perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS NOVEL PENANGSANG, TEMBANG RINDU DENDAM KARYA NASSIRUN PURWOKARTUN (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
TESIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Megister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh:
Irsyad Afrianto S841008012
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012
commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN
ANALISIS NOVEL PENANGSANG, TEMBANG RINDU DENDAM KARYA NASSIRUN PURWOKARTUN (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
Disusun Oleh: Irsyad Afrianto S841008012
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Komisi Pembimbing Pembimbing I
Nama
Dr. Andayani, M.Pd.
Tanda Tangan
Tanggal
……………
…..……2012
…………….
…………2012
NIP. 196010301986012001
Pembimbing II
Dr. Nugraheni Eko W, M.Hum. NIP. 197007162002122001
Mengetahui Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia,
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. commit to1978041001 user NIP 19440315
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS NOVEL PENANGSANG, TEMBANG RINDU DENDAM KARYA NASSIRUN PURWOKARTUN (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)
Disusun Oleh: Irsyad Afrianto S841008012
Tm Penguji
Jabatan Ketua
Nama Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
Tanda Tangan
Tanggal
……………….
……… 2012
……………….
……… 2012
……………….
……… 2012
……………….
……… 2012
NIP 19440315 1978041001 Sekretaris
Prof. Dr. St. Y. Slamet, M.Pd. NIP. 194612081982031001
Anggota
Dr. Andayani, M.Pd
Penguji
NIP. 196010301986012001 Dr. Nugraheni Eko W, M.Hum NIP. 197007162002122001 Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat Pada tanggal …….…………. 2012 Direktur
Ketua Program Studi Pendidikan
Program Pascasarjana UNS
Bahasa Indonesia
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. Nip 196107171986011001
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. commit to user
iii
NIP 19440315 1978041001
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Nama
: Irsyad Afrianto
NIP
: S841008012
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul ANALISIS NOVEL PENANGSANG,
TEMBANG
RINDU
DENDAM
KARYA
NASSIRUN
PURWOKARTUN (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan) adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Januari 2012 Yang membuat pernyataan,
Irsyad Afrianto
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Sungguh manusia diciptakan suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta), dia jadi kikir. (QS Al-Ma’arij:19-21)
Lire kang bawa leksana anetepi pangandika (Sikap terhormat adalah dengan menepati kata-kata yang telah diucapkan)
Hayuning bawana saka ing hayuning sarira (keindahan dunia bermula dari keindahan pribadi)
Ora ono kasekten kang ora madani pepesthen, awit pepesthen iku saka karsaning Pangeran kang ora ono biso murung balen (tidak ada kesaktian manusia yang bisa menyamai kepastian takdir Tuhan karena takdir Tuhan adalah kehendak-Nya yang tiada seorang pun bisa membatalkan lagi)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Persembahan:
1. Bapak dan Ibu tercinta 2. Istri saya, Anjar Setianingsih 3. Anak saya, Natasya Aura Putri 4. Teman-teman di Yayasan Islam Al-Falah 5. Almamater
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Analisis Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan pandangan dunia pengarang, unsur intrinsik novel, sosial budaya masyarakat dan nilai pendidikan dengan menggunakan pendekatan Strukturalisme Genetik. Tesis dibuat guna memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar magister pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesis ini dapat diselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulismenyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr.Ir. Ahmad Yunus, M.S., Direktur PPs UNS yang telah memberikan izin penyusunan tesis ini; 2. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., Ketua Program Studi Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS dan sekretaris program Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., yang telah membantu proses perkuliahan sehingga dapat berjalan dengan lancar; 3. Dr. Andayani, M.Pd sebagai pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran, ketulusan, ketelitian dan penuh to user dengan lancar; harapan sehingga tesis ini commit dapat tersusun
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Dr. Nugraheni Eko W, M.Hum sebagai pembimbing II yang telah, bimbingan, masukan yang sangat berharga, serta memotivasi sampai ke lubuk hati yang paling dalam sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu; 5. Seluruh Dosen Pascasarjana, ilmu yang diberikan oleh Bapak Ibu akan menjadi bekal hidup penulis sebagai calon pegajar; 6. Drs. Sahono, M.Pd dan Muji Hartini sebagai orang tua yang telah memberikan dukungan dan motivasi sehingga jejang pendidikan Megister ini dapat ditempuh dan diselesaikan dengan lancar. 7. Anjar Setianingsih, S.Pd selaku pendamping hidup yang telah memberikan semangat dan motivasi. 8. Teman-teman Yayasan Islam Al-Falah yang selalu memberikan semangat dan motivasi. 9. Seluruh teman satu angkatan, staf TU Pascasarjana yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah Yang Maha Kaya membalas kebaikan Bapak Ibu. Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan tesis agar lebih baik dan bermanfaat. Semoga Allah selalu menyertai langkah kita, sekarang dan selamanya. Amin.
Surakarta, commit to user
viii
Januari 2012 Penulis,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman JUDUL ........................................................................................................
i
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................
ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS......................................................
iii
PERNYATAAN...........................................................................................
iv
MOTTO...................................................................................................... .
v
PERSEMBAHAN........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR.................................................................................
vii
DAFTAR ISI ................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xiv
ABSTRAK...................................................................................................
xv
ABSTRACT................................................................................................ .
xvi
BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................
1
B. Rumusan Masalah ............................................................................
7
C. Tujuan Penelitian .............................................................................
8
D. Manfaat Penelitian ...........................................................................
8
BAB II. LANDASAN TEORETIS .............................................................
10
A. Landasan Teoretis ............................................................................
10
1. Hakikat Novel ........................................................................... commit to user
10
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a. Pengertian Novel ...................................................................
10
b. Jenis-jenis Novel................................................... .................
14
c. Unsur-unsur Novel .................................................................
16
2. Hakikat Strukturalisme Genetik ................................................
32
a. Pengertian Strukturalisme Genetik .......................................
32
b. Unsur-unsur Strukturalisme Genetik ....................................
35
1) Fakta Kemausiaan ............................................................
35
2) Subjek Kolektif atau Subjek Transidividual ....................
36
3) Pandangan Dunia .............................................................
37
4) Struktur Naskah ...............................................................
41
5) Struktur Sosial Budaya.....................................................
43
3. Nilai Pendidikan dalam Novel ...................................................
48
a. Hakikat Pengertian Nilai…………………………………. ..
48
b. Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel……………………. ....
52
1) Nilai Pendidikan Religius ................................................
53
2) Nilai Pendidikan Moral ...................................................
54
3) Nilai Pendidikan Sosial....................................................
55
4) Nilai Pendidikan Budaya ................................................
56
B. Penelitian yang Relevan ...................................................................
58
C. Kerangka Berpikir ............................................................................
62
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................
64
A. Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................................
64
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ......................................................... commit to user
65
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Pendekatan Penelitian ......................................................................
65
D. Data dan Sumber Data .....................................................................
66
E. Teknik Cuplikan ..............................................................................
67
F. Teknik Pengumpulan Data ...............................................................
67
G. Prosedur Penelitian .........................................................................
69
H. Validitas Data ..................................................................................
70
I. Analisis Data ....................................................................................
71
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. ...........................
74
A. Hasil Penelitian ..................................................................................
74
1. Deskripsi Pandangan Dunia Pengarang (Nassirun Purwokartun).....
74
2. Deskripsi Struktur Teks Novel Penangsang Tembang Rindu Dendam..... .......................................................................................
82
3. Deskripsi Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Penangsang Tembang Rindu Dendam ............................................. 126 4. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Penangsang Tembang Rindu Dendam ............................................... 144 B. Pembahasan.................................................................................... 149 1. Pandangan Dunia Pengarang (Nassirun Purwokartun)........... .........
149
2. Struktur Teks Novel Penangsang Tembang Rindu Dendam..... ...... 154 3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Penangsang Tembang Rindu Dendam ............................................. 160 4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Penangsang Tembang Rindu Dendam ............................................. 167 commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN....................................
170
A. Simpulan.................................................................................. .........
170
B. Implikasi............................................................................................
173
C. Saran................................................................................................ .. 179 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 180 LAMPIRAN
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian............................................. 64
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir ............................................................. 63 Gambar 2. Bagan model interatif Miles & Huberman ............................ ... 71
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Irsyad Afrianto. S 841008012. “Analisis Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Januari 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : (1) pandangan dunia Nassirun Purwokartun dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun; (2) struktur teks novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun; (3) struktur sosial budaya masyarakat dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun; dan (4) nilai pendidikan novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun;. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan metode content analysis atau analisis isi. Sumber data penelitian ini adalah novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun, karya-karya Nassirun Purwokartun yang lain, biografi penulis, komentar pengarang-pengarang lain, dan artikel dari buku , surat kabar, internet yang menunjang permasalahan penelitian. Teknik analisis cuplikan penelitian ini menggunakan purposive sampling. Validitas data penelitian ini menggunakan metode triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis jalinan atau mengalir (flow model of analysis) yang meliputi tiga komponen, yaitu : (1) reduksi data (data reduction); (2) sajian data (data display); dan (3) penarikan simpulan (conclution drawing). Prosedur penelitian yang peneliti lakukan melalui tiga tahap mencakup: (1) tahap eksplorasi dan memperoleh gambaran umum, (2) tahap eksplorasi fokus, (3) tahap pengecekan dan keabsahan data. Berdasarkan analisis data melalui pendekatan strukturalisme genetik, dapat disimpulkan: (1) Pandangan dunia Nassirun Purwokartun; (2) struktur teks novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam yang meliputi tema, alur, tokoh, latar, dan sudut pandang; (3) struktur sosial budaya masyarakat novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam yang meliputi proses kreatif, latar sosial budaya masyarakat (religiusitas dalam masyarakat Jawa, seni budaya Jawa, mitos masyarakat Jawa, perilaku dan kesenangan masyarakat Jawa, penggunaan bahasa dalam masyarakat, prinsip hidup masyarakat Jawa, interaksi sosial dalam masyarakat Jawa, pewarisan kepemimpinan, penyampaian kritik (4) dan nilai pendidikan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam yang meliputi nilai pendidikan agama, moral, adat/budaya, dan sosial. Kata Kunci: Pendekatan, Strukturalisme Genetik, Nilai Pendidikan
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Irsyad Afrianto. S 841 008 012. "Analisis Novel Penangsang,Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun( Kajian structuralism Genetik dan Nilai Pendidikan)". Theses. Surakarta: Education Indonesian Studies Program in Graduate Program of Sebelas Maret University of Surakarta, January 2012. The analysis of this study were to describe: (1) world view in the novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam by Nassirun Purwokartun, (2) the structure of a novel text Penangsang, Tembang Rindu Dendam by Purwokartun Nassirun, (3) socio-cultural structure of society in the novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam by Nassirun Purwokartun; and (4) the value of education Penangsang, Tembang Rindu Dendam novel of Nassirun Purwokartun work; Form of this study is descriptive qualitative content analysis method or content analysis. Sources of data of this study is novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam of Nassirun Purwokartun work, the other works of Nassirun Purwokatun were, author biographies, comments of other authors, and articles from books, newspapers, and Internet that support the research problem. Analysis techniques used in this study is purposive sampling. The data validity of this research is triangulation theory method. Data analysis techniques used in this study is interwoven or flow analysis techniques (flow model of analysis) which includes three components, namely: (1) reduction of the data (data reduction), (2) presentation of data (data display), and (3) drawing conclusions (conclusion drawing). Research procedures that researchers do through three stages include: (1) the exploration phase and gain a general overview, (2) the exploration focus, (3) checking and validity of data stage. Based on the data analysis through a genetic structuralism approach, it can be concluded: (1) worldview Nassirun Purwokartun, (2) Penangsang, Tembang Rindu Dendam novel text structures, which include theme, plot, characters, backgrounds, and points of view, (3) social and cultural structure of the novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam , which includes the process of creative, social and cultural background (religiosity in the Java community, the art of Javanese culture, Javanese myths, behavior and pleasure of Javanese society, the use of language in society, the principle of the Java community living, social interaction in the Java community, leadership succession, the delivery criticism (4) and the value of education in the novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam, which includes the value of religious education, morals, customs / culture, and social. Keywords: Approach, Genetic structuralism, Value Education
commit to user
xvi
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan kesusastraan di Indonesia telah membawa dampak positif dengan kemunculan sastrawan-sastrawan yang telah menghasilkan berbagai karya yang dapat memberikan wacana atau pandangan yang lebih luas terhadap masyarakat. Misi tersebut disuguhkan para sastrawan melalui pesan moral atau amanat yang terkandung dalam karyanya. Melalui karya-karya tersebut sastrawan berharap dapat mengajak masyarakat, khususnya para pembaca, agar lebih kritis dalam menghadapi isu maupun masalah-masalah sosial yang terjadi pada kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Karya sastra sebagai salah satu hasil seni pada dasarnya adalah karya fiksi atau rekaan. Meskipun demikian, apa yang tersurat maupun tersirat dalam sebuah karya sastra dapat pula bersumber dari hasil renungan dan reaksi pengarang terhadap segala permasalahan hidup, baik yang dialami sendiri oleh pengarang maupun dari fenomena atau kejadian nyata yang terjadi dalam masyarakat. Tidak jarang pengarang menulis sebuah karya sastra untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Karya sastra merupakan reaksi dari realita kehidupan yang disajikan seorang pengarang dalam bentuk tulisan. Pada hakikatnya pengungkapan kehidupan tersebut melalui media bahasa. Oleh sebab itu, karya sastra dapat dijadikan media dokumentasi yang mengisahkan kehidupan commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
2 digilib.uns.ac.id
nyata yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Herman J. Waluyo (1997: 62): Karya sastra sebagai media dokumentasi merangkum segala gejala-gejala yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat atau sosial budaya dengan analisis sosialnya, mulai cara berpakaian, gaya bahasa masyarakat, cara hidup, komunikasi dalam kelompok-kelompok, perbedaan status personal, sopan santun, adat istiadat, konvensi lokal, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dan sampai pada item-item yang terkecil. Dapat pula penulis jadikan acuan seperti apa yang dikatakan William Henry Hudson bahwasanya sastra sebagai pengungkapan baku dari apa yang telah disaksikan orang dalam kehidupan, apa yang telah dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah dipermenungkan, dan dirasakan orang mengenai segisegi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung dan kuat. Lebih lanjut dikatakan bahwa yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia untuk mengungkapkan diri, menarik minat pada sesama manusia, menarik minat pada dunia realitas tempat hidupnya, dan pada dunia angan-angan yang dikhayalkan dengan dunia nyata, serta keinginan dasar untuk mencintai sebagai bentuk suatu karya sastra Dengan mengetahui kondisi para sastrawan, seseorang dapat memahami corak sastra dan motivasi-motivasi timbulnya karya sastra. Dalam menikmati suatu karya sastra, seseorang dapat lebih menempatkan suatu karya sastra pada posisi yang tepat. Dengan demikian, masyarakat juga akan memberikan apresiasi yang tepat pula terhadap karya sastra tersebut. Novel adalah salah satu jenis karya sastra. Novel menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari tokoh cerita. Kejadian-kejadian dalam novel tersebut commit to user menimbulkan pergolakan batin dan benturan-benturan dengan tokoh lain yang
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bertentangan, sehingga dalam proses yang panjang dapat mengubah perjalanan nasib tokohnya. Perjalanan tokoh dalam sebuah novel diawali dengan perkenalan yang mendeskripsikan sang tokoh sedetail mungkin, hubungan tokoh yang satu dengan yang lain hingga menimbulkan permasalahan atau konflik, klimaks yang menimbulkan ketegangan dari masing-masing tokoh dan sampai pada akhirnya terjadi penyelesaian yang mengakibatkan perubahan dari tokoh yang diceritakan. Kedudukan tokoh begitu mendominasi dalam karya sastra. Henry William Hudson mengatakan bahwa penokohan merupakan bagian yang sangat penting, bahkan lebih penting dari alur cerita (Herman J. Waluyo, 1997: 106). Istilah penokohan di sini berarti cara pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenisjenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh-tokoh dan pelukisan gejolak batin tokoh dalam menghadapi konflik. Dengan demikian, novel memotret kehidupan manusia yang di dalamnya berkisar kesedihan, kebahagiaan, tragedi, dan bahkan komedi. Dalam konteks itulah, novel menggambarkan banyak aspek kehidupan, utamanya aspek sosial kehidupan manusia. Novel juga mampu mempengaruhi cara pandang atau persepsi pembaca terhadap kehidupan. Oleh karena itu, khasanah pengetahuan pembaca akan dipertajam dan diperluas dengan membaca novel. Dengan kata lain, pembaca yang mengapresiasi novel
akan mendapatkan banyak pengalaman
berharga. Hal itu juga tampak dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun. Novel ini membawa sebuah pandangan baru yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4 digilib.uns.ac.id
memandang sebuah literatur-literatur tentang Penangsang tidak selalu berkata jujur. Terutama dalam cerita Babad Tanah Jawi. Nassirun Purwokartun. Nama itu identik dengan gambar kartun. Memang pemilik nama itu adalah seorang kartunis. Namun selain sebagai seorang kartunis, ia juga seorang penyair, cerpenis, dan novelis. Penangsang merupakan novel pertamanya. Kang Nass, nama panggilannya, memang tergolong berani, revolusioner. ia menuangkan kegundahannya terhadap kisah sejarah Jawa dalam sebuah novel. Rujukan sejarah Jawa selama ini adalah penulisb Babad Tanah Jawi. Novel ini diibaratkan oleh Langit Kresna Hariadi penulis tetralogi novel Gajah Mada seperti disertasi bagi penulisnya. Memang tidak salah komentar Hariadi tersebut. Dibutuhkan usaha yang keras untuk membuat novel setebal 700 halaman. Apalagi novel yang mengisahkan sejarah yang selama ini sudah “dipatenkan” dalam Babad Tanah Jawi dengan prespektif yang berbeda. Semua bermula dari siapa pembuat penulisb sejarah tersebut dan atas kepentingan apa karya tersebut dibuat. Ketika penyusunan literatur sejarah dilakoni berdasarkan kepentingan tertentu seseorang atau suatu pihak, maka subjektivitas akan sangat kental mewarnai karya tersebut. Karya sejarah akan memaparkan sebuah karya yang bersifat hitam putih. Ada pihak yang begitu putih dan diagungkan sebagai pahlawan yang bijak lestari, ada pula pihak yang begitu hitam sehitam jelanga tanpa setitik nilai kebaikan yang dimilikinya. Akibatnya, banyak sosok masa lalu yang menjadi “musuh” banyak generasi berikutnya karena tertulis keburukan nya dalam catatan sejarah. Tanpa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
5 digilib.uns.ac.id
kemungkinan untuk membela diri atau menghadirkan kesejatian dirinya yang sesungguhnya tidak seperti yang pernah dituliskan dalam catatan sejarah. Haryo penangsang adalah salah satu sosok yang menjadi korban subjektivitas penulisan sejarah tersebut. Oleh sumber sejarah yang berpihak pada penggenggam kekuasaan masa itu, Haryo penangsang dihadirkan sebagai antagonis sarat dengan kejelekan dan kejahatan. Hal ini karena sedemikian benci sang penguasa tersebut kepada sang Adipati Jipang. Menurut Tjahjono Widijanto (dalam Penangsang 2010) Penangsang adalah sosok misterius dalam sejarah jawa. Ia adalah tokoh yang dikalahkan oleh sejarah dan kekuasaan. Selama ini ia dicitrakan sebagai seorang yang antagonis dan urakan. Di panggung ketoprak, sosok Haryo Penangsang adalah orang yang gila kekuasaan dan sangat berangasan. Hatinya selalu panas dan jiwanya mudah marah. Sifat itulah yang kemudian menjadi penyebab kekalahan, bahkan kematiaanya. Sementara Mas Karebet digambarkan sebagai sosok pemimpin yang berjiwa bijak dan berjiwa arif. Seorang tokoh yang kemudian menjadi pemenang dalam pertarungan dengan Haryo Penangsang Banyak orang yang sepaham dan menerima begitu saja kabar-kabar tentang masa lalu tanpa banyak bertanya. Berbeda dengan Nassirun Purwokartun yang tidak menerima alur sejarah tentang Demak, khususnya Haryo Penangsang yang telah lama dianggap kebenaran. Sejarah selalu berpihak yang menang. Karenanya sejarah selalu bisa ditulis ulang dan ditafsirkan ulang. Bukti dalam hal ini sudah sangat banyak dalam kehidupan penulis, dan kisah tentang Haryo Panangsang salah satunya. Gambaran Babad Tanah Jawi menjadikannya sosok commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adipati Jipang ini begitu antagonis dan haus kekuasaan. Nassirun berupaya menguak jati diri sebenaranya murid kesayangan Sunan Kudus ini, dan ternyata tafsir sejarah berbalik begitu cepat. Dari sini penulis belajar, dan kembali mengagumi tentang sisi periwayatan dalam Islam sebagaimana yang diajarkan dalam ilmu hadits.
Kisah hidup Rasulullah SAW jauh lebih awal dari
Penangsang, tapi ternyata lebih lengkap dan detil sajiannya sebagaimana banyak ditemukan dari penulis Siroh Nabawiyah. Gambaran mistis yang menghiasi kisah Walisongo selama ini ternyata tidak lebih dari mitos belaka. Penulis Babad Tanah Jawi mempunyai saham besar dalam melestarikan mitos dan dongeng seputar para penyebar dakwah di nusantara ini. Yang akan penulis temukan dalam novel ini justru sebaliknya dan sebagaimana penulis yakini selama ini bahwa Walisongo adalah sosok para ulama negarawan bahkan panglima perang. Sosok Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati menjadi icon dalam hal ini, yaitu kedalaman ilmu agama, kecermatan ilmu pemerintahan, sekaligus keberanian dan kehandalan di medan perang. Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun akan membuka mata penulis lebih lebar tentang posisi Kesultanan Demak sebagai palang pintu nusantara dalam menghadang penjajah pada awal mulanya, yaitu dari ancaman bajak laut terbesar dalam sejarah yang ada (Bangsa Portugis ). Penulis akan tersadar bahwa bentuk pemerintahan Islam sudah lama ada dan mengakar di tanah Jawa. Begitupun peran mereka yang begitu besar dalam menjaga kemakmuran sekaligus mengamankan nusantara, nyaris tidak terbantahkan lagi. Jika hari ini banyak yang terlampau phobia dengan istilah negara dan commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pemerintahan Islam, barangkali perlu sejenak membaca sejarah lebih benar agar juga bisa bersikap lebih elegan Berpijak dari latar belakang di atas, penulis tertarik meneliti Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun untuk mengetahui unsur intrinsik novel, pandangan dunia pengarang dan nilai pendidikan yang terdapat dalam novel. Oleh karena itu, penulis mengambil judul “Novel
Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun
(Tinjauan Strukturalisme Genetik dan nilai Pendidikan)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pandangan dunia pengarang (Nassirun Purwokartun) yang melatarbelakangi novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam? 2. Bagaimana struktur teks Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun? 3. Bagaimana struktur sosial budaya masyarakat dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun? 4. Bagaimana nilai pendidikan dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun?
commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan berikut ini: 1. Pandangan
dunia
pengarang
(Nassirun
Purwokartun)
yang
melatarbelakangi novel Penangsang, Tembang Rindu Denda. 2. Struktur teks Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun 3. Struktur sosial budaya masyarakat dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun 4. Nilai pendidikan dalam Novel
Penangsang, Tembang Rindu Dendam
karya Nassirun Purwokartun
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah pengetahuan dalam bidang sastra dan memberikan kontribusi dalam kajian dengan menggunakan tinjauan strukturalisme genetik. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru Hasil penelitian ini mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam. Guru dapat mengajarkan nilai-nilai commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut dapat dijadikan teladan bagi siswa dalam menghadapi serta menyikapi setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan. b. Bagi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia Hasil penelitian ini untuk pembelajaran apresiasi sastra. c. Bagi Mahasiswa atau Peneliti lain Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan perbandingan atau sumber informasi bagi penelitian Strukturalisme genetik sastra lainnya.
commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORETIS, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teoretis 1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel Bentuk novel dianggap sama dengan bentuk roman, walaupun sebenarnya berbeda. Episode yang diceritakan dalam novel tidak sepanjang yang terdapat pada roman. Novel hanya menceritakan episode yang dianggap penting saja dari kehidupan tokoh utama, misalnya masa remaja hingga berumah tangga, masa kanak-kanak hingga menikah, masa berumah tangga, dan lain-lain. Isi, cara penceritaan, dan bahasa dalam novel juga lebih beragam. Ada novel-novel yang romantis (misalnya karya N.H. Dini, Marga T., Mira W., ataupun Pramoedya Ananta Toer), tetapi banyak pula yang bersifat lebih dinamis dan tidak bertendensi mengharu-biru perasaan pembaca (misalnya karya Ayu Utami, Putu Wijaya, serial “Lupus”, dan lain-lain). Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sekaligus disebut sebagai fiksi. Istilah novel berasal dari kata novella yang berasal dari bahasa Italia. Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 9), secara harafiah novella berarti sebagai sebuah barang baru yang kecil yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
11 digilib.uns.ac.id
Burhan Nurgiyantoro (2002: 9-10) memaparkan bahwa dewasa ini istilah novella atau novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia, novellet yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan, tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek. Meskipun dengan panjang yang cukupan tersebut. Diharapkan novel mampu memberikan pencerahan dan penyadaran kepada pelajar agar mereka dapat hidup bermasyarakat dengan baik, saling menyadari perbedaan, dan lebih toleran kepada masyarakat luas. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 37) dalam novel terdapat 3 hal, antara lain: (1) perubahan nasib dari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama tidak sampai mati. Sejalan dengan pendapat di atas, Henry Guntur Tarigan (1993:165) menyimpulkan berbagai definisi novel yang telah dipaparkan oleh para ahi teori sastra, antara lain: (a) novel bergantung pada tokoh; (b) novel menyajikan lebih dari satu impresi; (c) novel menyajikan lebih dari satu efek; dan (d) novel menyajikan lebih dari satu emosi. Dengan kata lain, novel merupakan salah satu bentuk fiksi dalam bentuk prosa yang memiliki panjang cukupan dalam arti tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek serta di dalamnya terkandung 3 hal yang berkaitan dengan isi cerita novel, antara lain: (1) perubahan nasib tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama yang diceritakan tidak sampai mati. Secara garis besar, novel merupakan sebuah karangan yang memaparkan ide, gagasan atau khayalan dari penulisnya. commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hal tersebut sejalan dengan definisi novel yang terdapat di dalam The American College Dictionary (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 120) novel adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun karya-karya narasi imajinatif, terutama dalam bentuk prosa; (2) karya-karya dari jenis ini, seperti novel/ dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan, dibuat-buat atau diimajinasikan, suatu cerita yang disusun. Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 120) mendefinisikan fiksi sebagai sebuah bentuk penyajian atau cara seseorang memandang hidup ini. Jadi karya fiksi memang bukan nyata, tetapi karya sastra juga bukan kebohongan karena fiksi adalah suatu jenis karya sastra yang menekankan kekuatan kesastraannya pada daya penceritaannya. Karya sastra bukan hanya sebuah khayalan semata, tetapi juga merupakan sebuah refleksi dari suatu hal yang dirasakan, dilihat, bahkan mungkin juga dialami oleh penulis. Sedikit berbeda dengan beberapa pendapat di atas, Goldman (dalam Faruk, 2010: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga tergradasi. Nilai-nilai otentik yang dimaksud tersebut adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah novel yang dapat mengorganisasikan sebuah novel secara keseluruhan meskipun tidak tertuang secara eksplisit. Atar Semi (1993: 32) juga memaparkan pendapat yang tidak jauh berbeda commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan pendapat-pendapat di atas, bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas. Dalam hal ini novel lebih mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan lebih halus. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa sebuah novel merupakan suatu hasil imajinasi penulis yang menggambarkan refleksi kehidupan tokoh dan segala masalah yang menyertainya secara utuh dengan berbagai nilai yang turut membangun kelengkapan sebuah cerita. Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel tersebut tidak dituangkan secara eksplisit oleh penulisnya dan nilai tersebut pada akhirnya dapat diambil oleh pembaca
sebagai
sebuah
pelajaran
yang
mungkin
bermanfaat
untuk
kehidupannya. Novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan. Unsur-unsur tersebut turut membangun sebuah novel yang kemudian membentuk sebuah totalitas tersebut. Secara tradisional, unsur-unsur pembangun novel dapat dibedakan menjadi dua bagian walaupun tidak sepenuhnya terpisah, unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 23). Mengenai segi unsur dari dalam novel yang turut membangun jalinan keutuhan sebuah novel, Burhan Nurgiyantoro (2002: 4) memaparkan bahwa novel merupakan sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang imajiner, dunia yang diharapakan menjadi model kehidupan yang nyata yang dibangun commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
melalui berbagai unsur intrinsik, seperti plot, setting, peristiwa, tokoh, tema, dan sudut pandang. Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah karya sastra yang berisi tentang rangkaian cerita yang memaparkan ide, gagasan, maupun khayalan penulisnya. Akan tetapi, novel tidak hanya khayalan semata, novel juga memaparkan tentang refleksi dari suatu hal yang dilihat, dirasa, bahkan mungkin juga dialami oleh penulisnya. Keterjalinan cerita dan kesempurnaan sebuah novel dapat dilihat dari beberapa unsur yaitu unsur intrinsik yang terdiri dari alur, penokohan, setting, tema, dan sudut pandang serta unsur ekstrinsik yang berupa latar belakang pengarang, amanat, dan berbagai unsur lain yang turut membangun sebuah novel hingga novel tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh para penikmatnya.
b. Jenis-jenis Novel Novel dapat dibedakan dengan melihat karakteristik jenisnya. Herman J. Waluyo (2002: 38-39) membedakan jenis novel menjadi dua, yaitu novel serius dan novel pop. Novel serius adalah novel yang dipandang bernilai sastra (tinggi), sedangkan novel pop adalah novel yang nilai sastranya diragukan (rendah) karena tidak ada unsur kreativitasnya. Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2010: 75) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimisme dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis kedua commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Sedangkan dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik. Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2011: 126), yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 127). Karya
sasrta
dapat
dibedah
struktur
yang
dimilikinyz
untuk
memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 5960) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat oleh bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation, yaitu struktur dalam bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia imajinasi. Berdasarkan uraian A. Teeuw tersebut, Herman J. Waluyo (2002: 60) memberikan pandangan pada karya sastra terdapat adanya faktor ekstinsik, faktor intrinsik, dan dunia pengarang. Dunia pengarang dapat dimasukkan juga dalam faktor ekstrinsik, yaitu di luar faktor objektif karya sastra itu sendiri. commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Meskipun tidak menjadi bagian di dalam novel, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangunan cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu, sebenarnya banyak faktor yang menjadi unsur ekstrinsik novel. Wellek dan Warren (1990: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis. Untuk memahami sebuah novel, harus dilakukan pembedahan struktur yang dimiliki. William Kenney (1966: 6-7) berpendapat, “To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up (this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole”.
Berpijak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel dibagi menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan.
c. Unsur-unsur Novel Penelitian terhadap novel bertolak pada unsur yang terdapat di dalam novel itu. Berkenaan dengan unsur intrinsik, Burhan Nurgiyantoro (2002: 23) menyebutkan beberapa unsur, yaitu peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, dan bahasa atau gaya bahasa. Berikut ini dipaparkan beberapa unsur intrinsik novel yang berkaitan erat dengan pengkajian novel melalui pendekatan strukturalisme genetik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
1) Tema Tema sering dimaknai sebagai inti cerita novel. Semua cerita yang dibangun berpusat dari satu tema. Definisi yang disampaikan Robert Stanton (2007: 147) memaknai tema sebagai makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan dan sebagainya (Herman J. Waluyo, 2002: 142). Masalah hakiki manusia tersebut berasal dari rasa kejiwaan manusia secara pribadi maupun sebagai manifestasi interaksi dengan manusia lain. Karena itu, gagasan utama dari suatu novel biasanya berisi pandangan tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan. Dalam karya sastra, tema senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dan pola tingkah laku. Tema yang banyak dijumpai pada karya sastra yang bersifat didaktis adalah pertentangan antara nilai baik - buruk, misalnya dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kezaliman melawan keadilan, korupsi melawan kerja keras, dan sebagainya. Tema cerita kadang-kadang dinyatakan secara eksplisit oleh pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan, maupun judul karya, sehingga pembaca mudah memahami. Dari membaca judulnya saja, misalnya Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Dua Dunia dan lainlain, dengan mudah pembaca dapat menebak temanya. Meskipun demikian, harus disadari bahwa tidak semua judul menunjukkan tema commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cerita. Ada pula judul-judul yang bersifat simbolik, misalnya Layar Terkembang, Belenggu dan lain-lain. Dengan demikian, untuk menggali tema cerita tidak selalu mudah karena banyak pula yang bersifat implisit (tersirat), sehingga seseorang perlu membaca lebih dahulu seluruh cerita dengan tekun dan cermat. Menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:68), tema merupakan gagasan dasar umum yang menopamg sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ”tersembunyi” di balik cerita yang mendukungnya. Sayuti (Wiyatmi, 2006: 43) mengungkapkan fungsi tema, yaitu untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagad raya. Jadi, tema dapat berfungsi sebagai penyatu unsur-unsur cerita dan juga sebagai penghubung visi pengarang dengan kehidupan nyata. Berkenaan dengan jenis tema, Burhan Nurgiyantoro (2002: 77-84) menggolongkan tema tradisional yang menunjuk pada tema yang ’itu-itu” saja dan tema nontradisional yang bersifat tidak lazim. Ia juga mengungkapkan adanya tema pokok atau tema mayor sebagai makna commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya, dan tema tambahan atau tema minor. Di samping itu Burhan Nurgiyantoro (2002: 77-84) juga mengutip tingkatan tema menurut Shipley, yaitu: (1) tema tingkat fisik, yaitu manusia sebagai (atau dalam tingkatan kejiwaan) molekul; (2) tema tingkat organik, yaitu manusia sebagai protoplasma; (3) tema tingkat sosial, yaitu manusia sebagai makhluk sosial; dan (4) tema tingkat egoik, yaitu manusia sebagai individu. Namun Herman J Waluyo (2002:12) mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis, yaitu: (1) tema yang bersifat fisik; (2) tema organik; (3) tema sosial; tema egoik(reaksi probadi); dan tema devine (Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia. Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan antara manusia. Tema yang bersifat sosial berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan, kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu. Sedangkan tema divine (Ketuhanan) menyangkut renungan yang bersifat religius hubungan manusia dengan sang khalik. Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema menyangkut
masalah
hakiki
manusia
dan
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan sifat fisik, organik, sosial, egoik, dan tema ketuhanan. commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Alur/Plot a). Pengertian alur Plot memegang peranan penting dalam cerita. Fungsi plot memberikan penguatan dalam proses membangun cerita. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 146-147) plot memiliki fungsi untuk membaca ke arah pemahaman cerita secara rinci dan menyediakan tahap-tahap tertentu bagi penulis untuk melanjutkan cerita berikutnya. William Kenney (1966: 13-14) menyatakan: “ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect”. “The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “arrangement” we call plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns”.
