Fakta Sejarah Perjuangan Siauw Giok Tjhan Tidak Bisa Dihapus! Chan Chung Tak Eddie Lembong, mantan ketua INTI dengan tegas mengatakan, “Fakta Sejarah Perjuangan Siauw Giok Tjhan, tidak bisa dihapus dari sejarah untuk selamanya!” Siauw Giok Tjhan adalah seorang tokoh Tionghoa terbesar dalam sejarah Indonesia. Demikian tandas Eddie Lembong dipenutup Diskusi Terbuka “100 Tahun Siauw Giok Tjhan, Pejuang Yang Dihapus Dari Sejarah” yang diselenggarakan oleh Gema-Inti, tgl. 29 Maret di Aula Sekretariat INTI Jakarta. Sejarah ditulis oleh pemenang! Tidak aneh kalau ada tokoh-tokoh yang dihapus dari sejarah, itu bagi yang kalah. Tidak hanya nama Siauw Giok Tjhan dihilangkan dalam buku sejarah, anggota BPUPKI, yang seharusnya ada 4 Tionghoa, Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Houw dan Tan Eng Hoa, juga dihilangkan sejak masa ORBA sampai sekarang, sampai hari ini belum ada pembetulan resmi dari pemerintah. Dan, ... seandainya hendak mengusung Siauw Giok Tjhan menjadi Pahlawan Nasional, bisa gunakan cara bagaimana NABIL mengajukan John Lee menjadi pahlawan Nasional. Jelas Eddie Lembong lebih lanjut. Diskusi dibuka oleh MC muda, Robby Dharmawan asal dari Surabaya, dengan lebih dahulu mempersilahkan para hadirin untuk berdiri menyanyikan Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” lalu mempersilahkan ketua Gema-Inti, Hardy Stefanus memberikan kata sambutan pembukaan Diskusi. Bonnie Triyana sebagai pembicara pertama menegaskan Pemikiran Siauw dengan konsep “Integrasi wajar” yang sekarang ini lebih dikenal dengan konsep multikulturalisme lebih masuk akal ketimbang lawan konsep “asimilasi” yang dijalankan masa Soeharto berkuasa selama lebih 32 tahun. Dan kenyataan membuat kelompok Tionghoa harus hidup tertekan, harus menghilangkan identitas ke-Tionghoa-annya, terpaksa mengganti nama bahkan dilarang merayakan Tahun Baru Imlek secara terbuka. Sabam Sirait, sepuh PDI-P yang juga hadir dalam Diskusi, tidak hendak melewatkan kesempatan untuk berbicara. Beliau menyatakan, ditahuan-tahun 60an dalam gerakan mahasiswa mengenal beberapa tokoh Tionghoa dari PERHIMI dan juga
1
sudah mengenal nama Siauw Giok Tjhan. Sekalipun belum pernah diskusi dengan pak Siauw, tapi beliau tanpa ragu menegaskan konsep Siauw Giok Tjhan itulah yang benar, kenapa orang diharuskan ganti nama, dimana salah nama-nama Tionghoa itu? Kalau saya tidak mau sekalipun disuruh ganti nama menjadi Sabamo Sirainto, misalnya. Ditembak mati juga akan tetap saya pertahankan nama Sabam Sirait, nama Batak saya! Namun, ... sampai sekarang tentunya masih ada orang-orang pendukung konsep “asimilasi”, Harry Tjan Silalahi, 80 tahun, sekalipun diakhir katanya mengakui: “Siauw adalah pemimpin yang baik dan ikhlas berjuang supaya orang keturunan Tionghoa yang telah memilih ikut Indonesia terlindungi haknya.” Tapi nampak masih menyalahkan Tionghoa diperlakukan sebagai suku-Tionghoa: “menyebutkan tuntutan Baperki agar masyarakat Tionghoa tetap menjadi suku merupakan kemunduran. ”Itu berarti mereka masih ingin menjadi minoritas,” ucap Harry di kantornya di Centre for Strategic and International Studies, Jakarta Pusat. Konflik antara pro-integrasi dan pro-asimilasi terus berlanjut. ( lihat majalah TEMPO 6 April 2014, halaman 57). Sedang Presiden Sukarno yang menghadiri pembukaan Kongres Ke-8 Baperki di Istora Senayan pada 14 Maret 1963, telah menyetujui komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai suku Tionghoa, tidak bedanya dengan suku-suku lain dalam tubuh Bangsa Indonesia. Dalam sambutannya, Sukarno mengatakan: “Saya tidak akan