KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S VI
BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H PULAU BURU Sebelum tahun 70-an pulau ini tidak banyak dikenal dan diketahui oleh banyak orang, bahkan mungkin saja anak sekolahan pun tidak tahu dan tidak dapat dengan cepat menunjukkan dimana letak Pulau Buru itu. Seperti halnya pulau-pulau lain, Pulau Buru juga salah satu untaian jambrut katulistiwa. Kalau kita perhatikan peta bumi Indonesia , Pulau Buru terletak di bagian timur Indonesia , pulau ini termasuk kedalam propinsi Maluku. Tepatnya terletak di 127° Bujur Timur dan 3° Lintang Selatan. Lalu mengapa pulau ini tidak banyak diketahui oleh umum?, ya barangkali karena memang pulau ini tidak mempunyai keistimewaan apa-apa, tidak punya kelebihan apaapa, tidak mempunyai potensi apa-apa, Pulau Buru seolah menjadi suatu pulau yang terabaikan dan terlantar. Seandainya saja pulau ini mempunyai potensi sebagai suatu pulau kepariwisataan, tentunya oleh pemerintah daerah pulau ini telah lama dibudidayakan untuk menambah devisa (pendapatan) daerah. atau mungkin saja karena masih banyak pilihan pulau-pulau lain yang lebih berpotensi sehingga pulau ini jadi benar-benar tertinggal tanpa tersentuh oleh tangan-tangan terampil. Tetapi setelah tahun 1970-an pulau ini mendadak muncul kepermukaan, bahkan namanya mencuat dan dikenal oleh dunia internasional. Apakah di sana ditemukan tambang emas yang melimpah?, atau telah ditemukan tambang minyak yang menjadi sumber devisa negara?, atau telah ditemukan sumber mineral lain yang sangat bermanfaat bagi negara dan dunia internasional?. Tidak!, tidak ada ditemukan apapun di Pulau Buru . Pulau Buru menjadi terkenal dan menjadi pembicaraan khayalak ramai karena di sana telah didatangkan dan diisi oleh manusia-manusia buangan, manusia-manusia yang menjadi musuh pemerintah, manusia-manusia yang dicap anti Pancasila, anti Tuhan, anti agama dan manusiamanusia yang dicap tidak bernilai manusia. Kalau pada jaman kolonial Belanda, Digul menjadi tempat pembuangan orang-orang yang dicap pembangkang oleh pemerintah Belanda sehingga para tahanan itu dikenal dengan sebutan Digulis, maka Pulau Buru menjadi pelengkap, tempat manusia-manusia yang dicap sebagai pembunuh. Lalu mengapa Pulau Buru dipilih menjadi tempat pembuangan tapol?. Mungkin saja hal itu dilakukan oleh pemerintah dengan pertimbangan yang antara lain : Untuk mengurangi kepadatan penduduk, khususnya di pulau Jawa. Sebagai tempat pembuangan pulau ini mudah dikontrol. Karena letaknya berdekatan dengan Ambon, ibu kota provinsi Maluku, dengan pesawat helikopter Pulau Buru bisa dicapai dalam hitungan menit saja. Pulau ini tidak mempunyai hutan yang lebat, tidak mempunyai hutan yang kaya akan aneka tumbuhan yang bisa menghidupi. Tingkat budaya penduduknya pun relatif rendah, sehingga sulit diajak berkomunikasi. Oleh karena itu bagi tapol yang ingin meneruskan kegiatan politiknya dan bagi tapol yang sangat extrim dan nekat mencoba lari masuk hutan, maka mereka harus berpikir seribu kali. Orang-orang buangan ini masih tetap merupakan tahanan. Sebagai orang yang dibuang
tentunya mereka harus bertahan hidup dengan keringat, otot dan tulangnya sendiri, dan sebagai tahanan, kapan saja bilamana diperlukan orang-orang ini tetap masih bisa ditangkap lagi. Pulau Buru dijadikan sebagai pilot proyek pertanian, siapa tahu dengan modal sekecil mungkin dan sikap menekan serta intimidasi bisa berhasil dan mungkin bisa menjadi lumbung bagi kawasan timur Indonesia. Pulau Buru memang tidak bisa dikatakan subur, terutama Pulau Buru bagian Utara, tanahnya tidak bertulang (tidak berbatuan), tidak berkapur. Tetapi bagian selatan pulau ini agak lain, karena di bagian selatan ada pegunungan, yang oleh penduduk setempat disebut gunung Batabual. Pulau Buru yang lebih kecil dari pulau Bali ini penduduknya masih jarang dan bisa dikatakan setengah nomaden, hidup berpindah-pindah dengan berburu, makanan pokoknya sagu. Rawa sagu di pulau ini juga tidak terlalu banyak. Kalau keberadaan sagu ini hanya untuk konsumsi penduduk asli, barangkali saja seumur-umur pun tak akan habis mereka makan, tetapi kalau pulau ini harus menampung manusia-manusia buangan dari pulau Jawa dan mengkonsumsi sagu itu sehari-hari, barangkali hanya sepuluh atau dua puluh tahun saja sagu-sagu itu sudah habis ludes. Oleh karena itulah pertanian di pulau ini harus digalakkan dan sagu-sagu itu hanya sebagai makanan pendukung saja. Tenaga-tenaga terampil dari orang-orang buangan yang juga banyak dari kalangan petani diharapkan dapat membuat pulau ini mempunyai masa depan yang cerah dan bisa menjadikan pulau ini sumber makanan atau lumbung bagi kawasan timur Indonesia . Dan jika sudah demikian maka pulau ini bisa diexploitasi habis-habisan dan oleh karena itu setatus tahanan bagi para tapol tidak akan berakhir selama-lamanya. Hal ini terbukti di belakang hari sesudah para tapol mendiami pulau ini. Tak bisa dibilang lain, seperti halnya dengan Nusa Kambangan, pulau ini adalah tetap merupakan penjara. Itulah sedikit gambaran umum tentang Pulau Buru. ADRI-11 yang mengantar kami ke wilayah perairan Maluku ini sesuai dengan informasi yang kami terima memang benar-benar kapal rusak. Hal ini terasa dari jalannya yang lambat, terseok-seok. Suara mesinnya juga terdengar keras, gelondangan seperti mesin giling jalanan. Olengnya kapal ke kiri dan ke kanan sangat terasa sekali, kalau sedang oleng ke kiri lambung kanan kapal terangkat ke atas dan lautan di sebelah lambung kiri terlihat jelas dari jendela di sisi kiri