Foster (Budi Darma, 2004: 13) mengungkapkan bahwa plot adalah rangkaian peristiwa yang diikat oleh hubungan sebab-akibat. Jika rangkaian peristiwa itu tidak diikat oleh hubungan kausalitas maka itu bukanlah plot. Ada pula yang mengumpamakan alur sebagai sangkutan, tempat menyangkutnya bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah suatu bangun yang utuh. Dalam fungsinya yang demikian dapat dibedakan peristiwa-peristiwa utama yang membentuk alur utama, dan peristiwa-peristiwa pelengkap yang membentuk alur bawahan atau pengisi jarak antara dua peristiwa utama. commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Peristiwa yang dialami tokoh disusun sedemikian rupa menjadi sebuah cerita, tetapi tidak berarti semua kejadian dalam hidup tokoh ditampilkan secara lengkap. Peristiwa-peristiwa yang dijalin tersebut sudah
dipilih
dengan
memperhatikan
kepentingannya
dalam
membangun alur. Peristiwa yang tidak bermakna khas (signifikan) ditinggalkan,
sehingga
sesungguhnya
pengaluran
selalu
memperhatikan hubungan kausalitas/sebab-akibat. Memang, hubungan kausalitas ini tidak selalu segera tampak dalam sebuah novel yang tersusun rapi karena kadang-kadang tersembunyi di balik peristiwa yang meloncat-loncat, atau di dalam ucapan maupun perilaku tokoh-tokohnya. Walaupun begitu pembaca harus dapat menangkap hubungan kausalitas tersebut. Untuk itu pengarang yang baik hanya menampilkan lakuan dan cakapan yang bermakna bagi hubungan keseluruhan alur, sebab jika banyak digresi (lanturan) dapat mengalihkan perhatian pembaca dari peristiwa utama ke peristiwa pelengkap Herman J. Waluyo (2002: 21) mengemukakan pengertian tentang plot. Menurutnya plot mengandung indikator-indikator sebagai berikut: 1). Plot adalah kerangka atau struktur crita yang merupakan jalinmenjalinnya cerita dari awal hingga akhir; 2). Dalam plot terdapat hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari peristiwa-periatiwa, baik dari tokoh, ruang, maupun waktu; commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3). Jalinan cerita dalam plot erat kaitannya dengan perjalanan cerita tokoh-tokohnya; 4). Konflik batin pelaku adalah sumber terjadinya plot yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian cerita; 5). Plot berkaitan dengan perkembangan konflik antara tokoh antagonis dengan tokoh protagonis. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan definisi alur adalah
pengaturan
urutan
peristiwa
pembentuk
cerita
yang
menunjukkan adanya hubungan kausalitas. b). Penahapan Alur Secara teoretis plot biasanya dikembangkan dalam urut-urutan tertentu. Herman J. Waluyo (2002: 147-148) membedakan plot menjadi tujuh tahapan: (1) exposition, yaitu paparan awal cerita; (2) inciting moment, yaitu peristiwa mulai adanya problem-problem yang ditampilkan oleh pengarang untuk dikembangkan atau ditingkatkan; (3) rising action, yang penanjakan konflik; (4) complication, yaitu konflik yang semakin ruwet; (5) klimaks, yaitu puncak dari seluruh cerita dan semua kisah atau peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut; (6) falling action, yaitu konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya; (7) denovement, yaitu penyelesaian.
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bertolak dari pendapat di atas, tahapan alur adalah exposition, inciting moment, rising action, complicatipn, klimaks, failing action, dan denovement
c) Jenis Plot Alur atau plot memegang peranan penting dalam sebuah cerita rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan.Alur berdasarkan kriteria urutan waktu dibedakan menjadi tiga, yaitu: -
Alur maju. Alur maju atau progresif dalam sebuah novel terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa.
-
Alur mundur, regresif atau flash back. Alur ini terjadi jika cerita dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal cerita.
-
Alur campuran yaitu gabungan antara alur maju dan alur mundur. Untuk mengetahui alur campuran maka harus meneliti secara sintagmatik dan paradigmatik semua peristiwa untuk mengetahui kadar progresif dan regresifnya (Burhan Nurgiyantoro, 2002:153-155). Selain itu, Burhan Nurgiyantoro membagi alur berdasarkan kepadatannya menjadi dua, yaitu: -
Alur padat yaitu cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi secara susulmenyusul dengan cepat dan terjalin erat, sehingga commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
apabila ada salah satu cerita dihilangkan maka cerita tersebut tidak dapat dipahami hubungan sebab akibatnya. -
Alur longgar yaitu alur yang peristiwa demi peristiwanya berlangsung dengan lambat (Burhan Nurgiyantoro, 2002:159-160). Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis berdasakan sudut tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (2002: 153-163) mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepedatan, dan isi. Plot sebuah novel dikatakan progresif jka peristiwaperistiwa yang dikisahkanbersifat ideologis, peristiwa oertama diikuti oleh (atau; menyebabkan) terjadinya peristiwa yang kemuddian. Jika cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap akhir baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan, maaka berplot sorot balik atau flash-back. Istilah plot tunggal atau subplot digunakan pada menilik plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun, sebuah karya fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidup, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu mmenandakan adanya subplot. commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Plot berdasarkan kriteria kepadatan dibagi menjadi plot padat atau rapat dan plot longar atau renggang. Novel yang berplot padat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan salah satunya. Sedangkan dalam novel yang berplot longgar, antara peristiwa penting yang satu dengan yang lain diselai oleh berbagai peristiwa tambahan atau berbagai pelukisan tertentu seperti penyituasian latar dan suasana. Pembedaan plot berdasar kriteria isi dibagi menjadi tiga golongan besaar, yaitu plot peruntungan, plot tokohan, dan plot pemikiran. Plot peruntungan berhubungan dengan cerita yang yang mengungkapkan nasib peruntungan yang menimpa tokoh. Plot tokohan mengarah pada adanya sifat pementingan tokoh. Plot pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, dan perasaan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis plot antara lain plot maju, mundur, dan campuran. Selain itu juga ada plot rapat dan renggang. 3) Tokoh dan Penokohan a) Pengertian Tokoh dan Penokohan Tokoh dan penokohan merupakan salah satu unsur penting dalam cerita novel. Istilah “tokoh” digunakan untuk menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita. Sedangkan istilah “penokohan” untuk melukiskan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam sebuah cerita. Wahyu Wibowo (2003: 46-47) mengungkapkan bahwa novel-novel Indonesia adalah novel tokohan; segala persoalan berasal, berpijak, dan berujung pada sang tokoh. Pernyataan di atas senada dengan pendapat Herman J. Waluyo (2002: 165) yang menyatakan bahwa penokohan berarti cara pandang pengarang menampilkan tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita yang lain, watak tokoh-tokoh itu. Dengan penggambaran watak-watak yang terdapat pada pelaku maka cerita tersebut bertingkah laku seperti halnya manusia hidupdan mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tokoh dan penokohan adalah cara pandang pengarang menampilkan tokoh dan penggambaran tokoh yang sesuai dengan kehidupan nyata. b). Teknik Penokohan Berkenaan dengan pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokohnya, Robert Humpre (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 32) menyebutkan ada empat cara, yaitu: (1) teknik monolog interior tak langsung; (2) teknik interior langsung; (3) teknik pengarang serba tahu; dan (4) teknik solilokui. Teknik monolog interior artinya cerita yang kehadirannya tidak ditujukan kepada siapa pun, baik pembaca maupun tokoh lain. Teknik pengarang serba tahu artinya pengarang menjelaskan semua tentang diri tokoh-tokoh dan mencampuri segala tindakan seolahcommit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
olah pada diri setiap tokoh, pengarang ada di dalamnya. Sedangkan teknik solilukui atau percakapan batin artinya penggambaran watak melalui percakapan tokoh itu sendiri. Sedangkan William Kenney (1966:34) menyebutkan ada lima teknik penampilan watak tokoh cerita, yaitu: (1) secara diskursif yaitu pengarang menyebutkan watak tokoh-tokohnya satu demi satu; (2) secara dramatik artinya penampilan watak melalui dialog dan tingkah laku (actino); (3) melalui tokoh lain yang berarti tokoh lain menceritakan tokoh tersebut atau sebaliknya; (4) secara kontekstual artinya penampilan watak tokoh dari konteks atau lingkungan atau dunia yang dipilih oleh tokoh tersebut; (5) dengan metode campuran(mixing methods) hádala metode penampilan watak melalui pencampuran teknik-teknik yang sudah dikemukakan terdahulu. Herman J Waluyo (2002: 40) menggenapi beberapa cara pengarang untuk menggambarkan watak tokoh-tokoh menjadi tujuh, yaitu: (1) penggambaran secara langsung; (2) secara langsung dengan diperindah; (3) melalui pernyataan oleh tokohnya sendiri; (4) melalui dramatisasi; (5) melalui pelukisan terhadap keadaan sekitar pelaku; (6) melalui analisis psikis pelaku; (7) melalui dialogdialog pelakunya. Apabila tokoh-tokoh dalam suatu cerita dilihat berdasarkan perannya dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Selain itu, commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jika dilihat dari fungsi penampilan tokoh dapat dibedakan ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita, dan pembaca. tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik (Burhan Nurgiyantoro, 2002:178-179). Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa teknik penokohan terdiri atas
teknik monolog interior tak langsung,
teknik
interior langsung, teknik pengarang serba tahu, dan teknik solilokui.
4) Latar a) Pengertian Latar Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Ada empat bagian penyusun setting menurut William Kenney(1966:40), yaitu: (1) the actual geographical location, including topography scenery, even the details of a room’s interior; (2) the accupations and modes of day-to-day existence of the characters; (3) the time in which the action takes plece,e.g, historical period, season of the year; (4) the religious, moral, intellecctual, social, and emotional environment of the characters. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29 digilib.uns.ac.id
b) Fungsi Latar Latar disebut juga setting, memiliki fungsi yang penting karena kedudukannya tersebut berpengaruh dalam cerita novel. Berkaitan dengan ini, William Kenney (1966:40) menyebutkan tiga fungsi latar, yaitu: 1. Membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu, tempat watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi. 2. Sebagai atmosfer atau kreasi yang lebih memberi kesan tidak hanya sekadar memberi tekanan pada sesuatu. Penggambaran terhadap sesuatu dapat ditambahkan dengan ilustrasi tertentu. 3. Sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan, dapat dalam hal waktu dan tempat. Selain ketiga fungsi tersebut Herman J Waluyo (2002: 35) menambahkan dua fungsi lagi, yaitu: mempertegas watak pelaku dan memberi tekanan pada tema cerita. Bertolak dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi latar sangat penting karena kedudukannya berpengaruh dalam cerita novel. c) Unsur Latar Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu: (1) Latar tempat, yaitu lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (2) Latar waktu, berhubungan dengan maslaah “kapan” peristiwa itu terjadi dan diceritakan dalam novel; dan (3) Latar sosial, commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyangkut status sosial seorang tokoh, penggambaran keadaan masyarakat, kebiasaan hidup, pandangan hidup, adat-istiadat dan cara berpikir dan bersikap, termasuk status sosial tokoh yang bersangkutan. (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 227–333).
5) Sudut Pandang Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 248) mendefinisikan sudut pandang itu sendiri sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu Booth (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik
yang
dipergunakan
pengarang
untuk
menemukan
dan
menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Percy Lubbock (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2011: 113) mengatakan dalam pengertian ilmu sastra modern, sudut pandang dianggap sebagai cara yang paling halus untuk memahami hubungan antara penulis dengan struktur narativitas, yaitu dengan memanfaatkan mediasi-mediasi variasi narator. Sudut pandang menyangkut tempat berdirinya pengarang dalam sebuah cerita, sekaligus menentukan struktur gramatikal naratif. Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra. Namun, pandangan para pakar tersebut pada dasarnya commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki pendapat yang sama, berkisar pada posisi pengarang sebagai orang pertama, orang ketiga atau bahkan campuran. Sebagaimana penggolongan yang dikemukakan Herman J. Waluyo (2002: 184-185), yaitu (1) pengarang sebagai orang pertama dan menyatakan pelakunya sebagai “aku” dan disebut teknik akuan; (2) pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utama sebagai “dia”, dan disebut sebagai teknik diaan; (3) teknik yang disebut omniscient narratif atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bebas; pengarang tidak memfokuskan kepada satu tokoh cerita di dalam bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. Shipley dalam Herman J. Waluyo (2002, 37) menyebutkan adanya dua jenis sudut pandang, yaitu: internal point of view dan external point of view. Iinternal point of view meliputi tokoh yang bercerita, pencerita menjadi salah satu pelaku, sudut pandang akuan, dan pencerita sebagai tokoh sampingan bukan tokoh hero. Pengarang memakai tokoh ‘aku’ sebagai penutur cerita, sehingga seolah-olah kisah yang dituangkan adalah pengalaman hidupnya sendiri. Tidak jarang pembaca salah duga dan menganggap tokoh ‘aku’ dalam cerita sebagai gambararan pribadi. Tentu saja
ini
menyesatkan
dan
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Point of view jenis ini terbagi dua, yaitu orang pertama mayor dan orang pertama minor. Sudut pandang orang pertama mayor adalah cerita dengan tokoh utama ‘aku’ atau ‘saya’; sedangkan sudut pandang orang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
32 digilib.uns.ac.id
pertama minor, tokoh utamanya orang ketiga (‘dia’, ‘ia’ atau nama orang). Cerita dengan sudut pandang ini menghadirkan tokoh ‘aku’ atau ‘saya’ hanya sebagai penutur kisah yang menceritakan kehidupan tokoh utama. External point of view meliputi gaya diam dan gaya penampilan gagasan dari luar tokohnya. Tokoh utama cerita dengan point of view ini adalah ‘dia’, ‘ia’, atau seseorang dengan nama tertentu. Di sini pengarang bisa bertindak sebagai yang mahatahu (omniscient point of view), bisa pula mendudukkan diri di luar cerita (objective point of view). Pada cerita dengan sudut pandang omniscient, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Karya sastra lama umumnya menggunakan teknik point of view ini. Berdasarkan pendapat di atas, sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca.
2. Hakikat Strukturalisme Genetik a. Pengertian Strukturalisme Genetik Strukturalisme genetik dapat dikatakan bagian dari sosiologi sastra, sebab dalam pendekatan strukturalisme genetik ini dikaji pula suatu struktur masyarakat yang turut memanifestasi lahirnya suatu karya sastra. Sosiologi sastra yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann mencoba untuk menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik (Sapardi Djoko Damono, 1979: 43). Pernyataan di atas jelas bahwa strukturalisme genetik tetap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
33 digilib.uns.ac.id
mempertahankan suatu struktur karya sastra, yang sebelumnya merupakan tradisi kaum strukturalisme. Namun tetap mengkaji historis yang terkandung pada kata “genetik”. Peletak dasar strukturalisme genetik adalah Taine, dan kemudian muncul tokoh dari Perancis yang bernama Lucien Goldmann. Strukturalisme genetik (genetic structuralism) adalah cabang penelitian sastra yang tak murni dan merupakan bentuk penggabungan antara struktural dengan metode penelitian sebelumnya (Suwardi Endraswara, 2003: 55). Dalam penelitian ini, hal-hal yang disuguhkan tidak hanya struktur otonom dalam karya sastra, tetapi lebih menekankan asal-usul karya sastra. Strukturalisme genetik mempunyai latar belakang yang sama dengan lahirnya strukturalisme dinamik yaitu lahir sebagai reaksi terhadap stagnasi yang terjadi pada analisis terhadap karya sastra oleh kaum strukturalis. Strukturalisme genetik berkembang atas dasar perbaikan terhadap analisis strukturalisme murni, analisis terhadap unsur-unsur intrinsik dan juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 121). Strukturalisme genetik melibatkan struktur sosial dalam analisisnya. Strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Goldmann, merupakan salah satu teori Marxis yang dikaitkan dengan nilai-nilai struktur (Nyoman Kutha Ratna, 2010: 165). Dalam menganalisis karya sastra, strukturalisme genetik tetap mempertahankan struktur, sebab Lucien Goldmann sebagai pencetus teori ini tetap berpandangan bahwa pemahaman atau pengkajian terhadap karya sastra tidak dapat lepas dari pengkajian strukturnya. Berbeda dengan aliran Marxis yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
tidak dapat menerima keberadaan struktur dalam karya sastra, namun dia tetap menganut aliran Marxis sebab dia juga berpandangan bahwa sastra juga mencerminkan masyarakat, sehingga dia termasuk para-Marxis. Selain itu Goldmann dalam analisisnya juga menggunakan metode dialektika dengan memperbarui konsep dari Hegel, oleh sebab itulah dia juga disebut neo-Hegelian. Secara definitif strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya sastra. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian, sebagai teori yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetik masih ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelaskelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 123). Dalam menyampaikan gagasannya seorang pengarang tidak mungkin mempunyai pandangan sendiri karena pada dasarnya menyuarakan pandangan suatu kelompok. Umar Junus (dalam Zainuddin Fananie, 2002: 118) menyatakan bahwa terdapat keterikatan antara pandangan dunia penulis dengan sebuah karya sastra. Pandangan dunia pada ruang dan waktu tertentu itulah yang disebut hubungan genetik sehingga teori Goldmann disebut strukturalisme genetik. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkapkan pandangan dunia pengarang (world view atau vision du monde). Dari berbagai penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa telaah sosiologi sastra dengan pendekatan strukturalisme genetik merupakan pendekatan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35 digilib.uns.ac.id
untuk mengkaji karya sastra dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial yang melahirkan karya sastra sesuai dengan waktu dan tempat dari karya yang dihasilkan. Selain itu pendekatan strukturalisme genetik berusaha mencari perpaduan antara struktur teks dengan struktur konteks. Oleh karena itu telaah sosiologi sastra dengan menggunakan pendekatan strukturalisme genetik secara prinsip mempertimbangkan faktor sosial yang melahirkan karya sastra dan mengkaji struktur teksnya yang berhubungan dengan kondisi sosial zamannya.
b. Unsur-unsur Strukturalisme Genetik 1) Fakta Kemanusiaan Goldmann, menganggap bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna, semua aktivitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif atau individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan inspirasinya, dalam hal ini pengarang (Suwardi Endraswara, 2003: 55). Faruk juga mengemukakan hal yang senada dengan Goldmann bahwa fakta kemanusiaan adalah segala aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan (2010 : 57). Fakta yang dimaksud oleh Faruk di atas dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun bentuk-bentuk kreasi kultural seperti seni musik, seni patung, seni filsafat, seni rupa, dan seni sastra. Menurut Piaget, manusia dan lingkungan sekitarnya selalu berada dalam proses strukturasi timbal-balik yang saling bertentangan tetapi yang sekaligus saling isi-mengisi (Faruk, 2010 : 58). Proses yang dimaksud di atas adalah proses commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
asimilasi dan akomodasi. Manusia memang mempunyai sisi dimana dia selalu berusaha untuk mengasimilasikan lingkungan sekitarnya ke dalam skema pikiran dan tindakannya. Namun, di tengah perkembangannya, manusia juga akan menghadapi kendala-kendala yang menghambat atau dipengaruhi proses asimilasi, sehingga pada akhirnya ia tidak lagi berusaha melakukan asimilasi terhadap lingkungannya melainkan mengakomodasikan dirinya pada struktur lingkungan tersebut. Drama sebagai karya dari manusia tidak akan lepas dari manifestasi fakta-fakta yang terjadi di sekitar pengarang.
2) Subjek Kolektif atau Subjek Transindividual Subjek dari fakta kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu subjek individual dan subjek kolektif. Subjek individual merupakan subjek fakta individual (libidinal), sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial (historis), seperti revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar merupakan fakta sosial (historis) (Faruk, 2010 : 62-63). Fakta-fakta sosial seperti di atas tidak dapat dilakukan atau diciptakan hanya oleh individu dengan dorongan libidonya. Goldmann berpendapat “yang dapat menciptakan fakta-fakta sosial (historis) hanya subjek transindividual, subjek transindividual adalah subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian” (Faruk, 2010 :63). Jadi jelas bahwa subjek kolektif merupakan subjek yang telah mampu mengatasi dirinya dan mampu membawa unsur-unsur sosial dalam dirinya sehingga individu di dalamnya hanya merupakan bagian. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
Lebih lanjut Goldmann berpendapat bahwa transindividual menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur mental kelompok dan dunia transindividual adalah dunia yang dihuni bersama-sama dengan individu yang lain (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 125). Subjek yang demikian itulah yang akan menjadi subjek dalam karya-karya sastra besar. Subjek kolektif itu dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya. Nyoman Kutha Ratna juga berpendapat bahwa dalam strukturalisme genetik subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan dunia (2011: 125). Jadi pandangan dunia tersebut nantinya akan lahir dari suatu subjek kolektif atau transindividual bukan dari subjek individual (libidial) .
3) Pandangan Dunia Nyoman Kutha Ratna mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam strukturalisme genetik (2011: 125). Pandangan dunia ini diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya dengan segala kerumitan dan keutuhannya (Sapardi Djoko Damono, 1979: 44). Pemahaman seorang pengarang terhadap dunia akan tercermin dalam karyanya sebagai kesadaran kolektif. Pandangan dunia, bagi Goldmann, bukanlah merupakan fakta empiris yang langsung, tetapi lebih merupakan struktur gagasan, aspirasi, dan perasaan yang dapat menyatukan suatu kelompok sosial di hadapan suatu kelompok sosial yang lain (Sapardi Djoko Damono, 1979: 44). Menurut visi sosiologi sastra, karya sastra juga terdiri atas isi; seperti ide dan pikiran, pesan dan tujuan, tema dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
amanat, dan keseluruhan referensi kultural yang terkandung dalam karya seni sastra, yang secara ringkas dalam analisis strukturalisme genetik disebut sebagai pandangan dunia (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 196). Jadi apabila dikaitkan dengan teori yang lain pandangan dunia inilah yang membedakan antara teori strukturalisme genetik dengan teori-teori yang lain dalam wilayah kajian sastra. Menurut Goldmann: “pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaanperasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial yang lain” (Faruk, 2010: 65-66). Menurut Goldmann (Suwardi Endraswara, 2003:57), karya sastra sebagai struktur bermakna itu akan mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakatnya. Senada dengan Suwardi Endraswara, Terry Eagleton juga mengatakan “Goldmann berusaha mengulas struktur sebuah teks sastra dengan tujuan mengetahui sampai sejauh mana teks itu mewujudkan struktur pemikiran (atau “visi dunia”, world vision) dari kelompok atau kelas sosial dari mana pengarang berasal” (2003: 57). Goldmann juga menjelaskan bahwa pandangan dunia sebagai ekspresi psikis melalui hubungan dialektis kolektivitas tertentu dengan lingkungan sosial dan fisik serta terjadi dalam periode bersejarah yang panjang (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 126). Berangkat dari pendapat Goldmann, Nyoman Kutha Ratna juga berpendapat bahwa konsep-konsep yang mendasari pendangan dunia harus digali melalui dan di dalam kesadaran kelompok yang bersangkutan dengan melibatkan indikator sistem kepercayaan, sejarah intelektual, dan sejarah commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebudayaan secara keseluruhan (2011: 126). Jadi pengkajian terhadap pandangan dunia yang mendasari lahirnya suatu karya harus dipahami melalui kesadaran kelompok yang bersangkutan dengan karya tersebut. Nyoman Kutha Ratna mengatakan bahwa kreativitas seni bukan hanya manifestasi medium dengan struktur formalnya, melainkan juga isi, ide, amanat, dan sejumlah pesan yang lain, sesuai dengan pandangan dunianya masing-masing (2011: 75). Pendapat tersebut jelas memperlihatkan bahwa kreativitas seni tidak hanya dimediasi oleh struktur formal dari karya sastra tersebut namun juga suatu pandangan dunia, isi, ide, amanat, dan sejumlah pesan lainnya, yang dapat dikatakan turut memberi ruh dalam karya sastra tersebut. Melalui analisis pandangan dunia strukturalisme genetik dianggap mampu memberikan pemahaman yang berbeda sebagaimana kelas-kelas sosial berperan dalam menampilkan sebuah karya sastra (Nyoman Kutha Ratna, 2010: 164). Dalam sebuah karya sastra akan tercermin suatu kelas-kelas sosial yang akan menjadi energi atau ruh dari karya sastra tersebut. Berdasar pada pendapat di atas dapat kita tangkap bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikan oleh pengarang karya sastra itu. Lebih lanjut lagi pendekatan ini mempunyai pandangan bahwa pemahaman terhadap suatu karya sastra tidak akan dapat utuh apabila totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkan teks sastra diabaikan begitu saja. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
Goldmann juga berpendapat bahwa pandangan dunia selalu terbayang dalam karya sastra yang agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif), abstraksi itu akan tercapai bentuknya yang konkret dalam karya sastra (Suwardi Endraswara, 2003: 57). Dalam karya sastra akan terkandung bagaimana pandangan dunia pengarang, walaupun tidak selalu dalam bentuk tersurat. Salah satu pandangan dunia yaitu humanisme. Humanisme itu sendiri dari kata dasar human yang berarti manusia. Manusia mendapat posisi sentral, dengan kata lain segala permasalahan yang muncul akan dirujuk pada manusia itu sendiri sebagai penentu suatu nilai. Humanisme berpandangan bahwa individu sebagai sumber terakhir suatu nilai dalam kehidupan. Makna humanisme dalam kamus filsafat yang berarti menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi; menganggap individu sebagai sumber nilai terakhir (Lorens Bagus, 2005: 225). Makna tersebut menerangkan bahwa humanisme itu sendiri merupakan sesuatu pola pikir, yang menempatkan manusia sebagai sumber nilai paling tinggi dan terakhir. Ketika suatu masalah dihadapkan pada sisi humanisme, berarti masalah tersebut akan berhadapan dengan sisi-sisi dari manusia itu sendiri yang merupakan sumber nilai terakhir. Humanisme menjadi salah satu pilihan dalam memandang suatu persoalan yang muncul di sekitar kehidupan manusia itu sendiri. Manusia mendapatkan tempat posisi sebagai penentu suatu nilai-nilai yang lahir di dalam masyarakatnya. Hubungannya dengan karya sastra, humanisme sering mendasari kelahiran suatu karya. Kesenjangan-kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat khususnya yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
berkaitan dengan sisi-sisi kemanusiaan, sering menjadi pemicu lahirnya suatu karya sastra, yang terkandung dalam pandangan dunia pengarang sebagai pencipta karya sastra.
4) Struktur Naskah Goldmann berpendapat, pertama bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, kedua bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunianya itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objekobjek, dan relasi-relasi secara imajiner (Faruk, 2010: 72). Pendapat tersebut jelas terlihat bahwa karya sastra sebagai produk suatu kreativitas dia tidak bisa lepas dari suatu struktur yang mewadahi kreativitas dan imajinasi serta pandangan dunianya. Faruk mengatakan bahwa karya sastra merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif, sehingga karya sastra mempunyai sturktur yang koheren dan padu (2010: 71). Struktur tersebut tercipta dari adanya suatu kehidupan yang diciptakan oleh pengarang dalam karya tersebut dengan dimunculkannya tokoh-tokoh dan objek di sekitarnya yang turut memperkuat karya sastra tersebut. Objek-objek yang lahir tersebut akan sesuai dengan konvensi unsur-unsur intrinsik yang pada dasarnya sudah dipahami atau dikuasai oleh pengarang. Unsur-unsur intrinsik tersebut seperti alur, latar atau setting, pesan, tema, amanat dan sebagainya sesuai dengan genre karya sastranya. Faruk menyimpulkan bahwa Goldmann mempunyai konsep struktur tematik, dengan pusat perhatiannya adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya (2010: 72). Struktur tematik mencoba menempatkan tokoh sebagai sentral pemahaman terhadap suatu struktur dalam karya sastra. Pendapat tersebut dapat ditangkap bahwa setiap unsur yang ada dalam suatu struktur karya sastra mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain. Pemilihan tokoh sebagai sentral tersebut dapat berterima mengingat penciptaan suatu tokoh dalam karya sastra pastilah akan diiringi lahirnya tokoh maupun objek lain untuk memperkuat tokoh tersebut. Penciptaan sebuah karya sastra pastilah akan diikuti dengan lahirnya suatu struktur. Suatu struktur yang diciptakan oleh pengarang tidak lepas dari kemampuan pengarang dalam mentransformasikan apa yang terjadi dalam kehidupan nyata, khususnya yang dialami oleh pengarang, sehingga dapat memanifestasi munculnya imajinasi dan kreativitas. Oleh karena itu, suatu struktur yang ada dalam karya sastra dapat dikaji homologinya dengan struktur sosial yang turut memanifestasi lahirnya suatu karya. Struktur yang tercipta dalam karya sastra jelas tidak akan lepas dari suatu struktur sosial yang dianut atau dipahami pengarang. Struktur naskah itu sendiri akan sangat berpengaruh pada penceritaan yang dimunculkan. Pada akhirnya akan menentukan bagaimana kondisi strukturnya dalam mendukung penceritaan. Pengukuran kadar baik buruknya atau kuat dan lemahnya suatu struktur naskah akan terlihat dari unsur-unsur yang mendukung di dalamnya. Menurut Aristoteles ada empat hal yang berpengaruh terhadap kualitas suatu struktur penceritaan yaitu keteraturan atau susunan plot yang masuk akal, ruang lingkup yang cukup luas, kesatuan dan keterkaitan plot (A. Teeuw, 1984: commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
122). Empat hal tersebut dapat dijadikan parameter untuk menentukan kualitas dari suatu struktur naratif. Mengenai struktur teks atau karya akan dibahas lebih lengkap dalam pembahasan mengenai novel. Novel sendiri mempunyai suatu konvensi sastranya sendiri yang berbeda dengan konvensi sastra genre yang lain. Unsur-unsur yang terkandung dalam struktur drama seperti tema, plot, amanat, dan sebagainya akan dibahas pada bagian selajutnya.
5) Struktur Sosial Budaya Seperti halnya masyarakat, karya sastra adalah suatu totalitas, setiap karya sastra adalah suatu keutuhan yang hidup, yang dapat dipahami lewat anasirnya (Sapardi Djoko Damono, 1979: 43). Pendapat tersebut mengisyaratkan suatu telaah sastra dengan melibatkan unsur-unsur yang turut membentuk atau melahirkan kasya sastra. Telaah terhadap struktur sosial dimana karya itu lahir, sangat diperlukan untuk lebih memahami karya sastra tersebut. Soleman B. Taneko berpendapat bahwa struktur sosial adalah jalinan antar unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah atau norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial serta lapisan-lapisan sosial (1993: 47). Senada dengan Soleman B. Taneko, Soerjono Soekanto juga berpendapat bahwa struktur sosial diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dan antara peranan-peranan (1984: 112). Pendapat di atas menjelaskan bahwa struktur sosial mencakup atau terdiri dari unsur-unsur sosial commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
yang saling berkaitan atau berhubungan satu dengan yang lainnya. Hubungan tersebut terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu. Radcliffe-Brown (Soerjono Soekanto, 1984: 110) menyatakan bahwa, struktur sosial merupakan kenyataan empiris yang ada pada suatu saat tertentu, sedangkan bentuk struktural merupakan suatu abstraksi dari kenyataan yang dilakukan oleh peneliti dan menyangkut jangka waktu tertentu. Struktur yang biasanya diangkat oleh peneliti terhadap suatu struktur sosial suatu masyarakat merupakan suatu struktur pada suatu kurun waktu tertentu. Radcliffe-Brown berpendapat suatu struktur sosial merupakan aspek non-prosesual dari sistem sosial, isinya adalah keadaan statis dari sistem sosial yang bersangkutan dan dia juga menegaskan bahwa struktur sosial mencakup semua hubungan sosial antar individu-individu pada saat tertentu (Soerjono Soekanto, 1984: 109). Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai halhal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culuture, yang berasal dari bahasa latinColore, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani.Kata culture juga kadang diartikan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Edward Burnett Tylor (dalam Alo Liliwori, 2009: 107) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Adapun Bounded et al (dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
Alo Liliwori, 2009: 110) mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol, yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pemerintahan, institusi agama, sistem pendidikan dan bermacammacam. Herskovit dan Malinowski (Anakkendari, 2009) menyatakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.Istilah pendapat itu adalah culturedeterminism. Herskovit memandang kebudyaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.Kuntowijoyo (2006: xi) menyatakan bahwa “budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, mite, sastra, lukisan, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemology dari system pengetahuan masyarakat”. . Adapun P. Hariyono (2009: 23-24) mendefinisikan bahwa kebudayaan berdasarkan pengertian luas dan pengertian sempit sebagai berikut, 1) Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar. Istilah kebudayaan untuk menunjuk dan menekankan hasil karya fisik manusia, sekalipun hasil karya fisik manusia ini sebenarnya tidak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
lepas dari pengaruh pola pikir (gagasan) dan pola perilaku (tindakan manusia. 2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut istilah budaya atau sering disebut kultur yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut nilai-nilai yang digunakan oleh kelompok manusia dalam berpikir dan bertindak. Kebudayaan (Koentjaraningrat, 2000: 9) adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari budi dan karyanya itu. Lebih lanjut, Koentjaraningrat (2000: 5) berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Berdasarkan berbagai definisi kebudayaan menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Adapun, perwujudan kebudayaan adalah bendabenda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahkluk yang berbudaya, berupa perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel. Uraian dalam karya sastra tentang latar belakang sosial budaya dan kenyataan berhubungan erat dengan warna lokal. Cerita rekaan akan senantiasa menampilkan warna lokal agar ceritanya kuat dan meyakinkan. Warna lokal dapat berupa keadaan alam, jalan, perumahan, paparan tentang kesenian, upacara adat, dan dialog (cakapan) yang diwarnai dengan dialek. (Herman J. Waluyo, 2002 : 54). Konteks karya sastra
yang cenderung memantulkan keadaan
masyarakat menjadikan karya sastra sebagai saksi yang zaman (Suwardi Endraswara, 2003: 89). Dalam kaitan ini sebenarnya karya sastra, melalui kreatif pengarang, ingin berupaya untuk mendokumetnasikan zaman sekaligus alat sebagai alat komunikasi dengan pemacanya (masyarakat itu sendiri). Sastra yang ditulis pada suatu kurun tertentu pada umumnya berkaitan dengan norma-norma dan adat-istiadat zaman itu (Luxemburg dalam Sangidu, 2004: 40).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
3. Nilai Pendidikan dalam Novel a. Hakikat Nilai Pendidikan 1) Pengertian Nilai Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai (positif/ baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan antara dua yang bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung. Sastra dan tata nilai merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam hakikat mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Sastra sebagai produk kehidupan., mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan sebagainya baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang mempeunyai penyodoran konsep baru (Suyitno, 1986: 3). Sastra tidak hanya memasuki ruang serta nilai-nilai kehidupan personal, tetapi juga nilai-nilai kehidupan manusia dalam arti total. Menilai oleh Elly Setiadi (2006: 110) dikatakan sebagai kegiatan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga diperoleh menjadi suatu keputusan yang menyatakan sesuatu itu berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik, atau buruk, manusiawi atau tidak manusiawi, religius atau tidak religius, berdasarkan jenis tersebutlah nilai ada. Lasyo (Elly Setiadi 2006: 117) menyatakan, nilai manusia merupakan landasan atau motivasi dalam segala commit to user
49 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tingkah laku atau perbuatannya. Sejalan dengan Lasyo, Darmodiharjo (dalam Elly Setiadi, 2006: 117) mengungkapkan nilai merupakan sesuatu yang berguna bagi manusia baik jasmani maupun rohani. Sedangkan Soerjono Soekanto (1983: 161) menyatakan, nilai-nilai merupakan abstraksi daripada pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dengan sesamanya. Pada hakikatnya, nilai yang tertinggi selalu berujung pada nilai yang terdalam dan terabstrak bagi manusia, yaitu menyangkut tentang hal-hal yang bersifat hakki. Dari beberapa pendapat tersebut di atas pengertian
nilai
dapat
disimpulkan
sebagai
sesuatu
yang
bernilai,
berharga,bermutu, akan menunjukkan suatu kualitas dan akan berguna bagi kehidupan manusia.