barkata, suku itu adalah minoritas, ... suku Dajak adalah minoritas, suku Irian Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera Selatan itu -suku Kubu- adalah minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas, tidak! .... Saya kata Sama Paman Ho, di Indonesia itu paling-paling ada suku-suku. Suku itu apa artinya? Suku itu artinya sikil, kaki. Ja, suku artinya kaki. Jadi bangsa Indoaesia itu banyak kakinya, seperti luwing, Saudara-Saudara. Ada kaki Jawa, kaki Sumatera, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa, kaki Peranakan. Kaki dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia.!” Demikian tegas bung Karno ditahun 1963, lebih 61 tahun yang lalu. Asvi Warman Adam mengkisahkan bagaimana Komitmen Siauw yang begitu teguh Menjadi Indonesia, tidak patah saat dirinya ditangkap oleh Pemerintah yang justru dia ikut berjuang menegakkan. Razia Agustus Sukiman tahun 1951, dalam penangkapan 2 bulan atas diri pak Siauw ketika itu, beliau sakit mata dan dirawat di RS Yang Sheng Yi, RS Husada sekarang. Dan sakit matanya itu harus menjalani
2
operasi mata yang dilakukan oleh dr. Sie Boen Lian. Jadi Pak Siauw ketika itu memang betul-betul sakit, tidak seperti kebiasaan setelah zaman Soeharto sampai sekarang, orang kalau ditahan dalam pemeriksaan jadi sakit. Dan setelah ditahan 2 bulan pak Siauw dari rumah sakit tidak kembali ke penjara, karena diubah statusnya menjadi tahanan rumah. Nah, dalam status masih tahanan rumah, pak Siauw disatu hari menghadiri Sidang DPR untuk ikut mendengar laporan PM Sukiman. Kebetulan didepan pintu DPR, pak Siauw bertemu dengan PM Sukiman, sambil bersalaman, PM Sukiman menanyakan bagaimana operasi mata pak Siauw. Pak Siauw memberikan penjelasan seperlunya, melanjutkan bahwa malam itu karena ingin mendengar laporan PM, jadi melanggar ketentuan dimana dirinya masih dalam status Tahanan-rumah. Karena pak Jaksa Agung juga berada disitu, PM Sukiman kemudian juga menegaskan, bahwa kehadiran pak Siauw di Sidang DPR malam itu atas ijin-nya. Baru esok paginya, pak Siauw kedatangan kurir yang menyampaikan surat keputusan Jaksa, perubahan status tahanan-rumah menjadi tahanan kota, berlaku surut dari kemarin. Kemudian masalah kedua, peristiwa Gerakan 30 September, dimana pak Siauw namanya dicantumkan dalam 45 anggota Dewan Revolusi. Sebagaimana kita ketahui, akhirnya pak Siauw harus meringkuk dalam tahanan selama 12 tahun, sedang BAPERKI termasuk organisasi yang dibubarkan dan Universitas BAPERKI yang kemudian menjadi Universistas Res Publica juga sempat dirusak dan dibakar, … Pak Siauw selama dalam penjara menjadi ilmuwan sosial, mewawancarai berbagai tahanan dan melakukan analisa sekitar peristiwa G30S. Catatan-catatan, tulisan kumpulan cerita yang didapatkan pak Siauw dalam penjara Salemba, RTM dan Nirbaya dari wawancara para tahanan disitu, ternyata menjadi bahan dasar dari tulisan John Roosa dalam bukunya “Pembunuhan Massal G30S”. Karena catatan-catatan dan cerita-cerita dari percakapan para tahanan yang diwawancarai itu merupakan bahan yang lengkap dan meyakinkan, mengungkap banyak hal, termasuk Biro Khusus siapa saja yang berperan disitu. Dan menurut saya, buku John Roosa “Pembunuhan Massal G30S” ini merupakan buku versi terakhir masalah G30S yang paling sahih dan ternyata buku ini dilandasi oleh catatan yang ditulis oleh pak Siauw Giok Tjhan dari cerita-cerita hasil wawancara selama ditahanan. Asvi diakhir pembicaraan dengan tandas mengusul, karena situasi politik Indonesia sekarang masih belum memungkinkan mengajukan Siauw Giok Tjhan sebagai Pahlawan Nasional, sebagaimana beberapa tahun yl. diajukan dalam tulisan pak
