“Aku Rindu Kamu” Untuk Wanitaku Sudah kamu resapi dan baca berapa kali kalimat rinduku? Selembar lapis tipis kayu yang hanya bertuliskan “Aku rindu kamu”. Ucapan sederhana, bahkan sangat sederhana . Aku yakin masih banyak ungkapan dan sajak yang lebih indah dari kata-kataku itu. Tapi apakah kamu tahu tentang tinta yang ku gunakan untuk menulisnya? tinta warna-warni yang bermandikan sejuta cahaya, dan kesejukan yang tak terhitung. Pasti kamu bertanya-tanya kan tentang tinta yang ku tumpahkan di secarik tipis kayu itu? Awalnya aku tak ingin memberitahukan kepadamu asal-muasal tinta itu. Tapi sebelum kamu memaksa-maksa untuk aku bercerita dibalik semua ini, apasalahnya jika kudahulukan cerita tentang tulisan yang ku kirim itu. Sekarang aku sedang duduk santai bersama kopi robusta arabica yang setia menemaniku disetiap ujung malam. Aku sedang membayangkan rona pipimu yang mulai memerah karena senyum bibir tipis permaimu. Setelah kamu tahu darimana asal muasal tulisan itu. Dan kau pasti bertanya tanya lagi bagaimana aku dapat meraih pelangi itu kan? Akan aku ceritakan padamu tentang upayaku “merampas” sebagian kecil pelangi dihari kemarin. Dan hari ini mungkin sudah ada ditanganmu tulisan itu, karena aku berpesan pada jasa pengantar barang untuk supaya cepat -cepat mengantar tulisan itu. Cahaya pelangi itu setiap hari semakin menurun kadar biasnya. Oleh karena itu semakin cepat sampai padamu, semakin baik. Akan kucerutakan padamu bagaimana bisa aku mendapatkan pelangi yang kemudian aku jadikan tinta tersebut. Suatu sore aku berjalan diantara butir-butir pasir yang diapit karang-karang besar bersama kerinduan yang bercabang pada mu Sang Cinta. Perasaan rasanya sudah tak karuan kala itu. Lantas, aku sudahi perjalanan tak terarahku pada sebuah pelataran karang yang memiliki.....(lanjutan)
Rindu Bias Warna Akhir-akhir ini mengapa langit seperti tak terusik akan kegeoisan awan yang tanpa syarat datang menutup kebahagiaan suatu momen? Atau memang langit dengan ikhlas tak memberikan satu syaratpun untuk awan yang mengganggu istirahat panjangnya. Awan-awan itu beralasan bahwa mereka datang karena terdorong angin yang bergerombol datang dari suatu tempat di ujung kota. Egois bukankah sebutan bagi manusia-manusia yang memiliki ego. Sama halnya seperti pemain piano yang disebut atau dipanggil dengan istilah pianis, serta pemain gitar yang juga sering disebut sebagai gitaris, tetapi mengapa kota tak dikatakan kota itu sebagai kota yang kota -is?.
