KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S III
BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H SALEMBA: - Menjadi Tukang Pijat Berkumpul dengan pak Alex sebenarnya aku cukup cocok dan serasi, seminggu empat besukkan dengan menggendong seorang non besukkan. Aku seminggu mendapat dua kali kiriman besukkan, dengan volume yang lumayan. Teh, gula dan kopi, cukup untuk tiga hari buat tiga orang, nasi untuk menambahi ompreng yang makin lama makin tipis, juga masih ada sisa untuk sarapan pagi, walaupun hanya dua tiga sendok seorang. Tambahan makanan untuk ganjel perut, ada juga, empat lima potong singkong rebus yang masih kulitan. Singkong yang direbus dengan kulitnya bisa bertahan dua tiga hari. Lauk kering seperti, kering tempe digulain atau ikan gereh dicabein, sangat nikmat buat perut lapar, rara ireng selalu ada. Ada kebiasaan yang kurang baik, bagi orang-orang perokok, kalau menerima besukkan, yang dicari terlebih dahulu adalah tembakaunya, kalau yang satu ini tidak ada, biasanya si penerima akan gerendengan, mungkin memaki-maki keluarganya, walaupun hanya dalam hatinya. Menjadi tahanan bagi para perokok, merupakan siksaan tambahan. Aku sendiri merasakan hal itu. Merokok sehabis makan, rasanya nikmat sekali. Ada seorang teman dengan besukkan yang tak menentu datangnya, tapi merokoknya kayak sepur, alias kereta api, maunya mulut itu tak lepas dari asap rokok. Lalu bagaiman caranya untuk mendapatkan rokok?. Dicarinya puntungan-puntungan rokok, dikumpulkan lalu diurai dan dijemur, selanjutnya tembakau itu dilinting kembali. Di dalam penjara puntungan rokok disebut dengan ‘jangkrik’, jadi jika dikatakan seseorang sedang mencari jangkrik itu berarti ia sedang mencari puntungan rokok. Suatu ketika si teman ini tidak berhasil mendapatkan satu pun puntungan rokok. Biasanya para tahanan tidak bisa lagi merokok setelah sel dikunci, waktunya malam hari sesudah shalat Isya, kira-kira jam tujuh malam. Pada jam delapan malam kepala blok biasa berkeliling, mengontrol sel dengan membawa umpet (gombal, atau kain bekas yang dipintal jadi semacam tambang, kemudian disulut api), kepala blok berkeliling sambil menawarkan api terakhir. Para tahanan tidak diizinkan menyimpan korek api, hukuman berat bagi yang melanggarnya. Si gila rokok kali ini benar-benar kena batunya, tak sepotong jangrik pun ia miliki, maka berteriak-teriaklah dia seperti orang gila. Kepala blok jadi jengkel mendengar teriakanteriakannya, karena mengganggu sesama tahanan. Geregetan, kepala blok mengambil selembar kertas rokok dan sepotong robekkan kain gombal, lalu dilintingnya hingga menyerupai sebatang rokok, dengan jengkel kepala blok melempar lintingan rokok itu kepada si gila rokok, “Nih, rokoklah!,” kata kepala blok pada si gila rokok. Lintingan itu diambil lalu disundut dan dihisapnya dalam-dalam. Apa kata si gila ini?, “Ah, nikmat sekali, terimakasih pak!” Edan!, benar-benar sudah edan dia. Kumpul dengan pak Alex, aku mendapatkan ilmu memijat. Ceritanya, suatu saat pinggangku terasa sakit, badanku pun terasa meriang, mungkin sisa-sisa rasa sakit bekas siksaan dan cambukkan buntut ikan pari sewaktu di Budi Kemuliaan, kambuh. “Mau aku pijit, Ji?” tawar pak Alex. Di Salemba, aku biasa dipanggilnya dengan sebutan “Kaji”. Aku sendiri nggak ngerti kenapa
aku dipanggil Kaji, mungkin karena kulitku yang hitam dan hidungku yang mancung kayak orang Arab. Dan sejak masuk Blok-Q, Pak Alex sendiri mendapat julukkan “Dorla”, alias Mandor Kepala. “Mau, Ndor” “Mana yang sakit?” “Nih, nih punggung ini terasa sakit, ngilu dan panas” “Tahan ya Ji, pijitanku sakit. Tapi menurut ajaran yang aku dapat, sakit karena salah urat atau keseleo, urat atau bagian yang sakit itu tidak boleh dipijat, yang dipijat adalah bagian-bagian atau urat-urat yang ada hubungannya dengan urat-urat yang terasa sakit. Nah sekarang tahan” Yang terasa sakit punggungku, tapi yang dipijat malah ujung betis bagian atas, di balik dengkul. Owalah sakitnya nggak kepalang tanggung, berteriaklah aku kesakitan. Saat aku dihajar habis-habisan oleh tim Kalong dulu, aku diam saja, tak sepatah kata pun aku mengaduh, karena kulit yang telah kebal akibat cambukkan, mengurangi rasa sakit siksaan selanjutnya. “Tahan sedikit Ji, aku kan sudah bilang, kalau pijitanku sakit. Tahan sebentar, nanti juga akan baik, ngilu serta meriangnya juga pasti hilang” Benar juga, menahan rasa sakit, mengeluarkan banyak keringat, karena keringat keluar maka rasa panas dinginnya jadi hilang. Hebat!. Secara pokok cara memijat, diajarkannya padaku, untuk bisa praktek memijat, aku biasa mengikuti caranya dia memijat teman yang sedang sakit. Akhirnya, aku diangkat oleh pak Alex, menjadi asisten juru pijat. Aku pun mulai praktek. Suatu hari, seorang tapol, yang terhitung masih anak muda, mengikuti lomba voli antar blok, ibu jari tangan sebelah kanannya, bengkak karena menyemes bola. Dengan petunjuk Dorla, aku pijat urat sikunya, dua tiga kali aku pijit, bengkaknya hilang dan sembuh. Aku pun senang. Pak Alex, sebelum masuk Ormas Tani, mulanya juga orang biasa-biasa saja, suka judi, sabung (adu) ayam dan yang lainnya. Bicara soal adu ayam aku memang tak mengerti, tapi kalau bicara tentang ciri-ciri ayam yang baik untuk diadu, sedikit-sedikit aku ngerti. Daerah asalku adalah gudangnya ayam aduan, banyak orang-orang dari daerah lain yang datang untuk mencarinya. Pak Alex pernah bercerita, ia pernah punya seekor ayam aduan yang seolah bisa dikomando, ketika diadu. Satu ketika ayam aduannya menang, dan ayam lawan yang kalah, tiba-tiba ditendang oleh pemiliknya hingga menggelepar, melihat hal ini, pak Alex pun menegurnya, “Mas, mbok ya yang punya rasa kasihan sedikit, dia kan sudah menahan rasa sakit karena dipatok oleh lawannya, tadi dia juga sudah berusaha untuk menang, tapi dasarnya memang kalah kuat dan kalah tahan, ya akhirnya ayam mas kalah” “Eh, apa kau bilang?” kata si pemilik ayam, “Itu ayam-ayamku sendiri, mau kuapakan itu urusanku, kalau perlu aku juga bisa menendang perutmu!”
