KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S IX - Selesai
BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H Dilema Pembebasan Kabar burung menyebar membawa angin segar, sepoi pembebasan makin hari dan makin kemari makin terasa silirnya. Siapa nara sumbernya tak ada yang tahu, hanya pernah aku dengar ada suatu badan atau lembaga dunia yang pernah berkunjung ke Inrehab, tepatnya di Savana Jaya. Apakah itu Palang Merah Internasional atau Lembaga Amnesti Internasional tidak jelas. Seperti halnya di Salemba yang juga pernah dikunjungi Palang Merah Internasional untuk melihat secara langsung kehidupan para tapol. Praktek penipuan mentah-mentah pun terjadi. Para tapol tetap terkurung dalam sel, yang dipertontonkan adalah tahanan kriminal, penghuni Blok-E yang badannya gede-gede serta sehat-sehat untuk main voli di lapangan. Tentu saja sebagai tamu yang sopan mereka pun harus puas dengan penjelasan tuan rumah. Apakah di Inrehab juga terjadi penipuan? Bisa saja, mengapa tidak. Sebenarnya dunia sudah mengetahui tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia yang jauh melampui kewajaran. Yang jelas nampak menahan sesama bangsa tanpa batas, menjebloskan ke penjara dan membuang sesama ke Pulau Buru sebagai exil tanpa proses pengadilan. Kalau proses pengadilan dilakukan tentunya akan ada vonis, karena ada vonis maka berlakunya hukuman pun terbatas, 10, 20 tahun atau seumur hidup. Tetapi karena tanpa proses pengadilan maka tidak ada vonis, dan masa tahanan pun berlaku seumur-umur, sampai gepeng ya tetap tahanan. Itulah nasib manusia tak ubahnya seperti menjagal ayam potong, bisa jadi kesalahan manusiamanusia ini dulunya hanya karena ikut bertepuk tangan ketika PKI berulang tahun, atau mungkin hanya karena sentimen perorangan, orang-orang yang sebenarnya tak mengerti apaapa sama sekali. Dan dunia tahu tentang ini. Dunia tidak buta, dunia juga tidak budeg!. Amerika Serikat tidak kecil andilnya dalam memicu pecahnya peristiwa 1965, setiap hidung pun mengerti. Adanya daftar nama orang-orang PKI yang harus dibunuh pun bukan rahasia lagi. Hanya yang mendapat tugas untuk melaksanakan perintah inilah yang kebablasan, sehingga tanpa pandang bulu mereka babat habis semua, beres. Hingga hari saat kutulis pengalaman hidupku ini, siapa dalang di balik semua kejahatan politik ini tetap tak diungkap. Tak ada yang bertanggung jawab, tak ada yang mau mengakui. Harian Kompas, Sabtu 17 Desember 2005 menurunkan sebuah tulisan seorang Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma (Baskara T. Wardaya), artikel itu menuturkan, "Jika dalam kasus operasi militer yang dilakukan Gerakan Tiga Puluh September dugaan tentang siapa dalangnya berkisar pada sejumlah pihak (seperti Bung Karno, PKI, Letkol. Untung, Mayjen. Suharto dan CIA), dalam kasus pembunuhan massal 1965 dugaan serupa bisa lebih dipersempit. Bung Karno tentu bukan dalangnya karena tak ada tanda-tanda dia pernah membunuh secara massal anggota Partai Komunis atau partai politik apapun di negri ini. Letkol. Untung juga bukan, karena pada 2 Oktober 1965 gerakan yang dipimpinnya telah gagal dan dia melarikan diri. PKI juga tidak, karena justru merekalah korban pembunuhan massal itu. Akhirnya yang tinggal hanya sedikit kemungkinan dan itu mendesak untuk segera diteliti lebih lanjut. Dengan begitu diharapkan penelitian dan wacana tentang tragedi 1965
tidak lagi hanya berkisar pada pencarian dalang Gerakan 30 September saja, tetapi juga dalang pembantaian massal 1965-1966. Dengan kata lain, bahkan jika dalang dari operasi militer 1 Oktober 1965 telah ditemukan, masyarakat masih harus mencari siapa dalang dari pembunuhan massal 1965.” Kalau berpegang pada tulisan di harian Kompas tersebut tidaklah heran kalau opini dunia bergerak. Protes dunia mengalir, mungkin untuk mengurangi dosa besarnya kepada Republik Indonesia ini, dan untuk menarik simpati dunia maka Amerika Serikat (AS) bersikap menekan pemerintah di negri ini untuk segera membebaskan para tahanan politik, dan jika pemerintah Jakarta tetap membandel, tunggu saja resikonya. Apa sih yang tak bisa dilakukan oleh negara sebesar AS?. Bagi negara sesuper power seperti itu untuk mengkomando negara-negara donor, Bank Dunia bahkan PBB sekalipun bukanlah hal yang sulit, “Stop pinjaman untuk Indonesia, Hentikan kredit!”, ayo mau apa lo?. Inilah barangkali dilema pembebasan itu, bagai makan buah simalakama, dimakan mati bapak, nggak dimakan mati ibu, serba sulit. Bagaimana nggak sulit?. Jika tapol dibebaskan rasa curiga dan phobia mereka terhadap tapol PKI masih melekat kuat, tapi jika nggak dibebaskan kucuran dana kredit macet total, dan pembangunan sudah pasti terbengkalai. Kalau sudah begini apa boleh buat, keputusan tetap harus diambil, perkara yang mungkin ada sesudah pembebasan itu urusan belakang, segalanya masih bisa diatur. Tahun 1978 rumor tentang pembebasan akhirnya menjadi kenyataan. Unit Ragil (Unit-R) dan Unit-T mendapat giliran pertama. Aku jadi heran semenjak ada pembuktian pembebasan semangat kerja menjadi menurun, untuk apa bekerja habis-habisan toh hasil produksi tak akan dibawa pulang saat kami bebas. Apalagi sikap penguasa juga mulai menggunakan ‘stel kendor’, jadi mengapa juga kami tidak menggunakan ‘perseneling dua’ Dari dulu nggak ada niat kami untuk bekerja menggebu-gebu demi suksesknya program Inrehab. Kalau selama ini kami bekerja keras, itu semata-mata karena paksaan dan tekanan. Anehnya dengan bekerja apa adanya sperti itu, hasilnya juga cukup memadai. Rupanya Dewi Fortuna sedang berpihak pada kami, panen padi berhasil baik. Aku dan pak Salimin pernah bertanam tales (jenis tales Bogor), membajak areal sepanjang 25 X 10 meter di belakang dapur barak yang hasilnya bisa untuk sarapan pagi bagi 100 orang selama sebulan. Juga penekun ladang, pak Jarwo yang iseng ‘neger’ (mengail tanpa pengail) dengan anak tikus sebagai umpannya. Tali kail yang diikatkan di sebatang pohon dibiarkan begitu saja, lalu duatiga hari sekali ditengok, jika tali kail bergerak naik-turun itu pertanda ada sesuatu yang nyangkut di kail. Benar saja, ikan kakap sebesar tebok (tampah kecil) siap menjadi lauk, teman makan. Hal seperti itu bukan sekali itu saja terjadi, pernah pula diperoleh moa (belut raksasa) padahal sebelumnya sangat sulit mendapat rejeki seperti itu. Barak lain pun pernah mendapat rejeki besar, seekor babi biyang dengan ke-empat anaknya terperangkap dan kejeblos dalam sunggak (lubang tanah, lebar ±1 meter dan kedalaman 1 meter, dan di dasar lubang ditancapkan beberapa bambu runcing) yang ditutup dengan ranting dan dedaunan. Babi yang apes itu pun tak bisa bergerak lagi. Saat kami tengah panen padi, waktunya antara jam 10 pagi, panas matahari masih pas terasa gatel, aku lihat berbondong-bondong tapol melintas di depan sawah dengan menggendong bawaannya. Aku tanya mereka, “Ei, mau kemana kalian?” “Arep mulih! (mau pulang)”, dialek Surabayanya kelihatan banget
