[CERITA DARI FASCHEL-SECANGKIR RINDU] August 27, 2011
Secangkir Rindu Kalena sudah tahu kalau Fandro akan mencarinya. Bukan hanya karena dulu mereka sangat dekat, tapi karena Fandro sudah berjanji untuk menemui Kalena bila dia punya kesempatan datang ke Faschel suatu saat nanti. Yang tidak Kalena tahu: Fandro akan datang dengan kondisi seperti apa. Kalena tidak akan kaget bila Fandro datang dengan seorang perempuan cantik, atau bahkan anak-anak karena Kalena sudah tahu Fandro sangat dikagumi. Tidak sulit menyukai orang yang punya perawakan seperti Fandro, wajah yang ramah namun tegas, mata yang tajam. Tidak sulit jatuh cinta pada pemanah yang sangat berbakat seperti Fandro. Tidak sulit..... “Tidak sulit untuk jatuh cinta pada tabib yang sangat berbakat sepertimu,” kata Fandro ketika itu. Kalena sudah tahu kalau Fandro akan mengatakan itu. Ketika itu mereka masih sangat muda. “Aku sudah tahu kalau aku tidak akan bertepuk sebelah tangan,” jawab Kalena ringan. Kalena ingat saat itu Fandro pun tertawa dan berkata, “Aku juga sudah tahu kalau aku tidak akan bertepuk sebelah tangan.” Kalena meletakkan surat yang dikirim Fandro melalui seorang pengawalnya di atas meja. Dia juga meletakkan beberapa batang kasitora yang lembut di sampingnya. Kalena memandang ke luar dari jendela rumahnya. Faschel tidak seperti dulu lagi ketika mereka berdua masih remaja dan menganggap bahwa dunia adalah tempat yang selalu damai. Kalena bisa melihat benteng Zhephero Zheph yang setengah hancur karena serangan pasukan Galagath. Dia bisa merasakan kematian dimana-mana. Sepanjang hari ini, Kelena berjalan ke desa di lembah Mistary dan mengobati begitu banyak peri yang terluka di sana. Banyak yang bisa diselamatkan, banyak pula yang mati. Kalena tidak menyukai sensasi dingin di tengkuknya ketika para Maven datang dan berdiri di hadapan atau di sebelahnya untuk mengambil batu nyawa. Dia tahu bahwa melihat kematian itu tidak akan memberikan apapun selain kesedihan. Apalagi melihat sebentuk nyawa yang sedikit demi sedikit memadat dan membatu menjadi Batu Nyawa. Kalena seperti melihat sebuah jiwa yang dibekukan. Dipaksa untuk diam. Dipaksa untuk jadi tidak ada. Sore ini....
Page 1 of 7
[CERITA DARI FASCHEL-SECANGKIR RINDU] August 27, 2011 Begitulah menurut surat itu. Sore ini Fandro akan datang dan menemuinya. Kalena tidak tahu apa yang masih tersisa. Dia merasakan jantungnya melompat-lompat senang. Tapi dia juga merasa ada sisi hatinya yang luka. Apakah dia rindu? Fandro tidak pernah melakukan apapun yang membuat Kalena marah, apalagi sedih. Dia sangat berhati-hati, termasuk pada perasaan Kalena. Fandro selalu berusaha membuat Kalena bahagia. Dan itu menjadi pertanyaan untuk Kalena sekarang; apa itu bahagia? Kalena berjalan ke ruang tengah yang merangkap sebagai ruang kerjanya. Derit lantai kayu yang sudah lapuk terdengar tiap kali Kalena melangkah. Dia berdiri di depan sebuah rak yang dipenuhi susunan botol-botol yang diisi potongan tanaman: daun, bunga, batang, atau akar. Kalena melihat dengan seksama tiap-tiap botol kaca itu. Dia melabeli tiap botol dengan nama dan tanggal bagian tanaman itu mulai disimpan. Kalena tidak pernah lupa untuk meniupkan