Kisah seorang da'i yang kerap merasakan pertolongan 'tangan-tangan' Allah. Baharudin tiba-tiba gemetar. Baru saja ia dipanggil ustadz Amin Bachrun (alm), pimpinannya. "Har," kata Ustadz Amin, "paksakan dirimu, kamu harus berkhutbah di sini." "Tapi, Ustadz..." "Pokoknya paksakan dirimu!" Ustadz Amin tidak memberi kesempatan Baharudin memberi alasan. Bahar tidak berkutik, tak mungkin lagi ia menolak perintah itu. Rasanya ingin lari saja. Tapi mustahil itu ia lakukan, bila tak ingin misi dakwah mereka gagal. "Dunia ini seperti kiamat," katanya. Seumur-umur belum pernah ia berceramah, apalagi khutbah Jum'at. Kala di pesantren, saat tiba gilirannya memberi kultum, ia selalu bersembunyi. Beginilah jadinya sekarang. Namun tidak ada gunanya menyesal. Ia sambar buku kecil, yang akan dibacanya sebagai materi khutbah. Jantungnya berdenyut keras, saat naik ke mimbar. Saking groginya, tongkat khutbahnya, nyaris menghantam jidat salah seorang jamaah, karena terlepas dari genggamannya. "Wah, malunya bukan main," ujarnya. Peristiwa itu berlangsung sebelas tahun lalu, ketika Baharuddin Mustofa, begitu nama lengkapnya, ditugaskan mendampingi Ustad Amin Bachrun merintis Cabang Pesantren Hidayatullah di Ambon. Pengalaman pahit memang. Tetapi pengalaman itulah yang telah mengantarkan Bahar, begitu ia dipanggil, menjadi da'i tangguh. Ia mesti siap segala sesuatunya. Perjalanan waktu menunjukkan, dialah salah satu da'i dari Pesantren Hidayatullah yang kenyang pengalaman di daerah-daerah sulit. Di antaranya pernah merintis Cabang di Sorong, Fak Fak dan Biak, semuanya di Irian Jaya. Pernah pula ia bertugas di Grogot dan Samarinda Kalimantan. Sekarang, lakilaki tinggi besar itu menebar dakwah di Mamuju, Sulawesi Selatan. Persisnya di daerah Tobadak, sebuah lokasi transmigrasi yang berada di tengah hutan. Barangkali, itulah pesantren terluas di Sulawesi. Betapa tidak, luas Pesantren Hidayatullah Tohbadak itu 1000 hektar lebih. Kebanyakan masih berupa semak belakar dan hutan. Santrinya khas, yakni para transmigran. Di situlah Bahar menyemaikan Islam, sejak beberapa tahun lalu. Menariknya, dalam perjalanan dakwahnya, nyata sekali keterlibatan tangan-tangan Allah. Bukan hanya sekali, beberapa kali ia merasa mendapat pertolongan Allah. Pengalaman itu sekaligus membuktikan bahwa di mana pun tempatnya, Allah selalu ada dan siap memberi pertolongan kepada hambanya. "Yang penting ikhlas karena Allah, insya Allah, Allah bakal menolong kita," Bahar meyakinkan.
Bahar masuk ke Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Kalimantan Timur tahun l984. Pesantren adalah dunia asing bagi Bahar, sebab ia adalah anak jalanan di Yogyakarta. Lahir di Toli-Toli Sulawesi Tengah, ia merantau ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu di SMA. Tetapi karena terperosok pada lingkungan pergaulan yang keliru, ia kemudian menjadi anak berandalan. Kerjaanya mabuk dan main perempuan, hampir setiap malam. Pada awal tahun 1980 pemerintah melakukan pembersihan 'gali' (gelandangan liar) dan preman. Aksi ini dikenal dengan sebutan 'petrus' (penembakan mesterius), yang dipelopori oleh Jenderal Moerdani. Nah, takut diciduk, Bahar lalu lari ke Toli-toli, kampung halamannya. Di sanalah ia menyelesaikan SMA-nya. Begitu lulus, tantenya di Balikpapan mengajaknya masuk Pesantren Hidayatullah. "Saya tidak kenal namanya Pesantren Hidayatullah. Saya biasa hidup bebas," katanya. Orang tuanya sendiri mendorong melanjutkan kuliah di Jawa atau Ujungpandang. Beberapa kawannya juga mengajak serupa. Entah dorongan apa yang membuat Bahar kemudian memilih ke Pesantren. Satu bulan ia menjajal kehidupan pesantren. Setelah itu Bahar pulang lagi ke Toli-Toli. Katanya untuk memantabkan niat, terus di Hidayatullah atau kuliah. "Setelah menimbang-nimbang, termasuk ingin mencuci masa lalu yang kelam, niat saya akhirnya bulat: ingin berpesantren," tekadnya. Lima tahun digembleng di Balikpapan, tahun l989 mendapat tugas ke daerah. Bersama Ustadz Amin Bachrun ia diminta merintis Cabang di Ambon. Yang membuatnya kaget, ia hanya dibekali uang Rp 3000 dan dua lembar tiket. Itu pun cuma sampai di Bitung Menado, masih jauh dari Ambon. "Apalah arti uang