Kenangan Memperingati 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Siap Berkorban Demi Kepentingan Negara, pantang mundur menghadapi kesulitan dan penderitaan Huang Shu Hai1 Judul di atas mengungkapkan dua aspek sosok Siauw Giok Tjhan.
Itulah
perjuangan Siauw Giok Tjhan yang bercahaya gemerlapan. Siauw Giok Tjhan mendapatkan pujian tinggi dari khalayak. Ada yang menyanjung beliau sebagai pahlawan bangsa Indonesia, pemimpin terkemuka Tionghoa Indonesia, politikus gerakan masyarakat, ahli pendidikan, akademikus dan masih banyak lagi. Namun saya berpendapat, berkaitan dengan usaha gerakan kemerdekaan
bangsa
Indonesia,
perjuangan seumur hidupnya
demi
kemajuan
pembangunan
demokrasi,
yang dilakukan demi keadilan dan kemakmuran
Indonesia, akan lebih tepat dinyatakan beliau adalah “seorang pejuang setia yang mencintai Tanah air dan Rakyat Indonesia”. Pada tahun 50-an, ketika bekerja di surat kabar Medan, saya sudah mengenal dengan baik nama Siauw Giok Tjhan. Pada akhir tahun 1954, setelah saya direkrut bekerja di Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia, saya berkesempatan berhubungan dengan Siauw secara akrab. Pada musim panas tahun 1981, setelah beliau bebas dari
penjara
dan
bisa
berkunjung
ke
Beijing
dari
Belanda,
saya
diminta
menterjemahkan 2 buku karya beliau, Bhinneka Tunggal Ika dan Lima Jaman. Dengan demikian hubungan menjadi lebih akrab dan tukar-pikiran lebih mendalam. Bahkan saya secara pribadi mendampingi beliau berkunjung ke mantan Konselor Politik Kedubes RRT, Zhong Qing Fa dan Li Ju Sheng. Keakraban persahabatan mereka tampak sekali dari pertemuan- pertemuan ini. Pada tanggal 23 Maret 1914, Siauw Giok Tjhan lahir di Surabaya, tergolong Huakiao keturunan kesekian. Di tubuhnya mengalir 2 jenis darah, yang satu darah dari ayah Siauw Gwan Swie dan darah dari ibu Kwan Tjian Nio, mewarisi darah psikologis – jenis darah Tionghoa. Indonesia
1
melawan
Jenis darah satu lagi, adalah darah politik dari rakyat penjajahan
kolonial
Belanda,
perjuangan
mencapai
Huang Shu Hai adalah mantan penterjemah Kedutaan Besar RRT di Indonesia dan Pem Red Penerbitan
Pengetahuan Dunia
1
kemerdekaan bangsa. Kedua jenis darah yang mengalir dalam tubuhnya inilah memancarkan cahaya gemerlapan dalam hidupnya. Di antara sekian banyak tokoh ternama Tionghoa: Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tony Wen, The Ping Oen, Thio Hian Shou, Yap Tjwan Bing, Ko Kwat Tiong, Ho Tik Kong, Kwee Hing Tjiat, Kouw Bian Kie, Sie Hian Ling, Oey Tiong Ham, Tjung Tin Yan, Ang Yang Gwan,, Siauw Giok Tjhan bisa muncul ke depan dari tumpukan sekian banyaknya nama-nama tokoh ternama itu, menjadi pemimpin Tionghoa yang terpandang dan dihormati dalam kancah politik Indonesia. Ini bukan sesuatu yang kebetulan apalagi sesuatu bualan dan ilusi khayalan. Di mulai awal 30-an, Siauw Giok Tjhan sudah terjun dalam gerakan melawan koloni Belanda yang berusaha mencapai kemerdekaan bangsa, memperjuangkan hak keadilan dan melindungi kepentingan minoritas Tionghoa di bidang politik dan hukum dan melawan diskriminasi rasial. Beliau belajar dan meningkatkan kemampuan dari praktek perjuangan itu sendiri. Beliau pernah dijebloskan dalam penjara pemerintah koloni Belanda. Untuk mendorong semangat juang dan mempersatukan kawan setahanan, beliau di dalam penjara dengan tulisan tangan sendiri membuat selebaran “Suara Tapa”, secara periodik menganjurkan para tahanan menyanyikan lagu nasional Indonesia sebagai pernyataan protes; namun beliau juga 3 kali dijebloskan dalam penjara Pemerintah reaksioner Indonesia: Pertama, pada tahun 1948 setelah peristiwa Madiun, dengan