BAHASA RUPA DAN PENDIDIKAN DALAM FILM PENUMPASAN PENGHIANATAN G 30 S PKI Oleh: Gumilar Pratama, M.Pd e-mail:
[email protected] (Desain Komunikasi Visual – Sekolah Tinggi Teknologi Nusa Putra)
ABSTRAK
Dari beberapa cabang seni dapat dikatakan film khususnya film dokumenter memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan manusia modern, karena pengaruhnya ini banyak pihak terutama para penguasa memanfaatkan film sebagai media propaganda untuk berbagai kepentingan. Film yang baik dapat memberi pengaruh yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, namun begitu pula sebaliknya. Karya tulis yang berjudul “BAHASA RUPA DAN PENDIDIKAN DALAM FILM PENUMPASAN PENGHIANATAN G 30 S PKI” ini bertujuan untuk menggali makna dari bahasa rupa dan pendidikan yang terdapat pada film tersebut. Penelitian ini dilakukan karena film tersebut menjadi sebuah film yang wajib ditonton semua pelajar di Indonesia mulai tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas pada tanggal 30 September. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan semiotika bahasa rupa dan psikologi pendidikan. Sedangkan teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu dengan cara wawancara, Angket, dokumentasi dan studi pustaka mengenai masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini juga penulis mendapat temuan berupa tanda-tanda visual dengan pemaknaanya, nilai-nilai pendidikan yang disisipkan dalam narasi film dan juga halhal yang tidak layak ditonton seperti kekerasan yang tertalu di ekspose secara berlebihan. Banyaknya unsur kekerasan pada film yang diteliti, menjadi pertimbangan peneliti untuk merekomendasikan film tersebut dilarang ditonton pelajar di bawah usia 20 tahun, karena secara kajian teoritis manusia dibawah usia 20 tahun belum memiliki kemampuan self direction dan self control, sehingga secara psikologi peserta didik masih rawan menerima input pelajaran yang mengandung unsur kekerasan.
ABSTRACT
The documentary film has a greater influence in modern life. Many parties take benefits from film as media propaganda for particular purposes. A study entitled BAHASA RUPA DAN PENDIDIKAN DALAM FILM PENUMPASAN PENGHIANATAN G 30 S PKI” was aimed at exploring the meaning of visual language and educational values in the film. This study was conducted because of the obligation to watch this film on 30th September for elementary to high schools students in president Soeharto era. Descriptive qualitative method using a semiotic approach to visual language and psychology of education was used in this study. This study used Interview, questionnaire, documents study, and literature study as instruments to collect the data. The findings showed that this film contains the meaning of
visual sign, educational values embedded in the narration, and the violence exposure. The violence revealed in this film has become a consideration that this film is not recommended for students under 20 years old. Theoretically, twenty-year old humans do not have selfdirection and self-control ability which makes them prone to receive violence as lesson input.
A. Pendahuluan Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto setiap tanggal 30 September semua peserta didik diwajibkan pergi ke bioskop untuk menyaksikan Film Dokumenter G 30 S PKI. Namun sejak jatuhnya kekuasaan orde baru film tersebut berhenti ditayangkan di bioskop dan televisi Nasional. Berhentinya tayangan yang semula diwajibkan ini menjadi sebuah pertanyaan besar bagi sebagian orang termasuk penulis. Berbagai opini dan dugaan bermunculan di kalangan masyarakat Indonesia mengenai film tersebut. Sebagian beranggapan film dokumenter Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI berhenti ditayangkan karena merupakan peninggalan politik Orde Baru yang memiliki unsur propaganda dan sebagian masyarakat lainnya beranggapan dihentikannya film dokumenter Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI karena dianggap mengkerdilkan orang-orang keturunan PKI. Diluar isu dan asumsi yang berkembang dimasyarakat penulis lebih melihat film dokumenter Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI sebagai sebuah karya seni dan media pembelajaran bagi peserta didik didik mengenai sejarah Indonesia. Namun dengan banyaknya unsur kekerasan pada film dokumenter Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI, penulis mempertanyakan dampak psikologis penontonnya terutama aspek kognitif peserta didik yang saat itu diwajibkan menyaksikan film dokumenter ini. Secara sinematografi film yang dirilis pada tahun 1984 disutradarai oleh Arifin C. Noer ini merupakan salah satu film dengan garapan sinematografi yang apik dan baik di zamannya. Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI meraih sukses secara komersil maupun kritis. Film ini berhasil memperoleh satu penghargaan dan masuk enam nominasi penghargaan lainnya di Festival Film Indonesia 1984, selain itu film ini juga mencapai angka rekor penonton tertinggi, meskipun dalam banyak kasus penonton diminta untuk melihat film ini, alih-alih secara sukarela. Penelitian ini juga terinspirasi dari penelitian sebelumnya yang berjudul “Makna Visual Film Opera Jawa Karya Garin Nugroho” yang ditulis oleh Wawan Wahyudin. Perbedaan karya tulis Film Dokumenter Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dan Makna Visual Film Opera Jawa terletak pada objek penelitiannya dan teori-teori yang membedah permasalahan di dalamnya. Selain itu “Bahasa Rupa dan Pendidikan Film Dokumenter