Rp 3000, untuk sekali makan saja habis," katanya mengenang. Tapi Ustadz Abdullah Said (alm), Pimpinan Hidayatullah selalu membesarkan hatinya. "Tidak usah takut dan cemas," katanya, "Tuhan ada di mana-mana. Tuhan yang ada di Balikpapan, itu pula Tuhan yang ada di Ambon. Kalau kita membantu agama Allah, pasti Allah juga bakal membantu kita." Dipompa begitu, semangat jihad Bahar berkobarkobar. Tiada lagi kecemasan, meski alamat yang dituju di Ambon tidak jelas. Selama perjalanan, mereka berdua lebih banyak berada di mushola kapal. Mengharap pertolongan Allah, mereka memperbanyak shalat, dzikir dan tadarus al-Qur'an. Rupanya kelakuan mereka menarik perhatian salah seorang awal kapal. Mau kemana Pak? tanyanya. "Kami mau ke Ambon berdakwah, tapi karena keterbatasan dana dari Pesantren kita hanya dibelikan tiket sampai di Bitung saja," Ustadz Amin menjawab terus terang. Tahu dari pesantren, sejak saat itu Ustadz Amin diminta mengisi kultum, setiap usai magrib dan subuh. Rezeki Allah datangnya dari arah tak terduga, ternyata itu benar. Turun dari kapal, mereka diberi amplop oleh awak kapal. "Subhanallah, isinya banyak sekali, Rp 200 ribu," Bahar benar-benar bersyukur.
Mereka ke Ambon sebenarnya benar-benar terjun bebas. Bukan saja tanpa bekal, tapi juga tanpa alamat tujuan yang jelas. Setelah beberapa hari menginap di sebuah masjid, akhirnya mereka ditampung oleh keluarga Bugis, yang kebetulan masih terhitung saudara dengan Bahar. Segala tujuan dan misi mereka jelaskan kepada tuan rumah. "Wah, bagus sekali itu di Ambon belum ada pesantren," si tuan rumah menyambut antusias. Gong pun bersambut. "Bagaimana kalau saya kumpulkan kawan-kawan," si tuan rumah membuat rencana. Tentu saja Ustadz Amin menyetujui rencana itu. Tidak itu saja, mereka berdua juga rajin bersilaturahmi kepada tokoh-tokoh ummat dan pemerintah. Perjalanan dakwah pun berjalan mulus. Dalam tempo satu bulan, mereka disambut hangat. "Ada yang menyerahkan masjid untuk dikelola, bahkan ada pula yang menghibahkan tanah 2 hektar sebagai lokasi pesantren," tutur Bahar. Dari Ambon mereka bergerak ke Ternate, untuk merintis berdirinya Cabang. Tapi baru satu bulan di sini, Bahar mendadak mendapat surat penggilan dari Balikpapan. Lagi-lagi isinya 'penugasan' da'wah. Tetapi da'wah yang ini lain dari pada yang lain. "Saya dipanggil untuk menikah he..he..," ujarnya. Tidak dijelaskan dalam surat itu gadis mana yang mesti ia nikahi. Begitu datang ke Balikpapan, Bahar disodori surat pernikahan. Anehnya, tanpa pikir panjang ia pun membubuhkan tanda tangan. "Perkawinan ini yang dominan bukan nafsu, melainkan perjuangan," kata Bahar. Sepenuhnya ia percaya saja kepada Ustadz Abdullah Said yang memproses pernikahan itu. Dua hari kemudian ia sudah bersanding dengan calon istrinya di pelaminan. Disebut perkawinan perjuangan, kata Bahar, karena setelah nikah itu ia bakal segera berangkat tugas ke daerah memperjuangkan agama Allah. Meski prosesnya amat singkat, namun lantaran dilambari dengan tujuan pernikahan yang jelas dan aqidah yang kokoh, perkawinan Bahar masih langgeng hingga kini. Pengalaman mengesankan pasangan suami istri ini, terjadi saat Bahar bertugas merintis Cabang di Biak Nomfor Irian Jaya. Ketika kapal sudah berlabuh di pelabuhan Biak, ia menyuruh istrinya tetap tinggal di kapal, menunggu barang-barangnya. Sementara dirinya turun ke darat, melihat-lihat keadaan sambil mencari tahu masjid. Sebagaimana tugas di daerahdaerah lain, kali inipun Bahar buta sama sekali tentang Biak. Karena itu ia perlu merasa berhati-hati. Secara kebetulan ia bertemu dengan seseorang yang kelihatannya sedang mencari sesuatu. "Cari siapa, Pak?," Bahar mencoba menyapa. "Kami sedang menunggu kedatangan seorang mujahid," jawab orang itu. Disebutkanlah ciri-cirinya, antara lain wanitanya berjilbab besar. "Mujahid itu dari Pesantren Hidayatullah bernama Pak Baharuddin," katanya. "Lho Bapak tahu nama saya dari mana?" Bahar terkejut bukan main. "Jadi, Bapak namanya Pak Bahar," sahut orang itu tak kalah terkejut. Mereka kemudian saling berangkulan seperti dua saudara
