Ranjang Aku memandang langit dari balik jendela kaca berteralis. Jendela yang terbuka itu berengsel pada bagian atas. Malam larut, aku tak takut dengan angin. Beberapa bintang bisa kulihat dengan jelas. Ranjang yang kududuki menjadi bukti bahwa terkadang aku menghayati bintang sebelum beranjak tidur lelap. Pintu kamar dibuka. Istriku masuk lalu dengan mantap memelukku dari belakang. “Yang, aku ngantuk” ucapnya manja sambil menggesek-gesekkan keningnya di pundakku. Semilir bertiup. Tapi aku tetap belum ingin memakai baju. “Kamu tidur saja. Aku masih belum mengantuk,” Dia lalu menjadikan pahaku bantal. Aku membelai-belai rambutnya. Istriku yang berkulit gelap dan tiga tahun lebih tua itu begitu indah dalam pandanganku. Bahkan aku selalu menganggap dia lebih indah dari pada langit dan bintang. Kami baru mengganti ranjang. Ranjang baru yang kokoh dan berkayu jati telah berdiri sambil berbaring di kamar kami sejak seminggu yang lalu. Ranjang lama telah kuberikan pada salah seorang kerabat. Sebenarnya, ranjang lama memiliki banyak kenangan. Tak hanya kenangan tentang aku dan istriku. Tapi juga kenangan-kenanganku dengan ibu, juga kakakku. Dulu, ranjang lamaku tidak berada di lantai atas seperti halnya ranjang baruku sekarang. Aku memindahkannya ber tahun –tahun yang lalu ketika kamar tempat ranjang lama itu akan dijadikan Ibu sebagai ruang makan. Maka ranjang lama itu pun naik ke lantai atas dan baru seminggu yang lalu kembali turun dan masuk ke rumah salah seorang kerabat. Sedikit cerita tentang perpindahan ranjang lama dari bawah ke
atas. Aku membongkar ranjang lama itu dengan bersusah payah. Kasur kupindah. Ternyata rangka ranjang dipaku semua. Palu serta obeng dan kunci L membantuku memerlancar pembongkaran. Setelah berhasil kubongkar, ranjang itu kubawa ke atas sekeping demi sekeping batang rangka-nya. Lalu kupasang dengan bersusah payah juga. Ternyata merangkai lebih sukar daripada membongkar. Saking sukarnya, aku harus memanggil kakakku untuk membantu. Akhirnya, ranjang berhasil kami rangkai. Dan ranjang yang kami rangkai itu sudah tak lagi di kamarku sejak seminggu yang lalu. Ranjang itu sudah bertengger di salah satu ruang di rumah salah seorang kerabat. Ranjang itu telah tergantikan oleh ranjang jati yang berdiri sambil berbaring di kamarku sekarang, sejak seminggu yang lalu. Aku mengecup kening istriku. Nampaknya dia sudah agak pulas. Dia super pencemburu. Apalagi aku lebih muda. Dia takut aku kepincut perempuan yang lebih muda. Dulu ketika masih berpacaran, hampir setiap hari dia menghujatku sebagai playboy atau tukang jelalatan hanya karena aku sering mengirim puisi untuk teman-teman perempuanku. Kembali pada kisah ranjang lama ku. Ranjang itu adalah peninggalan terakhir ibuku yang meninggalkan rumah. Meja makan, lemari es, lemari pakaian dan segala perabot rumah warisan ibu sudah meninggalkan rumah lebih dulu. Ada yang ke rumah keluarga atau kerabat seperti ranjang itu, ada yang ke rumah teman atau tetangga, ada yang ke panti asuhan, dan ada pula yang masuk tempat sampah karena usia yang tua. Melihat ranjang baru yang nampak kokoh membuatku teringat Ibu. Ibu ku yang kokoh dan kuat. Yang disiplin seperti prajurit militer. Yang suka kerapian dan kebersihan sebagaimana seharusnya umat Muhammad SAW, sosok yang paling dicintainya. Ibu ku adalah seorang yang pemberani. Dia akan berkata tidak, jika itu tidak. Atau ya, jika itu ya. Siapapun yang harus
bertentangan dengannya, seberapapun hebat orang itu, jika memang harus berseberangan, dia akan berseberangan dan menentang. Meski cara menentangnya tidak dengan cara yang keras atau kasar. Sebab dia juga cerdas dan cerdik, sehingga kala berbeda pendapat dengan seseorang pun, dia tidak pernah dibenci orang tersebut. Karena kemampuan komunikasinya mumpuni, meski dia tak pernah mengenyam pendidikan jurusan komunikasi maupun bahasa. Kemampuan komunikasi macam ibuku itu, dimiliki istriku juga. Ada beberapa lagi kesamaan mereka. Di antaranya adalah hidung yang tak mancung, dan rasa cinta kasih mereka padaku yang bagai tak bertepi. Kalau tentang perbedaan, tentu sangat banyak. Yang paling mencolok adalah perbedaan warna kulit mereka. Ibuku lebih terang. Tinggi badan mereka juga beda sekitar lima belas sentimeter, ibuku hanya satu koma empat meter tinggi badannya lebih rendah dari pada istriku. Ada lagi perbedaan mereka yang cukup mencolok sekaligus menarik. Yaitu kebiasaan ketika tidur. Satu kali pun, aku tak pernah mendengar ibuku mengigau, sedangkan istriku, lumayan sering dia berbicara sendiri dengan mata tertutup dan tak dalam keadaan sadar. Pernah dia memanggil-memanggil nama beberapa perempuan. Ketika sudah terbangun, kutanyakan padanya tentang siapa mereka. Dijawabnya bahwa mereka adalah teman-teman kos-nya di masa kuliah dulu. Dia bilang, sedang kangen pada teman-temannya tersebut. Pernah dan beberapa kali pula dia menangis dalam tidurnya. Kalau sudah begini, aku tak menunggu dia terbangun untuk menanyakan apa yang telah terjadi padanya. Aku membangunkannya, menyapu wajahnya dengan handuk kecil basah, meminumkannya segelas air putih, lalu bertanya tentang mimpi yang menghinggapinya. Dia lalu menampar dan mencubit pipiku.