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI”. Memiliki porsi pembahasan yang cukup banyak dalam masalah pendidikan secara visual dan psikologi pendidikan. Peneliti membatasi masalah dengan tiga pokok besar permasalahan yaitu bahasa rupa, pendidikan dan pandangan masyarakat terhadap film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Agar operasional, fokus penelitian ini akan diuraikan dalam tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apa yang melatarbelakangi pembuatan film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI? 2. Bahasa rupa apa yang digunakan dalam film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI? 3. Seperti apakah film G 30S PKI dalam sudut pandang pendidikan? B. Metode Penelitian Untuk memperoleh penjelasan mengenai hubungan antarunsur yang diteliti, peneliti melakukan penggalian informasi yang meluas dan mendalam mengenai Bahasa Rupa dan Pendidikan Film G 30S PKI. Pengumpulan informasi yang menjadi serangkaian data penjelas dalam pendekatan ini harus berdasar pada pandangan masyarakat yang telah melihat film tersebut sebagai landasan prinsipil yang harus ditaati dalam penelitian kualitatif. Dengan demikian posisi peneliti adalah menafsirkan makna Bahasa Rupa dan Pendidikan Film G 30S PKI dan situasi sosial budaya dan pendidikan yang tampak berhubungan dengan tempat, waktu, obyek, pelaku, aktivitas, tindakan, dan perasaan-perasaan masyarakat yang bersangkutan mengenai film tersebut. Dalam penjabarannya penulisan penelitian ini juga mendeskripsikan dan menyampaikan berupa data yang bersifat kualitatif dan gambar seperti yang disampaikan Maleong (2000:5). Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan angket yang dibagikan langsung untuk memperoleh data yang bersifat obyektif, seperti pendapat para pelajar, dan pendidik baik guru maupun dosen mengenai film Penumpasan G30 S PKI.
Dokumentasi Penyebaran Angket Pada Peserta didik SMP 11 Kota Cirebon . Sumber: Dokumen Pribadi.
Dokumentasi Penyebaran Angket Pada Peserta didik SMP Pancakarsa Kab. Bandung . Sumber: Dokumen Pribadi.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Nana Sudjana dan Ibrahim (2001:84) bahwa “populasi maknanya berkaitan dengan elemen, yakni unit tempat diperolehnya informasi.” Elemen tersebut bisa berupa individu, keluarga, rumah tangga, kelompok sosial, organisasi dan lain-lain. Populasi dalam penyebaran angket penelitian ini adalah 50 pendidik dan 100 pelajar yang ada di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon di Pulau Jawa. Angket sendiri berisikan lima hal mengenai pendapat para pendidik dan pelajar akan film yang diteliti. Lima hal tersebut peneliti jabarkan menjadi tiga pertanyaan dan dua pernyataan dengan pilihan jawabannya sebagai berikut. 1. Pernahkah Bapak/Ibu Menonton Film G 30 S PKI?
a. Pernah
b. Tidak
Pertanyaan ini penulis buat untuk mengetahui responden dapat melanjutkan pertanyaan berikutnya atau tidak. Dikarnakan jika jawaban responden tidak pernah maka peneliti akan mengabaikan jawaban berikutnyadan tidak masuk hitungan dalam pembahasan. 2. Apakah film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” termasuk film pendidikan? a. Iya
b. Bukan
Pertanyaan ini peneliti berikan untuk mengetahui penilaian para responden mengenai film tersebut yang menurut kreatornya sebagai film pendidikan. 3. Setujukah Bapak/Ibu film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” ditonton peserta didik SD, SMP dan SMA? a. Setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
Pertanyaan ini peneliti berikan untuk mengetahui penilaian para responden mengenai fenomena dilarangnya film tersebut beredar di kalangan peserta didik. 4. Film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” memiliki unsur kekerasan yang tidak mendidik dibandingkan dengan pesan pendidikannya. a. Setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
Pernyataan ini peneliti berikan untuk mengetahui penilaian para responden mengenai perbandingan antara kekerasan dan pendidikan dalam film tersebut. 5. Film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” dapat membangun rasa Nasionalisme. a. Setuju
b. Tidak setuju
c. Ragu-ragu
Pernyataan ini peneliti berikan untuk mengetahui penilaian para responden mengenai unsur Nasionalisme yang disisipkan dalam film tersebut.
