KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S IV
BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H Salemba: - Pertemuan Keluarga Yang kedua Pertemuan keluarga yang kedua ini pun diadakan saat hari besar, dalam rangka menyambut Tahun Baru 1968. Dan dalam perayaan Natal dan Tahun Baru bagi para tapol Nasrani atau Katolik ada juga kesempatan kebaktian. Malam Natal tahun itu Dewan Gereja memberikan bingkisan kepada para tapol, bingkisan itu berupa sekotak nasi lengkap dengan lauk pauknya untuk makan malam, menunya tentu saja menu khas Natal . Menurut ukuran para tahanan, menu itu sungguh sangat istemewa. Nasi komplit dengan lauknya daging dan sudah tentu masih ditambah kue-kue Natal yang belum pernah kami temui selama menjadi tahanan. Hanya sayangnya, bingkisan mewah seperti itu sudah tidak utuh lagi ketika sampai di tangan kami. Yang dimaksud dengan tidak utuh itu bukan isinya yang berkurang, tetapi jumlah bingkisan itu yang jadi berkurang. Ya, kami hanya menerima satu kardus nasi untuk berdua. Dalam benakku terlintas pikiran, apa iya yang namanya Dewan Gereja setega itu, memberikan seorang tahanan hadiah Natal, yang hanya berupa nasi saja kok cuma separo kardus?, kalau memang tidak mencukupi apakah tidak lebih baik jika volumenya saja yang dikecilkan, sehingga gampang membaginya. Rasanya tidak mungkin, suatu Dewan Gereja yang sangat pemurah dalam membantu umatnya melakukan hal semacam itu. Taruhlah di seluruh Jakarta ada sepuluh ribu orang tahanan di penjara, apakah Dewan Gereja tidak mampu mecukupinya?. Hati kecilku berkata tentu, mereka pasti mampu. Ya begitulah nasib para tahanan, menerima apa saja yang diberikan dan apa adanya menurut kehendak dan keputusan mereka yang sedang berkuasa. Akhirnya kami berkesimpulan, masih menerimanya saja sudah untung, seandainya bingkisan tidak disampaikan pada kami, kami pun tidak akan bisa berbuat apa-apa. Jadi sudah sepatutnya kami bersyukur. Terima kasih Dewan Gereja. Kembali pada pertemuan keluarga. Seperti biasa pertemuan keluarga diadakan pada pagi hari, tidak seperti pertemuan yang dahulu, pertemuan kali ini tidak dilakukan di lapangan, tapi diadakan di belakang kantor penjara, juga ada rasa sopan sedikit, halaman belakang kantor digelari tikar. Hatiku sedikit gembira ada harapan untuk bisa bertemu lagi dengan keluargaku. Benar saja hari itu aku mendapat kunjungan, aku kembali bertemu dengan istri dan anakku serta Ucih, gadis cilik yang momong anakku. Sesaat setelah kami bertemu, istriku membuka percakapan, “Gimana mas, sehat nggak sakit kan ?” “Sehat, pagi ini aku sangat sehat, semangat dan gairah untuk hidup terus bersamamu bangkit kembali. Ya cuma waktunya kapan?. Kau telah memenuhi janjimu,” jawabku sambil memangku anakku. “Janji apa mas?”
“Lupa?, kapan kau pernah bilang padaku, mas, biar masuk kandang macan kalau sama sampeyan saya mau dan berani. Gitu kan ingat?” “Aku kini ada di kandang macan, suatu ketika jika sang macan lapar bisa saja aku disantap, dikunyah dan ditelannya. Kini kau datang ke kandang macan, walaupun hanya di luar jeruji. Kau tetap istriku yang cantik dan setia.” Kupeluk dia dan kucium kedua pipinya, istriku meneteskan air mata. Kembali aku teringat saat dulu aku melamarnya. Disuatu malam aku mengajaknya jalan-jalan menikmati udara malam kota Jakarta , kami berjalan-jalan sampai di sekitar proyek jalan By Pass. Capek jalan ngalor- ngidul duduklah kami di tumpukan balok-balok beton. Aku kenal dengan pacarku memang sudah lama banget, dengan keluarganya pun aku sudah kenal lama karena kebetulan memang satu kantor, di pharmasi. Tidak kurang dari sepuluh tahun aku mengenalnya. Aku berkata dalam batinku, aku tidak bisa berbuat seperti ini terusterusan tanpa ujung, kasihan dia. Maka kuberanikan diri, menyampaikan niat suciku. Kutempelkan bibirku di telinganya, lalu kukatakan kepadanya dalam bahasa Jawa, “Dik, maukah kau menjadi istriku?” Pacarku menjawabnya dalam bahasa Jawa pula, “Mosok aku emoh,mas” Deg nratap hatiku, apakah aku terlanjur berkata demikian, sudah siapkah aku menjadi suaminya?. Aku ingat banget, di dalam novel Siti Nurbaya, di sana ada adegan ketika Samsul Bachri menyatakan cintanya pada Siti Nurbaya, “Maukah kau kelak menjadi istriku?”, dan Siti Nurbaya pun menjawab, “Masak tak mau.” Persis, pacarku menjawab seperti jawaban Siti Nurbaya, hanya beda bahasa, jika Siti Nurbaya menjawab dalam bahasa Indonesia , pacarku menjawab dalam bahasa Jawa. Memang pacarku Jawanya masih medok. “Mas, ojo meneh dadi bojo, iku pancen sing tak arep-arep, senajan mlebu kandang macan nek karo sampeyan, aku wani.” (apa lagi jadi istri itu memang yang kuharapkan, walau memasuki kandang macan sekalipun kalau sama mas, aku berani). Nggak terasa tanganku menggapai pundaknya, kupepetkan dadaku kedadanya, rapet. Kucium bibirnya, kuputar-putar lidahku dalam mulutnya. Sesaat aku lupa segalanya, cintaku diterimanya dengan penuh keikhlasan. Ya, itulah janjinya dulu, dan kini setelah ia menjadi istriku, ia membuktikan janjinya itu. “Mas, maafkan saya mas, sangat mungkin aku tidak bisa lagi membesuk sampeyan. Anggap saja besukkanku kali ini adalah besukkan terakhir, ya anggap saja begitu, supaya sampeyan tidak terlalu berharap, dan kalau suatu ketika aku bisa membesuk lagi, itu adalah anugerah Tuhan” “Lho memang kenapa?, kau dipecat dari kantormu?, apa kau tidak bekerja lagi?” “Nggak mas, saya nggak dipecat, saya tetap bekerja di kantor, tapi saya sekarang tidak tinggal di Utan Kayu lagi. Rumah kantor harus dikosongkan” “Ada petugas yang mengusirmu?, lalu kau sekarang tinggal dimana?” “Bukan mas, tidak ada petugas yang datang mengusir. Ada seorang perempuan yang datang
