Siauw Giok Tjhan, PKI dan Sosialisme Siauw Tiong Djin Tatiana yang baik Apa kabar? Pertama saya ucapkan banyak terima kasih atas perhatian besar Anda atas tulisan-tulisan saya tentang SGT dan upaya Anda melakukan penelitian tentang sosok SGT dan jalan pikirannya. Saya terperanjat melihat diskusi Anda meluncur ke sebuah kesimpulan bahwa saya menyalah gunakan nama SGT untuk mengukuhkan sikap saya yang anti PKI dan pendukung kapitalisme. Entah dari mana kesimpulan ini lahir. Saya tidak akan berpanjang lebar dan secara terperinci menanggapi semua butir argumentasi yang Anda tuangkan di dalam tulisan-tulisan Anda di dunia maya. Secara singkat dan global saya yang akan mengemukakan beberapa hal sbb: 1.
Saya dan saya yakin kakak saya, tidak pernah bersikap anti PKI, anti sosialisme maupun anti komunisme. Bahwa kami melihat perkembangan dunia dan bagaimana pemerintah seharusnya menjamin kesejahtraan rakyat dengan kaca mata berbeda dengan Anda, itu bisa saja. Dan kalau Anda mendukung paham demokrasi, sebenarnya perbedaan ini tidak perlu mengundang permusuhan atau perdebatan sengit yang tidak membangun.
2.
Saya tidak pernah menyatakan di dalam tulisan-tulisan saya bahwa SGT anti PKI dan getol mendukung kapitalisme dalam arti yang Anda singgung. Itu tidak pernah tertuang di dalam tulisan-tulisan saya. Kutipan-kutipan yang Anda ambil dari tulisan-tulisan tersebut, menurut saya out of context. Entah apakah sebenarnya Anda sudah membaca buku saya tentang biografi politik SGT secara keseluruhan? Mungkin kalau Anda membaca buku tersebut dengan teliti dan dengan kepala dingin, Anda akan mencapai sebuah kesimpulan yang berbeda.
1
Yang saya tegaskan dalam tulisan-tulisan itu adalah: SGT bukan anggota PKI. Akan tetapi dalam perjuangan mencapai sosialisme ala Indonesia, ia sepenuhnya sejalan dengan Soekarno, PKI dan partai-partai kiri lainnya. 3.
Secara ringkas saya ulangi berbegai hasil penelitian saya ttg SGT: a.
Ia adalah seorang Marxist yang mengangumi keberhasilan Mao Tse Tung dalam membangun masyarakat sosialisme di Tiongkok. Dalam konteks ini, ia tentu saja sangat dekat dengan banyak tokoh PKI dan tidak mungkin memiliki sikap anti PKI.
b.
Dekat dengan banyak tokoh PKI dan tidak anti PKI bukan berarti ia tidak pernah menentang beberapa kebijakan PKI dan sikap politik para tokohnya. Justru karena ia bukan anggota PKI, ia bisa bebas bersikap di luar disiplin partai.
c.
Hubungan dengan banyak tokoh PKI sudah terjalin sejak tahun 30-an dan sejak kegiatan politik di awal kemerdekaan pada waktu SGT turut memimpin Partai Sosialis.
d.
Akan tetapi SGT yang sejak FDR bubar pada tahun 1948, tidak lagi tergabung dalam partai apapun. Dan ini nampak dari sepak terjangnya di parlemen. Ia jelas tidak mengikuti disiplin partai apapun. Di zaman demokrasi parlementer (1949-1959), ia mendirikan dan memimpin Fraksi Nasional Progresif yang terdiri dari beberapa partai nasionalis dan beberapa tokoh tidak berpartai. Partai yang paling berpengaruh di fraksi ini adalah Murba, yang bisa dikategorikan “musuh politik” PKI sejak awal kemerdekaan. SGT-pun sangat dekat dengan tokoh-tokoh Murba. SGT berperan dalam mendorong Sukarni, ketua Murba, untuk menjadi dubes RI di RRT pada 1961. Ketika PKI memimpin gerakan mengganyang Murba di zaman Demokrasi Terpimpin, SGT menolak membawa Baperki turut melakukan pengganyangan tersebut. Sikap ini sangat dihargai oleh banyak tokoh Murba, terutama Adam Malik, sehingga selama SGT menjadi tapol, Adam Malik secara diam-diam berupaya membantunya – dengan kerap mengatur pemeriksaan kesehatan SGT di RSPAD. Dan Adam Malik-lah sebagai Wapres
2
yang memungkinkan SGT memperoleh “exit-permit” untuk berobat di Belanda pada September 1978. e.
