G30S dan Permintaan Maaf Martin Aleida Menjawab Franz Magnis-Suseno & Sulastomo http://boemipoetra.wordpress.com/2012/04/25/martin-aleida-menjawab-franz-magnis-suseno-sulastomo/
Posted: 25/04/2012 Catatan Redaksi boemipoetra: Tulisan di bawah adalah tanggapan Martin Aleida atas tulisan Franz Magnis-Suseno berjudul “G30S dan Permintaan Maaf” (Kompas, 24 Maret 2012) dan Sulastomo “Apa yang Salah dengan G30S/PKI?” (Kompas, 31 Maret 2012). Sayangnya, tulisan Martin Aleida ini tidak dapat dimuat (di) media yang sama karena menurut redaksinya “terlalu sensitif”!!!
Antara Romo dan Sulastomo oleh Martin Aleida* “Dengan minta maaf kita akan dibebaskan dari sisa kebencian dan dendam warisan pemerintahan Soeharto,” demikian seruan Franz Magnis-Suseno SJ dalam mendukung rencana Presiden SBY untuk meminta maaf kepada korban pasca-G30S (Kompas, 24 Maret 2012). “Permintaan maaf akan membebaskan hati kita juga.” Jiwa bergetar dibuatnya. Tetapi, apa daya. Ada hati yang belum bisa melihat cahaya kebebasan dalam sebuah niat yang dengan agung dikumandangkan oleh seorang romo. Seminggu kemudian, di harian yang sama, Sulastomo, Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam 1963-66, menampik. Katanya: “Kalau benar Presiden hendak minta maaf atas peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf ketika partai-partai lawan PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan tanpa diadili, pemimpin teras TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh, demikian juga korban peristiwa Madiun 1948?” Dalam kedua tulisan yang berdiri di tebing yang berseberangan itu, tetap terasa ada iman yang miring dalam mengetengahkah fakta-fakta yang ditinggalkan sejarah. Romo Magnis lupa pada kenyataan bahwa Presiden Soekarno berulang kali, dalam berbagai pidatonya, berupaya meneduhkan pikiran dan hati orang-orang yang terhasut komunisto-fobi, yang dilancarkan rangkaian media yang sepenuhnya di bawah kontrol Angkatan Darat waktu itu. Dan sang presiden meminta publik untuk jangan melupakan jasa-jasa orang Komunis dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Beribu-ribu mereka dipenjarakan maupun dibuang ke Boven Digul, Papua, katanya. Tetapi, tambah Soekarno mengingatkan akan jasa orang-orang Komunis yang sedang
dikejar-kejar, bertambah deras saja darah orang-orang yang dituduh PKI, simpatisan dan anak-cucu mereka membanjir di berbagai daerah. Soekarno, melalui berbagai pidato politiknya, juga mengimbau masyarakat untuk menunggu “keputusan politik” yang akan dia ambil untuk menyelesaikan masalah yang sedang merundung bangsanya. Namun, kelompok yang berada di bawah kepemimpinan Soeharto, yang merasa pintu kekuasaan sudah terbuka bagi mereka, mengabaikan permintaan itu. Diam-diam mereka malah mendukung gelombang pemusnahan manusia dengan cara-cara di luar batas norma-norma peradaban. Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, komandan pasukan elite Angkatan Darat memimpin konvoi red drive ke Jawa Tengah, terus ke Timur sampai Bali. Begitu pulang dari ladang pembantaian, kepada wartawan dia sesumbar telah menghabisi lebih dari tiga juta Komunis, melampaui jumlah korban Perang Viet Nam. Kegagalan G30S, yang hanya berkuasa beberapa jam, telah memberikan “dalih” yang memang sudah ditunggu-tunggu oleh sebagian unsur di dalam Angkatan Darat, dan lawan-lawan PKI, untuk menumpas kaum Komunis sampai ke akar-akarnya (John Roosa, 2008). Dan pada akhirnya sejarah menunjukkan bagaimana Presiden Soekarno dikerjain, dirongrong secara sistematis, dijatuhkan, diasingkan, dan dibiarkan menemukan ajal dengan tragis di dalam tahanan. Dia meninggal menyusul ribuan Komunis dan orang-orang kiri pendukungnya, yang dia gambarkan dengan pepatah Jawa yang dia pelesetkan: “Bukan sanak saudara dan tak ada hubungan darah, tetapi kalau mati aku yang kehilangan.” Lupakah Romo bagaimana semua media massa yang berada di bawah kendali Angkatan Darat melancarkan kampanye hitam terhadap PKI dengan antara lain mengatakan bahwa para petinggi Angkatan Darat yang diculik, dipotong-potong kemaluan mereka sebelum diceburkan ke dalam sumur tua di Lubang Buaya. Diiringi tari Genjer-Genjer dan nyanyian Harum Bunga, yang dibawakan perempuan-perempuan Gerwani, organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Padahal, visum dari Rumah Sakit Angkatan Darat (!), sebagaimana yang dikutip oleh Presiden Soekarno beberapa hari setelah “malam jahanam” itu, bertentangan dengan fitnah yang ditiup-tiupkan untuk membakar amarah. Begitu beratkah hati Romo sehingga tak sedikit pun sudi menyinggung kenyataan sejarah tersebut sebagai bukti, untuk kemudian menguraikan dan meneguhkan sikap dalam, paling tidak, menegakkan sebuah hipotesa, siapa sebenarnya yang bertanggungjawab terhadap pembantaian berantai yang memusnahkan 500.000 (menurut perkiraan kebanyakan peneliti Barat) sampai tiga juta manusia Indonesia. Para pelaku penculikan dan pembunuhan para perwira tinggi Angkatan Darat, termasuk pentolan G30S, sudah diadili. Sudah dieksekusi. Sekarang, siapa yang bertanggungjawab terhadap korban yang begitu banyak, yang menurut Romo merupakan salah satu “kejahatan terbesar terhadap umat manusia di bagian
kedua abad ke-20”? Apakah sebuah kehampaan bisa membunuh?! Atau apakah kehampaan memang telah dengan sengaja diciptakan untuk mensahkan pelenyapan nyawa saudara-saudara kita?! Ketika menyigi tulisan Sulastomo, saya ingin memendam kata-kata sehingga jeritan hati tidak menemukan kesimpulan bahwa gugatan semacam itu barangkali merupakan contoh kebencian politik yang berlebihan, membabi-buta. Bagian dari stigmatisasi sistematis yang dilancarkan terhadap korban pasca-G30S. Akal sehat terharamkan, rupanya. Apakah benar PKI begitu berkuasa (kok dituduh melancarkan kudeta?) sehingga bisa membubarkan partai yang lebih besar (Masyumi berada dua tingkat di atas PKI pada Pemilu1955) dan memenjarakan para pemimpin mereka tanpa diadili? Bukankah kitab sejarah yang sengaja melupakan bahwa para pemimpin PKI, dan orang-orang kiri dari berbagai sayap, yang jangankan “dipenjarakan tanpa diadili,” mereka malah langsung dibunuh sonder diadili. Tiang gantungan mereka juga tak ketahuan di mana rimbanya. Sehingga “kebenaran atau kesalahan” yang melekat di hati dan otak mereka tak pernah terbuka. Apakah karena Ketua HMI maka Sulastomo harus berkata begitu? Inilah yang membuat sejarah bangsa ini terus merangkak di lintasan yang tetap saja menanti terangnya bulan dan bintang. Korban dan permintaan maaf Yang harus dipertanyakan dengan rendah hati, apakah para