Memukuli dadaku dengan kepalnya yang lembut. Lalu memelukku masih dengan air mata yang mengalir. Ternyata dia bermimpi aku meninggalkannya demi perempuan yang dia anggap lebih muda, cantik, dan segar. Aku tersenyum mendengarnya. Ini menggelikan, namun sedikit ironi. Intinya, dia akan mengigau bila teringat dengan sesuatu yang membuatnya terkenang-kenang atau terngiang-ngiang begitu dalam. Entah itu tentang masa lalu, atau masa depan yang dikhawatirkannya, atau tentang apapun yang sempat menyita perhatiannya. Dingin malam menyapa semakin mesra namun terasa benar kandungan penyakitnya. Aku menutup jendela. Mencium dan sedikit menggigit pipi istriku yang agak berisi. Lalu membenarkan posisi tidurnya. Dia sempat membuka mata indahnya sedikit, namun lalu tidur kembali dengan lelap. Aku biasa tak menutup tirai jendela bila malam. Namun lampu kumatikan. Sehingga orang dari luar tak bisa melihat kami yang sedang pulas. Lagipula, jenis kaca jendela kami memang riben. Tak tembus jika melihat dari luar, tapi terang jika melihat dari dalam. Aku sering terpesona jika memandangi istriku yang sedang tidur. Dia benar-benar anugrah. Aku sangat bahagia bisa memilikinya. Dia sangat kucintai. Dia juga sangat mencintaiku. Sayang, Ibuku tak bisa atau belum sempat melihatku hidup berbahagia dengan istriku itu. Ibuku meninggal di usia yang sudah cukup tua. Enam puluh tahun. Kala itu aku berumur setengahnya. Aku memang termasuk agak terlambat menikah. Dia pun sejatinya berharap aku sudah beristri di usia maksimal dua puluh tujuh tahun. Dulu, ketika aku masih berumur dua puluh tahunan, kami sering berdiskusi perihal perempuan yang diinginkan Ibu untuk menjadi istriku. “Yo, carilah istri yang sholehah, beriman bertakwa pada Alloh. Kalo bisa yang orang tuanya kaya dan berbudi. Sebab
bagaimanapun, bibit bebet bobot itu perlu, meski bukan utama. Cari yang cantik yang muda juga. Jadi saat kamu tua dia bisa merawat kamu” dia berpetuah kala itu sambil menonton televisi. Kami memang biasa berbincang di depan TV yang menyala. “Ah, aku tak mau sampai dirawat bu. Aku pengen sehat sampai tua. Sehat sampai mati” “Makanya itu cari istri yang kuat dan beberapa tahun di bawahmu. Supaya selalu bisa giat dan lincah melayani kamu. Satu lagi pesanku; jika istrimu itu suka bekerja, jangan kamu halangi. Jangan kamu suruh dia berhenti bekerja. Kasihan wanita kalau harus dikekang kegemarannya berkegiatan atau bekerja” tambah Ibuku yang memang seorang mantan karyawati di sebuah perusahaan milik negara. Ibuku yang tua memang senang dan giat bekerja. Sampai usia pensiun lima puluh lima tahun, dia masih bersemangat mencari nafkah. Padahal waktu itu, aku sudah bisa mandiri secara finansial bahkan sudah sanggup memenuhi kebutuhannya. Dia suka beraktifitas, dan aku pun tak ingin menghalang-halanginya. “Yo, sayangi kakakmu. Dia perempuan yang wajib kamu sayangi di dunia ini setelah Ibu. Hormati dia. Jangan kamu menikah sebelum dia menikah. Tak baik membiarkan kakak perempuan masih perawan sementara adiknya sudah berijabkabul”. Tentu, aku akan selalu menyayangi dan menghormati kakakku. Aku pun akan selalu menjaganya. Ketika akan menikah pun aku telah meminta ijin padanya. Mengingat usia istriku yang sudah tiga puluh tiga kala itu, aku harus mengambil keputusan. Aku kasihan pada istriku yang waktu itu masih berstatus pacar. Aku memohon ijin dari kakak untuk menikah lebih dulu. Dia mengijinkan, meski nampak agak berat. Lalu dia memutuskan pisah rumah denganku. Rumah kami dipasrahkannya pada aku dan istri. Sementara dia ke luar kota. Sebuah kota kecil kampung halaman kami. Di sana dia bekerja sebagai pemilik toko kelontong dan kepala Taman kanakkanak. Semua modal usahanya didapat dariku. Sampai sekarang, dia belum jua menikah. Dia berdalih telah mendapat kepuasan batin yang teramat sangat ketika melihat anak-anak polos di
