Siauw Giok Tjhan, Sahabat-ku Go Gien Tjwan1 Pada tanggal 4 November 1965, lebih dari sebulan setelah Gerakan 30 September yang melakukan “kudeta” pada tanggal 1 Oktober 1965, Siauw Giok Tjhan diambil oleh sekelompok tentara bersenjata dari rumahnya dengan dalih “diamankan”. Istilah “diamankan” yang digunakan pihak militer pada waktu itu mungkin merupakan terjemahan dari Schutzhaft Nehmenyang digunakan oleh Nazi ketika mereka menduduki negaranegara Eropa. Pada waktu penangkapan itu dilakukan, Suiauw atau keluarganya tidak ditunjukkan surat penahanan resmi dari pihak yang berwenang, sebuah hal yang lazim berlaku di negara hukum. Setelah berada di berbagai tahanan sebagai tahanan politik yang tidak pernah diadili, pada tanggal 15 September 1975, Siauw diizinkan pulang ke rumahnya sebagai seorang tahanan rumah. Perubahan status ini terjadi bukan karena keputusan seorang hakim, akan tetapi karena jerih payah isteri Siauw yang terus menerus memohon pihak berkuasa untuk membebaskan Siauw, karena kemunduran kesehatan Siauw selama di penjara. Pada tanggal 1 Mei 1978 Siauw Giok Tjhan “dikembalikan ke masyarakat”, berarti penahanan rumah-nya dihentikan dan ia tidak lagi harus melapor ke kekuasaan militer setiap minggu. Tetapi ternyata ia tidak bebas penuh, karena di kartu penduduknya ada tanda ET (eks Tapol), sebagai tanda bahwa ia adalah seorang musuh masyarakat yang tindak tanduknya harus tetap diawasi oleh penguasa. Karena kesehatannya yang kian mundur, pada tanggal 18 September 1978, ia pergi ke negeri Belanda untuk perawatan kesehatan dan pada tanggal 20 November 1981, di usia 68 tahun, ia meninggal karena serangan jantung. Atas permintaan saya, Siauw menulis sebuah memoar yang ia beri judul Suatu Renungan. Ini diselesaikan antara bulan Oktober dan Desember 1975. Ini adalah sebuah kombinasi refleksi dan sekaligus pengamatan seorang yang terlibat dalam sejarah politik Indonesia. Saya mendorongnya untuk lebih menceritakan pengalaman pribadi-nya ketimbang analisis politik. Permintaan ini melahirkan naskah kedua yang ia namakan Lima Jaman yang diterbitkan pada tahun 1981 di Belanda. Ke Lima Jaman yang dimaksud adalah zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, zaman revolusi kemerdekaan, zaman kemerdekaan, termasuk masa demokrasi terpimpin dan zaman Orde Baru. Pada tahun 1978,
1
Go Gien Tjwan turut mendirikan Baperki dan menjadi Sekretaris Jendral-nya. Perannya dalam sejarah Indonesia besar, sebagai salah satu tokoh Baperki dan seorang akademisi yang kerap membahas masalah Tionghoa di Indonesia.