korban pasca-G30S pernah menghamba untuk memperoleh permintaan maaf? Tak pernah saya dengar. Minta-minta ampun ya! ketika mereka menghadapi rupa-rupa penyiksaan di sel-sel tahanan. Mereka tidak merasa telah terjerumus dalam pilihan yang salah. Yang barangkali tak terpikirkan oleh mereka adalah bahwa orang-orang yang sudah termakan hasutan dengan cara-cara yang jahat dan sistematis, bisa begitu ganas beringas. Mereka berkaca pada contoh cerlang-cemerlang yang ditunjukkan dengan gagah berani oleh Soekarno, yang bertahan pada gagasan besar yang mengilhaminya sejak muda. Tentang aspirasi ideologi politik yang berkecenderungan nasionalisme, agama, dan sosialisme-komunisme yang tak terbantahkan kenyataannya. Dan tentang niscayanya kekuatan-kekuatan revolusioner itu, yang dia rangkai dalam akronim NASAKOM, bersatu-padu membawa Indonesia ke depan. Kalau saja Soekarno hanya seorang pecundang, dia tentu sudah berkhianat terhadap pikirannya itu sendiri, dan sebagai presiden membubarkan PKI sesuai tuntutan mahasiswa waktu itu. Dia selamat, dan negeri ini tak seperti ini, barangkali. Apalah saya, kata orang Medan. Saya tidak punya hak untuk menampilkan diri, dalam tulisan singkat ini, sebagai personifikasi dari jutaan korban. Saya hanya setitik dari sekian
banyak yang pernah mengalami penistaan, yang harus bersyukur bisa selamat tanpa lecet sedikit pun. Tak sampai setahun saya dikerangkeng di kamp kosentrasi Operasi Kalong di KODIM 0501, Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Hati saya selalu berbisik bahwa saya bisa bebas sebelum ditendang ke Salemba atau Cipinang atau Tangerang atau Buru, karena saat diciduk bersama beberapa teman, ada “tangan Tuhan” yang tersembunyi di dalam surat wasiat dari kedua orangtua saya yang “sudah teken mati” mau berlayar dengan kapal laut selama tiga bulan untuk menunaikan ibadah haji. “Tangan Tuhan,” saya sangka, juga menyuruk di lembar surat-surat cinta saya dengan gadis yang kemudian menjadi istri saya. Sel tahanan memperteguh kasih dan harapan yang pernah saya bisikkan di kupingnya. Di dalam tahanan, dia turut mengasuh si Butet kecil, yang masih merah, ketika Tarni (masih hidup, 83 tahun) , istri Nyoto, Wakil Ketua II CC PKI, ditangkap. Ibu berdarah ningrat Solo itu digelandang bersama anak-anaknya, dijebloskan ke dapur KODIM tersebut. Nyoto sendiri sudah direnggut paksa nyawanya entah di mana. Terbayang, betapa kuatnya hati gadis pujaan saya itu dalam pergulatan melawan takut dan teror, ketika dia diperintahkan Kapten Suroso, komandan Operasi Kalong, untuk menyeka lantai yang banjir darah, membersit dari punggung Mula Naibaho, pemimpin redaksi Harian Rakyat, bos dan mentor saya, kekasihnya. Wartawan, teman dekat komponis Cornel Simanjuntak, itu lumat kulit belakangnya digerus ekor pari yang dikeringkan, distrum, dicemplungkan ke bak mandi, lantas disuruh menelan sepiring sambal merah. Pengagum puisi Paul Eluard itu tidak berteriak minta ampun, minta dikasihani. Menjerit apalagi. Dia hanya menggigil menggelatuk. Memang, semasa menjadi wartawan majalah TEMPO saya menyembunyikan diri bahwa saya pernah bekerja sebagai wartawan Harian Rakyat dan anggota redaksi majalah Lembaga Kebudayaan Rakyat, Zaman Baru, dalam usia yang baru 20. Dan pernah ditahan. Tetapi, saya