Di zaman Demokrasi Parlementer, Berbagai RUU (Rancangan Undang-Undang) diperdebatkan di parlemen. Kerap terjadi perdebatan antara anggota-anggota Fraksi Nasional Progresif dengan anggota-anggota Fraksi PKI. Anda bisa mengikuti berbagai perdebatan ini di risalah-risalah dan ikhtisar-ikhtisar parlemen.
f.
Menurut saya kebijakan ekonomi PKI di zaman Demokrasi Parlementer berdeda dengan kebijakan ekonomi di zaman Demokrasi Terpimpin, terutama setelah 1963. SGT kerap memberi masukan ke para tokoh PKI, termasuk Njoto dan ayah Anda, dalam perumusan kebijakan ekonomi PKI, karena ia memang dianggap ahli ekonomi di kalangan politikus kiri (Utrech, yang juga berada di DPA bersama SGT, menyatakan kepada saya, bahwa berbagai rumusan ekonomi yang kemudian masuk dalam pidato2 Soekarno kerap diutarakan SGT dalam DPA). Jadi tidak mengherankan bahwa kebijakan-kebijakan PKI di zaman demokrasi terpimpoin seirama dengan apa yang SGT utarakan sejak zaman Demokrasi Parlementer, terutama yang berkaitan dengan pengembangan modal domestic. Apalagi setelah konsepsi ini masuk dalam Manipol, GBHN 1963 dan masuk pula dalam pidato kenegaraan Bung Karno. Kesemuanya ini didukung baik secara sungguh-sungguh maupun secara lip service oleh semua partai dan ormas politik di zaman itu. Dan kebijakan-kebijakan PKI yang Anda uraikan keluar di zaman itu pula. Mungkin Anda perlu memperhatikan kebijakan ekonomi PKI pada tahun 50-an.
g.
Salah satu contoh perbedaan konsep tentang “kapitalisme” antara SGT dan yang dianut oleh PKI bisa dilihat dalam perdebatan antara SGT dan Sakirman di parlemen pada 1951 tentang RUU Pedoman Baru – yang menghendaki semua kepemilkan perusahaan bis dan transportasi dialihkan ke tangan “golongan ekonomi lemah” – artinya non Tionghoa dan pengharusan semua perusahaan baru dimiliki oleh 75% WNI. SGT menentang kebijakan ini berdasarkan
3
argumentasi bahwa perusahaan-perusahaan yang dimiliki para pedagang Tionghoa yang sudah berpengalaman sejak zaman penjajahan Belanda - apapun status kewarganegaraan-nya, seharusnya dilindungi dan dibantu perkembangannya, karena ini akan membantu pembangunan ekonomi nasional. Sakirman menentang SGT yang dianggapnya menginginkan dipertahankannya sistim kapitalisme yang merugikan pembangunan ekonomi. Saya ketengahkan pula dalam tulisan2 saya bahwa massa Baperki sebagian besar adalah pedagang-pedagang Tionghoa. Konsepsi “kapitalisme” yang didukung oleh SGT seirama dengan jati diri mereka. Komunisme yang dikenal pada tahun 50-an tidak begitu “cocok” dengan sikap massa Baperki. Menyatakan demikina bukan berarti saya menyatakan bahwa SGT dan Baperki anti Komunisme atau anti PKI. Banyak data yang mendukung pengertian bahwa PKI sering membela Baperki (Hanya saja agak aneh, justru ketika Harian Republik, Terompet Baperki, pada tahun 1960,dilarang terbit oleh pemerintah karena membela PKI dalam poeristiwa Madiun. PKI ternyata memilih jalan DIAM, tidak membela!). h.
Ttg Perkawinan Kapitalisme dan Sosialisme: Betul, SGT tidak secara eksplisit menggunakan istilah “perkawinan”. Akan tetapi berbagai tulisan dan pidatonya tidak bisa tidak memiliki konotasi dan mendukung istilah “perkawinan” tersebut.
Saya kutip berbagai pidatro SGT sejak zaman Demokrasi Parlementer: (1)
Sambutan SGT pada Simposium Ekonomi Baperki, 26 September 1954: “…Hendaknya pemerintah tidak memasalahkan siapa yang mengadakan industrialisasi tetapi lebih mementingkan sumbangan modal warga negara keturunan asing dalam pembangunan ekonomi nasional. Semua modal domestic yang tidak merupakan eksploitasi dan drainage yang bisa menimbulkan kolonialisme di bidang ekonomi, harus dikembangkan...”