memperlengkap berbagai hal yang membuat penuturannya tentang zaman Orde Baru lebih up-to-date. Ternyata Siauw Giok Tjhan adalah seorang yang tidak bisa menggambarkan jasa dan kebesaran dirinya sendiri dalam sejarah Indonesia. Kedua naskah yang disebut di atas, hampir tidak menyinggung berbagai kegiatan dan keberhasilan politik seorang Siauw Giok Tjhan. Oleh karena itu, saya anggap perlu memberi sebuah ilustrasi yang lebih jelas tentang perjalanan politik Siauw Giok Tjhan. Untuk mengerti sosok Siauw Giok Tjhan dan perannya dalam sejarah Indonesia, kita harus menengok ke posisi komunitas Tionghoa di Indonesia. Siauw adalah seorang anggota komunitas Tionghoa ini. Kehadiran Tionghoa dalam jumlah yang besar di berbagai kepulauan besar Indonesia sudah dimulai sejak era Kristen. Mereka pada umumnya adalah para pedagang yang membawa barang-barang buatan Tiongkok dan negara-negara lain ke Indonesia dan membawa barang-barang atau hasil bumi para kerajaan yang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia. Mereka sudah melakukan kegiatan perdagangan internasional. Banyak dari mereka din pulau Jawa bekerja sebagai tukang di berbagai bidang, termasuk kayu dan pembuatan lemari. Dan banyak di antara mereka yang sudah berasimilasi dengan penduduk Jawa. Kedatangan Belanda di Indonesia mengubah perkembangan di atas. Secara berangsur posisi Tionghoa sebagai pedagang internasional diambil alih oleh Belanda, apalagi setelah VOC didirikan pada tahun 1602. Tionghoa terdesak untuk tidak lagi menjadi importir dan eksportir, dan menjadi perantara antara para pengusaha besar dan para pengusaha kecil dan para petani. Selama zaman penjajahan bidang intermediate trade ini dikuasai oleh Tionghoa. Di zaman berkembangnya VOC di abad ke 17 dan 18, penduduk di Hindia Belanda, nama Indonesia ketika itu, dibagi atas perbedaan keturunan ras yang berkaitan dengan peran ekonomi-nya. Pada abad ke 19, pembagian penduduk atas dasar ras ini diundangkan secara resmi sebagai: golongan pribumi, golongan Asing Asia dan golongan Eropa. Tentunya perkembangan ini tidak membantu pembentukan nasion Indonesia, terutama karena Belanda sengaja mencegah terbentuknya kesatuan golongan Tionghoa dan golongan pribumi. Di masa ini berkembang pula sebuah golongan hybrid – antara Tionghoa dan pribumi yang dinamakan peranakan. Peranakan adalah produk kawin campuran antara para pendatang Tionghoa pria (totok) yang menikah dengan penduduk wanita lokal. Keturunan mereka kemudian menikah antara sama lain dan berkembang sebagai sebuah komunitas besar. Dan komunitas ini bersama para totok dan orang-orang Asia asing lainnya, India dan Arab mengisi lapisan tengah di dalam struktur masyarakat kolonial. Lapisan atas diisi oleh komunitas Eropa dan terbawah diisi oleh komunitas pribumi.
Di awal abad ke 20, terutama di pulau Jawa, komunitas peranakan telah berkembang sebagai komunitas yang memiliki nilai sosial, ekonomi, kebudayaan dan agama yang berbeda dengan komunitas-komunitas lain, termasuk komunitas Tionghoa totok. Sebagian besar Tionghoa di pulau Jawa adalah peranakan. Di luar pulau Jawa, terutama Sumatra dan Kalimantan, situasi-nya berbeda. Sebagian besar Tionghoa di sana berhasil mempertahankan ke Tionghoa-annya walaupun sudah ber-generasi hidup di Indonesia. Walaupun demikian, komunitas peranakan oleh Belanda diperlakukan secara hukum sebagai golongan Asing Tionghoa. Oleh karenanya, didiskriminasi oleh berbagai kebijakan Belanda. Bangkitlah gerakan melawan diskriminasi di pulau Jawa. Gerakan ini dipengaruhi ajaran Kong Hu Cu dan mereka percaya bahwa ajaran Kong Hu Cu akan menjadi alat ampuh gerakan melawan diskriminasi Belanda. Timbullah tekad mendirikan sebuah organisasi modern yang terdiri dari para peranakan dan totok. Pada tahun 1900 Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) lahir di Jakarta dan tidak lama kemudian cabang-cabangnya lahir di berbagai kota besar dan kecil di Jawa dan di luar Jawa. Tidak lama setelah itu, beberapa organisasi Tionghoa lainnya didirikan di antaranya Tiong Hoa Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) dan Soo Po Sia (Klub Pembaca) dengan tujuan menyebar luaskan nasionalisme Tiongkok. THHK terbentuk bukan karena gerakan nasionalisme Tiongkok yang bertujuan menghancurkan kerajaan Manchuria. Juga bukan karena gerakan reformasi politik yang dipimpin oleh Kang Yu Wei. Kang Yu Wei datang ke Indonesia pada tahun 1904, empat tahun setelah THHK berdiri. Kedatangan Kang di Indonesia menimbulkan persepsi salah bahwa pendirian THHK adalah akibat gerakan politik yang berkembang di Tiongkok. Walaupun terjalin hubungan antara Tionghoa di Indonesia dengan Tiongkok dan berbagai perkembangan di Tiongkok mempengaruhi Tionghoa di Indonesia, tetapi pendirian THHK disebabkan perkembangan di Indonesia. Perkembangan yang berkaitan dengan dinamika dunia peranakan di Indonesia, dengan bantuan komunitas totok. Tujuan utama pendirian THHK adalah menjadikan ajaran Kong Hu Cu sebuah kekuatan untuk semua Tionghoa di Hindia Belanda yang memungkinkan mencapai reformasi hukum dan sosial yang menguntungkan komunitas Tionghoa. Salah satu langkah pertama adalah mengajar bahasa Tionghoa untuk semua anak-anak Tionghoa. Sebagian besar peranakan tidak bisa berbahasa Tionghoa. Dengan demikian anak-anak Tionghoa bisa dengan baik mempelajari ajaran Kong Hu Cu. Inilah yang menyebabkan THHK mendirikan sekolah-sekolah dan berubah menjadi sebuah organisasi yang mengelola sekolah. Model pendidikan yang diambil adalah pendidikan modern Barat dan Jepang. Bahasa Tionghoa yang dipakai adalah Mandarin.
