Sumber: Budaya Jaya, 128 Thn keduabelas – Januari 1979
Asrul Sani
BAHASA INDONESIA DALAM FILM DAN TEATER MODERN Pengantar Barangkali tidaklah terlalu di buat-buat kalau kita katakan bahwa film dan teater adalah alat yang baik sekali untuk penyebaran bahasa Indonesia. Sekarang ini kita rata-rata membuat 100 film setahun; di Indonesia tardapat lebih kurang delapan ratus buah bioskop; sedangkan perhatian dari pihak orang banyak terhadap film- film berbahasa Indonesia ini cukup baik. Sehingga jika kita berhitung secara kasar, maka setiap hari lebih kurang hampir setengah juta rakyat Indonesia mendajiat kesempatan untuk berada dalam lingkungan bahasa dan pengucapan Indonesia. Sedangkan akhir-akhir ini kelompok-kelompok teater tumbuh di mana- mana. Di Jakarta saja terdapat lebih kurang seratus tiga puluh keliompok teater yang mengadakan pertunjukan yang agak teratur. Sedangkan perhatian pada teateir modern dewasa ini — terlebihlebih di kalangan para remaja — boleh dikatakan sangat menggembirakan. Sehingga secara keseluruhan sumbangan teater modern untuk penyebaran bahasa Indonesia tidaklah boleh kita kecilkan. Jadi sudah pantas sekali kalau dalam kesempatan seiperti sekarang ini kita menunjukkan perhatian pada penggunaan bahasa Indonesia melalui kedua medium tersebut. Dalam hubungan ini kita merenung dan merasa risau: kalau medium yang begini efektif dalam mencapai orang banyak, apa tidak akan merugikan jika ia justru menyebarkan bahasa Indonesia yang tidak baik? Apakah ada sesuatu yang dapat kita lakukan untuk menghaJangi ini? Ini suatu pertanyaan? Sebelum kita menjawab pertanyaan ini dengan jawaban ya atau tidak perlu sekali terlebih dahulu kita mengkaji sifat penggunaan bahasa dan praktik penggunaan bahasa dalam film dan teater modern. Inilah yang ingin saya lakukan dalam kertas kerja ini. Saya lebih cenderung untuk memaparkan pengunaan bahasa dalam film dan teater sebagai laporan pandangan mata daripada menyajikannya sedemikian rupa hingga ia memperoleh bentuk sebuah rumusan masalah. Fungsi Bahasa dalam Film dan Teater Modern Fungsi bahasa yang kita temui dalam bentuk dialog, secara sepintas adalah sama dalam teater dan film. Tapi sebenarnya tidak. Secara teknis sebuah drama dapat kita rumuskan, sebagai sebuah bentuk cerita yang ditulis dan kemudian dipertunjukkan dalam percakapan-percakapan yang diarahkan. Dalam film ia juga mempunyai fungsi dramatis, tapi kedudukannya jauh lebih rendah daripada dalam teater. Sebuah pertunjukan drama tidak bisa dibayangkan tanpa adanya dialog-dialog yang manjadi inti dari drama tersebut. Tapi sampai saat ini cukup banyak film yang dibuat tanpa penggunaan dialog. Malahan sebelum film bicara ada sudah cukup banyak film- film bisu yang mengungkapkan berbagai persoalan dengan cara efektif sekali tanpa mempergunakan medium bahasa sebagai andalan. Dan kalau kita baca sebuah naskah drama dan
kita bandingkan dangan sebuah naskah film, maka naskah drama yang ha nya berisikan dialogdialog sudah dapat memberikan jalan cerita yang he ndak disampaikan sampai keperincian terkecil, sedangkan dialog-dialog yang dapat dibaca dala m sebuah naskah film belum lagi memberikan gambaran lengkap dari cerita film tersebut. Sehingga, biarpun dalam drama terdapat hubungan yang erat antara ucapan dan perbuatan, seluruh perbuatan sangat bergantung kepada dialog-dialog yang ada. Sedangkan dalam film, dialog bisa merupakan sekedar pelengkap dari perbuatan, atau jauh lebih kurang lagi, ia bisa sekedar merupakan efek suara, sama dengan bunyi kereta api, lenguh sapi, ngeong kucing dan sebagainya Sehingga cara penulisan dialog dalam drama juga berbeda sekali dengan cara penulisan dialog dalam sebuah skenario film, biarpun keduanya ditulis untuk diucapkan. Sebagai contoh coba kita kutip sebuah dialog yang terdapat dalam