4
(2)
Pidato SGT di Pacet, 9 Januari 1955: “… ketentuan-ketentuian yg patut diperhatikan adalah pasal2 37 dan 38 UUD, yang dapat dikatakan menjadi dasar ekonomi nasional yang sesungguhnya. ….Pasal 37 dapat disimpulkan berarti modal perseorangan (Kapitalisme) tidak dihapuskan, melainkan dibatasi , supaya tidak mencapai tingkat kekuasaan monopoli yang membahayakan kepentingan rakyat…”
(3)
Uraian SGT pada kongres baperki di Malang 21 Marert 1955 tentang Konstituante: “… Harus ada pasal dalam UUD yang menjamin adanya kesempatan untuk setiap warga negara untuk berkembang , tetapi terbatas sehingga tidak menjadi kekuatan monopoli yang merugikan rakyat terbanyak. UUD itu harus menentukan bahwa pembangunan ekonomi nasional berdasarkan pada kekuatan perusahaan pokok milik negara dibantu oleh perusahaan2 milik koperasi rakyat dan perusahaan2 milik modal perseorangan…”
(4)
SGT pada 21 Mei 1959, sebagai wakil ketua seksi ekonomi DPR (jadi sebelum Dekrit 5 Juli 1959) “….Tulang punggung Sosialis ala Indonesia adalah kekuatan produksi perusahaan2 modal negara dibantu oleh kekuatan produksi perusahaan2 modal perseorangan …”.
(5)
Pidato SGT 13 Maret 1961: “…Bahwa dalam tahap sekarang ini kapitalisme masih diakui adanya, malahan dianjurkan untuk tumbuh sehat untuk pembangunan Indonesia…”
(6)
Pidato SGT, 12 Juni 1961: “…dalam tingkat nasional-demokratis sekarang ini kaptitalisme belum menjjadi sasaran revolusi, karena dalam batas-batas tertentu, sampai-pun modal domestic, yaitu modal milik perseorangan, termasuk orang asing yang menetap di Indonesia, diberi kesempatan berkembang secara sehat untuk menguntungkan kelajuan revolusi untuk memasuki tingkat selanjutnya…”.
5
Jelas kapitalisme yang dimaksud adalah kapitalisme yang berkaitan dengan modal domestik bukan modal-modal Multi-National Corporations. SGT selalu beragumentasi bahwa pengembangan modal domestik ini sangat penting untuik pembangunan ekonomi nasional karena para pemilik modal ini menetap di Indonesia dan keuntungan yang merekla peroleh akan dipergunakan untuk mengembangkan usahanya di Indonesia. Sedangkan Multi National Corporations bukan saja tidak mementingkan pembangunan nasional Indonesia, ia bahkan siap merugikannya demi menciptakan keuntungan yang akan dikirim keluar Indonesia. Diharap tanggapan di atas menghilangkan salah penafsiran yang terkandung dalam tulisan-tulisan Anda. Bilamana tidak, juga tidak apa. Anda sepenuhnya berhak menginterpretasikan apa-pun yang sudah tertuang dalam berbagai buku dan tulisan saya. Salam Hangat Tiong Djin
From: Tatiana Lukman Sent: Saturday, October 8, 2016 2:06 AM Subject: Siauw Giok Tjhan, PKI dan Sosialisme
SGT, PKI dan Sosialisme (2) Sekarang akan saya perluas dan perdalam soal SGT, PKI dan Sosialisme. Dari beberapa buku yang saya baca, yang berkaitan dengan SGT, saya temukan berbagai fakta sejarah dan komentar beberapa penulis ( misalnya, Daniel S.Lev, Zhou Nanjing, Yusuf Isak, Go Gien Tjwan, Xu ren, Daniel Sparinga, dll) sebagai berikut: SGT adalah seorang Marxis.
Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie yang baru kembali dari Belanda pada tahun 1930-an memperkenalkan Marxisme kepada Siauw. Tahun 1946, Siauw masuk ke dalam Partai Sosialis yang dipimpin oleh Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin dan Tan Ling Djie. Beberapa bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, Tan mengajaknya masuk Partai Sosialis. Dalam waktu singkat ia dekat dengan Amir Sjarifuddin. Ketika
6
Amir Sjarifuddin menjadi PM tahun 1947, ia mengangkat Siauw sebagai Menteri
Urusan Minoritas. Setelah menjadi menteri di kabinet Amir Sjarifudin, Siauw tetap menekuni dunia jurnalistik. Partai Sosialis memintanya menerbitkan Harian Suara Ibu Kota. Di sini ia dibantu oleh dua tokoh muda PKI, Aidit dan Njoto. Ketika terjadi Peristiwa Madiun 1948, Siauw yang pernah menjadi tokoh Front Demokrasi rakyat (FDR) ikut ditangkap. Ia dan Tan Ling Djie dipenjara di Wirogunan. Setelah peristiwa Madiun, September 1948, PKI ditindas oleh pemerintah Hatta. Siauw ditangkap dan dipenjarakan di Wirogunan di Yogyakarta. Agustus 1951 akibat “razia” Kabinet Sukiman, Siauw kembali dijebloskan ke bui. PKI mengecam diskriminasi rasial, dan menentang sikap anti-Tionghoa. PKI menerima peranakan Tionghoa bahkan ada diantaranya, seperti Tan Ling Djie, menduduki posisi pimpinan. Dalam DPR, PKI yang sering mendukung posisi anti-diskriminasi BAPERKI. Partai-partai lain sering tidak mendukung bahkan , membenarkan diskriminasi terhadap orang Tionghoa. Siauw Giok Tjhan berpendapat bahwa struktur masyarakat Indonesia memiliki elemen-elemen feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme. Baginya Inilah penyakit kronis masyarakat Indonesia, yang membawa-kan penyakit-penyakit lainnya. Oleh karena itu menurutnya, masyarakat yang sehat hanya bisa dicapai bilamana penyakit kronis ini dibasmi secara tuntas. Akan tetapi, menurut Siauw, proses integrasi saja tidak mungkin menyembuhkan penyakit yang diendap oleh masyarakat Indonesia. Ia hanya mampu mencegah penyebarluasan dan pemarahan yang disebabkan oleh penyakit-penyakit tersebut. Baginya, pengobatan yang paling tepat adalah melangsungkan operasi yang menghilangkan penyakit-penyakit yang diendap ini secara tuntas. Yaitu mengubah struktur masyarakat Indonesia yang masih mengandung feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme itu menjadi masyarakat Pancasila-is atau masyarakat Sosialis ala Indonesia. Siauw yakin bahwa di dalam masyarakat yang demikian tidak ada lagi system penghisapan manusia oleh manusia, dan timbullah sebuah masyarakat di mana semua suku hidup secara harmonis yang memungkinkan adanya kegairahan berusaha tanpa kekhawatiran akan diskriminasi rasial. (SGT:”Bhineka Tunggal Ika”, Hal 188, 193; Lahirnya Konsepsi Asimilasi, Cetakan ke V, Diterbitkan oleh Yayasan Tunas Bangs, Jakarta, 1977, Hal 73-74) Pidato-pidato, tulisan-tulisan SGT, juga dokumen-dokumen Baperki tidak pernah mencanangkan komunisme sebagai objektif perjuangan politik mereka. Yang
7
didambakan oleh Siauw adalah perwujudan masyarakat sosialisme a la Indonesia yang diformulasikan Presiden Soekarno dan yang sesuai dengan UUD-45.
Ini menunjukkan bahwa Siauw Giok Tjhan menggantungkan harapannya kepada PKI dan Revolusi Sosialis. Ia berpendirian bahwa hanya dengan melalui Revolusi Sosialis PKI masalah golongan Tionghoa dapatkan diselesaikan secara tuntas melalui proses integrasi wajar. Yap Thiam Hien yang anti Komunis menentang anjuran Siauw Giok Tjhan. Ia menyatakan bahwa 94% penduduk Indonesia beragama Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Mereka bukan komunis dan menentang Komunisme. Ia juga berpendapat seandainya apa yang diidam-idamkan Siauw itu adalah sebuah masyarakat sosialis ala komunisme yang bisa direalisasi, itu akan memakan jangka waktu panjang, mungkin 100 tahun bahkan 1000 Ketika membicarakan keadaan ekonomi dan masyarakat Indonesia dari apa yang dinamakan “orde baru” dalam karya yang ditinggal-kannya, ia mengajukan berbagai masalah baru yang menyangkut modal asing, bantuan luar negeri, pengerukan harta Negara dan korupsi para birokrat baru, perbedaan kaya dan miskin serta perbedaan kota dan desa. Setelah tahun 1959, terutama di dalam Jaman Demokrasi Terpimpin, mengikuti irama dan slogan politik yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno, formulasi Siauw menjadi tegas. Perkataan “masyarakat” diubah menjadi “masyarakat sosialis”. Perkataan “integrasi” diubah menjadi “integrasi revolusioner”. Kita menekankan sekali lagi di sini pentingnya analisis kelas yang mendasar dan menyeluruh mengenai warga keturunan Tionghoa ini, bagian integral Nasion Indonesia kita. Siauw juga memiliki solidaritas kelas yang sangat tinggi. Itu barangkali yang membuat dia percaya bahwa sosialisme a la Indonesia itu menjadi jawaban sebenarnya, paling tidak di atas kertas, dari persoalan etnis. Menurut saya, Siauw mencoba menyederhanakan kelompok etnis ketika itu, sebagai persoalan kelas. Alasannya adalah Siauw pernah dianggap komunis, yang sejak tahun 1965 dianggap sebagai paham ideologi yang merusak Indonesia, sehingga tidak patut disinggung dalam sejarah. Padahal ke-absahan tuduhan itu tidak pernah dipermasalahkan.