kapal dan tentu begitu juga sebaliknya kalau kapal oleng ke kanan, seolah-olah sisi kanan kapal serasa mau tenggelam. Aku tidak menghitung berapa lama kapal berlayar melintasi laut kidul (Lautan Indonesia ). Kapan kapal belok ke kiri menuju ke arah timur laut, menerobos ujung selat Sumba, belok ke kiri melewati selat Sape (selat antara Sumbawa dan Flores ), tidak ada yang tahu dan juga tidak ada keterangan dari pihak awak kapal ADRI-11. Yang aku ketahui sesudah empat-lima hari kapal berlayar, saat tengah malam entah jam berapa kapal berhenti membuang sauh. Dan baru pada pagi harinya ada sedikit berita, kapal mau merapat di Ujung Pandang . Untuk apa?, mengisi bahan bakar atau tangki air tawar?, atau barangkali para awak perlu belanja bahan makanan?. Tidak, kapal berhenti bukan untuk itu dan kapal tidak merapat di Ujung Pandang, ADRI-11 berhenti jauh dari pelabuhan Ujung Pandang, bahkan sejauh mata memandang pelabuhan itu sama sekali tak nampak. Jelas bagi kami ternyata mesin kapal kembali rusak dan mati jadi perlu diperbaiki. Baru pada sore harinya kapal kembali berlayar lagi. Matinya mesin kapal ADRI-11 ini mengingatkan kami saat di Nusa Kambangan, saat seorang teman menjelaskan,
"Tenggelamnya kapal itu tidak sekaligus ambles kedalam air, dia tenggelam pelan-pelan." Bagiku cepat atau lambatnya kapal kalau tenggelam ya tetap tenggelam, dan sarana penyelamat tentu diutamakan bagi para awak kapal. Perkara nasib tapol kalau harus tenggelam bersama ADRI-11 itu adalah kecelakaan, kalau hal itu terjadi maka mereka semua akan bebas dari tanggung jawab. Kalau mengingat hal itu hati ini benar-benar menjadi kecil dan menciut. Kalau melihat peta, jika seandainya kapal berlayar menerobos selat Sumba terus ke timur melalui laut Sawu, menerobos selat Ombai yang ada di antara Timor-Timur dan pulau Alor kemudian terus belok ke kiri berlayar menuju ke utara, lempeng melewati laut Banda maka sampailah kita di Pulau Buru itu. Tapi itu tidak dilakukan, kapal tidak melewati Timor-Timur yang masih menjadi wilayah sengketa, barangkali karena dikhawatirkan akan ada di antara para tapol yang nekat terjun ke laut, menuju Timor-Timur dan bergabung dengan gerombolan fretelin, ooh sangat berbahaya. Hari terus berganti, aku tak sempat menghitung berapa lama perjalanan kapal mengarungi lautan. Walaupun jalannya ADRI-11 terengah-engah, sesuai dengan kondisinya yang telah tua, alhamdulillah akhirnya kapal yang kami tumpangi sampai juga di Namlea, ibu kota Pulau Buru dengan selamat. Kapal tidak bisa merapat, kami turun dari kapal naik “lending” menuju ke darat. Naik ke darat kepala jadi puyeng, kalau menunduk kepala terasa bergoyang, begitu juga dengan temanteman yang lain, orang bilang itu namanya mabuk darat. Namlea kota kecamatan, kota satu-satunya kota terbesar di pulau ini. Tidak ada pemandangan yang menarik untuk diperhatikan, mungkin karena mabuk darat itulah kami jadi tak sempat memperhatikan keadaan sekelilingnya dan memang tak ada pemandangan yang menarik untuk diperhatikan. Dengan dikawal oleh aparat baju hijau tentu, kami menuju bedeng penampungan sementara sebelum menuju tempat kami yang sesungguhnya, belantara pembuangan. Sejenak di bedeng penampungan sementara ini kami beristirahat. Seluruh badan terasa lengket, karena tak pernah tersiram air tawar sejak di Nusa Kambangan, ditambah lagi selama perjalanan di kapal, ya hampir dua bulan badan ini tak pernah tersentuh air tawar, kecuali hanya dua gayung, saat ada mandi masal di Nusa Kambangan. Walau bagaimana pun kami tetap harus bersyukur karena kami masih diberi air tawar untuk minum, bukan air laut yang asin. Karena itu sesampainya kami di darat yang pertama kali kami lakukan adalah mencari sumber air tawar. Seperti yang telah kuceritakan di muka, Pulau Buru Utara yang akan kami huni ini tidak bertulang, tidak berbatu. Di belakang bedeng penampungan sementara ini ternyata ada juga diusahakan menggali sumur. Karena tidak berbatu dan tanahnya berupa pasir, maka galian sumur itu pun diberi cerobong dari bambu, agar tanah tidak kembali gugur ke bawah. Airnya tidak banyak, tidak lebih dari 10 cm tingginya dari dasar sumur, tambang atau timba pun tidak ada, kalau toh ada tetap tidak bisa di timba. Karena keadaan darurat aku bersama beberapa teman nekat turun ke dalam sumur, dengan sebuah rantang aku gayung air serantang demi serantang, tidak kurang dari satu jam kemudian terkumpulah air sebanyak dua ember. Dengan dua ember air inilah kami sepuluh orang bisa mandi awak-awak, caranya dengan mencelup sebuah kain untuk membasuh badan, lumayan, badan terasa pera tidak lengket lagi dan terasa enteng. Seorang petugas memberi penjelasan, “Saudara-saudara, tempat ini bukan tempat kalian yang
sebenarnya, tempat ini hanyalah untuk sementara saja. Tempat bagi kalian yang sesungguhnya masih jauh, masih memerlukan perjalanan sekitar satu atau dua jam lagi, dengan lending menyusuri sungai Wai Apu. Mudah-mudahan kalian bisa segera menuju ke sana . Di sana tersedia air melimpah, tidak perlu berebut.” Di tempat penampungan sementara ini barangkali hanya untuk menyelesaikan urusan administrasi. Dan mungkin saja di tempat ini pak Slamet dan beberapa orang yang dipandang pantas mewakili kami, berunding dengan penguasa. Berapa lama para tahanan ini masih memerlukan bantuan dari pemerintah sebelum bisa berdikari. Sedikit yang bisa kami dengar, wakil kami mengajukan permohonan bantuan selama satu tahun penuh. Tapi ditolak, permohonan turun tiga bulan menjadi sembilan bulan, itu pun juga ditolak. Rupanya sudah ada harga mati, pas