Dalam penelitian ini penulis membagi film menjadi tiga bagian dengan didasari pendapat Himawan yang dibahas pada bab II yaitu tahap permulaan (exposition), tahap pertengahan (conflict) , tahap penutupan (resolution). Pada setiap tahap narasi film penulis mengambil potongan gambar yang mewakili tahapan tersebut untuk dianalisis tanda-tanda visualnya yang berupa icon, indeks dan symbol. Selain itu, penulis juga mencermati bagaimana komponen visual yang terdapat pada potongan gambar tersebut. Unsur visual ini seakan menjadi syarat wajib bagi penelitian visual seperti yang dijelaskan oleh Barnet (1985: 38) bahwa menelaah gambar seperti foto tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan seputar gelap terang, warna, komposisi, setting, gestur
badan, dan cerita apa yang terkandung di dalamnya. Karena penelitian ini mengambil film sebagai subjek penelitian, maka peneliti perlu menambahkan aspek gerak yang terjadi dalam film. Hal ini diperkuat dengan pemyataan Block yang membagi komponen visual film menjadi enam bagian, yaitu space, line and shape, tone, color, movement, dan rhythim. Setelah menganalisis aspek bahasa rupa dan semiotikanya penulis melanjutkan pembahasan pada aspek pendidikan dan tanggapan masyarakat terhadap film tersebut. Analisis pada aspek pendidikan meliputi tujuan pendidikan yang ingin dicapai dalam film Penumpasan G30 S PKI dan dampak psikologis para penontonnya berdasarkan teori-teori yang relevan terhadap permasalan penelitian. Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara berulang-ulang dan berkesinambungan antara pengumpulan dan analisis data, baik selarma pengumpulan data di lapangan maupun sesudah data terkumpul (Bogdan dan Biklen, 1982: 145). Pada tahap pertama terdiri atas tiga langkah, yaitu: l) checking, 2) organizing, dan 3) coding (Kadir, 1992:l). C. Pembahasan 1. Latar Belakang Pembuatan Film Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI adalah sebuah film untuk mengenang peristiwa kudeta versi pemerintah Orde Baru Soeharto, di mana kudeta Gerakan 30 September didalangi oleh Partai Komunis Indonesia atau PKI. PKI sendiri merupakan partai sayap kiri yang cukup memiliki pengaruh pada kancah politik pada awal tahun 1960-an bahkan dapat mengambil hati dari Presiden Soekarno. Kedekatan partai PKI dengan Soekarno memberi mereka kekuatan politik yang semakin besar di Indonesia. Sesuai dengan genrenya yaitu film dokudrama, film ini dibuat dengan tujuan yang sangat jelas yaitu sebagai propaganda rezim Orde Baru untuk mengkerdilkan Partai Komunis Indonesia. Karena harus diakui bahwa film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran infomasi, pendidikan, dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Hal ini senada dengan pendapat Grierson yang dikutip Tanzil (2010:7) ‘bahwa pembuat film dokumenter haruslah menempatkan diri sebagai seorang propagandis…’. Terlepas dari benar tidaknya isi cerita dalam film ini, Skenario Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI didasarkan pada sebuah buku tahun 1968 yang ditulis oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan penyidik Ismail Saleh yang berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia. Dalam mengadaptasi buku tersebut, Noer membaca banyak literatur yang tersedia (termasuk dokumen pengadilan) dan mewawancarai
sejumlah saksi mata. Selama syuting, kru menekankan realisme, "memberikan perhatian besar terhadap detail" dan menggunakan rumah sebenarnya dari para jenderal yang diculik dalam peristiwa tersebut. Dalam sebuah artikel di Wikipedia film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI memakai aktor dan aktris yang terbilang sangat banyak yaitu 100 peran kecil dan lebih dari 10.000 pemeran tambahan. Arifin C. Noer mencoba untuk menempatkan aktor yang mirip dengan tokoh-tokoh sejarah yang digambarkan, film ini dibintangi Bram Adrianto sebagai Untung Sjamsuri, Amoroso Katamsi sebagai Soeharto, Umar Kayam sebagai Soekarno, dan Syubah Asa sebagai DN Aidit; aktor lainnya antara lain Ade Irawan, Sofia WD, Dani Marsuni, dan Charlie Sahetapy. Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI yang pada awal proses produksinya berjudul Sejarah Orde Baru ini memakan waktu hampir dua tahun, menghabiskan empat bulan dalam pra-produksi dan satu setengah tahun dalam pembuatan film. Film yang mendapat pendanaan dari pemerintah kala itu menghabiskan Biaya sebesar Rp. 800 juta (http//Filmindonesia.or.id).