tuduhan- tuduhan palsu beliau ditahan selama beberapa bulan. Kedua, pada tahun 1951 “Razia Agustus” Sukiman, tanpa alasan juga dijebloskan dalam kamp konsentrasi. Ketiga, setelah peristiwa G30S pada tahun 1965, sekali lagi beliau ditangkap tanpa alasan, dibekuk dalam penjara selama 12 tahun tanpa melalui proses pengadilan dan menderita persekusi kejam secara fisik dan mental. Pandangan dunia dan pikiran politik Siauw adalah pluralisme. Sejak mula, beliau banyak dipengaruhi pemikiran Sun Yat Sen: San Min Zhu Yi (Trisila). Pada tahun 40-an, beliau tergabung dalam Partai Sosialis, kemudian karena
2
pecah menjadi 2 kubu, Syahrir dan Amir Syarifudin, beliau mengundurkan diri dan banyak dipengaruhi arus sosialis-demokrat Eropa. Pada bulan Maret 1954, beliau di Jakarta membentuk Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI). Sebuah organisasi massa independen yang tidak
berdasarkan
ideologi
kepartaian,
tidak
membedakan
ras
dan
tidak
membedakan kepercayaan agama. Tujuan visi dan misinya adalah: berdasarkan lambang negara Bhinneka Tunggal Ika, berdasarkan janji “Manifes Politik” 1 Nopember 1945 “di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo-Asia dan Eropah menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia”; menganjurkan “Integrasi wajar” - menentang asimilasi-total; menghimbau Tionghoa menjadi Warganegara Indonesia dan mempertahankan etnisitas Tionghoa: nama, budaya dan adat-istiadat Tionghoa; menentang pelarangan bahasa Tionghoa dan gerakan ganti-nama. Siauw secara pribadi tegak berdiri melawan tekanan kebijakan ganti nama dan dengan tegas menentang diskriminasi rasial terhadap Tionghoa diberbagai bidang. Beliau pandai menggalang kekuatan masyarakat. Dalam waktu beberapa bulan saja, Baperki berhasil mendirikan belasan cabang di Jawa, Sumatra dan Kalimantan untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial dan menerbitkan surat kabar dan majalah. Pada tahun 1961, Baperki, di berbagai kota sudah mendirikan lebih dari 100 Sekolah Rakyat dan Sekolah Menengah. Untuk mengatasi pembatasan kuota penerimaan siswa Tionghoa di Universitas Negeri, pada bulan Oktober 1958, Yayasan Pendidikan dan Budaya Baperki mendirikan Universitas Baperki yang menampung semua Indonesia, khususnya anak Tionghoa.
Pada tahun 1963, namanya diubah
menjadi Universitas Res Publica. Cabang-cabang di Bandung, Surabaya, Yogya, Semarang dan Medan didirikan. Jumlah mahasiswa mencapai 20 ribu. Sumbangsih Siauw Giok Tjhan di bidang kebudayaan dan pendidikan sangat menonjol sehingga ia memperoleh pujian masyarakat luas dan memperoleh reputasi nama baik. Namun sedikit orang mengetahui bahwa Siauw telah memberikan sumbangan tidak ternilai yang tidak ada orang lain bisa menggantikannya, yaitu dalam
3
pemecahan masalah Dwi-Kewarganegaraan RRT-RI. Ini adakah masalah peninggalan sejarah Dwi-Kewarganegaraan yang sangat rumit dan kompleks. Pada tahun 1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan, sedikitnya telah terjadi 3 kali perdebatan sengit tentang masalah Dwi-Kewarganegaraan di dalam pemerintah: Pertama pada tahun 1946 di dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, pertarungan sengit antara konsep “stelsel Pasif” dan “stelsel Aktif”. Ketika itu Tan Ling Djie dan Siauw Giok Tjhan, mewakili Partai Sosialis menganjurkan kewarganegaraan yang berdasarkan prinsip tempat lahir, yaitu siapa saja yang lahir di Indonesia otomatis menjadi Warganegara Indonesia yang sah, kecuali mereka menolak warganegara Indonesia. Kebijakan ini dinamakan “Stelsel Pasif”. Sedangkan Prof. Sunaryo, wakil dari Partai Nasionalis Indonesia