“Gila Ji, aku ditantang, ya aku pasang kuda-kuda, siap. Bisa ‘bengka’ itu perut, kusapu dengan tendanganku.” Begitulah, di dalam perjudian tak jarang berakhir dengan perkelahian. Pak Alex juga seorang olah ragawan sepak bola, dia mengaku bisa mempunyai watak arif dan sabar sejak memasuki ormas. Masih di Blok-Q, aku bisa belajar mengukir batok menjadi mainan dan hiasan dari saudara Mursid, dia tergolong masih anak-anak, dan dia menjadi pelayannya pak Ganis Harsono. Mungkin dia menjadi tahanan dan masuk ke penjara ini karena menggantikan bapak ataupun saudaranya yang tidak ketemu, waktu dicari aparat, yah sama halnya dengan masuknya Pak Jul kepenjara, karena menggantikan anak perempuannya yang disandera. “Pak Ji, cari batok dulu,” kata Mursid Aku pun berusaha mencari batok yang dimintanya, setelah kudapat, kuberikan kepadanya. “Nah, Pak Ji, batok ini dikerok permukaannya, hingga tulang-tulang sabutnya hilang sama sekali. Kalau sudah, bentuk dulu menurut keinginan bapak, apa jadi segi lima , persegi empat, bulat atau oval. Nah kalau sudah dibentuk, ambil tengah-tengahnya, digaris melintang atas bawah, pinggiran garis atas dan bawah ini dikerok (dikeduk) rata, sehingga terlihat menyerupai lempengan batok di atas batok. Kemudian lempengan ini dibagi-bagi lagi dengan ukuran yang sama sebanyak huruf yang diperlukan untuk satu nama, misalnya nama pak Kaji, berapa huruf, sepuluh atau sebelas, maka bagilah lempengan tadi menjadi sepuluh atau sebelas bagian, dan setiap garis pembatas bagian itu dikeduk lagi, sehingga sekarang yang nampak bukan lempengan lagi, tapi kotak-kotak persegi empat kecil yang nempel di atas batok. Nah sekarang tinggal mengukirnya, bikin huruf ‘O’ misalnya, potong saja setiap ujung segi empat itu, lalu keduk sedikit bagian tengahnya, maka jadilah huruf ‘O’, gampangkan pak.” Edan juga nih bocah, ternyata segala sesuatu jadi mudah dan nggak terlalu sulit kalau dikerjakan menurut teorinya. “Nah, sekarang coba bapak kerjakan sendiri” Sekali gagal, dua kali masih juga gagal, tapi usaha yang ketiga dan seterusnya sudah bisa menghasilkan sesuatu, walaupun masih kasar, tapi selanjutnya menjadi bertambah baik. Begitulah berkreasi, menghitung waktu sambil menunggu nasib yang tak menentu. Memijat dan mengukir batok, menjadi kegiatanku yang menyenangkan. Kalau tidak sangat perlu, memijat hanya bisa dilakukan pada saat hari-hari besukkan. “Habis memijat mesti lapar, karena memijat itu memerlukan banyak tenaga, bahkan kadangkadang keringat si pemijat lebih banyak keluar dibanding dengan yang dipijat,” kata pak Mandor. Pernah aku melakukan pemijatan di luar hari besukkan, akibatnya, eeh bener-bener kempaskempis nafasku dibuatnya. “Sudah kubilang apa,” kata pak Alex, "Jangan lakukan pemijatan di luar hari-hari besukkan, kalau tidak penting benar, bukan kerena kita mengharap imbalannya, tapi setidaknya kalau di hari besukkan kan ada makanan
tambahan dari keluarga, itu kalau keluarga ngirim, syukur-syukur ada extra pudingnya. Bandel sih, sekarang rasakan sendiri akibatnya, lapar Ji?" lalu dia nyengir padaku. Sontoloyo!, ada orang lapar malah dicengirin, sok lo pake ada extra puding segala, omelku, walau cuma dibatin. Tapi memang benar juga kata-kata si Dorla, sejak itu aku tak mau lagi memijat di luar hari besukkan. “Ji,” katanya “Apa, Ndor?” “Bikinin aku lebel, Ji, bentuknya gambar ayam jago” “Ayam jago yang gimana?” “Ayam jago aduan” “Boleh aku buatkan, tapi jangan ayam jago aduanlah” “Lha, ayam apa?” “Agar terlihat seninya, sebaiknya ayam jago hias saja. Itu lho gambar ayam kate, atau ayam bekisar yang punya jengger lebar, godoh (gembel) landung dan ekor melengkung, gimana setuju?” “Setuju Ji” “Entar kalau besukkan datang, kembalikan tasnya dengan diisi cuwilan batok, supaya keluarga ngerti kalau ente perlu kiriman batok” Di penjara ada banyak bahasa kode, misalnya kalau kita butuh gapyak, isi saja tas keluarga dengan potongan gapyak bekas, butuh tikar, cari sobekkan tikar, masukkan dalam tas besukkan. Maka pada hari besukkan berikutnya datanglah pesanan itu. Benar juga, besukkan berikutnya datang, ada batoknya, tapi nggak ada mbakonya. Kebetulan kiriman besukkanku nggak datang. Habis makan, mulut terasa kecut. “Sid, dik Mursid” “Apa Pak Ji?” “Tolong Sid, carikan jangkriknya pak Ganis” “Ya, pak” Sampai di sel, ditegurlah si Mursid oleh pak Ganis. “Cari apa, Sid?” “Cari jangkrik, pak”
“Kamu mulai merokok ya?” “Nggak pak” “Lha itu cari jangkrik buat siapa?” “Pak Mandor besukkannya nggak ada tembakaunya, sedang pak Kaji, kirimannya nggak datang” “Ayo buang puntungan itu Sid, nih dua batang, buat pak Mandor dan temennya” Alhamdulillah, dua batang Ji Sam Su, rokok termahal waktu itu. Rasanya nggak mau aku habiskan sesaat. Kusimpan puntungannya buat dihisap entar habis makan sore. Kubuat lebel bergambar ayam hias sebaik-baiknya, menurut kemampuanku. Setelah selesai kuberikan pada pak Alex, dan setelah itu aku pun berpisah ke lain sel dengannya, tapi masih satu blok. Berpisah dengan pak Alex, aku berkumpul dengan pak Muyono, dia orang PGRI non Fak Sentral. Orangnya cerdas, pinter bergaul dan juga respek. Beliau pinter main sulap, solidaritasnya tinggi. Dalam setiap kiriman besukkan, pasti ada rokok Bentoelnya. Setiap habis makan, beliau pasti mengambil rokok Bentoelnya, sebatang. Dibaginya rokok itu menjadi 3 bagian, sama panjang dan dibagikan pada kami, teman satu selnya. Ku urai potongan rokok itu dan ku campur dengan tembakau kawung, lalu ku linting menjadi empat lima batang rokok lintingan, cukuplah untuk satu hari itu. Berkumpul dengan pak Muyono tidak lama, ada oplosing lagi, aku dipindah ke sel yang lain lagi. Kali ini aku dikumpulkan dengan pak Kus, orangnya sudah setengah tua, beliau berasal dari Departemen Pertanian, besukkannya juga berkwalitas. Pak Kus tahu bener kalau aku mendapat kiriman besukkan dua kali seminggu, oleh karena itu dengan enteng saja beliau menerima tawaran kepala blok untuk satu sel denganku dengan dibebani satu orang non besukkan. Suatu malam, saat sel sudah dikunci, badan beliau meriang, mulut terasa pahit, tidak ada nafsu makan. Beliau minta dikerok, minyak untuk mengerok tidak ada, oleh teman satu selku yang lain, jadilah beliau dikerok dengan jahe. Seluruh punggungnya dikerok sampai hitam bergaris-garis, seperti badan seekor kuda kemar (kuda zebra). Selesai dikerok, meriangnya tidak juga hilang. “Bapak mau saya pijat?” aku menawarkan jasa. “Apa adik bisa mijat?” “Sedikit-sedikit bisa, pak. Tapi pijatan saya sakit, mau pak?” “Baik, dik” Kulakukan pijatan menurut petunjuk Mandor, kuraba-raba urat yang ada dibalik dengkul yang nyambung dengan urat punggung. “Terasa di punggung nggak, pak?”