tidak pernah menyesali diri pernah menjadi wartawan yang mangkal di Istana, dan pernah diundang sarapan pagi bersama Presiden Soekarno, dan diledek Sang Pemimpin Besar itu karena saya terus ngoceh dengan ajudannya, seorang wanita perwira angkatan laut asal Manado. Tak pernah terbersit di hati saya untuk menuntut permintaan maaf kepada siapa pun yang telah membuat karier saya cuma seumur jagung. Padahal, untuk itu saya harus berbuat dosa, hengkang dari haribaan kedua orangtua. Setiap saya ke Solo, bersama istri, kami harus menyeret langkah dengan hati seberat batu menuruni tebing Bengawan. Di situ kami melarung kembang sesajen untuk membuat semerbak perjalanan air yang diarungi mertua
saya setelah dia disuruh tentara untuk jongkok, ditembak, dan jasadnya ditendang, dilarikan arus entah ke mana… Pada saat-saat seperti itu, pikiran melayang kepada Ayah-Emak saya. Hati saya juga meratap setiap kali pulang ke kota kelahiran, di tepi Sungai Asahan, Sumatera Utara. Terbayang Noor Tambi, seorang tokoh buruh angkutan, yang membantu “pelarian” saya ke Jakarta untuk belajar sastra. Kabarnya, dia, bersama istrinya yang sedang hamil tua, disembelih, mayat mereka dicampakkan ke arus sungai. Penduduk tak kuasa memakan ikan, sekali pun itu dipanen dari Selat Malaka. Bangkai manusia mengapung-apung berhari-hari mencari Tuhan mereka ke mana-mana. Air mata saya untuk mereka. Luka hati saya tak terbasuh dengan mengenang mereka. Tetapi, saya tidak meminta siapa pun untuk meminta maaf. Menjadi korban adalah sebuah keagungan. Keagungan! Bukankah Tuhan senantiasa memihak kepada yang tertindas, dan melahirkan agama melalui jalan darah dari manusia yang dia kasihi. Dan sastra semata-mata ditakdirkan untuk memihak korban. Bukankah prosa terbesar yang dilahirkan Perang Dunia II adalah catatan harian gadis manis Anne Frank, yang menuliskan rintihan batinnya sebagai korban? Manakala sastra mendurhakai takdir ini, maka dia akan tinggal jadi sebuah cemooh. Telah lahir puisi-puisi kutukan terhadap tirani rezim Orde Lama Soekarno, dan nyanyian agung menyambut menyingsingnya sebuah harapan (pada Soeharto). Malang benar! Puisi-puisi dari penyair, yang dikatakan sebagai pelopor lahirnya angkatan baru dalam sastra Indonesia itu, justru dianggap hanya sebagai karya kaum epigon, pengekor para penyair Lekra. Mereka terjerumus ke jurang puisi pamflet yang mereka tolak sendiri. Dan untuk menyebutkannya sebagai angkatan baru, “belum cukuplah syarat dan nilainya.” (Subagio Sastrowardoyo, 1983). Hanya Tuhan yang punya kuasa atas kata maaf. Dan Dia memberikannya dengan kuasanya sendiri. Belasan tahun saya, dan beberapa penulis yang selamat dari jerat tiang gantungan rezim Soeharto, bekerja sebagai wartawan majalah TEMPO. Saya tidak pernah menganggap kesempatan itu sebagai permintaan maaf dari seorang yang sadar secara intelektual menjadi anti-Komunisme: Goenawan Mohamad. Saya yakin, bukannya didorong oleh niat meminta maaf, maka dia juga kabarnya menjadi tuan rumah untuk arisan istri orang-orang penting PKI yang diburu dan dibantai. Dia lakukan itu semua padahal dia bukan seorang romo apalagi nabi. Dia cuma penyair yang meniti di titian peradaban. Goen menyuruh saya mencari Rivai Apin, dia pingin berjumpa dengan Pram, Buyung Saleh.