Dari semua tulisan/komentar di atas, terdapat hal-hal yang sangat menarik perhatian yang mendorong saya membuat kesimpulan sbb. Sudah tentu masing-masing orang bisa membuat kesimpulannys sendiri.
8
Pertama, SGT adalah seorang Marxis, dan BUKAN Marxis gadungan. SGT menggunakan Marxisme (analisa kelas) untuk menganalisa masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, SGT berpendapat bahwa struktur masyarakat Indonesia memiliki elemen-elemen feodalisme, kolonialisme dan kapitalisme. Dan rumusan ini PADA HAKEKATNYA, INTINYA, adalah sama dengan rumusan PKI setengah jajahan setengah feudal (elemen-elemen feudal, artinya tidak sepenuhnya feudal --- artinya setengah feudal; elemen-elemen kolonialisme—artinya terjajah, tapi karena sudah punya pemerintahan sendiri, bukan jajahan langsung, makanya jadi setengah jajahan, dan elemen kapitalisme yang melahirkan borjuasi nasional.) Oleh karena itu baik SGT maupun PKI dalam tahap revolusi nasional demokratis sama-sama memperjuangkan ruang bagi kapitalis nasional untuk mendorong perkembangan ekonomi nasional. Siauw percaya pada perlunya perubahan STRUKTUR di Indonesia menjadi masyarakat sosialisme a la Indonesia. Seperti juga Sukarno yang anti Exploitation de l’homme par l’homme, SGT yakin bahwa di dalam masyarakat yang demikian tidak ada lagi system penghisapan manusia oleh manusia, dan timbullah sebuah masyarakat di mana semua suku hidup secara harmonis yang memungkinkan adanya kegairahan berusaha tanpa kekhawatiran akan diskriminasi rasial. ( Dan ini diambil oleh salah seorang penulis dari bukunya SGT sendiri:”Bhineka Tunggal Ika”, Hal 188, 193; Lahirnya Konsepsi Asimilasi, Cetakan ke V, Diterbitkan oleh Yayasan Tunas Bangs, Jakarta, 1977, Hal 73-74). Jelas SGT bukan seorang sosdem, yang menginginkan “sosialisme“ tapi menerima penghisapan manusia oleh manusia. SGT sangat tinggi rasa solidaritas kelasnya. Justru karena SGT menggunakan analisa kelas, maka ia dituduh “menyederhanakan kelompok etnis sebagai persoalan kelas”. Di sini saya membenarkan SGT, karena analisa kelas harus diterapkan dalam menyelesaikan masalah rasisme. Seperti sukubangsa lainnya, komunitas tionghoa juga terbagi dalam kelas-kelas yang berbeda kepentingannya. Pentingnya melakukan analisa kelas ditekankan juga oleh Yusuf Isak. Jadi apa yang diperjuangan SGT adalah sosialisme a la Indonesia tanpa penghisapan manusia atas manusia. Ketika SGT bicara tentang modal domestik dan kapitalis nasional, sama sekali tidak dalam artian ia memperjuangkan kapitalisme sebagai perspektif revolusi Indonesia. Karena jelas bagi SGT, perspektif atau hari depan revolusi Indonesia adalah Sosialisme. Dan Sosialisme TIDAK dapat dicapai TANPA menyelesaikan terlebih dulu tahap revolusi nasional demokratis.