Kesadaran untuk menemukan identitas peranakan melalui pemahaman kebudayaan leluhur menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi. Se-olah-olah gerakan ini dipengaruhi oleh gerakan nasionalisme Tiongkok yang disebar luaskan para pejuang revolusi Tiongkok. Padahal gerakan ini tidak didasari kesadaran politik walaupun perkembangannya secara tidak langsung memiliki implikasi politik. Pada tahun 1917 sekitar 700 tokoh peranakan dari berbagai pelosok Jawa mengadakan sebuah kongres di Semarang. Tema utama adalah perwakilan Tionghoa dalam Volksraad mengingat secara hukum Tionghoa di Hindia Belanda adalah Kaula Belanda. Akan tetapi sebagian besar hadirin menolak usul untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum mencapai perwakilan di Volksraad karena mereka menganggap dirinya warga negara Tiongkok, jadi menolak Undang-Undang Belanda 1910 yang menjadikan mereka Kaula Belanda. Argumentasi mereka: ”sebagai orang-orang asing, tidak harus masuk Volksraad yang juga tidak beranggotakan orang-orang Inggris, Jerman maupun Jepang”. Memang tidak adanya keinginan untuk terlibat dalam kegiatan politik adalah hal yang wajar untuk komunitas Tionghoa di Hindia Belanda. Akan tetapi ini bukan alasan utama mengapa sebagian besar tokoh peranakan di kongres itu menolak untuk masuk Volksraad. Keputusan semacam itu biasanya dibuat oleh para tokoh masyarakat yang terlibat sebagai pimpinan organisasi-organisasi seperti perkumpulan kematian dan THHK. Salah satu pengaruh kuat untuk tidak terlibat dalam Volksraad datang dari harian Sin Po yang diterbitkan di Jakarta. Harian ini mendorong komunitas Tionghoa untuk berpaling ke Tiongkok dan menyebarluaskan pengertian bahwa Tiongkok yang kuat akan selalu melindungi Tionghoa di Hindia Belanda. Kegiatan peranakan di Jawa ternyata membuahkan beberapa hal yang positif terhadap kebijakan diskriminasi. Secara berangsur, keharusan membawa kartu penduduk dan penangkapan semaunya dihentikan. Keluhan Tionghoa yang tidak bisa mengirim anak-anaknya ke sekolah pemerintah menyebabkan Belanda mendirikan sekolah Tionghoa Belanda – HCS. Keinginan untuk berpolitik mulai menonjol setelah tahun 1920-an, setelah masyarakat melihat bahwa kegiatan-kegiatan di tahun-tahun sebelumnya membuahkan perkembangan yang positif. Peranakan ternyata cukup puas dengan adanya Undang-Undang Belanda tentang dwi kewarganegaraan. Ini berarti selama mereka tinggal di Hindia Belanda meraka menjadu Kaula belanda. Kalau meninggalkan wilayah [penjajahan, mereka menjadi warga negara Tiongkok. Setelah penindasan keras terhadap pemberontakan komunis pada tahun 1926/1927 dan dibuangnya Sukarno dan Hatta ke pulau-pulau terpencil di luar Jawa pada tahun 1930-an, para tokoh peranakan merasa sebaiknya tetap tidak terlibat dalam kegiatan politik. Apalagi melihat