Dalam perjumpaan itu tak ada maaf-memaafkan. Rekonsiliasi tak berbunyi. Pikiran mereka berjalan sendiri-sendiri. Adab yang mempertemukan mereka. Haram, kalau dari belakang saya mengatakan redaktur KOMPAS membukakan pintu maaf kepada saya manakala cerita-cerita pendek saya dimuat dengan judul yang lebih besar dari logo Harian Rakyat, dimana saya pernah berjuang, dan tumbang. Juga tidak, ketika dua-sejoli pematung-musisi Dolorosa Sinaga-Arjuna Hutagalung memeluk mencium saya setiap kali kami jumpa. Hanya saja airmata saya titik. Hati saya bergemuruh. Bagaimana mungkin di tengah-tengah keganasan, kebuta-tulian, ada manusia yang lahir dengan kodrat seperti ini… *** *Martin Aleida, sastrawan, tinggal di Jakarta
G30S dan Permintaan Maaf oleh Franz Magnis-Suseno SJ* Ada berita mengejutkan: Presiden, katanya, mau mengajukan permintaan maaf kepada para korban segala pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Tanah Air sejak Indonesia merdeka. Rencana Presiden ini menuntut sikap kita juga. Kalau di sini saya membatasi diri pada pelanggaran-pelanggaran pasca-Gerakan 30 September (G30S), itu bukan untuk meremehkan pelanggaran-pelanggaran lain. Namun, semata-mata karena raksasanya jumlah orang yang menjadi korban, kompleksitasnya latar belakangnya, beban ketersentuhan emosional, dan kepekaan yang sampai hari ini masih tersisa dalam masyarakat. Menghindar dari simplifikasi Dari luar negeri, kasus pelanggaran kelihatan jelas. Penumpasan sebuah kudeta kok bermuara pada pembunuhan massal terhadap apa saja yang berbau komunis, disusul kebijakan resmi negara yang menghancurkan eksistensi serta menstigmatisasi sebagai manusia terkutuk jutaan masyarakat yang sedikit pun tidak terlibat, dengan ratusan ribu orang ditahan selama lebih dari 10 tahun. Tak dapat diragukan, kejadian-kejadian itu termasuk salah satu kejahatan terbesar terhadap umat manusia di bagian kedua abad ke-20. Akan tetapi, masalahnya tak sesederhana itu. Kita bisa bertanya: mengapa 46 tahun
sesudah peristiwa itu emosi-emosi anti-”PKI” masih begitu kuat; mengapa pengakuan mereka yang pernah ditahan, disiksa, dan dikucilkan merupakan korban begitu sulit? Apakah hanya karena indoktrinasi Orde Baru (misalnya lewat film Pengkhianatan G30S/PKI)? Sejak 1964, saya studi teologi di Yogyakarta. Waktu itu saya semakin khawatir jangan-jangan Indonesia diambil alih oleh kaum komunis. Kesan saya, masyarakat bukan komunis buta terhadap bahaya itu. Namun, tsunami anti-PKI sesudah G30S menunjukkan bahwa saya keliru. Ternyata PKI dibenci dan ditakuti, tetapi orang tak berani mengungkapkannya karena takut dicap anti-Nasakom, ”komunisto-fobi”, atau—lebih gawat—”antek Nekolim”. Kita ingat: 1995, Pramoedya Ananta Toer—yang selama 13 tahun ditahan, salah seorang sastrawan Indonesia paling diakui secara internasional—mendapat hadiah Magsaysay. Namun, Mochtar Lubis dan sejumlah sastrawan lain protes keras. Bukan karena mau balas dendam, melainkan karena di tahun-tahun sebelum G30S Pramoedya menjadi penghasut yang menyerukan ”pengganyangan” terhadap ”kebudayaan Manikebu, komprador, imperialis, dan kontrarevolusi”, ”kebudayaan setan yang seyogianya sudah harus tidak lagi mengotori bumi Indonesia”. Pramoedya hanya salah satu. Pada tahun-tahun itu semua yang tak tunduk terhadap kebijakan Soekarno yang pro- PKI dihantam dan diancam. PKI menyerukan pengganyangan ”tujuh setan desa” dan ”tiga setan kota”, para lawan politiknya dicap ”Masyumi”. Masyumi sendiri yang pada 1960 dilarang Presiden Soekarno difitnah sebagai musuh revolusi. CGMI menyerukan pembubaran HMI. Suasana penuh kebencian, intimidasi, dan fitnah terhadap segala apa yang anti-PKI itulah yang meledak sesudah G30S. Sekarang sudah hampir pasti (baca buku John Roosa) bahwa G30S memang dirancang oleh Aidit dan bukan sekadar gerakan beberapa opsir kiri Angkatan Darat (versi PKI dan Cornell Paper tulisan kondang McVey/Anderson). Betul, ”kebijakan” Aidit ini tidak disahkan oleh Politbiro PKI. Kebijakan politik komunis umumnya memang tak ditentukan dalam politbiro, tetapi langsung oleh pimpinan/sekretaris jenderal partai. Bukankah selama September 1965 orang-orang PKI bicara tentang ”revolusi yang hamil tua”? Bukankah kader Pemuda Rakyat disuruh siap-siap? Yogyakarta pada 1 Oktober 1965 diambil alih oleh Dewan Revolusi. Kami waktu itu belum tahu bahwa pengambilalihan itu terjadi dengan membunuh Komandan Korem Kolonel