“Yok opo rek cik enake, lah wong tekane buri kok mulihe disik, sopo sing ngongkon? (Gimana ini enak banget, dateng belakangan kok pulang duluan, siapa yang suruh)” “Lho cak, yok opo sih sampeyan iku, sampeyan ngerti rak carane wong baris?. Tak kandani yo, wong baris iku nek ono komando ‘Balik kanan, jalan’, sing ngarep dadi buri, sing buri dadi ngarep. Wis yo aku mulih sik! (Lho kang, gimana anda itu, anda ngerti nggak tata caranya orang baris?, saya kasih tahu ya, orang baris itu kalau ada komando “balik kanan jalan”, itu yang di depan jadi belakang yang belakang jadi di depan. Sudah ya aku pulang dulu)” Ooh dasar ludruk lo!, ya sudah selamat jalan, sampai ketemu!. Hal itu terjadi pada tahun 1978. Pada hari-hari prei (hari Minggu) banyak teman-teman melakukan anjang sana ke unit-unit lain, menemui kenalan-kenalan lama atau famili, kerabat atau bahkan saudara kandungnya yang tinggal berbeda unit. Aku juga melakukan hal yang sama, beranjang sana. Izin untuk kongkow ke unit lain dipermudah, bahkan izin untuk menginap juga diberikan. Seluruh unit kudatangi, Unit-XIII unit yang paling jauh dari unitku, ku inepi, melepas kangen, ngobrol dengan pak Muyono yang pernah satu sel di Blok-Q Salemba dulu sampai larut malam. Lain saat kukunjungi Unit-S (Sawung Galing), unitnya pamanku, aku minta pertolongannya kalau kebetulan beliau bebas duluan dan aku belakangan, kabarkan pada istriku kalau bisa ketemu, bahwa aku pulang belakangan. Dan jika kami bebas berbarengan tolonglah aku, agar bisa berteduh barang seminggu di rumah keponakannya yang lain, sementara aku mencari anakistriku. Aku sangat berharap mereka bisa segera kutemukan dan mereka masih mau mengakui dan menerimaku kembali sebagai suami dan bapak anakku. Tetapi jika ternyata harapanku itu tak terkabul tentu aku akan berusaha untuk tidak memberatkan keponakan pamanku itu. “Ya, aku nggak berjanji, tapi akan aku usahakan apa maumu itu. Lha kalau kau ditolak istrimu bagaimana?” “Ya gimana nanti saja pak, aku ada pengalaman hidup di Jakarta kok, aku nggak malu bekerja apa saja, asal nggak maling. Dari kecil aku sudah biasa kerja keras membantu emak, pengalaman kerja di pabrik tahu juga sudah kumulai dari kampung, masak iya untuk perutnya sendiri kok nggak bisa ngisi. Aku yakin pak, aku bisa.” “Ya bagus, itu yang aku mau, aku kenal kau dari kecil, umurmu juga nggak beda terlalu jauh dengan usiaku. Kau adalah salah satu dari sekian banyak keponakanku yang pernah bersamaku di daerah grilya (tahun 1948-1949), kau telah menunjukkan kesetianmu, dulu kau pernah mendapat tugas masuk ke daerah musuh untuk menyebarkan majalah bulanan “SUANTIM” (Suara Anti Imperalis) yang kita cetak dengan alat apa adanya, saat kau pulang kau membawa kertas, tinta dan bama (bahan makanan), semua itu kau lakukan tanpa pamrih, semata-mata hanya demi kebebasan Republik tercinta ini.” “Sudahlah pak, itu kan masa lampau, sekarang ini aku bisa jadi lain pak. Dulu yang kita hadapi itu jelas Belanda yang memang adalah bangsa lain, kita semua masih satu pikiran, satu tujuan, mengusir Belanda, menegakan Republik Indonesia, nah kalau sekarang ini lain, Belandanya nggak ada, yang ada justru sesama bangsa, tapi ini justru malah susah, menurut para Daí yang biasa memberikan Santi Aji, masyarakat bebas di luar sana sulit menerima dan mengakui keberadaan kita. Dan tampaknya yang berkuasa itu membebaskan kita juga hanya
setengah hati.” “Ya nggak apa-apa itu hak mereka. Tapi ingat Republik ini tanah air kita juga, kita pernah menyabung nyawa untuk merebut dan mempertahankan negara ini, jadi apapun dalihnya kita tetap berhak hidup di negeri ini.” “Ya pak, sekarang aku makin mantep bahwa aku sanggup dan akan bisa hidup sesudah kebebasan nanti.” Sampai di situ obrolanku dengan pamanku, saat itu jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, aku pamit pulang, kembali ke unit dan barakku. Aku diberikan oleh-oleh gula aren barang sepuluh keping. Pamanku di Unit-S bertugas nderes dan bikin gula. Gula buatku adalah gula jatah barak yang dikumpulkan dan ada pula diberikan kepada tamu-tamu yang datang berkunjung. Pamanku dalam soal ketekunan belajar memang patut dicontoh, saat di Salemba beliau mempelajari bahasa Perancis dan hal itu tetap berlanjut hingga tiba di Unit-S. Sering juga ada teman dari Unit-S yang datang membawa pesan dari pamanku yang minta dibelikan buku tulis dengan bolpointnya, atau minta dikirimkan tembakau kalau ada, atau satu flakon vitamin BCompleks dan satu flakon lever. Kalau kebetulan aku ada ayam piaraan yang sudah patut dijual tentu permintaan beliau aku penuhi. Beliau adalah gantinya orang tuaku, aku pernah dihidupi dan dibesarkan oleh beliau. Di kemudian hari sesudah pembebasan belajar bahasa Perancis beliau tetap berlanjut dan pada akhirnya beliau bisa bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Perancis. PULANG Fajar tahun 1979 hampir menyingsing. Obrolan pembebasan sudah menjadi obrolan rutin para tapol, di mana-mana, di sawah, di ladang, di hutan gergajian, apa lagi di barak ya pokoknya di mana saja, kapan saja masalah pembebasan selalu menjadi bahasan yang menarik. Ya namanya orang banyak, macam-macam pula pikiran dan angan-angannya. Ada yang berucap kaul (nazar), kalau bebas mau puasa 40 hari sebagai ungkapan rasa syukur, sebaliknya ada pula yang berujar akan makan bersama istrinya selama seminggu non-stop. Gila!, tapi semua sah-sah saja namanya juga orang berujar semau-maunyalah, itu kan cuma ucapan sekedar pernyataan kegembiraan. Kerja santai berjalan terus, panen kacang tanah di ladang HP berjalan dari pagi hingga sore, petugas dapur yang mengirim makan siang datang, mukanya tampak ceria, setengah teriak dia berucap, “Aku bebas, aku bebas!, namaku tercantum dalam papan!” “Hei, jangan teriak-teriak kayak orang sinting gitu, ayo bawa sini kirimannya kami sudah lapar nih!” “Siapa saja yang namanya tercantum di papan?” tanya kami “Dari yang panen ini, kalau nggak salah cuma seorang yang nggak tercantum namanya, mang Karna” Kami semua bersorak dan bertepuk tangan, sebaliknya mang Karna lemas lunglai tak berdaya. Aku tepuk punggung mang Karna, "Jangan sedih mang. Mang Karna juga pasti akan bebas, hanya waktunya saja yang berbeda, atau bisa jadi ada salah tulis, atau mungkin tulisan di papan itu belum lengkap semuanya,". aku mencoba menghibur.