9
Sebenarnya tidak ada pertentangan antara pernyataan SGT yang di satu pihak menginginkan dikembangkannya modal domestik untuk mengembangkan ekonomi nasional dan di lain pihak pernyataannya yang menginginkan sosialisme a la Indonesia dengan menolak penghisapan manusia atas manusia. Celakanya, pernyataan Siauw Tiong Djin di bawah ini: “Dalam hal inil Siauw secara gamblang memperjuangkan dipertahan-kannya system kapitalisme yang menjamin tumbuhnya modal domestik, yang pada umumnya berada dikelola oleh para pengusaha Tionghoa.” ; dan diulangi lagi pada bagian lain: “Program ekonomi Siauw menganjurkan dipertahankannya sistim kapitalisme yang memungkinkan pengembangan modal domestik untuk pembangunan ekonomi nasional. Paham ini jelas bertentangan dengan paham komunisme”, dapat menimbulkan kesan seolah-olah SGT pro kapitalisme dan menentang sosialisme, padahal di bagian lain SGT mendambakan sosialisme a la Indonesia. “Kesan” adanya pertentangan ini saya tanyakan juga kepada Chan, tapi ia tidak menjawab atau menjelaskan. Penjelasan saya adalah, ketika STDjin bicara soal kapitalisme, sama sekali ia tidak memikirkan atau menghubungkannya dengan SIFAT masyarakat dan TAHAP revolusi Indonesia. Yang ia pikirkan adalah pendapat dirinya sendiri tentang kapitalisme dan hasrat besar untuk mempertentangkan SGT dengan PKI guna membersihkan SGT dari tuduhan Komunis. Di sinilah lainnya STDjin dengan SGT. Di mana letak kelainannya? SGT seorang Marxis yang membuat Analisa Kelas untuk menentukan siapa Kawan dan Lawan dalam tahap Revolusi yang sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia. Sedangkan STDjin? Saya serahkan kepada masing-masing orang untuk mengkualifikasi-nya. Jadi, saya menginterpretasi kapitalisme yang dimaksud SGT adalah kapitalisme Negara sebagai transisi menuju sosialisme, bukan sebagai hari depan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, di samping bicara tentang modal domestik, SGT juga bicara dan mendambakan Sosialisme a la Indonesia sebagai perspektif Revolusi Indonesia. SGT memang tidak bilang hitam di atas putih bahwa perspektif Revolusi Indonesia adalah Sosialisme. Tapi mengingat SGT seorang Marxis dan pernyataan serta pandangannya yang dikutip para penulis tentang struktur masyarakat Indonesia, perlunya perubahan struktur, kapital domestik dan Sosialisme a la Indonesia, maka tidak sulit bagi siapapun yang mau pakai akal sehat dan logika untuk sampai pada kesimpulan itu.
10
Kalau kita bicara tentang kapitalisme Negara sebagai tahap pertama Revolusi Indonesia (yaitu tahap nasional dan demokratis), dan kemudian diteruskan ke Sosialisme, secara keseluruhan ide ini sama sekali tidak bertentangan dengan paham komunisme. Karena ini dijalankan juga oleh Lenin dan Mao. Yang bertentangan dengan paham komunisme adalah kapitalisme yang mengabadikan dan mensucikan kepemilikan pribadi atas alat produksi dan penghisapan manusia oleh manusia lain. Mengingat sikap SGT yang sangat memperhatikan revolusi Tkk yang dipimpin Mao dan terjemahan “Red Star Over China”, karya Edgar Snow yang dikerjakannya pada tahun 1938, semakin besar keyakinan saya bahwa SGT memang seorang Marxis, oleh karena itu ia mengerti tahap-tahap dan perspektif revolusi di Tiongkok dan juga di Indonesia. Seandainya SGT memang benar-benar bertentangan dengan PKI dalam soal borjuasi nasional dan sosialisme, maka tidak akan ada alasan bagi Yap Thiam Hien, yang anti komunis, untuk menentang mati-matian SGT dengan mengatakan “bahwa 94% penduduk Indonesia beragama Islam, Kristen, Hindu dan Buddha. Mereka bukan komunis dan menentang Komunisme. ……seandainya apa yang diidam-idamkan Siauw itu adalah sebuah masyarakat sosialis ala komunisme yang bisa direalisasi, itu akan memakan jangka waktu panjang, mungkin 100 tahun bahkan 1000..” Kalau memang betul itu argumentasi Yap Thiam Hien, jelas ia tidak tahu dan tidak mengerti bahwa orang komunis dan PKI tidak pernah menentang agama. Inilah yang sampai sekarang dituduhkan terus menerus kepada PKI. PKI tidak mempersoalkan kepercayaan pribadi anggotanya. Saya tidak pernah menemukan dokumen PKI yang mensyaratkan atheisme untuk menjadi anggota PKI. Soal masyarakat sosialis a la komunisme (sebuah rumusan yang aneh!) akan makan jangka waktu panjang, itu tidak jadi masalah. Orang komunis berjuang bukan hanya untuk generasinya saja. Kalau bisa cepat dicapai, sudah tentu bagus sekali. Karena dengan demikian memperpendek penderitaan massa rakyat pekerja. Tapi mengingat secara kongkrit musuh massa rakyat pekerja dipersenjatai sampai giginya dan kekuatan ekonominya menguasai dunia, maka perjuangan memang bersifat jangka panjang.
