"Hidup PKI...! Hidup PKI"...! "Doooorrrrrrr ......................!" Maka matilah ......
Semenjak terjadinya apa yang dinamakan G30S-Gerakan Tigapuluh September- yang diketuai oleh Letkol Untung Samsuri Komandan Pasukan Pengawal Presiden dan Kolonel A. Latief dari Kodam V Jaya, pada dinihari 1 Oktober 1965, yang (menurut catatan), diketahui dan mendapat dukungan dari Letjen Soeharto Pangkostrad, keadaan ibukota tanah air nampak seolah-olah begitu mencekam. Soeharto yang dari semula mengetahui rencana dan seluk beluk bahkan mendatangkan bantuan pasukan militer dari Jateng dan Jatim untuk membantu aksi G30S, seperti yang diucapkan dan dijanjikan kepada Letkol Untung Samsuri, jauh sebelum aksi G30S, tiba-tiba saja pada 1 Oktober itu berbalik arah. Setelah aksi G30S membunuh 6 Jenderal petinggi Angkatan Darat, Letjen. Soeharto yang semula bersekutu dengan Letkol. Untung dan Kolonel A. Latief, berbalik batang, seperti seekor kucing yang telah begitu lama menunggu mangsanya, tiba-tiba menerkam dan mengerahkan pasukan lain yaitu RPKAD yang memang juga telah dipersiapkannya untuk memburu habis pasukan yang juga dipanggil oleh Soeharto untuk membantu G30S yaitu Yon 430 dari Jateng dan Yon 530 dari Jatim. Soeharto berhasil memporakporandakan gerombolan aksi G30S yang dibalik layar tidak lain adalah usaha Soeharto sendiri bersama Untung dan Latief untuk menghabisi para rivalnya, para Jenderal Angkatan Darat, yang membuka kedoknya ketika ia menjadi Pangdam VII Diponegoro. Setelah dia tahu bahwa rivalnya, para jenderal telah dihabisi oleh anak buah Untung dan Latief mulailah Soeharto unjuk gigi, mengengkari SaptaMarga dan Sumpah Preajurit dengan membangkang dan menolak perintah dari atasannya yaitu Presiden/Pangti Abri. Pada pagi hari 1 Oktober 1965 itu, pertama-tama Soeharto dengan angkuh menolak penunjukan Presiden/Pangti Abri atas Letjen Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Angkatan Darat disebabkan terbunuhnya Menpangad Jenderal A. Yani. Dimulai dengan pembangkangan terhadap perintah presiden itu, Soerharto mulai melakukan kudeta merangkaknya sedikit demi sedikit. Bahkan Soeharto berani memerintahkan Presiden/Pangti Abri, supaya semua perintah untuk anggota militer harus melalui dirinya. Sayangnya, Presiden/Pangti Abri tidak berbuat apa-apa terhadap
1
pembangkangan Letjen Soeharto yang jelas sekali melanggar Sumpah Prajurit dan Sapta Marga ini…! Dia justru membiarkan dan mererstui pembangkangan ini! Mulailah Soeharto melaksanakan strateginya…Seluruh Indonesia sedikit demi sedikit mulai berada didalam kukunya dan Angkatan Darat. Dengan alasan membersihkan G30S sampai keakar-akarnya, yang direkayasa dan difitnah dengan ucapan "Itu pasti perbuatan PKI", maka PKI, yang dituduh berada dibelakang gerakan yang membunuh para jenderal TNI itu mulailah diburu dan dihancurkan. Dengan licik Soerharto dan Angkatan Darat menghasut massa rakyat dan pemuda untuk bangkit menghancurkan G30S yang diembel-embeli menjadi G30S/PKI. Angkatan Darat giat membangun organisasi-organisasi "komando aksi" massa pemuda pelajar dan lain-lainnya seperti Kami, Kappi disamping mendukung organisasi-organisasi pemuda dari partai politik agama serta Komando Aksi Pengganyangan Gestapu (Kap- Gestapu) yang dipimpin oleh tokoh-tokoh pemuda Islam dan Katolik serta mendapat dana $50 juta dari Kedutaan AS. Dengan organisasi-organisasi yang didukung penuh oleh Angkatan Darat dibawah pimpinan Pangkostrad Letjen Soeharto ini, mulailah mereka mengharubirukan Jakarta dan Indonesia umumnya. Dengan alasan "membasmi g30s/pki sampai keakar-akarnya" mulailah bertlaku terror diseluruh bumi Nusantara. Penangkapan dan pembunuhan yang dilakukan oleh massa aksi dengan bantuan dan backing RPKAD dibawah komando Kolonel (tahun 1965) Sarwo Edhi Wibowo, yang secara personil begitu bangga