“Nggak, dik” Kucari lagi urat yang nyambung itu. “Nah dik, sudah terasa dik” Kutekan terus urat itu, si bapak mendesah kesakitan, kulepas tanganku, pijatan kupindahkan menurun ke bagian betis, pijatan enak untuk mengurangi rasa sakit. Berulang-ulang kulakukan itu. Kupindahkan lagi pijatanku, kali ini kebagian tulang belikat, di punggung. Kutekan tulang belikat itu dengan ibu jari, secara merata, kutelusuri pula lingkaran belikat itu dengan jari, kuulangi hal itu beberapa kali, kuurut punggungnya dari atas ke bawah juga tepi kanan kiri tulang punggungnya, kulipat kulit punggung dan kutarik keatas, selesailah pokokpokok pijatan, Kuteruskan dengan bonus, pijatan enak di seluruh badan, mulai dari kaki, pinggang, tangan, leher, tengkuk dan kepala. Komplit sudah. “Sudah pak, pijatan sudah selesai. Sekarang coba bapak berdiri, bungkukkan punggung bapak dua tiga kali, kemudian putar pinggang ke kiri dan ke kanan beberapa kali” “Enak dik, enteng badan saya rasanya, kok seperti disulap, bener-bener enak badan saya sekarang. Adik kok pintar mijat, belajar di mana?” “Nggak pak, belajar di sini saja, saya belajar sama pak Mandor, saya diangkat jadi asistennya. Kalau hanya sakit yang enteng-enteng, meriang misalnya, cukup diserahkan pada saya saja, tapi kalau belum sembuh juga, barulah pak Mandor sendiri yang menangani. Dan pak Mandor pesan, kalau mijat hendaknya dilakukan hanya pada hari besukkan saja, soalnya kalau habis mijat biasanya suka lapar” “Wah, maaf dik, lha ini nggak ada apa-apa. Jadi maaf ya dik, tapi besok kan hari besukkan, mudah-mudahan kiriman kita datang, jadi kita bisa makan agak enak dan kenyang. Sekarang merokok kawung sajalah dulu” “Nggak apa-apa pak, ini kan keadaan darurat, bapak perlu sembuh, biar kiriman datang kalau badan sakit, makan juga nggak enak” Dua tiga kali, kami merokok kawung, kemudian tidur. Pagi harinya, namaku mendadak jadi terkenal sebagai tukang pijat. Pak Kus ini ngomong dan mempromosikan aku pada teman-teman tahanan yang lain. “Aku punya tukang pijat tokcer,” begitu katanya. Sejak itu aku sering mendapat panggilan memijat, dari memijat aku bisa dapat celana pendek, tembakau, sabun cuci dan lain-lain, tentu saja dari mereka yang mampu memberi. Bagi mereka yang nggak mampu memberi, aku pun nggak pernah menolak untuk memijat mereka. Pada hari-hari tidak ada panggilan memijat, aku isi dengan mengukir batok, atau main gaple, main scrabel, atau belajar membaca tulisan Arab. Aku bisa membaca tulisan Arab dari bung Suyudi. Bung Suyudi ini punya sistem mengajar membaca tulisan Arab yang sangat mudah dimengerti dan diterima.
“Gini lho, Ji. Lha wong sampeyan di panggil Kaji, kok nggak bisa membaca tulisan Arab” “Ah, panggilan Kaji itu kan cuma karangannya mandor saja” “Lha, sekarang semua orang panggil sampeyan ya Kaji” “Biarin aja, dipanggil Kaji nggak patekan ini” “Ji, lihat tulisan ini. Seperti halnya dengan huruf latin, huruf Arab pun bisa digandenggandeng. Kalau huruf latin biar digandeng, bentuknya tetap, nggak berubah, tapi kalau huruf Arab bisa berubah. Misalnya nih, huruf ‘Bak’, kalau berdiri sendiri bentuknya kaya mangkok, ada satu titik di bawahnya, kalau titiknya ada di atas dia jadi huruf ‘Nun’. Nah kalau sudah digandeng, kadang-kadang bentuk huruf ‘Bak’ atau ‘Nun’ ini nggak nampak jelas, bisa kayak lengkungan kecil atau garis saja, tapi yang jelas di bawah atau di atas lengkungan itu tetap ada titiknya, jadi itu tetap di baca huruf ‘Bak’ atau ‘Nun’. Perhatikan lagi nih, ini huruf ‘Bak’ sudah digandeng, tapi titik di bawahnya nggak satu melainkan dua, nah ini namanya jadi huruf ‘Jak’. Huruf ‘Nun’ sudah digandeng titik di atasnya ada dua, dibaca jadi huruf ‘Tak’, kalau titik di atasnya ada tiga jadi huruf ‘Syak’ . Ada lagi, lengkung-lengkung dua, tanpa titik, itu huruf ‘Sin’ , kalau titiknya di atas, ada tiga, itu jadi huruf ‘Syin’ . Ada juga huruf yang sudah digandeng bentuknya jadi runcing, tanpa titik itu huruf ‘Ha’ , kalau pakai titik satu di bawah itu huruf ‘Jim’ , kalau titik satu di atas itu huruf ‘Kha’. Semua huruf-huruf itu kalau dicoret bawahnya, bunyinya jadi ‘I’, kalau dicoret atasnya, bunyinya jadi ‘A’, kalau di kasih tanda kayak toge di atas, bunyinya jadi ‘U’ dan kalau dikasih bulatan di atas, jadi mati. Contoh nih, huruf ‘Ba’ jadi, ‘Bi-Ba-Bu’, kalau yang lancip titik satu di bawah jadi ‘Ji-Ja-Ju’, begitu seterusnya.” Dan akhirnya dengan sistem ini, aku pun mulai bisa membaca tulisan Arab. Banyak pengalaman, menunjukkan seseorang bisa menguasai salah satu atau beberapa bahasa asing, seperti Inggris, Perancis dan lain sebagainya, hanya karena belajar di dalam penjara. Penjara memang jahanam, tapi bagi yang punya kemauan, penjara juga bisa sebagai tempat belajar. Waktu, di penjara sangat banyak, jadi ketimbang ngenes, ngelamun, memikirkan nasib tanpa hasil, lebih baik manfaatkan waktu sebisa-bisanya dan sebaik-baiknya. Salemba: - Pertemuan Dengan Keluarga Lebaran tahun 1967, aku sudah genap setahun menjadi tahanan RTC Salemba. Selama 7 kali hari kiriman besukkan atau satu minggu penuh, penjara membuka kesempatan untuk pertemuan keluarga. Pada lebaran hari ke tiga, aku mendapat panggilan pertemuan keluarga. Deg!, terasa di hati. Aku keluar dari blok, di luar ada seorang anak perempuan berusia sekitar 7 tahun, dia menggandeng seorang anak perempuan yang lebih kecil, berusia kira-kira 2 tahun, mengenakan rok di atas lutut, pakai topi, dan lehernya dikalungi sebuah sapu tangan. Tak salah lagi anak perempuan yang lebih kecil itu adalah anakku. Segera kuangkat dia, kugendong dan kuciumi sepuasku. Aneh bocah ini tak meronta, dia diam saja dan menurut. Saat kutinggalkan anakku, karena aku di tangkap Tim Kalong 1 ½ tahun yang lalu, anakku