11
Penilaian dan interpretasi saya terhadap sikap dan pandangan politik SGT JELAS bertentangan dengan interpretasi yang diberikan STDjin. STDjin menulis dalam subjudul: ” Pengembangan modal domestik – perkawinan sosialisme dan kapitalisme” “Oleh musuh politiknya Siauw selalu dinyatakan sebagai seorang tokoh Komunis. Penelitian yang objektif menunjukkan bahwa tuduhan ini tidak tepat. Siauw mendukung sosialisme ala Indonesia yang dianjurkan Sukarno. Dalam konteks ini ia sering bertentangan dengan para tokoh PKI tentang pengertian modal domestik. Siauw sudah sejak tahun 50-an mencanangkan konsep perkawinan sosialisme dan kapitalisme. Yang dimaksud di sini adalah pembangunan ekonomi sosialis yang bersandar atas pengembangan modal domestik tanpa memperdulikan latar belakang ras pemilik modal. Ia harapkan modal-modal dagang domestik termasuk yang dimiliki pedagang-pedagang Tionghoa dibantu dan didukung pemerintah untuk berkembang demi mempercepat pembangunan negara.” STDjin mengidentikkan “pengembangan modal domestik” dengan “perkawinan sosialisme dan kapitalisme”. STDjin berasumsi bahwa ide perkawinan sosialisme dan kapitalisme adalah ide SGT. Asumsi STDjin ini harus ia buktikan. Di mana dapat ditemukan tulisan SGT yang menguraikan ide tentang “perkawinan sosialisme dan kapitalisme”? Apa yang SGT maksud dengan perkawinan sosialisme dan kapitalisme, kalau memang betul ia ingin “mengawinkan sosialisme dan kapitalisme”? Tanpa menjelaskan “perkawinan sosialisme dan kapitalisme”, STDjin kemudian mengatakan “Siauw mendukung sosialisme a la Indonesia yang dianjurkan Sukarno”. Yang STDjin “lupakan” adalah pertama, Sukarno anti exploitation de l’homme par l’homme. Artinya Sosialisme yang diinginkan Sukarno SAMA SEKALI bukan Sosialisme yang menghalalkan dan menerima Exploitation de l’homme par l”homme. Kedua, yang STDjin “lupakan” juga adalah bahwa Sosialisme yang diinginkan SGT juga sebuah masyarakat dimana tidak ada lagi penghisapan manusia oleh manusia. Zhou Nanjing menemukan pendapat SGT ini dalam SGT:”Bhineka Tunggal Ika”, Hal 188, 193; Lahirnya Konsepsi Asimilasi, Cetakan ke V, Diterbitkan oleh Yayasan Tunas Bangs, Jakarta, 1977, Hal 73-74. Masalah “penghisapan manusia oleh manusia ” dianggap oleh Sukarno dan SGT sebagai soal pokok dalam hubungannya dengan Sosialisme. Maka itu mereka menyebutnya dalam pidatonya (Sukarno) dan tulisannya (SGT). Ini 100% BERTENTANGAN dengan “Sosialisme dengan ciri Tkk” yang didukung S. Suroso, Chan dan tampaknya juga oleh STDjin (kelihatan melalui “perkawinan sosialisme dan kapitalisme”nya).