yang lama tak jumpa. Seperti tamu istimewa, Bahar dijemput rombongan tiga mobil. Usut punya usut, cerita Kustono, nama penjemput itu, ia mendapat perintah dari kepala Merpati Sorong, yang kenal baik dengan Bahar saat bertugas di Sorong. Bahar kemudian dipinjami sebuah rumah milik Kepala keuangan Merpati Biak. "Begitulah pemurahnya Allah. Di mana pun kita, Dia akan memberikan pertolongan, asal kita juga menolong agama-Nya," begitulah pengalaman Burhan. Sebuah rumus yang pasti benarnya. (Bas) www.hidayatullah.com
"Pasal itu Tidak Berfungsi" Topo Santoso, Dosen Fakultas Hukum UI Sejauh mana efektivitas hukum positif ini dalam menekan angka perzinaan? Mestinya harus ada penelitian ya, untuk mengukur sejauh mana efektivitas pasal 284 KUHP itu mampu menekan angka perzinaan. Setahu saya, sangat sedikit orang yang dijatuhi hukuman berdasar pasal 284 itu dibanding kenyataan terjadinya perzinaan di tengah masyarakat. Jarang yang ke pengadilan. Kalaupun sampai pengadilan, hukumannya sangat tidak sesuai dengan pelanggaran hukumnya. Hukumannya cuma 9 bulan. Akibatnya, hukum tidak membuat orang takut untuk melakukan perzinaan. Dengan demikian pasal itu tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tentang pasal 284 ini, di negara Barat sudah dihapus seperti di Belanda dan Amerika. Persoalan tempat tidur dianggap sebagai persoalan pribadi, bukan persoalan hukum. Apa yang harus dilakukan dalam menghadapi aturan semacam itu? Ada beberapa agenda yang harus dijalankan agar syari'ah Islam bisa berlaku. Pertama, mensosialisasikan nilai-nilai keadilan dalam syari'ah Islam. Ini bisa dilakukan di mana saja, di kampus, sekolah, masjid, dan di mana saja. Sebab, secara riil di tengah masyarakat Islam sendiri banyak yang belum faham terhadap syari'ah Islam. Banyak pula orang pintar di kalangan Muslim yang tidak setuju pemberlakuan syari'ah Islam. Kedua, gencarkan perbincangan dan diskusi agar wacana syari'ah Islam sehingga akan terus berkembang. Ketiga, harus ada perjuangan yuridis di parlemen agar syari'ah Islam bisa dilegalisasi. Ummat Islam harus memperjuangkan agar hukum pidana Islam bisa masuk ke dalam hukum publik. Dengan demikian secara yuridis hukum Islam bisa berlaku. Keempat, secara politis harus ada upaya untuk melahirkan suatu kebijakan yang mendukung wacana penegakan syari'ah Islam. Ini bukan tugas yang ringan, terutama dari segi hukum pidana Islam yang selama ini terkesan seram. Pasti nanti akan muncul tantangan dari sana-sini. (pam) www.hidayatullah.com
KH Ishom Hadzik "Kini Semua Sudah Terlambat" Sebuah tudingan dialamatkan ke Pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur. "Sebagai bagian keluarga (KH Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama), mengapa Tebuireng tidak membela Gus Dur," begitu tudingan itu. Permintaan yang wajar, karena memang posisi Abdurrahman Wahid sebagai presiden belakangan ini baik secara politis maupun opini publik berada di ujung tanduk. Segala upaya dilakukan berbagai kalangan agar Wahid tetap bertahan di singgasana kepresidenan. Lha sebagai keluarga kok malah diam, begitu kira-kira keheranan orang. Di kawasan Jombang, yang merupakan kawasan 'darah biru' NU, ada tiga pesantren besar yang menjadi semacam pusat gravitasi bagi organisasi ulama terbesar di dunia ini. Yaitu Tebuireng yang kini dipimpin oleh KH Yusuf Hasyim paman dari Presiden Abdurrahman Wahid, lalu Denanyar tempat cucu pendiri NU itu dibesarkan, dan Tambak Beras. "Diamnya kami itu sebenarnya sudah satu pembelaan tersendiri," demikian kata KH Ishom Hadzik (35). Ia termasuk keluarga Tebuireng juga. Di dalam trah KH Hasyim Asy'ari, kedudukannya sederajat dengan Abdurrahman Wahid, sebab ia juga cucu pendiri NU itu. Gus Ishom, begitu ia akrab dipanggil, lahir dari rahim Ny Khatijah Hasyim, putri KH Hasyim Asyari dari ibu ketiga. Jadi dia adalah sepupu presiden. Sejak kesehatan KH Yusuf Hasyim (yang bahkan oleh para santrinya dipanggil Pak Ud saja) menurun, Ishomlah yang banyak mengambil alih tugas-tugas ke dalam dan keluar pesantren. Dia kerap diutus menemui kiai-kiai sepuh. Dia pula yang mengatur pertemuan para kiai Jawa Timur dengan Menteri Pertahanan M Mahfud MD, beberapa waktu lalu. Ishom juga aktif menulis artikel di berbagai suratkabar. Dalam kaitannya dengan