sekolah yang dikelolanya dan atau ketika melayani pelanggan dengan ramah di toko nya. Aku memandang telapak kaki istriku yang mengagumkan. Di mataku, tak ada satu mili pun dari bagian badan istriku yang tidak membuatku terpana. Jari-jarinya yang mungil. Rambutnya yang hitam lurus panjang, bibirnya yang tak tipis dan tak tebal, benar-benar ciptaan yang luar biasa. Kadang aku menyesal, mengapa dulu aku tak lekas melamar dan menikahinya. Padahal kami sudah berpacaran sepuluh tahun sebelum akhirnya menikah. Jika dua tahun lebih awal saja aku menikah, ibuku tentu sempat melihat aku berbahagia dengannya. Entah mengapa, waktu itu aku selalu merasa belum siap untuk memerkenalkannya pada Ibu. Bahkan sampai akhir hayat, Ibu tak tahu jika aku sudah memiliki pacar. Aku pun merebahkan badanku di ranjang yang baru seminggu berada di kamar kami. Ranjang yang lebih kokoh daripada ranjang kami yang lama. Ranjang yang menjadi saksi bisu atas apapun yang kami lakukan di kamar. Ranjang yang menjadi saksi bisu betapa gemar aku melamun di muka jendela sebelum akhirnya tidur dibelai mimpi. “Sayang lagi haus? nih nyusu dulu, jangan nangis lagi ya” istriku kembali mengigau sedang menyusui bayi. Igauannya tentang bayi adalah yang pertama semenjak kami memiliki ranjang baru. Namun bukan berarti ini yang pertama sejak kami menikah. Dia sedang merindukan seorang anak. Sudah tujuh tahun kami menikah, dan belum dikaruniai putra ataupun putri. Tanda-tanda kehamilan pun tak pernah ada. Kami telah memeriksakan diri ke berbagai ahli, mereka menyuruh kami tetap sabar menunggu dan berusaha. Sebab, berdasar pemeriksaan mereka, semua organ reproduksi kami dinyatakan sehat. —
Kampung Pengemis (Part 1) free instagram followermake up wisudamake up jogjamake up prewedding jogjamake up wedding jogjamake up pengantin jogjaprewedding jogjaprewedding yogyakartaberita indonesiayogyakarta wooden craftAku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semester-semester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi
salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar. Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.” “Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampus-
kampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?” “Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!”
“Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nantinanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus,
kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambu Aku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semestersemester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai
pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar. Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang
pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.” “Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?” “Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung
pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap
bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nantinanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya. “Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambung…. Aku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semestersemester akhir masa kuliah. “Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya. “Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,” “Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku. “Kamu tahu dari mana?” “Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”. Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya. “Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?” “Mengemis?” aku mencoba menebak. “Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti
kamu” “Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar. Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas. “Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.” “Sangat tidak punya malu.” “Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata. “Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplopamplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampuskampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas. “Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu
menjelaskan dengan wajah serius. “Kamu yakin?” “Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?” “Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.” Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis. “Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.” “Jangan!” “Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu. “Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata
kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.” “Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu. “Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.” “Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nantinanti saja.” “Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalamdalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.” “Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?” “Hah? Secepat itu kah?” “Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya.
“Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?” “Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.” “Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.” “Amin.” Sambutnya.
Bersambung…. Klik Kampung Pengemis (Part 2)