2) Pengertian Pendidikan Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedogogike”, yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku membimbing” (Soedomo Hadi, 2003: 17). Jadi Soedomo Hadi menyimpulkan paedogogike berarti aku membimbing anak. Ngalim M. Purwanto (1986: 11) menyatakan bahwa pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Hakikat pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak didik, maka seorang pendidik haruslah orang yang dewasa, karena tidak mungkin dapat mendewasakan anak didik jika pendidiknya sendiri belum dewasa. Tilaar (2002;435) mengatakan hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Selanjutnya dikatakan pula bahwa, memanusiakan commit to user
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
manusia atau proses humanisasi melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Eksistensi ini menurut penulis adalah menempatkan kedudukan manusia pada tempatnya yang terhormat dan bermartabat. Kehormatan itu tentunya tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang selalu dipegang umat manusia. Pendidikan pada hakikatnya juga berarti mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari pernyataan tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam pendidikan, yaitu: a) cerdas, berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan nyata. Cerdas bermakna kreatif, inovatif dan siap mengaplikasikan ilmunya; b) hidup, memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa
suatu
hari
kita
akan
mati,
dan
segala
amalan
kita
akan
dipertanggungjawabkan kepadaNya. Filosofi hidup ini sangat syarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan manusia, memberikan makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral, dan tujuan hidup; c) bangsa, berarti manusia selain sebagai individu juga merupakan makhluk sosial yang membutuhkan keberadaan orang lain. Setiap individu berkewajiban menyumbangkan pengetahuannya untuk masyarakat meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu, sesuai dengan yang diajarkan agama dan pendidikan. Indikator terpenting kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan dan pengajaran (Nyoman Kutha Ratna, 2010: 449). Segala sesuatu yang digunakan untuk mendidik harus yang mengandung nilai didik, termasuk dalam pemilihan media. Novel sebagai suatu karya sastra, yang merupakan karya seni juga memerlukan pertimbangan dan penilaian tentang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
51 digilib.uns.ac.id
seninya (Rahmad Joko Pradopo, 2005: 30). Pendidikan pada kahikatnya merupakan upaya membantu peserta didik untuk menyadari nilai-nilai yang dimilikinya dan berupaya memfasilitasi mereka agar terbuka wawasan dan perasaannya untuk memiliki dan meyakini nilai yang lebih hakiki, lebih tahan lama, dan merupakan kebenaran yang dihormati dan diyakini secara sahih sebagai manusia yang beradab (Elly Setiadi, 2006: 114). Adler (dalam Arifin, 1993: 12) mengartikan pendidikan sebagai proses dimana seluruh kemampuan manusia dipengaruhi oleh pembiasaan yang baik untuk untuk membantu orang lain dan dirinya sendiri mencapai kebiasaan yang baik. Secara etimologis, sastra juga berarti alat untuk mendidik (Nyoman Kutha Ratna, 2009: 447). Masih menurut Ratna, lebih jauh dikaitkan dengan pesan dan muatannya, hampir secara keseluruhan karya sastra merupakan sarana-sarana etika. Jadinya antara pendidikan dan karya sastra (novel) adalah dua hal yang saling berkaitan. Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa nilai pendidikan merupakan segala sesuatu yang baik maupun buruk yang berguna bagi kehidupan manusia yang diperoleh melalui proses pengubahan sikap dan tata laku dalam upaya mendewasakan diri manusis melalui upaya pengajaran. Dihubungkan dengan eksistensi dan kehidupan manusia, nilai-nilai pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi manusis sebagai makhluk individu, sosial, religius, dan berbudaya. Nilai-nilai pendidikan yang tersirat dalam berbagai hal dapat mengembangkan masyarakat dalam berbagai hal dapat mengembangkan masyarakat dengan berbagai dimensinya dan nilai-nilai tersebut mutlak dihayati commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
52 digilib.uns.ac.id
dan diresapi manusia sebab ia mengarah pada kebaikan dalam berpikir dan bertindak sehingga dapat memajukan budi pekerti serta pikiran/ intelegensinya. Nilai-nilai pendidikan dapat ditangkap manusia melalui berbagai hal diantaranya melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra. Sastra khususnya humaniora sangat berperan penting sebagai media dalam pentransformasian sebuah nilai termasuk halnya nilai pendidikan.
b. Nilai Pendidikan Dalam Novel Sastra sebagai hasil kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filosofi, religi dan sebagainya. Baik yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang merupakan menciptakan terbaru semuanya dirumuskan secara tersurat dan tersirat. Sastra tidak saja lahir karena kejadian, tetapi juga dari kesadaran penciptaannya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imajinatif, fiktif, dll, juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendens. Sastrawan pada waktu menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu. Menacari nilai luhur dari karya sastra adalah menentukan kreativitas terhadap hubungan kehidupannya. Dalam karya sastra akan tersimpan nilai atau pesan yang berisi amanat atau nasihat. Melalui karyanya, pencipta karya sastra berusaha untuk mempengaruhi pola piker pembaca dan ikut mengkaji tentang baik dan buruk, benar mengambil pelajaran, teladan yang patut ditiru sebaliknya, untuk commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
dicela bagi yang tidak baik. Karya sastra diciptakan bukan sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk dipahami dan diambil manfaatnya. Karya sastra tidak sekedar benda mati yang tidak berarti, tetapi didalamnya termuat suatu ajaran berupa nilai-nilai hidup dan pesan-pesan luhur yang mampu menambah wawasan manusia dalam memahami kehidupan. Dalam karya sastra, berbagai nilai hidup dihadirkan karena hal ini merupakan hal positif yang mampu mendidik manusia, sehingga manusia mencapai hidup yang lebih baik sebagai makhluk yang dikaruniai oleh akal, pikiran, dan perasaan. Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan penjelasan secara jelas tentang sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan hal apa saja yang dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan dalam novel sebagai berikut.
1) Nilai Pendidikan Religius Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan ke dalam keesaan Tuhan (Rosyadi, 1995: 90). Nilai-nilai religious bertujuan untuk mendidik agar manusia lebih baik menurut tuntunan agama dan selalu ingat kepada Tuhan. Nilainilai religius yang terkandung dalam karya sastra dimaksudkan agar penikmat karya tersebut mendapatkan renungan-renungan batin dalam kehidupan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
bersumber pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai religius dalam sastra bersifat individual dan personal. Kehadiran unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 326). Atar Semi (1993: 21) menyatakan, agama merupakan kunci sejarah, kita batu memahami jiwa suatu masyarakat bila kita memahami agamanya. Atar Semi (1993: 21) juga menambahkan, kita tidak mengerti hasil-hasil kebudayaanya, kecuali bila kita paham akan kepercayaan atau agama yang mengilhaminya. Religi lebih pada hati, nurani, dan pribadi manusia itu sendiri. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Nilai religius yang merupakan nilai keohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
2) Nilai Pendidikan Moral Moral merupakan sesuatu yang igin disampaikan pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam karya sastra, makna yang disaratkan lewat cerita. Moral dapat dipandang sebagai tema dalam bentuk yang sederhana, tetapi tidak semua tema merupaka moral (Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 320). Moral merupakan pandangan pengarang tentang nilainilai kebenaran dan pandangan itu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Hasbullah (2005: 194) menyatakan bahwa, moral merupakan kemampuan seseorang membedakan antara yang baik dan yang buruk. Nilai moral yang terkandung dalam karya sastra bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai etika merupakan nilai baik buruk suatu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
perbuatan, apa yang harus dihindari, dan apa yang harus dikerjakan, sehingga tercipta suatu tatanan hubungan manusia dalam masyarakat yang dianggap baik, serasi, dan bermanfaat bagi orang itu , masyarakat, lingkungan, dan alam sekitar. Uzey (2009: 2) berpendapat bahwa nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia.moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari. Dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan moral menunjukkan peraturanperaturan tingkah laku dan adat istiadat dari seorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku. Untuk karya menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila.
3) Nilai Pendidikan Sosial Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial brupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai sosial yang ada dalam karya sastra dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang diinterpretasikan (Rosyadi, 1995: 80). Nilai pendidikan sosial akan menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya. commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Nilai sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara mereka menyelesaikan masalah, dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam nilai sosial. Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat. Sejalan dengan tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan penting untuk mendorong dan mengarahkan individu agar berbuat sesuai norma yang berlaku. Uzey (2009: 7) juga berpendapat bahwa nilai sosial mengacu pada pertimbangan terhadap suatu tindakan benda, cara untuk mengambil keputusan apakah sesuatu yang bernilai itu memiliki kebenaran, keindahan, dan nilai ketuhanan. Jadi nilai sosial dapat disimpulkan sebagai kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku yang mempengaruhi perilaku seseorang yang memiliki nilai tersebut. Nilai sosial merupakan sikap-sikap dan perasaan yang diterima secara luas oleh masyarakat dan merupakan dasar untuk merumuskan apa yang benar dan apa yang penting.
4) Nilai Pendidikan Budaya Nilai-nilai budaya menurut Rosyadi (1995:74) merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku commit to user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bangsa lain sebab nolai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada sutu masyarakat dan kebudayaannya. Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Uzey (2009: 1) berpendapat mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat intersubyektif karena ditumbuh-kembangkan secara individual, namun dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan. Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan, sebagai intinya ia akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan dari kehidupan manusia yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material. Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsikonsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sisitem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dapat disimpulkan dari pendapat tersebut sistem nilai budaya menempatkan pada posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan bendabenda material sebagai hasil dari penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan commit to user
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berpola. Adapun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam novel dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Giyato dengan judul “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar,Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah (Kajian Strukturalisme Genetikdan Nilai Pendidikan)”. Giyato dalam penelitian tersebut menyimpulkan (1) Pandangan dunia Kuntowijoyo meliputi pandangan religiousprofetik yang meliputi misi profetik kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi,pendidikan, dan moral; (2) struktur teks novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi tema, alur, tokoh, latar, dan sudut pandang;(3) struktur sosial budaya masyarakat novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan Satinah yang meliputi proses kreatif, latar sosial budaya masyarakat(religiusitas dalam masyarakat Jawa, seni budaya Jawa, mitos masyarakat Jawa,perilaku dan kesenangan masyarakat Jawa, penggunaan bahasa dalammasyarakat, prinsip hidup masyarakat Jawa, interaksi sosial dalam masyarakatJawa, pewarisan kepemimpinan, penyampaian kritik), penokohan sebagaiperwujudan sosok masyarakat Jawa; (4) dan nilai pendidikan dalam novel. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Giyato adalahpenggunaan pendekatan yang dipakai untuk mengkaji karya sastra yakni sama-sama menggunakan pendekatan strukturalisme genetik dan penggunaan obyek penelitian berupa novel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Giyato adalah to user penggunaan obyek penelitian di commit atas menggunakanNovel Pasar,Mantra Pejinak
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ular, dan Wasripin dan Satinahsedangkan obyek penelitian ini adalah novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun. Trernanie (1978: 34-35) mengaitkan relevansi novel dan masyarakat dalam novel yang berlatar budaya Afrika: An initial attempt, however, to provided the much needed theoretical and methodological integration of text and context has been undertaken by Sunday Anozie. Anoize describe his own critical perspective as a geneticstructuralism sociology of literature. While he is obviously not the first to suggest the relevance of a sociological orientation to African literature, he is the first to attempt to lend serious methodological substance to such an orientation. Novel
dapat
digunakan
sebagai
saranuntuk
membentuk
karakter.Pembentukan karakter ini disebabkan adanya nilai-nilai didik dalam novel.Persamaan penelitian ini dengan penelitian Trernanie adalah sama-sama menggunakan pendekatan strukturalisme genetik dan penggunaan objek penelitian berupa novel. Adapaun perbedaannya pennelitaian Trernanie dengan penelitian ini adalah penggunaan objek penelitian di atas mengguanakan novel Sunday Anoizeyang berlatar budaya Afrika sedangkan objek penelitian ini adalah novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Stamm dalam Journal of College &Character Volume X, NO.7, November 2009: The possibilities of using this novel in courses on student development to make the understanding of identity development become more alive than through the more usual scholarly analyses. Given the emerging understanding of todays millennium generation of college students, are particularly appropriate. Pop culture has played an educative role in the lives of the Millennial commit Generation. to user In thinking about novels as ethnographies of the college experience, both that of faculty as well as
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
students, the possibilities are even more extensive, as exemplified by the previous illustrations. Comparison of academic novels .from different time periods, for example, might serve to amplify other studies of the history and foundations of higher education. (Stamm, 2009: 2) Diharapkan novel mampu memberikan pencerahan dan penyadaran kepada pelajar agar mereka dapat hidup bermasyarakat dengan baik, saling menyadari perbedaan, dan lebih toleran.Persamaan penelitian ini dengan penelitian Stamm adalah sama-sama menganalisis nilai pendidikan dan objek kajiannya berupa novel.
Adapun
perbedaannya
penelitian
ini
mengguanakan
pendekatan
strukturalisme genetik sedangkan penelitian Stamm menggunakan pendekatan etnografi. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Orr dalam Journal of European Studies.Volume, 9 No. 36 bahwa tujuan novel adalah penyadaran terhadap realitas. Intended as an original contribution to the sociology of the novel. It is polemical and a response to a vacuum in literary theory and finally it is concerned with the destiny of the modern novel itself This destiny would appear to the needful resuscitation of tragic realism after its demise with or around, Orwell. (Orr, 1977: 304-305) Nilai pendidikan dalam karya sastra penting untuk membangun masyarakat yang berkarakter kuat.Nilai pendidikan yang tergambar dalam interksi antar tokoh dan kebiasaan-kebiasaan tokoh dalam novel sesuai dengan konsep pendidikan kontekstual John Dewey.Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian Orr adalah objek kajiannya berupa novel dan sama-sama menganalisis nilai pendidikan yang terdapat dalam novel. Sementara itu, perbedaannya penelitian Orr dengan penelitian ini to adalah commit user pendekatan Orr menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
sosiologi sastra sedangkan pendekatan ini berupa sosiologi sastra.
Berpijak dari penjelasan di atas, kajian Carver and Richard P. Enfield (2006: 66) dalam Journal education and culture, Vol 22 berikut ini: Offering an introduction to both John Dewey's philosophy of education and the 4-H Youth Development Program, this paper draws clear connections between these two topics. Concepts explored include Dewey's principles of continuity and interaction, and contagion with respect to learning. Roles of educational leaders (including teachers) are investigated in the context of a discussion about the structuring of opportunities for students to develop habits of meaningful and life-long learning. Specific examples ani described in depth to demonstrate, participation. Brief comments are made about the place of 4-H in the US. systemof public education. Selain itu, pendidikan yang disampaikan melalui cerita (dalam hal ini novel) dapat menjaga dan memelihara suatu nilai pendidikan budaya seperti tidak mengagungkan dirinya di atas orang lain. Persamaan penelitian Carver and Richard P. Enfield dengan penelitaian ini adalah objek kajiannya berupa novel dan salah satu analisisnya adalah nilai pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada pemaparan Black (1999: 35) dalamJournal Of Culture Education, Volume 75 berikut ini: Teaching ThroughNature The ancient Polynesians lived close to nature; nature was the measure of as well as the predominant influence in, their lives. Consequently, many of the legends and fables of Polynesia are concerned with nature's creatures and phenomena. Some nature stories were created to preserve and transmit a cultural value, such as not exalting oneself above one's peers. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Black adalah sama-sama membahas tentang kebudayaa. Adapun perbedaan penelitian ini dan penelitian commit to user Black adalak objek kajian penelitian ini berupa novel Penangsang, Tembang
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun sedangkan objek kajian penelitian Black berupa kehidupan masyarakat Polinesia C. Kerangka Berpikir Karya sastra merupakan satu bentuk kebudayaan, sehingga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan yang telah membentuknya. Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel merupakan cerminan keadaan sosial dari kurun waktu tertentu. Novel berbicara mengenai manusia dan kemanusiaan. Di dalam novel terkandung fenomena-fenomena sosial yang ditampilkan oleh pengarang. Oleh karena itu kehadiran karya sastra tidak dapat terlepas dari situasi dan kondisi sosial masyarakat. Dalam penelitian ini peneliti mengambil judul “Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun (Kajian Strukturalisme Genetik dan Nilai Pendidikan)”. Dengan menggunakan Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun sebagai objek penelitian, penulis akan mengkaji novel tersebut melalui pendekatan strukturalisme genetik. Adapun yang dianalisis meliputi pandangan dunia pengarang, struktur teks, struktur sosial budaya masyarakat. Selain itu dalam novel ini juga mengkaji nilainilai pendidikan yang antara lain nilai pendidikan religius, nilai pendidikan budaya, nilai pendidikan moral, dan nilai pendidikan sosial. Dengan berbagai analisis tersebut diharapkan totalitas makna dapat dipahami secara utuh. Kerangka berpikir tersebut dapat digambarkan senagai berikut
commit to user
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Pruwokartun
Nilai Pendidikan
Strukturalisme Genetik
Pandangan dunia pengarang
Struktur teks novel
1. 2. 3. 4.
Nilai pendidikan Religius Nilai Pendidikan Moral Nilai Pendidikan Sosial Nilai Pendidikan Budaya
Latar Belakang Sosial Budaya
Totalitas Makna Novel Gambar 1: Alur Kerangka Berpikir
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis data dokumen berupa novel yaitu novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartunsebagai objek penelitiannya, maka Penelitian ini berupa kajian novel, maka objek kajian penelitiannya adalah novel itu sendiri. Adapun rincian penelitian ini tidak terpancang waktu dan tempat.waktu dan pelaksanaan jenis kegiatan dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan tabel berikut: Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian Waktu
Bulan
NO Kegiatan
Ke-1
1.
Persiapan
xx
2.
Pembuatan Proposal
3.
Revisi Proposal
4.
Pengumpulan Data
5.
PengolahandanAnalisis Data
6.
PenyusunanLaporanhasilpenelitian
7.
Revisi Laporan Hasil Penelitian
Ke-2
Ke-3
Ke-4
Ke-5
Ke-6
xx xx xx
xx xx
x xxxx
xx xx xx
commit to user 64
65 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Bentuk dan Strategi Penelitian Bentuk penelitian ini kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif menurut H.B Sutopo (2006:40) menjelaskanbahwa: Penelitian kualitatif melibatkan kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat tau gambar yang memiliki arti lebih bermakna dan mampu memacu timbulnya pemahaman yang lebih nyata daripada sekedar sajian angka atau frekuensi. Penelitian menekankan catatan dengan deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan mendalam, yang menggambarkan situasi yang sebenarnya guna mendukung penyajian data. Oleh karena itu penelitian kualitatif secara umum sering disebut sebagai pendekatan kualitatif deskripsi. Penelitian kualitatif deskriptif ini menggunakan metode content analysis atau analisis isi.Penelitian ini mendeskripsikan atau menggambarkan apa yang menjadi masalah, kemudian menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Metode content analysis atau analisis isi yang digunakan untuk menelaah isi dari suatu dokumen, dalam penelitian ini dokumen yang dimaksud adalah novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan strategi tinjauan strukturalisme genetik dan menganalisis nilai didik yang ada di dalam ketiga novel tersebut. Penelitian ini akan mendeskripsikan pandangan dunia pengarang Nassirun Purwokartun, struktur novel, struktur sosial budaya masyarakat, dan nilai pendidikan dalam novel Penangsang, TembangRindu Dendam.
C. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan penulis dalam menganalisis novel adalah pendekatan strukturalisme genetik. Pendekatan strukturalisme genetik merupakan to user suatu disiplin ilmu yang menaruhcommit perhatian kepada teks sastra dan latar belakang
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sosial budaya serta subjek yang melahirkannya (Sangidu, 2004; 29). Hakikat pendekatan strukturalisme genetik ialah menganalisis unsur instrinsik yang tedapat di dalam novel dan unsur ekstrinsik yang ada di luar novel (Suwardi Endraswara, 2003: 56).
D. Data dan Sumber Data 1.
Data Data atau informasi penting yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian
ini berupa data kualitatif yang berwujudungkapan atau kalimat yang ada dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun. Adapun data yang dikumpulkan harus sesuai dengan pendekatan strukturalisme genetik yang memfokuskan diri pada data: a. Data
pandangan
dunia
pengarang
(Nassirun
Purwokartun)
yang
melatarbelakangi novel Penangsang, TembangRindu Dendam b. Data struktur teks Novel
Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya
Nassirun Purwokartun c. Data struktur sosial budaya masyarakat dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun d. Data nilai pendidikan dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun
commit to user
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Sumber Data Sumber data penelitian ini adalah novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun, karya-karya Nassirun Purwokartun yang lain, biografi penulis, komentar pengarang-pengarang lain, dan artikel dari buku , surat kabar, internet yang menunjang permasalahan penelitian.
E. Teknik Cuplikan Pada teknik cuplikan, peneliti mendasarkan pada landasan kaitan teori yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik empiris yang dihadapi, dan sebagainya. Teknik cuplikan yang diterapkan adalah purposice sampling, yaitu Sumber data yang digunakan di sini tidak sebagai sumber data yang mewakili populasinya tetapi seperti telah disebutkan di depan, lebih cenderung mewakili informasinya...., dengan akses tertentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasyalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap (Sutopo, 2002:56). Peneliti mencuplik bagian-bagian dalam cerita novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartunyang mewakili informasi penting agar bisa digunakan untuk analisis serta diperbandingkan dalam rangka mengetahui totalitas makna novel. Pada sisi lain, peneliti juga mencuplik bagian pokok artikel majalah dan artikel internet yang bisa memberikan informasi tentang pandangan dunia pengarang.
F. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan selama pengumpulan data yaitu teknik noninteraktif meliputi mancatat dokumen atau arsip (content analysis). Sumber commit to user
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
data yang berupa arsip dan dokumen biasanya merupakan data pokok dalam penelitian historis, terutama untuk mendukukung proses interprestasi dari setiap peristiwa yang diteliti. Dokumen yang ditemukan wajib dikaji kebenarannya, baik secara eksternal (kritik eksternal) yang berkaitan dengan kaslian dokumen, dan juga secara internal (kritik internal) yang berkaitan dengan kebenaran isi dokumen atau pernyataan yang ada (Sutopo, 2002:70). Pengkajian dokumen tersebut dilakukan dengan teknik analisis isi (content analisys). Langkah kerjanya adalah: a.
Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun
b.
Melakukan dua tahap pembacaan sastra, heuristik dan hermeneutik. Membaca novel Novel
Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun
Purwokartundan sumber-sumber tertulis lainnya. 1) Teknik simak, yakni melakukan penyimakan secara cermat, terarah dan teliti terhadap data primer yaituNovel
Penangsang, Tembang Rindu
Dendam karya Nassirun Purwokartun. Data sekunder berupa buku, jurnal, dan artikel dalam rangka memperoleh data pandangan dunia pengarang, struktur teks, struktur sosial budaya masyarakat dan nilaipendidikannovel tersebut. Teknik simak dilakukan dengan cara berulang-ulang sambil memberi tanda-tanda khusus pada data yang diperlukan. 2) Teknik catat, hasil penyimakan terhadap data primer dan sekunder ditampung dan dicatat untuk digunakan dalam penyusunan laporan.
commit to user
69 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
G. Prosedur Penelitian Berdasarkan masalah yang diteliti, prosedur penelitian yang peneliti lakukan meliputi beberapa tahap sesuai arahan Lexy J. Moleong (2006: 389-390) sebagai berikut: 1. Tahap orientasi untuk memperoleh gambaran umum Tujuan tahap ini ialah untuk memperoleh latar yang nantinya diikuti dengan tahap merinci yang diperoleh pada tahap berikutnya. Peneliti melakukan tahap pertama ini berdasarkan bahan yang dipelajari dari berbagai sumber kepustakaan. Pada tahap ini peneliti mengadakan eksplorasi awal terhadap objek yang diteliti. 2. Tahap eksplorasi fokus Pada tahap ini peneliti melakukan kegiatan dengan urutan sebagai berikut: a. Mengumpulkan
bahan-bahan
pustaka
yang
mendukung
kegiatan
penelitian, meliputi buku-buku referensi dan artikel-artikel sastra yang menunjang penelitian. b. Menganalisis data-data yang terkumpul berdasarkan teori dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian. c. Mengalisis pandangan dunia Nassirun Purwokartun sebagai subjek yang melahirkan karya sastra. d. Menganalisis struktur teks novel, struktur sosial masyarakat, dan nilai pendidikan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun e. Merumuskan hasil penelitian commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Tahap pengecekan dan keabsahan data Pada tahap ini peneliti melakukan penelaahan terhadap laporan yang telah disusun untuk mengecek kembali kekurangan yang ada terutama mengadakan triangulasi, pengecekan anggota dan auditing. Penelaahan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekeliruan dalam mengungkapkan fakta atau interpretasi serta mengecek kembali apakah ada hal-hal yang terbuang sehingga perlu diadakan perbaikan. Perbaikan ini dimaksudkan untuk membangun derajat kepercayaan yang telah diperoleh.
H. Validitas Data Validitas atau keabsahan data merupakan kebenaran data dari proses penelitian. Untuk mendapatkan keabsahan data, dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu (Lexy J. Moleong, 2006: 330). Adapun triangulasi yang digunakan adalah triangulasi teori, yaitu cara penelitian terhadap topik yang sama dengan menggunakan teori yang berbeda dalam menganalisis data. Menurut Lincoln dan Guba (dalam Lexy J. Moleong, 2006: 331), berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori.Menurut Sutopo (2002: 82) triangulasi teori dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji. commit to user
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I. Analisis Data Analisis data merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian karena dengan menganalisis data yang diteliti akan dapat diketahui makna atau jawaban pemecahan masalahnya. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Lexy J. Moleong (2006: 248), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif, seperti yang dikemukakan oleh Matthew B. Miles & A. Michael Huberman (1992 : 20), yang terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu: reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Aktivitas ketiga komponen itu dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data. Langkah-langkah di dalam analisis data tersebut dapat dilihat di dalam bagan berikut ini. Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data Penarikan Simpulan/ Verifikasi
commit to user Gambar 2. Bagan Model Interaktif Miles & Huberman (1992 : 20)
perpustakaan.uns.ac.id
72 digilib.uns.ac.id
Analisis data dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data. Adapun prosedur analisis data dalam penelitian ini setelah pengumpulan data dilakukan analisis data awal yang dilakukan bersamaan dengan pengamatan serta wawancara. Selama pengumpulan data berlangsung proses analisis awal telah dilakukan, yaitu dengan melakukan reduksi data, mengidentifikasi data, dan mengklasifikasi data. Reduksi data merupakan proses seleksi data, pemfokusan, penyederhanaan data dengan cara memilih data yang banyak, kemudian dipilah dan dipilih dalam rangka menemukan fokus penelitian. Data yang setipe dan yang direduksi tersebut untuk menemukan sistem atau kaidah yang dicari sesuai dengan objek kajian. Setelah data direduksi dengan identifikasi dan klasifikasi, langkah selanjutnya adalah dengan menyajikan data. Sajian data merupakan proses menyusun informasi yang ditemukan dalam rangka menjawab dari permasalahan penelitian. Artinya, data yang diperoleh dari lapangan disajikan untuk menunjukkan bukti-bukti dan menjawab masalah yang diteliti. Analisis terhadap kesantunan berbahasa bentuk tuturan direktif yang dikaji secara sosiopragmatik tidak terlepas dari adanya penelitian kontekstual. Artinya, dari data lingual yang diperoleh di lapangan akan dianalisis dengan memperhatikan aspek nonlingual yang menyertai tuturan. Langkah terakhir yang dilakukan adalah penarikan simpulan. Penarikan simpulan ini adalah proses analisis yang cukup penting yang didasarkan atas penyusunan informasi yang diperoleh dalam analisis data (Sutopo, 2002: 91—93). Penarikan simpulan disusun berdasarkan temuan-temuan selama proses penelitian commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berlangsung dan dalam tahap penulisan atau penyusunan
laporan. Dari
penyusunan tersebut kemudian dilakukan penafsiran intelektual terhadap simpulan-simpulan yang diperoleh.
commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di depan, maka akan dibahas secara berturut-turut mengenai pendekatan strukturalisme genetik dan nilai pendidikan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun. Analisis tersebut meliputi: (1) analisis pandangan dunia pengarang, (2) analisis struktur teks novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam, (3) analisis struktur sosial budaya masyarakat novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam, dan (4) analisis nilai-nilai pendidikan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam.
A. Hasil Penelitian Sebelum dilakukan analisis dan pembahasan, berikut ini dipaparkan temuan penelitian yang menyangkut aspek pandangan dunia pengarang, struktur teks, struktur sosial, dan nilai-nilai pendidikan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun.
1. Deskripsi pandangan dunia pengarang ( Nassirun Purwokartun) Setiap manusia memiliki cara pandang yang berbeda dalam memandang dan menyikapi sebuah permasalahan. Cara pandang mereka biasanya disesuaikan dengan idealisme yang mereka pahami. Dalam novel, pandangan dunia pengarang to user merupakan salah satu bagian daricommit teori strukturalisme genetik. Pandangan dunia
74
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(vision du monde) membawa pemahaman bahwa karya sastra lahir sebagai akibat dari kolektivitas pengarang. Pengarang memiliki pandangan terhadap masalahmasalah dalam lingkungannya. Pandangan tersebut sekaligus mewakili pandangan orang-orang yang berada dalam tatanan sosial kultural pengarang. Seperti yang dikemukakan Lucien Goldmann (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 57) bahwa karya sastra sebagai struktur bermakna mewakili pandangan dunia pengarang, tidak sebagai individu melainkan sebagai anggota masyarakat. Nassirun Wijaya adalah nama asli dari
Nassirun Purwokartun.