Sinematografi film ini ditangani oleh Hasan Basri, dengan
penataan musik oleh saudara Arifin, Embie C. Noer. Penyuntingan film dilakukan oleh Supandi. Bagian penutupan film, khususnya sepuluh menit akhir, menggunakan kembali rekaman arsip dan kliping koran kontemporer kala itu yang sehubungan peristiwa tersebut untuk memerikan kesan flashback yang sesungguhnya. 2. Makna Bahasa Rupa Dalam pembahasan makna bahasa Rupa pada penelitian ini yaitu bahasa rupa yang digunakan pada film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI yang dikupas melalui teori bahasa rupa maupun bahasa film, beserta semiotikanya baik berupa icon, indeks, symbol dan tanda-tanda lainnya. bahasa rupa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berupa ekspresi, warna, komposisi dan unsur-unsur seni rupa. Sementara bahasa film yang dimaksud peneliti adalah unsur naratif dan sinematik yang berupa pembagian cerita dan teknik pengambilan gambar seperti moving kamera, tipe shoot dan camera angle. Untuk memudahkan pembahasan makna Bahasa rupa dan film yang digunakan maka penulis membagi film menjadi tiga bagian besar sesuai pembagian pola pengembangan naratif film menurut Himawan (2008:2) yaitu tahap permulaan (exposition), tahap pertengahan (conflict), dan tahap penutupan (resolution). Dalam pembahasan ini juga penulis tidak menjelaskan secara menyeluruh scene yang terdapat pada film Penumpasan Penghianat
G 30 S PKI, dikarnakan bnyaknya scene yang ada sehingga peneliti hanya mengambil beberapa scene pada setiap tahap narasi yang ada. Pemilihan scene yang dibahas didasarkan pada seberapa penting scene tersebuat dalam kesatuan film, selain itu juga pemilihan ini dilihat dari ada tidaknya tanda semiotika yang cukup menarik untuk dibahas dalam penelitian, berikut dua dari banyaknya scene yang dibahas dalam penelitian; a. Tahap Permulaan 1) Scene Judul Film
Gambar Potongan Scene yang Memperlihatkan Judul Film. Sumber: Potongan Film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 S PKI.
Pada scene pertama tahap permulaan dimulai dengan visualisasi kobaran api yang berwarna merah diikuti tulisan yang bertuliskan “Pengkhianatan Gerakan 30 September”. Penggambaran api yang berwarna merah secara iconish qualisign menurut Sanyoto (2005) mempunyai sifat marah, berani, dan panas. Merah juga merupakan symbol umum dari perselisihan, bahaya, perang, dan sadis. Secara frame size api di shoot secara close-up. Dalam (http://moviefren.blogspot.com) dijelaskan bahwa fungsi close-up untuk memberi gambaran jelas terhadap objek. Secara garis besar pembuat film dalam sceen ini berusaha ingin memberi kesan Pengkhianatan Gerakan 30 September merupakan gerakan penuh bahaya, kemarahan, perselisihan, perang dan sadis. Hal ini dipertegas dengan frame size close-up untuk memberi kejelasan akan warna, kobaran dan sifat api yang menghancurkan tumpukan kayu. 2) Scene Politics Has No Morals Pada scene ini tampak jelas sineas berupaya untuk memperlihatkan setiap kata yang diucapkan Aidit merupakan cerminan dari buku-buku bacaannya yang tidak bermoral dan mengarah pada ajaran komunis. Secara teknis cineas menggunakan teknik close up pada obyek buku (gambar (a)) kemudian dilanjutkan dengan Extreem Close-up pada bagian mulut
(gambar (b)). Pola objek yang sama juga digunakan pada shoot selanjutnya walaupun dengan teknik shoot yang sedikit berbeda, pengulangan ini mempertegas kata-kata Aidit adalah ajaran dari referensi buku-bukunya.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
Gambar Potongan Scene Politics Has No Morals Sumber: Potongan Film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 S PKI.
Sama halnya dengan teknik cinematiknya yang menggunakan pola pengulangan, pemaknaan semiotika pada scene ini terjadi juga secara berulang dengan maksud dan tujuan yang sama yaitu bahwa perkataan Aidit adalah interpretasi dari buku bacaannya. Bahasa rupa yang ditampilkan secara cinematic seperti ini dapat dimaknai sebagai suatu indeks yang mempunyai makna kausal dengan apa yang diwakilinya. Selain pengulangan buku dan perkataan aidit dalam scene ini juga terdapat shoot yang bermakna Iconish Sinsign yaitu pengambaran secara visual berupa foto dan patung tokoh komunis untuk memperjelas perkataan Aidit merupakan ajaran para tokoh komunis. Sistem penandaan seperti ini pernah dibahas oleh Pierce dalam piliang (2012: 310) sebagai model triadic (representamen + objek + interpretan = tanda). Peneliti menjabarkan tanda bahasa rupa dalam scene ini sebagai berikut:
Gambar Diagram Sistem Penandaan Scene Politics Has No Morals Sumber: Potongan Film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 S PKI.
Model triadic ini memperlihatkan tiga elemen utama pembentuk tanda, yaitu objek (sesuatu yang dipresentasikan), representatemen (sesuatu yang mempresentasikan sesuatu yang lain), dan interpretan (interprestasi seseorang sebagai tanda/sesuatu).