drama “Kusuma Hati” yang dipertunjukkan dalam tahun-tahun empat puluhan. Untuk mendapat gambaran bagaimana melompat- lompatnya dialog yang terdapat dalam film, saya hanya akan mengutip dialog saja tanpa keterangan-keterangan. Pertama-tama dialog dari KUSUMA HATI Mustajab: (gugup) Ba gaimana keadaan isteri saya, noria? Segala pertolongan tidak nanti dilupakan, jika saya tidak dapat membalas, tentu Allah nanti membalasnya, karena Allah tidak buta! To longlah saya, nona. Kamini : (sabar) Jangan gugup dan bingung, isteri tuan semalam tidur nyenyak sekali. Mengapa tuan banyak sangsi, sedang isteri tuan berada dalam rawatan yang baik. Mustajab : (heran dan aneh) Ha . . . ? Semalam isteri saya tidur nyenyak? Bagaimana sih? Sedang saya sudah dua malam tidak dapat tidur meskipun sakser saja, karena memikiri jika ada apa-apa. Jika dialog ini dibaca — dalam hal ini kita lupakan sebentar hal- hal yang buat telinga kita sekarang agak janggal, karena bahasa ini adalah bahasa Indonesia panggung komersial tahun empat puluhan, maka segalanya cukup jelas. Apa ya ng jadi percakapan mereka, dan bagaimana hubungan suami terhadap isteri yang ditanyakan. Biarpun dialog-dialog ini diucapkan tanpa melakukan apa-apa pengertian yang kita peroleh tidaklah akan berkurang. Tapi coba kita baca sebuah cukilan dari skenario “Titian Serambut Dibelah Tujuh” vang menggambarkan percakapan antara seorang bernama Ibrahim dan Saleh ‘seorang anak kecil’. IBRAHIM Sudah, sudah. Kau sudah besar. Jangan nangis. IBRAHIM Kau tidak akan dipukul laigi. Tapi kau mesti sekolah. IBRAH1H Aku punya dua. Kau boleh ambil satu. Kau mau ? IBRAHIM Hup! Sambut! Cukilan ini juga menggambarkan hubungan antara seseorang dan seseorang, tapi dialog ini tidak dapat menjelaskan seluruhnya. la hanya merupakan bagian dari perbuatan Ibrahim. Kelengkapan yang harus dimiliki oleh dialog sebuah drama membuat penggunaan bahasa dalam drama jauih lebih kaya dari pengigunaan tahasa dalam film. Bahasa film adalah bahasa kawat, bahasa antara sadar dan tak sadar. Yang menentukan bentuk-bentuk dialog ini adalah sifat hubungan kedua medium tersebut dengan realita. Dibandingkau dengan bentuk-bentuk kesenian lain maka teater dan film adalah bentuk kesenian yang sangat sekali terpaut pada zamannya. Dalam soal penggunaan bahasa ia sangat sekali bergantung kepada kebiasaan berbahasa yang terdapat dalam satu zaman. Teater dan film adalah bentuk kesenian yang harus dinikmati sekali duduk.
Artinya, berbeda misalnya dari sebuah novel yang bisa kita baca pada kesemipatankesempatan yang lowong, menghentikannya di sua tu bab dan kemudian membaca kembali pada kesempatan lain, membaca terus atau mengulaagi kembali bagian-bagian yang sudah kita baca tapi yang belum kita fahami dengan baik? Pokoknya cara penikmatannya sama sekali bergantung kepada pembaca. Lain halnya dengan sebuah pertunjukan teater atau film. Kita tidak bisa menghentikan. pertunjukan begitu saja dan minta bagian yang tidak begitu difahami supaya diulang. Kita harus menikmatinya sampai habis, dan keluar dari gedung pertunjukan dengan penuh pertanyaan atau dengan kepuasan yang cukup. Sifat penyajiannya ini memaksa penulis dialog teater atau film untuk menggunakan bahasa yang lebih langsung dan yang bisa ditangkap penonton pada saat ia di ucapkan. Dalam soal bahasa, teater dan film adalah semacam parasit. la mempergunakan bahasa yang sudah ada dan menyajikan bahasa dalam bentuk-bentuk yang lumrah dalam suatu zaman. la merupakan pedagang yang menjual barangnya secara bonongan, yang buruk dan yang baik sekali pukul. la akam menyebarkan bahasa: segala macam kebiasaan ya ng baik dalam bahasa dan juga segala macam salah kaprah. Secara kasarnya dapat diatmbil kesimpulan bahwa dalam soal bahasa teater dan film adalah hasil dari penggunaan bahasa masyarakat. Makin