dan mengatakan kalau dia adalah istri dari pemilik rumah kantor itu. Jadi saya harus meninggalkan rumah itu segera. Katanya rumah itu akan dijualnya, nanti kalau sudah laku, saya mau diberi ganti rugi” Aku jadi bingung, rumah yang aku tinggali bersama keluargaku itu memang adalah rumah kantor, aku menempatinya pun atas izin kantor, dan memang setahuku rumah itu seratus persen rumah kantor. Kok sekarang ada seseorang datang dan mengaku istri dari pemilik rumah kantor. Aneh?, siapa dia?. Terlintas dibenakku tentang sebuah pesan yang pernah kuterima dulu saat Santi Aji, oh mungkin perempuan itu adalah istri dari rekan sekantorku itu. Ya bener, ingat aku sekarang. “Kapan itu terjadi?” tanyaku “Sudah lama juga, lebih dari sebulan yang lalu” “Lantas sekarang kau tinggal dimana?, diberi ganti rugi berapa?” “Nggak, nggak dikasih ganti rugi. Rumah itu ternyata nggak dijualnya, tapi rumah itu malah akan dibangunnya dan ditempatinya sendiri. Sekarang aku tinggal di rumah kontrakan, jauh dari Utan Kayu. Terpaksa barang-barang simpananku tak jual semua untuk kontrak rumah, mas kan tahu berapa banyak sih simpanan barang milikku, itu pun masih kurang, aku harus menambahnya dengan uang dari pinjaman kantor untuk bisa kontrak selama setahun. Kalau nanti sudah habis setahun dan tidak bisa memperpanjang kontrak, ya nggak tahu. Maaf ya mas, bukan maksud saya untuk membebani pikiran sampeyan. Percayalah nanti juga ada jalan keluarnya.” Weh lha benar-benar sebuah pukulan telak. Kok bisa-bisanya rumah kantor diakui sebagai rumah milik suaminya, dan akan dibangun untuk menjadi rumah tinggalnya. Tega benar dia. Ya baiklah kalau rumah kantor bisa diakui dan dihaki menjadi rumah miliknya itu tidak apaapa, aku malah cenderung menyokongnya dari pada rumah itu dijarah buto ijo. Tetapi yang menjadi ganjalan dan yang mengenaskan, kok dia benar-benar tega, menyuruh istriku meninggalkan rumah tanpa memberi pesangon sedikitpun. Keadaan sudah jungkir balik, rasa ego, tamak, dengki, srei bermunculan. Kedok sudah terbuka, kini wajah aslinya nampak jelas. “Ya sudahlah mau apa lagi, memang rumah itu bukan milik kita,” kataku, “Apa lagi aku kini ada dalam kurungan penjara, seandainya dalam keadaan bebas pun aku juga belum tentu bisa berbuat banyak, aku ini kan hanya orang di bawah perintah. Tapi adik sehat kan ?” “Sehat mas, berdoa saja mas, agar mas bisa cepat bebas, biar kita bisa berkumpul lagi, membesarkan anak kita” “Oh tentu, aku selalu berdoa, terutama buat si gendhuk dan ibunya. Biarlah kau tak bisa kirim besukkan juga tak apa, biar sekepal penjara masih kasih makan aku, yang terpenting adalah anak kita, berikan segalanya untuk anak kita, terutama soal makan dan kesehatannya jangan sampai terlantar. Eh ya, adik kirim rokok kok cuma sebatang?, kan lebih baik rokoknya diganti saja dengan tembakau saja, biar awet” “Ya mas, memang kiriman rokoknya hanya sebatang dan nggak ada tembakaunya. Maaf ya mas, rokok itu pengasih dari orang tua. Kata beliau, rokok itu harus dihisap mas sendiri, nggak boleh dihisap oleh orang lain, mas juga nggak boleh menghisap rokok yang lain,
kecuali rokok yang itu saja. Itulah sebabnya kiriman rokok hanya sebatang, kalau dicampur dengan rokok yang lain atau tembakau, nanti yang dihisap bisa rokok yang lain, bukan yang khusus itu. Rokok itu ada isinya mas” “Orang tua itu dukun, maksudmu?, siapa yang kasih ajaran macam itu?” “Ya mas, dari teman sekantor, ada yang ngasih saran agar aku berikhtiar melalui orang tua” “Oh begitu, ya bagus, terima kasih kepada yang memberi saran. Memang yang namanya ikhtiar itu baik, tapi menurutku kok rasanya kurang tepat dik” “Kurang tepatnya dimana mas?” “Masak kau nggak ngerti?. Begini ya aku kasih tahu, bahwa persoalan penahananku ini adalah persoalan politik yang erat hubungannya dengan negara atau pemerintah, ini persoalan nasional bukan persoalan pribadi perseorangan, bahkan persoalan peristiwa '65 itu menjalar sampai kedunia internasional. Jadi penyelesaian para tahanan seperti diriku ini semuanya itu tergantung pada sarana politik yang bisa merubah sikap para penguasa. Selama sarana itu tidak ada, ya tetap saja para tapol akan menempati posisi seperti ini. Pak dukun tidak akan mungkin bisa membebaskan para tahanan. Karena biasanya pak dukun itu kan hanya menangani persoalan pribadi, perorangan, seperti misalnya kalau ingin mendapatkan cinta dari lawan jenis melalui ilmu pelet, atau ingin menyakiti seseorang dengan cara santet menyantet, nah itu baru bisa lewat pak dukun. Tiwas ngenteke duwit kan lebih baik uang itu digunakan buat keperluan anak kita. Dan jangan dikira loh dik, beliau-beliau itu juga suka main dukun, bahkan simpanan dukun mereka bukan sembarang dukun, bukan seperti dukun kampung kebanyakan, tidak sedikit dari beliau-beliau itu yang mempunyai pegangan ajimat yang keampuhannya sangat mumpuni segala keperluan. Jadi jangan diulang lagi ya dik, percuma nggak ada gunanya, tapi yang sudah ya sudahlah” “Ya mas, maaf kalau saya keliru” “Ya nggak apa-apa, namanya juga ikhtiar” Tak terasa waktu pertemuan berakhir, anakku diambil dari pangkuanku, sambil menggandeng anak kami istriku sekali lagi mengatakan agar aku tidak terlalu berharap dengan kiriman besukkannya, kalau ada rezeki walaupun hanya sepotong singkong tentu akan diantarnya. Istriku telah memenuhi janjinya, dia telah menunjukkan kesetiaannya, walaupun mungkin sedikit keliru, ikhtiar itu adalah caranya menunjukkan rasa keinginannya agar aku, suaminya ini dapat segara bebas kembali. Dan ternyata masih ada juga orang-orang yang menunjukkan rasa kepeduliannya serta rasa simpati dan empati terhadap kebebasanku. Ya kepada merekamereka itu aku ucapkan terima kasih. Kembali ke Blok-O, aku nikmati kiriman besukkan dari istriku, aku tidak ambil pusing dengan rokok dari pak dukun, selesai makan bersama aku hisap rokok itu, kutarik dalamdalam asap rokok, kunikmati benar asap rokok itu, siapa tahu kiriman ini benar-benar kiriman terakhir. Besok atau lusa aku akan menjadi salah satu tahanan yang harus bisa hidup hanya dari jatah penjara saja. Kalau memang aku masih diberi umur panjang, masih deberi kesempatan untuk hidup, tentu aku akan bisa hidup walau dengan apa adanya. Insya Allah, ya