udara dari paru-parunya ke dalam botol agar apapun yang disimpan di dalamnya tidak menjadi layu sampai beberapa lama. Biasanya hanya bisa sampai hitungan tahun. Kalena melihat-lihat sampai ke bagian terbawah dari rak itu. Dia menemukan botol kaca yang dia cari. Botol itu sudah sangat berdebu. Kalena meniup permukaan botol itu berkali-kali. Dia membawa botol itu ke meja kerjanya. Kalena duduk dan memandangi isi botol itu; sebuah bunga berwarna merah transparan. Bunga shaelayas. Ini bunga pemberian Fandro ketika mereka pergi ke Desa Ulutharine di dekat sungai. Bunga ini banyak tumbuh di tepian sungai di sana. Sebenarnya ini bunga yang cukup langka. Tapi Fandro yang ketika itu tidak sengaja menemukan ini. Dia terpukau pada kelopak bunganya yang sangat indah, memetiknya dan memberikan beberapa batang untuk Kalena. Kalena menerimanya dan membawanya pulang. Bunga berwarna merah yang transparan dan berkilauan di bawah sinar matahari adalah hadiah yang sangat romantis untuk orang yang kamu sayangi. Hanya saja, ceritanya menjadi lain ketika ayah Kalena melihat Kalena membawa bunga itu pulang. Ayahnya menjelaskan sesuatu yang tidak Kalena tahu. Kalena membuka botol itu dan mengeluarkan bunga itu di atas meja. Bunga Shaelayas ini mempunyai banyak kelopak. Kalena mengambil salah satu kelopaknya dengan hati-hati. Kalena tampak puas ketika dia bisa mencabut salah satu kelopaknya tanpa membuat bunganya kehilangan bentuk yang cantik. Kalena mendengar suara langkah kaki di halaman depan. Beberapa saat kemudian, dia juga mendengar derit lantai kayu beranda rumahnya. Fandro sudah di sana. Kalena bangkit dan sedikit merapikan tatanan rambutnya. Dia juga membersihkan debu yang menempel di gaunnya. Ketika Kalena membukakan pintu, dia melihat sosok Fandro seperti yang dulu selalu dia rindukan; tampan dan hangat. Fandro tersenyum ketika melihat Kalena yang terlihat lebih cantik dan matang. Kalena menyadari begitu banyak tahun yang sudah Page 2 of 7
[CERITA DARI FASCHEL-SECANGKIR RINDU] August 27, 2011 dilewatinya tanpa Fandro. Dengan canggung, Fandro meraih tangan kanan Kalena dan mencium punggung tangan itu. Kalena mencoba untuk tidak tersipu. “Kamu sangat cantik,” ujar Fandro dengan mata yang masih terpukau. Kalena membalasnya dengan senyum. Kalena mempersilahkan Fandro masuk. Fandro tampak tidak terlalu kaget dengan kondisi rumah Kalena. Faschel sedang berperang. Dan ini perang terlama yang pernah ada. Penduduk Faschel tidak akan sempat untuk membersihkan dan mendekorasi rumah ketika nyawa mereka kapan saja bisa hilang. Kalena mempersilahkan Fandro duduk di bangku kayu yang ada di ruang tamu. “Ayahmu?” tanya Fandro ketika dia sudah menemukan posisi yang nyaman untuk duduk. “Sudah meninggal.” Kalena masih berdiri. Dia mengatakan hal itu dengan datar. Setelah begitu banyak kematian yang dia lihat, dia sudah kehilangan cara untuk mengatakan tentang kematian itu dengan perasaan. Dia sudah lupa bagaimana caranya. “Aku mau buat minuman dulu,” kata Kalena ramah. “Apa kamu mau sari bunga thantize?” Fandro mengangguk. Kalena pergi ke dapur dan mendidihkan air di atas tungku batu. Dia menyiapkan bunga thantize yang dia ambil dari rak penyimpanan