“Lihat saja sendiri mang, atau nanti di barak tanyakan kebenaran berita itu pada kepala barak,” lanjut yang lain. Karena aku sudah termasuk dalam rombongan orang-orang yang dibebaskan laparku mendadak jadi hilang, apalagi sambil panen kami tadi juga ngemil kacang rebus. Rasa lapar kami semua lenyap begitu saja tertelan oleh luapan kegembiraan, ya maklumlah, itu bisa dimengerti. Ternyata nama-nama yang tertulis di papan barak banyak yang berubah, nama yang tadinya tertulis bebas berganti dengan nama orang lain. Perubahan ini menjadikan teman-teman yang tadinya penuh semangat dan harapan kembali lunglai dan hilang semangat, seperti bara yang tersiram air. Dan ternyata dari 100 orang warga barak-III tidak semuanya bebas, ada lebih dari separuh yang tertinggal. Untuk membuat kenangan dalam menyambut perpisahan, barak-III akan membuat acara istimewa, pesta kecil-kecilan akan diselenggarakan, makan enak menurut kemampuan barak. Dua-tiga hari sebelum kami meninggalkan Unit-II, barak-III memenuhi janjinya, pesta kecilkecilan pun diadakan. Kemin, nama seekor kerbau yang telah banyak memberikan jasanya kepada tapol. Kemin, si penarik bajak dan garu, entah sudah berapa ribu hektar sawah yang dibajak dan diinjak-injak kakinya sampai lumat. Begitu setianya si Kemin menemani pak Wongso (pembajak dan penggaru asal Klaten, Jawa Tengah) dan aku biasanya suka menjadi buntut garu. Dia nggak pernah menuntut apa-apa, sesudah rucat Kemin cukup puas dengan berkubang, makan rerumputan atau sekedar memburu betinanya. Pengorbanan Kemin selama ini sudah luar biasa, tapi rupanya pengorbanan Kemin belum cukup sampai di situ. Saat-saat terakhir pembebasan para tapol, Kemin harus memberikan pengorbanan terakhir, pengorbanan yang teramat besar. Kemin harus merelakan jiwanya melayang, menyerahkan daging, darah tulang dan kulitnya pada para tapol. Kemin siap mati untuk disembelih. Demikian juga yang terjadi pada seekor anjing betina, bernama Hella, anjing yang satu ini adalah anjing kesayangan warga barak. Hella anjing cikal bakal yang dimiliki barak, banyak keturunannya yang sudah menjadi santapan. Kepandaian Hella menangkap tikus saat menemani panen susah dicari tandingannya, Hella bisa menyusup di kelebatan tanaman padi, dan saat ia keluar ia pasti membawa tikus tangkapannya. Tikus itu mati digigitnya dan kemudian ditinggalkannya di pematang, lalu ia kembali menulusup berburu lagi. Sedang tikus yang ia tinggalkan menjadi rebutan para tapol. Hella anjing yang tahu balas budi dan warga makin menyayanginya. Tapi apa boleh buat Hella pun harus mengikuti jejak si Kemin, Hella juga harus mengorbankan dirinya, Hella harus siap mati dicekik demi majikannya. Ya begitulah nasib hewan, kegagahannya yang tidak disertai akal, apapun kehendak manusia, dia tak pernah bisa menolak dan membantahnya, hanya manusianya yang kadang-kadang keterlaluan, berbuat semena-mena, apa lagi kalau sudah menjadi penguasa, sering lupa daratan. Aji mumpung menjadi modal dan andalan. Sekecil apa pun yang namanya kekuasaan pasti mempunyai nilai lebih, dan untuk itu orang tak segan-segan berbuat apa pun demi sebuah kekuasaan. Kekuasaan bisa mendatangkan kehendak apa pun yang diingkinkan, kekuasaan dapat mendatangkan kekayaan, kekayaan bisa memenuhi kehendak di atas perut dan di bawah perut. Kekuasaan dan kekayaan memang dapat menjungkir balikan dunia. Pertengahan bulan Desember 1979, kami siap meninggalkan Unit-II. Unit yang kami bangun
dengan kucuran keringat, darah, tulang dan otot selama 10 tahun harus kami tinggalkan. Kami tinggalkan seluruh hasil karya kami untuk siapa saja yang menghendaki, kami tak ada lagi sangkut paut dan urusan dengan Unit-II, kalau sejarah mau mencatat hasil kerja kami ya silahkan jika tidak pun kami tak peduli. Diakui atau tidak kami telah memberikan apa yang kami miliki, sampai kepada harta kami yang paling berharga yaitu nyawa kami, kami telah membangun sebagian dari tanah air tercinta. Jam 11 siang rombongan siap diberangkatkan, kami saling berpelukan, menangis penuh haru, masa 10 tahun dalam kebersamaan bukanlah waktu yang singkat, 10 tahun yang lalu kami tak saling mengenal, kesamaan nasiblah yang mempertemukan kami, persahabatan, kekeluargaan, rasa saling mengasihi dan menyayangi yang kami jalin selama 10 tahun ini akan segera berakhir dan akhirnya akan tinggal menjadi kenangan, dan boleh jadi dengan berjalannya waktu segala kenangan itu tak terasa akan lenyap seperti menguapnya embun ditelan sinar mentari, nggak apa-apa, tak ada pesta yang tak berakhir, kata si Kliwon. Apa yang sedang terjadi saat ini adalah suatu hal yang selama ini kami inginkan dan kami kehendaki. Ya kami ingin bebas berapa pun harga kebebasan itu kami siap membayarnya. Rasa sedih akan perpisahan ini pasti akan hilang lenyap saat kami bertemu kembali dengan keluarga yang kami cintai, keluarga yang selama ini kami rindukan. Apakah nanti setelah kami ketemu keluarga keadaan makin sulit, berantakan atau runyam, itu soal nanti. Dengan diantar suasana yang haru biru kami berjalan, memasuki lending, komando terdengar dan lending bergerak laju. Seperti ketika ADRI-11 meningggalkan Nusa Kambangan, kulambaikan tanganku, kuucapkan selamat tinggal pada Unit-II, Inrehab dan Pulau Buru. Tak lupa kuucapkan pula selamat tinggal pada Pocen dan Mukakodo serta khususnya untuk Mandepa, akankah Mandepa tetap ingin menjadi tapol?. Kasihan dia. Perjalanan pulang kami sangat jauh berbeda dengan keberangkatan kami ke Pulau Buru, baik itu alat transportasinya maupun perlakuan yang kami terima. Kali ini kapal haji “Gunung Jati” yang mengangkut kami, keadaannya jauh lebih baik dari ADRI-11. Dulu katanya kapal ini milik PT.ARAFAT, nggak tahu mengapa sekarang ada di tangan ALRI. Awak kapal seluruhnya dari Angkatan Laut. Selama perjalanan kembali ke Pulau Jawa tak ada intimidasi. Kapal berjalan lancar, suara merdu mbak Waljinah yang keluar dari kaset mengumandangkan lagu "Walang Kekek" lagu pop daerah yang populer ikut mengantar dan menghibur kami dalam perjalanan pulang. Para penumpang yang beragama Katholik atau Protestan sempat bernatalan di kapal, kopi susu yang tersedia bisa kami minum sepuas kami, entah dari mana biayanya tak kami pedulikan, hati dan pikiran kami terlalu sibuk memikirkan saat-saat akan pertemuan kembali dengan keluarga kelak. Kami mendapat satu set alat makan, piring, sendok dan mug untuk minum, kami juga mendapat sepasang sepatu dan sebuah tas pakaian. Dalam perjalanan kapal menuju ke tanah Jawa, setiap kali kapal melewati daerah tertentu selalu ada informasi yang diberikan, seperti “kapal kini sudah memasuki Laut Jawa”, “kapal sudah melintas di atas Surabaya” dan mendengar informasi ini kami semua bersorak. 