mengaku sendiri telah membunuh 3 juta jiwa orang komunis. (bersama dengan 400 orang anggota RPKAD dan anteknya tentu-pen). Orang-orang yang dianggap, dituduh ada indikasi langsung maupun tidak langsung dengan "g30s/pki" diburu, ditangkap, dipenjarakan, bahkan dibunuh didepan mata sanak keluarganya. Anak gadis mereka diperkosa dan dibunuh, harta benda mereka dirampas atau dibakar. Massa pemuda atau golongan yang menamakan dirinya "angkatan" yang didukung dan disponsori oleh Militer Angkatan Darat, menjadi algojo-algojo yang seenaknya membunuh rakyat tanpa hukum, seperti Jenghis Khan yang membabati rakyat Khmer atau Cochin China jaman dahulu kala. Letjen Sarwo Edhi Wibowo sendiri mengakui dan mengatakan bahwa "rakyat harus dihasut untuk membunuh PKI kalau mereka sendiri tidak mau dibunuh". Di seluruh pelosok tanah air, di setiap pulau, di setiap propinsi, kota dan desa, rakyat yang tidak tahu apa-apa ditangkap, dijebloskan kedalam tahanan atau dibunuh ditengah ramai karena dituduh PKI, atau ada indikasi, terlibat langsung maupun tidak langsung
2
dengan g30s/pki. Teror menjadi-jadi. Dari Oktober – Desember 1965, di Indonesia mayat-mayat bahkan tanpa kepala dari orang-orang yang dituduh PKI, bergerlimpangan dipinggir-pinggir jalan, dirawa-rawa, merapung disungai-sungai, berbulasn-bulan rakyat takut makan ikan sungai, bahkan kepala-kepala tanpa tubuh menjadi pajangan dipinggir atau disimpang-simpang jalan. Pembunuihan merajalela dibawah arahan dan restu Letjen Soeharto dan angkatan Darat. Tidak heran kalau Bertrand Russel, pemikir besar liberalism mengatakan bahwa: "In four month, five times as many peoples died in Indonesia as in Vietnam in 12 years" (Kompas 9 Pebruari 2001). Begitu hebatnya terror, begitu hebat dan besarnya pelanggaran hak azazi manusia pada saat itu, yang dilakukan oleh manusia-manusia yang menjadi kakitangan dan begundal Soeharto, hingga tidak heran kalau mereka mendapat imbalan dari Soeharto berupa kedudukan-kedudukan empuk dan kekayaan, hingga keanak-cucunya sampai sekarang. Namun, semua itu mereka coba tutupi, tidak perlu dibicarakan karena mereka tahu akan membawa dampak yang sangat besar terhadap orang-orang yang masih duduk berkuasa sekarang, seperti apa yang pernah dikatakan oleh mantan presiden SBY bahwa "membicacaran masalah G30S sebagai tidak produktif" (Rakyat Merderka 1 Oktober 2006). Karena apa SBY berkata begitu? Karena bapak mertuanyalah si dajalnya! Sebagaimana terjadi diseantero daerah di Indonesia, di Propinsi Riau, di kota Pekanbaru, keadaannya tidak berbeda dengan tempat atau kota-kota lain di Indonesia. Semua yang dianggap berbau PKI ditangkap. Tidak peduli, apakah itu PNI, ataukah GMNI ataukah Partindo ataukah Baperki, apalagi yang jelas sebagai PKI atau Sobsi, atau Perbum atau BTI, atau SBKB, atau Gerwani atau Lekra ataupun Pemuda Rakyat! Semua ditangkap dan yang tidak sempat dibunuh, dipenjarakan, "diamankan", dijebloskan ke dalam sebuah bangunan Kamp Konsentrasi/Rumah Tahanan Militer yang dipopulerkan dengan sebutan TPU, Tempat Panahanan Umum, yang kala itu terletak di pojok Jalan Semar dan Jalan Pepaya, di selatan kota Pekanbaru. Kamp Tahanan ini adsalahg sebuah tempat berdinding beton/tembok tinggi sekitar 5 atau 6 meter. Sedang panjang dan lebarnya masing-masing sekitar 50 atau 60 meter. Kalau dilihat dari luar, bangunan tembok ini seperti Rumah Penjara yang ada di Tangkerang Pekanbaru. Didalam bangunan ini ada 11 barak atau kamar-kamar yang terbuat dari papan dan berlantaikan semen. Semua yang ditangkap, tidak peduli, apakah dia anggota Staff Caltex, atau anggota BPH Riau, atau anggota DPRD atau anggota militer atau cuma tukang gerobak barang. Semua ditangkap dan dijebloskan ke dalam Tahanan. Bahkan yang sedang belajar di Amerika, dipanggil pulang dan dimasukkan ke dalam Kamp Tahanan.