bandrol, sesuai dengan ketentuan dari Jakarta , bantuan hanya diberikan sampai enam bulan saja. Mereka mengatakan, “Sesudah enam bulan segalanya menjadi urusan kalian sendiri. Kalau masih mau hidup silahkan bekerja, tanah tersedia luas. Kalau nggak mau bekerja dan pilih mati, jika itu maumu ya silahkan.” Mau bilang apa?, sekali lagi kami harus kalah. Namanya juga tapol, akidah agama rupanya telah berubah, bagi para penguasa membuat tapol mati seolah hukumnya wajib dan pahala menanti di surga. Di penampungan ini kami mendapat kelambu untuk kerudung tidur, seperti umumnya daerah pantai, nyamuk sangat banyak dan angin laut bertiup kencang, yah rupanya masih ada juga rasa kemanusiaan mereka. Di tempat ini pula seorang Letnan memberikan penjelasan tentang niat baik pemerintah untuk merehabilitasi status tapol menjadi warga negara yang baik, warga negara yang sehat fisik dan mental, menjadikan tapol warga negara yang utuh dan Pancasilais. Rupanya pak Letnan ini adalah mantan ajudan Jendral Basuki Rahmad, Mentri Dalam Negri yang meninggal di atas pangkuan pak Letnan itu. Mungkin saja sebagai seorang ajudan mentri, pak Letnan mendapat penjelasan dari sang jendral tentang rencana pemerintah soal pembuangan para tapol, bahkan bisa jadi sang jendral itu sendiri adalah salah seorang inspirator “Pulau Buru” sebagai pulau yang ideal untuk pembuangan tapol. Sesudah istirahat semalam dengan jatah makan tetap seperti yang dulu-dulu juga bahkan lebih parah dari sebelumnya karena kami mendapat ransum nasi tanpa sayur, pagi harinya kami pun sudah diperintahkan untuk bekerja, sebagian mencabuti rumput tanpa alat, sebagian lagi dikerahkan untuk mencari kayu bakar buat masak di dapur umum. Kali ini aku termasuk beruntung, kebagian tugas mencari kayu bakar. Dengan dikawal oleh seorang prajurit kami jalan menuju pantai, di sana terdapat banyak pohon kelapa yang tak terawat, pohonnya tinggitinggi dan buahnya jarang, pohon lamtoro juga ada di pulau ini. Kami belum tahu persis bagaimana watak-watak para prajurit penjaga yang umumnya dari suku Ambon . Di manapun dan apapun suku dan kebangsaannya yang namanya manusia tentu mempunyai aneka macam watak dan perilaku. Walaupun kami mendapat cap dan sebutan sebagai orang kejam, kafir, atheis anti Pancasila dan sebagainya, kami juga tetap manusia normal yang tahu menghargai seseorang. Pak prajurit yang mengawal kami ternyata orangnya ramah, sopan dan senang ngobrol. Dia ngomong, “Nanti kalau sudah tiba di pantai, di sana banyak pohon kelapa, mas-mas boleh kasih panjat dan ambil buahnya, nanti bisa dimakan.” Benar juga, beberapa orang di antara kami ada yang bisa memanjat pohon kelapa, langsung
saja mereka memetiki kelapa-kelapa itu, sedang yang tidak bisa memanjat seperti aku, karena sudah nafsu banget ingin meminum dan memakan kelapa yang pastinya segar banget juga tak mau kalah, kami memunguti kelapa-kelapa yang berjatuhan karena sudah kering, untuk dimakan. Melihat perbuatan kami pak prajurit berkata, “mas, jangan ambil itu kelapa kering seng enak dimakan, ambil saja toh yang di pohon masih ada yang muda, airnya enak diminum.” Dalam keadaan darurat akal manusia tetap saja selalu ada, karena tak ada alat untuk mengupas kelapa, aku pun mengambil batang lamtoro segede lengan, kuruncingi ujungnya dengan golok satu-satunya yang ada, kutancapkan batang itu ke pasir, kukupas kelapa yang baru dipetik itu dari sabutnya, kelapa pun terkelupas. Suatu pekerjaan yang tak pernah kulakukan selamanya, ee kok dalam keadaan terpaksa segalanya bisa dilakukan, alhamdulillah. Kami sengaja berlama-lama menikmati kelapa dan airnya yang telah lama tak kami cicipi lagi. Pak prajurit diam membiarkan kami berpesta, rupanya pak prajurit memaklumi keadaan fisik kami yang kurus ini dan ia merasa iba dan kasihan. Sebagai seorang prajurit sudah seharusnya ia patuh menjalankan perintah dan menjalankan disiplin keprajuritan. Tetapi sebagai seorang manusia biasa manakala ada kesempatan yang baik tidak ada salahnya pak prajurit memperlihatkan naluri kemanusiaannya. Sekali lagi, tidak peduli kepada siapa saja kalau memang ia pantas diacungi jempol ya kami acungi jempol. Terima kasih pak prajurit!, hanya itu yang bisa kami katakan. Sesudah sedikit kami merasakan kelonggaran, tugas pokok mencari kayu bakar pun kami kerjakan. Batang-batang kayu kering yang sudah lama roboh banyak berserakan. Memasuki garis pantai ke dalam sedikit banyak pula kayu-kayu kering di sana . Kami semua bejumlah kira-kira dua puluh orang, masing-masing membawa sepanggul kayu, ada juga kami membawa beberapa butir kelapa untuk oleh-oleh teman-teman di bedeng. Di penampungan sementara ini juga ada klinik darurat yang membagikan obat-obatan, kami manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya, sakit nggak sakit bilang saja puyeng dan meriang, lumayan bisa buat persediaan jika nanti barangkali kami benar-benar jatuh sakit. Rupanya perundingan rampung, tanda jadi sudah diterima dan ditanda tangani. Esok paginya sesudah jatah makan siang selesai disantap, kami siap untuk digiring ketempat pembuangan terakhir (sempat terpikir mungkin tempat itu akan menjadi tempat abadi bagi kami). Lending sudah siap, harta kekayaan kami sudah kami bawa, tidak banyak acara dan upacara, rongsokkan manusia ini pun segera berangkat menuju belantara untuk menapaki hidup baru. Lending itu bentuknya seperti kotak yang bagian depannya bisa dibuka untuk pendaratan. Lending berjalan menyusuri tepian sungai Wai Apu. Di kiri-kanan tepian sungai tampak kerindangan dengan pohon-pohon gede, pohon timbul (kluwih) banyak tumbuh dan pada berbuah. Mungkin penduduk setempat nggak ngerti kalau buah timbul bisa dimakan, terutama untuk disayur. Karena tanah yang tidak berbatu pohon-pohon ini banyak yang tumbang terkena erosi dan jatuh melintang di sungai menjadi penghalang jalannya pelayaran. Kami pun berharap mudah-mudahan di tempat kami yang baru nanti juga banyak terdapat pohon timbulnya, lumayan bisa untuk ganjel perut. Ya apa lagi yang terpikir kecuali memikirkan perut, mau mikir apa?, kebebasan?, ngelamun, atau mikir keluaga?, bisa sinting nanti. Tengah hari kami menapaki daratan, petugas yang mengawal kami memberi tahu tempat mendarat ini bukanlah tempat kami, ini unit-I sedang kami akan menempati Unit-II, dan kami meneruskan perjalanan ke Unit-II dengan berjalan kaki. Aku berpikir, kapan aku sampai di