peranakan yang terlibat dalam pemberontakan komunis dibuang ke Boven Digul di Irian Barat, bersama para komunis lainnya. Akan tetapi di lain pihak, para tokoh peranakan ini melihat bahwa diskriminasi terhadap Tionghoa masih ada. Orang Tionghoa tidak diizinkan masuk ke Perkumpulan Belanda, tidak boleh masuk ke kolam-kolam renang tertentu. Walaupun kaula Belanda, orang Tionghoa tidak bisa menjadi pegawai negeri di kementerian dalam negeri. Mereka tidak boleh memilki tanah yang bisa diolah untuk pertanian, kecuali di Tanggerang. Bilamana berhadapan dengan kasus hukum, mereka hanya bisa masuk ke pengadilan yang menangani kasuskasus pribumi. Walaupun demikian, secara keseluruhan, posisi Tionghoa di Hindia Belanda cukup baik. Masih ada pula harapan bahwa Tiongkok yang kuat akan bisa membantu posisi mereka. Status kaula Belanda juga memungkinkan peranakan untuk menjadi pedagang, juru tulis, pegawai di berbagai institusi dan dokter atau sarjana hukum. Syarat untuk bisa menikmati kehidupan tenang, menurut mereka adalah tidak terlibat dalam kegiatan politik. Terlibat dalam kegiatan politik, dianggap berbahaya, atau hong-hiam. Terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, sebaliknya, merupakan kegiatan terpuji. Cukup banyak peranakan yang terlibat dalam pengembangan organisasi-organisasi sosial peranakan. Kaitan dengan gerakan di Tiongkok terasa masih ada, walaupun lemah. Hubungan kebudayaan dengan Tiongkok tetap dipertahankan. Akan tetapi komitmen untuk mempertahankan kebudayaan Tiongkok termasuk penggunaan bahasa Tionghoa tidak besar. Dalam hal dukungan terhadap Tiongkok, pada umumnya peranakan hanya menunjukkan sikap basa-basi, walaupun kalau ada bencana alam dan ketika Tiongkok diserang Jepang, mereka siap menyumbang. Di lain pihak, peranakan juga tidak merasa merupakan bagian penduduk Indonesia yang mulai menuntut kemerdekaan, seperti yang dinyatakan dalam pemberontakan komunis pada tahun 1926/1927 dan kegiatan nasionalisme pada tahun 1930-an. Tentunya ada pengecualian, yaitu kehadiran sejumlah kecil peranakan yang sudah memiliki kesadaran politik. Mereka sadar bahwa tidak bijaksana ber-orientasi ke Tiongkok bilamana mereka dan keturunannya ingin menetap di Indonesia. Akan tetapi mereka tetap berjumlah kecil dan tidak memperoleh dukungan luas. Pada tahun 1927, sebuah organisasi peranakan yang dinamakan Chung Hua Hui (CHH) didirikan. Nama organisasi ini dalam Mandarin, yang memiliki arti sama dengan Tiong Hoa Hwee Kwan (Perkumpulan Rumah Tionghoa nama dalam bahasa Hokian. Rencana mereka setiap perkumpulan Tionghoa akan memiliki gedung sendiri). Hanya perkataan Kwan, atau gedung/rumah ditiadakan. Orientasi CHH adalah Belanda dan bahasa yang digunakan dalam rapat-rapatnya adalah bahasa Belanda. Hanya ratusan peranakan yang kaya raya bergabung dalam CHH.