mudah-mudahan saja. Oplosing para tahanan berjalan lagi, kali ini aku dipindah ke Blok-G. Blok-G ini adalah blok dengan sel tunggal, sebuah kamar besar. Rata-rata penghuninya sangat kurus-kurus, kurang makan, dari jumlah seluruh penghuni sel ini yang menerima kiriman besukkan tidak lebih dari 20 % saja, itu pun tidak menentu. Di Blok-G ini aku jatuh sakit, agak parah juga, mungkin sakitku ini akibat dari pikiran-pikiranku yang belum bisa tenang karena terlalu memikirkan nasib keluarga di luar, aku selalu terpikir tentang bagaimana dengan keadaan rumah kontrakan keluargaku, bagaimana keadaan anakku kalau ditinggal ibunya ke kantor, bagaimana makanan anakku bergizikah atau hanya sekedar asal makan saja. Tapi yang jelas dan pasti aku sakit juga karena kurang makan. Di Blok-G ini juga aku mulai mengenal yang namanya “goles” alias sego teles atau nasi basah. Goles ini dikirim oleh teman-teman yang bertugas di dapur karena adanya rasa solider tentunya. Mungkin nasi ini adalah kumpulan dari nasi-nasi yang lengket di sabluk atau di kotak besar tempat menampung nasi dari sabluk. Kalau sabluk dan kotak ini dicuci, rontokan nasinya lumayan juga. Nah rontokan sisa-sisa nasi itu lalu dikumpulkan dan dimasukan kantong plastik, kemudian dikirim ke blok-blok yang dianggap memerlukannya dengan cara diselundupkan kedalam dandang yang berisi air panas. Blok-G sering menerima kiriman goles ini, biar benyek, sepo anyep tapi kalau perut sudah lapar tidak pernah menolaknya, mulut dan perut yang kelaparan tetap mau menerimanya dan tetap saja terasa enak. Tiga bulan lebih aku menjadi penghuni Blok-G, kiriman besukkan memang tidak pernah kunjung tiba. Seperti yang dikatakan istriku, aku jangan terlalu berharap mendapat kiriman besukkan, kalau ada rezeki biarpun hanya sepotong singkong pasti akan dikirimkannya. Benar juga, rupanya rezeki itu barangkali sudah datang, ketika suatu hari namaku dipanggil oleh teman yang bertugas mengambil dan membawa kiriman besukkan, meriangku langsung saja hilang. Tiga bulan lebih aku tidak pernah makan lebih dari jatah penjara, aku juga tidak pernah mimpi akan dapat kiriman besukkan yang begitu komplit. Ya saat itu aku mendapat kiriman besukkan yang terdiri dari tiga tas. Satu tas berisi nasi dan lauknya, satu tas lainnya berisi tembakau dan makanan kering yang bisa tahan lama dan satu tas lagi berisi pakaian.. Kiriman pakaian itu antara lain adalah kaus dan celana dalam, celana panjang, baju-baju halus seperti sutra dan ada pula jaket dari bahan verlak halus. Aku tidak pernah merasa memiliki pakaian-pakaian itu, lantas dari mana semua pakaian ini?. Kalau boleh aku menerka-nerka, mungkin kiriman pakaian ini datang dari sahabatku, bapaknya Koko, tapi kenapa?. Dari kabar burung yang pernah kudengar, penjara Salemba akan segera dikosongkan. Mungkin keluarga dan teman-teman yang di luar sudah lebih tahu akan hal itu, entah lewat radio atau pun media cetak. Kemungkinan adanya pemindahan para tapol akan segera terjadi, kemana?. Nggak tahu. Mana mungkin tapol seperti aku bisa tahu dan mengerti, tapol kan hidupnya terisolasi, lepas dari keluarga, jauh dari berita dan informasi dunia luar. Kehidupan di penjara itu kan hanya menghitung waktu, kapan bisa bebas atau kapan maut menjemput?. Kiriman besukkaanku yang mempunyai bobot istimewa, lebih dari bobot besukkan yang pernah aku terima, rupanya menjadi besukkan yang benar-benar terakhir kali, sampai tiba saatnya aku tinggalkan penjara Salemba yang jahanam itu, tak pernah lagi aku menerima kiriman besukkan dari keluarga. Dengan adanya kiriman besukkan itu oleh kepala blok aku diserahi tugas menanggung seorang teman, bernama Ahmadi untuk diajak makan bersamaku.
Tak lama sesudah aku menerima kiriman istimewa ada oplosing lagi, aku dipindah lagi, kali ini ke Blok-P. Di blok ini aku kembali bertemu dengan pak Hasyim Rahman, tapi beliau tidak lagi menjadi kepala blok, beliau hanya menjadi warga blok biasa. Karena beliau sudah kenal lama denganku, maka aku diajaknya untuk satu sel dengannya ditambah lagi dengan seorang teman lain yang hidupnya juga tergantung dari jatah penjara. Saat itu bertepatan dengan hari Jum’at, aku absen shalat Jum’at, hanya karena harus menata sel yang baru. Kesibukan para petugas penjara tampak lain dari biasanya, kepala sekuriti sibuk keluar masuk blok. Berita tentang pengiriman para tapol ke Pulau Buru makin santer, terang dan jelas. Rupanya sudah bukan menjadi rahasia lagi, kepindahan para tapol hanya tinggal menunggu waktu saja, mungkin hanya tinggal satu dua hari, mungkin bisa nanti malam, segalanya bisa mungkin, bisa terjadi kapan saja. Para petugas penjara Salemba dan para tapol penghuninya, hanya tinggal menunggu perintah saja. “Ayo siap, tinggalkan tempat ini, kemudian akan kukirim dan kubuang kalian ke Pulau Buru!” Kepala sekuriti, Peltu Marjuki, sok berlagak seperti seniman atau budayawan. “Tak ada pesta tanpa akhir,” begitu ucapnya pada kami. Buat si Kliwon ini, penjara Salemba adalah tempatnya berpesta. Benar juga barangkali, memang penjara bagaikan neraka buat kami para tahanan, tetapi penjara bagi mereka yang berkuasa adalah tempat mereka berpesta. Bagaimana tidak, coba saja pikirkan berapa banyak para narapidana yang bila malam tiba bisa dengan bebas pulang ke rumah dan tidur dengan istri, berapa pula banyaknya para pembobol uang negara yang bisa dengan mudah lolos dari penjara dan kemudian lari ke negara tetangga. Di penjara Salemba ada seorang tahanan yang bernama Aslam, dia disebut juga sebagai si Raja Karet, orangnya gede tinggi, kekayaannya barangkali sudah tidak bisa dihitung lagi, di dalam penjara saja untuk keperluan mandinya pun ada yang melayaninya. Aku tidak tahu persis tentang status tahanannya, apakah dia seorang tapol atau tahanan kriminil. Nah, pada hari raya Idul Adha atau disebut juga hari Raya Kurban, atau Lebaran Haji, sang raja karet ini menawarkan pada penguasa penjara untuk mendatangkan sapi atau kerbau sebanyak lima ekor atas tanggungannya, nanti seluruh daging hewan itu sepenuhnya untuk keperluan makan para tapol, asalkan dia bisa diizinkan pulang untuk bertemu dengan keluarganya. "Ayo kawallah saya pulang untuk bertemu keluarga saya," demikian pintanya. Sayangnya keinginan si raja karet ini tidak dapat terlaksana, tapol tetap tidak menerima apaapa pada hari raya, jatah makan tetap saja tipis dengan sayur bening bayam, keinginan pak Aslam untuk menyumbang daging untuk para tahanan tidak terwujud. Tapi anehnya sejak hari raya Idul Adha pak Aslam tidak tampak lagi batang hidungnya di Salemba. Kemana perginya beliau?. Barangkali hanya uang yang ada di kantong para penguasa itulah yang tahu. Malam sebelum tidur pak Hasyim mengajak aku dan seorang teman satu sel bernama Sanadi, ngobrol. “Pak Sam, nih tembakau Mole dan rokok Bentoelnya, lintinglah seperti dulu saat di Blok-Q, nanti kita bisa merokok ramai-ramai, kalau perlu kita bisa merokok sampai pagi. Siapa tahu sel ini adalah sel terakhir kita, kemudian besok atau lusa kita akan berpisah” “Ya pak, sini kulintingnya,”