3
Ibrahim Isa, bagaimana kalau lebih dahulu dan mungkin ini lebih mudah dilaksanakan, diajukan Siauw Giok Tjhan menjadi nama satu Jalan di Jakarta atau Surabaya kota kelahirannya. Usul disambut hangat oleh para hadirin dan juga oleh pembicara berikut Stanley Adi Prasetyia. Siauw Tiong Djin dalam sambutannya menyatakan, Siauw Giok Tjhan tergolong orang yang perlu dihapus dari sejarah Indonesia, hanya karena Pemerintah Soeharto menuduh Siauw komunis. Tergolong komunis yang harus dibasmi. Padahal selama dipenjara 12 tahun itu, sekalipun melalui interogasi berulangkali dan penyiksaan kader-kader PKI, tetap TIDAK berhasil membuktikan Siauw adalah anggota PKI. Ada juga orang yang mengatakan BAPERKI sejalan dengan PKI, karena Baperki menyetujui terlaksananya persatuan nasional "NASAKOM". Yang patut diajukan adalah: "Konsep kerjasama NASAKOM bukanlah diajukan oleh PKI, melainkan dikemukakan oleh presiden Soekarno dalam suatu sidang DPA. ……. Jika kita mengambil sikap menentang atau tidak acuh terhadap konsep NASAKOM, justru akan menempatkan diri kita sendiri berada dalam kedudukan terpencil dan patut dikutuk sebagai golongan yang bersikap "sektaris."…. Menghadapi situasi semacam ini, sebagai suatu organisasi massa yang tidak terlalu besar, bila BAPERKI berusaha merintangi pelaksanaan konsep NASAKOM, pasti akan digilas babak belur oleh partai-partai politik besar, sehingga tak punya tempat berdiri lagi. BAPERKI menganjurkan integrasi berarti harus mendukung "NASAKOM", harus ada kesesuaian kata-kata dengan tindakan, tidak boleh plintat-plintut. " (Lihat : "Bhineka Tunggal Ika", edisi bahasa Tionghoa hal. 173 dan hal.159-161) "Ada yang bahkan mengatakan: Politik bersatu dengan rakyat yang diajukan oleh BAPERKI adalah politik PKI. ……… Kalau ada orang mengatakan bahwa Soekarno juga telah melaksanakan politik PKI, itu berarti terlalu membesarkan peranan PKI. Dulu, penjajah Belanda juga terlalu melebih-lebihkan kegiatan PKI, mereka menganggap bahwa perjuangan kemerdekaan nasional juga sebagai kegiatan PKI, sedangkan kenyataannya gerakan kemerdekaan nasional bukanlah monopoli orang-orang komunis." Demikian sanggah Siauw. Siauw selanjutnya menunjukkan pengalaman sejarah bahwa Jalan paling selamat bagi Tionghoa bukan bersandar pada penguasa pemerintah, melainkan bersandar dan menjadi satu dengan rakyat banyak. Rakyatlah yang akan berfungsi sebagai pelindung ampuh. Siauw secara tegas menyatakan: "Selanjutnya juga telah cukup
4
jelas, bahwa menggantungkan nasib golongan peranakan Tionghoa sebagai keseluruhan pada tetap berkuasanya orang atau orang-orang tertentu, tidak bisa tidak bersifat sementara saja. Orang bisa mati, atau segolongan orang bisa diganti karena prubahan perkembangan. Tetapi berhasil menyatukan diri dengan rakyat dalam rangka pelaksanaan proses integrasi wajar dengan rakyat sebagai pewujudan BHINEKA TUNGGAL IKA, merupakan jalan selamat lebih kekal." (Lihat Siauw Giok Tjhan: "Lima Jaman", edisi bahasa Indonesia, halaman 429) Siauw Tiong Djin dengan tandas menyatakan, sudah tiba saatnya harus mengakhiri komunis phobia, jangan sedikit-dikit dan apa saja dikaitkan dengan paham komunis. Harus berani melihat kenyataan konsep pemikiran yang diajukan Siauw sesuai dan bermanfaat bagi perkembangan masyarakat ketika itu, bahkan tidak sedikit tetap relevan dijaman sekarang. Siauw Tiong Djin lebih lanjut menandaskan warisan yang ditinggalkan Siauw Giok Tjhan dalam sejarah Indonesia: 1. Kewarganegaraan Indonesia: Menjadikan semua peranakan, termasuk Tionghoa orang Indonesia. Bersama tokoh-tokoh PTI dan Partai Sosialis, di KNIP berhasil memenangkan UU No.3/1946 yang menetapkan seseorang yang lahir di Indonesia sebagai warganegara Indonesia secara otomatis. 