Purwokartun adalah sebutan karena keahliannya sebelum menjadi penulis adalah seorang katunis. Kang Nass adalah panggialan akrabnya, selain menjadi kartunis dan desain grafis juga seorang penyair sekaligus cerpenis dan sekarang jadi novelis. Buku kumpulan tulisannya antara lain Jatuh Cinta pada Bunga, Dari Cinta ke Cinta, Habislah Cinta Terbitlah Cinta, Awas Kesetrum cinta, kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Syair-syair pandhapa, narasi Laki-laki Narasi Perempuan, dan Meremas Sampah Menjadi Emas. Selanjutnya tahun 2009 mencoba menulis Novel Trilogi Penangsang yang telah terbit Penangsang, Tembang Rindu Dendam (2010) dan Penangsang, Kidung Takhta Asmara (2011). Novel yang menawarkan tafsir ulang tentang sejarah Penangsang. Awal Nassirun menulis novel Penangsang ketika masih SD kelas 4 hingga kelas 5 sering ada rombongan ketoprak tobong yang selalu bekeliling dari desa ke desa. Tiap malam selalu mementaskan cerita yang berlatarkan sejarah, dari cerita itulah mengajarkan pelajaran sejarah pertama yang menggena otak dan hati commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
Nassirun. Di antara lakon-lakon yang dipentaskan hingga larut malam hanya tokoh Penangsang yang paling membetot emosinya. Kisah yang bercerita tentang perebutan takhta antara keturunan Raden Patah. Di panggung ketoprak, sosok Haryo Penangsang adalah orang yang gila kekuasaan dan sangat berangasan. Hatinya selalu panas dan mudah marah. Sifat itulah yang kenudian menjadi kekalahan bahkan kematiaannya. Sementara ,Mas Karebet digambarkan sebagai pemimpin yang bijak dan berjiwa arif. Seorang tokoh yang kemudian menjadi pemenang dalam petarungan antara Penangsang. Menurut Nassirun, Haryo Penangsang adalah salah satu sosok yang menjadi korban subjektivitas penulisan sejarah tersebut. Oleh sumber-sumber sejarah yang perpihak pada penggenggam kekuasaan masa itu, Haryo Penangsang dihadirkan sebagai sosok antagonis sarat dengan kejelekan dan kejahatan. Hal ini karena sedemikian benci sang penguasa tersebut kepada sang Adipati Jipang. Cerita tutur, panggung-panggung ketoprak, sandiwara-sandiwara radio, juga karya-karya sastra sesudahnya mengukuhkah dan melestarikan alur yang tak sepi dan bias ini. Sebuah watak yang diterjemahkan langsung dari Babad Tanah Jawi, “Watakipoen arja penangsang sanget ing wanteripoen sarta panasbaran”. Sifat Haryo Penangsang sangat mudah marah dan pemberang. Demikianlah Babad Tanah Jawi menggambarkan sosok Haryo Penangsang dalam salah satu baitnya. Sebuah perkataan yang konon berasal dari ucapan Ki Juru Mertani, yang sedang bersiasat untuk menjebak Haryo Penangsang. Karena Mas Karebet tidak berani melawannya, maka ia bermain muslihat. Kelemahan Haryo Penangsang commit to user
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang mudah tersulut marahnya tersebut dijadikan pancingan untuk menikamnya dari belakang. Itulah yang menurut kisah di panggung ketoprak terjadi kemudian. Kekuatannya kalah karena terpancing amarah. Haryo Penangsang mati mengenaskan. Ususnya terburai ketika robek panjang oleh tusukan tombak pendek Kyai Pleret yang ditikamkan Sutawijaya. Ususnya terpotong karena ketajaman kerisnya sendiri, Kyai Brongot Setan Kober. Haryo Penangsang tidak berambisi untuk menjadi penerus Takhta Demak setelah kematian Trenggono. Penangsang lebih merasa bangga menjadi seorang Adipati Jipang daripada sebagai kerabat Kesultanan Demak. “Penangsang telah memantapkan hati untuk bertindak sebagai seorang adipati. Seorang Adipati dari sebuah kadipaten saja. Dan selama ini, itulah yang dilakukannya. Menjadi penerus kadipaten yang diwariskan dari kakeknya kepada ayahnya, yang sekarang diturunkan kepadanya.” (Nassirun, 2010: 16) Setelah Penangsang meletakkan jabatanya sebagai manggalayuda ia kembali ke Jipang Panolang untuk memajukan kadipaten warisan kakeknya. Penangsang lebih bangga menjadi seorang adipati jipang daripada menjadi kerabat kesultanan Demak. Dalam benak Penangsang tidak pernah terlintas untuk memikirkan takhta kesultanan Demak yang sekarang dipegang oleh Sultan Trenggono. Patih Matahun adalah orang tua angkat Penangsang. Setelah Pangeran Sekar wafat Patih Matahun yang memegang kekuasaan di Jipang. Setelah Penangsang dewasa dan kiranya mampu mengelola Jipang kekuasaan Patih Matahun di kembalikan kepada penangsang selaku putra Pangeran Sekar. Seperti dalam kutipan berikut ini.
commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Tak terasa, telah seperempat abad aku mendampingi bayi malang Penangsang.” Terus-menerus kenangan masa silam berkelebat memenuhi benak patih tua Jipang. “Aku merawat Penangsang sejak jabang bayi merah, ketika baru ditinggal mati ibunya. Sepekan kemudian, ditinggal mati pula oleh ayahandanya. Keluarga Demak tak ada yang mau merawat karena perbuatan ayahnya yang mereka anggap telah mempermalukan kesultanan. Romo Sunan Ja’far Shadiq-lah yang mempercayakan bayi lola itu untuk kurawat. Sejak Pangeran Sekar wafat, aku juga yang dipercaya romo Sunan menjadi Adipati sementara di Jipang. Menunggu sampai Penangsang Remaja, untuk kemudian mengembalikan kepadanya.” (Nassirun, 2010: 128). Dalam novel ini penulis juga menampilkan sebuah konflik perebutan kekuasaan Tahta Demak. Setelah wafatnya Raden Fatah, kekuasaan Demak dipimpin oleh Pati Unus atau bernama asli Muhammad Yunus Surya yang merupakan anak Raden Fatah dari istri pertama Ratu Ayu Asyiqah. Kepemimpinan Kesultanan Demak ditentukan sepenuhnya oleh Waliyul Amri. Selama pemerintahannya yang tidak lebih dari tiga tahun, pertahanan semakin ditingkatkan. Siapapun kerajaan di tanah jawa yang tidak mau bergabung, dianggap sebagai ancaman yang membahayakan. Namun setelah melakukan penyerangan ke Malaka Pati Unus menderita sakit dan kemudian Wafat di usia 21 tahun. Setelah wafatnya Pati Unus, saudaranya yang bernama Trenggono naik takhta. Trenggono dipilih oleh Waliyul Amri, tetapi saudara Trenggono yang bernama Pangeran Sekar Kikin tidak bisa menerima keputusan itu. Ia ingin menjadi pengganti Pati Unus. Pangeran Sekar adalah anak laki-laki pertama Raden Patah karena anak Raden Patah yang pertama adalah perempuan yang bernama Ratu Mas Nyowo, mereka adalah anak dari istri Raden Patah yang ke-3 commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang bernama Raden Ayu Wulan. Semua tertuang dalam kutipan percakapan yang disampaikan Pangeran Sekar dengan Sunan Ja’far Shadiq di bawah ini: “Tiga tahun yang lalu, waktu pangangkatan Sabrang Lor, saya sangat tidak terima. Romo Sunan tahu, saya adalah anak laki-laki pertama dari Ayahanda Raden Fattah. Ibunda Raden Ayu Wulan meskipun istri ketiga, kedudukannya sama dengan istri pertama ataupun kedua. Apakah salah kalau saya merasa tidak terima? saya adalah anak laki-laki pertama, Romo Sunan” (Nassirun, 2010: 77) Pangeran Sekar merasa tidak bisa menerima keputusan yang diambil oleh Waliyyul Amri yang menentukan pengganti Pati Unus. Pangeran Sekar tidak menaruh hormat dengan Dewan Wali yang telah merebur kebahagiaannya. Dewan Wali yang telah menjodohkannya dengan putri tunggal Adipati Jipang Ratu Ayu Retno Panggung yang seharusnya menikah dengan putri saudagar Cina Lasem. Pangeran Sekar Juga kecewa terhadap keputusan yang diambil Waliyyul Amri terhadap pengangkatan Pati Unus dan Trenggono. Seperti dalam Kutipan di bawah ini: Anak laki-laki pertama Raden Patah itu telah lama memendam kecewa kepada mereka. Kumpulan orang-orang tua yang selalu berbaju putih itulah penyebab semuanya. Pengeran Sekar merasa, kumpulan orang-orang tua itulah yang membuatnya sengsara. Kalau saja bukan karena Dewan Wali yang memilihkannya istri, putrid saudagar Cina Lasem itulah yang akan mendampinginya. Pengeran Sekar tidak menaruh hormat kepada Dewan Wali. Tiga tahun sebelumnya, Dewan Wali telah merampas takhta Demak darinya. Memberikan kepada Pati Unus yang umurnya berada jauh dibawahnya. Dan, tak berapa lama kemudian, Dewan Wali juga merenggut kebahagiaanya, yang sedang berencana meminang putri Cina. (Nassirun, 2010: 93) Pangeran Sekar yang datang ke Demak menemui kakaknya Ratu Mas Nyowo membawa kemarahan besar. Pangeran Sekar mengancam akan commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengacaukan proses pelantikan Trenggono. Seperti dalam beberapa kutipan di bawah ini: “Telah kudengar sendiri kemarin di Panti Kudus”, Pangeran Sekar memerah mukanya.” Bahwa dewan wali sekali lagi telah merampas hak gustimu ini untuk duduk di Kasultanan demak. Aku Pangeran Sekar Kikin, tak lagi bisa bersabar menerima ketidakadilan ini. Kau menjadi saksi, Mentanung, aku tidak akan pernah rela apabila Takhta Demak itu turun pada Trenggono!, tidak pernah rela, Mentaung!’. (Nassirun, 2010: 105) “Apapun keputusanya, saya tidak rela takhta Demak turun kepada Trenggono,” pangeran Sekar makin melengkingkan suaranya. “ Saya telah bersabar selama tiga tahun menerima keputusan yang tidak adil sewaktu pengangkatan Yunus.”( Nassirun, 2010:111) “Semua keputusan Dewan Wali terlalu berat sebelah,” kata Pengeran Sekar. “Dan, selalu saya, yang menjadi korbannya. Apa hebatnya dulu Sabrang Lor, anak kemarin sore diangkat menjadi sultan? Hanya karena pernah jadi Adipati Jepara, yang wilayahnya tak lebih dari sejengkal wilayah Jipang? Lalu sekarang, apa hebatnya Trenggono, yang dikesultanan pun tak jelas kerjanya selama ini.” (Nassirun, 2010: 118) Merasa Demak terancam dengan keberadaan Pangeran Sekar apalagi setelah Pangeran Sekar berhasil mencuri keris Kyai Brongot Setan Kober yang merupakan keris Pusaka Kasultanan Demak yang sangat ditakuti oleh musuhmusuhnya. Kemarahan Pangeran Sekar bisa diredakan oleh Sunan Ja’far Shadiq dan keris pusaka Demak Kyai Brongot Setan Kober disimpan di Panti Kudus karena keris tersebut digunakan sebagai bukti siapa yang berhak menjadi pengganti Pati Unus. Tetapi Raden Bagus Mukmin anak Raden Trenggono telah mencuri Keris Kyai Brongot Setan Kober yang disimpan di Panti Kudus dan dikembalikan ke Demak. Pangeran Sekar akhirnya terbunuh di atas jembatan Kali Tuntang dengan Keris Kyai Brongot Setan Kober oleh anak Raden Trenggono, Raden Bagus commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
Mukmin. Pangeran Sekar bersama Patih Matahun yang hendak ke Demak untuk meminta maaf kepada kakanya Ratu Mas Nyowo disalahartikan pasukan Demak. Nassirun Purwokartun juga memunculkan cerita dendam lama Joko Tingkir terhadap kerajaan Demak. Joko Tingkir atau sering disebut juga sebagai Mas Karebet dalam novel ini dimunculkan sebagai tokoh yang sangat berbeda. Joko Tingkir dalam cerita ini dimunculkan sebagai tokoh yang jahat, licik, dan gila kekuasaan. Joko Tingkir masuk dalam Kesultanan Demak membawa dendam. Bapak Joko Tingkir yang bernama Kebo Kenongo dibunuh oleh Sunan Kudus atas perintah Demak, karena Kebo Kenongo menganut ajaran Syeh Jenar yang dianggap sesat oleh kesultanan Demak. Seperti dalam kutipan yang disampaikan dalam dialog Patih Matahun yang sedang menerangkan kepada Penangsang di bawah ini: “Ki Penggling, ayah si Kebret itu adalah satu dari empat murid Syekh Jenar. Dan, seperti yang Gusti telah ketahui, Syekh Jenar yang menyebarkan jumbuhing kawulo Gusti, telah dinyatakan sesat oleh Eyang Giri. Waliyyul Amri meminta untuk menghentikan ajarannya. Namun Syekh Jenar menolak, bahkan melakukan pembangkangan. Waliyyul Amri pun terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dan, yang melakukan hukuman itu adalah romo Kudus” (Nassirun, 2010: 533) Joko Tingkir masuk dalam kerajaan Demak berawal dari menjadi sebuah prajurit tetapi karena keahliannya dalam berperang dengan cepat karirnya naik tetapi semuanya hancur setelah Joko Tingkir merusak kehormatan putri Raden Trenggono yaitu Ratu Cempakaningrum. Joko Tingkir diusir dari Demak. Seperti dalam kutipan yang disampaikan dalam dialog Patih Matahun yang sedang menarangkan kepada Penangsang di bawah ini: “Jadi jangan heran ketikan Kebret seolah membawa dendam itu ke Demak. commit usermasuk dalam lingkungan Demak. Hingga sangat berkeinginan untuktobisa
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Maka, meskipun telah diusir dari Demak karena merusak pager ayu Ratu Ayu Cempoko, Kebret dengan rai gedhek tetap mencoba kembali ke Demak. Tanpa tahu malu, datang kembali ke kasultanan. Namun oleh Sultan Trenggono sama sekali tak diacuhkan. Hingga dendam itu tambah membara. Kebret semakin bernafsu menguna-guna putri Sultan Trenggono. Untuk niatnya itu, Kebret dengan nista dan tak bertanggungjawab meninggalkan perempuan yang telah dirusak kehormatannya. Sungguh tidak berbudi pekerti luhur, Kebret sang bajul bunting itu!” (Nassirun, 2010: 537) Sosok Joko Tingkir dalam novel ini muncul sebagai seseorang bajul buntung (buaya darat). Semua tertulis dalam ucapan patih Ronggo Matahun yang sedang menceritakan keburukan Jaka Tingkir kepada Penangsang. Bahkan Patih Matahun juga menceritakan bahwa sebenarnya tidak ada pertempuran hebat melawan empat puluh buaya di Kedung Srengenge. Seperti dalam kutipan yang disampaikan patih Matahun kepada Penangsang: “ Bagai durian melawan mentimun, seorang ahli persilatan menghajar orang yang tak punya jurus apa-apa. Seorang putra mahkota dan tamtama, yang justru merusak kehormatan dan menyiksa rakyat biasa yang tak berdaya. Jadi, tak ada pertempuran hebat melawan empat puluh buaya di Kedung Srengenge. Karena yang ada hanyalah seorang buaya darat yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatan nistanya.” (Nassirun, 2010:554)
2.
Deskripsi Struktur Teks Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam Salah satu analisis dari penelitian ini yaitu mengkaji struktur teks novel
Penangsang, Tembang Rindu Dendam. Setiap novel terdapat unsur-unsur intrinsik yang membangun cerita. Pembahasan dalam bab ini dilakukan melalui pemaparan aspek struktur yang meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, dan sudut pandang. Analisis tersebut dijabarkan sebagai berikut:
commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Tema Tema adalah gagasan utama yang menjalin struktur isi karangan, Maka, tema merupakan pokok permasalahan yang menjadi bahan utama atau latar belakang cerita. Dari seluruh cerita novel Penangsang Tembang Rindu Dendam tampak permasalahan yang berada dilingkungan kerajaan Demak terutama perebutan tahta Demak. Raden Patah adalah berkuasa selama 40 tahun dan membawa Demak menjadi kerajaan yang besar di tanah Jawa. Sejajar dengan kesultanan malaka di semenanjung Malaka, dan Kesultanan Pasai di ujung utara Pulau Samudra. Setelah wafatnya Raden Patah, kepemimpinan Demak dilanjutkan anaknya yang bernama Pangeran Muhammad Yunus atau Senopati Unus atau sering dikenal rakyat Pati Unus. Pati Unus adalah putra kebanggaan Raden Patah. Pati Unus adalah anak dari Istri Pertama Ratu Ayu Asyiqah. Kepemimpinan Pati Unus membawa Demak mancapai puncaknya. Tetapi setelah penyerangan ke Malaka Pati Unus mengalami sakit hingga kemudian wafat di usia muda. Pati Unus memimpin Demak hanya 3 tahun. Setelah wafatnya Pati Unus, saudaranya yang bernama Trenggono naik takhta. Trenggono dipilih oleh Waliyul Amri, tetapi saudara Trenggono yang bernama Pangeran Sekar Kikin tidak bisa menerima keputusan itu. Ia ingin menjadi pengganti Pati Unus. Pangeran Sekar adalah anak laki-laki pertama Raden Patah karena anak Raden Patah yang pertama adalah perempuan yang bernama Ratu Mas Nyowo, mereka adalah anak dari istri Raden Patah yang ke-3 commit to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang bernama Raden Ayu Wulan. Semua tertuang dalam kutipan percakapan yang disampaikan Pangeran Sekar dengan Sunan Ja’far Shadiq di bawah ini: “Tiga tahun yang lalu, waktu pangangkatan Sabrang Lor, saya sangat tidak terima. Romo Sunan tahu, saya adalah anak laki-laki pertama dari Ayahanda Raden Fattah. Ibunda Raden Ayu Wulan meskipun istri ketiga, kedudukannya sama dengan istri pertama ataupun kedua. Apakah salah kalau saya merasa tidak terima?saya adalah anak laki-laki pertama, Romo Sunan” (Nassirun, 2010: 77) Pangeran Sekar merasa tidak terima dengan keputusan yang diambil oleh Waliyyul Amri yang menentukan pengganti Pati Unus. Pangeran Sekar merasa tidak menaruh hormat dengan Dewan Wali yang telah merebut kebahagiaannya. Dewan Wali yang telah menjodohkannya dengan putri tunggal Adipati Jipang Ratu Ayu Retno Panggung yang seharusnya menikah dengan putri saudagar Cina Lasem. Pangeran Sekar Juga kecewa terhadap keputusan yang diambil Waliyyul Amri terhadap pengangkatan Pati Unus dan Trenggono. Seperti dalam Kutipan di bawah ini: Anak laki-laki pertama Raden Patah itu telah lama memendam kecewa kepada mereka. Kumpulan orang-orang tua yang selalu berbaju putih itulah penyebab semuanya. Pengeran Sekar merasa, kumpulan orang-orang tua itulah yang membuatnya sengsara. Kalau saja bukan karena Dewan Wali yang memilihkannya istri, putri saudagar Cina Lasem itulah yang akan mendampinginya. Pengeran Sekar tidak menaruh hormat kepada Dewan Wali. Tiga tahun sebelumnya, Dewan Wali telah merampas takhta Demak darinya. Memberikan kepada Pati Unus yang umurnya berada jauh dibawahnya. Dan, tak berapa lama kemudian, Dewan Wali juga merenggut kebahagiaanya, yang sedang berencana meminang putri Cina. (Nassirun, 2010: 93) Pangeran Sekar yang datang ke Demak menemui kakaknya Ratu Mas Nyowo membawa kemarahan besar. Bahkan pangeran Sekar mengancam akan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
mengacaukan proses pelantikan Trenggono. Seperti dalam beberapa kutipan di bawah ini: “Telah kudengar sendiri kemarin di Panti Kudus”, Pangeran sekar memerah mukanya.” Bahwa dewan wali sekali lagi telah merampas hak gustimu ini untuk duduk di Kasultanan Demak. Aku pangeran Sekar Kikin, tak lagi bisa bersabar menerima ketidak adilan ini. Kau menjadi saksi, Mentanung, aku tidak akan pernah rela apabila Takhta Demak itu turun pada Trenggono! tidak pernah rela, Mentaung!’. (Nassirun, 2010: 105) “Apapun keputusanya, saya tidak rela takhta Demak turun kepada Trenggono,” pangeran Sekar makin melengkingkan suaranya. “ Saya telah bersabar selama tiga tahun menerima keputusan yang tidak adil sewaktu pengangkatan Yunus.”( Nassirun, 2010:111) “Semua keputusan Dewan Wali terlalu berat sebelah,” kata Pangeran Sekar. “Dan, selalu saya, yang menjadi korbannya. Apa hebatnya dulu Sabrang Lor, anak kemarin sore diangkat menjadi sultan? Hanya karena pernah jadi Adipati Jepara, yang wilayahnya tak lebih dari sejengkal wilayah Jipang? Lalu sekarang, apa hebatnya Trenggono, yang dikesultanan pun tak jelas kerjanya selama ini.” (Nassirun, 2010: 118) Merasa Demak terancam dengan keberadaan Pangeran Sekar apalagi setelah Pangeran Sekar berhasil mencuri keris Kyai Brongot Setan Kober yang merupakan keris Pusaka Kasultanan Demak yang sangat ditakuti oleh musuhmusuhnya. Kemarahan Pangeran Sekar bisa diredakan oleh Sunan Ja’far Shadiq dan keris pusaka Demak Kyai Brongot Setan Kober disimpan di Panti Kudus karena keris tersebut digunakan sebagai bukti siapa yang berhak menjadi pengganti Pati Unus. Tetapi Raden Bagus Mukmin anak Raden Trenggono telah mencuri Keris Kyai Brongot Setan Kober yang disimpan dipanti Kudus dan dikembalikan ke Demak. Pangeran Sekar akhirnya terbunuh di atas jembatan Kali Tuntang dengan Keris Kyai Brongot Setan Kober oleh anak Raden Trenggono, Raden Bagus commit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mukmin. Pangeran Sekar bersama Patih Matahun yang hendak ke Demak untuk meminta maaf kepada kakanya Ratu Mas Nyowo disalahartikan pasukan Demak Dalam novel ini juga dimunculkan sebuah dendam Joko Tingkir terhadap Kesultanan Demak. Dendam lama Joko Tingkir terhadap kerajaan Demak. Joko Tingkir atau sering disebut juga sebagai Mas Karebet dalam novel ini dimunculkan sebagai tokoh yang sangat berbeda. Joko Tingkir dalam cerita ini dimunculkan sebagai tokoh yang jahat, licik, dan gila kekuasaan. Joko Tingkir masuk dalam Kesultanan Demak membawa dendam. Orang tua Joko Tingkir yang bernama Kebo Kenongo dibunuh oleh Sunan Kudus atas perintah Demak, karena Kebo Kenongo menganut ajaran Syeh Jenar yang dianggap sesat oleh kesultanan Demak. Seperti dalam kutipan yang disampaikan dalam dialog Patih Matahun yang sedang menarangkan kepada Penangsang di bawah ini: “Ki Penggling, ayah si Kebret itu adalah satu dari empat murid Syekh Jenar. Dan, seperti yang Gusti telah ketahui, Syekh Jenar yang menyebarkan jumbuhing kawulo Gusti, telah dinyatakan sesat oleh Eyang Giri. Waliyyul Amri meminta untuk menghentikan ajarannya. Namun Syekh Jenar menolak, bahkan melakukan pembangkangan. Waliyyul Amri pun terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dan, yang melakukan hukuman itu adalah Romo Kudus” (Nassirun, 2010: 533) Jojo Tingkir ingin mengembalikan kejayaan orang tuanya. Joko Tingkir yang merupakan putra tunggal Kebo Kenongo mendapatkan dukungan dari sahabat-sahabat ayahnya untuk merebut kekuasaan Demak. Dengan ilmu-ilmu kanuragan yang dimilikinya, Joko Tingkir dengan mudah masuk dalam lingkungan Kerajaan Demak.
commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Alur Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam dibangun di atas alur yang menarik. Cerita novel Penangsang, Tembang Rindu Denam mengisahkan sosok Haryo Penangsang dalam lingkungan Kerajaan Demak Bintoro. Alur dalam cerita Penangsang, Tembang Rindu Dendam bersifat campuran karena gaya penceritaan waktu peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh tidak selamanya linear ke depan, tetapi juga terdapat kilas peristiwa yang bersifat flashback “mundur ke masa belakang”. Studi analisis tahapan alur dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam dapat dipaparkan sebagai berikut: 1) Eksposisi Cerita
Penangsang,
Tembang
Rindu
Dendam
diawali
dengan
menampilkan tentang sejarah kejayaan Kasultanan Demak Bintoro. Demak Bintoro yang berhasil meraih kejayaannya. Raden Patah adalah berkuasa selama 40 tahun dan membawa Demak menjadi kerajaan yang besar di tanah Jawa. Sejajar dengan kesultanan malaka di Semenanjung Malaka, dan Kesultanan Pasai di ujung utara Pulau Samudra. Semua tertuliskan dalam kutipan berikut ini: Selama 40 tahun Raden Patah berkuasa, telah mampu membawa membawa Demak menjadi kerajaan yang besar di tanah Jawa. Sejajar dengan kesultanan Malaka di semenanjung Malaka, dan Kesultanan Pasai di ujung utara Pulau Samudra.( Nassirun, 2010: 4) Setelah wafatnya Raden Patah, kepemimpinan Demak dilanjutkan anaknya yang bernama Pangeran Muhammad Yunus atau Senopati Unus atau sering dikenal rakyat Pati Unus. Pati Unus adalah putra kebanggaan Raden Patah. Pati Unus adalah anak dari Istri Pertama Ratu Ayu Asyiqah. Kepemimpinan Pati Unus commit toTetapi user setelah penyerangan ke Malaka membawa Demak mancapai puncaknya.
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
Pati Unus mengalami sakit hingga kemudian wafat di usia muda. Pati Unus memimpin Demak hanya 3 tahun. Setelah wafatnya Pati Unus, saudaranya yang bernama Trenggono naik takhta. Trenggono dipilih oleh Waliyul Amri, tetapi saudara Trenggono yang bernama Pangeran Sekar Kikin tidak bisa menerima keputusan itu. Ia ingin menjadi pengganti Pati Unus. dan ini adalah awal permasalahan dalam cerita ini, semua tertuang dalam kutipan berikut: Keguncangan yang bermula dari dendam lama. Kematian Pati Unus yang belum mempunyai anak, meninggalkan pertikaian para penerusnya. Terjadi perebutan takhta antarsaudara, antara Pangeran Sekar dan Raden Trenggono. Dalam pertikaian antaranak Raden Patah itu, Pangeran Sekar terbunuh. Dan dengan wafatnya Trenggono, anak pangeran sekar yang bernama Haryo Penangsang berniat menuntut hak atas ayahnya. (Nassirun, 2010: 5) 2) Inciting Moment Pada tahap ini awal dari semua masalah muncul. Penangsang sebagai penerus Kesultanan Demak mulai terusik. Penangsang berserta saudarasaudaranya diminta berkumpul di Panti Kudus oleh Romo Sunan Kudus. Seperti kutipan pembicaraan Haryo Panuntun kepada Penangsang berikut: “Eyang Sunan Kudus ingin mempertemukan kita semua para putra Ayahanda Pangeran Sekar Sedo Lepen,” demikian panuntun menyampaikan Pesan. “ Telah diundang semua saudara-saudara yang lain. Kangmas Haryo Mataram dari Demak telah datang kemarin siang. Dimas Haryo Panuntas dari Cirebon telah tiba sejak semalam. Besok sore, Kangmas Haryo Penagsang diharap telah sampai juga di Kudus. (Nassirun, 2010: 14-15 ) Dari kutipan di atas, Haryo Panuntun yang membawa kabar tersebut menceritakan bahwa semua putra Pangeran Sekar dikumpulkan dalam hal wasiat Ayah mereka. Penangsang telah banyak mendengar informasi tentang ayahnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
dari Patihnya Ronggo Matahun. Namun, berita itu tidak pernah dihiraukan oleh Penangsang. Penangsang yang memantapkan hati untuk tidak terlibat lagi dalam permasalahan Kesultanan Demak Bintoro. Ia kembali ke Jipang Panolang. Berniat untuk memajukan kadipaten warisan kakeknya. Tetapi Patih Matahun selalu bercerita yang membuat hati Penangsang terbakar dendam, seperti penuturan Patih Jipang berikut: “Seharusnya, Gusti Adipati mengerti apa yang telah terjadi,” Patih Matahun Menjajari berdiri Penangsang. “Mengerti apa yang telah terjadi pada takhta Demak. Mengerti apa yang menyebabkan Trenggono Menggantikan Yunus. Mengerti mengapa takhta itu tidak turun kepada ayah Gusti, Pangeran Sekar, sebagai pewarisnya. Mengerti mengapa Gusti hanya menjadi seorang bawahan di pedalaman Jipang Panolang. Seharusnya gusti mengerti dan bisa memahami.” (Nassirun, 2010:26) Dari kutipan di atas bahwa Patih Matahun menginginkan Penangsang menjadi sultan Demak karena Penangsang adalah pewaris yang sah seperti yang pernah dilakukan oleh ayahnya Pangerang Sekar. Penangsang telah berusaha mengubur semua amarah yang konon telah merebut takhta Demak dari ayahnya. 3) Rising Action Peristiwa-peristiwa yang terjadi terus berkembang mengalami penajakkan konflik cerita. Pengarang berusaha mengembangkan konflik dengan melibatkan tokoh-tokoh lain yang memiliki peran penting dalam kedudukan tokoh memacu peningkatan konflik. Konflik muncul setelah cerita kembali ke masa lalu. Peristiwa ketika Pangeran Sekar ingin merebut haknya atas kesultanan Demak. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: “Tiga tahun yang lalu, waktu pangangkatan Sabrang Lor, saya sangat tidak commit terima. Romo Sunan tahu, sayato user adalah anak laki-laki pertama dari
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
Ayahanda Raden Fattah. Ibunda Raden Ayu Wulan meskipun istri ketiga, kedudukannya sama dengan istri pertama ataupun kedua. Apakah salah kalau saya merasa tidak terima?saya adalah anak laki-laki pertama, Romo Sunan” (Nassirun, 2010: 77) Dari ucapan Pangeran Sekar terlihat bahwa beliau sangat menginginkan takhta Demak. Pangeran Sekar merasa yang paling berhak atas tahta Demak, karena beliau anak laki-laki pertama. Tetapi dalam menentukan kepemimpinan Demak, ditentukan Waliyul Amri. Raden Sekar sudah merelakan kepemimpinan Demak dipegang adiknya Pati Unus, karena beliau dengan gagah berani menumpas Portugis di Selat Malaka. Tetapi ketika Pati Unus Wafat, Pangeran Sekar kembali menuntut Haknya dan begitu mendengar kalau Trenggono yang akan naik tahta, Pangeran Sekar semakin marah. Kemarahan Pangeran Sekar inilah yang menjadi awal perang saudara anak Raden Patah. Pangeran Sekar yang merupakan adipati Jipang siap berkorban nyawa untuk menuntut haknya. 4) Complication Perkembangan masalah yang terjadi dalam cerita menjadi lebih kompleks pada tahap ini. Pengeran Sekar yang tidak menyetujui Pelantikan Trenggono membawa ancaman kepada Demak.dalam dialog antara Pangeran Sekar dan Syekh Nurullah sebagai berikut: “Apapun keputusanya, saya tidak rela takhta Demak turun kepada Trenggono,” Pangeran Sekar makin melengkingkan suaranya. “ Saya telah bersabar selama tiga tahun menerima keputusan yang tidak adil sewaktu pengangkatan Yunus.”( Nassirun, 2010:111) Dari kutipan di atas terlihat kemarahan Pangeran sekar terhadap kakak iparnya Syekh Nurullah. Syekh Nurullah adalah suami Ratu Mas Nyowo kakak commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kandung Pangeran Sekar. Syekh Nurullah yang mengusulkan Trenggono untuk menjadi penerus takhta Demak. Pangeran Sekar terus mangobarkan kemarahannya kepada Nurullah dan Kakaknya Ratu Mas Nyowo. Pangeran Sekar juga bersaksi di depan kakanya dan patih Matahun bahwa semua yang menggalangi pangeran Sekar dalam merebut Takhta Demak akan dilawan hingga mati. Seperti ucapan Pangeran Sekar berikut: “ Mentaung!” Pangeran Sekar Membentak. “ saksikan mentaung! Hari ini, pangeran Sekar Kikin akan mengambil kembali haknya yang telah terampas sekian lama. Siapapun yang mengalanginya, akan saya lawan sampai mati. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!” (Nassirun, 2010: 122-123) Nurullah selaku putra menantu Raden Patah merasa tidak rela jika Demak akan dihancurkan. Selama belum ada pelantikan sultan, Dewan Wali telah mengamanatkan Nurullah untuk menjadi pengganti Pati Unus. Karena Demak merasa terancam dengan kemarahan Pangeran Sekar dengan segera ia berdiri dan mengacungkan sebuah keris dari pinggangnya dan berucap sumpah. “Aku bersumpah,” Syekh Nurullah mengucapkan dengan lantang. “ Asyhadu alla ilaaha ilallahu, wa asyhadu anna muhammadar rosulullah. Siapa pun yang hendak mengganggu ketentraman Demak, jiwa ragaku siap menjadi pembelanya”( Nassirun, 2010: 123) Dengan berbagai cara Pangeran Sekar untuk menggagalkan pelantikan Trenggono. Salah satu caranya adalah
menggambil keris pusaka Kasultanan
Demak yaitu Keris Kyai Brongot Setan Kober. Dengan mengambil keris pusaka tersebut Pangeran sekar soakan tek terkalahkan dan pelantikan Trenggono menjadi sultan Demak juga tertunda. Sunan Kudus yang merupakan guru dari Pangeran Sekar mulai meredam commit toKeris userKyai Brongot Setan Kober untuk amarah Pangeran Sekar dengan meminta
perpustakaan.uns.ac.id
92 digilib.uns.ac.id
disimpan di Panti Kudus dengan janji bahwa keris pusaka itu tidak dikembalikan ke Gedong Pusaka kesultanan. Pangeran sekar tetap kukuh dengan pendapatnya yang merasa berhak atas takhta Demak dibandingkan Trenggono. Dalam kutipannya sebagai berikut: “Dalam pemikiran Pangeran Sekar, kalau keris pusaka itu itu dikembalikan ke kesultanan, sama saja bahwa yang berhak atas takhta Demak adalah Trenggono. Keris Kyai Brongot Setan Kober akan digunakan sebagai bukti, siapa yang berhak menggantikan Pati Unus. Maka, dengan disimpan di Panti Kudus, Pangeran Sekar merasa lebih tepat karena, baik dia maupun Trenggono, sama-sama tak memilikinya. Sama-sama tak berhak sesumbar menjadi sultan yang paling sah,” Tutur Sunan Kudus pelan. (Nassirun, 2010: 190) Kyai Brongot Setan Kober yang tersimpan di Panti Kudus dapat dicuri lagi oleh Raden Bagus Mukmin yang merupakan anak Raden Trenggono. Dengan keris Kyai Brongot Setan Kober Pangeran Sekar terbunuh di atas jembatan Kali Tuntang. Seperti ucapan Sunan Kudus kepada anak-anak Pangeran Sekar berikut: “Pangeran Sekar pun terbunuh di atas jembatan Kali Tuntang. Terbunuh oleh ketajaman Kyai Brongot Setan Kober yang dititipkan di Panti Kudus,” lirih Sunan Kudus mengakhiri ceritanya dengan lirih. (Nassirun, 2010: 191) Dari cerita masa lalu tersebut membuat Penangsang terpancing sebuah kemarahan. Seolah dendam mulai membakar hatinya. Tetapi penangsang tetap tidak ingin menjadi penerus takhta Demak. 5) Klimaks Pada tahap ini rangkaian-rangkaian peristiwa yang terjadi mencapai klimaks. Puncak dari seluruh cerita atau peristiwa sebelumnya ditahan untu dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut. Dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam permasalahan muncul ketika semua anak Pengeran Sekar commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
93 digilib.uns.ac.id
dikumpulkan oleh Romo Sunan Kudus di Panti Kudus untuk mendengarkan wasiat Ayah mereka Pangeran Sekar. Dengan tiba-tiba Penangsang yang terlihat tenang kemudian berubah menjadi marah. Semua terlihat dalam kutipan berikut ini: “Silahkan teruskan pembicaraan tentang ayahanda kalian!” Patih Matahun pun tersentak. “Aku tak pernah merasa punya ayah Pangeran Sekar!” kata Penangsang makin Keras. “ Dan, Penangsang tak ada urusan dengan takhta Demak!.” Semua yang duduk di ruangan tengah panti Kudus, terbelalak. “Aku muak membicarakan Demak” (Nassirun, 2010: 248) Dalam kutipan tersebut mulai tampak kemarahan Penangsang. Sosok Penangsang yang diam berubah dalam waktu sejenak. Ketiga saudaranya dan gurunya hanya saling pandang. Penangsang dengan segera meninggalkan ruangan tersebut. Haryo Panuntun segera menyusul tetapi Penangsang tetap pada pendiriannya. Penangsang tidak pernah menaruh dendam dengan Demak sama dengan adik-adiknya. Kemarahan penangsang bertambah dengan ucapan haryo Mataram tentang ayahnya sendiri pangeran Sekar. Haryo Mataram merasa bersyukur dengan kematian ayahnya. Tertulis dalam gumaman Haryo Penangsang berikut: Mataram benar-benar tak menghormati sedikit pun pada orang tua yang telah menjadikan ia ada di dunia. Berpikirlah, Mataram, tanpa Ayahanda, apa kau akan lahir seorang bayi yang bernama Haryo Mataram? Tak ada yang perlu disesali dari seorang yang telah membuatnya lahir di dunia? Tak perlu menyesal? Mungkin justru Ayahanda yang menyesal mempunyai anak Haryo Mataram. (Nassirun, 2010: 377) Oh, Mataram Congkak benar kata-katamu. Seolah kamu telah berbuat banyak untuk Demak. Kamu baru saja menjadi seorang prajurit kemarin sore. Hanya seorang prajurit pinggiran, Mataram. Aku. Aku Penangsang, telah lebih dulu menjadi prajurit utama. Aku pernah menjadi seorang commit to usermataram. Bukan sekedar hanya senopati. Seorang senopati berkuda,
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
disuruh-suruh. Aku senopati. Mengepalai prajurit sepasukan. Peperangan demi peperangan aku terlibat. Kamu prajurit kemarin sore, Mataram. Belum layak menepuk dada soal menjaga ketentraman Demak. (Nassirun, 2010: 378) Ah seorang anak yang lahir dari istri simpanan berani mengaku sebagai keturunan Demak? Sungguh tidak tau malu. Hanya karena dilahirkan di Demak, kemudian berani mengaku paling sah sebagai keturunan kesultanan? Lalu, darimana garis keturunan itu didapatkan? Dari ayahnya! Garis keturunan itu berasal dari Ayahanda, Pangeran Sekar! Orang yang tak menyesali kematian ayahnya ternyata masih membanggakan sebagi keturunan Demak, keturunan tempat ayahnya berasal. (Nassirun, 2010: 378-379) Dari gumaman tersebut di atas, Penangsang terlihat sedih ketika ayahnya dianggap sebagai penghianat dan ingin menghancurkan Demak. Menurut Penangsang ayahnya memang berhak atas takhta Demak. Sunan Kudus telah berjanji kepada Pangeran Sekar bawa kelak anak Pengeran Sekar akan ada yang menggantikan Trenggono. Seperti dalam ucapan patih Matahun kepada Penangsang. “ Sunan Kudus Menjanjikan kepada Ayahanda bahwa keturunannya akan dijadikan sultan pengganti Paman Trenggono?” seolah tak percaya dengan yang didengarnya, Haryo Penangsang mengulang ucapan patihnya (Nassirun, 2010:391) Penangsang sudah disiapkan menjadi pemimpin oleh Sunan Kudus. Dari awal Penangsang telah dididik oleh Sunan Kudus tentang kepemimpinan. Dari menjadi senopati, hingga menjadi Adipati Jipang. Setelah semua anak Trenggono menolak untuk dicalonkan unruk dijadikan Sultan, maka Sunan Kudus mengungkapkan bahwa semua keturunan Raden Patah akan mempunyai hak yang sama. Berikut petikan dialog Sunan Kudus kepada Penangsang: “ Ya sudah, tak perlu dibahas apakah Penangsang sebagai cucu Raden Fattah, ataukah sebagai anak Pangeran Sekar. Tetapi dengan kemauan to user Sultan Demak. Itu saja,” Sunan Haryo Penangsang, kamu commit layak menjadi