masih bayi, dia baru saja bisa tengkurap, dan sekarang dia sudah berumur 2 tahun. Batinku bicara tentang penjara lagi. Nak pernah dulu kutanyakan pada embahmu, bapakmu ini kepengin tahu dalam dan isinya penjara, walau pun hanya sehari saja, ternyata keinginan bapakmu ini terwujud juga, setelah seperempat abad. Dan ternyata penjara itu neraka nak. Sekarang kau baru berumur dua tahun, tapi kau sudah memasuki halaman penjara. Ya, mudah-mudahan saja, kau hanya sebatas ini, kau menginjak halaman penjara hanya karena ingin bertemu dengan bapakmu ini. Tak terasa air mata hangat meleleh di pipiku. Kutanyakan pada si bocah yang mengantar anakku. “Namamu siapa, nduk?” “Ucih pak” “Kau memang ikut ibunya, dik Mumuk?” “Iya pak” “Sudah lama, dari mana asalmu, apa kau masih punya ibu bapak?” “Sudah lama juga pak, saya dari Bogor, bapak saya pergi, nggak tahu kemana, dan dia nggak pernah kembali lagi, ibu saya kerjanya nggak mesti, kadang bekerja, kadang nggak. Jadi saya diambil sama ibu, untuk momong den Mumuk’ Whe lha dhala, bapaknya pergi nggak kembali, mungkin dia senasib denganku. “Cih,” kataku, “Kalau sama dik Mumuk, jangan panggil den Mumuk, panggil saja dik Mumuk. Anggap saja dia adikmu sendiri. Kau memanggil den Mumuk itu apa maumu sendiri atau disuruh oleh ibu?” ‘Itu lho pak, ibu yang di Grogol itu, kalau saya panggil den Mumuk, namanya saja, saya dimarahi, saya harus panggil ‘den Mumuk’, begitu” "Aduh, nduk-nduk, kok kebangetan banget keadaan ini, kau baru seumur bocah yang lagi seneng-senengnya main. Karena keadaan kau harus jadi buruh momong." “Nduk, kau nggak sekolah?” “Nggak pak, kalau saya sekolah, nanti yang momong den Mumuk siapa?, ibu kan kerja di kantor” “Cih, kalau ibunya dik Mumuk berangkat ke kantor, Ucih bersama dik Mumuk di rumah hanya berdua atau ada teman yang lain, lantas yang masak untuk makan siapa?” “Kami bertiga, sama bude” “Bude siapa?” “Itu bude yang katanya, kakaknya bapak”
“Oh ya ya,itu mbakyuku, saudara perempuanku yang paling tua” Aku teringat kembali pada saat aku di tangkap oleh Tim Kalong, malam itu saat aku pamit pada kakakku, karena ditangkap, dia hanya bengong saja sambil ngelus dadanya yang kurus. Dia saudaraku yang tertua, yang paling setia mendampingiku. Dia telah tinggal bersamaku di Jakarta ini sejak tahun 1957. “Bude kerja apa, Cih, katanya jualan?” “Bude memang pernah jualan, tapi sekarang nggak lagi, bude sekarang suka pergi sama ibu yang di depan rumah, itu ibu yang suaminya gede tinggi. Biasanya sesudah masak untuk makannya den Mumuk, mereka berdua pergi” “Kemana?” “Nggak tahu,pak. Kalau pulang sudah sore, kadang-kadang bawa kue buat den Mumuk, juga bawa bawang merah dan cabe buat masak” “Kalau bude pulang bawa kue, Ucih di bagi nggak?” “Dibagi pak, bude itu baik sekali, bude juga sayang sama Ucih” “Kalau ibunya dik Mumuk ke kantor dan bude pergi, Ucih tinggal berduaan lagi sama dik Mumuk. Dik Mumuk suka rewel nggak?” “Suka juga pak, biasanya kalau nangis suka tanyain ibu, ya sudah Ucih gendong saja, Ucih ajak main sama den Koko” “Den Koko, siapa?” “Itu, den Koko yang tinggal di rumah sebelah. Biasanya sih terus diam, cuma kalau bapaknya den Koko pulang dari kantor, den Koko kan suka digendong sama bapaknya, nah den Mumuk suka nangis, pangil-panggil bapak” “Terus dik Mumuk kau gendong?” “Dia nggak mau, maunya digendong sama bapak” “Kalau nggak mau kau gendong lantas bagaimana?” “Ya, bapaknya den Koko yang gendong” Oh Allah, nak, kok kebangetan bener nasibmu, punya bapak kok nebeng, bapak nunutan, bapak pinjaman. Ku peluk lagi anakku, kuciumi dia sepuas-puasnya. Tak terasa, air mataku kembali meleleh, semakin deras. Belum lagi aku puas memeluk dan menggendong anakku, peluit berbunyi panjang dan berulang-ulang, tanda pertemuan keluarga, berakhir. Segera kuambil ukiran batok berbentuk ikan hias, dibalik ukiran, kutulis nama anakku, “Mumuk, 22 Desember 1965”. Kukalungkan ukiran itu pada lehernya, tak sengaja kutemukan selembar uang lima rupiah di kantong baju, anakku. Kuambil uang itu. Rasanya tak mau lagi aku berpisah dengan anakku, tetapi petugas
penjara tak memberi kami waktu lagi, dua anak perempuan kecil ini harus segera meninggalkan tempat. Lima belas menit kami bertemu, ya hanya lima belas menit, kemudian kami harus berpisah lagi, entah sampai kapan?. Kupandangi si Ucih kecil saat menggandeng anakku, jalan berbalik keluar, kupandangi puggung kedua anak itu terus menerus, hingga tak nampak lagi. Aku kembali masuk ke dalam blok, dengan lelehan air mata yang tak kunjung mau mengering. Itulah penjara. Kejadian semacam ini tidak hanya dialami oleh aku dan keluargaku saja, tapi kejadian ini juga menimpa keluarga-keluarga lain, puluhan, ratusan, ribuan bahkan puluhan ribu orang Indonesia memperoleh perlakuan seperti ini. Bahkan mungkin lebih kejam lagi. Itulah sebagian kecil dari kekejaman Orde Baru!. Isi penjara Salemba bukan hanya kami, tahanan PKI, tahanan eks Masyumi juga ada. Seorang haji, kalau tidak salah namanya Bahrun dan biasa disebut dengan Haji Bahrun. Pak Haji ini terkait dengan peristiwa Idhul Adha tahun 1962, dia termasuk salah seorang pelaku rencana pembunuhan terhadap presiden Soekarno. Dengan terus terang, dia mengakui perbuatannya itu dan dia juga mengakui kehebatan bung Karno. Katanya, "Manusia macam apa bung Karno itu. Waktu shalat Idhul Adha di Masjid Baiturahim, di istana, aku duduk di sap terdepan, selesai shalat dengan khotbahnya, kucabut pistol di pinggang, yang tertutup dengan baju jasku, ku arahkan moncong pistol kearah tubuh Soekarno, kutarik pelatuknya. Apa yang terjadi?. Jari telunjukku kaku, aku tak bisa menarik pelatuk itu, bahkan tanganku yang menggenggam pistol perlahan menunduk kebawah. Aku gagal menjalankan tugas, dan akhirnya yah, aku berkumpul dengan saudara-saudara di sini. Aku menyadari, sekarang nggak perlu ada PKI, nggak perlu ada Masyumi, yang ada hanya rakyat Indonesia yang bersatu di bawah naungan Pancasila." Hebat juga pak Haji Bahrun ini, jentelmen sekali dia, mengakui perbuatannya. Mengapa pak Haji bisa ngomong sebebas itu?. Rupanya sejak peristiwa 30 September 