menganjurkan “Stelsel Aktif”, yaitu sekalipun Tionghoa lahir di Indonesia, dalam waktu ditetapkan, harus mengajukan permohonan masuk menjadi Warganegara Indonesia dengan menyatakan melepaskan Warganegara Tiongkok. Mayoritas mendukung “Stelsel Pasif”. Kedua, pada saat Konperensi Meja Bunder antara Indonesia dan Belanda di Den Haag. Ada usaha untuk mengubah Stelsel Pasif dengan Stelsel Aktif. Tapi usaha ini gagal. Ketiga, pada tahun 1953 arus rasisme berkembang di Indonesia. Para pimpinan politik anti-Tionghoa berusaha merebut posisi ekonomi Tionghoa dan
menuntut
Pemerintah membatalkan UU Kewarganegaraan 1946. Prof. Sunaryo yang ketika itu Menteri Luar Negeri, menggunakan taktik lihai, mengajukan kembali prinsip Stelsel Aktif. Yang ia anjurkan adalah: yang berhak memohon menjadi warganegara Indonesia hanyalah Tionghoa yang sudah hidup 3 generasi di Indonesia, dan harus mengeluarkan surat-surat bukti, membuktikan kedua orang-tua juga lahir di Indonesia dan telah tinggal menetap lebih 10 tahun di Indonesia. Syarat-syarat mempersulit Tionghoa menjadi warganegara Indonesia yang dianjurkan Sunaryo, terutama keberadaan bukti-bukti, sulit untuk dipenuhi sebagian
4
besar Tionghoa di Indonesia. Oleh karenanya anjuran ini ditentang
keras oleh
khalayak Tionghoa. Pada waktu bersamaan pemerintah Tiongkok dan Indonesia berkehendak menggunakan kesempatan Konperensi Asia-Afrika, untuk menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan peninggalan sejarah ini. Masalah Dwi-Kewarganegaraan ini ada karena Indonesia (termasuk masa koloni Belanda) menjalankan prinsip tempat lahir, sedang Tiongkok pada waktu itu menjalankan prinsip berdasarkan darah keturunan. Kedua pemerintah bersepakat bahwa harus dicapai penyelesaian dalam waktu sesingkat mungkin. Perjanjian Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan Tiongkok-Indonesia ditandatangani pada tanggal 22 April 1955, oleh PM merangkap Menlu Zhou En Lai dan Menlu Sunaryo, di celah waktu KAA-Bandung. Ini adalah perjanjian penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan pertama yang ditandatangani sejak berdirinya Tiongkok Baru. Semula diperkirakan akan menjadi blue-print untuk memecahkan masalah sama di negara-negara Asia Tenggara. Sungguh tidak dinyana pada 26 April sekitar jam 10 malam, Siauw Giok Tjhan dan Tjoa Sik Ien sekonyong-konyong datang di Kedubes RRT untuk menemui Zhu Yi, saat itu menjabat Ketua Komite hubungan Luar Negeri – Urusan Hua Kiao pemerintah Tiongkok. Siauw menjelaskan maksud kedatangannya.
Zhu Yi merasa apa yang
disampaikan Siauw tentang masalah Dwi-Kewarganegaraan sangat positif dan sangat penting. Ia tidak memiliki kuasa untuk mengambil keputusan. Ia segera melaporkan ke atasannya, Liao Chengzhi, ketua Qiao-Wei. Setelah Kakek Liao (begitu sebutan umum pada Liao ketika itu) selesai mendengarkan laporan, ia segera melaporkannya kepada PM Zhou dan mengusulkan untuk menemui kedua kawan tersebut, Siauw dan Tjoa. Terjadilah pembicaraan yang sangat akrab antara PM Zhou dan Siauw-Tjoa berdua, berlangsung lebih dari 5 jam, dari jam 11 malam hingga jam 4 pagi. Sekalipun PM Zhou pertama kali bertemu dengan Siauw dan Tjoa, tapi sudah seperti sahabat lama saja. PM Zhou dengan sabar dan penuh perhatian mendengarkan
penjelasan
Siauw
bahwa
Perjanjian
Penyelesaian
dwi-kewarganegaraan baru saja ditandatangani bertentangan dengan proses
5
diundangkannya UU kewarganegaraan Indonesia. Dalam pertemuan itu, PM Zhou mempelajari secara mendetail posisi dan pendapat
partai-partai
politik
tentang
dwi-kewarganegaraan
kewarganegaraan Indonesia untuk komunitas Tionghoa di Indonesia.