Pada tahun 1932, sebuah organisasi politik peranakan lain dibentuk, Partai Tionghoa Indonesia. Lagi-lagi, dukungan masa untuk partai ini tidak besar. Akan tetapi PTI berorientasi ke Indonesia, menentang kolonialisme dan mendukung gerakan mencapai Indonesia merdeka, di mana peranakan akan menjadi warga negara Indonesia dengan hak yang sama dengan pribumi. Menjelang masuknya Jepang ke Indonesia pada tahun 1942, PTI bersama para pejuang kemerdekaan nasionalis menuntut Indonesia merdeka sekarang. Siauw Giok Tjhan yang lahir pada tahun 1914 di Surabaya, mengikuti perjuangan ini sebagai anggota PTI. Simpatinya terhadap gerakan kemerdekaan bisa dilihat dari tulisan-tulisannya sebagai seorang wartawan di harian Mata Hari yang diterbitkan di Semarang pada tahun 1930-an juga mendukung gerakan Indonesia Merdeka Sekarang. Jadi jelas bahwa sudah sejak zaman kolonial, bertentangan dengan sikap mayoritas peranakan, Siauw sudah terjun dalam kegiatan politik. Bahkan, ia sudah bersikap anti kolonial dan berkeyakinan bahwa masa depan peranakan berada di Indonesia yang merdeka, bukan Tiongkok. Tentunya sikap Siauw muda ini dianggap oleh masyarakat peranakan tidak ceng-lie (masuk di akal) dan sikap anti kolonial-nya sangat hong-hiam. Setelah Jepang masuk pada tahun 1942, Siauw Giok Tjhan pindah ke Malang di Jawa Timur. Di sana ia berusaha untuk tidak membangkitkan perhatian, karena sebagai wartawan Mata Hari ia menulis banyak artikel anti Jepang, terutama setelah Jepang menyerang Tiongkok pada tahun 1937. Zaman pendudukan Jepang dipergunakan oleh Siauw untuk merenungkan dan mempersiapkan perjuangan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan Indonesia. Ia menganggap dirinya bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah. Dua hari kemudian Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tibalah kesempatan untuk Siauw berperan dalam memimpin komunitas Tionghoa di masa yang penuh gejolak di masa revolusi dan sesudahnya. Karena sikap a-politis dari sebagian besar komunitas Tionghoa di zaman kolonial, tidak banyak kader politik yang siap tampil ke depan. Siauw yang terlatih dalam kegiatan politik sejak zaman PTI, mulai berkembang sebagai seorang pemimpin yang paling trampil dari komunitas peranakan. Pada waktu itu sebagian besar Tionghoa menginginkan dipulihkannya kembali kekuasaan penjajahan Belanda. Dengan tegas Siauw menekankan bahwa masa depan peranakan sangat berkaitan dengan revolusi Indonesia yang akan menghilangkan kemungkinan dikembalikannya penjajahan Belanda. Untuk menunjukkan bahwa pemikiran ini konkrit, Siauw membentuk Angkatan Muda Tionghoa, sebuah organisasi muda yang militan. Ia ingin menunjukkan ke dunia bahwa Tionghoa di Indonesia tidak hanya berpeluk tangan menunggu revolusi mencapai hasilnya di tempat yang aman. Pada
tanggal 9 November 1945, bersama sekelompok pemuda Tionghoa Malang, ia pergi ke Surabaya, yang menjadi medan pertempuran. Keesokan harinya, para pemuda Tionghoa Malang ini bertemu pula dengan beberapa pemuda Tionghoa asal Surabaya yang turut bertempur di pihak rakyat Indonesia. Akan tetapi Siauw menyadari bahwa bertempur di pihak Indonesia sebagai sebuah golongan etnis yang terpisah tidak benar. Para tokoh PTI lainnya pun berpendapat bahwa setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, peranakan harus berintegrasi ke dalam berbagai organisasi politik nasional untuk membangun nasion Indonesia. Berdasarkan kesepakatan ini, Siauw bergabung di dalam Partai Sosialis pada tahun 1946, partai gabungan kedua partai sosialis yang tadinya dipimpin oleh Amir Syarifudin dan Syahrir. Pada tahun yang sama Siauw diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi anggota KNIP – Komite Nasional Indonesia Pusat yang berfungsi sebagai parlemen sementara. Pada tahun 1947, ia diangkat sebagai menteri negara di kabinet Amir Syarifudin dengan tugas memobilisasi komunitas Tionghoa untuk mendukung Republik Indonesia. Sebelum itu, ia turut berpartisipasi dalam konperensi Inter Asian Relations di New Delhi sebagai wakil Indonesia. Hingga penyerahan kedaulatan penuh