48 jam lagi barangkali kami akan memasuki pelabuhan Tanjung Priok. Mudah-mudahan. Jam tiga dini hari, kapal berhenti, mandeg tak bergerak. Aku melongok ke jendela terlihat jelas di sekeliling laut cahaya lampu. Kedipan dan gemerlapnya lampu membenarkan dugaanku, bahwa kapal sudah sampai di Tanjung Priok. Benar juga, kapal sudah tiba di tempat tujuan tinggal menunggu kapal tandu yang akan memandu ke dermaga. Pikiran dan hatiku makin bergelora, bagaimana nantinya aku ini?. Bisakah aku bertemu kembali dengan keluargaku, terutama dengan anakku?. Apakah aku akan menjadi seorang
gelandangan sesudah aku menginjak Jakarta kembali?. Akankah terbukti kesombonganku di depan petugas Kejaksaan dulu yang aku tolak bujukannya untuk mendatangkan keluargaku ke Pulau Buru?. Ya saat kebebasan sudah menjadi kenyataan, apapun resikonya nanti harus bisa kuterima dan kuhadapi. Tanggal 31 Januari 1979 pada jam enam pagi, kami sudah naik darat, pertama kalinya kaki ini kembali menginjak tanah Jawa, khususnya kota Jakarta, truk-truk penjemput sudah siap menungu, serah terima penumpang dari Kapten kapal kepada Komandan Kodim setempat selesai. Kami lalu diangkut dengan truk ke Kodim. Sesampai di Kodim kami dihitung ulang, beres penghitungan kami menerima pengarahan dan diteruskan dengan janji sumpah setia pada Pancasila dan kemudian diakhiri dengan pembagian makan siang (nasi kardus). Dari Kodim inilah kami mulai berpisah dengan teman-teman seperjalanan. Kami berpisah menuju alamat tinggal masing-masing, berpencar ke lima wilayah Jakarta, aku sendiri masuk ke dalam rombongan yang menuju ke Jakarta Timur. Dulu ketika meninggalkan Salemba kami diangkut dengan truk dan kami nggak boleh berdiri, kali ini kami diangkut juga dengan truk tapi ada sedikit perbedaan, kami boleh berdiri. 13 tahun yang lalu di kiri-kanan jalan By pass masih berupa bulakan sawah dan rawa-rawa, tapi kini di kiri-kanan jalan By pass telah berubah menjadi gedung-gedung, seperti bangunan pabrik atau gudang. Jalan satu arah dipenuhi lalu-lintas berbagai kendaraan yang tidak pernah kutemui ketika di Pulau Buru. Ya Jakarta ternyata telah banyak berubah. Ketika truk pengangkut melintasi jembatan Jatinegara, di bawah jembatan melintas kereta listrik, dari jembatan jalan agak menurun, truk belok kanan ke arah Prumpung. Lajunya truk makin lambat, belok lagi ke kiri, di depan pintu kereta truk mandeg karena macet. Aku agak bingung, sebenarnya mau kemana truk ini. Nggak tahunya, sesudah kemacetan reda tujuan truk hanya tinggal beberapa meter dari pintu kereta. Itulah Kodim Jakarta Timur. Di sekitar kantor Kodim telah dipadati orang-orang, laki-perempuan, tua muda bahkan anakanak. Mereka adalah keluarga para tapol yang hendak menjemput kami. Masih di atas truk aku melihat sosok istri dan anakku, kakak perempuanku yang tertua pun terlihat, mengelompok dengan anak dan istriku. Ketika kakakku melihatku, tak sadar dia setengah berteriak memanggil namaku. Nampak mbakyuku itu mengusap air matanya. Rasa haru dan gembira menyatu. Belum ada komando untuk turun dari truk, kutebarkan pandanganku di sekitar para penjemput, terlihat olehku pak Alex (guru pijatku di Salemba), ibu-istrinya pamanku juga datang menjemput suaminya. Satu hal yang nggak pernah terpikir olehku dan nggak pernah kuperkirakan, teman lamaku Suparno dan adiknya Suprapto ada pula dalam kerumunan para penjemput. Tapi siapa yang hendak mereka jemput?. Setahuku mereka adalah keluarga ˜bersih lingkungan”, nggak ada satu pun dari keluarga mereka yang tersangkut peristiwa hebat itu. Akhirnya kami diperintahkan turun juga, apel dan penghitungan kembali dilakukan, satu persatu nama dipanggil untuk mengetahui keberadaannya. Semua komplit nggak ada yang kececer. Komandan Kodim kemudian memberikan pengumuman, "Harap para penjemput tenang dan tertib!, penyerahan tapol kepada keluarganya akan segera dimulai. Saudarasaudara harus menandatangani berkas penyerahan ini, dan seterusnya bekas tahanan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab si penanda tangan. Oleh karena itu berikan kepada kami alamat yang komplit dan jelas. Tunjukkan KTP anda sebagai penanggung jawab. Maaf saudara-saudara, perlu saya jelaskan, untuk saudara-saudara ketahui bahwa pembebasan para