Dulu sewaktu di Blok-Q aku biasa jadi pembantunya pak Hasyim, menisikan sarung atau celananya yang lepas jahitannya pasti aku yang mengerjakan, tentu saja karena ada imbalannya yang cukup baik. “Kalian boleh bergembira, tak lama lagi kalian akan bebas bertemu dengan keluarga lagi. Hanya kalau nanti kalian sudah bebas jangan lupa sama saya, ya. Kalau saya sih tidak akan bebas, prosesnya masih panjang. Saya mesti diproses lewat pengadilan, nah hasil proses pengadilan itu nanti bisa berupa macam-macam. Bisa saja saya diputus bebas, tapi ini tidak mungkinlah. Bisa juga saya divonis mati, atau setidaknya dipenjara seumur hidup” “Pak,” selaku, “Apakah benar dengan kabar yang katanya para tapol akan dipindahkan ke Pulau Buru?. Dimana letak Pulau Buru itu, pak?” “Pulau Buru itu termasuk wilayah Indonesia bagian timur, letaknya tidak jauh dari Ambon . Pulau Buru itu termasuk ke dalam Provinsi Maluku” “Lha kalau kita dipindahkan ke sana , apakah di sana juga sudah ada penjaranya?. Seperti dulu saat jaman penjajahan, banyak orang-orang yang dibuang ke Digul atau Tanah Merah. Kemudian setelah mereka bebas disebut Digolis. Jangan-jangan seperti itu pak?” “Saya nggak tahu, tetapi hakekatnya setiap tempat dimana ada tahanannya adalah penjara. Sudahlah kalian nggak perlu ngerti tentang Pulau Buru, besok atau lusa kalian pasti akan bebas. Tunggu saja saatnya akan segera tiba. Masih mau merokok nggak?, kalau nggak sebaiknya mari kita tidur sambil menunggu kabar, bagaimana jadinya esok pagi” Kami bertiga pun segera pergi tidur. Tapi nyatanya aku sulit untuk tidur, berbagai macam pikiran berkecamuk di benakku, terbayang olehku bagaimana nanti kalau aku bebas, ketemu keluarga lagi seperti gambaran pak Hasyim, yang nampaknya sangat meyakinkan dan memberiku harapan terang. Lha kalau nanti aku benar bisa bebas apa iya kebebasanku itu karena hasil kerjanya pak dukun melalui sebatang rokok khusus. Tetapi sayangnya ketika aku diperiksa aparat di Salemba ini aku tidak membaca doa yang telah diajarkan oleh tetanggaku, bung Aziz. Jika kelak bung Aziz bisa bebas, apakah bebasnya itu karena membaca doa itu. Aduh sayang sekali, kenapa doa itu nggak aku baca saat aku diperiksa. Seandainya saja doa itu kubaca dan rokok dari pak dukun tidak hanya satu batang, barangkali tentunya kebebasanku akan nampak terang dan jelas di depan mata. Tapi rokoknya hanya satu batang dan doanya tak kubaca, rasa gelap, khawatir dan juga penyesalan menumpuk dibenakku. Kembali aku coba menekan segala pikiran yang menyesakkan ini, kukuatkan mentalku. Apa pun yang akan terjadi, hingga sampai pada hal yang paling buruk pun, aku harus siap. Aku sendiri pernah mengingatkan Pak Daryo, “Pak, penjara ini belum apa-apa, ini baru “B” yang pertama, masih ada dua “B” yang lain menunggu kita. “B” dibuang atau “B” dibunuh, semuanya bukan tidak mungkin bisa terjadi.” Kembali modal pertamaku saat di Kodim Budi Kemuliaan muncul, “Tenang kancane akeh kok!”. Kalau sudah begitu hatiku sedikit tenang dan tentram. Mudah-mudahan saja apa yang dikatakan oleh Pak Hasyim benar, aku akan segera bebas. “Belum tidur pak Sam?, kenapa, nggak bisa tidur?. Sudahlah tidur, nggak usah dipikirkan,
tunggu saja saatnya kalian pasti akan bebas. Apa yang dikatakan Peltu Marjuki itu benar, tak ada pesta tanpa akhir. Segalanya yang ada di dunia ini kan dibatasi oleh waktu. Coba saja mana ada hal yang tidak dibatasi oleh waktu, tidak ada. Sampai kapanpun yang namanya waktu itu pasti tiba. Kalau pak Sam pernah nonton sebuah tontonan yang menurut pak Sam baik dan enak ditonton, taruhlah pak Sam nonton wayang kegemaran pak Sam, keindahan wayangnya makin terasa karena dibatasi oleh waktu. Waktu itu berjalan terus pak, waktu tak pernah berhenti, mandeg di jalan. Waktu yang tak pernah kita hitung itu, tahu-tahu membawa kita menjadi tua seperti sekarang ini. Sebenarnya orang yang tidak mau tahu akan waktu dan tidak pernah memperhitungkan waktu, hakekatnya adalah orang yang merugi, karena waktu itu tidak pernah dapat kembali mundur. Bagi mahkluk hidup terutama manusia yang hidupnya dibatasi oleh waktu, waktu itu adalah satu faktor penting yang perlu diperhitungkan. “Time is Money” kata pedagang. Jangan buang-buang waktu, “Lengbet”, meleng sabet, kata para pencoleng. Para pencoleng itu sangat memperhitungkan dan menghargai waktu. Nggak peduli apakah itu pencoleng di pasar atau kah pencoleng uang negara, mereka semua bekerja dengan memanfaatkan waktu.” Eh akhirnya kami nggak jadi tidur, ngobrol lagi bertiga dan kami kembali merokok lagi. “Eh dik Sanadi,” kata pak Hasyim kepada teman satu sel yang lain, “Mau tanya apa? atau sudah punya rencana apa kalau besok atau lusa dik Sanadi benar bisa bebas?” “Ah nggak pak, saya nggak mau tanya apa-apa, ya mau tanya apa, saya ini kan nggak ngerti apa-apa pak. Bisa sampai masuk penjara ini pun saya nggak ngerti. Kenapa saya bisa sampai masuk penjara padahal saya kan nggak berbuat apa-apa” “Sebagai seorang pemuda, apakah dik Sanadi pernah masuk sebuah organisasi?” “Ya itu pak karena ikut-ikutan teman-teman di kampung saya masuk Pemuda Rakyat” “Diajari apa saat di Pemuda Rakyat?, disuruh baca buku politik ya?” “Nggak pak, nggak disuruh baca buku apa-apa, mana saya ngerti, sekolah SD saja saya nggak tamat” “Lantas ngapain di Pemuda Rakyat?” “Itu loh pak, saya kan seneng sama itu yang namanya drum band. Saya tertarik sekali jadi saya ingin bisa main seperti mereka itu. Saya seneng sekali melihat orang yang memukul tambur yang gede itu pak, tangan kirinya memukul kulit tambur sebelah kanan, tangan kanannya memukul kulit tambur sebelah kiri, jadi tangannya menyilang terus-terusan kaya baling-baling, wah gagah sekali kelihatannya. Apalagi itu cewek yang jadi komandannya, memberi komando sambil membawa tongkat yang diputar-putar, kadang-kadang berjalan mundur lalu tongkat dilempar ke atas, saat jatuh diterima tangan kanan dan terus diputar-putar lagi, wah pendeknya menarik sekali pak. Saya kepingin bisa seperti mereka maka itu saya mendaftar menjadi anggota Pemuda Rakyat.” “Oh tambur besar itu namanya drum dik, dan cewek yang memberi komando sambil membawa tongkat itu disebut dengan majoret. Lantas kau pernah diberi pelajaran apa saja?, apa dikursuskan misalnya?” tanya pak Hasyim lagi.