3
Tidak kurang 600 orang tahanan yang yang ditangkap mulai 18 Nopember 1965 dan dijubelkan di RTM/TPU, dalam kamar-kamar yang sangat tidak memadai menurut ukuran manusia, di samping ratusan bahkan ribuan yang dipecat dari pekerjaan terutama dari perusahaan minyak Amerika Caltex (sekarang bernama Chevron) di Rumbai, Minas Duri dan Dumai dan sekitarnya. Yang tidak mendapat "tempat" dalam kamp tahanan, terutama yang diduga hanya sebagai anggota biasa atau simpatisan, dijadikan Tahanan Rumah atau Tahanan Kota yang jumlahnya mencapai ribuan. Begitulah situasi dan kondisi pada saat itu. Selanjutnya, sesuai dengan judul cerita ini, marilah kita melihat kedalam Kamp Tahanan TPU/RTM yang terletak di Pekanbaru Selatan itu, karena penulis adalah salah seorang dari sekian ratus atau ribu orang-orang yang ditahan oleh rezim Soeharto, tanpa diproses atau diadili sebab "diduga ada indikasi terlibat langsung maupun tidak langsung dengan G30S/PKI" (kalimat tanda kutip ini adalah istilah terkenal dan menakutkan pada masa kekuasaan Soeharto.). Penulis adalah seorang pegawai non staf pada perusahaan minyak Caltex di Rumbai. Pada tanggal 18 Nopember 1965, diambil oleh Polisi Militer ditempat kerja lalu ditahan di TPU/RTM sampai 20 Desember 1977 tanpa diproses atau diadili. Dan penulis masih sempat mengingat apa yang pernah terjadi dalam kamp tahanan itu, dan bersama ini ingin untuk berbagi ingatan dan cerita tentang suka dukanya kepada para pembaca. Semenjak hari penagkapan dan penahanan, mereka yang disebut "tapol" (tahanan politik) itu, tidak tahu apa yang harus diperbuat. Bahkan yang lebih parah lagi, mereka tidak tahu apa salah mereka. Apakah menjadi anggota PKI dan semua organisasi massanya yang dijamin dan dilindungi Undang-Undang RI itu salah? Banyak sekali hal-hal yang sangat meresahkan para tahanan sebab ketidak tahuan mereka itu. Tahun 1966, merupakan tahun yang menakutkan dan menteror mental para tahanan yang disebut "Tapol" (tahanan politik) itu. Berita mengenai pembunuhan sadis tak berperikemanusiaan terhadap anggota, pimpinan dan simpatisan Komunis di Jawa, Bali, Aceh, Sumatra Utara, sampai ketelinga para tahanan di dalam Kamp dan membuat para tahanan takut dan gemetar. Diperoleh cerita kemudian hari, bahwa Letjen. Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD mengaku sendiri telah membunuh tiga juta komunis. Tiga juta! Jumlah itu berarti separo dari jumlah Yahudi yang dibunuh Hitler dalam Perang Dunia kedua. Ditambah lagi dengan ratusan ribu yang ditahan di seluruh pelosok persada tanah air termasuk Pulau Buru. Begitu moral yang dipunyai oleh pimpinan Kostrad Letjen Soeharto. Moral Serigala. Disamping itu, di TPU/RTM sendiri ada saja para tahanan yang dibawa ke Teperda (Team Pemeriksa Daerah) untuk "diinterogasi" oleh pihak militer, dan dikembalikan ke tempat tahanan dengan muka lebam dan tubuh babak belur. Bahkan, 4