3. Film G 30S PKI dalam Sudut Pandang Pendidikan a. Segmentasi Film Film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan penyebaran infomasi yang berupa pendidikan dan propaganda, namun seperti apa pendidikan yang dimaksud dan untuk siapa pendidikan itu ditujukan adalah suatu permasalahan tersendiri yang patut dibahas lebih jelas. Film dokudrama Gerakan Pengkhianatan G 30 SPKI dalam prolog pembukanya dijelaskan bahwa film ini dibuat dengan tujuan “….sebagai upaya pendidikan dan lebih-lebih sebagai doa serta renungan bangsa Indonesia…”, hal ini menjadi tanda tanya ketika film tersebut menjadi tontonan wajib bagi anak-anak di tingkat SD (Sekolah Dasar) dan SMP (Sekolah Menengah Pertama) dikarnakan banyaknya unsur kekerasan yang terdapat dalam film tersebut. Terlebih dengan adanya pernyataan Noer yang tertulis pada majalah Tempo edisi 7 April 1984 dalam artikel Pengkhianatan Bersejarah dan Berdarah, bahwa “Arifin membaca sebanyak mungkin, mewawancarai saksi sejarah, mencari properti asli untuk membuat film itu. Arifin pun mencita-citakan film ini menjadi film pendidikan dan renungan tanpa menawarkan kebencian”.
Gambar Potongan Film yang Menyebutkan Tujuan Pembuatan Film. Sumber: Potongan Film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 S PKI.
Di kalangan pendidik sendiri yang berhasil peneliti wawancarai mengenai layak tidaknya film ini ditonton oleh para pelajar di Tingkat SD, SMP dan SMA, Wita Yulyani S.Pd seorang guru seni budaya di SDN 2 Jayagiri mengatakan film Penumpasan G 30 S PKI sebaiknya ditonton oleh para peserta didik bahkan mulai dari tingkat SD agar rasa
Nasionalismenya tumbuh sejak dini. Namun sebaliknya dengan Ibu Yulia Dunia M.Pd yang mengatakan bahwa film tersebut tidak layak ditonton dikarnakan memiliki banyak adegan kekerasan bahkan cenderung sadis. Berdasarkan 55 angket yang penulis sebar pada guru-guru di SMP dan SMA Pancakarsa Kab. Bandung serta SMPN 1 Mundu Kab. Cirebon peneliti mendapatkan data sebagai berikut:
No. 1. 2. 3. 4. Ket:
Tabel Data Akumulasi Angket yang diberikan Pada Guru Sumber: Hasil Penyebaran Angket Jenis pertanyaan a. Apakah film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” termasuk film 35 pendidikan? Setujukah Bapak/Ibu film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” 30 ditonton peserta didik SD, SMP dan SMA? Film film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” memiliki unsur 24 kekerasan yang tidak mendidik dibandingkan dengan pesan pendidikannya. Film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” dapat membangun rasa 35 Nasionalisme. Pertanyaan 2 tidak ada Option (c). a. = Iya / Setuju b. = Tidak / bukan c. = Ragu-ragu
Diagram Hasil Penyebaran Angket Pada Guru Sumber: Data Penelitian
b. 15
c.
9
11
19
7
9
6
Pada data diatas dapat kita lihat mengenai layak tidaknya film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” ditonton oleh para pelajar di Tingkat SD, SMP dan SMA, sebanyak 30 pendidik yang pernah menonton film tersebut menjawab setuju, sembilan orang menjawab tidak setuju dan 11 orang menjawab ragu-ragu. Sementara data yang peneliti dapat dari angket yang disebar pada 136 pelajar (SD, SMP, SMA dan Mahapeserta didik) di Kota Cirebon, Kota Bandung dan Kabupaten Cirebon peneliti rangkum dalam tabel berikut:
No. 1. 2. 3.
Data Akumulasi Angket yang Diberikan Pada Pelajar Sumber: Hasil Penyebaran Angket Jenis pertanyaan a. b. Setujukah Anda jikafilm “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S 43 6 PKI” ditonton peserta didik SD, SMP dan SMA? Film film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” memiliki 21 22 unsur kekerasan yang tidak mendidik dibandingkan dengan pesan pendidikannya. Film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” dapat 48 6 membangun rasa Nasionalisme.
c. 13 19 8
Ket: a. = Iya / Setuju b. = Tidak / bukan
c.
= Biasa Saja/Ragu-ragu
Diagram Hasil Penyebaran Angket Pada Peserta Didik Sumber: Data Penelitian
Fenomena serupa juga terjadi pada responden pelajar, angket pada pelajarpun mendapat kesimpulan film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” layak ditonton oleh para pelajar di Tingkat SD, SMP dan SMA. Secara kelseluruhan sebanyak 43 pelajar yang pernah menonton film tersebut menjawab setuju, enam orang menjawab tidak setuju dan 13 orang menjawab ragu-ragu.