posisi Presiden Wahid yang kian terpojok, Ishom mengaku melakukan pembelaan, tetapi dengan caranya sendiri. Ia memilih bersikap kritis, bukan saja kepada sepupunya itu, melainkan juga kepada Pengurus Besar NU. Hanya saja, sikap kritisnya kadang disalahpahami pihak lain. Suatu kali ia diundang berdiskusi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Surabaya. Di situ sarjana hukum ini memang mengkritik Gus Dur. Tiba-tiba salah seorang wanita protes. "Saya kira sangat tidak pantas, Gus Ishom membuka aurat keluarga di depan umum. Ini kan diskusi umum, bukan diskusi keluarga," kata wanita aktivis Ikatan Persatuan Pelajar Putri NU (IPPNU). "Saya kira, saya sangat tahu mana batas-batas keluarga dan bukan. Dan apa yang saya bicarakan tadi bukanlah hanya milik keluarga. Sebab Gus Dur sekarang telah menjadi tokoh publik. Dan masyarakat layak tahu," jawabnya ringan. Setelah berkali-kali gagal, menjelang deadline, ayah seorang anak yang pernikahannya awal tahun 2000 lalu dihadiri oleh Presiden ini, berkunjung ke kantor majalah kita. Maka wawancara dilakukan dengan santai, ditingkahi asap rokok filternya yang nyaris tak berhenti, dan nasi bungkus warung Padang yang sederhana. Pengasuh Pondok Pesantren Masruriyyah Jombang itu tidak berlagak serba tahu. Dengan rendah hati pria yang mengelompokkan dirinya dalam faksi
kultural generasi baru intelektual NU ini mengaku kadang-kadang kesulitan menjawab pertanyaan yang diajukan. Menurutnya, kiai-kiai di cabang-cabang NU sebenarnya bisa menerima mundurnya pucuk pimpinannya dari kursi presiden, asalkan bukan karena alasan cacat moral akibat berbagai tuduhan skandal keuangan, perempuan, dan sebagainya. Lalu apa alasan mundurnya? Bagaimana masa depan organisasi yang jumlah pendukungnya 30 juta orang ini? Berikut ini petikannya. Mengapa Anda beranggapan NU kini sudah kebablasan? Sengaja atau tidak, NU sekarang sudah terseret ke dalam politik praktis. Sebenarnya itu wajar saja untuk membela kadernya yang sekarang jadi Presiden. Tetapi kalau kemudian seluruh energi dicurahkan ke sana dan institusinya sudah dipertaruhkan, menurut saya berbahaya untuk kelangsungannya sendiri. Apalagi kita sudah berkomitmen kembali ke Khittah 1926. Artinya, kita mestinya menjaga jarak dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Karena itu yang diperlukan sekarang adalah melakukan reposisi. Kembali kepada peran semula, sebagai penjaga moral. Mengapa seluruh energi dicurahkan untuk mempertahankan Abdurahman Wahid sebagai Presiden? Saya kira benar apa yang dibilang Riswanda Himawan (pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada), bahwa Gus Dur telah melakukan politisasi kultural dan agama. Kalau para kiai matianmatian mempertahankan Gus Dur, paling pokok karena menyangkut martabat dan harga diri NU. Setiap kali saya diundang beberapa Cabang NU untuk memberi materi orientasi, sekaligus saya manfaatkan untuk mengorek pandangan arus bawah terhadap kepemimpinan Gus Dur sekarang ini. Ternyata pandangan mereka sebenarnya cukup arif, menurut saya. Hanya saja sayangnya terlambat, mengapa baru disampaikan sekarang. Yang saya tangkap, menurut mereka, andaikan Gus Dur harus turun lantaran sebab-sebab yang menurut mereka masuk akal, seperti kekurangan fisik atau karena kondisi kesehatan yang tidak prima, itu tidak masalah. Mereka tidak kecewa dan mereka juga tidak marah. Tetapi kalau Gus Dur dijatuhkan karena dianggap cacat moral, karena skandal korupsi, skandal perempuan dan sebagainya, mereka tidak terima dan akan melawan habis-habisan. Dalam pikiran mereka, seorang Abdurahman Wahid itu mustahil melakukan itu semua. Dan bila Gus Dur sampai jatuh dengan alasan seperti di atas, itu akan menjadi stigma bagi NU. Itulah yang membuat mereka melakukan perlawanan habis-habisan. Pandangan ini mestinya disampaikan sebelum jatuhnya Memomarundum I, sehingga ada kesempatan untuk memperhitungkan secara matang. Sekarang sudah sangat terlambat. Kalau Gus Dur jatuh pasti orang menganggap karena alasan moral. Andaikan dilontarkan sebelum Memorandum I, bagaimana respon orang-orang di sekitar Gus Dur? Saya kira mereka akan berfikir secara lebih arif. Gus Dur sendiri sebenarnya sudah sering diberi 'memorandum' (teguran) oleh para kiai. Bentuknya apa? Tausyiah, misalnya, agar Gus Dur memilih pembantu-pembantu yang baik. Itu berdasarkan pesan Rasulullah Saw, "Kalau Allah menghendaki seorang pemimpin itu baik, maka dia juga akan diberikan pembantu-pembantu (wazir) yang baik." Apa kriteria wazir yang baik? Kembali kepada pesan Rasul tadi, yakni ketika sang Pemimpin lupa terhadap amanat yang diemban, ia berani mengingatkan tanpa takut kehilangan jabatan, dan tidak ABS (asal bapak senang). Bila sang pemimpin sudah berjalan pada rel yang ditentukan, ia akan membantu. Sudah