“Dikursuskan apa, cuma kalau lagi kumpul-kumpul kami suka diomongin tentang perjuangan. Katanya Indonesia ini amat kaya raya punya segalanya dan sekarang kita sudah merdeka, tapi kenapa kita ini umumnya kok masih miskin dan bodoh, begitu pak katanya” “Kata siapa?” “Ya itu kata yang ngomongin, kayaknya sih dia salah satu pembina senior di organisasi. Maka itu katanya pak, kita sebagai pemuda harus berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan. Lha caranya berjuang tidak bisa sendiri-sendiri tapi harus dilakukan bersama-sama, nah untuk bisa melakukan bersama-sama itu syaratnya ya harus melalui organisasi. Itulah sebabnya kita harus mempunyai organisasi yang namanya Pemuda Rakyat. Lewat Pemuda Rakyat inilah kita akan melawan kemiskinan dan kebodohan, gitu katanya pak. Lama-lama saya jadi anu pak” “Anu kenapa?” “Anu pak, saya jadi mulai berani nanya” “Tanya apa?” “Jadi saya pernah tanya, melawan kebodohan dan melawan kemiskinan lewat organisasi itu bagaimana?. Dijawab, bagus bung, bung sudah mulai berani bertanya, itu tandanya bung sudah ada kemajuan. Saya jadi geli pak, masak cuma nanya kayak begitu saja sudah dibilang ada kemajuan” “Bener itu,” kata pak Hasyim, "Itu memang satu kemajuan, ngomong, bertanya apalagi menjawab dalam kumpulan orang banyak itu tidak semua orang bisa dan berani. Banyak orang pintar tetapi ketika harus bicara dimuka umum, di mimbar misalnya kepintarannya jadi hilang, gelagepan ndak bisa omong apa-apa, kakinya gemetar, mukanya pucat. Jadi kalau dik Sanadi itu mau dan berani bertanya itu adalah satu kemajuan, ayo teruskan, apa jawaban pertanyaanmu itu?” “Katanya, gini bung misalnya ada seorang pejabat taruhlah misalnya seorang menteri yang menyalah gunakan kewenangannya. Saya tanya lagi pak, menteri sama manteri itu apa sih bedanya bung?. Eh saya malah ditepukin tangan sama teman-teman, malah ada yang nyeletuk, ayo Di tanya terus!” Pak Hasyim ketawa, aku pun jadi ikut ketawa geli. Selanjutnya pak Hasyim berkata lagi. “Di, ternyata diam-diam anda punya pengalaman yang menarik juga. Pertanyaan dik Sanadi itu bisa jadi sebenarnya adalah juga menjadi pertanyaan para anggota lainnya yang sebenarnya mereka juga belum mengerti tapi mau tanya mereka tidak berani. Ayo teruskan ceritanya, nggak tidur juga nggak apa-apa, rokoknya juga masih ada, mungkin besok atau lusa kalian akan bebas dan kita akan berpisah jadi anggap saja ini kumpul yang terakhir dan ceritacerita semacam ini bisa menjadi kenangan kita.” “Gini lo bung,” Hadi melanjutkan ceritanya, “Manteri dan menteri itu sama-sama sebuah jabatan. Kalau manteri itu jabatan sebagai pegawai negeri sipil sedangkan kalau menteri itu jabatan anggota kabinet pemerintah. Kalau menteri itu jabatan yang mengepalai suatu
departemen misalnya Departemen Sosial, Departemen Keuangan dan lain-lainnya. Menteri itu bukan pegawai negeri sipil, masa jabatannya sebatas waktu yang ditetapkan oleh undangundang, misalnya pemerintah saat ini yang dipimpin oleh presiden Soekarno, maka kabinet dengan para menterinya yang menjadi pembantu presiden masa jabatannya sesuai dengan ketetapan yang diatur oleh undang-undang. Kalau di Indonesia masa jabatan para menteri itu adalah lima tahun sesuai dengan masa pemerintahan presiden yaitu lima tahun. Kalau seorang menteri dalam melaksanakan tugas memimpin departemen sebagai pembantu presiden tidak dapat dijalankan dengan baik, bisa saja menteri itu dicopot dan diganti oleh orang lain, kemudian dia dikembalikan ke tempat asalnya. Saya lalu tanya lagi, yang dimaksud dengan tempat asalnya itu bagaimana bung?, apa di kampung gitu misalnya?, eh saya kembali ditepukin tangan pak. Lalu sang pembina menjawab lagi, bukan bung, yang dimaksud ke tempat asalnya itu begini, kalau sebelum dia diangkat menjadi menteri, dia adalah seorang pengusaha maka setelah berhenti jadi menteri dia akan kembali menjadi pengusaha lagi tapi kalau dia sebelumnya adalah seorang pegawai negeri sipil maka setelah berhenti jadi menteri dia kembali menjadi pegawai negeri sipil dan kalau dia seorang anggota partai maka dia akan dikembalikan ke partainya. Lha kalau manteri itu misalnya manteri rumah sakit atau manteri hewan, dia adalah seorang pegawai yang masa jabatannya dibatasi oleh usianya. Jadi kalau pak manteri itu usianya telah mencapai 65 tahun, maka menurut undang-undang pak manteri harus pensiun. Pak manteri tidak bisa dipecat begitu saja kecuali dia melanggar undang-undang kepegawaian. Misalnya manteri kesehatan di sebuah rumah sakit yang telah biasa melayani pasien dalam memberikan obat, yang tentunya sesuai dengan petunjuk dokter, si pasien yang menderita penyakit ini dikasih obat ini, pasien yang menderita penyakit itu dikasih obat itu, nah karena bertahun-tahun pekerjaannya begitu maka sang manteri merasa hapal bener dengan obatobatan yang harus diberikan pada para pasien, kemudian pak manteri menyalah gunakan jabatannya, misalnya dia mengaku sebagai dokter, nah dia ini bisa dipecat