dan
dampak
Pembicaraan
dilakukan dengan serius dan harmonis. Secara umum, Siauw mengutarakan tiga hal utama: 1. Undang-undang Kewarganegaraan Indonesia berdasarkan prinsip tempat kelahiran, dijalankan dengan stelsel pasif. Ini lebih sesuai dengan kepentingan mayoritas Tionghoa di Indonesia, baik yang yang totok maupun peranakan. Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan
yang ditanda-tangani
menggunakan
prinsip stelsel aktif, yang tidak bisa diterima oleh Baperki dan mayoritas Tionghoa; 2. Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia 1946, di antara jutaan Tionghoa, sudah ada yang menjabat anggota DPR, menjadi Menteri Negara, dan pegawai negeri di berbagai tingkat. Bahkan sebagian besar hidup tersebar dikota-kota kecil, di pedesaan dan sudah turun-menurun bergenerasi hidup harmonis dengan rakyat setempat, sebagai pedagang kecil, petani, nelayan. Berdasarkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946, mereka
sudah
menjadi
Dwi-Kewarganegaraan
warganegara
Indonesia.
dilaksanakan,
dalam
Bilamana
Perjanjian
waktu
sekejap
kewarganegaraan mereka berubah menjadi kabur atau stateless. Ini tentu tidak bijaksana. 3. Perjanjian menetapkan masa berlaku 20 tahun, apa yang dimaksudkan juga tidak jelas, orang bisa meragukan apakah berarti setelah 20 tahun harus kembali memilih kewarganegaraan? Siauw
menyatakan,
sekalipun
Perjanjian
Dwi-Kewarganegaraan
sudah
ditandatangani, tapi belum disahkan badan legislatif untuk dilaksanakan. Beliau yakin, kalau Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan ini diajukan ke DPR Indonesia, tidak akan disahkan. Siauw mengajukan usul pada PM Zhou, kemungkinan wakil kedua Pemerintah kembali berembuk, kembali memasukkan sebagian prinsip Stelsel pasif dalam Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan itu. Apa yang diajukan Siauw sangat masuk akal dan diuraikan secara sistematis.
6
Membuat PM Zhou tertegun dan menghormati argumentasi yang diajukan. PM Zhou sangat berterimakasih kepada Siauw dan Tjoa yang sangat bersahabat itu. PM Zhou menandaskan dan menjelaskan keharusan Pemerintah Tiongkok memperhatikan kebijakan melindungi massa luas Huakiao dan Tionghoa Indonesia. Menjelaskan betapa pentingnya
menyelesaikan masalah penandatanganan
Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan, dan berjanji akan mengajukan masalah yang diajukan kedua kawan dalam perundingan kembali dengan Pemerintah Indonesia dan berusaha mencapai pemecahan yang baik. Siauw-Tjoa merasa sangat puas dengan pertemuan dan jawaban yang diberikan PM Zhou. Apa yang dikatakan PM Zhou bisa dipercaya. Kunjungan PM Ali Sastroamidjojo ke Tiongkok atas undangan PM Zhou, dan perundingan bersahabat pada 3 Juni 1955, mencapai
kesepakatan
Dwi-Kewarganegaraan.