sering para kiai memberi tausyiah seperti itu. Tapi pada kenyataannya, rezim sekarang ini beberapa kali tidak pas dalam memilih pembantu. Menurut para kiai yang tidak berada dalam struktur resmi, bagaimana seharusnya NU menjalankan kepemimpinan negara? Isi al-Qur'an kan sebagian besar ibrah yang diambilkan dari sejarah ummat-ummat terdahulu. Salah satu yang dipaparkan beberapa kali oleh al-Qur'an adalah soal Fir'aun dan Musa. Fir'aun adalah simbol dari kekuasaan otoriter dan menindas rakyat. Kekuasaan otoriter hanya akan muncul bila ada konspirasi dari tiga kekuatan utama, yakni elit politik (Fir'aun), elit ekonomi (Qarun, konglomeratnya Fir'aun) dan elit teknokrat (Hamaan, wazirnya Fir'aun). Orde Baru saya kira mirip dengan gambaran di atas. Elit politiknya ABRI dan Golkar, elit ekonominya para konglomerat hitam dan elit teknokratnya di antaranya sebagian orang-orang ICMI. Saat tiga kekuatan ini mengadakan konspirasi, lahirlah Orde Baru yang otoriter. Pada zaman Fir'aun, peran penjaga moral dilakukan oleh Musa. Ia tampil membela Bani Israil yang ditindas. Pada era Orde Baru, NU dan para ulamanya tampil sebagai Musa, membela ummat yang tertindas. Nah persoalannya, NU yang mestinya berperan sebagai penjaga moral, sekarang masuk menjadi bagian dari kekuasaan itu, bahkan menjadi puncak kekuasaan. Lalu siapa yang menjadi Musa sekarang? Okelah Gus Dur yang dianggap kader terbaik NU sekarang menjadi Presiden, tapi lepaskan itu dari keterkaitannya dengan NU, sehingga NU dan para kiai tetap bisa berperan sebagai pengawal moral. Setelah Abdurrahman Wahid berada di puncak kekuasaan, itu memberi keuntungan atau justru merugikan NU? Para kiai melihatnya berbeda-beda. Ada seorang kiai sepuh mengatakan, "kita ini makin repot setelah Gus Dur jadi Presiden. Karena sebentar-sebentar mesti memberi jawaban atas berbagai pertanyaan dari ummat. Sementara kita tidak dapat apa-apa, hanya dapat repotnya saja." Tapi bagi pihak-pihak yang diuntungkan, tentu jawabannya bakal lain. Pertanyaan serupa pernah dilontarkan Ronald A Luken Bulls, seorang antropolog dari Florida Amerika Serikat. Ia datang ke rumah saya, awal tahun 2000 lalu, setelah beberapa bulan Gus Dur jadi Presiden. Ia tertarik mengamati apakah orang-orang NU yang dulu dimarginalkan, setelah Gus Dur jadi Presiden, mengalami perbaikan nasib. Apakah mereka mengalami perubahan signifikan dalam kehidupannya? Saya bilang, lihat saja (Pesantren) Tebuireng tetap saja dari dulu sampai sekarang dan nasib orang-orang NU di desa-desa juga tetap seperti itu. Untuk ikut istighosah saja, mereka mesti menjual kambing he..he.. Akhirnya dia berkesimpulan, setelah Gus Dur jadi Presiden tidak ada perubahan yang cukup signifikan. Yang ada paling-paling merasa bangga, sebab tokoh panutannya jadi Presiden. Lebih dari itu tidak ada. Saya pernah ketemu dengan isteri salah satu pejabat. Beberapa waktu Gus Dur jadi Presiden, wah.. dia cerita luar biasa "Saya orang NU, orang tua saya latar belakangnya begini, begini..." dan seterusnya. Pokoknya bangga sekali. Tetapi sekarang, tatkala Gus Dur berada di ujung tanduk, dia bilang kepada saya "saya malu jadi orang NU." Lha bagaimana ini? Yang muncul bukan lagi pikiran dewasa, tetapi kekanak-kanakan dan naif. Seperti pernyataan beberapa kiai Jawa Timur yang menyatakan akan merdeka, bila Gus Dur turun. Padahal Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD'45, menurut ketetapan Muktamar (NU) Situbondo, itu bentuk final dari cita-cita yang diperjuangkan ulama NU. Anda sendiri sebagai sepupu Presiden menempatkan diri di mana?