tempat yang sebenarnya?, harus berjalan kaki lagi. Karena unit-I ini juga belum digarap, kayu-kayu gede yang sudah ditebang oleh Transkop masih tampak malang melintang dan tumpang tindih di mana-mana. Transkop hanya bertugas menebangi saja, selesai menebang, selesailah tugas mereka dan terus ditinggal. Urusan pohon-pohon yang tumbang malang melintang itu semuanya menjadi urusan para pecundang ini. Dengan membawa harta masing-masing, perjalanan terasa lambat, kadang-kadang kami harus merangkak di atas pohon yang melintang untuk menghindari duri-duri rotan yang berserakan. Sebenarnya jika saja jalan setapak sudah ada perjalanan itu tidak memakan waktu terlalu lama. Jarak antara unit-I dan Unit-II sebenarnya tidak lebih dari dua kilo meter. Aku jadi teringat kembali pada lamunanku saat di Budi Kemuliaan, ketika sang calon bapak mendongengi istrinya cerita tentang Palgunadi dengan istri tercintanya memasuki hutan belantara menuju negri Astina. Eh nggak tahunya cerita dalam lamunanku itu menjadi kenyataan yang kualami sendiri. Hanya saja aku memasuki hutan belantara bukan sebagai seorang ksatrya yang berkelana mencari guru untuk menuntut ilmu, tetapi sebagai manusia buangan yang harus melakukan kerja paksa. Biar lambat, kepastian tempat yang di tuju pasti akan tiba. Dan akhirnya sampailah kami di tempat tujuan. Unit-II yang tercinta. PULAU BURU: - Unit-II Unit-II juga terletak di tepi sungai Wai Apu, ini tentu dimaksudkan agar memudahkan komunikasi atau koordinasi antar unit. Di seberang sungai terletak Unit-III, di kemudian hari aku ketahui bahwa nasib pak Hasyim tak beda denganku beliau menjadi penghuni Unit-III, hanya waktu keberangkatan kami saja yang tidak bersamaan. Unit-II berdiri di atas lapangan yang luas dan dipagari kawat berduri dua lapis di sekelilingnya, di pinggir bagian depan sebelah kiri ada bangunan tempat jaga para prajurit Patimura, di hadapannya ada sebuah tiang bendera dengan “Merah Putih” yang selalu berkibar di siang hari. Di sebelah kanan berhadapan dengan pos jaga terletak bedeng asrama prajurit dan di sebelah kirinya berdiri sebuah bangunan villa untuk komandan unit. Di depan pagar kawat terpancang sebuah papan nama dengan tulisan yang berbunyi “INSTALASI REHABILITASI (INREHAB)”. Menurut teman yang lebih ngerti, tulisan itu berbahasa Inggris yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya ‘tempat untuk pemulihan’. Rehabilitasi menurut teman tersebut sama halnya jika kita habis sakit, sesudah sembuh maka kesehatannya perlu direhabilitasi agar bisa kembali pulih seperti semula. Lha kalau seperti kita orang-orang yang sudah cacat namanya, maka di tempat ini kita dipulihkan namanya dan akan kembali menjadi warga negara yang baik. Begitu kata temanku. Dulu saat di Salemba gara-gara ompreng ditendang aku pernah berkata pada bung Daryo, "Ee bung, Salemba ini sih belum apa-apa, ini baru "B" ke satu, "Bui". Kemungkinan masih ada dua "B" lagi yang menanti yaitu "Buang" dan "Bunuh". Dan omongan itu kini menjadi kenyataan, lepas dari "Bui" aku dan teman-teman tapol lainnya mengalami "B" ke dua, yaitu
"Buang". Apakah "B" ke dua ini sudah merupakan terminal akhir bagi masa tahananku?. Belum tentu. Kalau aku mati di tempat ini, itu artinya tempat ini menjadi terminal akhir dari hayatku dan sekaligus akhir dari masa tahananku. Tetapi kalau aku masih hidup, masa tahananku belum tentu berakhir, selamanya bisa jadi. Dan “B” ke tiga siap menunggu. Apakah benar kami akan direhabilitasi. Ah entar dulu jangan berilusi, seperti punguk merindukan bulan. Buktinya barak kami terlindung oleh pagar kawat berlapis dua dan dijaga oleh para prajurit yang semuanya menyandang senjata, bahkan kemana pun kami pergi, kami masih tetap diawasi dengan ketat. Lalu di mana ujung pangkalnya rehabilitasi?. Kalau menurutku ini bukanlah rehabilitasi melainkan justru exploitasi. Memang di kemudian hari pendapatku ini terbukti kebenarannya. Kami masuki barak yang bentuk dan konstrusinya serba ala kadarnya. Ada 20 barak di Unit-II ini yang saling berhadapan, sebaris sepuluh barak. Rupanya barak ini sudah lama dibangun dan mungkin dengan biaya yang minim pula. Oleh siapa?, nggak tahu!. Tiang-tiang barak terbuat dari kayu asal-asalan saja, pagarnya dari bambu gelondongan yang dibelah, dibuang ruasnya dan dibuka melebar, dipaku dengan tiang-tiang tanpa gapit, atap dari daun sagu selembar yang jika kena angin bisa terbuka dan menutup kembali seperti layaknya tangan melambai. Tentu saja kalau ada hujan angin badan kami harus siap basah terkena air hujan. Waktu kami masuki, barak ini sudah dipenuhi oleh rumput dan alang-alang, baik di luar maupun di dalam. Apa lagi di belakang barak, benar-benar hutan. Sebelum kami tempati barak ini rupanya juga sempat