mengenai Persetujuan
pelaksanaan bersama
kelanjutan
ditetapkan
dari
Perjanjian
berdasarkan
format
hubungan luar-negeri, dengan melangsungkan “pertukaran nota”. Kedua belah pihak menegaskan “Pertukaran Nota” ini adalah bagian penting dari Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan. “Pertukaran-Nota”
menetapkan:
pada
saat
melaksanakan
Perjanjian
Dwi-Kewarganegaraan, pemerintah kedua negara harus mewujudkan syarat-syarat yang memudahkan orang-orang yang ber kewarganageraan ganda untuk bisa bebas menentukan pilihannya. “Pertukaran-Nota”
menegaskan
bahwa
siapa
yang
dinyatakan
ber-dwi-kewarganegaraan atas definisi Pemerintah Indonesia, karena posisi sosial dan politik mereka, dibebaskan dari kewajiban memilih lagi dan
dianggap telah
melepaskan kewarganegaraan Tiongkok dan telah memiliki kewarganegaraan tunggal. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok ini, bebas memilih lagi kewarganegaraan berdasarkan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan. “Pertukaran-Nota” juga dengan tandas menyatakan, setelah Perjanjian lewat 20 tahun, orang-orang yang sudah memilih kewarganegaraan berdasarkan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan, tidak perlu memilih kewarganegaraan lagi. Pekerjaan memilih kewarganegaraan akan berlangsung selama 2 tahun dan
7
dimulai pada bulan Mei 1961. Kecuali lebih 1 juta tergolong “Bebas Memilih” kewarganegaraan
lagi,
dari
1,52
juta
Tionghoa
yang
tergolong
dwi-kewarganegaraan, ada 1,08 juta memilih WNI dan 160 ribu memilih WN-Tiongkok. Masih ada 80 ribu terlambat, tidak memilih kewarganegaraan, dengan demikian mereka ditentukan berdasarkan kewarganegaraan orang tua masing-masing. Kemudian masih ada lebih 200 ribu orang yang belum mencapai usia dewasa untuk memilih, dan bagi mereka diberi kesempatan dalam 1 tahun setelah usia dewasa untuk memilih kewarganegaraan. Begitulah masalah Dwi-Kewarganegaraan Tionghoa Indonesia pada prinsipnya mendapatkan pemecahan. Akan tetapi, pengalaman ini menunjukkan bahwa delegasi Tiongkok tidak siap dalam perundingan Dwi-Kewarganegaraan karena belum secara baik melakukan penelitian yang mendalam, belum mengetahui apa yang dihadapi Tionghoa Indonesia dan aspirasi mereka. Atau karena keterbatasan waktu dan kerahasiaan, menyebabkan mereka tidak berkonsultansi dengan pimpinan Tionghoa seperti Siauw Giok Tjhan dll. Ini merupakan sebuah kekurangan yang serius. Sampai sekarang hal ini tidak diperbincangkan secara terbuka oleh instansi yang bersangkutan. Untunglah ada Siauw Giok Tjhan dan Tjoa Sik Ien, dua sahabat yang patut dihormati, demi melindungi dan mendorong maju Persahabatan rakyat kedua negara RI-RRT, di saat menentukan, tampil mengajukan usul pemecahan masalah Dwi-Kewarganegaraan dan dengan demikian berhasil mengurangi dampak yang merugikan massa luas Tionghoa dan pelaksanaan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan bisa berjalan lancar. Usul kedua sahabat ini kemudian sangat berfaedah dalam memperlancar dan penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan yang terjadi antara Tiongkok dengan Filipina, Malaysia, Thailand dan beberapa negara lainnya. PM Zhou sekalipun hanya untuk pertama kali bertemu Siauw Giok Tjhan, tapi melalui pertemuan panjang di tengah malam, telah terkesan oleh Siauw.
Pada 27
April, Siauw dan Tjoa atas undangan menghadiri jamuan perpisahan dengan PM Zhou di Kedubes RRT. Saya masih ingat pada saat saya berperan sebagai penterjemah bahasa Indonesia, melaporkan situasi Indonesia, PM Zhou setidaknya 2 kali menanyakan keadaan Siauw Giok Tjhan. Menunjukan PM Zhou senantiasa tidak melupakan sahabat-sahabat yang pernah membantu Tiongkok. Siauw Giok Tjhan juga sangat menghormati PM Zhou. PM Zhou menunjukkan
8
keluwesan dalam berdiplomasi di depan Konferensi Asia-Afrika, sehingga dikagumi para hadirin. Kemampuan Zhou yang berpengalaman luas
dengan rendah hati
menerima usul-usul dan kemudian dalam waktu singkat mewujudkan apa yang diusulkan, menyebabkan Siauw menghormati PM Zhou, sang diplomat besar. Kepribadian
Siauw
yang
rendah-diri,
ramah
tamah
dan
sopan-santun,
menyebabkan beliau memperoleh simpati dan menjadi sahabat yang memudahkan kerja sama dengan Presiden Soekarno, PM Ali Sastroamidjojo, Menlu Adam Malik, dan para tokoh Partai Politik dan ormas lain. Siauw Giok Tjhan sudah pergi masuk dalam sejarah. Walaupun beliau sudah wafat, pikiran dan jiwanya tetap abadi. Di dalam perjuangan sepanjang hidupnya, beliau asyik tenggelam dalam bekerja, kreatif mengejar pembaruan. Bahaya maut diterjang, kesulitan penderitaan dilaluinya demi menempa budi luhur hidupnya. Jejak langkah perjuangannya yang luar biasa, buku karya besar-nya, budi-pekerti luhur beliau akan hidup abadi dalam hati setiap suku rakyat Indonesia.
9