setiap malam ada para tahanan yang di "bon", yaitu "dipinjam" yang katanya untuk diperiksa, namun ternyata tidak kembali, hilang lenyap ditelan bumi. Bahkan sampai berbelas tahun, dimana pusaranya, tidak diketahui…….! Tahun 1967, para tahanan yang gelisah dan putus asa tanpa ada ketentuan bagaimana nasibnya itu, rombongan demi rombongan diangkut ke suatu gedung pertemuan dan dijejali indoktrinasi tentang Moral, Agama, Pancasila dan MPRS bahkan tentang penangkapan dan pembunuhan D.N. Aidit, Ketua PKI. Pihak berkuasa dan para kroninya, pihak yang membunuh jutaan rakyat sipil yang tak berdosa dan yang tak melawan, menganggap diri mereka lebih tahu tentang Moral dan Pancasila, sedang mereka menahan dan menganiaya orang-orang yang tanpa salah. Nah siapa yang ber-Moral dan ber-Pancasila? Setelah selesai pen-cekok-an (indoktrinasi) itu, para tahanan yang ratusan jumlahnya, diangkut dengan truk dan dibawa ke daerah Pintu Angin (nama tempat saat itu). Di situ, mereka dipaksa kerja untuk meratakan tanah, menimbun petak-petak bangunan dengan batu-batu pecah dan tranah, untuk pengecoran lantai mesjid agung An Nur yang akan didirikan dan yang bakal menjadi mesjid kebanggaan umat Islam kota Pekanbaru. Brigjen. Kaharudin Nasution yang pada saat itu adalah Gubernur/Ketua Pepelrada Riau, datang melihat "kerja bakti" (atau kerja paksa) yang dilaksanakan oleh para Tapol G30S/PKI itu. Seorang Tapol, sambil bekerja sesamanya bertanya kepada temannya: "Apa hukumnya, bagi orang yang mempekerjakan orang-orang yang mereka tuduh anti Tuhan, untuk membangun tempat ibadah suci, Mesjid An Nur ini Halal atau Haram?" Yang lain cuma tersenyum pencong bahkan ada yang tertawa nyengir. "Semoga Allah Yang Maha Esa melihat bahwa orang Komunis juga punya andil ikut membangun mesjid An Nur ini tanpa bayaran!". Keadaan Kamp Tahanan atau TPU Pekanbaru itu, tidak memungkinkan untuk para keluarga berkunjung dan bertamu, selain menyampaikan makanan atau pakaian dan kemudian pulang, tanpa bisa berbicara ataupun memperbincangkan soal keluarga dan anak-anak. Disitu tidak ada tempat atau ruang untuk bertamu atau sejenisnya. Semua dilakukan di antara pagar kawat berduri didepan gerbang tahanan. Yang ditahan berada di sebelah dalam, dan keluarga yang bertamu berada di sebelah luar kawat berduri. Lewat kawat berduri itulah para keluarga mengulurkan makanan atau pakaian kepada suami atau ayah atau keluarga yang menjadi tahanan.