Sesungguhnya kota itu tak memiliki ego layaknya manusia. Ia rela kapan saja harus berte duh dibawah lentik bulu matahari, apalagi menengadah menjamu butir-butir air karena awan kelabu tadi. Segala isi kadang tak tahu bagaimana mereka harus mengisi sebuah wadah yang telah kosong. Wadah yang mulanya kosong mereka anggap benar-benar kosong layaknya waduk kering yang airnya berpindah dan terbawa sinar mentari. Tak pernahkah mereka sadari jika kekosongan tadi merupakan isi awal sebelum isi-isi yang lain ikut berkecimpung di dalamnya. Ketika wadah tersebut mulai terisi, mereka seolah melupakan kekosongan tadi, kekosongan yang merupakan awal penghuni sebuah wadah. Kekosongan yang terisi oleh segala karakter, emosi, benda -benda, serta kesibukan-kesibukan mereka itulah yang menyebabkan kekosongan ini menjadi fana. Fana dan nyata adalah sama tergantung bagaimana pandangan kita tentangnya. Ketika kita semua sepakat akan suatu hal yang dianggap nyata sebagai kenyataan, maka segala hal negasi terhadap hal itu kita bilang fana. Maka kekosongan wadah tadi sudah berubah menjadi fana yang nyata. Segelintir dari mereka bahkan.... (lanjutan)
Sang Pencari Terkadang suatu jarak diukur dengan satuan-satuan yang berbeda tergantung relevansinya terhadap suatu hal yang akan diukur. Misalnya satuan meter (m) biasanya digunakan sebagai satuan ukur ketika menghitung jarak yang terjangkau (tinggi badan, tinggi tiang, dll). Awal mula dari penghitungan ini pun tak semata-mata langsung seperti itu, awal mula pengukuran didasarkan pada tubuh manusia. Ya, segala dari segala ukuran adalah tubuh manusia itu sendiri. Misalnya satu jengkal tangan manusia dewasa setara dengan 20cm pada mistar, dan juga lebar kuku dewasa yang setara dengan 1cm pada mistar, dan hal-hal lain sebagainya. Lalu mengapa kini satuan yang digunakan untuk mengukur suatu jarak tak lagi melibatkan anggota tubuh manusia jikalau sumber dari segala ukuran adalah manusia itu sendiri? Ini mungkin karena didalam manusia itu sendiri tak tampak jika manusia adalah manusia. Aku pun tak yakin apa pengertian manusia seutuhnya itu. Jarak yang merupakan satuan tadi dapat diukur dengan alat yang harus sesuai dengan satuan. Setiap satuan haruslah memiliki alat ukurnya masing-masing. Jangan sampai terjadi kesalahhgunaan pada praksisnya. Sepertinya filosofi seperti ini yang harus dimiliki setiap manusia agar tidak tersesat dan tidak bingung jika menghadapi suatu masalah atau hal-hal yang membuat masalah itu menjadi masalah besar.
“Wey!” Teriak sesorang kepadaku dari jarak yang dekat “Haa..ha” Terkaget aku dan terbangun dari lamunan siang yang hampir rutin aku lakukan dibawah pelukan matahari “Ngelamun mulu, sana pergi jangan ngelamun dan duduk di depan tokoku, nanti tidak ada orang yang ingin mampir kesini lagi gara-gara kamu” Sahut pria penjaga toko “Oh iya Pak, maaf.. maaf..” Balasku dan mulai pergi dari tempat itu. Kenapa pria itu bisa berpikiran jika aku duduk di depan tokonya maka tokonya akan sepi ya? Sungguh makin menjunjung tinggi saja sifat-sifat materil para pedagang. Setiap ada orang yang menanyakan tujuan perjalananku dan asalku selalu ku jawab pertanyaan mereka dengan j awaban yang sama. Asal ku dari antah berantah dan tujuanku mencari pelangi. Setiap dari mereka yang mendengarkan jawaban ku pasti tertawa, mengejek, dan menganggapku gila. Menurutku apa salahnya mencari pelangi, mencari sesuatu yang indah, yang terbuat dari rasa cinta penciptanya, Dia ubah butir-butir hujan, ditambahkannya sinar mentari sehingga terciptalah pelangi. Hampir disetiap renunganku adalah tentang jarak dan waktu. Seperti lamunanku di depan toko tadi, aku berpikir jika seberapa jauh lagi jarak dan waktu yang harus ku lalui untuk mencari pelangi itu. Jangan sampai justru jarak dan waktu itu yang akan membunuhku saat sedang asiknya berjalan. Kadang aku termakan oleh lamunanku sendiri karena tak berhasil-berhasilnya aku temukan berapa jarak diriku dan pelangi itu, berapa lama waktu yang ku butuhkan untuk mendapatkannya. Ku teruskan perjalanan menuju senja yang sembunyi di balik bukit-bukit hijau itu......... (lanjutan)