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
Kudus seolah telah kehabisan kata-kata untuk muridnya. (Nassirun,, 2010:482) Ucapan Sunan Kudus tidak merubah pikiran Penangsang. Penangsang tetap menolak dicalonkan sebagai Sultan Demak. Penangsang merasa belum mampu dan tidak pantas sebagai penerus kesultanan Demak. Seperti dalam kutipan berikut: “Karena sekali Penangsang tertarik, maka semua yang telah kuperjuangkan akan runtuh, orang akan tetap menganggap Penangsang tidak beda dengan Pangeran Sekar. Penangsang tidak tertarik untuk berebut tahta Demak, seperti yang dilakukan Ayahandanya.” (Nassirun, 2010: 483) Sunan Kudus merasa tidak bisa malaksanakan wasiat Pangeran Sekar. Pada masa Pangeran Sekar masalah ini menjadi perebutan. Pangeran Sekar sangat berambisi sampai Sunan Kudus kewalahan menghadapinya, tetapi sang anak malah sangat menolak. Dari sini puncak permasalahan adalah Penangsang yang enggan menjadi Penerus takta Demak. Penangsang yang merasa tidak berhak menjadi penerus tahta Demak karena Penangsang tidak tertarik dengan Kesultanan Demak. Oeang akan menganggap Penangsang tidak beda dengan Pangeran Sekar. 6) Falling Action Setelah mencapai klimaks dengan pengungkapan masalah-masalah yang menimpa tokoh, kemudian pada tahap tertentu konflik cerita mulai menurun. Di sini tokoh utama Haryo Penangsang dibujuk oleh Patih Matahun dan adiknya Haryo Panuntun. Patih Matahun dengan segera menberikan masukan kepada Penangsang. commit to user Seperti dalam kutipan di bawah ini:
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Prawoto telah mundur dari percalonan, Gusti,” ucap Patih Matahun . “Ini adalah waktu yang tepat untuk menunjukkan kemampuan Gusti Penangsang. Kemarin Romo Kudus telah memaparkan semua. Bahwa sejak kecil, Gusti Penangsang telah dipersiapkan untuk menjadi pewaris takhta Demak. Itulah janji yang sudah disanggupi oleh Romo Kudus kepada ayahandamu. Apakah Gusti tak pernah berpikir bahwa ada kebaikan yang terkandung dalam pemikiran Romo Sunan. (Nassirun, 2010: 524) Bujukan tidak hanya dari Patih matahun, tetapi adiknya Haryo Panuntun juga ikut membujuk kakaknya Haryo Penangsang. Seperti dalam kutipan di bawah ini: “Besar harapan Eyang Kudus agar Kangmas Penangsang mau menuruti keinginannya, untuk maju menjadi calon Sultan Demak. Harapan Eyang Sunan hanya ada pada Kangmas Penangsang,” demikian tutur Panuntun.( Nassirun, 2010: 525) Patih Matahun menceritakan tetang sosok tokoh baru yaitu tentang Mas Karebet. Di mata Patih Matahun sosok Mas Karebet adalah sosok yang kurang baik. Dalam kutipan di bawah ini : “ Romo yakin, Kebret itu tidak bertindak sewajarnya. Bagaimana mungkin, seorang perempuan yang sangat benci dengan Krebet, tiba-tiba jatuh cinta dan tergila-gila padanya. Ratu Ayu Cempoko mengetahui bejatnya Kebret, tak sudi menanggapi godaan mata keranjangnya. Namun entah dengan rajah apa, Kebret bisa menaklukkan hatinya. Hingga mendadak, kesultanan dibuat gempar dengan berita kehamilan Ratu Ayu Cempoko. Kehamilan dari perbuatan bejat si Kebret. Maka, karena sang putrid telah terlanjur dirusak pager ayu nya, Sultan Trenggono pun menjadi mengijinkan Kebret menikahinya. Room yakin, kalau bukan karena guna-guna, tak mungkin Kebret bisa membalikkan benci menjadi suka. Kebret, Kebret! Bejat betul, dia!”( Nassirun, 2010: 526) Patih Matahun panjang lebar menceritakan semua kejelekan Mas Karebet atau Patih matahun sering menyebutnya Kebret. Dalam banyangan Penangsang sosok Mas Karebet adalah wajah yang selalu menampakkan ketidaksukaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
97 digilib.uns.ac.id
kepadanya. Sesama adipati bawahan kesultanan Demak, Mas Karebet tidak pernah bersikap ramah dengan Penangsang. 7) Denovement Setelah cerita melalui proses pemecahan masalah dari semua peristiwa, maka mengarah pada penyelesaian. Dalam tahap ini Penangsang justru mengakhiri dengan kisah yang tragis. Kemarahan
Penangsang semakin
memuncak setelah Prawoto yang awalnya menolak bisa menjadi Sultan Demak pengganti ayahnya. Dengan diangkatnya Prawoto menjadi Sultan Demak, keraguan penegakan hukum akan menjadi nyata. Sebagai Sultan yang menyimpan kesalahan, tidak akan mungkin menegakkan kebenaran. Penangsang dengan kemarahanya mengancam Prawoto, tetapi semua bukan karena dendam melainkan sebuah keadilan, (Nassirun,, 2010: 675) Belum lagi kedatangan Panuntas membawa kabar bahwa Penangsang dituduh telah membunuh Sultan Trenggono. terlihat dalam percakapan antara Penangsang dengan Panuntun berikut ini: “Kabar beredar menyatakan, Kangmas penangsang-lah yang telah menyuruh orang untuk melakukan pembunuhan.” Bagai petir yang menyambar tanpa hujan, kabar yang dibawa oleh Panuntas benar-benar membuat Penangsang meradang. “ Di Demak, beredar kabar bahwa Penangsang yang membunuh Sultan?” teriaknya dengan mata membeliak. Panuntas tak berani menatap mata kakanya. Ia hanya menunduk dan menekuri permadani merah menyala menjadi alas kakinya. “ Siapa yang telah dengan keji mengatakan itu, Panuntas?” “Nuwun sewu, saya tidak mengetahuinya pasti, Kangmas,” “ lalu, kabar itu datang dari mana?” “ Konon, Dimas Prawoto yang mengatakannya.” (Nassirun, 2010: 691) Kemarahan Penangsang semakin memuncak atas dendam yang kepada Prawoto dan mengancam akan membunuh Prawoto. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
c. Tokoh dan Penokohan Sebuah cerita novel berjalan seiring dengan peran tokoh dan penokohan yang terdapat dalam cerita tersebut. Analisis struktur tokoh dan penokohan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam
dilakukan dengan melihat
penggambaran watak tokoh dari beberapa sisi, yaitu melalui metode deskripstif maupun dramatik. 1) Deskripsi Tokoh-Tokoh dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun menampilkan tokoh utama Haryo Penangsang, Patih Matahun, Sunan Jafar Shidiq. Nama tokoh kemuadian berkembang menjadi Pangeran Sekar Kikin, Ssenopati Unus, Syekh Nurullah, Ratu Mas Nyowo, Ratu Ayu Kencono, Sunan Giri, Bagus Mukmin, Pangeran Timut, Pengeran Hadiri, sunan Giri, Raden Pamekas, Sunan kalijaga, Haryo Mataram, Haryo Panuntun, Haryo Panuntas, Mas Karebet, Ki Juru Mertani, Bagus Kacung, Dadung Awuk, Ki Wuragil, Ki Wila. Novel ini menempatkan Penangsang sebagai tokoh utama bagi pengarang untuk mengungkapkan cerita. Penangsang merupakan tokoh sentral yang menghubungkan dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh berikutnya adalah Patih Matahun.Patih Matahun selalu berada di samping Penangsang.Patih Matahun yang membuka kenangan masa lalu tentang perebutan takhta Demak. Patih Matahun selalu melamunkan cerita tentang ayahandanya Penangsang. “Aku perhatikan, sejak tadi Romo termenung sekian lama diundakan pendopo, “Tanpa disadari Patih Matahun, Penangsang telah berada di sebelah kanannya. “Apa lagi yang sdang Romo lamunkan?” Patih Matahun tergagap. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
99 digilib.uns.ac.id
“melamunkan Ayahanda Pangeran sekar lagi?” Tanya Penangsang dengan senyum yang tersungging di bawah kumisnya.( Nassirun, 2010:125) Dalam kutipan di atas, Patih Matahun sedang melamunkan Sosok Pangeran Sekar yang merupakan Ayahanda Penangsang. Raden Sekar Kikin adalah anak laki-laki pertama Raden Patah dari istri ketiganya Raden Ayu Wulan. Raden Patah memiliki tiga istri, karena dengan istri pertama Raden Patah belum mendapatkan keturunan. Sehingga dengan nasihat Waliyul Amri, Raden Patah menikah hingga tiga kali. Semua istri dianggap sah dan tidak ada yang dibedabedakan atau dianggap selir. Dalam cerita ini lamunan Patih Matahun banyak membuka kenangan masa lalu. Patih Matahun sebelum menjabat menjadi patih di kadipaten Jipang adalah seorang tandha (jabatan pemerintahan di wilayah negara bawahan) Majapahit di Matahun.Dan diangkat nayaka (pejabat pemerintahan kesultanan Demak, setelah Majapahit runtuh. Dalam cerita Patih Matahun banyak menampilkan beberapa tokoh. Antara lain Sunan Ja’far Shadiq. Sunan Ja’far Shadiq atau sering disebut sunan Kudus merupakan guru Pangeran Sekar, dan anaknya. Selain itu, banyak tokoh yang muncul dalam cerita patih Matahun. Perebutan takhta Demak yang dikukan Pangeran Sekar memunculnya banyak tokoh. Nurullah adalah suami Ratu Mas Nyowo yang merupakan kakak kandung Pangeran Sekar. Nurullah adalah orang yang mengusulkan Trenggono untuk naik takta menggantikan Pati Unus. Dalam kisah ini Pangeran Sekar dibunuh oleh putra Trenggono yaitu Bagus Mukmin atau Sunan Prawoto. commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penangsang atau Haryo Penangsang merupakan anak pertama Pangeran Sekar dari istri Putri Jipang, Ratu Ayu Retno Panggung. Sedangkan adiknya Haryo Panuntun dari Kudus, Haryo Mataram di Demak, dan terakhir Haryo Panuntas di Jepara. Semua saudara Penangsang ini berbeda ibu. Setelah Sultan Trenggono Wafat, terjadi kekosongan kekuasaan Demak. Dewan Wali Atau Walliyul Amri ingin mencari pengganti sultan Trenggono dengan mengumpulkan semua cucu Raden Fattah.Selain Putra Pangeran Sekar hadir pula putra sultan Trenggono Bagus Mukmin dan Pangeran Timur. Penangsang selama menjadi Adipati Jipang ada sosok yang tidak menyukainya. Dia adalah Mas Karebet. Beliau adalah menantu Sultan Trenggono dari anaknya yang bernama Retno Kencono. Mas Karebet merupakan Adipati Pajang. 2) Penggolongan Tokoh dalam Novel Penangsang,Tembang Rindu Dendam Dalam novel Penangsang, tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun tokoh Penangsang adalah tokoh utama. Hampir keseluruhan cerita yang
ditampilkan
Nassirun
sangat
berhubungan
erat
dengan
tokoh
Penangsang.Penangsang yang awalnya menjadi tokoh antagonis dalam novel ini berubah menjadi sosok yang protagonis. Penangsang merupakan santri Kudus yang sangat taat beragama.Beliau tidak pernah meninggalkan kewajibanya sebagai umat muslim untuk beribadah. Ketika perjalanan dari Jipang ke Panti Kudus, Penangsang dan Patih Matahun berhenti sejenak disebuah pinggiran Sungai untuk melaksanakan sholat. Terlihat dalam kutipan di bawah ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
101 digilib.uns.ac.id
“Waktu ashar sudah lewat, Romo.Kita shalat di sini saja,” kata Penangsang sambil menurunkan kakinya dari sangurdi. Patih Matahun mengikuti langkah adipatinya. “Tadi siang, kita terburu-buru berangkat, hingga lupa untuk menjamak waktu shalat Zuhur.Atau Romo Patih sudah menjamak?” (Nassirun, 2010:138) Penangsang dalam novel ini tampak bukan sebagai orang yang gila kekuasaan seperti yang sering dibicarakan dalam panggung-panggung ketoprak atau pewayangan.Penangsang adalah pewaris sah Kesultanan Demak. “ Ya sudah, tak perlu dibahas apakah Penangsang sebagai cucu Raden Fattah, ataukan sebagai anak Pangeran Sekar. Tetapi dengan kemauan Haryo Penangsang, kamu layak menjadi Sultan Demak.Itu saja,” Sunan Kudus seolah telah kehabisan kata-kata untuk muridnya. (Nassirun, 2010:482) Dari ucapan Sunan Kudus di atas memang Penangsang adalah pewaris yang sah. Tetapi Penangsang selalu menolak untuk dicalonkan sepagai penerus takhta Demak menggantikan Sultan Trenggono. Kemarahan Penangsang ketika Ayahandanya Pangeran Sekar merasa selalu dipojokan sebagai pemberontak. Puncak kemarahan Penangsang adalah dengan dituduhnya sebagai pembunuh SultanTrenggono oleh Prawoto Selain Penangsang tokoh lain lain yang sangat berperan adalah Patih Matahun dan Sunan Kudus. Patih Matahun adalah patijh Jipang Panolang semasa pemerintahan Pangeran Sekar hingga Penangsang. Sedangkan Sunan Kudus adalah guru Pangeran Sekar dan Penangsang. Kedua tokoh ini merupakan tokoh yang mendukung tokoh utama. Selain ketiga tokoh utama tersebut ada tokoh yang muncul dalam perjalanan cerita novel Penangsang, tembang Rindu Dendam. Salah satunya commit user adalah ayahanda Penangsang. adalah Pangeran Sekar. Pangeran Sekartoadalah
102 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pangeran Sekar sangat menginginkan kedudukan takhta Demak sehingga menjadi sebuah ancaman bagi Demak. Pangeran Sekar akhirnya terbunuh oleh putra sultan Trenggono yaitu Bagus Mukmin. Tokoh Penangsang sediri mempunyai beberapa tiga adik tiri yang berbeda ibu.Saudara Penangsang diasuh oleh kerabat Ayahnya. Ketiga adik penangsang adalah Haryo Panuntun, Haryo Mataram, dan yang terakhir Haryo Panuntas. Dari keempat putra Pangeran Sekar hanya Haryo Mataram yang tidak mengakui Ayahnya Pangeran Sekar.Penangsang yang secara terbuka menucapkan tidak suka terhadap Pangeran Sekar tetapi dalam hati Penangsang selalu marah jika ada yang menjelek-jelekkan Pangeran Sekar. Dalam cerita ini juga dimunculkan tokoh yang selalu berseberangan dengan Haryo Penangsang.Tokoh Mas Kareber atau Joko Tingkir adalah tokoh yang selalu dibanggakan dalam sebuah cerita-cerita pewayangan atau ketoprak, dalam novel ini sosok Mas Karebet adalah musuh besar Kesultanan Demak. Dendam yang dia bawa sewaktu-waktu akan menghancurkan Demak. 3) PerwatakanTokoh Salah satu hal yang menjadi karakteristik novel yaitu perwatakan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh dalam cerita.Setiap tokoh yang ditampilkan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu dendam memiliki watak yang berbeda yang menjadi karakteristik masing-masing tokoh. Meskipun begitu tokoh-tokoh tersebut saling melakukan interaksi sosial satu sama lain. Selanjutnya akan diuraikan tentang bagaimana pengarang mendeskripsikan tokoh-tokoh ceritanya. commit to user
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Deskripsi tokoh Penangsang Seoarang pemuda berusia seperempat abad dalam balutan kebesaran kadipaten Jipang. Dadanya ditegakkan, solah sedang menantang datangnya hujan. Gerimis membasah di pakaian sama sekali tak dirasakan. Badannya tetap tegap, kekar dan tegar di atas pelana. Kedua tangannya mengepal bersatudan terus menerus mengentak tali kekang kendali kuda.Rambutnya sebahu juga basah, Menempel di badan.Sesekali berkibar oleh kencangnya hentakan kuda. (Nassirun, 2010: 127) Penangsang atau Haryo Penangsang memiliki tubuh yang tegap dan kekar yang berusia sekitar 25 tahun.Panangsang selalu menggunakan pakaian kebesaran Kadipaten Jipang. Selain bertubuh yang kekar Penangsang juga sosok yang berwibawa dan taat beribadah. Secara psikologis Penangsang orangnya pendiam dan tenang, dan sabar tetapi sangat mudah terpancing kemarahannya. Penangsang sangat tidak suka dengan ketidakadilan. terlihat dalam kutipan di bawah ini: Dengan diangkatnya Prawoto menjadi Sultan Demak, keraguan penegakan hukum akan menjadi nyata. Sebagai Sultan yang menyimpan kesalahan, tidak akan mungkin menegakkan kebenaran. Penangsang dengan kemarahanya mengancam Prawoto, tetapi semua bukan karena dendam melainkan sebuah keadilan, (Nassirun, 2010: 675)
b) Patih Matahun Tokoh Patih Matahun dalam Novel ini diceritakan sebagai seorang laki-laki tua yang berumur sekitar 80 tahun.Patih Matahun juga sering dipanggil Pangeran Sekar dengan sebutan Mentaung. Sebelum menjadi patih Jipang Patih Matahun sering disebut dengan Ronggo Matahun. Patih commit to user
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Matahun sangat banyak pengalaman karena seblum menjadi patih di Kadipaten Jipang Panolang, dia seorang tanda majapahit di Matahun. Dalam Novel ini Patih Matahun sering menceritakan kembali tentang Kesulttanan Demak. Patih Matahun juga sangat amanat terhadap pimpinannya. Selama 25 tahun menjadi pengganti Pangeran Sekar mengatur pementintahan Kadipaten Jipang Panolang, Patih Matahun tidak ada niat untuk menguasai Kadipaten Jipang. Seperti kutipan dibawah ini: “Romo sebagai orang yang telah berpengalaman sejak muda dalam pemerintahan, pasti merasakan kenikmatan sebagai penguasa. Dan, sebagai adipati, bukanlah itu lebih tinggi derajatnya daripada seorang patih? Tetapi, mengapa Romo dengan setia menunggu, untuk kemudian mengembalikan jabatan Adipati Jipang kepada Penangsang? Bukanlah Romo sebenarnya lebih mampu menjadi seorang adipati?” (Nassirun, 2010: 160) Setelah Pangeran Sekar tewas di jembatan Sungai Tuntang, kursi pemerintahan jipang dipegang oleh Patih Matahun. Setelah Penangsang dewasa dan siap untuk memimpin Jipang, Patih Matahun segera memberikan haknya kepada Penangsang. “Maaf Gusti,” patih Matahun berkata dengan penuh kehati-hatian. “Kalau Boleh, hamba sekali bertanya, apakah Gusti Adipati benarbenar telah mantab untuk tidak mau mengurusi perihal Demak? Gusti telah benar-benar menarik diri dari kekerabatan Kesultanan?” (Penangsang, 2010: 39) Kutipan di atas merupan bahwa Patih Matahun sangat berhati-hati dalam berbicara terhadap atasannya. Patih Matahun sosok patih yang setia dengan Adipatinya.Patih Matahun menjadi Patih ketika Pangeran Sekar masih menjadi Adipati Jipang dan sampai digantikan oleh putranya Penangsang.
commit to user
105 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Patih Matahun juga cerdas dalam dalam berpolitik. Ketika Pangeran Sekar ingin mengambil keris Kyai Brongot Setan Kober, ide Patih Matahunlah yang digunakan. Seperti petikan dialog Patih Matahun berikut: “Gusti Putri datanglah ke Demak,” Ronggo Matahun memulaimemaparkan rencananya.”Lalu, temuilah Syekh Nurullah Ratu Mas Nyowo. Mengakulah bahwa Gusti Putri baru saja di usir dari Jipang.Pangeran Sekar mengusir Gusti Putri karena tidak menyetujui rencana meminta takhta atas Kesultanan Demak.Berceritalah bahwa Gusti Putri tidak mau mendukung rencana suami. Gusti Putri tidak rela Demak diambil oleh Pangeran Sekar.Gusti Putri sudah diusir, dan tidak diperdulikan lagi nasibnya di Jipang. Karena ternyata Pangeran Sekar telah mempunyai perempuan lain.”( Nassirun, 2010:147) Dari kutipan di atas Patih Matahun berusaha memberikan idenya kepada Pangeran Sekar untuk bisa mengambil Keris Pusaka Kesultanan Demak. Dengan cara itu akhirnya Keris Pusaka Kyai Brongot Setan kober bisa di tangan Pangeran Sekar. c) Deskripsi Sunan Kudus Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq adalah santri yang berasal dari tlatah Jipang panolang. Ayahnya bernama Sayyid Usman Haji, seorang ulama yang diangkat Raden Patah menjadi Senopati Utama Demak. Ualama yang berasal dari tanah Filistin (Palestina) di Timur Tengah itu dikenal dengan sebutan Sunan Ngundung. “Sabar sebentar, nakmas Sekar. Romo Sunan tahu apa yang sedang Nakmas Kesalkan. Tenangkan hatimu biar Romo bisa bercerita dengan lancar. Kalau Nakmas masih terbakar amarah seperti itu, Romo jadi tidak bisa bicara apa-apa” (Nassirun, 2010: 63) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
Kutipan di atas adalah usaha Sunan Kudus meredakan amarah Pangeran Sekar. Pangeran Kudus selalu bijaksana dan sabar. Beliau tidak membalas kemarahan sesorang dengan sebuah kemarahan. Selain itu, Sunan Kudus juga sangat ahli dalam peperangan dan agama. Sunan Kudus pernah diangkat menjadi Senopati Utama Demak menggantikan menjadi bagian ayahnya. Karena keahliannya Majapahit bisa tunduk Demak. Ulama yang pernah memimpin santri-santri Ampel beribadah haji ke Mekah ini juga dikenal sebagai ahli hukum agama. Kedalaman ilmu hukum islamnya membuat Raden Patah mengangkatnya menjdi imam Masjid Demak. Setelah raden Patah wafat, Sultan Trenggono mengangkatnya menjadi pemimpin Waliyyul Amri, menggantikan Sunan Bonang yang mengundurkan diri. (Nassirun, 2010: 169) Dari kutipan di atas, Sunan Kudus sangat berjasa atas kejayaan Demak. Sunan Kudus juga sangat ahli dalam hukum islam sehingga diangkat menjadi Waliyyul Amri menggantikan Sunan Bonang. Sunan Kudus juga menjadi guru mengaji semua anak Raden Patah. Sunan Kudus juga merupaka guru dari Penangsang. Mendidik penangsang dari belajar mengaji hingga ilmu peperangan. Sunan Kudus selalu menepati semua janjinya. Terlihat dalam kutipan berikut ini: “Dan, keyakinan romo makin tebal setelah Romo Ja’far menjadi pemimpin dewan wali. Kedudukannya pasti membuat pendapatnya bisa diterima ulama lainnya. Janjinya kepada Pangeran Sekar bisa ditepati sempurna. Karena telah mendidik putranya, betul-betul layak dan tepat menjadi sultan ditanah Jawa.” (Nassirun, 2010: 393) Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa Sunan Kudus menepati user meninggal. Dalam wasiatnya janjinya kepada Pangerancommit Sekar tosebelum
107 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pangeran Sekar ingin salah satu anaknya nanti bisa menjadi sultan di Demak. Sunan Kudus mendidik Penangsang untuk di jadikan calon penerus takhta Demak. d) Deskripsi tokoh Pangeran Sekar Kikin “Tiga tahun yang lalu, waktu pangangkatan Sabrang Lor, saya sangat tidak terima.Romo Sunan tahu, saya adalah anak laki-laki pertama dari Ayahanda Raden Fattah. Ibunda Raden Ayu Wulan meskipun istri ketiga, kedudukannya sama dengan istri pertama ataupun kedua. Apakah salah kalau saya merasa tidak terima?saya adalah anak laki-laki pertama, Romo Sunan” (Nassirun, 2010: 77) Dari kutipan di atas, tokoh Pangeran Sekar Kikin adalah putra lakilaki pertama Raden Patah dari istri ketiganya yang bernama Raden Ayu Wulan. Pangeran Sekar adalah ayahanda Penangsang. Pangeran Sekar adalah sosok yang ingin menghancurkan Demak karena kecewa dengan pengangkatan Trenggono menjadi sultan Demak menggantikan Pati Unus. Pengeran Sekar mempunyai watak yang pemarah menjadi awal kematiannya di jembatan Kali Tuntang. Pengeran sekar juga sangat berambisi untuk menjadi sultan di Demak. Beliau menganggap sebagai pewaris yang sah, karena merupakan anak laki-laki pertama dari Raden Patah. Kemarahan semakin memuncak ketika Trenggono anak Raden Patah dari istri yang pertama Ratu Ayu Asyiqah dianggat menjadi sultan. Pangeran Sekar yang datang ke Demak bersama Patih Matahun mengancam kakanya Nurullah dan Ratu Mas Nyowo. Seperti dalam kutipan di bawah ini: commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Saksikan Mentaung! Nurullah harus mati ditanganku,”ucap Pangeran Sekar sambil mengepalkan tangan. “karena dia telah berani-neraninya mengusulkan Trenggono menggantikan Sabrang Lor. Berani-beraninya dia melangkahi wewenangku. Kurang ajar sekali suami kakang mbok-ku itu. Dan, yang lebih menyakitkan dia telah berani menantangku, Mentaung, Nurullah harus mati ditanganku.”(Nassirun, 2010: 134) Dalam kutipan di atas menampilkan bahwa tokoh Pangeran Sekar mempunyai sifat pemarah. Pangeran Sekar tewas karena terbunuh di jembatan Kali Tuntang oleh Prawoto dengan keris pusaka yang pernah di curinya. Karena peristiwa itu Pangeran Sekar Kikin juga sering dipanggil sebagai Pangeran Sedo Lepen. e) Deskripsi tokoh Haryo Panuntun Mulai dari panuntun yang berada di sebelah kanannya. Pemuda itu duduk bersimpuh dengan kedua kaki terlipat ke belakang. Jubahnya yang putih panjang menjuntai ke bawah, menutup kedua telapak kakinya. Wajahnya lebih mirip sang ibu dari pada ayahnya. Sinar kelembutan tampak dari pancaran muka yang penuh ketenangan.(Nassirun, 2010: 184) Dari kutipan di atas, sosok tokoh Haryo Panuntun adalah seorang yang memiliki suatu kelembutan yang selalu terlihat dari pancaran muka yang penuh ketenangan. Haryo Panuntun merupakan santri Kudus yang disiapkan Sunan Kudus untuk menjadi penerus Pondok Santri Kudus. Haryo Panuntun adalah adik tiri Penangsang. Haryo Panuntun dilahirkan dari oleh ibu seorang santri Kudus. Ibunya baru hamil tujuh bulan ketika Pangeran Sekar meninggal. Haryo Panuntun adalah sosok pemuda yang baik, cerdas, santun, dan taat beragama. Haryo Panuntun di besarkan oleh Sunan kudus di Panti Kudus. Sebuah doa disematkan dalam namanya agar commit to user
109 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bisa memberikan keteladanan kepemimpinan. Terlihat dalam kutipan berikut: Sebagai anak Pangeran Sekar dari seorang ibu santri Kudus, Panuntun tak sempat melihat wajah ayahnya. Ibunya baru hamil tujuh bulan ketika Pangeran Sekar meninggal. Kasih sayang Sunan Kudus-lah yang telah membentuknya menjadi pemuda yang cerdas dan santun. Sebuah doa disematkan dalam namanya agar bisa memberikan teladan kepemimpinan. Sebagai bangsawan, haryo, yang pantas menjadi panutan, panuntun, (Nassirun, 2010: 183) f) Deskripsi tokoh Haryo Panuntas Kemudian, Pandangannya beralih kepada Haryo Panuntas yang berada di sebelah kanan Panuntun. Dengan berbaju jubah panjang warna hijau tua, menambah tenang wajahnya yang sawo matang. Putra bungsu Pangeran Sekar itu pun membalas tatapan Sunan Kudus dengan senyuman. Pada gurat bibirnya, terlihat kesantunan dan pancaran kesopanan. (Nassirun, 2010:185) Dari kutipan di atas, tokoh Haryo Panuntas adalah putra bungsu dari Pangeran Sekar dari ibu putri Jepara. Haryo Panuntas dibesarkan oleh Sunan Fatahillah dan Ratu Mas Nyowo. Pangeran Sekar meninggal ketika Haryo Panuntas masih dalam kandungan. Haryo Panuntas dibesarkan dan dididik oleh Sunan Fatahillah di Banten yang kemudian pindah ke Cirebon. Haryo Panuntas adalah sosok tokoh pemuda yang santun dan sopan. g) Deskripsi tokoh Haryo Mataram Lalu, tatapan matanya pindah kepada Haryo Mataram yang tepat berada di depan Sunan Kudus. Sinar matanya yang sipit, tetapi berkilat-kilat, makin menampakkan kegagahan dalam balutan baju sebahitam. Dari tutup kepala berupa iket, baju surjan hitam, dan celana panjang selutut, serta kain jarik latar hitam. Tatapan matanya tajam memandang sang Sunan dengan disertai senyuman yang berwibawa. (Nassirun, 2010: 185) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
Berdasarkan kutipan di atas, tokoh Haryo Mataram adalah putra Pangeran Sekar dari istri putri saudagar Cina di Lasem. Haryo Mataram dibesarkan oleh Pangeran Hadiri dan Ratu Mas Retno di Jepara. Haryo Mataram mempunyai ciri mata sipit karena ibunya berasal dari negeri Cina. Sosok Mataram juga tampak berwibawa dan murah senyum. Dibalik itu semua, Haryo Mataram merupakan sosok yang durhaka terhadap ayahnya. Ketika mengetahui bahwa ayahnya hendak merebut Takhta Demak dan ingin menghancurkan Demak, Haryo Mataram merasa malu memiliki ayah seorang pemberontak. Terlihat dalam kutipan berikut ini: “Sebagai anak Pangeran Sekar, sebenarnya saya malu dengan kelakuannya,” mata Mataram tajam menatap Sunan Kudus. “Apalagi, setelah saya diberi tahu tentang ancaman yang hendak menghancurkan Demak.” (Nassirun, 2010: 239) h) Deskripsi tokoh Senopati Unus Sejak diangkat menjadi Adipati Jepara, Pati Unus telah menampakkan kemampuan dan kecakapannya. Dirinya mampu mengubah pesisir Jepara yang sepi menjadi kota pelabuhan utama bagi Kesultanan Demak. Bahkan, mampu mengalahkan Bandar Gresik dan Tuban yang selama ini menjadi pintu masuk di timur tanah Jawa (Nassirun, 2010:60) Kutipan di atas adalah gambaran seorang tokoh Pati Unus. Pangeran Mohammad Yunus adalah nama asli dari Senopati Unus dan masyarakat sering memanggilnya Pati Unus. Anak Raden Patah dari Istri yang pertama Raden Ayu Asyiqah. Pati Unus dipilih Waliyul Amri untuk menjadi Sultan Demak menggantikan Ayahnya Raden Patah. Pati Unus menjadi sultan Demak commit to user
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hanya tiga tahun. Setelah menyerang Malaka Pati Unus sering sakit hingga meninggal dunia di usia muda. Pati Unus adalah sosok tokoh yang pemberani. Di usia sekitar tiga windu, Pati Unus telah menjadi Sultan Demak setelah menjadi Adipati Jepara. i) Deskripsi tokoh Syekh Nurullah “Bukan begitu, Dimas Sekar. Kami sangat menghormati kedudukan Dimas. Sangat menghargai Dimas sebagai putra Raden Fattah,” dengan sabar Syekh Nurrullah menanggapi kemarahan sang adik ipar. “Namun, menurut Romo Bonang, justru Dimas yang tak menghargai Dewan Wali. Dimas tidak datang di musyawarah yang akan membahas masa depan kesultanan yang didirikan Raden Fattah, Dimas tidak menghargai Dewan Wali sekaligus tidak menghormati niat mulia Raden Fattah” (Nassirun, 2010: 110) Kutipan di atas, tokoh Syekh Nurullah merupakan tokoh yang sabar, tenang, dan bijaksana. Syekh Nurullah tetap sabar menghadapi Pangeran Sekar yang sedang marah menuntut takhta Demak. Syekh Nurullah merupaka suami dari Ratu Mas Nyowo yang masih kakak kandung Pangeran Sekar. Syekh Nurullah adalah seorang ulama muda dari Aceh. Syekh Nurullah menjadi sosok yang sangat dibenci oleh bangsa Portugis. Hingga untuk menyelamatkan jiwanya, ulama muda ini memilih melarikan diri ke Mekkah. Ketika di Mekah, Syekh Nurullah mendalami ilmu agama dan ilmu pemerintahan serta ilmu keprajuritan. Karena pengalamannya tersebut dengan mudah Syekh Nurullah bisa diterima di Kasultanan Demak. commit to user
112 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
j) Deskripsi Tokoh Ratu Mas Nyowo “Kamu benar-benar anak yang tidak tahu adab sopan santun. Tak pantas menjadi anak Raden Fattah. Tak pantas menjadi pewaris Demak!” putri pertama Raden Patah itu tak lagi kuat menahan geram. Umpatannya makin keras keluar dari bibirnya. Terus menerus meluncur dari dalam dada yang telah terluka. Tanpa berpamitan kepada semua, perempuan itu kemudian berjalan cepat setengah berlari ke pringgitan, meninggalkan balailarung. (Nassirun, 2010: 122) Dari kutipan di atas, tokoh Ratu Mas Nyowo adalah sosok perempuan yang sangat perasa. Ketika adiknya datang membawa kemarahan yang akan merebut takhta Demak, Ratu Mas Nyowo merasa tidak terima. Ratu Mas Nyowo Meluapkan kemaran kepada Pangeran Sekar karena merasa tidak kuat terhadap kelakuannya. Ratu Mas Nyowo adalah Putri Pertama Raden Patah dari istri yang ketiga Raden Ayu Wulan. Ratu Mas Nyowo saudara kandung Pangeran Sekar. Ratu Mas Nyowo adalah istri Syekh Nurullah yang tinggal di Demak. k) Deskripsi tokoh Ratu Ayu Retno Kencono “Tetapi, berita yang datang dari Blambangan benar-benar membuat saya tak mampu menahan amarah, Kangmas,” ucap Retno Kencono. “Ini benar-benar tamparan yang sangat keras bagi Demak. Seorang Sultan terbunuh dalam kemahnya. Bukankan ini sebuah penghinaan, Kangmas Hadiri?” (Nassirun, 2010:197) Dari kutipan diatas, sosok Ratu Ayu Retno Kencono dalam novel ini sebagai tokoh yang sedang marah ketika ayahnya Sultan Trenggono dibunuh oleh mata-mata musuh dalam perkemahannya. Ratu Ayu Retno commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
113 digilib.uns.ac.id
Kencono adalah anak Sultan Trenggono. Ratu Ayu Retno Kencono adalah sosok wanita yang cantik. Ini terlihat dalam kutipan berikut ini: Senyum tipis mengembang dari bibir Retno Kencono yang merona. Telah hilang kemarahan dan kesediahan dari wajahnya yang masih menyisakan kecantikan masa mudanya. (Nassirun, 2010: 217)
l) Deskripsi tokoh Pangeran Hadiri Seorang laki-laki dengan sorban putih yang beradadi sampingnya mencoba menenangkan hati sang perempuan. Dengan bahasa yang sangat pelan dan halus, laki-laki berjubah itu membujuk agar sang perempuan mengendalikan ucapanya. Kedua telapak tangannya berulang kali terulur ke depan dada setiap kali berkata-kata, sebagai penegasan agar si perempuan menenangkan kemarahan. Bahkan, sesekali jari telunjuk tangan kanannya tersilang di depan bibir sebagai permuntaan agar sedikit memelankan suaranya. Namun, perempuan berbaju merah itu seakan tak hirau dengan semua bujukan dan rayuan dari laki-laki di sebelahnya. Amarahnya terus terus terlontar deras dalam setiap umpatannya. (Nassirun, 2010: 191) Dari kutipan di atas, pangeran hadiri adalah sosok tokoh yang sabar. Pangeran Hadiri berusaha dengan sabar menenangkan hati istrinya Ratu Ayu Retno Kencono yang sedang marah ketika mendengar kabar kematian ayahandanya. Dengan setia Pangeran Hadiri mendampingi istrinya walaupun tidak mempunyai keturunan. Hadiri merupankan menantu dari Sultan Trenggono. m) Deskripsi tokoh Sunan Giri Ada geram yang tiba-tiba muncul dan kesal yang mendadak timbul, tetapi tetap mencoba ditahan dan tak dikeluarkan. Pantang bagi seorang pemimipin pesantren seperti dirinya, mengumbar kemarahan hanya karena menerima kabar yang tidak mengenakkan. Kendali kesabarannya yang telah membuat jiwanya mampu menguasai keadaan. Padahal, kabar yang diterimanya benar-benar telah membuat amarahnya memuncak. (Nassirun, 2010:252-253) commit to user
114 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari kutipan di atas, tokoh Sunan Giri merupakan tokoh yang mempunyai sifat penyabar. Tokoh ini mampu menahan amarahnya walaupun amarah itu sudah memuncak. Sunan Giri adalah guru di pondok Girikedaton. Sunan Giri merupakan salah satu anggota Waliyyul Amri yang dipimpin oleh Sunan Kudus. n) Deskripsi tokoh Raden Pamekas Karena kecerdasannya itulah, Sultan Trenggono menghendaki Pamekas tetap mendampinginya berada di Demak. Raden Pamekas diberikan jabatan mengurusi bidang pemerintahan, mendampingi Patih Wanasalam yang telah menjelang senja. Bahkan, pada waktu penggantian Adipati Randu Sanga, Pamekas merelakan haknya menjadi adipati diambil saudaranya, Raden Kaduwuran. (Nassirun, 2010: 271) Kitipan di atas menerangkan bahwa tokoh Raden Pamekas adalah tokoh yang cerdas. Raden Pamekas juga seorang yang baik hati karena rela kedudukannya sebagai adipati diambil oleh saudaranya. Kelebihan Raden Pamekas adalah kepahamannya tentang bait-bait Kitab Salokantara yang ditulis Raden Patah. Raden Pamekas adalah anak Raden Patah dari istri keduanya yang bernama Raden Ayu Kirana. o) Deskripsi tokoh Pangeran Prawoto Anak sulung Sultan Trenggono yang lebih dikenal dengan pangeran Prawoto, tertatih-tatih mendekati Sunan Kudus. Lelaki yang telah lama buta itu dituntun oleh anaknya, menyambut dan menyalami sang pemimpin Waliyyul Amri. Pemimpin Padepokan Panti Kudus itu pun segera merangkul pundak bekas santrinya. Seorang lelaki yang kurus yang terlihat lemah dan sakit-sakitan, serta tongkat rotan yang tak pernah lepas dari genggaman. Pada usianya yang belum setengah abad, wajah yang muram dengan rambut memutih semua, benar-benar telah tampak sangat tua. (Nassirun, 2010: 307-308) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
115 digilib.uns.ac.id
Dari kutipan di atas terlihat dengan jelas ciri fisik Pangeran Prawoto yang buta, lemah dan sakit-sakitan. Pangeran Prawoto juga terlihat sangat tua dengan rambut yang sudah memutih. Pangeran Prawoto adalah anak sulung dari Sultan Trenggono. Pangeran Prawoto juga sering disebut Bagus Mukmin. p) Deskripsi tokoh Mas Karebet “Sugeng rawuh, Romo Sunan,” seorang laki-laki yang berbadan tegap dan berkulit gelap yang berdiri disebelah Hadiri pun langsung manyalami Sunan Kudus. “Terima kasih, Karebet,” jawab Sunan Kudus. (Nassirun, 2010:309) Berdasarkan kutipan di atas, sosok tokoh Mas Kareber adalah tokoh laki-laki yang berbadan tegap dan berkulit hitam. Mas Karebet adalah menantu Sultan Trenggono yang awalnya adalah seorang tamtama, pasukan pengawal sultan, sekarang menjadi Adipati Pajang. Mas Karebet merupakan seorang pemuda dari Dusun Tingkir, di sekitar Salatiga., hingga pada waktu muda dikenal dengan Joko Tingkir. Meskipun aslinya adalah kelahiran Pengging. “Ini kesempatan emas. Gunakan kesempatan ini untuk menujukan bakti Kanjeng. Tunjukan kepada semua kerabat kesultanan bahwa meskipun Kanjeng hhanya seorang menantu, perhatian Kanjeng melebihi anak sendiri. Tunjukan bakti itu. Buktikan. Buka mata semua kerabat kesultanan bahwa Kanjeng benar-benar seorang pengageng yang bertanggung jawab dan berbakti. (Nassirun, 2010: 325) Sosok Mas Karebet adalah sosok yang bertanggung jawab dan berakti kepada keluarganya terutama Kesultanan Demak.tokoh ini juga seorang pengageng atau pemimpin kerabat kerajaan yang bertugas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
membantu kepemimpinan raja mengurusi masalah keluarga.