dihuni oleh binatang liar seperti luak, musang garangan, tikus dan kucing liar yang memang banyak kami temui binatang-binatang tersebut di pulau ini. Pak Slamet tetap memimpin kami, bahkan di kemudian hari pak Slamet sempat jadi Koordinator Unit-II. Pekerjaan pertama sesudah kami mendapat alat-alat pertanian dan perlengkapan dapur dari bagian logistik Inrehab adalah membenahi barak yang dipenuhi rumput dan alang-alang. Salah satu keputusan dari hasil perundingan yang harus diterima dan dilaksanakan para tahanan adalah masa bantuan yang hanya enam bulan harus dibayar dengan pencapaian target mencetak sawah 5 hektar per barak yang siap panen hanya dengan kekuatan 50 orang perbarak, itu adalah pekerjaan yang sulit dan bukan main beratnya buat kami semua. Tanah yang belum pernah dijamah, tebangan pohon yang malang melintang, bulakan yang penuh dengan pohon krinyuh, alang-alang dan belukar serta bagaimana pengairannya adalah benar-benar merupakan pekerjaan raksasa yang harus dikerjakan secara paksa. Belum lagi jika bicara tentang jatah makan yang juga nyatanya tak jauh berbeda dengan jatah makan saat di Salemba, bahkan tanpa sayur. Berapa kalori yang masuk dan berapa kalori yang harus kami keluarkan?. Seimbangkah makan siang dan sore hanya dengan 200 gram nasi plus ikan asin tanpa yang lain, sedang kami harus mengayun pacul, membabat belukar, memotong dan menyingkirkan gelondongan kayu-kayu besar sehari penuh, selama enam bulan?. Jawabannya tergantung pada tapol itu sendiri. Oleh karena itu koordinator dan para kepala barak harus benar-benar orang yang mau dan bisa bekerja, mengatur dan membagi tenaga. PULAU BURU: - Anak Kucing Mengisi Rantang
Keputusan sepihak tidak mengharuskan kami mati. Kami masih kepingin hidup dan kami harus bertahan hidup. Kelompok kerja mulai dibentuk, 50% tenaga untuk membuka areal sawah, lima sampai sepuluh orang membuka ladang untuk menanam tanaman siap panen jangka pendek seperti umbi-umbian, aku nggak tahu dari mana didapatkannya bibit-bibit itu. Lalu empat sampai lima orang tenaga dapur, termasuk tenaga pencari sayur mayur (kluwih, kangkung atau rebung), memang di pulau ini selain rawa sagu kami juga menemukan rawa kangkung, pohon bambu juga kami dapati di sini. Dan empat sampai lima orang lainnya harus belajar dan berani terjun ke rawa sagu, walau pun kami belum mengenal medan ini, kami membutuhkan sagu untuk tambahan makan harian, karena tanpa tambahan makanan rasanya tidak mungkin kami mampu mencapai target yang diberikan penguasa. Dan ini harus, tidak boleh tidak. Hatiku bicara, teman-temanku semua hebat, mereka gagah berani, siap dan mampu menghadapi tantangan berat ini. Rasa ikhlas dan solidaritas menyala-nyala. Aku termasuk dalam kelompok pembuka areal sawah, babat belukar, dongkel tunggak, kumpulkan ranting, rumput, batang krinyuh lalu membakarnya. Begitu berhari-hari tanpa henti. Sebulan kemudian areal nampak bersih dan siap dipacul. Nggak terasa tangan pada lecet, tulang-tulang sakit dan badan terasa lemas semua. Tentu saja, ini dikarenakan alih pekerjaan yang selama hidup ini tak pernah kami lakukan sebelumnya. Lonceng jam lima sore dipukul tanda berhenti bekerja. Tidak ada istilah tanggung, waktunya berhenti bekerja ya berhenti, besok diteruskan lagi. Badan lelah penuh tanah, masuk nyebur kali untuk mandi. Inilah air yang melimpah itu!. Sampai di barak makan sore sudah siap, nasi dijatah oleh dapur umum. Dapur barak hanya memasak apa yang diperoleh teman tadi pagi. Perintah rantang kumpul diserukan, aku pun menaruh rantangku. Aduh minta ampun ya Gusti Allah!, aku berteriak, rantangku berisi anak kucing utuh dengan kepala dan ekor yang masih berbulu. Kutarik rantangku, kubuang jauh-jauh, aku memang lapar, tapi aku nggak sampai hati jika harus makan apa yang baru saja kulihat itu. Rupanya hari itu satgas dapur tidak mendapatkan apa-apa. Itu bisa dimengerti karena kami semua belum menguasai medan. Apa pun yang bisa dilakukan itulah yang dikerjakan. Jadi tanpa pikir panjang, kucing bunting pun dihajar. Masya Allah, ulah teman yang mana ini?, kok ya tega banget, dia kan ngerti kalau si kucing ini lagi bunting, milikilah pertimbangan barang sedikit, kasihlah kesempatan si kucing biar melahirkan dan membesarkan anaknya dulu. Kucingkan bukan musuh manusia atau khususnya petani, bahkan dia bisa jadi teman yang bisa membantu menangkap tikus, si hama padi. Dia juga mahkluk hidup yang memiliki hak untuk berkembang biak, jangan karena dia hanya seekor binatang yang tak berdaya lalu boleh diperlakukan seperti itu. Kita semua memang lapar, dalam keadaan darurat, agama pun menghalalkan sesuatu yang haram untuk dimakan. Tetapi apakah sudah sedemikian rupa kedaruratan kita hingga harus melakukan hal seperti itu?. Lagi pula berapa banyak protein yang bisa kita peroleh dari sepotong daging seekor kucing yang dibagi untuk sekian banyak orang?. Aku bukannya sok suci, aku pun doyan yang haram, agama juga menghalalkan yang haram dimakan jika memang terpaksa, tapi kalau sudah menyangkut mahkluk yang tanpa dosa seperti anak kucing itu, nuraniku berkata lain. Ya sudahlah, yang sudah biarlah berlalu jangan