Demokrasi Pelangi Ramai-ramai manusia bertumpuk pada suatu ruas jalan yang awal mulanya adalah sebuah tanah lapang nan hijau. Di atas tanah lapang itu ada rerumputan yang tersusun sedemikian rupa hingga menyerupai peta Negara Indonesia. Diatasnya ada langit cerah dengan awan-awan yang berteduh di bawah lengkungannya. Tak ada yang mengira jika hari itu akan hujan. Biasanya langit memberikan isyarat tersirat pada makhluk-makhluk yang ada dibawahnya, isyarat yang berupa awan kelabu, suara gelegar petir serta angin yang berlarian keluar dari jalurnya. Ada sesuatu yang aneh disini, seakan situ asi langit sedang tak akur satu dengan yang lainnya. Suatu hari aku melihat koloni burung yang sedang terbang dari barat ke timut, aku bertanya pada mereka mengapa mereka berpindah tempat dari
barat ke timur, karena biasanya mereka pasti terbang dari matahari terbit menuju sore di sebelah barat. “Di barat sudah tak ada lagi keaslian, disana hanya ada kepalsuan-kepalsuan” teriak salah satu burung itu kepadaku Aku semakin tak mengerti maksud ucapan burung tadi. Dan anehnya lagi sudah beberapa hari ini tak ku jumpai pelangi pada sisa gerimis sore hari. Kebenaran apakah dapat dijumpai oleh segerombolan burung yang kerjanya hanya terbang kesana kemari dengan kemauannya sendiri? Hidup memang seperti laju sungai yang hulu dan hilirnya memiliki satu kesamaan, tidak , tidak, bukan kesamaan, tetapi memang sama. Hulu dan hilir terkadang mencerminkan kemerosotan seseorang, selain dari posisinya yang menurun hingga melebur bersama sungai-sungai lain juga karena sifatnya yang tak pernha keluar jalur untuk sekedar bertegur sapa dengan bebatuan, pasir atau bahkan sunga-sungai lainnya. Setiap sungai memiliki karakterisitknya masing-masing, namun disetiap nurani para sungai, mereka tetap tak ingin mencapi hilir secara cepat, maka dari itu mereka membuat lekukan-lekukan anak sungai, cabang sungai yang dapat memperlambat laju untuk mencapai ke hilir. Hulu dan hilir dapat menjadi sama apabila kesadaran sungai sudah sampai pada puncak kehidupan, puncak kehidupan disini dapat berarti puncak kesadaran berhidup. Untuk apa berlama-lama dalam lekukan-lekukan yang justru membuat semakin takut jika pergi ke hilir. Sungai-sungai tersebut tak ada yang tahu siapa yang benar diantara mereka, walaupun kadang ada sungai-sungai yang mengaku dirinya paling benar, namun pada praksisnya tak ada yang tau bahwa hilir atau hulu mereka tenrnyata sama. Kembali ku tatap langit dengan rasa bingung yang berkeliling-berkeliling di pikiranku. Mulai tampak awan-awan tipis bergerombol menutupi berkas-berkas sinar matahari yang mulai menyengat kulit. Tampak diantaranya rintik hujan yang datang tanpa isyarat. “Aku lapis teratas!”, “Tidak! Akulah yang harusnya tampil teratas!”. Terdengar uraian-uraian pembicaraan dari atas sana, terdengar sekali di kolong langit ini. Ternyata pelangi yang tadinya harmonis kini sedang bertengkar hebat, pertengkaran yang mulanya terjadi karena obrolan kecil antara awan-awan kelabu dengan..... (lanjutan)
Balada Sang Daun Terombang-ambing dipangkuan cabang angin, terdorong dan tertarik dengan segala laranya. Daun kering yang kini akan jatuh pada kubangan air atau sebidang tanah basah.