baik bahasa ya ng dipergunakan oleh ma syarakat akan lebih baik dan terang pula bahasa yang dipargunakan dalam film dan teater. Tetasa Ada Terkatakan Tidak Saya tadi telah menghukum film dan teater sebagai parasit dan benalu yang betul-betul hidup dari bahasa oraag banyak dan tinekah laku bahasa suatu bangsa. Hukuman ini sebetulnya terlalu berat. Dalam penggunaan kata-kata memang ia hidup dari perbendaharaan yang ada. Ini adalah suatu diisiplin atau kungkungan yang dipaksakan oleh medium semi yang ia pilih. Sungguhpun ia terkungkung oleh perbendaharaan yang ada, ia menghadapi sebuah tantangan besar. Karena salah satu ukuran buruk baiknya penulis dialog untuk sebuah drama atau film adalah kesanggupannya untuk memindahkan perasaan-perasaan baru, nua nsa-nuansa pikiran yang balum biasa diucapkan tapi sudah dihayati oleh masyarakat secara nyata ke dalam kalimatkalimat yang mudah dipahami dan wajar kedengarannya. Dengan demikian ia telah membantu mengeser batas-batas dunia perasaan dan pemikiran yang dikomunikasikan dengan bantuan ucapan, ke daerah-daerah yang lebih jauh. Dalam hal ini pengarang-penigarang kita cukup menhadapi kesulitan. Ada satu ucapan yang seringkali kita dengar diucapkan oleh orang Indonesia: Terasa ada terkatakan tidak. Dalam hidup sehari- hari ucapan ini dapat diterima sebagai pengganti permintaan,”harap maklum”. Tapi tidak ada drama tanpa ucapan, tidak ada dialog film tanpa ucapan. Seorang penulis skenario tidak bisa menggambarkan pertemuan dua orang muda yang saling jatuh cinta yang dalam cintanya terasa ada terkatakan tidak. Penulis itu tidak bisa mengarang serangkaian dialog di mana si pemuda bertanya apa kabar ayah si gadis dan si gadis menjawab baik-baik saja, lalu si pemuda bertanya bagaimana keadaan sekolahnya lalu dijawab oleh si pemudi baik-baik saja, dan selanjutnya menyerahkan kepada penonton supaya maklum bahwa kedua mereka itu saling mencinta. Masalah ini pernah menjadi pembicaraan yang ramai di kalangan pengarangpengarang Indonesia di tahun lima puluhan. Kalau seorang pemuda jatuh cinta pada seorang gadis, bagaimana caranya ia menyatakan cintanya. Dalam percakapan-percakapan itu
kedengaran pendapat bahwa pernyataan separti love you tidak ada dalam bahasa Indonesia. Jadi bagaimana? Ya, sama-sama maklum saja. Tentu saja seorang penulis drama atau penulis skenario tidak tertolong dengan jawaban seperti itu. Akhirnya mereka paksakan dan mereka berikan ucapan pada anak muda itu, “aku cinta padamu”. Sebelumnya percintaan dinyatakan dalam surat yang panjang lebar tapi muilai saat itu riaisa cinto bisa diikomunikasikan dengan lisan suatu cara yang lambat- laun tidak lagi ganjil kedengarannya. Ucapan itu begitu sudah menjadi perbendaharaan umum hingga ia sudah bisa dipergunakan untuk efek komedi seperti yang kita temui dalam ucapan Jalal dalam ,”Inem Pelayan Sexi”: ,”Saya cinta sampean!” Proses pembukaan daerah perasaan dan pemikiran baru ini akan berjalan terus, dengan masuknya berbagai unsur baru dalam dunia pemikiran dan perasaan orang Indonesia. Penterjemahan naskah- naskah asing untuk panggung tela h banyak membantu menyadarkan pengarang dan penonton drama Indonesia tertadap nuansa-nuansa pemikiran dan perasaan yang selama ini dihadapi secara borongan. Di satu pihak mulai terasa sekali keterbatasan daya jangkauan katakata yang ada untuk menyampaikan suatu hal yang lebih terbatas sifatnya dari yang disampaikan oleh kata itu biasanya. Ambillah misalnya kata,”gila”. Kata gila mengingatkan kita pada perbuatan-perbuatan yang berada di luar kelaziman pada penyakit pikiran, pada ketidakwarasan yang jauh, pada ketidakpantasannya seseorang untuk diajak bermasyarakat bersama-sama, pada sesuatu yang me nyimpang dari pendapat umum, Sementara itu pengetahuan kita tentang ilmu jiwa sudah lebih