makanan. Ada beberapa batang bunga thantize di sana yang masih segar. Kalena memetik kelopaknya dan memasukkannya ke dalam teko. Lalu air mendidih dimasukkan ke dalam teko itu. Kalena juga memasukkan satu kelopak bunga shaelayas ke dalamnya. Dia memejamkan mata dan mengatur nafasnya. Wajah Fandro selalu mengingatkannya pada kehidupan. Kalena menghapus tetes air yang menyelinap di sudut matanya. Dia tidak boleh menangis. Kalena muncul di ruang tamu dengan nampan perak berisi teko dan dua cangkir kosong. Dia meletakkan nampan itu di meja kecil di depan tempat duduk Fandro. Kalena mengisi kedua cangkir itu dengan minuman yang masih mengepul. Kalena lalu duduk di samping Fandro. “Apa kamu pernah merindukanku?” tanya Kalena kemudian. Mendapat pertanyaan seperti itu, Fandro terlihat kaget. Tapi dengan cepat dia bisa terlihat tenang kembali. “Selalu. Galagath tidak sama dengan Faschel. Di sana tidak ada hutan, lembah, dan gunung yang indah. Tidak ada kamu yang membuat hal itu semakin indah. Aku merindukanmu setiap waktu.”
Page 3 of 7
[CERITA DARI FASCHEL-SECANGKIR RINDU] August 27, 2011 Kalena tersenyum. Kalena yakin Fandro merindukannya bukan dari katakatanya saja, tapi mata Fandro mengatakan itu. “Kamu sudah jadi tabib yang hebat,” puji Fandro. Kalena tersenyum. “Tidak terlalu hebat juga. Kakakku, Daphrio lebih cepat menguasai ilmunya dibanding aku. Mungkin selain darah, tabib juga perlu bakat.” Kalena merindukan saat-saat ini. Ketika dia bisa bicara dan menatap Fandro langsung ke matanya. Ketika dia bisa mengatakan apa saja dan Fandro tidak akan menertawakannya. Fandro selalu percaya pada mimpi-mimpi Kalena untuk menjadi tabib hebat. Walaupun menurut ayahnya sendiri itu mungkin agak sulit. Kalena tidak sehebat Daphrio. Dia tidak terlalu berbakat. Tapi dalam keadaan seperti sekarang ini, hal itu sudah tidak menjadi ukuran lagi. Yang dibutuhkan adalah seorang tabib, berbakat atau tidak. Begitu banyak yang terluka di Faschel. Fandro mengambil cangkir minuman di meja dan meniupnya pelan-pelan. “Kamu masih ingat perjalanan kita ke Ulutharine?” tanya Kalena. Fandro minum sedikit dan meletakkan cangkirnya. Dia terlihat antusias menjawab pertanyaan Kalena. “Ya, tentu saja. Desa itu sangat indah.” “Kamu memberiku bunga di sana...,” Kalena mengatakan itu dengan malu-malu. Dia tahu seharusnya tidak perlu malu. Kenangan itu milik mereka. Tidak ada yang perlu dirisaukan. “Ya, bunga itu sangat cantik. Aku tidak tahu namanya.” “Itu bunga shaelayas. Aku masih menyimpannya sampai sekarang.” Kalena bangkit dan mengambir bunga shaelayas yang tergeletak di meja kerjanya di ruang tengah. Dia membawanya dan kembali duduk di sebelah Fandro. “Ini.” Kalena menyodorkan bunga itu. Fandro menerimanya. Sesaat jemari mereka bersentuhan. Kalena merasakan jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Dia mencoba menenangkan dirinya. Fandro melihat bunga itu dengan seksama. “Masih segar.” “Ya, aku membuatnya tetap segar. Aku menyimpannya di botol.” Fandro memasangkan bunga itu di ikatan samping rambut Kalena. Kalena tidak menolak. Dia membiarkan Fandro melakukan itu. “Apa kamu akan lama ada di Faschel?” tanya Kalena beberapa saat kemudian.