zonder debat, begitu bung, ngerti ya.” “Bung, pertanyaan saya tentang melawan kemiskinan dan kebodohan lewat organisasi kan belum dijawab bung,” Hadi kembali melanjutkan ceritanya. “Oh ya begini bung, misalnya ada seorang menteri, menteri sosial misalnya, si menteri ini menyelewengkan dana yang mestinya untuk kepentingan masyarakat yang lemah ekonominya tidak disalurkan dengan baik, dana yang disediakan untuk membangun sekolahan di desa juga mampir ke saku pak menteri. Nah perbuatan semacam ini tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Maka kemudian kita galang front pemuda, kita ajak organisasi-organisasi pemuda lainnya untuk melawan si menteri yang suka menyeleweng ini agar si menteri dapat ditindak tegas oleh hukum dan undang-undang. Itulah pada dasarnya berjuang lewat organisasi. Sudah tentu prosesnya tidaklah segampang itu, jadi paham ya bung. Saya jawab, ngerti bung, terima kasih dan saya kembali ditepukin tangan sama teman-teman.” “Wah,” kata pak Hasyim, “Ternyata dik Sanadi bisa juga bercerita dengan baik dan lancar, padahal katanya Sekolah Dasar saja nggak tamat, ya sudah sepantasnya kalau dik Sanadi dikasih tepuk tangan. Kalau pak Sam punya cerita apa?, ayo cerita pak, biarlah nggak tidur juga nggak apa-apa, besok pagi-pagi kalau air panas datang kita bikin kopi, kan masih ada kopi dan gula sedikit, cukuplah satu muk untuk bertiga”
“Gini pak Hasyim, mendengar cerita pengalaman dik Sanadi ini saya jadi teringat pada pengalaman saya sendiri saat di Blok-G, ceritanya begini, salah seorang tapol yang bernama pak Yunus yang juga pernah satu blok dengan kita di Blok-Q mendapat tugas dari pak Haji Bahrun untuk memberikan pelajaran shalat di Blok-G. Pada waktu diadakan tanya jawab saya bertanya tentang sujud sahwi. Pak Yunus, sujud sahwi itu sujud yang bagaimana, apa kegunaannya dan kapan kita harus melakukan sujud sahwi?” “Lha ini pertanyaan yang bener-bener baik. Saudara-saudara pertanyaan pak Sam ini sangat baik sekali, saya tahu persis kok, pak Sam ini bertanya tentang sujud sahwi bukan karena pak Sam tidak tahu tentang sujud sahwi, tetapi kalau pak Sam ini bertanya tentang sujud sahwi sebenarnya pak Sam menanyakan hal ini untuk saudara-saudara yang belum mengerti tapi nggak mau atau memang malu untuk bertanya.” “Saya jadi geli pak, lha wong saya ini bener-bener tanya karena nggak ngerti kok dianggap mewakili temen-temen lain yang tidak mau atau malu bertanya. Lha kalau nanti ada temen lain yang bener-bener menganggap saya ini pinter lantas menanyakan sesuatu tentang melakukan shalat yang baik dan benar, dan kemudian saya tidak bisa menjawab kan bikin malu pak. “Begini saudara-saudara,” kata pak Yunus, lanjutku, “Sujud sahwi itu adalah sujud yang dilakukan karena adanya cacat atau kesalahan dalam melakukan shalat, baik shalat fardu maupun shalat sunat. Hukum melakukan sujud sahwi adalah sunat bagi imam dan orang yang melakukan shalat sendirian, yang disebut juga munfarid. Sedangkan bagi makmum tergantung pada imamnya, jika imam melakukan sujud sahwi, maka makmum harus melakukan sujud sahwi juga, jika imam tidak melakukannya maka makmum tidak boleh melakukannya. Lalu kapan kita melakukan sujud sahwi, ya itu tadi jika shalat kita rusak karena kekurangan atau kelebihan rakaat yang telah kita kerjakan, misalkan kalau kita melakukan shalat ashar yang mestinya empat rakaat, tapi karena lupa baru tiga rakaat kita telah melakukan tahiyat akhir, atau setelah kita melakukan lima rakaat baru melakukan tahiyat akhir, atau jika kita merasa ragu berapa rakaat shalat yang telah kita kerjakan, maka lakukanlah sujud sahwi sebelum melakukan salam. Dalam sujud sahwi itu kita baca tasbih yaitu, Subhaana man laa yanaamu wa laa yashuu sebanyak tiga kali, sedang arti dari bacaan tasbih itu adalah, Maha Suci Zat yang tidak pernah tidur dan tidak pernah lupa. Nah itulah saudara-saudara jawaban saya tentang sujud sahwi. Hayo siapa yang mau tanya lagi, jangan seperti temen kita yang namanya Darmin, katanya sudah khatam Al-Quran empat puluh kali, tapi saat mengimami shalat ashar, shalatnya rusak berantakan, mau denger ceritanya nggak?", kata pak Yunus. “Ya mau pak! “ jawab kami ramai-ramai. Gini ceritanya saudara-saudara, ketika Qommat untuk shalat ashar sudah diserukan oleh muazin, maka bung Darmin yang kebetulan diminta untuk menjadi imam segera bergegas berdiri di barisan terdepan untuk memimpin shalat. Pak imam melakukan takbir dengan mengangkat kedua telapak tangannya, lalu diteruskan dengan membaca doa iftitah tentunya. Tapi eeh dasar Darmin, cuma omongnya doang yang gede, dia membaca surat Al-Fatiah dengan suara keras, seperti layaknya saat melakukan shalat maghrib, isya atau subuh. Eh kok ya ada salah seorang makmum yang sempet-sempetnya nyeletuk, gimana sih pak Min ini shalat ashar kok disuarakan dengan suara keras, yang boleh dan harus disuarakan keras dalam shalat ashar dan lohor kan cuma takbir dan “tidal, eh temen di sampingnya nimpali juga, hus!