Tanpa
ingin
mengesampingkan
pendapat
responden
yang
sebagian
besar
menyarankan film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI di tonton oleh peserta didik SD, SMP dan SMA, namun dalam sebuah pendidikan baik pihak pemerintah, sekolah maupun para pendidiknya sudah seharusnyalah memikirkan aspek usia dan perkembangannya seperti pada pendapat Santrock dalam Yusuf dan Sugandhi (2012:9) yang menyatakan pembelajaran perlu memperhatikan tiga periode perkembangan yang terdiri atas periode anak (childhood), remaja (adolescence) dan dewasa (adulthood). Mengenai umur berapa seharusnya segmentasi film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dapat ditonton, berdasarkan pendapat pieget mengenai perkembangan intelektual dalam Baharudin (2012:118) manusia mampu memecahkan masalah yang nyata, mengerti hukum dan mampu membedakan baik buruk dimulai sejak usia 7-11 tahun. Sementara pada usia 11 tahun dan seterusnya perkembangan manusia mulai pada tahap dapat memecahkan masalah yang abstrak, berfikir ilmiah dan mengembangkan kepribdian.
Berdasarkan
pendapat pieget sebenarnya film Dokumenter yang penuh dengan intrik politik yang merupakan permasalahan yang abstrak dan kompleks dapat dimengerti oleh peserta didik dimulai dari umur sebelas tahun. Namun yang menjadi permasalahan terbesar dalam film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI bukan hanya alur ceritanya yang kompleks, akan tetapi banyaknya unsur kekerasan pada beberapa scene tertentu. Pengalaman melihat kekerasan dapat menjadi motivasi sugesti negatif yang selalu terbayang-bayang dalam ingatan peserta didik. Sementara masih dalam Baharudin (2012:52) “Untuk mengembangkan motivasi yang baik pada anak-anak didik kita, kita harus mengembangkan saran-saran atau sugesti yang positif…” Pendapat Pieget diatas mengenai klasifikasi perkembangan intelektual berdasarkan usia mungkin masih belum dapat menjadi dasar segmentasi usia film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dikarenakan kurang terperincinya usia yang diklasifikasikan. Bahkan Kroh masih dalam Baharudin (2012:107) menyatakan “dalam pribadi manusia terjadi beberapa goncangan psikologis.” Beberapa goncangan yang dimaksud dalam kutipan Kroh yaitu goncangan yang terjadi yang diantaranya pada usia 13 tahun dalam permulaan masa pubertas. Dengan adanya teori ini maka pendapat Pieget tidak berlaku dalam penentuan segmen usia film yang peneliti bahas. Dikarenakan klsifikasi usia yang dimulai sebelas tahun menurut Pieget secara tidak langsung dikatakan psikologis peserta didik masih rawan menerima input pelajaran yang mengandung unsur kekerasan.
Pada teori Pieget lainnya dalam Baharudin (2012: 118) mengenai ingatan menjelaskan bahwa manusia dapat meniru dan mengingat mulai di usia dua tahun, sehingga penulis menyimpulkan bahwa secara psikologi patutlah dipertimbangkan mengenai apa yang diingat oleh peserta didik baik itu ingatan ekslisit (sadar) maupun implisit (tak sadar).
(a)
(b) Gambar Potnongan Scene Pembunuhan Jendral A. Yani Sumber: Potongan Film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 S PKI.
(a)
(b)
Gambar Potongan Scene penyiksaan menggunakan silet Sumber: Potongan Film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 S PKI.
(a)
(b)
Gambar Potongan Scene penyiksaan menggunakan rokok Sumber: Film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 S PKI.
(a)
(b)
Gambar Potongan Scene Penyiksaan Menggunakan Belati. Sumber: Film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 S PKI.