diulang kembali, yang lainnya juga masih ada kok. Dua tiga bulan sudah kami tinggal di barak kamp tahanan. Barak tempat tinggal sudah tak memadai lagi. Rencana membangun barak mendekati areal persawahan pun terpikir. Untuk keperluan itu harus tersedia tenaga penggergajian, bangunan dan sebagainya. Bukan hanya tenaga untuk membangun barak baru saja yang harus tersedia, pembangunan unit-unit baru pun harus segera dilakukan. Harus segera jadi untuk dihuni oleh tapol-tapol yang akan segera datang menyusul. Maka akhirnya tenaga untuk membuka sawah pun semakin berkurang. Biasanya pembiayaan suatu proyek ada pemborongnya dan si pemborong biasanya mengajukan proposal, rencana kerja, rincian material dan termasuk ongkos tenaga kerja. Lha kalau tenaga kerjanya gratis, lalu kemana dana ongkos tenaga kerja itu? Ya tahu sendirilah. Bukan hanya itu saja yang harus dikerjakan, setiap hari masing-masing barak harus kena giliran merawat dan menjaga villa komandan, mengendapkan air kali buat mandi bapak Komandan dan menjaga tidurnya setiap malam merupakan kerja tambahan bagi kami semua. PULAU BURU: - Mengerek Bendera Merah Putih Pulang dari kerja lapangan aku kena giliran piket ke villa komandan dari jam 5 sore sampai besok pagi jam 6. Sesudah itu istirahat sehari tanpa kerja. Aku piket di villa tidak sendiri, ada seorang teman dari barak lain. Kerja kami mengisi ember-ember dengan air kali, beberapa ember air dibiarkan mengendap, kalau sudah bening dipindahkan ke ember lain hingga siap dipakai mandi bapak komadan. Melek semalaman di villa, kami mendapat jatah tembakau, seorang sebungkus kecil dan teh manis semuk seorang, lumayanlah. Karena jatah gula hanya seminggu sekali. Seingatku, komandan yang kujaga villanya ini adalah komandan pertama yang menurut penilaianku beliau adalah komandan terbaik, selama aku menetap di Pulau Buru. Beliau berasal dari keluarga petani, kakeknya petani unggul, begitu cerita beliau kepada kami berdua pada satu kesempatan. Karena itu beliau juga pernah berusaha mengalirkan air sungai Wai Apu untuk mengairi areal persawahan, namun sayang gagal. Akhirnya untuk mengairi areal persawahan dicarilah usaha lain yaitu dengan cara membuat waduk, dan setelah jadi waduk itu diberi nama “KARSONTANI”, singkatan dari "Karso Ingsun Tani”. Demikian populernya nama waduk ini sehingga wilayah sekitar waduk dikenal dengan nama “Karsontani” atau disingkat “Karson”. Penduduk asli setempat pun menyebutnya dengan “Karson”. Bukan itu saja usaha bapak Komandan ini, sebelum areal persawahan benar-benar siap ditanami, ditanamlah padi gogo, telah tersedia bibit padi ini, sedang hutan-hutan yang tidak mungkin dijadikan sawah dicarikan bibit padi sinta, jenis padi yang berbatang kuat dan tinggi agar bisa menembus sinar matahari dari lindungan pohon lain. Jam 6 pagi tiba, tanda tugas piket di villa selesai. Pak Komandan siap menerima laporan petugas piket. Kami berdua bersikap sempurna, menghadap komandan, kali ini aku jadi pelapor, “Lapor, tugas piket selesai, hormat!” Komandan menjawab, “Kembali ke barak!”
Segera temanku kembali ke barak, sedang aku dipanggil penjaga pos, selintas kulihat namanya, Saleh, pangkatnya Kopral, “Mas, sini dulu!” Aku pun datang menghampiri. “Ini bendera kasih naik tiang ya, sudah itu boleh kembali ke barak.” Kuterima bendera itu, kulepas tambang yang terikat di tiang. Ku ikat tali bendera ke tambang, kemudian kukerek bendera itu sampai ke puncak tiang, selesai. Aku tinggalkan tiang bendera dan berjalan kembali menuju barak. Sang Kopral berteriak menghentikan langkahku, “Harus kasih hormat dulu pada sang Merah Putih,” katanya, aku menurut kukerjakan apa perintah pak Kopral. Dan kembalilah aku ke barak, tapi belum juga aku sampai di barak, kali ini Komandan pleton memanggil, kembali aku menghadap. “Mas, tolong beta, ini surat bawa ke Wai Babi dan kasihkan surat ini ke pak Sastra dan ini minyak goreng kasihkan juga sama dorang” “Siap pak, tapi izinkan saya pulang dulu untuk pamit sama teman di barak” “Boleh, kasih tahu pula sama pak Sastra, nanti jam 11 siang beta datang kesana.” Aku tidak tahu isi surat itu, tetapi dengan minyak goreng setengah botol, rupanya ada perintah untuk masak sesuatu. Oh, barangkali pak Letnan mau berweek-end ke Wai Babi, kan hari itu hari Minggu. * dorang = dia orang Sesampai di barak aku pamit pada teman dan meninggalkan pesan, bila kepala barak menanyakan aku, katakan aku diperintah oleh Danton ke Wai Babi. Jarak antara Unit-II dengan Wai Babi sekitar 3 atau 4 Km, jalannya masih jalan setapak, padang ilalang belum terbabat semuanya, aku berdoa, ya mudah-mudahan aku nggak ketemu babi hutan di jalan. Sedikit ada cerita tentang Wai Babi ini. Dulu sebelum komandan yang pertama datang, sepertinya komandan logistik Inrehab mewakili menjadi komandan sementara. Wai Babi menurut bapak Komandan ini terlihat baik, letaknya agak tinggi dibanding dengan unit. Di tempat ini ada kolam alami, airnya sangat bening, disekitarnya terdapat hutan rindang, ada pula ditumbuhi pohon enau di beberapa tempat. Pak Komandan rupanya merekareka, tempat seasri ini sebaiknya jangan diberi nama Wai Babi, tetapi sebaiknya diganti namanya menjadi “Widoro Kandang”, alangkah indahnya nama itu. Widoro Kandang adalah nama suatu tempat kademangan dalam cerita wayang. Diceritakan dalam cerita itu, Widoro Kandang adalah tempat persembunyian para ksatrya Mandura untuk menghindari pembunuhan dari Prabu Anom Kongso Dewo (musuh dalam selimut) kerajaan Mandura. Di kademangan Widoro Kandang inilah para ksatrya Mandura mendapatkan jati dirinya, mendapatkan segala ilmu yang kelak mampu mengalahkan musuh dalam selimut dengan segala bentuknya. Pak Komandan tidak menyadari bahwa di antara mereka juga banyak yang mengerti tentang cerita wayang. Aku nggak ngerti apa memang karena kisah itu, lalu mereka menganggap seolah Wai Babi juga akan menjadi tempat para tapol mendapatkan segala ilmu dan tempat menggembleng diri untuk bangkit dan melakukan perlawanan kembali.