kalau shalat nggak boleh ngomong, diam. Dan celakanya, dasar si Darmin mendengar ada makmumnya yang ngomong eh malah dia nengok kebelakang sambil ngomong, siapa sih itu yang cerewet, lha karuan saja shalat jadi berantakan, saya pun jadi ketawa sampai perut ini sakit, begitulah cerita pak Yunus,” kataku." Kami bertiga pun ketawa ngakak membayangkan tingkah si imam yang bernama Darmin. “Pak Sam waktu itu ikut shalat?” “Nggak pak, saya tahu hal itu dari ceritanya pak Yunus, cuma saya memang pernah kumpul dengan pak Darmin itu sejak di Kodim, suatu saat saya pernah diajak ngobrol tentang agama. Dia bilang gini, dik Sam, kau itu kan orang Jawa toh, ngerti nggak apa gunanya orang melakukan shalat?, para ustad dan kyai itu kan selalu menyerukan kata tegakkan shalat dan bayarlah zakat, lakukan perintah Allah dan jauhkan laranganNya, yang pada ujungnya kita nanti pasti akan masuk kedalam surgaNya.” Tak kandani yo (saya bilangin ya), buat orang Jawa surga dan neraka itu nggak perlu jauhjauh dicari di akhirat, kau ngerti senepo nggak?, orang Jawa itu memberi makna surga dan neraka lewat senepo tadi. Surga dalam bahasa Jawa disebut Suwargo dan neraka disebut Neroko. Dalam bahasa Jawa itu, Suwargo adalah rangkaian tiga kata yang terdiri dari kata “Su” artinya nafsu, “War” artinya luar atau keluar, dan “Go” itu artinya lego atau puas, jadi arti harafiah Suwargo itu adalah nafsunya keluar, hatinya lego, jadi kita akan mendapatkan rasa puas dan kenikmatan bila kita telah dapat mengeluarkan atau membuang hawa nafsu kita. Ada pun Neroko itu terdiri dari kata “Ner” atau nere yang artinya adalah tujuan, kemauan atau maksud, “O” dari kata ora artinya tidak dan “Ko” dari kata teko artinya datang, kesampaian atau berhasil, jadi kata Neroko kalau diurai menjadi kata nere ora teko yang artinya maksud, arah tujuan atau kemauannya tidak kesampaian, maka alhasil hatinya jadi panas. Seorang tetangga misalnya bisa beli mobil bagus, sedangkan kita walau dengan memaksakan diri tetap nggak mampu beli mobil, kita lalu jadi iri, hati kita jadi panas. Maka itu nggak perlu jauh-jauh mencari surga atau neraka, nggak usah pake nunggu mati, di dunia ini banyak surga dan nerakanya. Apakah tahanan ini nggak merupakan neraka bagi kita?, jelas-jelas penahanan kita ini adalah merupakan neraka bagi kita, bung." “Eh entengnya pak Darmin ngomong tentang surga dan neraka, itu kan cuma otak-atik gatuk, pak.” Sampai disitu cerita tidak berlanjut, adzan subuh yang biasa disuarakan oleh saudara Surip mengalun panjang. Pintu sel dibuka, kami bertiga segera bergegas ambil air sembahyang untuk melakukan shalat subuh berjemaah. Pagi makin terang, seperti kemarin kesibukan pagi hari ini makin menjadi-jadi. Para petugas hilir-mudik khususnya petugas sekuriti, si Kliwon tentunya. Benar juga pak Kliwon dengan pengeras suara masuk ke Blok-P, diperintahkanlah semua penghuni blok untuk keluar dan berkumpul di halaman blok. “Nah saudara-saudara seperti apa yang telah aku katakan beberapa hari lalu, tidak ada pesta tanpa akhir. Hari ini tiba saatnya pesta itu berakhir, untuk itu aku perintahkan kalian semua segera berkemas-kemas, bungkusin pakaian-pakaianmu, alat makan, rantang dan sendok boleh dibawa, tapi tikar nggak usah dibawa.”
Baju koko dan celana ukuran tiga perempat pun dibagi-bagikan, di setiap punggung baju dituliskan angka gede-gede, bahannya dari blaco putih, potongan tokdel, jahitan asal nempel, nggak pakai ukuran gede kecilnya pemakai, pokoknya asal dibagi. Aku dapat baju bernomer punggung 25, buatku ukuran baju itu timbang pas, tapi karena badanku saat itu sangat kurus, ukuranku makin jadi kecil dan baju koko itu terasa sangat longgar di badanku. Diakui atau tidak rasa panik dan was-was terasa di hati dan nampak di wajah masing-masing para tahanan. Mau dikemanakan kami ini, benarkah kami akan dibebaskan, seperti kata Pak Hasyim, ataukah benar kami akan di Pulau Buru-kan, bahkan ada desas-desus yang mengatakan kami akan dibuang di Laut Banda, laut paling dalam di Indonesia, benarkah itu?. Semua pertanyaan itu tak terjawab. Jawaban satu-satunya, tunggu saja nanti kau akan ketahui sendiri. Karena kesibukan masing-masing dan rasa cemas serta was-was yang menyelimuti setiap pribadi tak terkecuali diriku, aku jadi tak memperhatikan pak Hasyim lagi, kemana beliau pergi, apakah beliau juga mengenakan baju koko dan bercelana tiga perempat, semua itu sudah tak terpikirkan lagi bahkan kami pun tak sempat saling bersalaman, tanda perpisahan. Urusan diri sendiri menjadi prioritas. Melawan sebisa mungkin atau mati bareng seandainya terjadi teror pemusnahan, syukur kalau bisa selamat. Kami mulai bergerak, berbondongbondong meninggalkan Blok-P dan Salemba yang kami huni selama dua setengah tahun ini. Barang-barang pribadi kami yang disimpan di gudang seperti sepatu dan ikat pinggang tidak dikembalikan. Aku tinggalkan penjara Salemba dengan hanya beralas kaki gapyak, kiriman dari keluarga. Sejak pertama kali kakiku menginjak Salemba, pintu masuk yang kulalui mulai dari pintu halaman sampai pintu sel berjumlah enam pintu. Jumlah pintu itu pun tidak berubah, saat aku keluar dari pintu sel sampai pintu pagar tetap berjumlah enam buah. Sejenak aku sempat melihat suasana di luar tembok penjara, sempat telihat sebuah becak lewat, melintas di depan penjara, becak itu pun tetap tak berubah, tetap saja dikayuh dengan kaki dan juga tetap beroda tiga. Banyak sekali orang-orang berdiri di kiri kanan jalan, berjajar seperti layaknya menyambut tamu agung negara, apakah dari sekian banyaknya orang-orang itu ada keluarga dari para tahanan yang turut menyaksikan, entahlah. Akhir penahanan di Salemba memang dilakukan di luar hari besukkan, jadi kalau esok atau lusa saat hari besukkan tiba tentunya akan banyak sekali keluarga para tapol yang kecelik dan tentunya rasa cemas dan was-was akan mewarnai pikiran keluarga kami. Ya hanya suasana itu saja yang sempat kulihat, perintah menaiki truk terbuka mulai diteriakkan. Deretan truk, berapa jumlahnya nggak usah dihitung lagi, pokoknya banyak. Kami mulai masuk ke dalam truk, kami tidak ada yang boleh berdiri, semuanya harus duduk seperti dulu waktu kami diangkut dari Kodim ke Salemba. Komplit sudah tak ada satu pun yang tertinggal, pluit panjang ditiup, truk paling depan mulai bergerak ke arah barat menuju jalan By Pass. Tiba giliran truk yang kutumpangi berjalan, kulambaikan tanganku, “Selamat tinggal Salemba, kuucapkan terima kasih banyak atas kebaikanmu. Selama dua setengah tahun aku tinggal bersamamu, kau bukakan dan kau tutupkan pintu sel tempatku tidur, kau antarkan jatah makanku, kau jaga aku dengan pistolmu, semua itu kau berikan dengan cuma-cuma, gratis tanpa bayar. Aku cukup membayar semua itu dengan derita, rasa pilu dan kehinaan. Terima kasih Salemba, selamat tinggal!”