1965, khusus bagi tahanan non PKI, mulai ada kelonggaran. Tentu saja Haji Bahrun adalah salah satunya. Aku nggak tahu Pak Haji ini, penghuni blok mana. Dia bebas keluar masuk blok mana saja yang dia mau. Dia sering masuk Blok-Q, kadang-kadang hanya untuk keperluan minta lauk kepada kepala blok, pak Hasyim Rachman. Kadang-kadang juga ia berlama-lama di Blok-Q, sengaja ngobrol dengan para tahanan. Cerita tentang percobaan pembunuhan terhadap bung Karno pun, dilakukan di Blok-Q. Jadi aku memang mendengarnya sendiri secara langsung, dan mengerti siapa itu Haji Bahrun. Mungkin sekali di balik kebebasannya itu, dia mendapat tugas pula dari pihak yang sedang berkuasa, untuk mencari tahu apakah di blok-blok penjara ada kegiatan politik atau gerpol (gerilya politik), khususnya di Blok-Q, yang dipenuhi oleh tokoh-tokoh politik. Biasanya kalau pak Haji bicara semacam itu, kami semua hanya diam, mendengarkan saja.
Salemba: - Santi Aji
Pak Haji Bahrun sebagai tapol non PKI, mempunyai tugas pokok yaitu memberikan pelajaran agama, terutama tentang shalat. Saat shalat Magrib, kami berkesempatan melakukan shalat bersama-sama dengan penghuni blok-blok lainnya, di lapangan. Begitu juga pada saat shalat Jumâat. Pak Haji berkotbah dengan enteng dan lancar. Rupanya sewaktu dia masih jadi orang bebas,.di luar, dia adalah seorang agitator. Dia pandai sekali bicara tentang soal agama, suaranya empuk, enak di dengar, terutama jika dia sedang mengimami shalat, fasih banget. Tak lama kemudian pak Haji Bahrun tak nampak lagi di Salemba, tapi nggak berlangsung lama, pak Haji nampak kembali di Salemba. Kali ini pak Haji datang kembali ke Salemba nggak sendiri, dan beliau datang juga bukan sebagai tahanan lagi, pak Haji datang dengan rombongan Tim Dakwah. Pak Haji sudah bercelana panjang, pakai sepatu dan baju jas. Penampilannya sudah jauh berbeda dari hari-hari kemarin. Santi Aji itu berasal dari bahasa apa?. Kayaknya seperti bahasa Jawa atau Sansekerta, nggak tahu lah. Kalau diraba-raba, kata Santi itu seperti ikrar, janji atau sumpah, sedang kata Aji itu bisa berarti, pusaka, pegangan atau ilmu. Jadi Santi Aji itu kemungkinan berarti, sumpah atau janji dalam memegang ilmu. Karena tim dakwah ini dari Tim Dakwah Islam, maka tentu saja sumpah dan janjinya dalam hal memegang teguh ilmu dan agama Islam. Santi Aji setidaknya datang dua minggu sekali, kadang-kadang malah seminggu sekali. Seorang daí (penceramah) Santi Aji biasanya sangat pandai menyampaikan dakwahnya. Biasanya Santi Aji itu disampaikan pada pagi hari dan tempatnya di lapangan, senang juga kalau ada Santi Aji. Pasalnya kami jadi bisa bertemu dengan teman-teman dari blok lain, lumayan, bisa tahu tentang kabar keluarga, atau bisa titip pesan dan kabar untuk keluarga, manakala sang teman bisa ketemu keluarga.Apa mungkin bisa saling menitip pesan atau kabar, orang sama-sama di dalam penjara?. Mungkin saja, sebab diantara kami diantara teman-teman tapol ada juga yang dipekerjakan di luar tembok penjara, seperti bertanam sayur-sayuran di luar tembok penjara, bahkan ada juga yang dimanfaatkan oleh petugas penjara untuk bekerja di rumahnya. Tapol yang bagaimana?. Tentu tahanan-tahanan yang klasifikasikanya tingkat bawah, dan mereka dianggap tidak berbahaya, mereka-mereka inilah yang bisa mendapat kepercayaan semacam itu. Pernah juga aku mendapatkan sesobek kertas bekas sampul kertas tembakau yang bertuliskan, “Bagaimana bung, kalau istri saya tinggal bersama zus Mul (istriku) di rumah kantor?”. Pesan ini datang dari teman sekantorku, Bung Samosir. Rumah yang kutinggali bersama keluargaku memang adalah milik kantor percetakan, tempat aku bekerja. Sebuah rumah petak, berbilik satu, berpagar sesek (anyaman bambu tipis). Ku pesankan kepada pembawa surat , bahwa semua persoalan di luar itu urusan keluarga yang di luar, aku tidak bisa memberi keputusan untuk menolak atau mengizinkannya. Jika memang keluarga yang di luar sama-sama bisa dan mau, ya silahkan saja. Ternyata di kemudian hari, persoalan rumah ini menjadi penyebab putusnya kiriman besukkan dari keluargaku. Baiknya kuceritakan kembali persoalan rumah ini nanti, pada cerita berikutnya. Santi Aji, dilakukan oleh para juru dakwah dengan titik fokus, merubah mental dan moral para tahanan PKI, agar mental kafir dan anti Tuhannya berubah menjadi mental agamis, mau melaksanakan perintah agama dan meninggalkan larangan Tuhan. Beliau-beliau ini rupanya tidak pernah meneliti siapa dan bagaimana kami, para tapol PKI. Bahwa pada dasarnya, setiap warga negara Indonesia yang ber-Pancasila dengan sila pertamanya Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, itu adalah warga yang tahu menghormati
kepercayaan dan keimanan sesama warga negara, bahkan tidak kurang banyaknya para tahanan politik PKI yang mempunyai keimanan sangat kuat, apakah itu Budha, Nasrani, Hindu, Kong Hu Cu dan terutama Islam. Jadi bagaimana bisa PKI itu dikatakan sebagai Atheis, anti pada agama dan Tuhan. Tengok saja tapol-tapol PKI yang bernama Haji Tabrani dari Kebun Jeruk, Kyai Sujaki dari Banten, Bapak Barabah anggota MPRS, Kyai Haji Mustahal yang bahasa Arabnya minta ampun fasihnya, bahkan kepala Blok-Q Pak Hasyim Rachman yang pada saat-saat tertentu biasa memberikan kuliah tentang arti ayat-ayat suci AlQurân. Suatu pagi kami menerima dakwah Santi Aji. Sang dai berkata; “Saudara-saudara, Tuhan menciptakan bumi, langit dengan segala isinya itu bukan untuk siapa-siapa, bukan untuk para malaikat ataupun setan, melainkan untuk kita, manusia mahkluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Anehnya banyak manusia yang tidak mau mensyukuri nikmat Tuhan ini, Tuhan yang penuh dengan Rahmat dan Rahim, serba pemurah dan penyayang. Tuhan oleh sebagian manusia tidak diterima dengan puji syukur, melainkan diabaikan dan disingkurlah Tuhan itu. manusia jauh meninggalkan perintahNya dan gesit menjalankan