12
Pernah saya tulis bahwa “penghisapan manusia oleh manusia”, analisa kelas, kontradiksi kelas, perjuangan kelas, imperialisme, nilai lebih, internasionalisme proletar, mode of production adalah masalah yang menjadi tabu bagi kaum revisionis dan mereka selalu menghindari dan menolak untuk mendiskusikannya. Karena mereka tidak menemukan dasar teori revolusioner untuk membenarkan penghisapan, maka satu-satunya jalan adalah mengakui bahwa memang di Tkk ada penghisapan, karena penghisapan DIPERLUKAN untuk membangun “sosialisme”. Bahkan S. Suroso bertanya, apa salahnya penghisapan? Ini sesuai dengan ajaran gurunya, Liu Shaoqi yang melihat “manfaat dari penghisapan”. Versi lainnya adalah “jangan takut dengan merajalelanya kapitalisme”. Dan Deng Xiaoping mengexpresikannya dengan metaphora: ”kucing hitam atau kucing putih, asal tangkap tikus”. Argumentasi lain yang digunakan adalah JAMAN SUDAH BERUBAH maka TEORI JUGA HARUS BERUBAH!! Teori pembangunan sosialis yang dipraktekkan Mao salah! Semua perubahan/revisi ini mereka anggap sebagai kontribusi dan pengembangan Deng kepada Marxisme dan FMTT! Karena mereka MENGUBAH salah satu dasar dari Marxisme (Bukankah salah satu hal pokok yang ditemukan dan dianalisa Marx adalah soal nilai lebih dan dari situ Marx sampai pada apa yang dinamakan penghisapan?) maka saya bilang mereka revisionis. Tapi mereka marah dan menolak dibilang revisionis!! Padahal sudah MEREVISI Marxisme!! Lantas di mana logikanya ini? Saya lah yang dibilang MANDEK, karena saya tidak mau merevisi. Saya lah yang dibilang BUTA, tidak mau melihat “kenyataan”. Padahal kenyataan di dunia menunjukkan semakin hebatnya PENGHISAPAN yang melahirkan segelintir kaum bilyuner yang berkubang dalam “uang dan kemewahan” dan kesenjangan yang semakin besar antara yang miskin dan yang kaya. Mereka menganggap sangat sulit menghapus penghisapan (siapa pernah bilang mudah menghapuskan penghisapan?) maka logika mereka adalah, ikuti saja dulu dan terima saja penghisapan. Biarkan segelintir orang jadi kaya dulu. Padahal dari dulu tidak pernah ada orang yang dapat dengan begitu saja menghalang-halangi kaum konglomerat dan pemodal serta bankir untuk jadi kaya. HANYA perjuangan militant dan ulet dari rakyat sendiri seperti sudah dibuktikan di Soviet Uni dan Tiongkok yang dapat menghentikan dan menghalangi segelintir orang memperkaya dirinya melalui penghisapan dan penindasan.
13
Saya tetap memegang Sosialisme a la Indonesia yang menolak penghisapan yang diajukan Bung Karno. Tapi saya dicap macam-macam. Bukankah ini berarti cap yang mereka tempelkan kepada saya juga berlaku bagi bung Karno dan SGT??? Jadi apa yang diafirmasikan oleh STDjin bahwa “ Dalam konteks ini ia sering bertentangan dengan para tokoh PKI tentang pengertian modal domestik” SAMA SEKALI tidak sesuai dengan kenyataan dan fakta sejarah. Di atas sudah saya tunjukkan bukti-buktinya melalui dokumen PKI. Di tambah lagi, afirmasi STDjin ini sama sekali tidak disertai dokumen atau kesaksian yang mendu-kungnya. STDjin menegaskan lebih jauh lagi “Siauw sudah sejak tahun 50-an mencanangkan konsep perkawinan sosialisme dan kapitalis-me”. Lagi-lagi HANYA ASUMSI tanpa bukti bahwa SGT ingin “mengawinkan sosialisme dan kapitalisme”. Lagi pula, apakah pada tahun 50-an, orang sudah bicara tentang “perkawinan sosialisme dan kapitalisme”? Bukankah istilah “mengawinkan sosialisme dan kapitalisme” timbul setelah klik revisionis Deng Xiaoping merebut kekuasaan dan mengubah haluan pembangunan Tkk? Di Tiongkok pun, kalau memang betul tercipta “perkawinan sosialisme dan kapitalisme”, sudah berpuluh kali saya tanya dan minta kepada S. Suroso dan Chan sebagai penganut revisionism Deng, untuk menunjukkan elemen atau unsur sosialisme yang masih dipertahankan. Sampai detik ini tidak pernah mereka tunjukkan. Kalau memang benar sosialisme dapat dikawinkan dengan kapitalisme, mengapa di Tkk harus dibongkar dulu komune rakyat, harus dihapus dulu hak mogok buruh, hak pekerja tetap seumur hidup, sistim kerja 8 jam, pendidikan dan pelayanan gratis, jaminan social ekonomi lainnya bagi buruh dan hak-hak demokratis kaum buruh lainnya?? Baru setelah semua itu lenyap Deng Xiaoping membangun dengan lebih mudah kapitalisme. Kalau mau diskusi dengan jujur untuk mencerahkan dan mengklarifikasi masalahnya, maka semua pertanyaan harusnya dijawab. Bukannya dihindari, dilewatkan dan dilupakan begitu saja. Kemudian muncul lagi dengan ide, asumsi atau kesimpulan yang SAMA yang sebenarnya sudah terbantah dengan argumentasi dan fakta yang tak pernah dijawab. Berdasarkan pada uraian di atas, saya khawatir STDjin, dengan sadar atau tidak, telah memelesetkan dan memelintirkan sikap dan ide SGT untuk mengajukan dan membela ideology, pandagan dan sikap politik pribadinya sendiri yang pro-kapitalisme, anti-PKI dan anti-sosialis. __._,_.___
14