Katamso dan anggota stafnya, Letkol Sugiono. Pada 4 Oktober, kami mendengar, mereka yang diculik ternyata langsung dibunuh (suatu brutalitas yang sulit dimengerti: masak sandera dibunuh sebelum coba diadakan perundingan). Saya langsung teringat kebrutalan komunis di sekian negara di dunia. Kesan saya, orang-orang di Yogyakarta diliputi rasa waswas, seakan-akan tahu ada darah mengalir dan akan ada darah mengalir lagi. Mereka masih ingat peristiwa Madiun, 17 tahun sebelumnya, saat PKI membunuh sekitar 4.000 orang non-kombatan. Akhir Oktober 1965, saya membaca di koran bahwa di Banyuwangi ditemukan sumur berisi 80 mayat santri. Di Yogya, RPKAD sudah sejak 20 Oktober melakukan pembersihan terhadap ”PKI”, didukung masyarakat yang antikomunis. Banyak tokoh komunis dieksekusi. Di Jawa Timur, dan sejak Desember juga di Bali dan tempat lain, para pemuda mulai membunuhi orang-orang PKI. Pembunuhan itu berlangsung sampai Februari 1966. Taksiran jumlah terbunuh setengah juta dianggap realistis. Mengerikan? Betul! Namun, sindiran Roosa bahwa pembunuhan itu policy terencana Soeharto saya anggap naif. Pembunuhan-pembunuhan itu—di mana militer memang sangat terlibat—merupakan akibat segala ketegangan yang terakumulasi selama tahun-tahun sebelumnya yang menciptakan situasi yang oleh Mohammad Roem disebut ”mereka atau kami”. Hal yang sepenuhnya jadi tanggung jawab Soeharto adalah kebijakan resmi negara sesudah 11 Maret 1966. Suatu kebijakan yang sama sekali tak perlu karena PKI sebagai kekuatan politik sudah hancur, sedangkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab seharusnya mengusahakan rekonsiliasi. Dasar kebijakan yang diambil justru sebaliknya: menciptakan rasa benci dan dendam gelap, yaitu penghancuran kehidupan serta stigmatisasi ”orang-orang terlibat/tak bersih lingkungan” itu sebagai warga-bangsa yang jahat. Sudah tiba waktunya Sekarang, 46 tahun kemudian, sudah tiba waktunya kita berani menghadapi kenyataan dan mengambil sikap yang bermartabat. Betul bahwa latar itu membuat kita mengerti mengapa sampai terjadi sesuatu yang sedemikian mengerikan. Kompleksitas itu membungkamkan stigmatisasi bangsa Indonesia pasca-1965 sebagai bangsa pembunuh oleh luar negeri. Namun, memahami latar belakang tak berarti membenarkan apa yang terjadi. Kita harus berani menyebut jahat apa yang jahat. Secara sederhana: Betapa pun suasana politik waktu itu dipenuhi permusuhan dan saling mengancam karena mengganasnya wacana PKI, tetapi
meluasnya reaksi anti-G30S menjadi pembunuhan liar besar-besaran—apalagi rancangan pemerintahan Soeharto—tidak dapat dibenarkan. Kita perlu mengakui hal itu. Oleh karena itu, kalau Presiden mau minta maaf atas segala pelanggaran hak-hak asasi manusia pada masa lampau, termasuk atas pelanggaran hak-hak asasi dalam tsunami antikomunis pasca-G30S, mari kita dukung! Dengan minta maaf kita akan dibebaskan dari sisa kebencian dan dendam warisan pemerintahan Soeharto. Kita tahu, orang yang hatinya masih ada dendam dan benci tak dapat menghadap Pencipta dengan rasa baik. Kita pun ikut bersalah. Bersalah karena kita tidak menyebutkan jahat apa yang jahat, bersalah karena tidak mengakui para korban sebagai korban. Permintaan maaf akan membebaskan hati kita juga.*** *Franz Magnis-Suseno SJ, Rohaniwan; Guru Besar Pensiunan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Sumber: Kompas, Sabtu 24 Maret 2012)