5
Kemudian, entah kapan mulainya para Tapol diperbolehkan untuk
keluar dari tembok
lewat pintu kawat berduri Kamp Tahanan , dan duduk menggelar tikar di halaman rumput di sekitar rumah jaga (gardu) bersama keluarga yang mengunjunginya. Dan para prajurit yang mengawal berjalan berkeliling mengawasi para tapol yang duduk bersama keluarga, anak dan istrinya. Karena bertamu dengan cara menggelar tikar di halaman depan Kamp pada pagi hari atau siang dirasakan terlalu panas tersengat matahari, terutama bagi anak-anak dan wanita, maka pengawal tahanan mengizinkan para tahanan untuk menggelar tikar dan menerima tamunya di bawah pohon nangka, pohon kelapa, atau di sebelah rumah-rumah penduduk yang jaraknya hanya beberapa meter dari tembok tahanan dan gardu penjaga. Dan prajurit pengawal tetap berjalan keliling mengawasi para tapol yang duduk bersama keluarganya. Setiap tahanan, seolah-olah telah mendapat tempat atau pojok buat menggelar tikar untuk keluarganya, pada hari bertamu, Sabtu atau Minggu. Tidak pernah terjadi serobot menyerobot tempat yang teduh, kendatipun keadaannya nampak seperti "pasar pagi". (Kira-kira, seperti penduduk Pekanbaru yang menggelar tikar dipagi subuh dan berjualan sayur mayur di sepanjang Pasar Pusat, jalan Sudirman saat ini……). Seorang teman, seorang pemuda Riau asal Bengkalis, memilih dan mendapat tempat di samping sebuah rumah seorang tua, di bawah sebuah pohon nangka. Tempat yang ideal untuk menggelar tikar dan bercengkerama dengan keluarga, walaupun hanya dengan waktu bertamu yang sangat terbatas. Apalagi di pohon nangka itu ada sebuah sangkar yang berisi seekor burung beo yang pandai bersiul dan berceloteh, milik si empunya rumah, orang tua yang dipanggil pak Gaek. Nampaknya teman ini dan anak-anaknya sangat menyukai dan serasi sekali dengan tempat bertamu di bawah pohon nangka dengan sangkar burung beo yang digantungkan di cabangnya itu, kendatipun tempat itu tidak jauh dari "rumah kecil" alias kakus milik pak Gaek. Ya, mereka terpaksa dan harus ‘senang’ menerima keadaan seperti itu. Setiap saat hari-hari bertamu, dia selalu kelihatan di sana bersama keluarganya. Suatu hari, para tahanan tidak diperbolehkan keluar tembok. Bahkan mendekat pintu kawat berduripun tidak diperkenankan. Para pengawal mengatakan akan ada kunjungan dan pemerikasaan CPM dari Padang Sumatra Barat. Memang kamp tahanan ini sering mendapat pemeriksaan dari Polisi Militer yang dating dari Padang. Dengan seringnya mereka inspeksi, banyak hal-hal yang ditabukan untuk para tahanan, seperti alat tulis atau baca, bahkan para tahanan tidak diperbolehkan menerima gula pasir. Kalau keluarga memberi gula dan kopi, gula harus dirobah terlebih dahulu menjadi cairan seperti madu atau molases….! Gila……tapi begitulah para polisi militer memperlakukan para tapol….!
6
Menjelang tengah hari, serombongan militer anggota CPM yang lengkap dengan "paha ayam" (pistol) bergantungan di pinggang mereka, memasuki Kamp dan memeriksa keadaan di dalam Kamp Tahanan dengan muka angker. Tidak ada komentar mereka melihat para tahanan yang berjubel dalam kamar-kamar yang tidak memadai, yang jika tidur harus bersesak-sesak dan hanya beralaskan tikar di atas papan atau lantai semen. Mereka tidak peduli dengan wajah-wajah para tahanan yang pucat pasi karena kurang makan dan gizi. Mereka hilir mudik menunjukkan kegagahan dan keangkerannya, dengan baret biru dan pakaian dinas serta pistol dipinggang. Selesai melakukan inspeksi, mereka keluar Kamp dan memeriksa keliling sekitar Kamp Tahanan, terutama di sekitar rumah-rumah penduduk di sebelah utara tembok Kamp Tahanan yang tentunya mereka dengar bahwa area itu digunakan bagi para tapol menggelar tikar buat menerima tamu sanak keluarganya. Beberapa waktu, setelah para anggota Corps Polisi