Saya agak sulit menempatkan diri. Saya ini mantan pengurus Syuriah NU Wilayah Jawa Timur. Repotnya di NU ini, dan ini menjadi keluhan banyak orang, meskipun Gus Dur dulu pionir demokratisasi, namun sebenarnya demokrasi itu tidak berjalan di NU. Misalnya, bila ada meanstrem yang kuat, lalu ada pendapat-pendapat yang berbeda, mereka akan disingkirkan. Bukan saya saja yang mengalami, tapi banyak orang. Yang membela habis-habisan Gus Dur sekarang itu kan beberapa elit NU yang diuntungkan dengan naiknya Gus Dur. Mereka menggunakan NU sebagai alat. Menurut saya, kalau Gus Dur terpaksa harus lengser, NU tidak boleh lengser. NU harus tetap berjalan dengan baik dan memproduksi orang-orang yang nanti punya peluang melanjutkan estafet perjuangan. Okelah Gus Dur mundur, bukan tidak mungkin nanti muncul Gus Dur-Gus Dur yang lain dan ini harus dipersiapkan. NU lengser maksudnya bagaimana? NU lengser, maksudnya begini. Pada jaman Orde Lama NU dipinggirkan, meski sempat juga bermesraan dengan kekuasaan. Pada era Orde Baru, NU juga dimarginalkan. Ada kekhawatiran di kalangan para kiai, ketika presidennya saja dari orang NU nasib kita begini, lha kalau nanti presidennya lengser apa nasib kita tidak lebih parah lagi. Maksudnya, ajaran ahli sunnah wal jamaah sebagai pegangan NU, akan hilang, dan yang berkuasa kelak adalah Islam dari golongan Wahabi. Kekhawatiran ini memang agak berlebihan. Hanya saja bahwa citra NU tidak seperti dulu, itu pasti! Karena itu mestinya perlu ada reposisi peran ulama dan NU. Kenapa Anda menganggap kekhawatiran itu berlebihan? NU sebagai jama'ah harus dibedakan dengan NU sebagai jam'iyyah. NU sebagai jama'ah tanpa jam'iyyah bisa jalan kok. Seperti budaya tahlilan, yasinan dan baca maulid, tanpa diorganisir jalan sendiri. Bahkan NU tidak pernah ngurusi pesantren. Pesantren-pesantren berkembang itu atas usaha kiainya sendiri. Nah, orang lalu bisa bertanya, peran NU apa? Jawaban nakalnya, NU jam'iyyah itu hanya menjadi batu loncatan beberapa gelintir orang untuk mendapatkan akses ekonomi, politik dan sebagainya. Berarti tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan para pendiri NU? Nah, disitulah sebenarnya Kiai Hasyim (Asy'ari) pernah menerima sepucuk surat dari salah seorang kiai, ketika beliau merestui berdirinya NU. Merujuk kitab kecil yang sering dihafalkan di pesantren, Alfiyah, mengapa mesti diberi nama Nahdhatul Ulama, padahal ada indikasi yang dipaparkan Ibnu Malik penulis Alfiyah itu, bahwa kebangkitan suatu kelompok seringkali menimbulkan sikap inkonsisten dan seterusnya, ketika mereka tergiur meraih fasilitas, kedudukan dan kekuasaan. Karena kekhawatiran itu, pernah diusulkan ganti nama saja. Kekhawatiran itu, awalnya memang tidak terbukti, karena masih dikawal oleh kiai-kiai sepuh. Sekarang ini sulit untuk tidak mengatakan bahwa kekhawatiran itu terbukti. Pada awal-awal berdirinya NU, para kiai itu sangat terbuka. Bahkan lebih demokrat dari sekarang. Polemik terbuka itu biasa muncul, dan polemik itu dipublikasikan dalam bentuk bukubuku dan risalah. Ajaran yang dikembangkan pesantren itu kan lebih dekat ke tasawuf, kenapa sekarang kita melihat sebagian orang NU terpancing berbuat kekerasan? Persolannya seringkali lebih karena elit-elit NU tertentu baik nasional maupun regional, dan lokal yang berkepentingan, itu menggunakan massa. Gejalanya begini. Pada masa Orde Baru alat represi itu militer. Lha sekarang militer kembali ke barak. Padahal kekuasaan dan elit-elit itu tetap butuh. Karena tentara sudah tidak bisa digunakan, maka alat yang digunakan adalah massa yang mereka punya. Jadi, sebenarnya sama saja dengan zaman Orde Baru.