Hijau adalah frekuensi dari tubuhnya yang memancarkan benda-benda tak kasat pada sang tuan rumah. Awal terbentuknya ketika satu cahaya ditiupkan pada ranting yang mulai meronta. Ketika pagi terbangun, titik demi titik air membuatnya terbangun dari tidur lelap semalam. Mereka membuatnya merasa segar setiap pagi, pagi yang cerah. Sejuk dan dinginnya merasuk melalui pori-pori tipis menembus kedalam jiwa, setidaknya itulah bahan baku semangat dari dalam tubuhnya. Terasa sekali likak-likuk struktur tubuhnya yang mulai bereaksi menatap segala rintangan kala pagi lenyap. Semua terkonstruksi dengan sangat apik dan rapih. Kehidupan yang di dalamnya berisi manusia-manusia. Manusia yang awalnya hanya segumpal angin sampai pada tahap yang disebut sebagai awal nafas hidup yang baru keluar dari pintu rahim seorang ibu. Seketika hawa-hawa yang berada disekelilingnya mencoba mengganggu dengan menyenggol dan mencubit-cubit manusia yang kini mulai menangis. Disinilah awal penyerapan segala cahaya, segala nafsu, segala gerak. Cahaya yang masuk melalui kulit menembus ke organorgan yang masih muda membuat sinar benderang pada tubuh awal manusia. Tak hanya cahaya yang masuk ke dalam jiwa awal manusia, karena dunia ini sangat memerlukan keseimbangan. Sempat terpikir apakah di dunia ini jika yang dihadirkan Tuhan hanya orang-orang baik apakah dunia ini akan lebih baik? Jawabannya tidak, bayangkan saja tak ada orang jahat di dunia ini atau tak ada orang yang dianggap jahat di dalam dunia, itu sama saja seperti film tanpa peran antagonis, sekalipun baik semua apakah yang baik itu tidak sedang berakting menutupi keburukannya? Kemudian bayangkan jika di dunia ini hanya berisikan manusia -manusia jahat tanpa adanya orang baik. Apa jadinya cerita pewayangan Rama dan Shinta tanpa kehadiran Rahwana? Tentu akan terasa hambar.... (lanjutan)
Kado Untuk Seorang Perempuan
Tepat pukul 1:02 WIB diujung larut malam ini, aku tersadar akan hari jadimu. Sudah 19 tahun kau hirup denyut kehidupan yang sekilas abadi ini. Dan sudah tiga tahun pula rasa ini. Rasa yang bermula dari benih kekaguman, tumbuh menjadi tunas kasih permai, dan kini rasa itu telah menjadi pohon rindang tempat ku menjaga dan berteduh. Sampai kau menamaniku disini, diantara guguran daun-daun, sampai aku dan kau berdansa bersama musik dari gesekan dahan dan laju angin. Setidaknya begitulah imajiku di hamparan bau tanah yang semerbak ditarik gerimis sisa.
Selalu saja dan pasti hadiah seorang pria pada wanita berbentuk kotak kado yang biasanya berisikan sesuatu yang materialistis di dalam kotak. Aku mulai bingung apabila ada pria yang mengiirmkan kado, bunga, coklat,dll kepada kekasihnya. Apakah cinta memang benar-benar memerlukan tanda? Karena setahuku, cinta tak pernah berucap tanda, cinta tak perduli dengan alasan, karena cinta memang bukan tentang tanda dan alasan. Apa kau pernah berpikir aku akan mengirimkan sebuah kotak hadiah ke alamatmu tinggal? pastinya kau akan terkaget-kaget menerimanya ya. “Kirimkan saja sesuatu yang dia suka, tanpa harus dia tahu apakah kau yang mengirimnya atau bukan” Bisik sukma pagi yang mulai menerangi gelap. Waktu itu tertanggal 12 Agustus 2012 aku terbangun dan menyadari akan hari jadimu yang jatuh pada esok purnama. Dengan kebingungan yang melanda amat dahsyat. Selain karena hadiah apa yang akan ku kirimkan kepadamu juga tentang hubungan kita yang bisa dibilang tak begitu dekat. Seperti yang ku bilang sejak lama, biarlah aku menjadi Sang Rindu dan kamu yang akan selalu menjadi Sang Cinta. Keyakinan ini sangat mengusik hati kecil yang menyelubungi seluruh gerakgerik manusia. Keyakinan bahwa aku dan dia tercipta dari cahaya yang sama, dan diriku dirinya adalah dua buah bayangan di dinding penantian akibat bias cahaya yang bersumber entah dari mana itu. Mulai