tapol ini masih dalam masa percobaan. Apakah masyarakat setempat tidak keberatan dan bisa menerima kehadiran para tapol ini, apakah dalam masa percobaan ini mereka tidak bikin ulah lagi. Kalau kedua hal ini terjadi, maka kami tidak akan segan-segan untuk mengambil tindakan tegas, dan boleh jadi kami akan mengamankan mereka kembali. Bagaimana saudarasaudara, sanggup?” Para penjemput serentak menyahut, “Sanggup!” Rupanya para keluarga nggak perlu banyak berfikir, sanggupi saja, habis perkara, soal kemudian adalah soal nanti. Satu persatu nama penjemput dipanggil untuk menerima dan menandatangani surat penerimaan, persis seperti menerima barang yang baru di keluarkan dari gudang. Saat keluarga yang menjemput dan dijemput bertemu dan berpelukan terdengarlah tepuk tangan, isak tangis, sedu-sedan dan haru tumpang tindih. Mereka saling melepas rindu, senyum kegembiraan tampak pada wajah masing-masing, tanda rasa syukur yang tiada tara. Entah sudah berapa banyak nama yang dipanggil, tetapi nama istriku kok lama banget nggak dipanggil-panggil, sesaat terfikir olehku mungkin bukan istriku yang menjadi penanggung jawab, boleh jadi mbakyuku, siapa tahu?. “Nyonya Mulyani Nursamhari!”, akhirnya terdengar juga nama istriku disertai dengan namaku dipanggil. Hatiku nratap, deg!, tak ubahnya seperti saat aku dipanggil ke depan ketika di Budi Kemuliaan. Kalau dulu aku dipanggil untuk menghadapi singa lapar, sekarang aku dipanggil untuk bertemu dengan gemulainya seorang istri tercinta. Terlihat istriku maju, dengan tangan gemetar dia membubuhkan tanda tangannya. Nggak perlu malu dan rikuh, tanganku dibimbingnya, dan segera saja kami berpelukan, dan tepuk tangan terdengar lagi. Pak Alex menghampiri, menyalami dan merangkulku, “Selamat datang, Ji!,” katanya. Panggilan Kajiku ternyata tetap diingatnya, kami tertawa lega. Mbakyuku kupeluk, air matanya terus meleleh. “Sudah tenang, yu!, kita kan sudah berkumpul lagi,” bujukku, tanganku terus merengkuh pundaknya yang kurus erat-erat. Anakku sudah merambat menjadi remaja, sekolahnya mulai menginjak SMP, tentu saja aku nggak kuat lagi menggendongnya seperti saat pertemuan keluarga dulu di Salemba. Tangannya terus memegangiku tanganku, nggak mau lepas dari tangan bapaknya, padahal tangan bapaknya kasar dan gedebel, mati rasa, mungkin diiris pun nggak akan terasa, semua itu akibat gesekan dengan doran (gagang) pacul selama 10 tahun tanpa henti, badan bapaknya ini tambah kurus, kulitnya tambah hitam, dekil karena mandinya air kali tanpa sabun pula, kalau pakai sabun pun itu hanya sabun cuci sekalian mencuci pakaian dinas persawahan. Bibi yang kupanggil ibu, istri pamanku datang menyalami sambil berucap, “Kau harus berterima kasih sama istrimu, bojomu anak yang setia sama suami. Coba perhatikan, istrimu masih kerja, masih kelihatan muda, kulitnya nampak putih bersih, ee kok gelem-geleme nompo uwong koyo ngene rupane (mau-maunya menerima orang macam begini).” Hanya sampai di situ percakapanku dengan ibu, ibuku mendapat panggilan untuk menerima suaminya, apa yang terjadi dalam pertemuan mereka, aku nggak tahu. Pikiranku hanya tertuju pada satu arah, ketemu keluargaku. Pikiranku saat di atas truk benar, teman lamaku yang terlihat tadi memang nggak menjemput siapa-siapa. Mereka berdua, temanku dan adiknya sengaja datang untuk menjemputku.
Mereka membiarkan aku berlama-lama menuntaskan rasa rindu yang memenuhi dadaku ini kepada istri dan anakku. Baru sesudah itu mereka menghampiri, menyalami dan merangkulku. “Kami sengaja datang untuk menjemputmu, kami mengerti keadaanmu, apa maksud keadaanmu itu nggak perlu kau ketahui sekarang, nanti sajalah aku beri tahu. Keluargaku sudah sepakat, untuk sementara kek, atau seterusnya kau boleh tinggal bersamaku. Satu kamar telah kami sediakan untukmu.” Adiknya menyambung, “Mas, mas Nur nggak saya anggap orang lain, mas Nur adalah saudaraku juga. Kami ikhlas mas, terimalah tawaran ini tanpa perasaan macam-macam, ini tawaran dari saudara sendiri. Kalau mas Nur kesel dan bosen tinggal di rumah mas Parno datanglah ke rumahku, rumahku cukup untuk ditambahi satu orang.” Tak tahan air mataku menetes tanpa henti, tak kusangka aku mendapat perhatian begitu besar dari orang lain, mereka hanyalah teman, orang lain bapak, lain emak, kakek dan neneknya juga lain, mereka kukenal sejak tahun 1953, ketika sama-sama satu kelas di Taman Dewasa, yang ada di jalan Garuda 25, Jakarta. Memang sejak itu sampai saat aku ditangkap, kami nggak pernah putus hubungan. Bahkan sampai dengan seluruh keluarganya, aku nggak dianggap orang lain. Dan sahabatku inilah yang dulu sering mengirim besukkan roro ireng untukku saat aku masih dalam tahanan Budi Kemuliaan dan Salemba. Sebuah taksi bercat kuning dipanggilnya, kami sekeluarga naik, mas Parno dan dik Prapto ikut mengantar, kemana tujuannya aku belum tahu. Istriku lalu bilang pada supir, “Utan Kayu pak, gang Mangga.” Aku tanya sama istriku, “Kita akan pulang dan menempati rumah kita dulu?, kapan katanya rumah itu sudah diambil sama yang punya?” “Iya mas, rumah kita yang dulu memang sudah diambil oleh yang punya, kita pulang bukan ke rumah itu, tapi ke rumah kita sendiri hanya tempatnya memang nggak jauh dari rumah kita yang dulu.” “Lho lantas rumah siapa itu, rumah sewaan?” “Nggak mas, itu rumah kita sendiri, nanti sajalah aku ceritakan tentang rumah kita sekarang ini.” Mas Parno nyambung, “Sudahlah ndak usah tahu dulu tentang rumah, yang penting sekarang pulang dulu, nggak peduli rumah siapa kek, masuk dan tempati saja dulu kan ada yang mengajak dan tanggung jawab ini.” Taksi terus melaju menuju alamat yang di tuju, nggak lebih dari setengah jam taksi pun sampailah ke rumah. Rumah itu kecil, lebarnya nggak lebih dari 3 meter hanya agak panjang kayak gerbong kereta api, suasananya gelap maklum belum ada listriknya. Rumah itu memang sudah tembok dan tingkat, tapi bangunannya terlihat serba sederhana, malah sangat sederhana sekali dibanding dengan rumah-rumah di sekelilingnya, ruang tamunya kecil dan sempit, kursinya pun hanya berupa kursi besi dengan jog berbalut plastik seperti pentil sepeda, pantas kalau disebut kursi pentil, dan kursi semacam ini biasanya lebih cocok untuk kursi santai di bawah pohon jambu. Lantai rumah terbuat dari tegel berwarna kuning