jauh, dan kita me ngerti bahwa yang dianggap kegilaan itu banyak macamnya dan tidak bisa dibungkus dengan kata gila saja. Dalam usaha penggeseran batas-batas dunia pemikiran dan perasaan yang diapit disampaikan dalam bentuk ucapan yang wajar ini teater modern kita jauh lebih maju dari filmfilm kita. Mungkin sekali karena dunia teater kita — artinya teater modern — seluruhnya dikuasai oleh orang-orang yang kreatif yang mempergunakan medium teater sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu. Eksperimen-eksperimen banyak dilakukan di situ; kalimat-kalimat yang menarik dan tidak konvensiona l banyak kita dengar di atas panggung kita. Tapi dunia film kita dikuasai oleh pedagaag-pedagang. Mereka membuat film bukan untuk menya mpaikan sesuatu, tapi untuk mencari uang. Dan untuk ini memerlukan jumlah penonton sebanyak mungkin. Dan penonton yang banyak ini menurut mereka tidaklah ditemui di kalangan terpelajar, tapi di kalangan orang-orang yang bodoh, yang persoalannya hanya berputar sekitar : uang — makan dan pakaian — serta hubungan kelamin. Tidak semua film Indone sia dibuat atas dasar ini, tapi sebagian besar. Hingga orang mengatakan bahwa dialog-dialog yang terdapat dalam film Indonesia adalah dialog-dialog yang hanya sepantasnya diucapkan ole h anak kecil atau makhluk gabungan orang utan yang memperole h badan manusia. Dalam teater dan film sangat berlaku pemeo yang berkata,”bahasa menunj ukkan bangsa”: bangsa tidak saja dalam pengertian bangsa tapi juga derajat, kedudukan sosial, kemuliaan sifat dan sebagainya. Di satu pihak kekurangan-kekurangan dalam segi ini dapat kita katakan akibat dari kelemahan penguasaan teknis mengarang para penulis drama dan skenario Indonesia. Tapi di lain pihak, hubungan bahasa dan derajat seseorang daiam masyarakat Indone sia memang tidak jelas. Sebagai sebua h ilustrasi barangkali dapat saya kutip sebuah ucapan yang saya dengar dalam sebuah rapat mengenai masalah- masalah masyarakat. Pembicara tersebut berbicara tentang memasyarakatkan kebiasaan menabung. la berkata: “Kebiasaan menabung ini harus
dimasyarakatkan”. Lalu ia tambahkan: ..Atau dalam bahasa para pembesar ,”dimasyarakatkan” Ilustrasi ini menyadarkan kita bahwa dalam tahap sekarang belum ada suatu hub ungan yang logis antara derajat sosial seseorang dengan bahasanya. Malahan barangkali bisa kita katakan bahwa justru orang-orang yang menurut kedudukannya harus dihormati, sangat tidak boleh dihargai dalam penggunaan baihasanya. Kecuali tentu kalau ia lagi mengutip ucapan-ucapan resmi data menjadi “his master's voice” mempidatokan partisipasi “pembangunan” dan sebagainya. Bagitu ia pindah pada penyampaian pendapat pribadi, maka dengan sedih harus kita catat bahwa antara kehidupan rohaniah Bapak yang terhormat itu dengan seorang nelayan atau petani biasa tidak banyak bedanya. Pendidikan dan kedudukan seseorang di masa sekarang ini belum lagi menjamin penggunaan baihasa Indonesia yang baik, seperti misalnya baik nya penggunaan bahasa Inggris oleh orang-orang Inggris ya ng terpelajar. Sehinigga pembedaan melalui penggunaan bahasa tidak lain banyak kita temui dalam film dan teater kita. Ketinggian kedudukan seseorang lebih banyak ditunjukkan oleh sikap, isi dari ucapan- ucapan daripada corak bahasa. Penggunaan Langganan Bahasa Daerah Masalah langgam bahasa ini merupakan masalah yamg rumit sekali dalam film dan tender. Dalam teater, di mana penguasaan teknik bermain makin lama makin menjadi prasyarat bagi seonang aktor, lebih banyak usaha yang dilakukan untuk meluruskau langgam bahasa ini. Tapi dalam film, di mana prasyarat yang dikenakan pada seonamg pemain berbeda dari prasyarat yang dikenakan pada seorang aktor panggung keadaan ini masih sangat buruk sekali. Umumnya para bintang-bintang kita itu tidak meguasai teknik pengucapan