laranganNya”. “Ketahuilah saudara-saudara, bahwa sesungguhnya sebelum kita dilahirkan ke dunia dari kandungan ibu, roh kita saat itu telah menyatakan sumpah dan janji untuk taat, patuh dan setia pada Tuhannya. Patuh dan setia untuk melaksanakan perintahNya, taat untuk menjauhi segala laranganNya. Tapi Tuhan tidak bisa menerima begitu saja janji manusia, sebelum diuji kebenarannya di dunia, dunia yang penuh dengan ketidak pastian, godaan dan cobaan dengan segala macam bentuk itu adalah tempat ujian bagi manusia. Apakah sebenarnya dirimu itu?, emaskah, loyangkah atau kalengkah?, semuanya akan terlihat dan terjadi sesudah kau mengalami hidup di dunia”. “Saudara-saudara, mengapa setiap bayi yang baru dilahirkan, yang begitu brol dari rahim sang ibu langsung menangis keras?, apa masalah dan penyebabnya?” “Saudara-saudara, sebenarnya sejak kita masih menjadi janin sampai menjelang dilahirkan, kita itu dalam keadaan tenang, tentram dan aman, makan dan minum telah tersedia secukupcukupnya. Sang orok menangis itu sebenarnya adalah suatu bentuk protes, mengapa aku harus dilahirkan ke dunia?, mengapa aku harus mengalami kehidupan yang penuh dengan ketidak pastian itu?, mengapa aku harus menghadapi tantangan hidup di dunia yang penuh onak dan duri, penuh dengan keterjalan dan kecuraman?” “Nah saudara-saudara, sekarang ini anda semua merasakan sendiri kenyataan-kenyataan itu. Saat ini anda semua sedang mengalami cobaan hidup, mengalami ujian, akibat perbuatan saudara-saudara sendiri, atau kelompok saudara-saudara. Tuhan tidak bermaksud jahat pada anda, Tuhan hanya sedang menguji, adakah saudara-saudara menyadari kekeliruan saudara dan maukah saudara-saudara bertaubat, Taubatan Nasuha.Benar-benar taubat dan tidak akan mengulangi lagi segala perbuatan dan kekeliruan-kekeliruan itu. Oleh karena itu sabar dan tawaqallah saudara-saudara semua. Minta ampunlah kepada Tuhan dan berdoa. Jangan seperti anak kecil. Anak kecil itu mempunyai watak tak mau tahu pada kerepotan dan kesulitan orang tuanya. Ketika sang anak minta makan, mana mau ngerti itu bocah, bahwa makanan itu berasnya harus dibeli dulu, dimasak dulu, dibuatkan lauk pauk dulu, biar enak dimakannya. Jangan saudara-saudara, jangan seperti anak-anak. Sabar, tawaqal, taubat dan berdoalah.” Bukan main dakwahnya pak Kyai itu!. Aku ingat pada sebuah pepatah latin “Ora et Labora”,
kalau tidak salah artinya adalah, bekerja dan berdoalah. Seandainya aku berani bertanya, maka akan kutanyakan pada beliau, “Apakah kami di penjara ini cukup hanya dengan taubat dan berdoa, tanpa usaha?”. Tuhan sendiri telah berseru, “Hai umat manusia berusahalah dan berdoalah, Tuhanmu pasti akan mengabulkan.” Persoalan kami ini adalah persoalan politik, penyelesaiannya tentu juga memerlukan sarana politik. Kalau duduk berduaan saja sudah dilarang, karena dikhawatirkan akan ngomong soal politik, mana mungkin kami bisa menggunakan sarana politik. Jadi kalau kami hanya berdoa terus menerus tanpa usaha, ya sampai tipis bibirnya tetap saja seperti nasib si burung dalam sangkar, mata terlepas, badan terkurung. Aku bukannya tidak mempercayai doa, karena setiap malam sebelum aku tidur pun aku selalu berdoa. Berdoa bagi kesehatanku, dan keselamatan keluargaku. Tidak ada sesuatu yang langgeng, tanpa gerak dan perubahan. Blok-Q dibongkar total. Aku sendiri dipindah ke Blok-O, kepala blok juga dipindah, aku berpisah dengan Mandor, kami berlainan blok. Blok-O, bukan blok surplus tetapi juga bukan blok yang terlalu minus. Di sana ada sel panjang yang bisa dihuni oleh dua puluh tahanan lebih. Sebelum menghuni sel panjang, aku tinggal di sel nomer 17. Bicara lagi tentang jatah makan para tahanan. Suatu saat, entah apa sebabnya, apakah cadangan beras untuk kami para tahanan sudah menipis atau karena memang ada kesengajaan. Jatah makan siang menjadi terlalu amat sangat tipisnya. Pas giliran pembagian jatah makan tiba di sel nomer 16, para penghuni sel 16 menolaknya. Mereka bertiga tidak mau menerimanya, “Sangat tidak manusiawi,” kata mereka. Lalu apa akibatnya?. Mulai dari sel nomer 16 dan sel nomer selanjutnya ke belakang, mendapat hukuman, kami tidak mendapat jatah makan siang itu dan bukan hanya itu saja hukumannya, masih ada lagi yaitu, penghuni sel nomer 16 dan penghuni-penghuni sel nomer selanjutnya, tidak boleh atau dilarang menerima kiriman besukkan keluarga selama satu bulan. Di sini tampak jelas kejamnya Orde Baru dan kesewenang-wenangan para aparat yang sedang berkuasa. Dulu katanya, di jaman penjajahan Belanda, kalau ada narapidana mogok makan di Hindia Belanda entah karena sesuatu hal, maka gegerlah VOLKSTRAAD di Den Haag. Para pejabat yang bersangkutan harus bertanggung jawab. Ya tapi itu kan dulu lagi pula itu kan katanya, apa benar begitu?, nggak tahu, aku nggak mengalaminya. Yang aku alami adalah aku ditahan saat negara ini sudah merdeka dan dipimpin oleh bangsaku sendiri, aku menjadi narapidana di negriku sendiri. Negara yang katanya ber-Pancasila dengan salah satu silanya “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Tetapi kenapa kok memperlakukan tahanan tanpa adab dan tanpa peri kemanusiaan, kok bisa begitu? Kenapa nggak bisa, di dunia ini segalanya bisa terjadi. Jika segalanya ada di tangan yang berkuasa, maka segala hal apapun yang diinginkan sang penguasa bisa terjadi, sampai dalam hal mengambil nyawa tahanan pun bisa terwujud. Singkat cerita, kepala keamanan penjara Peltu Marjuki pun datanglah. Caci makinya kembali berderai, seperti waktu ia mencaci maki kami di Blok-E, karena pintu selnya rusak. “Eh rongsokan manusia, apa maumu hah?. Kalian menolak jatah makan, silahkan, mau mogok makan?, hayo lakukan. Saya nggak rugi kok. Siapa, yang mana orangnya yang mau bikin ribut? Ayo ngaku siapa pemimpinnya?” Tiga orang dari sel 16 maju bareng, “Kami bertiga pak, kami bertiga yang menolak. Kami menganggap jatah makan ini sangat tidak manusiawi, kami merasa seperti menerima jatah seekor kucing. Kami tidak mengajak sel-sel lain untuk berbuat seperti kami”