Saat
kematian Mentuanya Sultan Trenggono, Mas Kerebet tampak menyiapkan segalanya untuk urusan pemakaman, tetapi semua itu hanya semata-mata ingin mencari perhatian dalam lingkungan Kesultanan Demak. Mas Karebet yang mempunyai dendam lama ingin masuk dalam lingkungan Kesultanan Demak. Seperti dalam kutipan di bawah ini: “Mengembalikan kejayaan Majapahit,” kenang mas Karebet dan pesan terakhir Gurunya, “ artinya adalah merebut takhta Demak” (Nassirun, 2010: 317) “ Jadi jangan heran ketikan Kebret seolah membawa dendam itu ke Demak. Hingga sangat berkeinginan untuk bisa masuk dalam lingkungan Demak. Maka, meskipun telah diusir dari Demak karena merusak pager ayu Ratu Ayu Cempoko, Kebret dengan rai gedhek tetap mencoba kembali ke Demak. Tanpa tahu malu, datang kembali ke kasultanan. Namun oleh Sultan Trenggono sama sekali tak diacuhkan. Hinga dendam itu tambah membara. Kebret semakin bernafsu menguna-guna putrid Sultan Trenggono. Untuk niatnya itu, Kebret dengan nista dan tak bertanggungjawab meninggalkan perempuan yang telah dirusak kehormatannya. Sungguh tidak berbudi pekerti luhur, Kebret sang bajul bunting itu!” (2010: 537) Dari kutipan-kutipan di atas sangat terlihat dengan jelas bahwa tokoh Mas Karebet adalah salah satu tokoh yang membawa sebuah Dendam lama masuk dalam lingkungan Demak. Dalam kutipan tersebut juga dijelaskan watak Mas Karebet yang suka merayu wanita salah satunya Ratu Ayu Cempoko anak Sultan Trenggono. q) Deskripsi tokoh Sunan Kalijaga Sunan Kalijogo yang berjubah wulung dan berblangkon hitam corak mega mendung, menganggukkan kepalanya. Kain jarik- nya juga bercorak sama, bergambar awan-awan hitam berarakan, membuat penampilannya makin berwibawa. (Nassirun, 2010: 434) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
117 digilib.uns.ac.id
Dari kutipan di atas tokoh Sunan Kalijogo adalah tokoh yang sangat berwibawa. Tokoh Sunan Kalijogo adalah tokoh yang di segani oleh anggota Waliyyul Amri lainnya. Sunan kalijogo mempunyai nama muda Raden Mas Said itu suka berkelana daripada mendiami suatu tempat untuk mendirikan sebuah padepokan. r) Deskripsi tokoh Pangeran Timur Dalam hati Pangeran Mas Kumambang berteriak, “Saya tak peduli, apakah pembunuhan itu kudasari kemarahan atau tidak! saya memang terlalu marah ketika mendapati Kanjeng Romo rebah dengan dada bersimpah darah. Langsung kuterjang pemuda itu dari depan hingga terjengkal. Berkali kupukul wajahnya, pada mata dan hidungnya, dan dengan cepat kuseret kedua tangannya ke luar pesangrahan, kucengkram ujung bajunya dengan penuh kebencian. Kupukul lagi tanpa sedikitpun ia memberi perlawanan. Apalagi, ketika mendapatkan laporan bahwa ada prajurit yang menemukan jasad telanjang di semak-semak. Jasad orang yang telah di bunuh dengan keris dan diambil pakaiannya. Kemarahannya langsung meluap. Pukulan kembali dilayangkan kedadanya. Kucecar dengan bermacap pertanyaan, tetapi pemuda itu bungkam. Kegeraman bertambah ketika pertanyaanku tetap diacuhkan meskipun pukulan terus kuhantamkan. Hingga dengan cepat hukuman mati dilakukan (Nassirun, 2010:452) Dari kutipan di atas Pangeran Mas Kumambang atau sering disebut juga Pangeran Timur memberikan hukuman kepada pembunuh ayahnya Sultan Trenggono. Pangeran Timur dengan kejam memberi hukuman kepada pembunuh tersebut. Pangeran Timur juga terlalu cepat membuat seatu keputusan untuk memberi sebuah hukuman mati kepada pembunuh tersebut. Pangeran Timur yang berusia masih terlalu muda memang masih mempunyai pikiran yang labil dan mudah sekali marah. Pangeran Timur adalah putra bungsu Sultan Trenggono. Setelah kejadian itu Pangeran commit to user Timur merasa selalu dibayang-bayangi suatu rasa bersalah.
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
s) Deskripsi tokoh Juru Mertani Lelaki setengah baya penuh uban menghela napas beratnya. Kemudian dihembuskan secara perlahan, bagai merasakan kelegaan yang lapang. Ki Juru Mertani pun terkenang peristiwa belasan tahun silam. (Nassirun, 2010: 578) Berdasarkan kutipan di atas, tokoh Ki Juru Mertani adalah tokoh yang berumuran setengah baya dan memiliki uban dikepalanya. Juru Mertani adalah saudara dari Mas Karebet. Juru Mertani juga seorang penasehat Mas Karebet. t) Deskripsi Tokoh Bagus Kacung “Berkat pemikiran Kakang Bagus Kacung, cerita hina itu bisa tertutup rapat tanpa banyak orang yang mengetahui. Bahkan, rahasia itu tetap terjaga sampai sekarang, dan nama Kanjeng Mas tak pernah tercemar karenanya. Sungguh cerdik Kakang Bagus Kacung, Membuat seolah tak ada masalah apapun dibalik pembunuhan Dadung Awuk.” (Nassirun, 2010: 578) Berdasarkan kutipan di atas, tokoh Bagus Kacung adalah tokoh yang cerdik dan bisa menyimpan rahasia. Bagus Kacung bisa menyimpan sebuah rahasia tentang keburukan Mas Karebet terhadap Dadung Awuk. Bagus kacung masih bersaudara dengan Juru Mertani sehingga masih bersaudara pula dengan Mas Karebet. u) Deskripsi tokoh Dadung Awuk “Apa yang dijanjikan dan ditawarkannya ternyata hanya dusta belaka. Aku harus menagih janji kepadanya. Kalau ia sampai menolak, aku pun tak yakut untuk menantangnya beradu kekuatan. Dia benar-benar mempermainkan kita. Karena pengangkatan itu ternyata bukan berada pada kewenangannya. Ia tak berhak apa-apa selain menggelar pendadaran. Dasar biadab! Bajingan!” Dadung Awuk melampiaskan kekesalannya dengan penuh kemarahan. (Nassirun, 2010: 584) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
119 digilib.uns.ac.id
Berdasarkan kutipan di atas, tokoh Dadung Awuk adalah tokoh yang sedang marah terhadap Mas Karebet yang telah menjanjikannya sebuah pengankatan menjadi seorang prajurit Demak. Daduk Awuk adalah seorang tokoh yang berasal dari desa datang ke Demak untuk menjadi seorang prajurit Demak. Dadung Awuk berangkat dengan seorang adik perempuan. Mas Karebet yang merupakan salah satu penguji prajurit baru menjanjikan kepada Dadung Awuk untuk bisa diterima jika menyerahkan adiknya untuk menjadi kekasihnya. Setelah pengumuman calon tamtama disampaikan, ternyata nama Dadung Awuk tidak ada, sehingga kemarahan terhadap Mas Karebet muncul. Dadung Awuk juga seorang tokoh yang pemberani. Dia berani melawan siapa saja jika harga dirinya terinjak-injak. Dadung Awuk berani menantang bertarung dengan Mas Karebet yang kesaktiannya sudak tidak diragukan lagi. Dadung Awuk tewas dengan sadak (lintingan daun sirih) yang dileparkan Mas Karebet. Bentuk keberanian Dadung Awuk juga terlihat dalam kutipan percakapan Dadung Awuk yang sedang mendatangi Mas Karebet “Penghinaan ini aku terima dengan lapang dada. Dan, deni menyenangkan bajul buntung, kupersilahkan ular beludak sepertimu untuk mencobanya. Karena lelaki sejati adalah yang mampu membusungkan dada sebagai satria. Bukan pengecut yang menutupi dadanya dengan kemben. Juga bukan buaya yang sukanya membuka kemben perempuan.” (Nassirun, 2010: 589) Tokoh lain yang membangun cerita ini antara lain anak dan cucu Raden Patah yang sedang mengahadiri pemakaman Sultan Terenggono. commit user Dan tokoh yang membantu MastoKarebet untuk masuk ke Kasultanan
120 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Demak Ki Wuragil, Ki Wila, Ki Buyut Majasto, Ki Ageng Getas Aji, Ki Danurpati, sekelompok begal atau perampok.
d. Latar 1) Latar Waktu atau Masa Setiap novel memilki latar waktu untuk mendukung cerita. Apalagi dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam yang terbentuk dari sejarah Kesultanan Demak. Peristiwa dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Demak hingga perebutan Takhta yang dilakukan oleh anak dan cucu pendiri kesultanan Demak. Abad keenam belas Masehi Tanah Jawa yang gulita tengah diterangi cahaya baru. Ngadiyati puniku “Itulah hati yang indah,” demikian seorang pujangga menorehkan dalam sebuah babad. “Ketika itu di Tanah Jawa telah masuk Islam semua, tiada lagi penentang. Para petapa, Begawan dan pembantunya, pengikut dan muridnya, banyak yang telah menerima keimanan…….(Nassirun, 2010: 3) Berdasarkan kutipan di atas, Kerajaan Demak berdiri sekitar abad keenam belas masehi. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah. Raden Patah menjadi Sultan Demak ketika berumur 23 tahun. Beliau menjadi Sultan Demak selama 40 tahun.(1478-1518 M). Setelah Itu digantikan oleh anaknya Pati Unus. Pati Unus menjadi Sultan di usia 18 tahun (1518 M) dan meninggal pada usia 21 tahun (1521 M). Setelah Pati Unus wafat saudaranya Trenggono naik takhta dan menjadi Sultan Demak selama 25 tahun (1521-1546 M). Sultan Trenggono meninggal karena sebuah pembunuhan di pesanggrahannya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
121 digilib.uns.ac.id
2) Latar Tempat Latar tempat memberikan deskripsi imajinasi tempat terjadinya peristiwa dalam novel. Latar cerita Penangsang, Tembang Rindu Dendam terjadi di beberapa tempat. Tempat yang pertama adalah di Jipang Panolang yaitu sebuah kadipaten yang pernah dipimpin oleh Adipati Pangeran Sekar kemudian dilanjutkan putranya Adipati Haryo Penangsang. Terlihat dalam kutipan berikut ini: “langkah kakinya lurus ke depan, menuju alun-alun tempat pohon beringin kembar tumbuh tepat ditengahnya. Berada di sebelah kanan dan kiri jalan tanah yang membelah hamparan pasir. Jalan lurus dari arah jembatan penyebrangan Bengawan Sore, menuju pintu gerbang pendopo Kadipaten Jipang Panolang.(Nassirun, 2010:29) Selain di Jipang Panolang, peristiwa dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam juga terjadi di Panti Kudus tempat Pangeran Sekar bertanya soal hasil keputusan musyawarah Dewan Wali kepada Sunan Kudus seperti dalam kutipan berikut ini: Karena yakin malam itu gurunya sedang berada di Kudus. Pangeran Sekar berniat menanyakan kabar yang diterimanya. Ia merasa lebih tenang menemui gurunya di Kudus daripada di Demak. Apalagi, permasalahan yang akan ditanyakan adalah persoalan yang sangat berkaitan dengan perkara takhta, yang sangat tidak enak dibicarakan di Demak. (Nassirun, 2010: 64) Penangsang dan ketiga putra Pangeran Sekar di kumpulkan Sunan Kudus untuk membahas wasiat dari orang tua mereka di Panti Kudus. Terlihat dalam kutipan dialog percakapan antara Penangsang dengan adiknya Haryo Panuntun berikut ini: “Kita langsung ke Panti Kudus, Kangmas,” Panuntun mengajak kedua pembesar Jipang itu menuju bangunan di sebelah kiri masjid. “Eyang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
122 digilib.uns.ac.id
Sunan dan kangmas Mataram serta Dimas Panuntas pasti sudah menunggu.” (Nassirun, 2010: 176) Perjalanan Penangsang dan Patih Matahun dari Jipang menuju Kudus berhenti sejenak di pinggiran Kali Lusi untuk melaksanakan ibadah sholat. Terlihat dalam kutipan berikut ini: Di sebuah gubuk sawah di pinggiran Kali Lusi, Penangsang menarik tali kekangnya, meminta sang kuda tunggangannya berhenti. Angin sawah yang berhembus setelah disapu gerimis membuat udara yang bertiup membawa hawa dingin bercampur kesegaran bau tanah yang harum menyeruap. (Nasirun, 2010: 138) Selain di Jipang Panolang dan Panti Kudus, tempat peristiwa lain adalah di Kesultanan Demak. Di Kesultanan Demak lah Pangeran Sekar menemui kakaknya untuk menanyakan takhta Demak. Terlihat dalam kutipan berikut ini: Namun dalam temaram siang yang mendung itu, Syekh Nurullah justru merasakan udara Demak sedemikian panas. Di dalam pendopo Balairung Kesultanan, sedang terjadi sebuah ketegangan. (Nassirun, 2010: 109) Banyak peristiwa yang terjadi di Kasultanan Demak, dalam cerita ini prosesi pemakaman Sultan Trenggono dilakukan di Kasultanan Demak. Peristiwa pemilihan penerus takhta Demak setelah kematian Sultan Trenggono oleh Waliyyul Amri juga dilaksanakan di Demak. Tempat peristiwa lain yaitu di Desa kedung Srengenge. Di desa tersebut Mas Karebet singgah untuk istirahat untuk perjalannya dari Majasto menuju Pegunungan Prawoto. Terlihat dalam kutipan berikut ini: Lelaki muda bekas tamtama Demak itu, kemudian menginap di rumah Kepala desa Kedung Srengenge. Lurahnya yang bernama Ki Baurekso menyambut kedatangannya dengan ramah. Apalagi, ia mengaku sebagai seorang lurah tamtama yang hendak kembali ke kesultanan. Mas Karebet pun dijamu sebagaimana layaknya seorang pembesar yang datang ke to user pedesaan. (Nassirun, 2010:commit 540-541)
123 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tepat peristiwa lainnya adalah Kadipaten Pajang. Tempat Mas Karebet beserta penasehat Ki Juru Mertani. Di tempat ini Mas Karebet tinggal. Terlihat dalam kutipan berikut ini: Lelaki yang dipanggil Kanjeng Mas itu melayangkan pandangannya ke luar pendopo. Pendopo kadipaten Pajang yang luas, lenggang dalam suasana malam yang beranjak pergi, berganti pagi yang sebentar lagi menjelang. Angin malam yang bersiut kencang, menerpa seluruh ruangan pendopo yang berada di timur Kali Premulung. (Nassirun, 2010: 563) Latar tempat peristiwa berikutnya adalah padepokan Prawoto. Di tempat ini Mas Karebet berhasi menaklukkan seekor kerbau yang sedang mengamuk. Selain itu di tempat ini juga Mas Karebet berhasil menanklukkan gerombolan begal atau perampok dari Majasta. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: Mas Karebet tersenyum senang. Ia mengajak ketiga pengikutnya untuk mengikuti dari belakang. Ketiga orang itu pun meninggalkan gua kapur, tempat persembunyian gerombolan begal Majasta. Mereka akan menyusul kerbau ke arah selatan, ke arah Padepokan Prawoto. (Nassirun, 2010: 627) 3) Latar Sosial Dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam latar sosial juga diperlihatkan beiringan dengan latar tempat dan waktu. Latar sosial terjadi di wilayah Kadipatern Jipang Panolang yang terletak pada aliran bengawan Solo. Dari tempat itulah tokoh Penangsang memimpin sebuah kadipaten yang melingkupi wilayah Rembang, Pati, Lasem, dan Blora. Sebagai Adipati Jipang yang berkuasa atas wilayah tersebut, Penangsang harus bisa memberikan perlindungan dan ketentraman bagi rakyat di wilayahnya. Karena letaknya di commit to user
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
aliran Bengawan Solo kadipeten tersebut mempunyai Bandar untuk tempat berniaga. Terlihat dalam kutipan berikut ini: Dengan aliran Bengawan Solo pula, hasil-jasil pertanian bisa dipasarkan ke daerah mancanegara. Kadipaten di sepanjang aliran sungai besar itu mempunyai Bandar untuk tempat berniaga karena Bengawan Solo adalah jalur perdagangan yang ramai. Ratusan perahu setiap hari hilir mudik dari hulu ke muara. Penambangan-penambangan berdiri hampir setiap kabupaten. Menjadi makin ramai pada setiap hari-hari pasaran.(Nassirun, 2010: 21) Sedangkan secara status sosial tokoh adalah seorang keturunan raja. Dalam novel ini tokoh tokoh adalah berkaitan dengan keturunan Kasultanan Demak. Tokoh Penangsang adalah cucu dari Raden Patah, sehingga dalam cerita ini selalu berkaitan dengan Kasultanan Demak beserta kerabat-kerabatnya. Seperti dalam kutipan di bawah ini: Ibu Pangeran Sekar yang bermana Raden Ayu Wulan Sari adalah putri satu-satunya dari Adipati Jipang Panolang. Disunting oleh Raden Patah, Sultan Demak Bintoro, menjadi istri ketiga. Meski ia istri ketiga, Raden Ayu Wulan-lah yang petama mempersembahkan seorang putra. Anak pertama terlahir perempuan dengan nama Ratu Mas Nyowo, yang kini menjadi istri Syekh Nurullah atau sultan Fatahillah. Di ibu yang sama, lahir pula seorang anak laki-laki yang bernama Pangeran Sekar Kikin, yakni ayah Penangsang. (Nassirun, 2010: 20) e. Sudut Pandang Sudut pandang merupakan cara pengarang memosisikan diri dalam cerita. Setiap pengarang memiliki kekhasan masing-masing dalam menyajikan cerita olahannya. Dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun, pengarang menggunakan teknik penceritaan
yang
disebut
“omniscient narrative” atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan commit to user
125 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penonjolan. Berikut kutipan novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam yang menunjukkan sudut pandang pengarang tersebut: Ibu Pangeran Sekar yang bermana Raden Ayu Wulan Sari adalah putri satu-satunya dari Adipati Jipang Panolang. Disunting oleh Raden Patah, Sultan Demak Bintoro, menjadi istri ketiga. Meski ia istri ketiga, raden Ayu Wulan-lah yang petama mempersembahkan seorang putra. Anak pertama terlahir perempuan dengan nama Ratu Mas Nyowo, yang kini menjadi istri Syekh Nurullah atau sultan Fatahillah. Di ibu yang sama, lahir pula seorang anak laki-laki yang bernama Pangeran Sekar Kikin, yakni ayah Penangsang. (Nassirun, 2010: 20) Berdasarkan kutipan di atas, pengarang menempatkan diri benar-benar di luar cerita. Pengarang tidak memerankan diri menjadi salah satu tokoh pelaku cerita. Meski begitu, dalam posisi demikian pengarang seolah-olah mengetahui segala tindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita. Pengarang tidak hanya tahu tindakan tokoh cerita, tetapi juga mengetahui perasaan yang dialami tokoh cerita. Pengarang menjelaskan secara detail tindakan dan perasaan yang dialami tokoh. Hal ini menunjukkan adanya penguatan terhadap cara pandang suatu permasalahan cerita. Pengarang seolah-olah meletakkan tokoh-tokohnya sebagai sarana berkomunikasi dengan pembaca dalam menjadikan tokoh-tokoh cerita tersebut sebagai saksi mata dan pelaku sejarah. Menilik pada penggunaan sudut pandang seperti di atas pada proses cerita pengarang memiliki maksud tertentu. Pengarang dalam hal ini Nassirun Purwokartun seolah-olah ingin mengusulkan kepada khalayak tentang gagasangagasan dan pikiran-pikirannya melalui pendekatan setiap tokoh cerita. Pengarang mampu membuat sebuah karya dengan mengangkat sebuah karya sejarah tentang perebutan Takhta Demak serta mengankat sebuah tokoh utama Penangsang. commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Deskripsi Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam a. Proses Kreatif Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam Novel
Penangsang, Tembang Rindu Dendam dikarang oleh
Nassirun Purwokatun. Novel ini membawa sebuah pandangan baru yang memandang sebuah literatur-literatur tentang Penangsang tidak selalu berkata jujur. Terutama dalam cerita Babad Tanah Jawi. Nassirun Purwokartun, nama itu identik dengan gambar kartun. Memang pemilik nama itu adalah seorang kartunis. Namun selain sebagai seorang kartunis, ia juga seorang penyair, cerpenis, dan novelis. Penangsang
merupakan
novel
pertamanya.