kehitaman dan sudah pecah-pecah. Kamar tidur yang kecil dan sempit ada di belakang ruang tamu, kamar itu bersekat tripleks untuk memisahkannya dari ruang makan. Kamar mandi dan wc menjadi satu bersebelahan dengan dapur, tempat inilah yang paling gelap karena tak ada jendela di sana. Jadi biar siang hari pun lampu teplok minyak tanah harus disundut. Rumah tinggalku ini tingkat bagian atasnya hanya terdiri dari satu ruangan, seperti geladak, panjang dari depan sampai ke belakang, hanya bagian belakang sedikit di pisah untuk tempat menjemur. Walau keadaan rumah ini teramat sangat sederhana aku tetap bersyukur, karena masih ada tempat bagiku bernaung bersama keluarga. Tetangga kiri-kanan mulai berdatangan, memberi salam selamat dan kami saling berkenalan. Sore hari adik laki-lakiku terkecil datang bersama istrinya, ternyata mereka juga tinggal di bilangan Utan Kayu hanya berbeda gang saja, kami saling berpelukan penuh haru, adikku sudah beranak empat, masih kecil-kecil semuanya. Mas Parno pamit pulang sebentar, tak lama ia pun kembali sambil menenteng petromaks, langsung saja lampu itu dinyalakan, “Nih, pakailah lampu ini, lumayan buat penerangan sebelum ada listriknya, dan ini accu (aki) masih baik, barangkali ada radio, bisa dimanfaatkan.” Mbak Kasri, istri sahabatku yang datang menyusul setelah menyalamiku langsung mengajak istriku masuk kamar, ada keperluan apa aku nggak tahu, itu urusan mereka. Karena banyaknya tamu yang berdatangan rumah kecil ini kelihatan sangat padat, hal ini rupanya menjadi tontonan menarik bagi anak-anak, mereka nampak berdiri di gang menonton entah apa. Menjelang magrhib mereka semua pamit pulang, tinggallah kami berempat, anak, istri dan kakak perempuanku. Malam hari kami berempat makan sambil ngobrol, saling bercerita pengalaman selama 13 tahun terpisah, hingga tak terasa waktu telah larut malam, waktu akan istrihat tidur aku agak bingung, di mana kamar tidurku?. Anakku tentunya tidur sama ibunya di kamar yang sempit itu, kalau aku ikut tidur di sana nggak tahu kok rasanya sungkan. Di tengah kebingunganku istriku berkata, “Mas, malam ini mas tidur di atas saja sama bude (mbakyuku)”, aku pun menurut. Ah 10 hari yang lalu aku masih tidur di barak di Pulau Buru, satu ruangan bersama 30 orang temanku, dan malam ini aku sudah tidur di Pulau Jawa tepatnya di sebuah gang sempit, bernama gang Srikaya nomer 17 di daerah Utan Kayu, Jakarta Timur. Sungguh cepat peredaran waktu yang kulalui. Apakah waktu mendatang sesudah pembebasanku ini akan membawa perubahan?, semua itu masih merupakan tanda tanya besar bagiku. Pagi hari istriku berkemas berangkat ke kantor sekalian mengantar anak kami kembali ke Grogol, anakku untuk sementara memang masih tinggal bersama budenya di Grogol, hingga menamatkan SMPnya. Otomatis malam ke dua kami hanya tinggal bertiga, saat kami hendak tidur terjadi problem kecil. Seperti layaknya pasangan yang telah terpisah begitu lama, rasa rindu dan kangen adalah hal yang wajar. Aku masih seorang pria normal, malam itu ada niatku untuk menyampaikan rasa rinduku kepada istriku, tapi apa kata istriku, “Mas, maaf, saat-saat sekarang ini aku belum bisa menerima maksud sampeyan, sekali lagi maaf mas. Saat ini kita kan bukan suami istri lagi” “Lho apa maksudmu kita bukan suami istri lagi?, apa kita sudah cerai?”
"Iya mas, kita sudah lama cerai, agar mas tahu, dulu aku mendapat tekanan dari kantor, saat itu aku disuruh memilih tetap bekerja sebagai pegawai negri sipil (PNS) tapi harus segera bercerai dengan sampeyan atau tetap bersuamikan seorang tapol tapi aku harus keluar dari PNS. Dan maaf mas, pilihanku jatuh pada tetap menjadi PNS, tentunya sampeyan bisa mengerti pilihanku ini. Menjadi PNS adalah penghidupan kami selama ini. Jadi sabarlah dulu." “Aku ingin tanya, jika sudah jelas-jelas kita bercerai, mengapa kau menjemputku?,” suaraku terdengar agak keras. “Aku menjemput sampeyan karena sampeyan itu adalah bapaknya anakku” “Lha kalau kita sudah bercerai, lalu kenapa surat perceraiannya nggak kau kirimkan bersama suratnya Mumuk lewat Romo pastur?” “Ya mas aku ngerti, tapi aku sadar kalau surat cerai itu aku kirimkan ke sana aku khawatir akan lebih membebani penderitaan sampeyan. Oleh karena itu aku harap sampeyan bisa memaklumi dan menerimanya. Percayalah entah esok atau lusa kita akan kembali menjadi suami-istri lagi.” Aku sadar dan mengerti akan alasan istriku, ternyata selama kami terpisah ia pun mendapat tekanan dan kesulitan yang begitu rupa. Yah akhirnya sementara kaulku gagal, sampai kapan?, aku sendiri belum tahu kepastiannya. Apakah teman-temanku yang lain juga mengalami hal yang sama denganku?, hanya merekalah yang tahu. Aku tahu penolakan istriku itu sepenuhnya benar adanya. Penolakan itu tentu atas dasar hukum dan perintah agama, kami atau siapa pun tidak boleh dan tidak dibenarkan untuk melakukan hubungan suami-istri di luar pernikahan. Dengan begitu kami terlepas dari hidup kumpul kebo. Seminggu sesudah kebebasanku, tapatnya tanggal 7 Pebruari 1979, saat itu pagi hari jam belum juga menunjukkan pukul 7 pagi, mbak Kasri datang dengan membawa nampan, satu nampan berisi nasi kuning dengan lauk pauknya, dan satu nampan lagi terisi pisang setangkap (dua sisir). “Dik Nur, hari ini ujar kaulku terlaksana sudah.” Dik Nur ini adalah teman baik bapaknya anak-anak, saya tahu dan ngerti betul bahwa dik Nik (biasa beliau memanggil istriku dengan sebutan Nik) melakukan perceraian sepihak karena terpaksa. Hubungan kami bersama dik Nik berjalan biasa selama dik Nur tinggalkan. Satu ketika saya pernah berujar, “Jika diijinkan oleh Allah SWT, kapan saja jika dik Nur bebas aku akan berusaha mempertemukan kembali dik Nur dengan dik Nik, dan walaupun barang sekepal aku sing bancaki (selamatan ala kadarnya). Nah sekarang angan-anganku terwujud. Berkemaslah, hari ini dik Nur akan melakukan ijab kembali” “Mbak Kasri, begitu besar perhatian mbak sekeluarga pada kami, peristiwa ini akan menjadi catatan dalam hidup saya, mbak. Dan saya nggak akan pernah melupakannya,” hanya itu yang bisa kukatakan. Kujabat tangannya dan tak urung tangis dan haru menyesaki dada dengan ditandai lelehan air mata. Terima kasih mbak.