bahasa dengan baik. Kesadaran bahasa juga tidak. Hingga banyak film Indonesia yang ceritanya bermain misalnya di Jawa Timur memperdengarkan ucapan- ucapan langgam Jakarta. Seorang pemain yang menurut cerita berasal dari Sumatera dan memakai nama yang agak galib bagi orang-orang berasal dari Sumatera mengucapkan dialog-dialognya dengan lidah Jawa yang tebal. Struktur-struktur kalimat yang dituliskan oleh penulis skenarionya pun menunjukkan struktur kalimat yamg sangat dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Hal- hal ini adalah hal- hal yang tidak disengaja, dan merupakan cacat yang menganggu dalam film- film Indonesia. Tapi akhir-akhir ini terdapat suatu perkembangan yang wajar, yaitu kecenderungan untuk mempergunakan la nggam suatu daerah dengan sengaja. Contoh-contoh seperti ini misalnya kita temui dalam film- film seperti dalam film “Jembatan. Merah” bahasa Indonesia langgam Surabaya, “Inem Pelayan Sexi” bahasa Indonesia Madura, “Bulan di atas Kuburan” bahasa Indonesia langgam Medan. dan langgam Jakarta. Di sini langgam semacam ,,couleur locale" dan untuk memberikan semacam latar belakang kebudayaan pada tokoh tersebut. Kecenderungan seperti ini sebetulnya adalah kecenderungan yang biasa dalam dunia film. Karena film bercerita tentang individu- individu dan tokoh-tokoh. Sedangkan tokoh-tokoh tidak lahir dari satu kevakuman. la harus punya latar belakang, punya lingkungan yang membentuk pribadinya dan bahasanya. Kenyataan ini menghadapkan seorang pemgarang dan skenario keipada sebuah tantang-an baru, yaitu tantangan yang ditimbulkan oleh kevakuman latar belakang bahasa Indonesia bukanlah sebuah kebudayaan yang ho mogen, tapi suatu kesinambungan sosial yang terdiri dari segala macam unsur, yang tidak semuanya dimiliki oleh
setiap anggotanya. Seorang tokoh drama atau film yang berbahasa Indonesia yang baik, adalah seorang tokoh modern denga n latar belakang sejarah tertentu. la tidak berasal dari mana- mama, ia orang Indonesia sekaligus dari Sabang sampai Irian Jaya. Bahasanya dapat dimengerti, cukup komunikatif untuk semua orang Indonesia. Tapi bahasa itu adalah bahasa yang hanya dapat dipahami dan diresapi dengam baik dalam konteks pribadinya, tidak dalam konteks suatu lingkungan atau suasana kebudayaan. Tapi ini bukanlah suatu kelemahan. Ini adalah suatu tantangan bagi setiap seniman yang ingin menulis drama atau skenario film. Bagaimana juga tokoh-tokoh yang ia gambarkan harus merupakaa individu yang hidup, yang punya latar belakang yang dilahirkan dan dibesarkan ditumpak bumi tertentu dengan kebiasaan tertentu, yang punya kedudukan sosial tinggi atau rendah. Saya kira kesadaran untuk mencapai itu sebaikbaiknya ada, tapi dalam keadaan sekarang kita baru dapat mengatakan ia berlada dalam tahap perkembangan. Penutup Praktik penggunaan bahasa dalam film dan teater modern telah saya laporkan secara garis besar. Perkembangannya erat sekali dengan perkembangan penggunaan bahasa oleh masyarakat dan kesanggupan bahasa itu sendiri untuk menjadi alat pengutaraan hal- hal yang lebih dalam daripada yang hanya sekedar bisa dilihat dengan mata dan dihayati secara badaniah. Dalam tahap sekarang teater lebih maju dari film. Teater sudah banyak menyumbangkan usaha untuk memudahkan bermacam nuansa perasaan, dan pikiran ke dalam ucapan- ucapan. Film masih jauh ketinggalan. Apa ada yang dapat kita lakukan? Ada. Yaitu, sekiranya para sineas kita mendapat kesempatan untuk membuat film- film yang mennperlihatkan tokoh-tokoh yang tidak sekedar memperkatakan soal-soal dangkal seperti makan, seks dan sebagainya, tapi lebih menukik kepada niai- nilai yang lebih dalam. Dengan adanya kesempatan ini perkembangan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan pengutaraan artistik, dalam film dan teater akan tertolong sekali.