Ingatan Implisit sendiri terbentuk dari ingatan episodic (pengalaman diri sendiri) dan ingatan semantic (berupa fakta serta pengetahuan secara umum), sementara ingatan eksplisit merupakan reaksi emosional yang terkondisi, keterampilan motoric, kebiasaan atau implisit dan priming (aktivasi implisit berbagai konsep dalam ingatan jangka panjang). Ingatan juga dapat diartikan sebagai kesanggupan jiwa mencamkan, menyimpan dan memproduksi suatu tanggapan (Baharudin: 44), maka dalam sebuah penbelajaran sudah seharusnya pemerintah maupun guru pengajarnya mengetahui kesanggupan jiwa peserta didiknya dalam memberikan pendidikan, khususnya dalam hal ini suguhan visual berupa film tertentu. Menurut Rovsseav dalam Baharudin (2012:106) ‘perkembangan fungsi dan kapasitas kejiwaan manusia berlangsung dalam lima tahap…’. Tahap kelima yaitu tahap perkembangan diri yang dimulai dari umur 20 tahun dengan kemampuan melakukan self direction dan self control. Sehingga dapat dikatakan dalam tahap ini manusia berkembang menuju kematangan dan memiliki sikap tanggung jawab pada diri sendiri dan lingkungannya. Dengan pemaparan Teori Rovsseav mengenai perkembangan fungsi dan kapasitas kejiwaan ini maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa segmentasi film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI dapat dikatakan aman ditonton oleh pelajar atau manusia yang memiliki usia mulai 20 tahun keatas. b. Unsur Pendidikan dalam Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI Secara visual dan teoritis film Penumpasan G 30 S PKI dikatakan banyak mengandung unsur kekerasan yang dapat merusak karakter serta perkembangan psikologi
peserta didik, namun pada beberapa scene lainnya film ini juga terdapat unsur pendidikan yang baik untuk ditonton. Film yang menceritakan kekejaman gerakan 30 September ini juga sebenarnya dapat menjadi pendidikan hidup yang konservatif, seperti yang diyatakan Djaali dalam bukunya Psikologi Pendidikan (2009:41) bahwa “Rasa takut itu dapat berperan sebagai pembimbing kearah pencapaian hidup yang konservatif dan kearah pencapaian kebijakan sosial, asalkan keadaan emosionalnya dapat menjaga tingkah laku yang secara rohaniah terarah”. Pada pembahasan unsur pendidikan dalam Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI peneliti tidak hanya melihat dari segi visual saja melainkan dari semua aspek film tersebut, baik dalam aspek cerita, bahasa maupun aspek budaya yang disisipkan dalam film. 1) Nasehat Kehidupan. Dalam scene ini tokoh film memberi nasihat agar manusia jangan mengeluh jika dalam keadaan sulit, melainkan harus memperteguh rasa keimanannya dengan mendekatkan diri pada Allah SWT.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4.28. Potongan Scene Nasehat Kehidupan. Sumber: Film Penumpasan Pengkhianatan Gerakan 30 S PKI.
Dialog Film: Ibu
: Loh Kok Marah? Saya Cuma bilang beras sekarang mahal sekali
Bapak : Lalu? Ibu
: Kalau jatah beras kita terus-terusan dicabut dari kantor, lama-lama kita bisa makan
sagu Bapak : yang penting halal, soal beras soal dunia, soal kedudukan soal dunia. Dalam kaadaan bobrok seperti sekarang ini kita harus lebih dekat kepada Allah dan jangan biarkan kita hanya mengeluh, iman justru harus kita perteguh, jangan mudah terbujuk oleh apapun, juga jangan takut pada ancaman komunis, Sopsi, mana semua itu! Kalau bukan sekarang, bukan kita yang memenangkan peperangan ini, Insya Allah anak-anak kita, Insya Allah anak-anak kita yang akan menegakan kebenaran di negri ini. Saya yakin kominis dan kaum matrealis akan hancur dimana-mana, manusia tidak akan mampu selamanya bersombong, seperti Putra Nabi Nuh. D. Pnutup 1. Sesuai dengan genrenya yaitu film dokudrama, film ini dibuat dengan tujuan yang sangat jelas yaitu sebagai propaganda rezim Orde Baru untuk mengkerdilkan Partai Komunis Indonesia, hal ini dilator belakangi dengan adanya pemberontakan G 30 S PKI. 2. Secara garis besar Film Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI yang dilatar belakangi Pengkhianatan G 30 S PKI dan peristiwa kudeta versi pemerintah Orde Baru, memiliki bahasa rupa yang simple dan mudah dipahami dikarnakan secara setting dan pemaknaan icon, indeks, symbol dan tanda penanda lainnya divisualisasikan secara jelas dan berulang-ulang melalui teknik sinematografi yang apik. Pemaknaan semiotika pada unsur rupa sendiri didominasi oleh tanda dan penanda yang berlaku umum pada masyarakat seperti warna merah pada api yang berarti marah, perselisihan, bahaya, perang, kejam dan sadis. Sementara pada cinematografi film ini menggunakan teknik Extreme long shoot, very long shoot, long shoot, medium shoot, medium close up, extreme close up, two shoot, over the shoulder, bird aye view, eye level, zooming, panning, tilting, framing, fading, dan moving objek dengan berbagai komposisi. 3. Pada bahasa pendidikan film ini sesuai tujuan yang diharapkan Noer memiliki beberapa pesan nasehat kehidupan namun secara keseluruhan film ini hanya memiliki sedikit unsur pendidikan, terutama jika dibandingkan dengan lamanya durasi film yang mencapai tiga jam lebih. Dengan banyaknya unsur kekerasan pada film, pesan-pesan pendidikan menjadi tenggelam, terutama pesan-pesan ini disampaikan oleh tokoh yang tidak terlibat langsung dalam narasi cerita utama, atau dapat dikatakan hanya sebagai selingan cerita
dalam film tersebut. Dengan demikian asumsi awal bahwa film ini merupakan film pendidikan menjadi kurang tepat karena dapat dikatakan film ini kurang memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sebagai film pendidikan bagi peserta didik sekolah. Bahkan secara teoritis film yang memiliki unsur kekerasan hanya boleh ditonton manusia pada usia 20 tahun keatas dengan kemampuan melakukan self direction dan self control. Sehingga dapat dikatakan dalam tahap ini manusia berkembang menuju kematangan dan memiliki sikap tanggung jawab pada diri sendiri dan lingkungannya. 1. Saran Sedikit berbeda dengan pendapat Yunus Yosfiah ( Menteri Penerangan pada era reformasi bergulir 1998) untuk melarang peredaran film “Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI” karna alasan, berbau rekayasa sejarah dan mengkultuskan seorang presiden. Peneliti berdasarkan hasil penelitian ini menyarankan agar peserta didik SD, SMP dan SMA yang memiliki umur di bawah 20 tahun untuk tidak menonton film tersebut lebih dikarnakan banyaknya unsur kekerasan dan kebencian yang berlebihan pada film, namun kembali lagi mengenai terlepas benar tidaknya rekayasa sejarah pada film tersebut peneliti justru merekomendasikan untuk warga negara Indonesia yang siap secara mental dan psikologis (mulai usia 20 tahun keatas), dikarnakan film ini dapat memberi kita bimbingan kearah konservatif, mengenai ideologi bangsa dan keamanan sosial serta politik di Indonesia. Film tersebut dapat pula dijadikan referensi pendidikan seni rupa mengenai visualisasi dan pemaknaan bahasa rupa pada sebuah film.