Sekali lagi apa memang karena masalah itu, karena Wai Babi diganti dengan nama Widoro Kandang lalu beberapa hari kemudian pak Komandan sementara itu jadi tak nampak lagi di pulau ini (di mutasi barangkali, nggak tahu) dan Widoro Kandang dikembalikan ke nama aslinya Wai Babi. Satu jam lebih perjalanan melalui jalan setapak dan aku pun selamat sampai di tempat tujuan, nggak ketemu celeng di jalan. Surat segera kuberikan pada pak Sastra dengan minyak gorengnya, tentu. Bung Sitompul datang menyalami sambil memberikan semuk kecil nira aren. Masya Allah nikmatnya!. Untuk memenuhi kebutuhan zat gula maka menyadap bunga aren pun telah dilakukan bung Sitompul. “Sendiri bung kemari?, nggak kesasar?, kok berani pergi sendiri, nggak ketemu babi di jalan?” “Kenapa nggak berani, berani nggak berani kan yang namanya perintah ya harus dijalankan” “Kebetulan saya ada keperluan juga ke unit, entar pulangnya bareng, sore-sorean saja. Istirahat dulu sajalah di sini, lumayan sehari bebas kerja paksa.” Benar jam 11 siang pak Danton datang dengan dua orang perempuan, yang satu sudah setengah tua sedang yang satunya lagi masih muda. Lumayan juga kecantikannya. Habis karena nggak ada tandingannya, tahu yang segitu saja ya sudah dikatakan cantik. Dasar mata lelaki!. Aku nggak ada urusan dengan apa keperluannya pak Danton, yang jelas saat makan siang tiba aku mendapat makan pakai nasi pak Danton dan lauk kepala ayam digoreng. Aku jadi geli sendiri, kemarin dulu aku mendapat jatah makan dengan kepala anak kucing yang kemudian aku buang hingga akhirnya aku harus menahan lapar tapi sekarang aku dapat ganti kepala ayam goreng. Aku bilang sama bung Sitompul, “Bung, jangan iri ya, kepala ayam ini ongkos jalanku tadi”, dia ketawa nyengir. Jam 4 sore berangkat pulang dari Wai Babi dan jam 5 tiba kembali di Unit-II. Masuk barak kepala barak berkata, “Pak Sam dicari kopral Saleh untuk datang ke pos jaga.” Ada apa ya?, grendengku. Bergegas aku datang ke pos jaga. Kopral Saleh sudah menanti dengan tangan bertolak pinggang, “E tapol cukimai ose!, ose seng tahu menghormati sang Merah Putih toh. Itu bendera pusaka boleh kita rebut dengan nyawa dari penjajah. Kenapa ose tinggal menaikkan saja seng bisa. Bodoh ose!, itu bendera merahnya lepas dari talinya toh dan jadi satu dengan putihnya jadi seng mau berkibar lagi, cukimai!. Ayo ose sikap sempurna depan tiang bendera dan beri hormat sang Dwi Warna itu. Ose seng boleh lepas dari hormat sebelum beta kasih berhenti!.” Ah sialan bener aku ketemu buto ijo keparat. Aku memang salah, aku nggak pernah mengerjakan pekerjaan semacam itu sebelumnya. Mestinya tali bagian yang merah itu diikatkan di atas tali simpul tambang, sehingga kalau dihembus angin kencang sekalipun tak akan melorot. Tapi omongannya itu sangat menyakitkan, dianggapnya aku anak kecil yang nggak mengenal dan mengalami zaman revolusi. Batinku berkata. O kranjingan lo!, jadi tentara baru kemarin sore saja sok ngomong merebut Merah Putih dengan nyawa, orang seumurmu barangkali tahun ‘45 juga belum lahir. Apa bener elo tentara yang sudah pernah
perang melawan Belanda?, barangkali mendengar ledakan mortirnya saja sudah berak di celana. Jangan sombong lo!, jelek-jelek begini aku pernah juga menghadang konvoi musuh dengan trekbom bersama teman-teman seperjuangan dulu. Kami tungguin berlama-lama sampai pada saatnya konvoi lewat untuk dihajar dengan trekbom. Salah satu teman seperjuangan yang masih kuingat namanya adalah Sutmantoko. Apa beliau masih hidup ya nggak tahu, kami berpisah pada tahun 50-an, saat penyerahan kedaulatan RI dan sampai sekarang nggak pernah ketemu lagi. Barangkali kalau ketemu saat ini beliau bisa jadi saksi. Sampai orang-orang pulang dari ladang aku tetap berdiri tegak di depan tiang bendera sambil mendongak memberi hormat pada sang Merah Putih. Tak urung teman-teman mengetahui keadaanku yang lagi kena hukuman dari si buto ijo. Seorang Sersan kepala jaga rupanya memperhatikan aku, dia menegurku dan memerintahkan aku berhenti menghormat. Katanya, “Eh mas, siapa dorang kasih perintah hormat di depan tiang toh?” “Kopral Saleh”, kataku” “Dimana dorang sekarang?” Aku ngomong berlagak seperti tahu bahasa Ambon, “Supi Sersan nggak tahu kemana” “kopral Saleh!” teriaknya, “Ayo kemari”, yang dipanggil datang. “Ose kasih perintah sama tapol hormat bendera?” “Ya, beta kasih hukuman karena dorang kasih hina sama Merah Putih. Dorang bodoh tidak bisa kasih naik bendera, merahnya lepas dari talinya, bendera seng mau berkibar lagi.” “Ose sukasih tahu cara menaikkan bendera?. Kalau ose sukasih tahu caranya dan dorang seng bisa kerjakan itu, boleh ose kasih dorang hukuman” * supi = sudah pergi * dorang = dia orang * sukasih = sudah kasih Yang ditanya tidak menjawab, akhirnya pak sersan memerintahkan aku kembali ke barak dan jadilah aku bahan tertawaan teman -teman sebarak. Hukuman ringan telah menimpaku, tapi seringan-ringannya hukuman yang namanya hukuman tetap merupakan hukuman. Itulah perlakuan terhadap orang buangan. Jadi apa benar ini rehabilitasi?. Tugas dan kewajiban boleh sama tapi watak dan sikap boleh jadi berbeda. Pak Komandan pertama yang mengerti seluk beluk pertanian itu juga seorang prajurit yang siap melaksanakan tugas dan disiplin prajurit. Tetapi dalam melaksanakan tugasnya, beliau tetap menggunakan naluri kemanusiaannya. Satu ketika beliau mengontrol huma (tanaman padi gogo di hutan). Padi tumbuh subur, pohonnya ledung-ledung sepundak orang dewasa berdiri. Hanya dalam umur dua bulanan lebih padi mulai jebrol dan buahnya mulai semanten (calon beras yang masih cair). Pak Komandan mencoba memencet butiran calon gabah, butirannya mengeluarkan cairan