Apa yang Salah dengan G30S/PKI? oleh Sulastomo* Pada 17 Oktober 1965, dua minggu setelah peristiwa itu, kami berkeliling di Jawa Tengah. Di Klaten, di tepi sebuah sungai, hati kami tersayat melihat mayat bergelimpangan. Itulah dampak peristiwa politik yang diawali dengan penculikan dan kemudian pembunuhan pemimpin teras Angkatan Darat oleh Gerakan 30 September pada 1 Oktober 1965 dini hari. G30S ternyata sebuah gerakan kudeta, terbukti dari berbagai pengumuman pemimpin gerakan itu yang membentuk Dewan Revolusi dan menyatakan kabinet demisioner. Dewan Revolusi di pusat akan ditindaklanjuti dengan pembentukan Dewan Revolusi Daerah. Di Yogyakarta, pembentukan Dewan Revolusi juga disertai pembunuhan Komandan Korem Yogya Kolonel Katamso dan Letkol Soegiono. Di belakang G30S adalah Biro Khusus PKI yang dibentuk Ketua CC PKI DN Aidit. Pengumuman G30S/Dewan Revolusi dipersiapkan oleh Biro Khusus PKI. Wajar jika kemudian G30S diperkenalkan sebagai G30S/PKI meski kemudian dika- takan gerakan itu tak sepenuhnya menjadi kebijakan CC PKI. CC PKI tidak pernah mengutuk gerakan itu. Begitulah sifat kepemimpinan partai komunis bahwa Ketua CC PKI DN Aidit memiliki wewenang melakukan semua itu. Kalau berhasil, mungkin akan diakui juga sebagai kebijakan semua CC PKI.
Pasca-G30S/PKI sebagaimana kita ketahui terjadi gontok- gontokan, bahkan pembunuhan terhadap saudara-saudara kita yang dianggap anggota PKI atau simpatisannya. Ribuan orang terbunuh atau dibunuh, mayat mereka dibuang ke sungai sebagaimana dikemukakan di atas. Bung Karno sebenarnya berusaha melerai, antara lain, dengan mengharapkan peran Himpunan Mahasiswa Islam. Beberapa kali Pengurus Besar HMI melakukan pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Dr Soemarno membicarakan upaya melerai suasana gontok-gontokan ini. HMI mengirim tim ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, harus diakui, upaya melerai ini gagal. Masyarakat sudah telanjur terbius suasana membunuh atau dibunuh. Mengapa? Tidak berlebihan jika peristiwa itu merupakan kelanjutan dari berbagai peristiwa sebelumnya. Suasana politik nasional yang panas mengawali peristiwa G30S/PKI antara yang pro-PKI dan anti-PKI. Kekuatan anti-PKI satu demi satu dibubarkan, mulai dari Partai Masyumi/PSI, Partai Murba, Gerakan Kebudayaan Manifes Kebudayaan, hingga Badan Pendukung Soekarnoisme yang terdiri atas kalangan pers. Puncaknya tuntutan terhadap pembubaran HMI yang hendak dipaksakan DN Aidit hanya dua hari sebelum G30S/PKI pada rapat umum CGMI yang dihadiri sekitar 10.000 mahasiswa di Istora Senayan di hadapan Bung Karno dan Waperdam Leimena. Baik Bung Karno maupun Pak Leimena menolak tuntutan pembubaran HMI. Suasana politik bertumpu pada Bung Karno, PKI, dan juga Angkatan Darat. Kondisi politik pada waktu itu oleh PKI digambarkan telah ”hamil tua” yang mengindikasikan suatu kejadian luar biasa akan terjadi. Pada 4 Agustus ada berita Bung Karno sakit. Dikabarkan, Bung Karno kemungkinan tak mampu lagi melaksanakan tugas sehari-hari. Siapa yang akan menggantikan Bung Karno? Rumor politik yang beredar, wajar kalau ada spekulasi antara PKI atau Angkatan Darat. Siapa yang mendahului mengambil inisiatif, dialah yang akan memenangi pertarungan politik nasional. Dengan timbulnya peristiwa G30S/PKI, bisa saja DN Aidit mengambil prakarsa mendahului meski justru berdampak fatal bagi PKI. Sifat gerakan komunis, antara lain, radikal. Demikian juga di Indonesia. Korban berjatuhan dalam jumlah besar dan sering disertai kebiadaban sebagaimana peristiwa Madiun 1948. G30S/PKI juga dimulai dengan penculikan dan pembunuhan keji. Fenomena inilah yang mewarnai kejiwaan rakyat Indonesia pasca-G30S/PKI sehingga suasana membunuh atau dibunuh muncul di masyarakat.