Daftar Pustaka Buku Ahmadi, H.A. (2007). Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Amir-Piliang, Y. (2012). Semiotika dan Hipersimiotika. Bandung: Matahari. Baharuddin. (2012). Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media. Chaedar-Alwasilah, A. (2011). Pokokya Kualitatif. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya. Djaali. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Gronemeyer, A. (1999). Film a Concises History. Great Britain, London : Laurence King Publishing.
Hartinah, S. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Refika Aditama. Hergenhahn, B.R. dan Olson H Matthew. (2009). Theories Of Learning. Jakarta: Kencana. Ida, R. Puspa, R. dan WI-Surya, Y. (2009). Transformasi Industri Media dan Komunikasi di Indonesia. Surabaya : Departemen Komunikasi FISIP UNAIR. Johan-Tjasmadi, HM. (2008). 100 Tahun Sejarah bioskop di Indonesia. Bandung : PT. Megindo Tunggal Sejahtera. Kattsoff. L.O. (2004). Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya. Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Leaman, O. (2004). Estetika Islam : Menafsirkan Seni dan Keindahan. Bandung : PT. Mizan Pustaka. Mudyahardjo, R. (2006). Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Roendi-Rohidi, T. (2011). Metode Penelitian Seni. Semarang : Cipta Prima Nusantara. Sachari, A. (2003). Metodologi Penelitian Budaya Rupa. Jakarta : Erlangga. Sasono, E. (2007). Kandang dan Gelanggang Sinema Asia Tenggara Kontemporer. Jakarta : Yayasan Kalam. Setiawan, B. (2006). Manifesto Pendidikan di Indonesia. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Siagian, G. (2006). Menilai Film. Jakarta : Dewan Kesenian Jakarta. Soehardjo, A. J. (2012). Pendidikan Seni. Malang : Universitas Negeri Malang. Sumardjo, J. (2010). Estetika Paradoks. Bandung : Sunan Ambu Press. STSI Bandung. Sumarno, M. (
). D.A. Peransi dan Film. Lembaga Studi Film.
Susanto, Miekke. (2011). Diksi Rupa. Yogyakarta: Dicti Art Lab. Syafaruddin. (2008). Efektivitas kebijakan Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Tanzil, C. Ariefiansyah, R. dan Trimarsanto, T. (2010). Pemula Dalam Film Dokumenter : Gampang-Gampang Susah. Jakarta Pusat : IN-DOCS. Thomas-Thompson, J. (1976). Policy Making in American Education. New Jersey: Englewood Cliffs. Verbeek. (1972). Psikologi Umum Bagian Ingatan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Woolfolk, A. (2009). Educational Psychology Active Learning Edition Yusuf, S. dan Sugandhi M. N. (2010). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Majalah Tempo edisi 7 April 1984
Internet akil, F. (2013). Manusia dan Kegelisahan. (Online). Tersedia:www.google.com/2013/1/httpFsyarifakil27.blogspot.comFmanusia-dankegelisahan.html Ferdinand. (2012). Metode Semiotika. (Online). Tersedia:
http://lorongsastra.blogspot.com/2012/10/metode-semiotika-menurut-
ferdinand-de.html Tn. (2013) Sejarah Ringkas Pendidikan. (Online). Tersedia:
http://di-am.blogspot.com/2013/05/makalah-sejarah-ringkas-pendidikan-
di.html Tn. (2010) Pengertian Film. (Onine) Tersedia:http://5martconsultingbandung.blogspot.com/2010/10/pengertianfilm.html