Jadi, menurut Anda kejadian penebangan pohon dan pembakaran kantor-kantor partai politik lain itu, jamaah NU diperalat saja? Saya kira ya. Ini terbukti saat demo serentak yang dilakukan pendukung Gus Dur di berbagai tempat, mereka hanya menonton saja. Ketika mereka diangkut truk, mereka tak paham mau dibawa ke mana dan apa tujuannya. Yang sangat aktif itu orang lain. Ada dari PRD, PMII, dan ada preman-preman yang tidak jelas statusnya. Islam yang merupakan pegangan NU kan membawa missi rahmatan lil alamin, bukan saja untuk Indonesia tapi juga dunia. Mengapa NU menganggap Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sebagai bentuk final perjuangan? Saya juga agak bingung. Ketika saya mempelajari sejarah, Kiai Hasyim Asyari itu sebelum kembali ke tanah air, sewaktu masih di Mekkah, pernah ikut mengadakan bai'at dengan semua pelajar Islam, terutama dari Asia Tenggara. Isi bai'at itu adalah keinginan menggalang kekuatan dan potensi ummat Islam untuk memerdekakan semua bangsa Muslim yang masih terjajah. Membentuk semacam jaringan, begitu? Ya begitu. Sebab, semasa hidupnya, Kiai Hasyim itu selalu berkorespondensi dengan Ali Jinnah (Pakistan). Ketika gerakan Islam bangkit melawan penjajah Inggris dan Prancis di Syiria, Kiai Hasyim banyak melakukan apel akbar di berbagai kota. Beliau tahu gerakan itu, karena selalu berkorespondensi dengan tokoh-tokoh di berbagai negara. Nah, karena itu, ketika NU mengirimkan Komite Hijaz dan menghadap Raja Saudi, itu kan diakomodir dan diterima gagasan-gagasannya. Jadi NU dahulu berdialog dengan sangat baik dengan kelompok-kelompok yang oleh sebagian orang NU dituding sebagai Wahabi. Maksud Anda semangat pemikiran Kiai Hasyim As'ary waktu itu adalah semangat pemikiran yang paralel dengan perkembangan pemikiran dunia Islam? Iya. Lalu sejak kapan NU kemudian lebih enjoy menjadi organisasi lokal saja? Saya tidak tahu. Di zaman Pak Wahid (KH A Wahid Hasyim) masih agak lumayan. Karena yang dikembangkan Pak Wahid, terutama di Tebuireng waktu itu, diadopsi dari Timur Tengah, seperti Al Azhar, dan dari Saudi. Pikiran Pak Wahid itu maju waktu itu. Artinya begini, walaupun awalnya tidak direstui Kiai Hasyim, Pak Wahid itu ngotot membikin sekolah "Nizhamiyah" Di sekolah ini dimasukkan kurikulum sekolah umum. Seperti Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, Matematika, Ilmu Bumi dan seterusnya. Kiai Hasyim tidak merestui. Tapi Pak Wahid bilang, "Bila ini tidak kita berikan, saat kita merdeka nanti kaum santri dapat peran apa? Peran-peran itu harus kita rebut," jelas Pak Wahid. Dan belakangan terbukti, alumnus sekolah "Nizhamiyah"-nya Pak Wahid jadi orang semua. Beberapa nama yang bisa disebut adalah KH Ahmad Siddiq, Abdullah Siddiq, Mahfud Siddiq, pokoknya Siddiq bersaudaralah. Kalau Kiai Hasyim pernah berbai'at dengan dunia Islam, mengapa cucunya yang kini jadi presiden, di koran Al Ahram pernah mengatakan, "Saya ini sejujurnya dibanding dengan Arab, hati saya lebih dekat dengan Israel." Itu bagaimana menjelaskannya? Saya susah untuk menjelaskan itu. Bagaimana ya.. tapi yang jelas, ada obsesi dari Gus Dur. Pernah saya katakan pada Gus Dur bila saya mau menggali karya-karya Kiai Hasyim, karena beberapa di antaranya saya anggap sangat relevan. Oleh Gus Dur ditanggapi, memang betul karya Kiai Hasyim harus kita terbitkan lagi. Tetapi, masih kata Gus Dur, masih banyak pikiranpikiran dari Mbah Hasyim yang masih harus kita kembangkan dan kita sempurnakan. Nah, apakah pikiran-pikiran Gus Dur yang jauh ke Israel dan ke mancanegara adalah bagian dari upaya untuk menuntaskan pikiran-pikiran Kiai Hasyim yang dianggap belum sempurna dan belum selesai. Saya nggak tahu.