Korbannya, ribuan anggota dan simpatisan PKI terbunuh atau termarjinalkan di masyarakat. Kalau mereka mahasiswa, kuliahnya dihentikan; kalau pekerja, bisa kehilangan pekerjaannya dan KTP-nya ditandai khusus sehingga kehilangan hak sipilnya. Hukum karma seolah-olah berlaku meski bisa juga dianggap sebagai pelanggaran HAM sehingga niat Presiden SBY meminta maaf, menurut Romo Magnis, perlu didukung. Secara Budaya Kalau benar Presiden hendak minta maaf atas peristiwa 1965 itu, siapa yang harus meminta maaf ketika partai-partai lawan PKI dibubarkan, pemimpin Masyumi/PSI dipenjarakan tanpa diadili, pemimpin teras TNI/Angkatan Darat diculik dan dibunuh, demikian juga korban peristiwa Madiun 1948? Haruskah Presiden SBY juga minta maaf kepada mereka? Bukankah semua itu juga bisa dianggap sebagai pelanggaran HAM? Beberapa tahun lalu Ketua CGMI di tahun 1965, Mas Hardoyo, meninggal dunia. Kami dapat pemberitahuan melalui SMS. Di rumah duka banyak perhatian ditujukan kepada kami. Sebagian dari pelayat adalah para bekas tahanan politik PKI atau anggota dan simpatisan PKI. Tanpa kami duga, kami diundang memberi sambutan dan diperkenalkan sebagai ”sahabat” Mas Hardoyo. Di depan jenazah Mas Hardoyo, kami sampaikan bahwa Mas Hardoyo adalah teman diskusi yang sering panas disebabkan kami saling berbeda pendapat. Mas Hardoyo memimpin gerakan pembubaran HMI di kalangan mahasiswa. Namun, sebagai manusia, kami ada persamaan: akan menghadap Tuhan dan pada saat seperti inilah kita harus memaafkan siapa saja yang mendahului kita. Mas Hardoyo ternyata juga dikebumikan sesuai dengan ajaran agamanya. Beberapa
tahun
lalu
Presiden
SBY
menganugerahkan
kepada
Pak
Syafrudin
Prawiranegara pahlawan nasional. Dapat dikatakan, Pak Syafrudin bisa mereprentasikan pemimpin Masyumi yang hak-hak sipilnya pernah direnggut. Kebijakan Presiden SBY itu bisa dianggap sebagai penyelesaian dengan pendekatan budaya terhadap pelanggaran HAM yang dialami tokoh Masyumi dan anggotanya yang banyak dipenjarakan tanpa diadili. Demikian juga langkah anak-anak eks Darul Islam, anak-anak pahlawan revolusi, dan juga anak-anak eks PKI yang berhimpun dalam satu organisasi merupakan pendekatan budaya penyelesaian pelanggaran HAM yang dipelopori anak-anak kita. Dengan pendekatan budaya seperti ini dendam di antara sesama warga bangsa dengan sendirinya terkubur. Sebaliknya, minta maaf pada salah satu golongan saja lebih politis sehingga masih meninggalkan implikasi politik. Dengan pertimbangan seperti itu, Presiden
SBY tak perlu minta maaf atas kejadian 1965. Pendekatan budaya justru akan lebih memperkukuh upaya rekonsiliasi nasional.*** *Sulastomo, Ketua Umum PB HMI 1963-1966 (Sumber: Kompas, 31 Maret 2012)