Kami berangkat ke Kantor Urusan Agama di bilangan Grogol, karena KTP istriku memang masih KTP Grogol. Aku dengan berpakaian apa adanya, hem putih pemberian barak dan celana biru hasil barter dengan ayam piaraan, yang keduanya sudah tampak lecek. Ya selama 13 tahun menjadi seorang tapol hanya harta itulah yang kumiliki. Kemarin saat aku di jemput pulang dari Kodim menuju rumah di Utan Kayu aku dinaikan taksi bercat kuning, sekarang kami pergi menuju ke KUA Grogol dengan naik bis umum yang juga bercat kuning. Di pinggir jalan dari jendela bis ada kulihat kotak pos yang juga bercat kuning, bahkan ada jembatan penyebrangan yang juga bercat kuning. Melihat semuanya ini aku jadi bertanya pada calon istriku, kenapa banyak fasilitas umum yang bercat kuning. Calon istriku pun menerangkan bahwa warna kuning itu adalah lambang Golkar, Golkar yang singkatan dari Golongan Karya adalah nama partai besar yang sedang berkuasa di saat itu. “Waktu pemilihan umum mas, kewajibanku sebagai PNS adalah harus mencoblos gambar beringin lambang partai Golkar jika nggak ingin dipecat” “Oh begitu bagus!. Tapi warna kuning keemasan itu sebenarnya kan juga lambang kematian. Setahuku dulu jika ada bendera kuning dipasang di depan jalan atau gang itu tandanya ada kematian di sekitar situ. Apakah sekarang masih begitu?” “Ya masih mas, Tapi soal kematian itu kan nggak bisa diketahui kapan terjadinya, yang penting dan jelas warna kuning itu adalah juga lambang ‘ketinggian’, coba lihat mobil presiden pun dipasangi bendera kecil berwarna kuning. Jaket anak-anak mahasiswa Universitas Indonesia juga berwarna kuning. Pokoknya warna kuning itu warna keemasan harus dipuja, dihormati dan dijunjung tinggi. Orang biasa mengatakan ada kesempatan emas ya harus digunakan sebaik-baiknya. Sekarang ini banyak sekali orang yang mencari kesempatan itu” “Lha apa kau nggak ikut mencari kesempatan itu?” “Ah mana mungkin mas, wong aku cuma pegawai rendahan, dapat tambahan uang lembur saja juga sudah beruntung.” Jam 9 pagi, akhirnya kami tiba di KUA, kakak perempuan calon istriku dan suaminya telah datang menunggu untuk menjadi saksi pernikahan kami kembali. Tidak lebih dari sejam perhelatan kecil itu pun selesai, kami saling bersalam-salaman dan berpelukan, sesudah itu kami pun kembali pulang ke Utan Kayu. Setibanya di rumah sambil duduk beristirahat pikiranku menjelajah ke mana-mana. 13 tahun aku di dalam penjara dan tanah pembuangan adalah waktu yang sangat panjang dan terasa lambat bergeraknya. Tetapi sesudah pembebasan ini waktu terasa sangat cepat berlalu. Kalau kemarin aku masih menyandang setatus duda, hari ini aku sudah kembali menjadi seorang suami. Sebulan lalu aku masih menjadi seorang penekun sawah yang harus bertanggung jawab atas hidup matinya tanaman padi, mulai hari ini aku kembali menjadi seorang suami yang harus ikut bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluargaku. Lalu apa yang bisa kulakukan?. Di tengah lamunanku istriku datang membawa dua cangkir kopi dan menemaniku duduk. “Kau tetap masih cantik istriku, di mataku kecantikanmu semakin bertambah karena kesetian dan kesabaranmu menunggu kedatanganku.”
“Terima kasih mas, aku nggak bisa berbuat banyak selama ini, hanya itu saja yang bisa aku lakukan.” Tak kusadari di siang bolong dan pintu rumah terbuka lebar kami saling berpelukan melepas rindu. Jauh dari apa yang dikatakan oleh para petinggi Inrehab bahwa masyarakat akan sulit menerima kedatangan dan pembebasan tapol. Kenyataan yang kualami berkata lain. Masyarakat di sekeliling rumahku ternyata menerima baik keberadaanku. Tak terkecuali sahabat lamaku yang begitu antusias menerima kedatanganku dengan segala pengorbanannya. Kemauan dan kesediaannya untuk menerima kedatanganku adalah merupakan sikap dan perbuatan yang mempunyai nilai lebih. Bahkan pernikahan ulangku dengan ibu anakku juga tak terlepas dari peran mas Parno sekeluarga. Barangkali inilah yang dikatakan oleh orang-orang pintar, “Sahabat sejati adalah sahabat di kala duka”, dan aku sudah menemukannya.