Selain di Tebuireng, Ishom juga menimba ilmu di Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur. Bahkan menyelesaikan kuliahnya juga di kota tahu itu, di sebuah universitas swasta, jurusan hukum. Sejak mahasiswa ia sudah mengajar di Lirboyo. "Sehingga saya tidak punya waktu untuk kegiatan di luar," katanya. Profesi guru ini masih ditekuni hingga sekarang. Ia tercatat sebagai guru Aliyah Wahid Hasyim dan dosen di Universitas IKAHA (Ikatan Keluarga Hasyim Asy'ari) Jombang. Hubungannya dengan Gus Dur, meski ia kerap bersikap kritis, diakui baik-baik saja. Sejak Gus Dur naik jadi Presiden, dua kali ia menemui. Di Istana dan di Tebuireng. Ketika di Istana, ia sempat bercerita mimpi kepada Gus Dur. "Gus Dur itu suka menafsirkan mimpi," katanya. Dalam mimpinya, Ishom membonceng Gus Dur dengan vespa buntut. Di tengah jalan dicegat tentara. Tentara itu tidak percaya kalau yang dibonceng itu Presiden. Maka ditabrak saja oleh Ishom. "Apa artinya itu, Mas?" tanya Ishom kepada Gus Dur. "Ya artinya tentara harus dilibas." Generasi muda NU Sekarang ini muncul lapisan muda di NU yang dalam banyak hal pemikirannya berbeda dengan mainstream para kiai. Misalnya, mereka lebih dekat ke pemikiran Kiri dan Liberal daripada pemikiran-pemikiran dari khazanah Islam sendiri. Kesannya mereka lepas dari akar NU-nya. Betul tidak kesan seperti itu? Saya kira tidak. Sejak awal tahun 90-an, wacana ahlussunnah wal jamaah itu dikaji dan dikembangkan sedemikian rupa, sebagai salah satu konsep alternatif dalam melakukan perubahan. Karena ada kesan yang muncul dari para kiai waktu itu, bahwa sunni itu jumud (statis). Dari penelitian-penelitian yang banyak dilakukan, kalau ingin mengadakan perubahanperubahan yang radikal, tidak mungkin kita menggunakan wacana sunni. Teologi sunni cenderung mempertahankan status quo. Dan itu diakui sendiri oleh al-Mawardi yang kitabnya, al Arkanul Sulthaniyahnya, dijadikan rujukan. Di dalam kitab ini al-Mawardi menulis, bahwa kitab ini ditulis atas pesan sponsor khalifah-khalifah dari Dinasti Abbasiyyah untuk kepentingan pro status quo. Padahal kalau kembali kepada para sahabat, itu dinamis sekali. Banyak sekali pola dalam kaitannya bagaimana menyikapi kekuasaan. Inilah yang dikembangkan kaum muda NU. Tapi akhirnya lapisan inipun terbelah. Ada faksi politik seperti Muhaimin Iskandar, Efendie Choirie, Syaifullah Yusuf dan lain-lain. Ada faksi kultural yang tetap konsisten mengembangkan pemikiran, seperti anak-anak LKiS dan Elsad. Sekarang faksi kultural kecewa setelah melihat kondisi seperti ini dan akibatnya mereka jadi apolitik. Bukankah gerakan Gus Dur dulu disebut gerakan kultural? Ya, tapi ketika Gus Dur mendirikan PKB, itu sebenarnya menjadi titik awal kemenangan faksi politik. Di kalangan generasi muda NU banyak pemikiran yang sangat liberal. Misalnya di Kongres PMII di Surabaya pernah ada desakan kuat untuk menghilangkan kata 'Islam' dari namanya. Lalu di Surabaya juga ada ide membuat posko nikah mut'ah di lokalisasi pelacuran. Mengapa sampai begitu? Sebenarnya bukan hanya pemirikan-pemikiran liberal, tapi juga pemikiran-pemikiran Kiri. Mereka banyak mengadopsi Islam-kiri Hassan Hanafi. Mereka sebenarnya hanya ingin membongkar syariah yang sudah mapan. Di Islam sendiri ada pemikiran-pemikiran yang reformis dan dinamis seperti M Rasyid Ridla, Jamaluddin al-Afghani, dan Muhammad Abduh. Kenapa kok tidak ke sana, tapi cenderung Kiri dan Liberal?
Karena kalau mereka mengembangkan wacana Jamaluddin Al Afghani dan Abduh, itu bertabrakan dengan kultur NU. Ciri-ciri tradisional NU itu sudah jelas-jelas tidak bisa ada kecocokan dengan pikiran-pikirannya Abduh. Menurut anda apa poin-poin prinsipil yang tidak cocok itu? Saya kira begini, pada waktu NU didirikan, itu ada satu poin yang penting. Yaitu ingin mengembangkan dan melestarikan ahlus sunnah wal jamaah yang waktu itu terus-menerus mendapat gempuran. Padahal, kata Gus Dur, Islam di Indonesia ini cenderung tradisional. Sebab, Islam yang masuk di Indonesia tidak langsung dari Arab Saudi tetapi masuk melalui jalur PersiaIndia lalu ke Indonesia. Jadi itulah kemudian, Islam sudah mengalami proses akulturasi dengan budaya-budaya Persia dan India. Itulah kenapa sebabnya Islam di Indonesia kemudian bisa mudah sekali bersinggungan dengan nilai-nilai Hindu dan Budha. Kalau pilihannya kemudian pikiran-pikiran Kiri dan Liberal, apakah bukan destruktif, terutama dari segi fikrah NU? Saat teman-teman muda NU mengintrodusir itu, memang respon dari para kiai sangat beragam. Banyak yang bereaksi keras, tapi ada juga yang secara bertahap dan mulai bisa menerima. Kembali seperti yang saya bilang tadi, teologi politik Sunni itu jumud (mandek). Dan ini harus dibongkar, karena perubahan-perubahan yang terjadi harus direspon. Mengapa pilihannya bukan dari khasanah Islam sendiri? Kalau boleh saya bilang, itu akibat dari keterpinggiran NU. Tidak hanya pemikiran Kiri, bahkan sempat juga dikembangkan 'Teologi Pembebasan'. Jadi berangkatnya dari masyarakat tertinggal yang kemudian melakukan upaya-upaya perlawanan dengan cara mengajak dan membawa NU lebih ke tengah. Diharapkan seperti itu. Walaupun sebenarnya tidak terlalu sukses.