Kang
Nass,
nama
panggilannya, memang tergolong berani, revolusioner. ia menuangkan kegundahannya terhadap kisah sejarah Jawa dalam sebuah novel. Rujukan sejarah Jawa selama ini adalah kitab Babad Tanah Jawi. Novel ini diibaratkan oleh Langit Kresna Hariadi penulis tetralogi novel Gajah Mada seperti disertasi bagi penulisnya. Memang tidak salah komentar Hariadi tersebut. Dibutuhkan usaha yang keras untuk membuat novel setebal 700 halaman. Apalagi novel yang mengisahkan sejarah yang selama ini sudah “dipatenkan” dalam Babad Tanah Jawi dengan prespektif yang berbeda. Dalam Babad Tanah Jawi, seorang tokoh Haryo Penangsang digambarkan sebagai sosok yang gila kekuasaan dan sangat bergagasan, commit to user hatinya selalu panas dan jiwanya mudah marah. Melalui novel ini,
perpustakaan.uns.ac.id
127 digilib.uns.ac.id
Nassirun seperti ingin membalik kisah dalam Babad Tanah Jawi. Kisah novel Penangsang berpusat pada tokoh utama yaitu Haryo Penangsang, yang selama ini digambarkan sebagai tokoh antagonis. Haryo Penangsang dalam cerita Nassirun adalah seorang tokoh protagonis. “Haryo Penangsang di novel ini adalah sosok pemberani, pembela kebenaran dan keadilan, serta penganut ajaran Islam yang bersih, sekaligus penentang sinkretisme di tanah Jawa yang gigih”, begitulah komentar Prof. Dr. Hasanu Simon. Tokoh sentral selain Haryo Penangsang adalah Sunan Kudus, guru Haryo Penangsang. Selain mengisahkan tokoh Haryo Penangsang novel ini juga mengangkat peran walisongo tidak hanya dalam penyebaran Islam di Jawa tetapi juga dalam pemerintahan di Kasultanan Demak dan dalam bidang kemiliteran. novel ini diawali dengan petikan naskah Babad Tanah Jawi yang bunyi terjemahannya. Terlihat dalam kutipan berikut ini: “Ketjarijos Soeltan demak sampoen seda. Ing sasedanipun Soeltan Demak, Dipati Padjang djumeneng soeltan Negara kang sami kebawah sadaja kairoep dating ing Padjang. Ingkang mogok kagebag ing prang. Tanah pasisir toewin mantjanegari toewin bang wetan lan pasisir kilen sadaja sampoen soedjoed, mboten wonten kang poeroen nglawan ing prang. Sami adjrih ing kadigdajanipoen Adipati Padjang. Among Dipati ing Djipang kang mboten poeroen teloek, kang anama Pangeran Hardja Panangsang….” (Poenika Serat Babad Tanah Djawi Wiwit saking Nabi Adam Doemogi Ing Taoen 1647,Kaetjap wonten ing Tanah nederlan ing taoen 1941) “Alkisah Sultan Demak sudah mangkat. commit to user
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setelah wafatnya Sultan Demak, Adipati Pajang diangkat menjadi sultan. Negara yang di bawah kekuasan demak digabungkan dalam kekuasaan Pajang. Negara yang membangkang ditaklukkan dengan perang. Tanah pesisir juga daerah di luar kerajaan dan daerah timur serta pesisir barat, semuanya takluk, tak ada yang berani melawan berperang. Semuanya takut terhadap kesaktian Adipati Pajang. Hanya Adipati Jipang yang tidak mau takluk kepadanya, Namanya adalah Pangeran Harya Penangsang …” (Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam sampaiTahun 1647, terbitan Leiden Belanda, 1941) (Nassirun, 2010: 1-2) b. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Penangsang, tembang Rindu Dendam Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel. Latar belakang sosial budaya dalam novel Penangsang, tembang Rindu Dendam menggambarkan kehidupan masyarakat Jawa pada masa Kesultanan Demak berdiri. Latar belakang sosial budaya dalam novel Penangsang, tembang Rindu Dendam dijabarkan sebagai berikut:
commit to user
129 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Masa Peristiwa Peristiwa dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Demak hingga perebutan Takhta yang dilakukan oleh anak dan cucu pendiri kesultanan Demak. Abad keenam belas Masehi Tanah Jawa yang gulita tengah diterangi cahaya baru. Ngadiyati puniku “Itulah hati yang indah,” demikian seorang pujangga menorehkan dalam sebuah babad. “Ketika itu di Tanah Jawa telah masuk Islam semua, tiada lagi penentang. Para petapa, Begawan dan pembantunya, pengikut dan muridnya, banyak yang telah menerima keimanan…….(Nassirun, 2010: 3) Berdasarkan kutipan di atas, Kerajaan Demak berdiri sekitar abad keenam belas masehi. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah. Raden Patah menjadi Sultan Demak ketika berumur 23 tahun. Beliau menjadi Sultan Demak selama 40 tahun. (1478-1518 M). Setelah Itu digantikan oleh anaknya Pati Unus. Pati Unus menjadi Sultan di usia 18 tahun (1518 M) dan meninggal pada usia 21 tahun (1521 M). Setelah Pati Unus wafat saudaranya Trenggono naik takhta dan menjadi Sultan Demak selama 25 tahun (1521-1546 M). Sultan Trenggono meninggal karena sebuah pembunuhan di pesanggrahannya. 2) Strata Sosial dalam Masyarakat Jawa Novel
Penangsang,
tembang
Rindu
Dendam
juga
commit to user terhadap strata sosial dalam memperlihatkan adanya pengakuan
130 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat. Pengakuan kelas atas diperlihatkan dengan kepemilikan kekayaan, jabatan, dan kekuasaan atau wewenang. Sebagai pelaku sosial para tokoh pun melakukan interaksi, baik secara struktural maupun kultural. Bahkan interaksi tersebut meluas pada pelaku sosial lain. Bentuk pengakuan strata sosial terlihat dalam kutipan di bawah ini: “sendiko, Gusti Patih,” jawab Rangkud sambil menepuk dada, lalu mengangkat sembah kepada sang Patih Jipang. (Nassirun, 2010: 51) “Sendiko, Gusti Adipati,” dengan gugup, Ronggo Matahun menyembah. (Nassirun, 2010: 52) “Nuwun sewu, Romo Sunan,” Pangeran Sekar membuka perkataan (Nassirun, 2010: 77) “Sugeng rawuh, Romo Sunan,” seorang laki-laki yang berbadan tegap dan berkulit gelap yang berdiri disebelah Hadiri pun langsung manyalami Sunan Kudus. “Terima kasih, Karebet,” jawab Sunan Kudus. (Nassirun, 2010:309) Berdasarkan kutipan di atas, bahwa tokoh Rangkud merupakan bawahan dari patih Ronggo Matahun. Kata “sediko” merupakan bentuk penghormatan antara bawahan dengan atasan. Seperti Patih dengan adipatinya untuk menyatakan suatu kesiapan. Sedangkan kata “nuwun sewu” merupakan berntuk permohonan maaf untuk menghormati orang yang lebih tua atau orang yang lebih dihormati. Sama dengan kata “Sugeng rawuh, Romo Sunan,” merupakan kata untuk menyambut orang yang lebih tinggi derajatnya.
commit to user
131 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Religiusitas dalam Masyarakat Jawa Religiusitas masyaraka Jawa yang muncul dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam mayoritas beragama islam. Kasultanan Demak merupakan Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa sehingga semua kerabat kasultanan Demak beragama islam. Kutipan berikut merupakan fakta tentang religiusitas masyarakat dalam lingkungan Kasultanan Demak. Lantunan azan itu pelan terdengar di telinga Ronggo Matahun. Setiap kalimatnya didengarkan dengan seksama dan sangat meresap dalam jiwanya. Namun, dengan pengulangan dalam hatinya, seolah berubah sangat keras menggedor jiwanya. (Nassirun, 2010: 97) Kutipan di atas menyebutkan kata “azan” yang merupakan panggilan bagi umat islam untuk menuanaikan ibadah sholat. Bagi umat islam sholat merupakan bentuk kewajiban bagi umatnya. Sehingga di manapun dan kapanpun selama masih bisa melakukan sholat diwajibkan untuk menjalankannya. Seperti dalam kutipan di bawah ini: “Waktu ashar sudah lewat, Romo.Kita shalat di sini saja,” kata Penangsang sambil menurunkan kakinya dari sangurdi. Patih Matahun mengikuti langkah adipatinya. “Tadi siang, kita terburu-buru berangkat, hingga lupa untuk menjamak waktu shalat Zuhur.Atau Romo Patih sudah menjamak?” (Nassirun, 2010:138) Dari kutipan di atas. terlihat bahwa kewajiban seorang muslim dalam menunaikan ibadah sholat tidak memandang sedang di mana kita berada dan sedang mengapa? Dalam kutipan tersebut tokoh user sedang melakukan perjalanan melakukan Menjamakcommit sholattokerena
132 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jauh. Menjamak sholat merupakan keringanan dalam beribadah dengan menggabungkan dua waktu sholat menjadi satu waktu di awal atau di akhir. Selain beribadah sholat dalam rukun iman yang terakhir adalah beribadah haji ke Mekah bagi yang mampu. Seperti dalam kutipan berikut ini : Ulama yang pernah memimpin santri-santri Ampel beribadah haji ke Mekah ini juga dikenal sebagai ahli hukum agama. Kedalaman ilmu hukum islamnya membuat Raden Patah mengangkatnya menjadi imam Masjid Demak. Setelah raden Patah wafat, Sultan Trenggono mengangkatnya menjadi pemimpin Waliyyul Amri, menggantikan Sunan Bonang yang mengundurkan diri. (Nassirun, 2010: 169) Dalam kutipan di atas, ulama Sunan Kudus pernah beribadah haji sehingga Raden Patah mengangkatnya sebagai imam Masjid Demak. Dalam melakukan sholat imam merupakan pemimpin sholat. Dalam memimpin sholat sesorang harus memiliki kemampuan agama secara mendalam. Selain itu kewajiban seorang muslim lainnya adalah membaca Al Quran. Tokoh Penangsang dalam cerita ini digambarkan seorang santri, sehingga kemampuan dalam membaca Al Quran tidak diragukan lagi. Ketika masih di Panti Kudus Penangsang sering melakukan tadarus Qur’an atau membaca Al Quran. Selain tadarus tokoh Penangsang juga sering melakukan sholat malam dan dilanjutkan dzikir panjang. Terlihat dalam kutipan berikut ini: “Penangsang ingin mengisi malam ini dengan tadarus Qur’an. Sesuatu yang dulu tiap hari Penangsang lakukan, tetapi sekarang makin sering ditinggalkan. Juga mendirikan shalat malam yang dilanjutkan dzikir panjang. Penagsang ingin menikmati malam ini sendirian. Ingin menikmati to user kedamaian.” commit (Nassirun, 2010: 294)
133 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4) Seni Budaya Jawa Kesenian juga menjadi warna dalam memberikan gambaran karakter sosial budaya masyarakat. Dalam novel Penangsang, tembang Rindu Dendam diperlihatkan bentuk seni syair, tembang Jawa Kuna, seni pahat atau ukir dan kesenian jawa lainnya. Seni yang pertanma adalah seni menabuh gamelan. Seperti kutipan di bawah ini: Suaranya berbaur dengan bende dan tambur yang berdentang menggemuruh dari pojok alun-alun. Sekelompok prajurit menabuh gamelan singakruta untuk membangkitkan semangat para prajurit yang sedang berlatih. (Nassirun,2010: 48) Dalam kutipan di atas, gamelan singakurta merupakan seperangkat alat musik jawa yang dibunyikan untuk mengiringi acara pertandingan adu singa di alun-alun keraton. Irama musiknya yang
keras
penuh
semangat
mampu
memanaskan
suasana
pertandingan. Oleh karena itu, juga digunakan untuk mengiringi para prajurit yang sedang berlatih perang. Dalam perkembangannya kemudian dibawa ke medan perang untuk membakar semangat prajurit yang sedang berlaga. Selain itu seni lain terdapat dalam kutipan di bawah ini: Lelaki tua tersebut mengamati dengan seksama perpaduan ukiran yang sangat indah. Ia melihat terdapat ukiran banji yang bermakna keselamatan dan kesejahteraan, dipadu dengan ukiran tumpal yang melambangkan penerang jiwanya dan kehidupan manusia. Pada bagian lain, terdapat hiasan yang berbentuk sulur-suluran, sebuah hiasan yang melambangkan kesuburan. Ukiran tersebut, kemudian commit to user
134 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berpadu dengan hiasan berupa jalinan tali-temali yang melambangkan cinta kasih. (Nassirun, 2010: 182) Kutipan di atas memperlihatkan sebuah kesenian ukir yang terdapat dalam Panti Kudus. Dalam Panti Kudus terdapat berbagai macam seni dari ukir hingga seni hiasan di diding. Tidak hanya sebagai hiasan seni ukir juga mempunyai sebuah lambang-lambang tertentu. Seni ukiran “banji” yang terdapat dalam ruangan Panti Kudus
mempunyai
makna
keselamatan
dan
kesejahteraan.
Sedangkan ”tumpal” mempunyai lambang penerang jiwa dan kehidupan manusia. Selain ukiran seni yang terdapat dalam Panti Kudus
adalah
hiasan
dalam
betuk
“sulur-suluran”
yang
melambangkan sebuah kesuburan. Sebuah nyanyian yang oleh penciptanya, Sunan Bonang, diberi nama Suluk Wijil. Sebuah nyanyian yang menceritakan murid sunan Bonang itu pun terus mengalun dari suara yang lirih, tetapi merdu. (Nassirun, 2010: 229) Sunan Kalijogo mendadak berdiri dari kursinya. Kemudian terdengar sang sunan mendendangkan sebuah tembang suluk yang merdu mengalun. (Nassirun, 2010: 439) Kutipan di atas terdapat sebuah seni suara “suluk wijil” yang diciptakan oleh sunan Bonang. Suluk wijil merupan sebuah nyanyian yang menceritakan tentang penjalanan pencarian kedamaian dari seorang pelawak buruk rupa dan cacat bernama Wujil. Seorang bertahun-tahun mendalami agama, tetapi merasakan kejemuan dan kesia-siaan. Jiwanya merasa kering dan dirundung gelisah. Batinnya menjerit kebingungan dan tidak menemukan sebuah kedamaian dari commit to user
135 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang dipelarinya. Selain suluk terdapat juga seni lain yang diciptakan oleh Sunan Bonang, yatu Gendhing. …. Banyak tembang penuh perenungan yang lahir di tangan sunan Bonang. Tembang-tembang yang bernilai sastra tinggi, dengan iringan gendhing yang diberi nama Gendhing Dharma. Ia memasukkan rebab Arab dan kempul Campa dalam gamelannya. Kempul yang kemudian oleh para muridnya diberi nama bonang, ntuk pengabdikan katya gurunya. selain itu, ia juga banyak menciptakan suluk yang sarat perenungan tentang alam dan ketuhanan. (Nassirun, 2010: 440) Berdasar kutipan di atas, terdapat seni gending. Gendhing merupakan sebuah suara iringan alat musik gamelan. Sedangkan “gending dharma” merupakan perpaduan antara gamelan dengan rebab Arab dan kempul Campa. Sedangkan seni suara lainya adalah macapat. Sambil meredakan debar di dada yang tak juga bisa sirna, Patih Matahun melantunkan sebuah tembang macapat. Sebuah kidung pangkur yang dulu selalu dilantunkan Pangeran Sekar setiap kali menikmati indahnya pohon tajug yang berbunga indah dan berbuah lebat. (Nassirun, 2010: 695) Macapat merupakan tembang atau senandung nyanyian, sedangkan, “kidung pangkur” merupakan berasal dari kata “Kidung” yang mempunyai arti sebuah senandung atau nyanyian. “pangkur” berarti buntut atau ekor. Oleh karena itu, pangkur kadangkadang diberi isyarat mengikuti. Kidung pangkur dinyanyikan untuk sebagai penghibur hati yang sedang gundah. “ Ki Ageng Pengging adalah ayah kandungmu. Dan, bayi laki-laki yang lahir malam itu adalah dirimu. Namamu Mas Karebet karena kamu lahir pada waktu kami semua menikmati pertunjukan wayang krebet.” (Nassirun, 2010: 352) commit to user
136 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Seni wayang krebet merupan sebuah kesenian wayang yang berupa lembaran tetapi oleh Sunan Kalijogo dialihkan mejadi wayang kulit. Dengan cara menggelar sebuah wayang kulit itulah Sunan Kalijogo menyebarkan ajaran agama islam di tanah jawa. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: Telah menjadi cara sang sunan yang banyak mendalami ilmu kebudayaan lama, dengan menyebarkan agama islam melalui kesenian. Salah satunya adalah wayang krebet yang berupa lembaran, dialihkan menjadi bentuk wayang kulit yang indah oleh Sunan Kalijogo. Hingga dengan mendalanglah, cara sang Sunan menyebarkan ajaran Isalam di daerah-daerah pedesaan pedalaman tanah Jawa. Sunan Kalijogo pun, kemudian dikenal sebagai dalang piawai dengan sabetan pakeliran memikat dan ahli membuat lakon cerita carangan dengan nama Ki Dalang Kemendung. (Nassirun, 2010: 430) 5) Mitos Masyarakat Jawa. Novel
Penangsang,
Tembang
Rindu
Dendam
memperlihatkan tentang hal-hal yang berkaitan mitos yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Mengenai hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini: Tidak ada orang Demak yang tak mengetahui keberadaan keris pusaka Kyai Brongot Setan Kober. Keris yang ikut menjai saksi atas berdirinya Kesultanan Demak, lebih dari empat puluh tahun silam Pusaka yang dibawa Sunan Kalijogo dari Cirebon ….. (Nassirun, 2010: 132) Keris pusaka Kyai Brongot Setan Kober merupakan tempaan Empu Bayu Aji yang wibawanya tidak tertandingi di tanah Jawa. Pusaka yang memiliki luk (lekukan dalam bagian keris) tiga belas yang
menyiratkan
pancaran
kebanggan,
kewibawaan,
dan
commit to user kedamaiaan. Disempurnakan lagi dengan pamor segoro agung
137 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(samudra besar yang luas dan dalam). Pusaka ini bisa dipercaya bisa membuat orang yang memilikinya menjadi sangat berani karena konon waktu ditempa, keris itu diberi mantra “away tan wani”. Senjata yang membuat siapa saja yang tersentuh akan langsung mati seketika. Langsung mati tanpa sempat mengeluh “tan kober sambat” (tidak sempat mengucapkan kata-kata) hingga dikenal dengan nama Setan Kober. Bentuk mitos lain adalah kebiasaan masyarakat Jawa yang selalu menganggap sesuatu yang dianggap keramat bisa digunakan untuk mencari keberuntungan (ngalap berkah) seperti dalam kutipan di bawah ini: “Kalau tidak,” Penangsang berkata keras ditelinga patihnya. “ Biar di Kali Lusi ini, besok aku dirikan Pasareyan Matahunan untuk mengenang Romo. Dan, orang Jipang akan kuwajibkan tiap tahun berziarah ke sini. Ngalap berkah Romo. Bagaiman?” (Nassirun, 2010: 141)
6) Perilaku Kesenangan Masyarakat Jawa Masyarakat Jawa memiliki banyak perilaku yang khas sebagai indentitas masyarakat. Seperti kutipan di bawah ini: Sunan Ja’far Shadiq memutar tasbih di tangannya. Pandang matanya jatuh ke pohon jambu dersana di pelataran. (Nassirun, 2010: 57) Kutipan di atas, bentuk kesenanangan yang dilakukan Sunan ja’far shadiq adalah memutar tasbih ditangannya. Perilaku memutar tasbih adalah bentuk perilaku yang khas seorang Sunan atau pemuka agama islam. Kebiasaan lain yang dilakukan masyarakat Jawa adalah commit to user minum air langsung dari kendi atau tempat penyimpanan air karena
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akan mendapatkan kesegaran langsung dari air yang diminumnya. Kebiasan tersebut sering dilakukan Sultan Trenggono seperti dalam kutipan di bawah ini: Ada kebiasaan Sultan Trenggono yang tidak suka meminum air menggunakan mangkuk keramik ataupun bumbung bambu. Namun, langsung menenggak langsung begitu saja dari kendi tempat penyimpanan air putih. ….. (Nassirun, 2010: 263) Selain kebiasaan di atas Sultan Trenggono juga memiliki kebiasan lain yaitu mengunyah pinang dan sirih. Kebiasan tersebut sering juga dilakukan oleh masyarakat jawa pada masa itu. Terlihat dalam kutipan di bawah ini:
Sudah menjadi keseharian Sultan Trenggono yang mempunyai kebiasaan mengunyah pinang. Selain menggunakan batang kayu siwak, juga rajin berkumur dengan air seduhan buah pinang muda. Namun, tak jarang pula dengan langsung mengunyahnya. Itu semua adalah Sunan Giri yang mengajarkannya. (Nassirun, 2010: 263-264) Bentuk
kesenangan
lain
yang
terdapat
dalam
novel
Penangsang, Tembang Rindu Dendam adalah kebiasaan nembang atau suluk. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: Sebuah nyanyian yang oleh penciptanya, Sunan Bonang, diberi nama Suluk Wijil, . sebuah nyanyian yang menceritakan murid sunan Bonang itu pun terus mengalun dari suara yang lirih, tetapi merdu. (Nassirun, 2010: 229) Sunan Kalijogo mendadak berdiri dari kursinya. Kemudian terdengar sang sunan mendendangkan sebuah tembang suluk yang merdu mengalun. (Nassirun, 2010: 439)
commit to user
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7) Penggunaan Bahasa dalam Masyarakat Keberadaan masyarakat dengan berbagai budaya yang melekat tentu tidak lepas dari aspek kebahasaan sebagai salah satu bentuk budaya masyarakat. Hal itulah yang juga diperlihatkan dalam novel Penangsang, tembang Rindu Dendam. Novel tersebut memperlihatkan penggunaan bahasa dalam masyarakat Jawa dan ulama terjadi bentuk alih kode dan campur kode. Terihat dalam kutipan dibawah ini: “Dibawa minum dulu, nakmas. Innallaha ma’ash shabirin. Allah beserta orang-orang yang sabar.Sunan Jafar Shadiq mengambil kendi berisi air putih dari pojok kiri panti. “ Sungguh manusia diciptakan suka mengeluh, Apabila dia ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan(harta) , dia jadi kikir”. Demikianlah Allah berfirman. (2010: 65) Sunan Ja’far Shadiq membuka ucapan “ Qul allaahumma maalikal mulki tu’til mulka man tasyaa’. Katakanlah (Muhammad),’ wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Innaka’alaa kulli sayai’in qodir. Sungguh Engkau yang maha kuasa atas segala sesuatu. (Nassirun, 2010: 70) “Aku bersumpah,” Syekh Nurullah mengucapkan dengan lantang. “ Asyhadu alla ilaaha ilallahu, wa asyhadu anna muhammadar rosulullah. Siapa pun yang hendak mengganggu ketentraman Demak, jiwa ragaku siap menjadi pembelanya”( Nassirun, 2010: 123) “ Semangat yang saya maksudkan adalah amal makruf nahi munkar,” suara berwibawa Sunan Kudus kembali menbahana. “ semangat mengajak pada kebaikan dan mencegah kejahatan. (Nassirun, 2010: 337) commit to user
140 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari kutipan di atas terdapat bentuk alih kode dan campur kode antara bahasa Indonesia ke bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab dalam kutipan ini di ambil dari Al Qur’an dan Hadis Riwayat. Tujuan penggunaan bahasa Arab sebagai penyampaaian dakwah oleh para Sunan. Karena dalam Kasultanan Demak merupakan sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa. Selain bahasa Arab terdapat juga bentuk alih kode dan campur kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: “ Mentaung!” Pangeran Sekar Membentak. “ saksikan mentaung! Hari ini, pangeran Sekar Kikin akan mengambil kembali haknya yang telah terampas sekian lama. Siapapun yang mengalanginya, akan saya lawan sampai mati. Rawerawe rantas, malang-malang putung!” (Nassirun, 2010: 122123) “Ke Kudus?” Patih tua itu menarik napas panjang, “Duh, Gusti Allah, paringana pangapura. Apa lagi yang akan kusaksikan?” (Nassirun, 2010: 125) “Siro kabeh padha Ingsun dadekake saka lemah,” kata sunan kalijogo sambil menanamkan batu nisan pada gundukan tanah yang memerah. “lan siro kabeh Ingsun balekake dadi lemah. Lan mengko akhir jaman, siro kabeh bakal Ingsun wetokake saka ing lemah. (Nassirun, 2010: 355) 8) Prinsip Hidup Masyarakat Jawa Filosofi lama yang menjadi konsep hidup masyarakat Jawa pun menjadi gambaran dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam. Terlihat dalam kutipan di bawah ini : “Pohon beringin disebut juga dengan pohon waringin atau wringin,” lelaki tua yang berada disampingnya melanjutkan penuturannya. “wringin berasal dari kata wri dan ngin. Menurut para bijak, wri artinya mengerti dan ngin berarti waspada. Kita diajarkan pohon wringin untuk selalu wri dan commit to userdan waspada. (Nassirun, 2010: 25) ngin. Untuk selalu mengerti
141 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Di tanah Jawa pohon beringin disebut dengan pohon hayat. Menjadi
simbol
pohon
kehidupan.
Pohon
beringin
mampu
memberikan kehidupan pada segi-segi kemanusian serta memberikan pengayoman dan perlindungan pada semua. Pohon ini juga dapat mempertebal semangat keyakinan dalam hati sanubari rakyat. Bentuk filosofi tentang kepemimpinan seseorang terlihat dalam kutipan berikut ini: “Penangsang benar-benar sosok yang sangat memperhatikan Jipang. Telah banyak kesejahteraan jipang yang telah dilaksanakan. Asta dasa kotamaning prabu yang dulu kuajarkan, meresap dalam tindakan Penangsang. Hampir semua sifat itu ada dalam kepemimpinan Penangsang. Dirisaha, sumantri, prasaja, dan ambeg paramarta-nya sangat terlihat nyata. Mungkin hanya sifat wijaya, dibyacita, dan nayaken musuh yang belum dimilikinya. Namun itu tak mengapa, dengan berjalannya waktu dan bertambahnya usia, kuyakin, Penangsang akan mampu mewujudkan semua dalam dirinya. (Nassirun, 2010: 129) Asta dasa kotamaning prabu adalah delapan belas ilmu kepemimpinan dari zaman keemasan Majapahit. Diantaranya, Dirisah: rajin dan tekun bekerja untuk mengabdi pada kepentingan umum;, sumantr: tegas, jujur, bersih, dan berwibawa; prasaja: hidup sederhana; ambeg paramarta: mengutamakan kepentingan untuk kesejahteraan; wijaya: mempunyai jiwa yang tenang dan bijaksana; dibyacita: bersedia menerima pendapat dari orang lain; nayaken musuh: dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang dari dalam maupun luar, termasuk juga yang ada dalam diri sendiri. Filosofi lain to juga userdalam kutipan di bawah ini: tentang kepemimpinancommit terdapat
142 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penangsang adalah trahing kusuma, rembesing madu, turning atapa, tedhaking andhana warih. (Nassirun, 2010: 383) Penangsang adalah trahing kusuma (keturunan bunga bangsa). rembesing madu (keturunan yang mulia), turning atapa (keturunan para pertapa atau ulama), tedhaking andhana warih ( berasal dari benih unggul) Arti kutipan di atas, Penangsang merupakan cucu dari raden Patah. Raden Patah merupakan anak prabu Brawijaya. Raden Patah sebelum menjadi raja adalah ulama yang dikenal sebagai Sunan Demak. “Prawoto”, umpatannya dalam hati, dengan tatapan tajam yang terlontar tanpa kedip, “seseorang itu dihargai dari ucapan dan tidakannya. Ajining sariro ono ing busono, ajining diri ana ing lathi. Namun, ucapanmu sejak dulu sampai sekarang benarbenar tak pernah bisa dipegang. Apalagi nanti, dengan tindakanmu, tindak-tandukmu, perbuatanmu, apakah bisa dijadikan pegangan. (Penangsang, 2010: 519-520)
9) Interaksi Sosial dalam Masyarakat Jawa Masyarakat Jawa mempunyai interaksi sosial yang bagus, yaitu berupa sifat kekeluargaan satu sama lain. Bentuk kekeluargaan tertuang dalam kutipan berikut ini: Lelaki muda yang dipanggil dengan nama Sunan Panuntun segera merangkul Haryo Penangsang. Keduanya berpeluk erat, dengan tangan saling memeluk pundak (Nassirun, 2010: 171) Keduanya sontak berdiri menyambut datangnya kakak sulung mereka, Haryo Penangsang. Kemudian, keempat anak Pangeran Sekar yang sejak kecil terpisah itu pun saling mengucapkan salam dan berpelukan. Semua terlihat gembira dan bahagia bertemu dengan saudara kandung satu ayah yang telah lama tak berjumpa. (Nassirun, 2010: 181) commit to user
143 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Bentuk interaksi yang terdapat pada kutipan di atas adalah bentuk keakraban saudara yang telah lama berpisah dan bertemu lagi dalam suatu suasana. Bentuk keakraban antara lain dengan berpeluk erat dengan saling menepuk pundak atau mengucapkan salam. Bentuk keakraban lain adalah ketika orang yang sangat dihormati datang dan semua memberi sambutan hormat kepadanya. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: Maka, kedatangan Sunan Kudus di serambi Masjid Demak sangat dihormati oleh seluruh kerabat Kesultanan Demak. (Nassirun, 2010: 307)
10) Pewarisan Kepemimpinan Bentuk pewarisan kepemimpinan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam sangat tampak. Novel ini bercerita tentang perebutan takhta Demak. Dalam pewarisan takhta Demak tidak berdasarkan garis keturunan melainkan berdasarkan musyawarah dewan wali. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: Dan Serat Salokantara mengubah aturan lama, termasuk dalam tata aturan pemilihan putra mahkota. Untuk penggantian sultan, tidak lagi seorang putra mahkota haruslah anak pertama. Namun, melalui Musyawarah Dewan Wali yang mempunyai kewenangan memutuskan.(Nassirun, 2010: 74-75) 11) Penyampaikan Kritik Bentuk penyampaian suatu kritik atau ketidaksetujuan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam tampak ketika Pangeran Sekar tidak menyetujui usulan Nurullah untuk mengusulkan commit to user
144 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Trenggono sebagai pengganti sultan Demak. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: “ Kangmas Nurullah, semua keputusan Dewan Wali telah saya dengar. Dan, menurut Romo Ja’far Shadiq, Kangmaslah yang mengusulkan agar Trenggono yang naik takhta. Jadi, kebetulan sekali pada hari ini saya bertemu Kangmas di sini. Mengapa Kangmas Nurullah berani-beraninya mengusulkan Trenggono?” Pangeran Sekar bertanya dengan wajah berkeringat. (Nassirun, 2010:109) 4. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam Deskripsi nilai-nilai pendidikan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam meliputi deskripsi nilai pendidikan : (a) agama; (b) moral; (c) Adat/budaya; dan (d) sosial. Berikut peneliti kemukakan deskripsi terhadap masing-masing nilai pendidikan tersebut. a. Nilai Pendidikan Agama Dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam pengarang menyampaikan nilai pendidikan agama dengan ungkapan tokoh-tokohnya. Seperti kutipan di bawah ini: “Waktu ashar sudah lewat, Romo.Kita shalat di sini saja,” kata Penangsang sambil menurunkan kakinya dari sangurdi. Patih Matahun mengikuti langkah adipatinya. “Tadi siang, kita terburu-buru berangkat, hingga lupa untuk menjamak waktu shalat Zuhur.Atau Romo Patih sudah menjamak?” (Nassirun, 2010:138) Tokoh Penangsang adalah seorang tokoh yang taat beragama. Sebagai umat islam sholat merupakan sebuah kewajiban. Dalam kondisi apapun tokoh Penangsang tidak meninggalkan sholat. Selain itu, tokoh Penangsang juga commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
145 digilib.uns.ac.id
melaksanankan kewajiban beribadah umat islam pada umumnya. Terlihat dari kutipan di bawah ini: “Penangsang ingin mengisi malam ini dengan tadarus Qur’an. Sesuatu yang dulu tiap hari Penangsang lakukan, tetapi sekarang makin sering ditinggalkan. Juga mendirikan shalat malam yang dilanjutkan dzikir panjang. Penangsang ingin menikmati malam ini sendirian. Ingin menikmati kedamaian.” (Nassirun, 2010: 294) Selain dari tokoh Penangsang, pengarang juga menyampaikan nilai pendidikan dari ucapan Sunan Ja’far Shidiq yang selalu didasarkan dengan Al Quran dan Hadis. Terlihat dari kutipan dibawah ini: “ dibawa minum dulu, nakmas. Innallaha ma’ash shabirin. Allah beserta orang-orang yang sabar.Sunan Jafar Shadiq mengambil kendi berisi air putih dari pojok kiri panti. “ Sungguh manusia diciptakan suka mengeluh, Apabila dia ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan(harta) , dia jadi kikir”. Demikianlah Allah berfirman. (2010: 65) Sunan Ja’far Shadiq membuka ucapan “ Qul allaahumma maalikal mulki tu’til mulka man tasyaa’. Katakanlah (Muhammad),’ wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Innaka’alaa kulli sayai’in qodir. Sungguh Engkau yang maha kuasa atas segala sesuatu. (Nassirun, 2010: 70) - “ Semangat yang saya maksudkan adalah amal makruf nahi munkar,” suara berwibawa Sunan Kudus kembali menbahana. “ semangat mengajak pada kebaikan dan mencegah kejahatan. (Nassirun, 2010: 337) b. Nilai Pendidikan Moral Sikap tanggung jawab terhadap perbuatan adalah sikap moral yang wajib dilakukan. Nilai pendidikan moral tertuang dalam kutipan di bawah ini: “Saksikan Mentaung! Nurullah harus mati ditanganku,”ucap Pangeran commit to user“karena dia telah berani-beraninya Sekar sambil mengepalkan tangan.
perpustakaan.uns.ac.id
146 digilib.uns.ac.id
mengusulkan Trenggono menggantikan Sabrang Lor. Beraniberaninya dia melangkahi wewenangku. Kurang ajar sekali suami kakang mbok-ku itu. Dan, yang lebih menyakitkan dia telah berani menantangku, Mentaung, Nurullah harus mati ditanganku.”(Nassirun, 2010: 134) Pendidikan moral yang tertuang dalam kutipan di atas, adalah ketika kemarahan Pangengan sekar yang tidak menerima keputusan Nurullah yang mengusulkan Trenggono tanpa memberi tahu Pangeran Sekar. Karena Pangeran Sekar merupakan Anak laki-laki tertua Raden Patah. Bentuk nilai pendidikan moral juga tertuang ketika Haryo Mataram yang merasa malu terhadap ayahandanya Pangeran Sekar yang bertindak ingin menghancurkan Kasultanan Demak. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: “Sebagai anak Pangeran Sekar, sebenarnya saya malu dengan kelakuannya,” mata Mataram tajam menatap Sunan Kudus. “Apalagi, setelah saya diberi tahu tentang ancaman yang hendak menghancurkan Demak.” (Nassirun, 2010: 239) Nilai pendidikan moral juga dituangkan penulis terhadap tokoh Mas Karebet yang ingin menunjukan baktinya terhadap keluarga. Mas Karebet yang merupakan menantu Sultan Trenggono berusaha menunjukan bahwa dia seorang kerabat kesultanan yang bertanggung jawab dan berbakti. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: “Ini kesempatan emas. Gunakan kesempatan ini untuk menujukan bakti Kanjeng. Tunjukan kepada semua kerabat kesultanan bahwa meskipun Kanjeng hanya seorang menantu, perhatian Kanjeng melebihi anak sendiri. Tunjukan bakti itu. Buktikan. Buka mata semua kerabat kesultanan bahwa Kanjeng benar-benar seorang pengageng yang bertanggung jawab dan berbakti. (Nassirun, 2010: 325) Pengarang ingin menyampaikan nilai pendidikan moral tidak hanya commit to bentuk user nilai morang yang tidak pantas yang patut kita tiru tetapi terdapat juga
perpustakaan.uns.ac.id
147 digilib.uns.ac.id
untuk kita contoh. Nilai pendidikan moral yang tidak boleh kita contoh adalah ketika Mas Karebet yang ingkar janji terhadap Dadung Awuk. Dandung awuk yang merasa dibohongi menjadi marah besar terhadap Mas Karebet. Semua tertuang dalam kutipan di bawah ini: “Apa yang dijanjikan dan ditawarkannya ternyata hanya dusta belaka. Aku harus menagih janji kepadanya. Kalau ia sampai menolak, aku pun tak takut untuk menantangnya beradu kekuatan. Dia benar-benar mempermainkan kita. Karena pengangkatan itu ternyata bukan berada pada kewenangannya. Ia tak berhak apa-apa selain menggelar pendadaran. Dasar biadab! Bajingan!” Dadung Awuk melampiaskan kekesalannya dengan penuh kemarahan. (Nassirun, 2010: 584) Merasa harga dirinya dilecehkan Mas karrebet Dadung Awuk dengan segala kemampuannya mencoba menantang Mas Karebet. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: “Penghinaan ini aku terima dengan lapang dada. Dan, deni menyenangkan bajul buntung, kupersilahkan ular beludak sepertimu untuk mencobanya. Karena lelaki sejati adalah yang mampu membusungkan dada sebagai satria. Bukan pengecut yang menutupi dadanya dengan kemben. Juga bukan buaya yang sukanya membuka kemben perempuan.” (Nassirun, 2010: 589) Bajul buntung adalah suatu ibarat seseorang yang suka mempermainkan wanita. Sosok Mas Karebet mendapat sebutan bajul buntung karena telah merusak kehormatan adik perempuan Dadung Awuk. Bentuk nilai pendidikan lainnya adalah ketikan Pangeran Timur memberi hukuman terhadap pembunuh Sultan Trenggono. Pangeran Timur memberi hukuman mati bukan berdasarkan suatu aturan melainkan berdasrkan kemarahan. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: “Semoga apa yang Nakmas lakukan malam itu bukan berlandaskan kemarahan. Semua dilakukan murni dengan niatan hukum yang berlaku pada seorang pembunuh. Bukan karena dendam atas terbunuhnya commit (Nassirun, to user ayahandamu, Sultan Trenggono.” 2010: 451)
148 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Nilai Pendidikan Adat/Budaya Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat lokal atau adat daerah dalam novel ini adalah adat daerah yang bernuansa kejawaan.terlihat dalam kutipan di bawah ini: “Kalau tidak,” Penangsang berkata keras ditelinga patihnya. “ Biar di Kali Lusi ini, besok aku dirikan Pasareyan Matahunan untuk mengenang Romo. Dan, orang Jipang akan kuwajibkan tiap tahun berziarah ke sini. Ngalap berkah Romo. Bagaiman?” (Nassirun, 2010: 141) Dalam kutipan di atas terdapat kata ”ngalab berkah” merupakan kebiasaan masyarakat jawa untuk mencari suatu keberhasilan. Ngalap berkah merupakan bentuk penghormatan terhadap sesuatu yang dianggap keramat. Nilai pendidikan yang bisa diambil dari kutipan tadi adalah sebuah rasa menghormatan kepada orang yang telah berjasa.
d. Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Nilai Pendidikan sosial yang tertuang dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam adalah mentuk keakraban antara Penangsang dengan saudara-saudaranya. Ke empat Putra Pangeran Sekar semuanya berbeda ibu. Mereka tinggal di tempat yang berbeda, tetapi dalam satu waktu mereka dikumpulkan kembali di Panti Kudus oleh Sunan Kudus untuk membicarakan sebuah wasiat mereka. Walaupun mereka tidak pernah saling bertemu, keakraban mereka masih tercipta. Terlihat dalam kutipan di bawah ini: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
149 digilib.uns.ac.id
Lelaki muda yang dipanggil dengan nama Sunan Panuntun segera merangkul Haryo Penangsang. Keduanya berpeluk erat, dengan tangan saling memeluk pundak (Nassirun, 2010: 171) Keduanya sontak berdiri menyambut datangnya kakak sulung mereka, Haryo Penangsang. Kemudian, keempat anak Pangeran Sekar yang sejak kecil terpisah itu pun saling mengucapkan salam dan berpelukan. Semua terlihat gembira dan bahagia bertemu dengan saudara kandung satu ayah yang telah lama tak berjumpa. (Nassirun, 2010: 181)
B. Pembahasan Berdasarkan Deskripsi dan temuan yang telah diuraikan di atas, maka akan dikemukakan pembahasan yang meliputi pandangan dunia pengarang, struktur teks, stuktur sosial, dan nilai-nilai pendidikan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun.