putih seperti santen. Ku perhatikan pak Komandan brebes mili, menitikan air mata, seraya katanya, "berkat tanganmu dan kerelaan hatimu serta keingananmu untuk hidup, hutan ini memberikan imbalan untukmu. Peliharalah padimu ini dan nikmati hasilnya untuk makanmu!" Kami jadi menunduk diam dan hanya mengucapkan terima kasih. Apakah pak Komandan ini ngomong basa-basi atau memang ngomong dengan hati nuraninya. Terserahlah yang tahu hanya beliau sendiri. Dalam waktu-waktu selanjutnya perilaku pak Komandan ini nampak dari sikap dan perilakunya dalam menjalankan tugas selalu atas dasar naluri kemanusiaannya. Target 6 bulan mencetak sawah siap tanam dan siap panen ternyata tidak tercapai dan pekerjaan ini tetap harus diteruskan. Sawah tetap harus dicangkul walau tanpa alat bantu lainnya. Panen huma telah tiba, hasilnya cukup mengagumkan. Setiap barak menyiapkan tenaga-tenaga trampil dan cekatan. Bikin lumbung di hutan, panen secepatnya, hasil jangan semua disetorkan ke lumbung unit, tapi isi juga lumbung kita. Memang begitu jempolan pak Komandan ini. Kami diperintahkan membikin lumbung di luar kamp. Lumbung terletak di lokasi calon villa komandan dan barak-barak baru yang bakal dibangun. Beliau bukan tidak tahu bahwa kami diam-diam nyolong gabah. Mungkin sudah ada yang melaporkan, tapi pak Komandan pura-pura tidak tahu. Namanya juga orang, sementara sesama tapol juga ada yang ingin mencari nilai lebih di mata komandan. Satu ketika seorang tapol melapor pada komandan bahwa di hutan "T" sebutan hutan menurut caranya tapol memberi nama, ada hutan "T", ada hutan ", ada hutan percobaan, ada hutan mandar dan lain-lain. Ya, si tapol melapor bahwa di hutan "T" ada warga yang nyolong padi dan menumbuknya di sana. Sebagai komandan yang mendapat laporan tentu beliau harus mengambil sikap dan bertindak. “Di mana mereka mencuri?” “Di hutan "T" pak” “Ayo tunjukkan aku tempatnya” Pak Komandan pergi ke tempat yang di tunjuk dengan diiringi si tapol “gila”. Sampai di pinggiran hutan pak Komandan mencabut pistolnya. Ditariklah pelatuk pistol dengan laras ke atas, layaknya seperti melakukan salvo. Beberapa kali pistol meletup. Apa maunya pak Komandan membunyikan pistol ini?. Mungkin itu hanya satu tanda peringatan bahwa di situ ada pak Komandan. Bagi sang pencuri tentu tanggap dengan tanda itu dan mereka segera membersihkan jejak, sehingga kalau pun ketahuan tidak ada bukti mereka itu nyolong. Betul juga rupanya, saat pak Komandan dan si pelapor tiba di tempat, ternyata di tempat itu tidak ada tanda-tanda pencurian. “Mana ada pencurian?” tanya pak Komandan “Ya di sini pak, tadi saya melihatnya sendiri”
“Mana buktinya?, tak ada kan?, kamu kan tapol juga masa bikin laporan palsu tanpa bukti. Menuduh tanpa bukti itu namanya fitnah, ngerti?” Si pelapor diam saja, sedang tapol yang dilaporkan tentu saja mengutuk dan menyumpahi dia, “Mampuslah kau!” Ada lagi kejadian lain yang berhubungan dengan sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh pak Komandan. Areal sawah di Wanatirta yang berlokasi di bekas hutan tipis ini ada kali kecil yang bisa di bendung untuk mengairi sawah. Pembendungan ini juga atas petunjuk dan prakarsa pak Komandan. Karena belum ada sapi atau kerbau untuk menggaru, meratakan areal, maka untuk meratakan tanahnya hanya menggunakan pacul dan alat apa adanya. Melempar tanah ke tempat yang rendah dan menginjak rumput yang nongol ke permukaan oleh para buto ijo dianggapnya sedang main-main, tak mau bekerja. Maka di panggilah teman yang melakukan hal itu, dan dihukumlah dengan tempelengan. Mengetahui hal ini pak Komandan marah-marah, sang Danton ditegur untuk memperingatkan anak buahnya agar tak usah mengurusi hal yang bukan urusannya. Pak Danton sendiri juga pernah ditegur dan diperingatkan oleh pak Komandan. Pasalnya suatu hari saat aku dan teman-teman masih mengerjakan sawah di sekitar Wanatirta, hujan gerimis tiba-tiba mengguyur. Pak Komandan segera memerintahkan kami naik, berteduh. Melihat hal ini pak Danton memprotes. “Pak, bagi petani yang bener, hujan begini ini mestinya malah membuat giat dan semangat bekerja, mengapa bapak perintahkan mereka naik?” “Petani yang mana?. Letnan tahu nggak, mereka itu kan belum menjadi petani profesional, mereka itu masih dalam masa peralihan dan tidak bisa dipaksakan. Bagi mereka alih profesi ini merupakan pekerjaan yang sama sekali baru. Tefaat (tempat pemanfaatan) ini proyek, Let!. Biaya yang dikeluarkan sudah banyak dan kalau mereka sampai sakit karena dipaksa bukan tidak mungkin proyek ini akan gagal dan berantakan. Lebih baik kita perlakukan dengan sabar, pelan-pelan tapi pasti. Mereka juga manusia kok, kalau mereka kita perlakukan dengan ramah masak mereka nggak tahu diri. Kalau nanti mereka tahu dan merasakan hasilnya, semangat kerjanya juga akan timbul dengan sendirinya.” Begitulah sikap pak Komandan ini. Ada satu lagi kejadian yang sangat menarik dari sikap pak Komandan pertama ini. Suatu ketika beberapa penekun ladang melakukan penumbukkan padi gogo di ladangnya, di antara mereka ada yang bertugas mengawasi keadaan, siapa tahu ada patroli komandan. Entah kebetulan atau memang ada yang lapor, seperti halnya pencurian padi di hutan. Pak Komandan betul-betul mendatangi gubuk ladang itu. Si pengawas segera kasih tanda bahaya. Tentu saja para penekun segera menghilangkan jejak. Tapi lha wong namanya gabah ditumbuk, beras dan gabahnya banyak yang tercecer, ya jelas-jelas kasat mata. Melihat itu pak Komandan negur, “Numbuk padi ya?, siapa yang menumbuk?” “Ya pak, kami yang melakukan, kami menumbuk padi buat beras kencur pak, lumayan bisa menghilangkan rasa ngilu. Kalau habis kerja, malam hari rasanya tulang-tulang sakit semua pak. Maklum kami ini belum biasa bekerja sekeras ini” “Ya saya ngerti. Tapi masak nggawe beras kencur sakmene akehe. Mau diliwet yo dilewet
wae. Pari olehe nandur-nandur dewe kok dicolong. (masak bikin beras kencur saja kok segini banyak. Mau ditanak ya ditanak saja. Padi boleh nanem-nanem sendiri kok dicuri). Nggak usah dicuri, makan, diatur sebaik-baiknya hingga cukup sampai panen mendatang.” Cep klakep!, penekun nunduk dan hanya menjawab, “Nggih pak” (Bungkam tak ada yang menjawab, hanya berkata, “Ya pak”). Begitulah sikap bapak Komandan yang satu ini. Hati kecil kemanusiaannya selalu berbicara. Beliau memaklumi benar sikap dan perilaku para tapol, yang selama masa penahanan mereka tidak lepas dari tekanan dan rasa takut. Bersambung ke:[KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S VII] BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H