya kuntilanak, yang menampakkan dirinya di jalan-jalan sunyi di malam hari, dalam keadaan telanjang bulat untuk mencari mangsa, yaitu pria-pria yang berjalan sendiri. Kuntilanak dinamakan juga punthianak adalah memedi perempuan dalam bentuk seorang perempuan yang sangat cantik dengan rambut terurai sampai tanah. Namun, dia tidak mempunyai alat kelamin, dan sebagai penggantinya hanya mempunyai suatu lubang yang bulat, yang bergerak-gerak menjalar melalui sekujur tubuhnya. Oleh karena itu, mereka juga dinamakan Sudelbolong. Secara umum, kuntilanak ditakuti oleh anak-anak serta ibu dari anak-anak kecil. Kuntilanak tidak diberi sesajen atau disembah. Seorang dukun bersalin biasanya membakar kemenyan dan menempatkan pisau tajam di bawah kolong tempat tidur ibu yang bersalin untuk melindungi dari serangan kuntilanak (Suyono, 2007: 88). PENUTUP Simpulan Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap makhluk halus dalam film Kuntilanak, yaitu meliputi kepercayaan adanya sosok makhluk halus, kemunculan makhluk halus, kepercayaan bahwa makhluk halus mendiami tempat tertentu, dan sesajian untuk makhluk halus. Sosok kuntilanak yang dihadirkan dalam film Kuntilanak adalah wanita tua, berambut putih, wujudnya setengah manusia dan setengah kuda. Selain itu, makhluk halus dipercaya muncul saat menjelang malam (maghrib), sehingga orang tua melarang anak-anak keluar rumah saat menjelang malam (maghrib). Dalam film Kuntilanak pohon besar dipercaya masyarakat sekitar dihuni kuntilanak. Oleh karena itu, masyarakat sekitar menyebutnya dengan pohon kuntilanak. Kepercayaan terhadap makhluk halus dalam film Kuntilanak yaitu pemberian sesajen berupa buah-buahan dipersembahkan untuk makhluk halus agar tidak mengganggu kehidupan mereka. Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan gaib dalam film Kuntilanak, yaitu benda-benda memiliki jiwa, pesugihan, dan kejahatan. Kepercayaan pada benda-benda bertuah ini tampak pada cermin antik
Mangkoedjiwo dan benda-benda antik. Cermin antik Mangkoedjiwo dipercaya sebagai media munculnya kuntilanak. Bentuk cermin yang unik dan kuno membuat suasana film lebih bernuansa mistik. Dalam film Kuntilanak, keluarga Mangkoedjiwo memelihara kuntilanak untuk pesugihan. Hal tersebut menunjukkan kepercayaan masyarakat Jawa bahwa kuntilanak dipercaya untuk pesugihan. Selain itu, sosok kuntilanak dalam film Kuntilanak adalah sosok makhluk halus yang jahat dan kejam serta berjiwa pembunuh. Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan, (1) peneliti berikutnya yang melakukan penelitian yang sejenis, diharapkan dapat menggunakan penelitian ini sebagai dasar atau referensi penelitian lebih lanjut disertai pengembangan masalah dari sudut pandang yang berbeda, (2) film tidak jauh berbeda dengan drama, di dalam film terdapat unsur intrinsik yang meliputi tema, alur, setting, karakter, amanat, dan unsur bahasa yang meliputi bahasa verbal dan bahasa visual. Oleh karena itu, film diharapkan mampu menumbuhkan apresiasi masyarakat terhadap hasil dan bentuk karya seni berupa film, dan (3) cerita film Kuntilanak diharapkan dapat dimanfaatkan pendidik sebagai bahan pengajaran atau bahan penunjang dalam materi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, khususnya sastra Indonesia. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Endraswara, S. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala. Hadisutrisno, B. 2009. Islam Kejawen. Yogyakarta: EULE BOOK. Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Moleong, L. J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sobur, A. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisi Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sobur, A. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suseno, F. M. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisis Filsafati Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Suyono, Capt. R.P. 2007. Dunia Mistik Orang Jawa Roh, Ritual, Benda Magis. Yogyakarta: LKiS.