Militer yang saat itu sudah berobah nama menjadi Pomad, keluar dari area dalam tembok Kamp yang ditinjaunya dan pintu gerbang kawat berduri ditutup rapat dan di gembok oleh pengawal gardu, tiba-tiba terdengar nyaring satu suara tembakan senjata api yang bunyinya lantang kedengaran sampai ke dalam Kamp. " Dooooorrrrrrrrrr !" Para tapol berpandangan satu sama lain dan saling bertanya dengan penuh curiga dan cemas, "Siapa yang ditembak? Apakah ada kawan kita yang kedapatan diluar?" Kekuatiran menyelimuti segenap perasaan para Tapol. Beberapa hari kemudian, pada hari Minggu berikutnya, para tahanan diperbolehkan kembali menerima tamu seperti biasanya. Mereka menggelar kembali tikar-tikar mereka di tempat di mana mereka biasa duduk bersama keluarganya yang datang bertamu. Si teman yang pemuda Bengkalis, kembali membawa keluarganya dan menggelar tikar di bawah pohon nangka di samping rumah pak Gaek. Teman ini menjadi sangat terkejut dan kecewa sekali, karena sangkar burung yang digantungkan di cabang pohon nangka itu kosong, tidak ada burungnya. Karena pak Gaek kebetulan sedang menyapu halaman belakang dengan sapu lidi, teman ini memberanikan diri menanyakan kepada pak Gaek apakah burung beo yang ada disitu terbang ? Dengan penuh kekesalan dan marah, pak Gaek itu menjawab: "Tantara kalera...... jo burung beo sajo takuik. Burung itu bacaloteh: "Hidup PKI.......Hidup PKI". Tentara itu mancabuik pistol lalu manembak "Dooooorrrrrrrr !"......Matilah.... si burung beo itu ! Kiranya, itulah bunyi tembakan yang terdengar dari dalam Kamp ketika kunjungan pemeriksaan dari rombongan CPM dari Padang itu. Teman ini dan para tapol merasa sedih dan kasihan kepada pak Gaek karena kematian burung beonya ditembak "tantara" yang phobi, yang begitu takut dengan kata-kata "PKI". Sungguh malang dan kasihan si burung 7
beo yang setiap saat mendengar bisikan kata "hidup pki" dan bernyanyi mengulangi kata-kata itu tanpa tahu samasekali arti dan maksudnya. Burung beo……burung yang cerdik, bisa mengulang kata yang diajarkan kepadsanya, pandai bicara tapi tak tahu apa arti kata yang diucapkannya. Kasihan si burung beo yang menjadi korban keusilan teman tahanan itu. Namun, lebih kasihan lagi adalah "tantara" yang berwatak seperti itu, terhadap kata-kata PKI saja takut setengah mati. Begitu juga, orang-orang yang mewarisi phobi dan sifat serta bicara lantang tanpa berpikir seperti burung beo ini, orang-orang yang menjadi pewaris dan penerus rezim brutal Orde Baru, orang-orang yang pernah menyokong, membesarkan dan mengagungkan diktator tak berperikemanusiaan Soeharto, yang sampai hari ini masih ketakutan setengah mati akan kata-kata PKI dan Komunis, seperti melihat hantu di siang hari! Mereka berteriak dan menuduh PKI berontak; tidakkah mereka pernah berpikir, kalau PKI benar berontak, kenapa 3 juta anggotanya, dan 20 juta simpatisannya tidak melawan? Semua mereka gampang dibunuh dan dianiaya, seperti membunuh ayam dalam kandang karena mereka tak melawan dan tak bersenjata. Itukah yang disebut berontak? Mereka menuduh PKI kudeta, tidakkah mereka berpikir kalau PKI berontak, kenapa Presiden tetap Soerkarno, tidak ada Menteri yang ditangkap dan ditahan dan tidak ada pembubaran Kabinet. Pernahkah mereka dengan hati dan pikiran jernih menganalisa, siapa yang berontak, siapa yang kudeta? Nah, kalau kita mau jujur, maka jawabnya hanya satu, yaitu: Soeharto! Soeharto yang berontak melawan perintah Presiden/ Pangti Abri; Soeharto yang mengkudeta Pemerintahan R.I, menangkap dan memenjarakan 15 Menteri dan para petinggi militer dan siapa saja yang tak disukainya, mengkudeta Bung Karno dan menahanya sampai mati. Itu sejarah! Namun masih ada saja orang yang tak tahu malu mengatakan bahwa PKI berontak, PKI kudeta dsb. Terlebih lagi G30S