ke Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949, Siauw tetap menjadi anggota badan Pekerja KNIP dan DPR sementara Indonesia. Setelah kedaulatan penuh, ia pun tetap berada di parlemen, bergabung dengan kelompok Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) yang dipimpin oleh beberapa tokoh Batak. Siauw merasakan solidaritas kelompok ini sebagai kelompok minoritas. Sumbangan utama yang paling menonjol dari Siauw dalam sejarah berkaitan dengan pendekatan dan pemikirannya tentang penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1954, beberapa tokoh peranakan merasa perlu mendirikan sebuah organisasi massa untuk membela kepentingan Tionghoa. Mereka meminta bantuan Siauw. Yang direncanakan adalah pembentukan Baperwatt (Badan Permusyawaratan Warga Negara Turunan Tionghoa). Pada rapat pembentukan organisasi ini yang berlangsung selama dua hari, 12 Maret dan 134 Maret 1954 di Jakarta, Siauw secara aklamasi diangkat sebagai ketua umum. Prestasi Siauw sebagai seorang politikus yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan politik praktis karena keterlibatannya dalam revolusi Indonesia, berada di atas semua hadirin rapat pembentukan tersebut. Siauw dengan sangat berpengaruh dan meyakinkan mengubah prinsip pembentukan Baperwatt. Siauw menyatakan bahwa masalah Tionghoa berkaitan dengan perjuangan membangun nasion Indonesia. Banyak tokoh politik, menurutnya, lupa akan tugas penting ini. Mereka lebih mementingkan kepentingan partai-partai politik mereka sebagai batu loncatan untuk memperkaya diri mereka masing-masing dengan memperoleh izin-izin import. Untuk mencapai
ini, mereka melahirkan berbagai kebijakan rasis terhadap kelas pedagang Tionghoa yang sudah menjadi warganegara dan menurut UUD memiliki hak dan kewajiban sama dengan para warganegara Indonesia lainnya. Kebijakan-kebijakan rasis ini harus ditentang dengan cara yang positif dan membangun, dengan menyadarkan seluruh rakyat Indonesia bahwa hanya ada satu nasion, bangsa Indonesia, dalam negara Indonesia yang merupakan sebuah negara terbentuk atas dasar nasion. Oleh karena itu, Siauw menandaskan, komunitas peranakan tidak boleh memiliki Baperwatt, organisasi yang hanya terdiri atas warganegara Indonesia keturunan Tionghoa. Yang harus didirikan adalah Baperki, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Konsep rasial yang salah tentang kewarganegaraan Indonesia harus dikoreksi. Oleh karena itu Siauw berkata: “mulai besok, ketika kita mendirikan Baperki cabang Jakarta Raya, orangorang “asli” harus diajak untuk menjadi anggota”. Berdasarkan pemikiran inilah, pada waktu cabang Jakarta dibentuk pada tanggal 14 Maret 1954, rekan wartawan Siauw, Sudarjo Tjokrosisworo, diangkat sebagai ketua-nya. Akan tetapi terlambat. Baperki akhirnya tetap dicap sebagai organisasi Tionghoa. Siauw berpendapat bahwa pengelompokan masyarakat atas dasar keturunan ras adalah peninggalan penjajahan Belanda. Jalan keluar yang dicanangkan Baperki adalah integrasi dalam kegiatan politik dan bahu membahu dengan golongan etnis lainnya, membangun masyarakat yang adil dan makmur. Hanya dengan jalan inilah, menurut Siauw, kepentingan Tionghoa akan terlindungi. Pandangan ini didukung sepenuhnya oleh Presiden Sukarno. Akan tetapi, kepentingan politik dan ekonomi dari berbagai pihak di Republik Indonesia menentang dalih ini. Di bawah pimpinan Siauw yang inspirasional dan karismatik, Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang besar dan berpengaruh dalam membela kepentingan Tionghoa. Ia menjadi organisasi massa Tionghoa terbesar dalam sejarah Indonesia. Beberapa tokoh politik dari golongan etnis lain yang menentang rasisme bergaung dalam Baperki. Di antaranya tokoh-tokoh partai-partai politik yang berpengaruh. Akan tetapi, pengelompokan masyarakat peninggalan Belanda lebih kuat dari ajakan Baperki untuk bersama melawan diskriminasi dan ketidak adilan dan membangun nasion Indonesia modern yang demokratis. Salah satu sumbangan penting Siauw dan Baperki-nya dalam sejarah berhubungan dengan ajakan tanpa lelah-nya bahwa Indonesia adalah tanah air Tionghoa di Indonesia, bukan Tiongkok. Ajakan ini menjadi lebih mencolok setelah Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan yang ditandatangani di Jakarta dan Beijing pada tahun 1955, di mana Tionghoa menghadapi kenyataan mereka harus memilih antara kewarganegaraan Tiongkok atau Indonesia. Baperki melangsungkan kampanye besar-besar-an menjelaskan betapa pentingnya Tionghoa memilih kewarganegaraan Indonesia dan menolak kewarganegaraan Tiongkok. Cukup banyak