Sampai di ujung jalan Rawasari truk berbelok ke kiri, ke arah Tanjung priok. Deretan orangorang yang menyaksikan rombongan kami di sepanjang jalan tak kurang banyaknya seperti di depan Salemba. Mungkin saja, namanya juga manusia tentu ada bermacam pendapat dan penilaian mereka tentang tindakan pemerintah yang sedang berkuasa terhadap kami, para tapol ini, mungkin diantara mereka ada yang bersyukur bahkan mungkin ada juga yang menyumpahi kami, “Rasakan hai pengkhianat dan pemberontak, kalian harus mati ditelan ombak dan jadi penghuni dasar laut untuk membayar perbuatanmu.” Tapi mungkin ada juga yang merasa iba dan berpikir, mereka itu pada umumnya tidak tahu menahu dan tidak mengerti tentang peristiwa 30 September 65, mereka hanya terkena imbas akibat perbuatan orang-orang yang berambisi. Mereka divonis di luar proses pengadilan, sungguh tidak adil dan sangat tidak manusiawi. Bahkan mungkin juga diantara mereka ada yang berdoa, “Ya Allah, kasihanilah mereka itu, lindungilah mereka dan berikan mereka keselamatan, ya Allah.” Kendaraan jalan terus, dari Koja belok ke kiri ke arah kota . Ternyata kami tidak dibawa ke Tanjung Priok. Jam 7 malam kami sampai di setasiun Kota ‘Beos’. Kereta malam telah menanti, boleh juga kereta malam itu disebut KLB, Kereta api Luar Biasa. Luar biasanya bukan pada fasilitasnya, seperti pada jaman tahun 1947-1948 an silam. KLB tempo lalu benar-benar luar biasa karena penumpangnya seorang presiden beserta para pejabat tinggi negara, penjagaan keselamatan para penumpang dan layanannya memang betul-betul luar biasa. Sedang KLB yang akan kami tumpangi luar biasa karena seluruh penumpangnya adalah para tapol. Dengan penjagaan yang juga ketat, perjalanan KLB kami pun di luar jadwal kereta api umumnya. KLB kami tidak perlu harus menunggu kereta dari arah depan maupun arah belakang. KLB kami berjalan terus tanpa pernah berhenti, yang harus menunggu justru adalah kereta-kereta api penumpang umum lainnya, kereta-kereta itu harus menunggu KLB kami lewat. Di Beos telah siap menunggu para petugas, sebelum memasuki kereta, kami menerima jatah makan malam. Satu dus nasi utuh dengan lauk rendang dan telur, ya kali ini benar-benar utuh, tidak seperti tempo hari saat kami menerima bingkisan Natal dari Dewan Gereja, yang hanya separuh dus saja, separuhnya lagi entah menguap kemana, hanya mereka, para petugas di Salemba saja yang tahu. Kami nikmati jatah makan malam itu, soal bagaimana kelanjutan nasib kami nanti, itu soal nanti, yang penting makan nasi rendang saja dulu. Tapi namanya manusia tetap saja ada yang karena saking setresnya memikirkan nasib apa yang akan menimpanya nanti hingga jadi tidak doyan makan, bahkan ada yang namanya pak Dulmanan wajahnya jadi pucat pasi bahkan sempat tak sadarkan diri, kakinya dingin dan keringat dingin mengucur deras dari tubuhnya. Hal ini akhirnya jadi layatan, pak Dul, K.O sebelum bertanding. Sesudah pak Dul siuman, Pak Jai menasehatinya, “Pak Dul, jangan cemas pak, nggak usah terlalu khawatirlah, nggak nantinya kita ini dibunuh bareng-bareng, Tuhan pasti akan mengutuk mereka jika mereka melakukan hal itu. Percayalah pak, jodoh, rezeki dan maut itu ada di tangan Tuhan. Ayo sekarang dimakan nasinya, nasi dan lauknya itu enaknya keliwat kok nggak doyan, ayo dimakan, kalau nggak makan nanti malah mati karena ulah sendiri.” Mulailah pak Dul bisa memahami nasihat pak Jai, nasi jatah pun mulai dimakannya. Tak lama setelah itu kepala stasiun mengacungkan tanda perintah jalan bagi kereta, peluit berbunyi panjang. Pak masinis menengok kebelakang, gaung kereta berbunyi nyaring, kereta mulai bergerak, pelan. Selamat tinggal Jakarta! Baik sebelum maupun sesudah kereta berangkat, pintu gerbong selalu tertutup rapat dengan
penjagaan ketat tentunya. Senjata laras panjang dengan sangkur telanjang di ujungnya, siap beraksi mana kala ada tapol yang mencoba-coba melarikan diri. Kejadian semacam itu bukan tidak mungkin tak terjadi bagi orang yang mempunyai kenekatan luar biasa, mungkin saja karena rasa takut dan rasa putus asa akan membuat seseorang menjadi nekat, ditengah perjalanan mereka menghantam si penjaga atau jika kebetulan si penjaga lengah karena ngantuk, maka bisa saja kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya. Loncat dari kereta dan kabur di tengah kegelapan malam. Kereta berjalan terus dengan kencang tanpa henti, ngetan apa ngulon arah kereta ini tak kuketahui dengan jelas, hanya sekilas tadi sempat nampak papan nama setasiun Purwokerto karena kereta berjalan agak pelan. Setasiun Purwokerto termasuk setasiun besar untuk lintas selatan Jakarta-Surabaya. Kalau begitu arah kereta ini menuju ke selatan, sudah bisa diraba bahwa kereta tidak akan menuju Surabaya karena jika kereta menuju Surabaya tentunya akan mengambil lintas utara yang lebih dekat. KLB berjalan terus, bang wetan menampakan merahnya tanda pagi telah tiba. Jam 7 pagi KLB berhenti, setasiun kecil dengan papan nama bertuliskan Maos menjadi titik henti KLB. Semakin jelas lagi sekarang mau di kemanakan kami ini sebenarnya. Perintah untuk turun dari kereta dikomandokan, pintu kereta dibuka lebar-lebar. Petugas militer dengan senjata AK-nya di tangan siap menarik pelatuk menjaga di kiri-kanan setiap pintu. Kami turun berturut-turut dengan membawa bungkusan sisa milik kami dari Salemba. Kami diperintahkan jongkok berjajar memanjang dengan kedua telapak tangan merangkul kuduk. Kosong sudah perut gerbong KLB, halaman setasiun Maos tak mampu menampung, rombongan tapol ini jongkok berjajar sampai menyeberang jalan. Penduduk di sekitar setasiun nampak berderet menonton, ya sejak keluar dari Salemba kami selalu jadi tontonan masyarakat, mungkin menarik bagi mereka. Barangkali ada juga orang yang sebenarnya hendak ke pasar jadi tertunda, menyempatkan diri nonton rombongan orang-orang berpakaian serba tanggung berwarna putih dengan bertuliskan angka di setiap punggungnya. Kami duduk sambil merangkul kuduk, kami diinspeksi, boleh jadi oleh komandan Kodim atau Koramil setempat, penghitungan jumlah tapol dimulai. Petugas pencatat siap dengan buku dan bolpen di tangannya, seorang petugas dengan kentesnya mulai menghitung. Kentesnya menyambar setiap kepala yang dihitungnya sambil berujar, “Nih sarapan pagi untuk kalian”, ucapan yang sangat menghina tapi hal itu menjadi sah-sah saja bagi mereka, apalagi kok cuma memukul, membunuh tapol pun seolah hukumnya sah dan wajib, tak ada dosa bagi mereka, yang ada adalah pahala. Selesai kami dihitung dengan sarapan kentes, kami digiring naik truk lagi sampai Cilacap. Prediksi pak Hasim ternyata salah, aku dan dik Sanadi ternyata tidak dibebaskan, kami hanya bebas dari penjara Salemba tapi masuk ke penjara lainnya. Ya kami hanya pindah alamat. Bersambung ke:[KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S V] BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H