lah di pagi itu ku pikirkan hadiah apa yang akan ku kirim pada seorang wanita yang tak begitu dekat denganku, wanita yang bahkan tak pernah ku ajak canda gurau setelah lepas jenjang SMA. Apakah akan ku kirimkan kamu hujan,senja,taburan cahaya bulan, aku tak tahu diantara mereka, manakah yang paling engkau sukai? Jelas aku tak akan mengirimkan mu senja, karena aku butuh wadah yang begitu besar untuk menampungnya. Dan kamu bayangkan jika aku memberikan hadiah ulang tahunmu senja sore. Betapa sedihnya jiwa-jiwa rindu yang tadinya akan mati jika bertemu dengan senja. Rinduku padamu sudah beku, tak perlu ditunggu tak perlu dinanti, senja dari pelosok manapun tak sanggup mampu mematikannya.Setelah aku berdiam diri agak lama kuputuskan jika aku akan mengirimkanmu hujan dan taburan cahaya bulan. Siang hari yang terik aku mulai menyiapkan alat-alat yang kubutuhkan untuk melancarkan rencanaku nanti malam. Aku pergi ke toko perkakas, ke toko alat-alat dapur untuk membeli sesuatu yang dapat ku gunakan untuk menampung hujan dan menampung cahaya bulan. Sebuah guci tua dan pisau ukir yang ku cari tak dapat ku temukam. Lantas aku pulang dan mencari penggantinya di gudang belakang rumah. Memang guci dan pisau ukir tak terdapat pada
gudangku, tapi ada sebuah ember bekas makanan dan pisau lipat yang dapat ku gunakan sebagai penggantinya. Aku harus bergegas karena malam akan ditimpa pagi sebentar lagi. Segera ku ambil kaleng bekas makanan untuk kujadikan wadahnya. Ku ulurkan tanganku ke langit luas.... (lanjutan)
Negeri Para Pelangi
Ada di ujung pulau suatu tempat dimana puluhan pelangi tak pernah padam di dalamnya. Mereka semua bersinar terang menerangi malam maupun siang. Pelangi-pelangi itu tak memerlukan lagi prisma-prisma butir hujan dan cahaya matahari. Tak ada satu orang pun tahu mengapa di tempat itu banyak terdapat pelangi. Dulu, jauh sebelum tempat itu terdapat puluhan pelangi, disana terdapat anak-anak manusia yang memiliki impian akan membangun sebuah tempat yang selalu dapat memberikan efek poisitif dan keceriaan ketika bangun tidur. Anak-anak itu seakan yakin jika imajinasi mereka akan “hal” yang kini disebut pelangi dapat diwujudkan. Mereka memulainya dengan membentuk sebuah perkumpulan-perkumpulan dimana setiap kelompok dapat tugasnya masing-masing, ada yang bertugas mengurusi alam sekitar, ada yang bertugas memberikan pendidikan, ada yang bertugas membangun infrastruktur-infrastruktur, dll. Bermula pada niat awal yang baik dari anak-anak tersebut. Dimulailah pergerakan mesin untuk membangun pelangi-pelangi yang mereka impikan selama ini. Bermula dari pelestarian dan perawatan alam sekitar. Tempat ini memiliki alam yang sangat baik jika dibandingkan tempat tempat lain yang mungkin hanya akan penyeimbang kehidupan. Segala tumbuh-tumbuhan dapat berkembang dengan subur, hutan-hutan memiliki kandungan kayu yang tak sedikit, serta hewanhewan ternak yang tak bosan-bosannya berjalan berkeliling rumah untuk sekedar bermain. Kelompok yang mengurusi soal alam ini diberi nama kelompok hijau, disamping karena deskripsi akan “alam” adalah hijau, selain itu juga hijau adalah warna yang dapat memberikan rasa segar pada kedua mata yang melihatnya. Oleh karena itu, tugas utama dari kelompok ini tentu saja merawat dan melestarikan alam. Mereka berprinsip bahwa, alam tak pernah memberikan bencana bagi para manusia, yang mereka berikan adalah anugerah, hanya saja tak sedikit dari manusia menyalahgunakan anugerah yang telah mereka berikan secara ikhlas tanpa imbalan apapun. Mereka juga berprinsip jika setiap jiwa dari manusia menyalurkan rasa positifnya ke udara dan membiarkannya terbawa sampai terserap stomata dari setiap tumbuhan, maka tumbuhantumbuhan tersebut juga akan memberikan rasa yang positif bagi manusia-manusia di sekitarnya.