Tionghoa, karena hubungan kebudayaan dengan Tiongkok, memilih kewarganegaraan Tiongkok - pilihan yang kemudian mereka sesali. Pada akhir tahun 1970-an dan 1980-an, mereka berusaha menjadi warganegara Indonesia melalui jalur naturalisasi. Ini menunjukkan betapa tepatnya anjuran Siauw tentang jalan keluar yang harus ditempuh komunitas Tionghoa di Indonesia. Siauw Giok Tjhan menyadari bahwa diskriminasi dan rasisme tidak muncul di saat adanya Social Vacuum – kekosongan sosial – melainkan merupakan warisan kolonialisme. Di awal pembentukan Baperki, Siauw sering menyatakan harapannya bahwa: “harus ada situasi yang tidak memungkinkan rasisme berkembang”, sebuah formulasi yang ternyata diterima oleh banyak pihak. Setelah Demokrasi Terpimpin yang dianjurkan Sukarno pada tahun 1959 dilaksanakan, istilah Sosialisme Indonesia menjadi tujuan utama. Kebijakan Baperki, integrasi, dicanangkan sebagai integrasi dalam revolusi pembentukan masyarakat sosialis. Integrasi yang dilaksanakan tanpa menanggalkan latar belakang kebudayaan dan etnisitas Tionghoa. Para musuh Baperki, termasuk beberapa intelektual Katolik melihat perkembangan ini sebagai sesuatu yang berbahaya, karena dianggapnya bisa menuju ke arah terbentuknya masyarakat komunis. Dengan dukungan para perwira Angkatan Darat kanan, mereka mencanangkan konsep asimilasi dan menentang integrasi. Kebijakan asimilasi ini ternyata tidak secara dalam diformulasikan oleh mereka. Praktisnya, mereka hanya menganjurkan ganti nama dan dihilangkannya ciri-ciri etnisitas Tionghoa dari kelompok peranakan. Mereka tidak ingin memaksakan perubahan agama ke agama Islam dan kawin campuran. Program mereka sebenarnya lebih bersifat anti komunis. Gerakan 30 September yang melakukan aksinya pada tanggal 1 Oktober 1965 merupakan permulaan dari hancurnya rezim Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh Sukarno yang didukung oleh PKI dan Baperki. Posisi Sukarno setelah itu lemah dan pada tanggal 11 Maret 1966, Jendral Suharto melakukan kudeta yang menjatuhkan Sukarno. Suharto kemudian menggantikannya sebagai presiden Indonesia. Berakhirlah kehadiran Baperki sebagai sebuah kekuatan politik. Ia dilarang oleh pemerintah militer. Siauw Giok Tjhan menjadi seorang tahanan politik dan meninggal di Belanda sebagai seorang eksil. Setelah itu kelompok asimilasi memang menang. Akan tetapi ternyata mereka gagal melahirkan seorang pemimpin sekaliber Siauw Giok Tjhan, pemimpin yang memiliki visi politik besar dan pemimpin yang memiliki integritas tinggi. Memang sosok seperti Siauw tidak mungkin bisa lahir di zaman Orde Baru. Yang bisa muncul dan berkembang di zaman itu hanyalah para Cukong. Perjuangan Siauw Giok Tjhan untuk mewujudkan: “nasion Indonesia yang sepenuhnya bebas dari diskriminasi rasial dan masyarakat yang bebas
dari kekhawatiran diperlakukan sebagai warganegara kelas kambing” masih belum tercapai. Ia sendiri memang mengakui bahwa ini adalah sebuah perjuangan yang memerlukan perjuangan teguh yang memakan waktu panjang. Tetapi ia yakin bahwa perjuangan ini pasti akan mencapai kemenangan. Siauw meninggal di universitas Leiden, beberapa saat sebelum ia memberi seminar di mana ia akan mencanangkan keyakinannya bahwa perjuangan mencapai demokrasi di Indonesia akan terwujud. Siauw Giok Tjhan adalah seorang pembangun nasion yang meninggal sebagai seorang patriot, walaupun “patriot asing”. Ia meninggal sebagai seorang sosialis yang senantiasa berupaya membawa komunitas-nya menjadi bagian tak terpisahkan dari nasion Indonesia tanpa menanggalkan latar belakang kebudayaan dan etnisitas-nya.