PENUTUP Itulah sekelumit kisah pengalamanku dalam dunia Bulembangbu, ya Bulembangbu itu adalah ringkasan dari empat nama tempat yang pernah kuhuni dengan status tapol, jelasnya Bulembangbu itu adalah, Budi Kemulian (BU), Salemba (LEM), Nusa Kambangan (BANG), dan Pulau Buru (BU). Empat tempat yang saling berjauhan ini hakikatnya mempunyai satu sifat yang sama, sama-sama “Jahanam!” Di dunia Bulembangbu itulah kuhabiskan 13 tahun perjalanan hidupku, di sana banyak kuketahui, kualami, dan kurasakan. Pahit getir, hinaan, caci maki, hantaman, pukulan, tendangan, dan pemerasan yang jauh dari sila ke-2 dari Pancasila, "Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab", jika kami tapol dicap sebagai manusia-manusia yang anti Pancasila, lalu siapa mereka?. Dunia Bulembangbu adalah tempat manusia yang tidak bernilai manusia, entah berapa banyak nyawa yang melayang karena siksaan dan rasa frustasi, berapa banyak manusia-manusia yang produktif berakhir menjadi seonggok daging tanpa arti, menjadi gila karena tak tahan pada intimidasi yang dilakukan oleh manusia yang mengaku Pancasilais sejati. 13 tahun kami di tahan dalam dunia Bulembangbu, kami tidak pernah di proses secara hukum, kami tidak pernah diadili, kami tidak pernah divonis, kami hanya ditahan, diamankan dan direhabilitasi. Ya, kami tidak dibui, kami hanya ditahan. Kami juga tidak dipenjara, kami hanya diamankan, dan kami tidak dibuang, kami hanya direhabilitasi. Mungkin begitulah cara mereka menginterprestasikan sila ke-2 dari Pancasila secara murni dan konsekwen. Bukan main indahnya istilah itu. Apapun dalih yang mereka katakan, tak ada yang menyangkal jika empat tempat itu adalah jahanam yang digelar oleh rezim yang sedang berdaulat. Selaku manusia yang masih mempunyai nalar, aku berusaha berfikir obyektif. Kekuasaan memang menggiurkan, dengan kekuasan manusia bisa berbuat apa saja, mendapatkan apa saja yang diinginkannya, banyak manusia yang menjadi buta karena kekuasan. Tetapi kekuasaan itu tidak begitu saja datang, kekuasaan itu harus direbut, apapun resikonya. Dan bila
kekuasaan sudah ada digenggaman, gunakan kekuasaan itu sebaik-baiknya dan pertahankan semampunya. Bunuh dan babat habis musuh-musuh politik demi kelestariannya. Manusia tetap manusia, disamping manusia-manusia brutal yang tak berperi kemanusiaan, aku pun masih menemukan sisa-sisa manusia yang masih mempunyai rasa welas asih, walaupun hanya satu-dua gelintir. Sekalipun dia seorang petugas dan prajurit yang harus melaksanakan perintah. Tetapi mereka melaksanakan tugas dengan tetap memelihara rasa keadilan dan naluri kemanusiaannya. Mereka tahu dicubit itu sakit karena itu jangan mencubit orang lain. Mereka tahu menghargai sesama manusia, siapa pun mereka, sekalipun mereka itu para tahanan, mereka juga tetap manusia yang mempunyai kedudukkan yang sama di mata hukum. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan ; Segala warga negara bersamaan kedudukkannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Kepada mereka para petugas yang nyata-nyata menghargai nilai manusia dan menjunjung hukum, tak segan-segan aku mengacungkan kedua jempolku dan tak lupa ucapan terima kasih. Di harian Kompas, Sabtu 31 Desember 2005, seorang dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma, bernama Baskara T Wardaya SJ, menulis artikel yang berjudul “Indonesia Yang Lain”. Antara lain beliau menulis, “Pada dekade 1950-an terjadi berbagai pemberontakan daerah. Para pemimpinnya ditangkap, tetapi tak disertai pembantaian massal. Tampak sekali waktu itu ada sikap saling menghormati diantara sesama warga negara, meski ada berbagai perbedaan sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan. Tak mengherankan, meskipun baru merdeka, saat itu proses demokrasi dipahami dengan baik, sampai ketingkat akar-rumput, sebagaimana tercermin dalam pemilu 1955. Pun bangsa Indonesia mendapat tempat terhormat di kalangan bangsa-bangsa lain. Kepercayaan dunia terhadap kepeloporan Indonesia tercermin dalam Gerakan Non Blok dan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika. Gagasan Indonesia untuk membangun dunia kembali pasca kolonialisme juga diterima secara internasional. Tak terbantah pernah ada Indonesia yang lain, yang meskipun sangat majemuk para warganya saling menghoramati dan dengan demikian dihormati oleh bangsa-bangsa lain. Akan tetapi entah mengapa mulai tahun 1965 berbagai konflik politik yang terjadi selalu disertai kekerasan massal. Kekerasan yang satu disusul dengan kekerasan yang lain. Setidaknya ratusan ribu nyawa melayang di tangan sesama warga bangsanya sejak tahun itu. Sejak itu pula korupsi merajalela, sumber-sumber alam dijarah, rumah-rumah ibadah dirusak, ekonomi makin tak memihak rakyat. Rasa hormat dan kagum dari bangsa-bangsa lain juga terus berkurang..” Begitu tulisan beliau. Bagiku tulisan itu sangat menyentuh dasar dan pokok persoalan tentang kekuasaan. Kalau boleh ditambahkan, sejak berdirinya negara RI, republik ini tak pernah lepas dari rongrongan dan pemberontakan. Andi Aziz , Kahar Muzakar, DI.TII, PRRI, Permesta semuanya selingkuh dan ingin berkuasa. Terakhir dan masih sangat hangat adalah
pemberontakan yang dilakukan oleh GAM, 30 tahun mereka melawan pemerintah, angkat senjata, ingkar terhadap NKRI dan Sang Merah Putih. Bahkan mereka telah menyiapkan mentri-mentrinya. Begitu banyak yang telah mereka lakukan tetapi begitu solusi tercapai antara NKRI dan GAM, seluruh anggota GAM mendapat rehabilitasi dan kompensasi. Nyaman rasanya. Bandingkan dengan G.30 S, umur gerakan Untung tak lebih dari 24 jam tetapi akibatnya mencapai puluhan tahun. Ada sebagian warga negara yang menjadi warga negara kelas kambing di negrinya sendiri dan di mata sesama bangsanya sendiri, walau mereka tak tahu apa yang membuat mereka harus menerima hal itu. Banyak anak-anak yang harus menjadi yatim-piatu dan hidup menderita hanya karena orang tua mereka ikut bertepuk tangan saat perayaan hari jadi PKI. Kalau sudah demikian halnya dimana letak rasa adil dan keadilan. Sebagai warga negara yang tak berdaya aku hanya pasrah, aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tak bisa menuntut hakku selama ini yang telah dizalimi. Kepasrahanku itu akhirnya kuletakan pada unen-unen, "Sopo becik ketitik, sopo olo ketoro, sing bener ketenger, sing salah bakal seleh, sing temen bakal tinemu". Kepasrahanku ini bukan karena aku merasa salah, kepasrahan itu semata-mata karena aku tak dapat dan tak sempat membela diri. Aku telah kalah, aku telah dibungkam, aku telah disrimpung (diikat), dan aku tidak diberi hak membela diri. Selama 13 tahun dalam dunia Bulembangbu tidak membuatku hilang kesadaran, aku tetap warga negara Indonesia yang sah, aku pun pernah turut merebut kemerdekaan negara ini dan aku yakin aku mempunyai hak untuk hidup di negara ini. Bahkan ada rasa bangga atas diriku. Aku dipenjarakan bukan karena aku korupsi, ngerampok atau membobol bank yang kesemuanya sangat merugikan bangsa ini. Aku dipenjarakan hanya karena aku seorang buruh percetakan yang menerbitkan Harian Rakyat dan sebagai distributor. Tugasku sebagai distributor inilah yang menjadi dasar kuat untuk melemparku ke dunia Bulembangbu selama 13 tahun, mereka menuduhku tahu akan segalanya yang berhubungan dengan peristiwa G.30.S 1965. Kebanggaanku lainnya adalah karena aku dipenjarakan akibat fitnah seorang teman, tetapi sebaliknya tak seorangpun yang celaka karena mulut dan perbuatanku. Oleh karena itu mengapa aku mesti merasa rendah diri dan malu menghadapi masyarakat. Ku tanamkan paengertian ini kepada anak dan istriku. Biarlah yang benci biar benci, toh yang mau bersahabat masih ada dan banyak. Kenyataan menunjukkan, sesudah kebebasanku aku tetap dapat hidup dan bergaul normal dan baik dalam masyarakat di kampungku, akrab dan bahkan ada rasa persaudaraan, tak ada tetangga di sekitar tempat tinggalku yang merasa takut dan jijik akan keberadaanku sebagai eks-tapol. Dan mendapatkan semua ini aku merasa sangat bersyukur, mungkin inilah karuniaNya sebagai buah penderitaanku di dunia Bulembangbu. Selesai