ArdianWN
SINCERE Aku, Kamu, dan Sahabatku
SINCERE Oleh: ArdianWN Copyright © 2012 by ArdianWN
Desain Sampul Simply Desaign by Pipit Susanti
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
2
Chapter #1
Memori 4 Tahun Silam
3
#1
Memories Rico “…Friendship is Wonderful…”
Tama, sahabat gue terlihat sedang membolak – balik lembar demi lembar buku besar bercover Kumpulan Lagu – Lagu Hits 2012 dihadapannya. Jari – jemarinya sibuk menekan not – not yang terbaris rapih dengan akrab di sebuah keyboard besar, sementara kakinya mengatur ritme nada yang sedang dimainkan dengan hentakkan perlahan ke lantai. Mata dan mulutnya berfokus pada lembaran – lembaran hardcopy – sekitar 50-an judul buah lagu – teks lagu yang baru semalam gue print.
4
Sementara Satria, sahabat gue yang satu lagi. Kini ia berada dalam sebuah fantasi Komik Detective Conan, sambil memeluk guling putih. Berpakaian kaos oblong bergambar Albert Einstein dengan celana tiga perempat bercorak kotak – kotak hitam. Kacamata tebal dimatanya sesekali melorot karena hidungnya yang pesek. Gue masih memeluk gitar kesayangan gue, berwarna hitam dengan corak burly wood pada bagian depannya. Ada satu hal yang bikin gue sayang banget sama gitar gue yang satu ini. Apalagi kalau bukan karena gue membelinya dengan uang gue sendiri. Gue dapetin uang itu dari uang kumpulan gue selama hampir satu tahunan. Rela – relain gak jajan demi membeli gitar ini. Gue membelinya tepat setelah naik kelas 2 SMP setelah gue melihat gitar itu terpampang rapih dan terlihat elegant di sebuah etalase baja di pusat pertokoan khusus musik.
5
Ngomongin soal gitar, gue juga sangat hobby bermain musik, hobby gue sejak kecil. Dan kini hobby itu masih melekat erat. Gue berharap dapat menjadi musisi terkenal seperti bokap gue yang merupakan seorang keyboardist band terkenal, beberapa tahun silam. Merintis karir dari nol, memainkan keyboard mulai dari panggung – panggung pernikahan, organ tunggal acara RT / RW sampai dengan panggung mewah di hotel – hotel. Itulah bokap gue, bokap yang sederhana, bokap yang gak pernah mau dibilang musisi karena baginya musik adalah kehidupannya, bukan profesinya. Kini hari – hari bokap gue diisi dengan menengok toko musik milik beliau didaerah ibu kota sana. Sebenarnya toko itu dijaga om gue, tapi tidak jarang bokap gue yang menjaga toko itu kalo om gue sedang berhalangan atau sedang ada urusan lain. Dan kini gue sangat beruntung karena memiliki sahabat yang mampu mendukung hobby gue ini, bahkan ada yang mengilhami kemampuan bokap gue 6
sebagai pemain keyboard, Tama. Inilah salah satu dari sekian banyak rutinitas Kami bertiga, bermain musik dengan
gue
sebagai
guitar
player
sekaligus
penyanyinya, Tama sebagai keyboardistnya dan Satria sebagai backing vocal, tetap asyik walau kadang suara Kami terdengar sedikit sumbang. Kamar sederhana gue Kami jadikan studio dadakan sekaligus basecamp Kami kalau sedang berkumpul. Mengerjakan tugas, sekedar menyalurkan hobby masing – masing, Tama memainkan keyboard, Satria membaca, dan gue bermain gitar, terkadang menulis. Tak hanya itu, disini juga tak jarang digunakan sebagai tempat untuk mengatakan cinta via telepon yang dramatis penuh haru – karena lebih sering ditolak ketimbang diterima – dengan Tama yang lebih sering sebagai tokoh utama. Kamar sederhana bercat dorger blue terlihat kontras dengan sedikit hiasan origami bergelantungan buatan gue sendiri, dibantu adik gue dan beberapa gambar – gambar serba Tazmania. Rak buku dan meja belajar diletakkan sejajar dengan keyboard ajaib milik 7
bokap yang gue letakkan dipojok kamar. Sementara tepat disudut mata dari arah kasur, terpampang foto – foto keluarga gue, foto bokap gue dulu waktu masih aktif sebagai pemain keyboard sampai foto gue waktu wisuda SD dulu. “Eh tunggu dulu deh, loe pada tahu gak kita ngelakuin ini semua udah berapa lama?” Gue mengajak Tama dan Satria untuk sejenak mengingat memori petualangan Kami beberapa tahun yang lalu. “Ngelakuin apa Co maksud loe? Gue normal loh.” Tama ngelantur sambil memainkan keyboard gue. “Pletaaaakk…Otak loe tuh ya…Ngeres melulu, heran gue sama loe.” Sambil tertawa Satria memukul Tama dengan buku Detective Conan dua tumpuk. Tama ikut tertawa konyol, mengelus pipinya yang terlihat memerah karena pukulan mendadak itu sambil sesekali mengaduh kesakitan. “Lagian
konotasi
pertanyaan
loe
itu
menggambarkan kalo loe nganggap gue kayak maho, Co.” Tama menendang pelan dengkul gue yang gue
8
posisikan menyilah, untuk menopang body gitar kesayangan gue. “Hahaha sory, sory, tapi maksud gue itu udah berapa
lama
kita
sahabatan
kayak gini.” Gue
menyandarkan gitar lalu mengambil sebuah bantal untuk merebahkan diri diatas lantai. “Em, 4 tahun, Co. Emangnya kenapa?” Satria menjawab lekas sambil mendongak dari lamunan dalam fantasinya dikomik Detective Conan. Sementara Tama masih
sibuk
dalam
hitungannya.
Itu
semakin
membuatnya terlihat bodoh. “Yaapppp, udah 4 tahun kita begini. Lama juga yaa, gak kerasa.” Tama lepas dari hitungannya, sambil mematikan keyboard lalu mengekori gue untuk merebahkan badan, tepat disamping gue. Satria pun menutup komik Detective Conannya dan ikut merebahkan badannya di lantai, meraih sebuah bantal besar berwarna putih bersih diatas tempat tidur gue.
9
Kini kami bertiga merebahkan badan, sejajar satu sama lain, memandang juntaian puluhan origami berbagai warna yang bergelantungan indah dan mempesona di plafon kamar gue, sembari kembali mengingat – ingat memori empat tahun silam yang penuh dengan petualangan.
10