yang diprakasai Letkol. Untung dan Kolonel Latief, dikatakannya G30S/PKI. Padahal, tanpa persetujuan Soeharto, tanpa bantuan Soeharto mengirim pasukan militer dari Jateng dan Jatim untuk membantu G30S, maka G30S tidak pernah bakal ada. Kenapa tidak terbuka pikiran bahwa sebenarnya Soeharto dalangnya! Namun 32 tahun kekuasaannya, cukup waktu untuk mendidik seorang dungu menjadi fanatik. Dan mereka yang telah fanatik dan mengidap phobi ini, yang tak ubahnya seperti burung beo, tidak bisa belajar dan melihat sejarah, dan tetap saja berteriak "bahaya laten komunis, pki berontak, pki kudeta, pki dalang g30s" tanpa dapat mereka buktikan kebenarannya. Sungguh berjasa besar Soeharto yang telah berhasil menciptakan beo-beo yang sampai sekarang masih berkuasa baik dalam pemerintahan maupun dalam partai politik, yang setiap saat meneriakkan kata-akata yang diajarkan fasis Soeharto. Padahal, seharusnya mereka, orang-orang, atau golongan atau tokoh-tokoh yang berasal dari angkatan ini, angkatan itu, mesti memikirkan nasib para korban rezim diktator Soeharto, di mana jutaan jiwa rakyat Indonesia sekarang ini masih hidup dalam stigma dan derita di bawah hukum-hukum dan 8
peraturan warisan Orde Baru yang diskrimatif dan tidak berperikemanusiaan,
yang
sampai sekarang masih berlaku, resmi ataupun tak resmi. (Contoh: Peraturan Menteri Dalam Negeri Letjen. Amir Mahmud No 32/1981— Bukti dan fakta masih ada sampai sekarang). Semoga mereka yang menjadi tokoh pewaris dan pemimpin negara ini, terbuka hati dan pikirannya dan jangan cuma pandai berteriak-teriak seperti burung beo, asal teriak, tanpa tahu arti dan maknanya. Ingat pesan Bung Karno "Jangan Se-kali-kali meninggalkan Sejarah". Berbakti dan bekerjalah untuk Rakyat yang masih menderita! Selama TPU/RTM Pekanbaru "menyimpan" para tapol dari 19 Nopember 1965 sampai dikeluarkan karena desakan Amnesti International dan IGGI pada 20 Desember 1977, banyak para tapol yang mati karena kurang makan/gizi, dan banyak yang diambil malam dan dihilangkan (berjumlah 40 orang) yang kuburannya tidak diketahui sampai sekarang. Disamping itu banyak diantara mereka yang beberapa hari setelah dikeluarkan dari Kamp Tahanan (istilahnya waktu itu: "dikembalikan ke masyarakat") mati karena penyakit dan derita selama dalam tahanan belasan tahun. Untuk mengetahui siapa-siapa mereka itu semua, termasuk 300-an tapol yang yang dikeluarkan dari Kamp Tahanan Pekanbaru, daftar nama-namanya bisa anda lihat dalam buku ‘RIAU BERDARAH" terbitan Hasta Mitra 2006. Catatan: Bagi generasi muda dikota Pekanbaru Riau, tentu akan sulit untuk melihat dimana letak bangunan tembok TPU/RTM yang pernah digunakan untuk menahan ratusan Tapol G30S selama belasan tahun hidup yang penuh derita dan sengsara itu, karena dengan bertambah besarnya kota Perkanbaru, bukti sejarah yang penuh kenangan itu telah dibongkar dan diganti dengan suatu bangunan yang bernama Plaza Matahari. Dalam kunjungan penulis tahun 2015, penulis tidak lagi menemukan rumah tahanan yang dikelilingi tembok tinggi, tempat kenangan penuh derita itu. Namun penulis juga tidak memasuki Plaza Matahari yang megah, yang menjadi pengganti Tempat Penahanan Umum/Rumah Tahanan Militer yang dijadikan rumah dan tempat bangsa Indonesia yang oleh rezim orba Soeharto dituduh sebagai terlibat G30S/PKI. Penulis sempat mengabadikan diri didepan tempat asal bangunan Tembok TPU/RTM Pekanbaru, yang penuh mengandung cerita duka nestapa selama dipisahkan dan tertutup dari dunia luar selama 12 tahun. Kisah ini-atas permintaan teman di Perkanbaru- ditulis kembali dan diperbaiki sesuai dengan ejaan Bahasa dan keadaan kini, dari tulisan asli yang diposting dalam situs Kabar Indonesia-Netherlands, pada 19-Jan-2007, 17:45:31 WIB - [www.kabarindonesia.com] (YTT-7/3/2016)
9
10