Page 4 of 7
[CERITA DARI FASCHEL-SECANGKIR RINDU] August 27, 2011 “Tidak. Setelah semua tugas selesai, kami akan kembali ke Galagath.” Fandro menarik nafas panjang. “Sebenarnya, ini bukanlah hal yang aku inginkan, Lena. Aku melakukannya karena hanya itulah hal yang aku bisa lakukan. Aku hanya bisa memanah. Seandainya aku punya darah tabib sepertimu, aku akan menjadi tabib.” “Kamu jadi Panglima Galagath. Kamu yang memimpin penyerangan ini. Kamu bertanggung jawab atas tiap nyawa yang jadi batu di Faschel ini,” ujar Kalena tertahan karena amarah. Namun sesaat kemudian kemarahan itu berubah menjadi perasaan hangat yang selalu menyelubungi hatinya ketika Fandro ada di dekatnya. “Ya, aku jadi panglima. Aku datang ke Faschel dan menyerang kalian. Tapi itu semua karena perintah Raja. Aku tidak melakukannya atas kemauanku sendiri.” “Tapi kamu bisa memilih untuk tidak membunuh penduduk Faschel. Bagaimanapun, ibumu lahir dan besar di sini. Kamu punya darah Faschel juga.” “Tapi aku memilih untuk mengabdi pada Galagath. Itu bukan pilihan tanpa resiko. Inilah resikonya.” “Apa kamu tidak takut aku terbunuh?” tanya Kalena penasaran. Dia ingin tahu itu. Dia benar-benar ingin tahu. “Tidak.” Fandro menjawab singkat. “Kenapa?” desak Kalena. “Tabib tidak akan dibunuh. Kamu tahu itu....” Mereka pun terdiam. Fandro memandangi Kalena yang tampak sedikit sedih sementara Kalena tidak melepaskan pandangannya dari cangkir minuman di meja. “Kamu bisa memilih untuk tidak kembali ke Galagath dan hidup di sini denganku,” kata Kalena pelan. Dia mencoba untuk menahan agar tidak menangis, tapi suaranya bergetar juga. “Seandainya itu bisa,” Fandro mengelus punggung tangan Kalena. Kalena membiarkannya. Mereka kembali terdiam. Kalena merasakan dadanya sesak oleh kesedihan dan kerinduan yang bercampur jadi satu. Fandro yang sekarang duduk di sebelahnya ini adalah Fandro yang dulu. Masih jiwa yang sama. Kalena bisa merasakan itu. Fandro mengambil kembali cangkir dari atas meja dan minum beberapa teguk. “Ini enak sekali,” puji Fandro. “Itu secangkir rindu,” jawab Kalena pelan. Dia mencoba tersenyum. Fandro membalas senyum Kalena. Mereka bertatapan beberapa saat.