“Eh kalian ngerti nggak, akibat perbuatan kalian yang tidak bertanggung jawab itu, mengakibatkan penderitaan bagi orang lain. Kembali saya tegaskan, di sini penjara tahu!. Penjara bukan alam bebas seperti waktu kalian masih bisa malang melintang, nuntut ini nuntut itu, mengobarkan pemogokkan, protes, aksi demo sepihak dan lain sebagainya. Periksa dirimu sendiri, kalian menjadi penghuni pejara ini juga tidak lepas dari perbuatan dan ambisi seseorang, ngerti?. Saya ulangi lagi, ini penjara!, kalian hanya manusia tahanan. Kalian tidak lagi mempunyai hak apa-apa, kecuali hak bernafas, itu pun seandainya kami perlukan, hak bernafasmu itu bisa saja kami ambil, ngerti?. Sekarang kalau kalian mau mogok makan, ayo silahkan, penjara tidak rugi kok!” Begitu marahnya si Kliwon alias Peltu Marjuki, oleh penghuni Blok-O ia memang dijuluki Kliwon. Nama Kliwon kalau di kampung biasanya adalah nama panggilan yang diberikan untuk seekor kucing ataupun anjing. Di Blok-O ini kepala bloknya adalah pak Biadi, SH. Beliau adalah seorang anggota TNI Angkatan Udara, pangkatnya Kapten, sosoknya seperti sosok orang Indonesia umumnya, tidak terlalu tinggi gede. Tetapi beliau juga seorang Judoka, hal ini tampak karena pakaian judonya yang selalu melekat, rambutnya sudah putih, tapi bukan karena usia. Sikap gesitnya nampak sekali, beliau sangat ramah terhadap sesama tahanan. Sebagai seorang kepala blok, beliau lebih menyukai tinggal di sel panjang bersama para tahanan lainnya, besukkannya sangat memadai dan beliau juga tidak egois, kenapa?. Karena beliau selalu menyerahkan besukkannya pada seorang asistennya untuk mengatur makan beliau. Beliau hanya makan menurut apa saja yang disajikan asistennya itu. Manakala basukkan datang, beliau selalu memerintahkan asistennya untuk meneliti siapa-siapa diantara para penghuni sel panjang yang tidak menerima kiriman besukkan. Beliau selalu menyuruh asistennya untuk memperbaiki isi ompreng-ompreng para penghuni sel panjang, ya termasuk omprengku juga. Entah tambahan itu berupa sesendok nasi, sepotong lauk atau sepotong singkong. Hal itu beliau lakukan setiap kali besukkan datang, dan hal itu sangat berarti bagi kami para tahanan yang menanggung lapar. Aku nggak pernah kenal secara pribadi dengan pak Biadi, siapa beliau, aku juga nggak tahu. Aku kenal nama dan sosoknya hanya saat di Blok-O. Tetapi secara obyektif pak Biadi adalah seorang dermawan, seorang yang peduli pada lingkungannya. Kadang-kadang aku nggak habis pikir, kok bisa begitu ya, watak dan moral seseorang bisa berubah 180° dalam uji coba yang sebenarnya. Seseorang yang kadang-kadang sudah punya nama, sudah dianggap matang, eh nggak tahunya setelah mengalami uji coba, kok kembali mentah lagi. Apa matangnya itu karena karbitan?. Tampaknya kuning menggiurkan, tapi setelah dimakan kok rasanya sepet dan kecut. Apel untuk menghitung jumlah para tahanan di setiap blok, dilakukan pada tiap sore. Petugas pencatatnya adalah juga seorang tapol, pengawalnya seorang baju hijau (tentara). Suatu sore, Blok-O mendapat giliran apel, petugas resminya, si baju hijau adalah seorang yang berpangkat Sersan Mayor (Serma). Ketika pak Sersan Mayor memasuki halaman blok, kepala blok, pak Biadi, terlambat menyiapkan warganya untuk di hitung. Setelah kepala blok selesai menyiapkan warganya, bapak Serma ini mendatangi kepala blok dengan ucapan yang sangat tidak sopan, “Kamu seorang kepala blok yang goblok ya, budeg kamu ya, nggak dengar kalau blok sebelahnya selesai di apel?. Kenapa di sini warganya masih enak-enak main dan bercanda?”
Tanpa ampun lagi pak Biadi pun ditempelengnya. Plok, jebret!. Eh nggak disangka sama pak Serma. Langsung kerah baju pak Serma ditarik sama pak Biadi, siap dibanting, kalau nggak segera dilerai barangkali pak Serma sudah patah pinggangnya. Dengan muka merah, sambil menunjuk hidung pak Serma, pak Biadi berkata, “Eh sersan gila, jangan sok kamu ya. Aku adalah seorang kapten AURI, SH (Sarjana Hukum) adalah gelarku. Aku masuk penjara ini, belum tentu karena aku bersalah, aku masuk penjara bukan karena vonis pengadilan, tahu!. Mau minta maaf nggak?, kalau kamu nggak mau minta maaf, jika aku bebas nanti, kukalungi arit lehermu!” Pak Serma mukanya jadi pucat, sebagai seorang prajurit ia langsung meminta maaf, bersikap sempurna dan memberi hormat pada pak Biadi. Itulah sedikit kejadian-kejadian kecil, yang pernah aku lihat di penjara Salemba, dan mungkin hal-hal seperti itu biasa terjadi di setiap penjara, di manapun. Ada lagi kejadian, seorang tahanan yang sukar diatur, dikumpulkan dengan siapa saja ya selalu suka ribut. Kenapa mesti ribut?, apa lagi soalnya kalau bukan karena besukkan. Satu saat aku didatangi oleh pak Biadi, beliau selamanya jika perlu dengan seseorang selalu mendatangi orang yang diperlukannya. Beliau tidak pernah mentang-mentang sebagai kepala blok lalu jika perlu dengan seseorang lantas tinggal panggil orang itu. Beliau tidak pernah begitu, pokoknya orangnya respek sekali. Aku didatangi dan ditanya bagaimana seandainya aku dikumpulkan dengan pak Daryo, yang sama-sama berasal dari Jawa Timur, pak Daryo berasal dari Banyuwangi. Aku nggak mau menyulitkan kepala blok yang sangat baik ini, tawaran beliau aku terima. Aku bilang padanya, “Yang penting bagi bapak dan pak Daryo ketahui bahwa kiriman besukkan saya sangat insidentil. Betul-betul tidak menentu” “Baik pak, terima kasih. Saya nggak akan lupa kepada sesama teman yang perlu dibantu” katanya. Benar juga aku dikumpulkan dengan pak Daryo yang sama-sama besukkannya juga tidak menentu, ditambah lagi dengan seorang teman yang non besukkan. Diantara kami bertiga, yang sering mendapat kiriman besukkan hanya aku seorang. Suatu saat besukkan datang, kusiapkan makan siang dengan ditambah nasi dan lauk pauk ala kadarnya sesuai dengan