Selain menjaga alam yang harus dalam keadaan “hijau”, mereka juga harus melestarikannya. Karena sebaik-baiknya alam juga harus dimanfaatkan tetapi tanpa harus berlebihan, tanpa harus mengurangi populasi mereka. Oleh karena itu tidak dianjurkan mencuri secara diam-diam. Segala sesuatu yang akan dilakukan pada alam harus sepengetahuan kelompok hijau. Bicara soal alam tak melulu harus tentang hutan, tumbuh-tumbuhan serta hewan-hewan diantaranya. Laut yang dimiliki oleh tempat ini pun sungguh luar biasa, konon lautan ini tercipta akibat tangisan manusia-manusia yang tak dipenuhi hak-haknya, tak dipenuhi rasa keadilannya, tapi ini hanya cerita, mau percaya silahkan jika tidak juga tidak apa-apa. Lautan di tempat ini sangat luas, hingga sangat pantas jika laut dikedudukan pada posisi pertama kepentingan umum. Kandungan di dalam lautan juga tak sembarangan. Disini terdapat banyak hewan-hewan langka, tumbuhantumbuhan laut langka yang tak terdapat di negara-negara lain. Untuk menjaga kelestarian serta keasrian laut, anak-anak yang menginginkan Negeri Pelangi tadi membuat sebuah barikade barisan yang kuat untuk menghalau siapapun dengan sengaja mengambil kekayaan hasil laut tanpa seizin orang-orang di tempat ini. Nelayan-nelayan di tempat ini pun tak harus memiliki perahu yang besar, jaring yang lebar atau alat pancing yang canggih untuk sekedar mencari ikan. Karena dengan kail yang sederhana dan sampan yang sangat sederhana mereka sudah dapat mencari dan mendapatkan hasil tangkapan yang seolah-olah tak ada habisnya. Segala jenis ikan laut mudah untuk didapatkan para nelayan. Di tempat ini pun sudah jarang bahkan tak ada ditemukan para relawan-relawan yang membenahi karang-karang rusak, mencoba melestarikan karang-karang laut yang rusak oleh segelintir manusia saat memburu targetnya di laut. Bukan karena rasa tak perduli dari setiap orang disini, tetapi karena memang di laut tak ada karang yang rusak, tak ada ekosistem yang terganggu, tak ada ikan-ikan yang mati keracunan akibat limbah buangan pabrik apalagi racun zat-zat kimia. Anak-anak dari para nelayan pun tak ada satu pun perasaan iri kepada anak-anak yang tinggalnya jauh dari laut, dimana mereka lebih menikmati teknologi ketimbang anak-anak di lepas pantai. Sebab anak-anak nelayan ini sangat terhibur dengan keelokan ekosistem bawah laut yang begitu menawan begitu membuka mata akan karuniaNya yang tak tertandingi. Selain laut dan hutan tadi, di tempat ini pun memiliki udara yang tak sesejuk di savana Islandia namun terasa sekali kejernihannya ketika menghirup satu demi satu nafas saat melakukan aktivitas. Sinkronisasi dari ketiga hal diatas membuat tempat ini memiliki alam yang stabil. Keseimbangan yang terbentuk karena harmonisnya elemen-elemen di sekitar manusia yang kadang dilupakan oleh manusia itu sendiri. Terkadang manusia terlalu sibuk akan hal pribadinya hingga melupakan hal penting semacam ini. Jika tiba saatnya Sang Alam mencerminkan akan sikap para manusia, barulah mereka menganggap itu sebuah bencana. Padahal tak ada yang namanya bencana, semua yang diberikan alam adalah anugerah.
Untuk membuat sebuah pelangi tak cukup jika hanya memikirkan tentang kondisi alam sekitar. Orang-orang di dalamnya juga harus cerdas. Oleh karena itu pendidikan sangat penting bagi kepribadian setiap manusia di tempat ini. Pendidikan di tempat ini sangat mengerti betul akan kepintaran psikologi dari setiap manusia yang berbeda-beda. Kalau tidak salah, dalam psikologi kepintaran dibagi menjadi beberapa kelompok, diantaranya kepintaran logika, kepintaran olahraga, kepintaran verbal, kepintaran matematik, dll. Pendidikan tak seharusnya dipaksakan dalam prakteknya. Jika seorang anak tak dapat dan memang tak memiliki bakat dalam bidang matematik, seharusnya jangan dipaksakan untuk belajar matematik. Karena mungkin saja kepintarannya tidak berada pada matematik, bisa saja kepintarannya terletak pada olah raga atau linguistik. Kelompok Biru lah yang bertanggung jawab akan masalah pendidikan ini. Pada tahap awal pendidikan, para siswa tak henti-hentinya diajak bermain oleh mereka para kelompok biru. Permainan ini bukan sekedar hanya permainan yang...... (lanjutan)