Page 5 of 7
[CERITA DARI FASCHEL-SECANGKIR RINDU] August 27, 2011 “Aku memasukkan satu buah kelopak bunga shaelayas ini ke dalam teko—“ Kalena meraba bunga shaelayas di ikatan rambutnya. “Ini bukan bunga biasa.” Sesaat Kalena terdiam. Dia menjadi tidak yakin akan apa yang sedang dilakukannya. Kalena menguatkan hatinya. Dia berusaha melanjutkan kata-katanya, “Ini bukan bunga biasa. Satu kelopak saja sudah cukup untuk menghentikan detak jantung perlahan-lahan. Ini bunga pembunuh, Fandro. Kamu memberiku bunga ini dan tidak tahu kalau bunga ini bisa membunuh—“ Fandro meletakkan cangkirnya. Dia memegang dadanya. Napasnya mulai terasa berat. Fandro menatap Kalena lekat-lekat. Kalena memegang tangan Fandro. Dia menggunakan tangannya yang satu lagi untuk memeriksa detak jantung Fandro. Kalena tahu, sebentar lagi jantung itu akan berhenti. “Aku tidak punya pilihan Fandro. Seperti kamu yang tidak punya pilihan untuk membunuh penduduk Faschel yang bahkan tidak mengerti kenapa harus terjadi perang, aku pun tidak punya pilihan untuk berusaha dengan cara apapun agar perang itu berakhir.” Kali ini Kalena tidak bisa menahan air matanya. Air mata itu jatuh dan mengenai gaunnya. Fandro yang tampak semakin pucat menggerakkan tangannya dengan sisa tenaga untuk menghapus air mata Kalena yang belum sempat jatuh. “Aku rasa ini cukup adil,” kata Kalena berat. Ya, itu adil. Setidaknya untuk Kalena ini semua adil. “Ini cukup adil, Lena,” ujar Fandro pelan. Suaranya hampir tidak terdengar. Kalena mengambil cangkir yang masih penuh. Fandro melihat itu dengan mata membulat. Dia mencoba mengangkat tangannya, merebut cangkir itu dari Kalena, tapi dia tidak bisa. Tenaganya seperti sudah habis. Kalena melihat bayangan kehitaman seperti asap mulai berkumpul di sekitar dada Fandro. Tidak lama lagi bayangan itu akan memadat dan berubah jadi batu. Fandro akan mati. Dengan cepat Kalena menghabiskan isi cangkir itu. “Tapi aku tidak bisa hidup setelah ini, Fandro—“ Kalena merasakan jantungnya mulai memelan. Kepalanya terasa berat dan sakit. Tapi dia masih bisa melihat Fandro tersenyum padanya sebelum akhirnya semua menjadi samar dan gelap. *** “—mana Kalena?!” Kalena merasakan jantungnya masih berdetak walau pelan. Dia berusaha membuka matanya tapi tidak bisa. Dia merasakan seseorang mengangkat tubuhnya. “Aku akan membuat ramuan obatnya. Kalena pasti sudah menyiapkan batang kasitora kalau dia tidak mau mati!”
Page 6 of 7
[CERITA DARI FASCHEL-SECANGKIR RINDU] August 27, 2011 “Bawa bajingan ini keluar. Perlihatkan pada pasukan Galagath kalau panglimanya sudah kita bunuh!” “Rencana ini berjalan dengan mulus! Sekarang kita bisa mengalahkan mereka!” Terdengar suara riuh-rendah. Tidak terlalu jelas. Kalena merasakan seseorang menyentuh tangannya. Itu Daph. Dia bisa merasakam denyut darah Daph yang berbeda. Sekuat tenaga Kalena berusaha membuka matanya. Samar-samar terlihat Daph yang sedang menghancurkan batang kasitora yang lunak dengan jarinya dan mencampurkannya dengan darahnya sendiri yang berwarna putih kebiruan di dalam sebuah mangkok kecil di lantai. “Daph—“ ujar Kalena pelan, nyaris seperti berbisik. Daph yang menyangka Kalena pingsan dengan cepat dan sedikit kaget melihat ke arah adiknya itu. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Daph. Kalena tidak menjawab. Daph tahu bahwa dia sekarat. “Daph, jangan—“ Kalena berusaha menarik tangan Daph. Daph menatap Kalena tajam. Dia berusaha untuk mengerti. Tapi tidak bisa. Dia tidak bisa mengerti sama sekali. “Daph—“ Kalena memaksakan diri untuk tersenyum. Daph mencium kening Kalena lembut. Dia mencoba membalas senyum Kalena tapi tidak bisa. Kalena menutup matanya. Dia masih bisa mendengar derit suara lantai kayu ketika Daph berjalan menjauhinya. Samar-samar dia juga masih bisa mendengar suara Daph. “Kalena sudah mati. Jiwanya menolongnya.”
sudah ***
Page 7 of 7
mulai
membatu.
Kita terlambat