apa yang kuterima. Eh memang susah adat si Daryo ini, selesai makan piring omprengnya ditendang. Aku pun menegurnya, “Eh Bung Daryo, apa maksud bung menendang ompreng?. Bung nggak puas dengan tambahan yang kuberikan tadi. Bung kan bisa lihat sendiri toh, apa yang kita makan sama. Apa mesti tambahan-tambahan itu harus kita bagi sama pas sesuai dengan timbangan? Ini kan artinya bung tidak menghargai jerih payah keluargaku.” “Maaf bung, bukan maksud saya untuk tidak menghargai keluarga bung, saya sangat berterima kasih atas bantuan bung” “Lalu apa maksudnya dengan menendang ompreng tadi?” “Saya ini jengkel sama keluarga saya, kok ya tega bener, sama sekali tidak mengirim apa-apa, nggak bisa seminggu atau dua minggu sekali, mbok ya sebulan sekali. Akalnya sama sekali mati, nggak kreatif, nggak ada inisiatif, mbok ya cari usaha bagaimana caranya, ngemis kek, ngelonte kek” “Maaf bung, omongan bung kok keliwat saru, malu didengar orang. Masak sama istri
ngomong kayak begitu. Aku ngerti kok bung, siapa sampeyan itu. Barangkali ketika kita masih bebas, bung sering memimpin pemogokan buruh SBKB (Serikat Buruh Kendaraan Bermotor) ya kan ?. Bung juga biasa nggebrak meja direktur sambil tolak pinggang menuntut kenaikan upah. Bung boleh saja tidak sabar, boleh marah, tapi hanya pada siapa kita bisa tidak sabar, mesti marah, jengkel kalau perlu ngamuk. Apakah sampeyan tidak terpikir, bagaimana nasib keluarga di luar? Sampeyan ngerti nggak bagaimana kesulitan keluarga, apakah kita meninggalkan harta yang melimpah saat kita ditangkap?. Berapa banyak sih harta yang kita tinggalkan untuk keluarga? Untuk keperluan sehari-hari saja belum tentu cukup kok, apa lagi buat ngirim kita. Hukuman ini belum apa-apa bung, masih ada 2B lagi yang menunggu kita. Ini baru “bui” belum “buang” atau “bunuh”, segalanya bisa saja terjadi. Kehidupan keluarga kita di luar itu juga sangat sulit, mereka juga terkena imbas dari penangkapan kita, bergaul sama tetangga saja sudah repot kok.” Dari kabar yang ku dengar memang begitu, kalau ada dua tiga orang ibu-ibu berkumpul dan kemudian salah seorang anggota keluarga kami menghampiri, coba ikut bergabung , langsung saja mereka bubar, menghindar, ya nggak diludahi saja sudah untung. Benar juga kata pak Biadi, orang ini memang bener-bener susah, kasar lagi, masak bisa-bisanya ngomongin istri kayak gitu, istri sendiri disuruh ngelonte, memang istrinya itu cakep dan masih muda apa. Jangan-jangan kalau bener kejadian, malah dia yang harus bayar. Itulah akibatnya jika masuk penjara dengan mental yang pas-pasan, penjara dengan segala kodisinya yang serba terbatas dan dibatasi memang bisa mengubah watak, jiwa dan perilaku seseorang. Pada saat itu, banyak orang yang dari luar tampaknya tangguh, tapi nggak tahunya cuma mateng karena karbitan. “Maaf bung, mungkin omonganku terlalu keras, sekali lagi maaf” “Ya, saya juga minta maaf, omongan saya keladuk. Saya bisa menerima omongan bung, dan saya juga berjanji tidak ingin mengulang kembali” “Nah gitu dong, ingat nggak sampeyan dengan nasehatnya para Rohis (Rohaniawan Islam) shalat dan berdoalah untuk keselamatan dan kemudahaan keluarga dalam menjalani hidup dan usaha.” Pak Biadi memang memenuhi janjinya, ompreng kami sering mendapat perbaikan mana kala besukkan beliau datang. Suatu hari, saat shalat magrib tiba, aku mendapat giliran tugas dengan seorang teman untuk menyiapkan tikar yang akan digelar di lapangan. Giliran tugas seperti ini nggak sebulan sekali dapatnya, seingatku selama aku menghuni Salemba, nggak lebih dari dua kali aku mendapat giliran tugas menyiapkan dan mengatur tikar shalat di lapangan. Tugas ini buatku lumayan menyenangkan, mengambil dan memulangkan tikar ke Blok-A, karena kalau kebetulan bisa ketemu dengan teman, paling sedikit kami bisa saling senyum dan melambaikan tangan. Sebelum shalat dimulai, aku duduk berdekatan dengan bung Aziz, tetangga depan rumahku yang kebetulan juga bernasib sama denganku. Dia ditangkap hanya karena ia menjadi anggota SBKB. Bung Aziz ini adalah seorang supir alat-alat berat, ketika proyek jalan By Pass dibangun dalam rangka menyambut penyelenggaraan Asian Games di Jakarta. Kampungkampung antara Cililitan dan Tanjung Priok dibongkar habis jadi bulakan.
Aku ingat benar, sebelum jalan ini selesai dibuat, aku sering jalan-jalan di proyek ini untuk melihat dari dekat alat-alat berat itu, tentu saja dengan pacarku, dan di sana pula pada suatu malam aku memberanikan diri menyampaikan niatku untuk melamarnya menjadi istriku. “Bung,” aku dicolek bung Aziz, “Bung sudah diperiksa belum?” Aku menggeleng, menjawab pertanyaannya. “Kebetulan kalau belum, saya sudah diperiksa. Saya kasih tau caranya menghadapi tim pemeriksa, mau nggak?” “Mau, bagaimana?” “Gini, nanti saat bung berhadapan dengan mereka bacalah doa ini, sambil menarik ibu jari kaki kanan bacalah, "Bismillahirohmannirrohim, Robbis rohli sodri, Wayam sirli amri Wahlul ukdatam milisani Yafkouhu kuuli, yang artinya kurang lebih adalah, ya Allah berikan aku kemudahan dalam bicaraku dan jadikanlah lawan bicaraku mau mengerti dan mudah menerima apa yang aku bicarakan. Kalau itu bung lakukan insyaallah semuanya akan baikbaik saja. Saya sendiri sudah melakukannya dan alhamdulillah nggak terlalu lama saya diperiksa dan tidak ada siksaan apa-apa.” Aku pikir pemeriksaan di Salemba ini nggak lebih hanya untuk menentukan klasifikasi golongan para tahanan saja. Sebab isue yang beredar, para tapol akan segera mendapatkan penyelesaian. Tentang bagaimana bentuk penyelesaian itu sendiri ya masih tanda tanya. Seperti yang selama ini diketahui para tapol itu hanya dihadapkan pada 3B, yaitu, Bui, Buang dan Bunuh. Selesai shalat magrib dan mengembalikan tikar ke Blok-A. aku kembali lagi ke selku di Blok-O. Bersambung ke:[KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S IV] BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H