2. Konsep Integerasi: Dasar perjuangan Siauw adalah pembangunan Nasion Indonesia yang bersandar atas Bhinneka Tunggal Ika. Siauw berargumentasi bahwa Nasion Indonesia bukan Indonesian Race. Nasion Indonesia adalah sebuah nasion yang lahir karena terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu Istilah Indonesia “asli” tidak memiliki dasar hukum. Konsep integrasi yang dicanangkan Baperki ternyata diterapkan oleh banyak negeri maju di zaman modern dan lebih dikenal sebagai paham multikulturalisme. Di Australia dan Canada, pelaksanaan multikulturalisme di undang-undangkan. Siauw mendorong pemerintah dan masyarakat menerima keberadaan suku Tionghoa. Sukarno dengan tegas mendukung konsep ini dalam kata sambutannya di pembukaan kongres Baperki tahun 1963. 3. Pengembangan Modal Domestik: Siauw lebih mendukung sosialisme ala Indonesia yang dianjurkan Sukarno, pembangunan ekonomi sosialis yang bersandar diatas dasar pengembangan modal domestik tanpa mempedulikan latar belakang ras pemilik modal. Ia harapkan modal-modal dagang domestik termasuk yang dimiliki pedagang-pedagang Tionghoa dibantu dan
5
didukung pemerintah agar terus tumbuh berkembang lebih baik dalam usaha mempercepat pembangunan negara. 4. Pendidikan untuk menjadi Indonesia: Siauw melalui BAPERKI dan URECA mendorong komunitas Tionghoa dan para mahasiswa-nya untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya, menjadi INDONESIA yang baik. Dengan ketegasan prinsip menjadi patriot Indonesia tidak perlu menanggalkan ciri etnis Tionghoa, boleh saja tetap mempertahankan budaya dan adat-istiadat Tionghoa. Jadi, komunitas Tionghoa dihimbau aktif meng-integrasikan dirinya ditengah-tengah rakyat, melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan masyarakat. Para siswa dan mahasiswa Baperki dianjurkan untuk belajar berorganisasi, mengikuti organisasi pelajar dan mahasiswa yang ada. Belajar memproduksi kebutuhan praktis masyarakat, bahkan melibatkan para mahasiswa dalam pembangunan gedung kuliah, bengkel dan tanur baja kampus Ureca. Dengan demikian Komunitas Tionghoa berserta para cendekiawannya diajak untuk bergotong royong mengembangkan universitas swasta yang terbesar dan berkualitas tinggi di Indonesia ketika itu. Siauw Tiong Djin diakhir kata sambutannya menyatakan: Seandainya Siauw masih ada di sekitar kita, ia berhak merasa gembira. Gembira karena apa yang diperjuangkan bersama rekan-rekannya sudah terwujud menjadi kenyataan. UU Kewarganegaraan yang baru seirama dengan apa yang ditahun 50-an menjadi tuntutan Baperki. Sebagian besar komunitas Tionghoa menjadi Indonesia, Rasisme sudah resmi dinyatakan sebagai sikap yang melanggar hukum. Kebudayaan dan tradisi Tionghoa kembali diperbolehkan, bahkan tahun baru Imlek menjadi libur nasional dan dirayakan secara besar-besaran dengan mengikutsertakan semua suku Indonesia, sesuatu yang pernah menjadi harapan dan impian dimasa hidupnya. Bahasa Mandarin-pun tampak mulai diterima sebagai bahasa perdagangan penting. Republik Rakyat Tiongkok kembali memperoleh penghargaan tinggi, dengan keunggulan kekuatan ekonomi didunia. Bagi yang hendak mengikuti acara diskusi terbuka “100 Tahun Siauw Giok Tjhan, Pejuang Yang Dihapus Dari Sejarah” yang diselenggarakan oleh Gema-Inti, tgl. 29 Maret di Aula Sekretariat INTI Jakarta ini, bisa klik link dibawah ini: https://www.youtube.com/watch?v=Lhy9vYQPcaw
6