1. Deskripsi pandangan dunia pengarang ( Nassirun Purwokartun) Nassirun Wijaya adalah nama asli dari
Nassirun Purwokartun.
Purwokartun adalah sebutan karena keahliannya sebelum menjadi penulis adalah seorang katunis. Kang Nass adalah panggialan akrabnya, selain menjadi kartunis dan desain grafis juga seorang penyair sekaligus cerpenis dan sekarang jadi novelis. Buku kumpulan tulisannya antara lain Jatuh Cinta pada Bunga, Dari Cinta ke Cinta, Habislah Cinta Terbitlah Cinta, Awas Kesetrum cinta, kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf, Syair-syair pandhapa, narasi Laki-laki Narasi Perempuan, dan Meremas Sampah Menjadi Emas. Selanjutnya tahun 2009 mencoba menulis Novel Trilogi Penangsang yang telah terbit Penangsang, Tembang Rindu Dendam commit to user
150 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(2010) dan Penangsang, Kidung Takhta Asmara (2011). Novel yang menawarkan tafsir ulang tentang sejarah Penangsang. Awal Nassirun menulis novel Penangsang ketika masih SD kelas 4 hingga kelas 5 sering ada rombongan ketoprak tobong yang selalu bekeliling dari desa ke desa. Tiap malam selalu mementaskan cerita yang berlatarkan sejarah, dari cerita itulah mengajarkan pelajaran sejarah pertama yang menggena otak dan hati Nassirun. Di antara lakon-lakon yang dipentaskan hingga larut malam hanya tokoh Penangsang yang paling membetot emosinya. Kisah yang bercerita tentang perebutan takhta antara keturunan Raden Patah. Di panggung ketoprak, sosok Haryo Penangsang adalah orang yang gila kekuasaan dan sangat berangasan. Hatinya selalu panas dan mudah marah. Sifat itulah yang kenudian menjadi kekalaahan bahkan kematiaannya. Sementara ,mas Karebet digambarkan sebagai pemimpin yang bijak dan berjiwa arif. Seorang tokoh yang kemudian menjadi pemenang dalam petarungan penangsang. Menurut Nassirun, Haryo Penangsang adalah salah satu sosok yang menjadi korban subjektivitas penulisan sejarah tersebut. Oleh sumber-sumber sejarah yang perpihak pada penggenggam kekuasaan masa itu, Haryo Penangsang dihadirkan sebagai sosok antgonis sarat dengan kejelekan dan kejahatan. Hal ini karena sedemikian benci sang penguasa tersebut kepada sang Adipati Jipang. Cerita tutur, panggung-panggung ketoprak, sandiwara-sandiwara radio, juga karya-karya sastra sesudahnya mengukuhkah dan melestarikan alur yang tidak pasti dan bias ini. commit to user
151 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sebuah watak yang diterjemahkan langsung dari Babad Tanah Jawi, “Watakipoen arja penangsang sanget ing wanteripoen sarta panasbaran”. Sifat Haryo Penangsang sangat mudah marah dan pemberang. Demikianlah Babad Tanah Jawi menggambarkan sosok Haryo Penangsang dalam salah satu baitnya. Sebuah perkataan yang konon berasal dari ucapan Ki Juru Mertani, yang sedang bersiasat untuk menjebak Haryo Penangsang. Karena Mas Karebet tidak berani melawannya, maka ia bermain muslihat. Kelemahan Haryo Penangsang yang mudah tersulut marahnya tersebut dijadikan pancingan untuk menikamnya dari belakang. Dan itulah yang menurut kisah di panggung ketoprak terjadi kemudian. Kekuatannya kalah karena terpancing amarah. Haryo Penangsang mati mengenaskan. Ususnya terburai ketika robek panjang oleh tusukan tombak pendek Kyai Pleret yang ditikamkan Sutawijaya. Ususnya terpotong karena ketajaman kerisnya sendiri, Kyai Brongot setan kober. Haryo Penangsang tidak berambisi untuk menjadi penerus Takhta Demak setelah kematian Trenggono. Penangsang lebih merasa bangga menjadi seorang Adipati Jipang daripada sebagai kerabat Kesultanan Demak. Setelah Penangsang meletakkan jabatanya sebagai manggalayuda ia kembali ke Jipang panolang untuk memajukan kadipaten warisan kakeknya. Penangsang lebih bangga menjadi seorang adipati jipang daripada menjadi kerabat kesultanan Demak. Dalam benak Penangsang tidak pernah terlintas untuk memikirkan takhta kesultanan Demak yang sekarang dipegang oleh sultan Trenggono. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
152 digilib.uns.ac.id
Patih Matahun adalah orang tua angkat Penagsang. Setelah Pangeran Sekar wafat Patih Matahunlah yang memegang kekuasaan di Jipang. Setelah penangsang dewasa dan kiranya mampu mengelola Jipang kekuasaan Patih matahun di kembalikan kepada Penangsang selaku putra pangeran Sekar. Dalam novel ini penulis juga menampilkan sebuah konflik perebutan kekuasaan Tahta Demak. Setelah wafatnya Raden Fatah, kekuasaan Demak dipimpin oleh Pati Unus atau bernama asli Muhammad Yunus Surya yang merupakan anak Raden Fattah dari istri pertama Ratu Ayu Asyiqah. Kepemimpinan Kesultanan Demak ditentukan sepenuhnya oleh Waliyul Amri. Selama pemerintahannya yang tidak lebih dari 3 tahun, pertahanan semakin ditingkatkan. Siapapun kerajaan di tanah jawa yang tidak mau bergabung, dianggap sebagai ancaman yang membahayakan. Namun setelah melakukan penyerangan ke Malaka, Pati Unus menderita sakit dan kemudian Wafat di usia 21 tahun. Setelah wafatnya Pati Unus, saudaranya yang bernama Trenggono naik takhta. Trenggono dipilih oleh Waliyul Amri, tetapi saudara Trenggono yang bernama Pangeran Sekar Kikin tidak bisa menerima keputusan itu. Ia ingin menjadi pengganti Pati Unus. Pangeran Sekar adalah anak laki-laki pertama Raden Patah karena anak Raden Patah yang pertama adalah perempuan yang bernama Ratu Mas Nyowo, mereka adalah anak dari istri Raden Patah yang ke-3 yang bernama Raden Ayu Wulan. Pangeran Sekar merasa tidak terima dengan keputusan yang diambil oleh Waliyyul Amri yang menentukan pengganti Pati Unus. Pangeran Sekar merasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
153 digilib.uns.ac.id
tidak menaruh hormat dengan Dewan Wali yang telah merebut kebahagiaannya. Dewan Wali yang telah menjodohkannya dengan putri tunggal Adipati Jipang Ratu Ayu Retno Panggung yang seharusnya menikah dengan putri saudagar Cina Lasem. Pangeran Sekar Juga kecewa terhadap keputusan yang diambil Waliyyul Amri terhadap pengangkatan Pati Unus dan Trenggono. Pangeran Sekar yang datang ke Demak menemui kakaknya Ratu Mas Nyowo membawa kemarahan besar. Bahkan, Pangeran Sekar mengancam akan mengacaukan proses pelantikan Trenggono. Merasa Demak terancam dengan keberadaan Pangeran Sekar apalagi setelah Pangeran Sekar berhasil mencuri keris Kyai Brongot Setan Kober yang merupakan keris Pusaka Kasultanan Demak yang sangat ditakuti oleh musuhmusuhnya. Kemarahan Pangeran Sekar bisa diredakan oleh Sunan Ja’far Shadiq dan keris pusaka Demak Kyai Brongot Setan Kober disimpan di Panti Kudus karena keris tersebut digunakan sebagai bukti siapa yang berhak menjadi pengganti Pati Unus. Tetapi Raden Bagus Mukmin anak Raden Trenggono telah mencuri Keris Kyai Brongot Setan Kober yang disimpan dipanti Kudus dan dikembalikan ke Demak. Pangeran Sekar akhirnya terbunuh di atas jembatan Kali Tuntang dengan Keris Kyai Brongot Setan Kober oleh anak Raden Trenggono, Raden Bagus Mukmin. Pangeran Sekar bersama Patih Matahun yang hendak ke Demak untuk meminta maaf kepada kakanya Ratu Mas Nyowo disalahartikan pasukan Demak. Nassirun Purwokartun juga memunculkan cerita dendam lama Joko Tingkir terhadap kerajaan Demak. Joko Tingkir atau sering disebut juga sebagai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
154 digilib.uns.ac.id
Mas Karebet dalam novel ini dimunculkan sebagai tokoh yang sangat berbeda. Joko Tingkir dalam cerita ini dimunculkan sebagai tokoh yang jahat, licik, dan gila kekuasaan. Joko Tingkir masuk dalam Kesultanan Demak membawa dendam. Bapak Joko Tingkir yang bernama Kebo Kenongo dibunuh oleh Sunan Kudus atas perintah Demak, karena Kebo Kenongo menganut ajaran Syeh Jenar yang dianggap sesat oleh kesultanan Demak. Joko Tingkir masuk dalam kerajaan Demak berawal dari menjadi sebuah prajurit tetapi karena keahliannya dalam berperang dengan cepat karirnya naik tetapi semuanya hancur setelah Joko Tingkir merusak kehormatan putri Raden Trenggono Ratu Cempakaningrum. Joko Tingkir diusir dari Demak. Sosok Joko Tingkir dalam novel ini muncul sebagai seseorang bajul buntung (buaya darat). Semua tertulis dalam ucapan patih Ronggo Matahun yang sedang menceritakan keburukan Jaka Tingkir kepada Penangsang. Bahkan di sini Patih Matahun juga menceritakan bahwa sebenarnya tidak ada pertempuran hebat melawan empat puluh buaya di Kedung Srengenge.
2.
Struktur Teks Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam
Tema adalah gagasan utama yang menjalin struktur isi karangan, Maka, tema merupakan pokok permasalahan yang menjadi bahan utama atau latar belakang cerita. Dari seluruh cerita novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam tampak permasalahan yang berada dilingkungan kerajaan Demak terutama perebutan takhta Demak. Setelah wafatnya Pati Unus, saudaranya yang bernama Trenggono naik commit toAmri, user tetapi saudara Trenggono yang takhta. Trenggono dipilih oleh Waliyul
perpustakaan.uns.ac.id
155 digilib.uns.ac.id
bernama Pangeran Sekar Kikin tidak bisa menerima keputusan itu. Ia ingin menjadi pengganti Pati Unus. Pangeran Sekar adalah anak laki-laki pertama Raden Patah karena anak Raden Patah yang pertama adalah perempuan yang bernama Ratu Maas Nyowo, mereka adalah anak dari istri Raden Patah yang ke-3 yang bernama Raden Ayu Wulan. Dalam novel ini juga dimunculkan sebuah dendam Joko Tingkir terhadap Kesultanan Demak. dendam lama Joko Tingkir terhadap kerajaan Demak. Joko Tingkir atau sering disebut juga sebagai Mas Karebet dalam novel ini dimunculkan sebagai tokoh yang sangat berbeda. Joko Tingkir dalam cerita ini dimunculkan sebagai tokoh yang jahat, licik, dan gila kekuasaan. Joko Tingkir masuk dalam Kesultanan Demak membawa dendam. Bapak Joko Tingkir yang bernama Kebo Kenongo dibunuh oleh Sunan Kudus atas perintah Demak, karena Kebo Kenongo menganut ajaran Syeh Jenar yang dianggap sesat oleh kesultanan Demak. Jojo Tingkir ingin mengembalikan kejayaan orang tuanya. Joko Tingkir yang merupakan putra tunggal Kebo Kenongo mendapatkan dukungan dari sahabat-sahabat ayahnya untuk merebut kekuasaan Demak. Dengan ilmu-ilmu kanuragan yang dimilikinya, Joko Tingkir dengan mudah masuk dalam lingkungan Kerajaan Demak. Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam dibangun di atas alur yang menarik. Cerita novel Penangsang, Tembang Rindu Denam mengisahkan sosok Haryo Penangsang dalam lingkungan Kerajaan Demak Bintoro. Alur dalam cerita Penangsang, Tembang Rindu Dendam bersifat campuran karena gaya penceritaan commit to user
156 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
waktu peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh tidak selamanya linear ke depan, tetapi juga terdapat kilas peristiwa yang bersifat flashback “mundur ke masa belakang”. Sebuah cerita novel berjalan seiring dengan peran tokoh dan penokohan yang terdapat dalam cerita tersebut. Analisis struktur tokoh dan penokohan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam dilakukan dengan melihat penggambaran watak tokoh dari beberapa sisi, yaitu melalui metode deskripstif maupun dramatik. Novel Penangsang, tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun menampilkan tokoh utama Haryo Penangsang, Patih Matahun, Sunan Jafar Shidiq. Nama tokoh kemuadian berkembang menjadi Pangeran Sekar, Nurullah, Ratu Mas Nyowo, Bagus Mukmin, Haryo Mataram, Haryo Panuntun, Haryo Panuntas, Mas Karebet Novel ini menempatkan Penangsang sebagai tokoh utama bagi pengarang untuk mengungkapkan cerita. Penangsang merupakan tokoh sentral yang menghubungkan dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh berikutnya adalah Patih Matahun.Patih Matahun selalu berada di samping Penangsang.Patih Matahun yang membuka kenangan masa lalu tentang perebutan takhta Demak.Patih Dalam cerita Patih Matahun banyak menampilkan beberapa tokoh. Antara lain Sunan Ja’far Shadiq. Sunan Ja’far Shadiq atau sering disebut sunan Kudus merupakan guru Pangeran Sekar, dan anaknya.Selain itu, banyak tokoh yang muncul dalam cerita patih Matahun. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
157 digilib.uns.ac.id
Perebutan takhta Demak yang dilakukan Pangeran Sekar memunculnya banyak tokoh. Nurrulah adalah suami Ratu Mas Nyowo yang merupakan kakak kandung Pangeran Sekar. Nurrulah adalah orang yang mengusulkan Trenggono untuk naik tahkta menggantikan Pati Unus.Dalam kisah ini Pangeran Sekar dibunuh oleh putra Trenggono yaitu Bagus Mukmin atau Sunan Prawoto. Penangsang atau Haryo Penangsang merupakan anak pertama Pangeran Sekar dari istri Putri Jipang, Ratu Ayu Retno Panggung. Sedangkan adiknya Haryo Panuntun dari Kudus, Haryo Mataram di Demak, dan terakhir Haryo Panuntas di Jepara.Semua saudara Penangsang ini berbeda ibu. Penangsang selama menjadi Adipati Jipang ada sosok yang tidak menyukainya. Dia adalah Mas Karebet. Beliau adalah menantu Sultan Trenggono dari anaknya yang bernama Retno Kencono.Mas Karebet merupakan Adipati Pajang. Tokoh lain yang membangun cerita ini antara lain anak dan cucu Raden Patah yang sedang mengahadiri pemakaman Sultan Terenggono. Dan tokoh yang membantu Mas Karebet untuk masuk ke Kasultanan Demak Ki Wuragil, Ki Wila, Ki Buyut Majasto, Ki Ageng Getas Aji, Ki Danurpati, sekelompok begal atau perampok. Peristiwa dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Demak hingga perebutan Tahkta yang dilakukan oleh anak dan cucu pendiri kesultanan Demak. Kerajaan Demak berdiri sekitar abad keenam belas masehi. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah. Raden Patah menjadi Sultan Demak ketika berumur 23 tahun. Beliau menjadi Sultan Demak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
158 digilib.uns.ac.id
selama 40 tahun.(1478-1518 M). Setelah Itu digantikan oleh anaknya Pati Unus. Pati Unus menjadi Sultan di usia 18 tahun (1518 M) dan meninggal pada usia 21 tahun (1521 M). Setelah Pati Unus wafat saudaranya Trenggono naik takhta dan menjadi Sultan Demak selama 25 tahun (1521-1546 M). Sultan Trenggono meninggal karena sebuah pembunuhan di pesanggrahannya. Setting tempat yang terdapat dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam yang pertama adalah di Jipang Panolang yaitu sebuah kadipaten yang pernah dipimpin oleh Adipati Pangeran Sekar kemudian dilanjutkan putranya Adipati Haryo Penangsang. Selain di Jipang Panolang, peristiwa dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam juga terjadi di Panti Kudus tempat Pangeran Sekar bertanya soal hasil keputusan musyawarah Dewan Wali kepada Sunan Kudus. Perjalanan Penangsang dan Patih Matahun dari Jipang menuju Kudus berhenti sejenak di pinggiran Kali Lusi untuk melaksanakan ibadah sholat. Selain di Jipang Panolang dan Panti Kudus, tempat peristiwa lain adalah di Kesultanan Demak. Banyak peristiwa yang terjadi di Kasultanan Demak, dalam cerita ini prosesi pemakaman Sultan Trenggono dilakukan di Kasultanan Demak. Peristiwa pemilihan penerus takhta Demak setelah kematian Sultan Trenggono oleh Waliyyul Amri juga dilaksanakan di Demak. Tempat peristiwa lain yaitu di Desa kedung Srengenge. Di desa tersebut Mas Karebet singgah untuk istirahat untuk perjalannya dari Majasto menuju Pegunungan Prawoto. Tepat peristiwa lain adalah Kadipaten Pajang. Tempat Mas Karebet beserta penasehat Ki Juru Mertani. Di tempat ini Mas Karebet tinggal. commit to user
159 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Latar tempat peristiwa berikutnya adalah padepokan Prawoto. Ditempat ini Mas Karebet berhasi menaklukkan seekor kerbau yang sedang mengamuk. Selain itu di tempat ini juga Mas Karebet berhasil menanklukkan gerombolan begal atau perampok dari Majasta. Latar sosial terjadi di wilayah Kadipatern Jipang Panolang yang terletak pada aliran bengawan Solo. Dari tempat itulah tokoh Penangsang memimpin sebuah kadipaten yang melingkupi wilayah Rembang, Pati, Lasem, dan Blora. Sebagai Adipati Jipang yang berkuasa atas wilayah tersebut, Penangsang harus bisa memberikan perlindungan dan ketentraman bagi rakyat di wilayahnya. Karena letaknya di aliran Bengawan Solo kadipeten tersebut mempunyai Bandar untuk tempat berniaga. Sedangkan secara status sosial tokoh adalah seorang keturunan raja. Dalam novel ini tokoh tokoh adalah berkaitan dengan keturunan Kasultanan Demak. Tokoh Penangsang adalah cucu dari Raden Patah, sehingga dalam cerita ini selalu berkaitan dengan Kasultanan Demak beserta kerabat-kerabatnya. Sudut pandang merupakan cara pengarang memosisikan diri dalam cerita. Setiap pengarang memiliki kekhasan masing-masing dalam menyajikan cerita olahannya. Dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun, pengarang menggunakan teknik penceritaan
yang
disebut
“omniscient narrative” atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. commit to user
160 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengarang menempatkan diri benar-benar di luar cerita. Pengarang tidak memerankan diri menjadi salah satu tokoh pelaku cerita. Meski begitu, dalam posisi demikian pengarang seolah-olah mengetahui segala tindakan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita. Pengarang tidak hanya tahu tindakan tokoh cerita, tetapi juga mengetahui perasaan yang dialami tokoh cerita. Pengarang menjelaskan secara detail tindakan dan perasaan yang dialami tokoh. Hal ini menunjukkan adanya penguatan terhadap cara pandang suatu permasalahan cerita. Pengarang seolah-olah meletakkan tokoh-tokohnya sebagai sarana berkomunikasi dengan pembaca dalam menjadikan tokoh-tokoh cerita tersebut sebagai saksi mata dan pelaku sejarah. Menilik pada penggunaan sudut pandang seperti di atas pada proses cerita pengarang memiliki maksud tertentu. Pengarang dalam hal ini Nassirun Purwokartun seolah-olah ingin mengusulkan kepada khalayak tentang gagasangagasan dan pikiran-pikirannya melalui pendekatan setiap tokoh cerita. Pengarang mampu membuat sebuah karya dengan mengangkat sebuah karya sejarah tentang perebutan Takhta Demak serta mengankat sebuah tokoh utama Penangsang.
3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam a. Proses Kreatif Novel Penangsang, tembang Rindu Dendam Novel
Penangsang, Tembang Rindu Dendam dikarang oleh
Nassirun Purwokatun. Novel ini membawa sebuah pandangan baru yang commit to usersejarah tidak selalu berkata jujur memandang sebuah literatur-literatur
161 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tentang jejak-jejak peristiwa yang direkamnya. Kerap kali, kitab-kitab sejarah tidak menuliskan fakta-fakta yang terjadi. Nassirun Purwokartun. Nama itu identik dengan gambar kartun. Memang pemilik nama itu adalah seorang kartunis. Namun selain sebagai seorang kartunis, ia juga seorang penyair, cerpenis, dan novelis. Penangsang
merupakan
novel
pertamanya.
Kang
Nass,
nama
panggilannya, memang tergolong berani, revolusioner. ia menuangkan kegundahannya terhadap kisah sejarah Jawa dalam sebuah novel. Rujukan sejarah Jawa selama ini adalah kitab Babad Tanah Jawi. Novel ini diibaratkan oleh Langit Kresna Hariadi penulis tetralogi novel Gajah Mada seperti disertasi bagi penulisnya. Memang tidak salah komentar Hariadi tersebut. Dibutuhkan usaha yang keras untuk membuat novel setebal 700 halaman. Apalagi novel yang mengisahkan sejarah yang selama ini sudah “dipatenkan” dalam Babad Tanah Jawi dengan prespektif yang berbeda. Dalam Babad Tanah Jawi, seorang tokoh Haryo Penangsang digambarkan sebagai sosok yang gila kekuasaan dan sangat bergagasan, hatinya selalu panas dan jiwanya mudah marah. Melalui novel ini, Nassirun seperti ingin membalik kisah dalam Babad Tanah Jawi. Kisah novel Penangsang berpusat pada tokoh utama yaitu Haryo Penangsang, yang selama ini digambarkan sebagai tokoh antagonis. Haryo Penangsang dalam cerita Nassirun adalah seorang tokoh protagonis. “Haryo Penangsang di novel ini adalah sosok pemberani, pembela commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
162 digilib.uns.ac.id
kebenaran dan keadilan, serta penganut ajaran Islam yang bersih, sekaligus penentang sinkretisme di tanah Jawa yang gigih”, begitulah komentar Prof. Dr. Hasanu Simon. Tokoh sentral selain Haryo Penangsang adalah Sunan Kudus, guru Haryo Penangsang. Selain mengisahkan tokoh Haryo Penangsang novel ini juga mengangkat peran Walisongo tidak hanya dalam penyebaran Islam di Jawa tetapi juga dalam pemerintahan di Kasultanan Demak dan dalam bidang kemiliteran. novel ini diawali dengan petikan naskah Babad Tanah Jawi yang bunyi terjemahannya.
b. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Penangsang, tembang Rindu Dendam Karya sastra, khususnya novel, menampilkan latar belakang sosial budaya masyarakat. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 51) latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya. Latar belakang sosial budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel. Peristiwa dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Demak hingga perebutan Takhta yang dilakukan oleh anak dan cucu pendiri kesultanan Demak. commit to user
163 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kerajaan Demak berdiri sekitar abad keenam belas masehi. Kerajaan Demak didirikan oleh Raden Patah. Raden Patah menjadi Sultan Demak ketika berumur 23 tahun. Beliau menjadi Sultan Demak selama 40 tahun.(1478-1518 M). Setelah Itu digantikan oleh anaknya Pati Unus. Pati Unus menjadi Sultan di usia 18 tahun (1518 M) dan meninggal pada usia 21 tahun (1521 M). Setelah Pati Unus wafat saudaranya Trenggono naik takhta dan menjadi Sultan Demak selama 25 tahun (1521-1546 M). Sultan Trenggono meninggal karena sebuah pembunuhan di pesanggrahannya. Novel Penangsang, tembang Rindu Dendam juga memperlihatkan adanya pengakuan terhadap strata sosial dalam masyarakat. Pengakuan kelas atas diperlihatkan dengan kepemilikan kekayaan, jabatan, dan kekuasaan atau wewenang. Sebagai pelaku sosial para tokoh pun melakukan interaksi, baik secara struktural maupun kultural. Bahkan interaksi tersebut meluas pada pelaku sosial lain. Religiusitas
masyaraka
Jawa
juga
muncul
dalam
novel
Penangsang, Tembang Rindu Dendam. Bentuk religiusitas masyarakat Jawa mayoritas beragama islam. Kasultanan Demak merupakan Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa sehingga semua kerabat kasultanan Demak beragama islam. Bentuk religiusitas terlihar dari beberapa tokoh yang menjalankan kewajibannya sebagai umat islam. Misanya sholat, membaca Al Quran, lantunan Azan, sampai Ibadah Haji. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
164 digilib.uns.ac.id
Selain bentuk religiusitas kesenian juga menjadi warna dalam memberikan gambaran karakter sosial budaya masyarakat. Dalam novel Penangsang, tembang Rindu Dendam diperlihatkan bentuk seni syair, tembang Jawa Kuno, seni pahat atau ukir dan kesenian jawa lainnya. Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam memperlihatkan tentang hal-hal yang berkaitan mitos yang berkembang dalam masyarakat Jawa. Misalnya saja mitos tentang keris pusaka yang dipercaya memiliki sebuah kesaktian. Bentuk mitos lain adalah kebiasaan masyarakat Jawa yang selalu menganggap sesuatu yang dianggap keramat bisa digunakan untuk mencari keberuntungan (ngalap berkah). Masyarakat Jawa memiliki banyak perilaku yang khas sebagai indentitas masyarakat. Kesenanangan yang dilakukan Sunan ja’far shadiq adalah memutar tasbih ditangannya. Perilaku memutar tasbih adalah bentuk perilaku yang khas seorang Sunan atau pemuka agama islam. Kebiasaan lain yang dilakukan masyarakat Jawa adalah minum air langsung dari kendi atau tempat penyimpanan air karena akan mendapatkan kesegaran langsung dari air yang diminumnya. Kebiasan lain yaitu mengunyah pinang dan sirih. Kebiasan tersebut sering juga dilakukan oleh masyarakat jawa pada masa itu. Bentuk kesenangan lain yang terdapat dalam novel
Penangsang,
Tembang Rindu Dendam adalah kebiasaan nembang atau suluk. Keberadaan masyarakat dengan berbagai budaya yang melekat tentu tidak lepas dari aspek kebahasaan sebagai salah satu bentuk budaya commit to user
165 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat. Hal itulah yang juga diperlihatkan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam. Novel tersebut memperlihatkan penggunaan bahasa dalam masyarakat Jawa dan ulama terjadi bentuk alih kode dan campur kode. Penggunaan bahasa Arab dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam di ambil dari Al Qur’an dan Hadis Riwayat. Tujuan penggunaan bahasa Arab sebagai penyampaaian dakwah oleh para Sunan. Karena dalam Kasultanan Demak merupakan sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa. Selain bahasa Arab terdapat juga bentuk alih kode dan campur kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Filosofi lama yang menjadi konsep hidup masyarakat Jawa pun menjadi gambaran dalam novel Penangsang, tembang Rindu Dendam. Di tanah Jawa pohon beringin disebut dengan pohon hayat. Menjadi simbol pohon kehidupan. Pohon beringin mampu memberikan kehidupan pada segi-segi kemanusian serta memberikan pengayoman dan perlindungan pada semua. Pohon ini juga dapat mempertebal semangat keyakinan dalam hati sanubari rakyat. Selain filosofi tentang pohon beringin ada juga filosofi sifat kepemimpinan dasa kotamaning prabu. Sifat itu adalah delapan belas ilmu kepemimpinan dari zaman keemasan Majapahit. Diantaranya, Dirisah: rajin dan tekun bekerja untuk mengabdi pada kepentingan umum;, sumantr: tegas, jujur, bersih, dan berwibawa; prasaja: hidup sederhana;
ambeg
paramarta: mengutamakan commit to user
kepentingan
untuk
166 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kesejahteraan; wijaya: mempunyai jiwa yang tenang dan bijaksana; dibyacita: bersedia menerima pendapat dari orang lain; nayaken musuh: dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang dari dalam maupun luar, termasuk juga yang ada dalam diri sendiri. Masyarakat Jawa mempunyai interaksi sosial yang bagus, yaitu berupa sifat kekeluargaan satu sama lain. Bentuk kekeluargaan tertuang keakraban saudara yang telah lama berpisah dan bertemu lagi dalam suatu suasana. Bentuk keakraban antara lain dengan berpeluk erat dengan saling menepuk pundak atau mengucapkan salam. Bentuk keakraban lain adalah ketika orang yang sangat dihormati datang dan semua member sambutan hormat kepadanya. Bentuk pewarisan kepemimpinan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam
sangat tampak. Novel ini bercerita tentang
perebutan takhta Demak. Dalam pewarisan takhta Demak tidak berdasarkan garis keturunan melainkan berdasarkan musyawarah dewan wali. Bentuk penyampaian suatu kritik atau ketidaksetujuan dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam tampak ketika Pangeran Sekar tidak menyetujui usulan Nurullah untuk mengusulkan Trenggono sebagai pengganti sultan Demak.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
167 digilib.uns.ac.id
4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam Karya Nassirun Purwokartun Dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam pengarang menyampaikan nilai pendidikan agama dengan ungkapan tokoh-tokohnya. Tokoh Penangsang adalah seorang tokoh yang taat beragama. Sebagai umat islam sholat merupakan sebuah kewajiban. Dalam kondisi apapun tokoh penangsang tidak meninggalkan sholat. Selain itu, tokoh Penangsang juga melaksanankan kewajiban beribadah umat islam pada umumnya. Selain dari tokoh Penangsang, pengarang juga menyampaikan nilai pendidikan dari ucapan Sunan Ja’far Shidiq yang selalu didasarkan dengan Al Quran dan Hadis. Pendidikan moral yang tertuang ketika kemarahan Pangengan sekar yang tidak menerima keputusan Nurullah yang mengusulkan Trenggono tanpa memberi tahu Pangeran Sekar. Karena Pangeran Sekar merupakan Anak laki-laki tertua Raden Patah. Bentuk nilai pendidikan moral juga tertuang ketika Haryo Mataram yang merasa malu terhadap ayahandanya Pangeran Sekar yang bertindak ingin menghancurkan Kasultanan Demak. Nilai pendidikan moral juga dituangkan penulis terhadap tokoh Mas Karebet yang ingin menunjukan baktinya terhadap keluarga. Mas Karebet yang merupakan menantu Sultan Trenggono berusaha menunjukan bahwa dia seorang kerabat kesultanan yang bertanggung jawab dan berbakti. Pengarang ingin menyampaikan nilai pendidikan moral tidak hanya yang patut kita tiru tetapi terdapat juga bentuk nilai morang yang tidak pantas commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
168 digilib.uns.ac.id
untuk kita contoh. Nilai pendidikan moral yang tidak boleh kita contoh adalah ketika Mas Karebet yang ingkar janji terhadap Dadung Awuk. Dandung awuk yang merasa dibohongi menjadi marah besar terhadap Mas Karebet. Merasa harga dirinya dilecehkan Mas karrebet Dadung Awuk dengan segala kemampuannya mencoba menantang Mas Karebet. Bajul buntung adalah suatu ibarat seseorang yang suka mempermainkan wanita. Sosok Mas Karebet mendapat sebutan bajul buntung karena telah merusak kehormatan adik perempuan Dadung Awuk. Bentuk nilai pendidikan lainnya adalah ketikan Pangeran Timur memberi hukuman terhadap pembunuh Sultan Trenggono. pangeran timur member hukuman mati bukan berdasarkan suatu aturan melainkan berdasrkan kemarahan. Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat lokal atau adat daerah dalam novel ini adalah adat daerah yang bernuansa kejawaan.”ngalab berkah” merupakan kebiasaan masyarakat jawa untuk mencari suatu keberhasilan. Ngalap berkah merupakan bentuk penghormatan terhadad sesuatu yang dianggap keramat. Nilai pendidikan yang bisa diambil dari kutipan tadi adalah sebuah rasa menghormatan kepada orang yang telah berjasa. Nilai pendidikan sosial mencakup kebutuhan hidup bersama, seperti kasih sayang, kepercayaan, pengakuan, dan penghargaan. Nilai Pendidikan sosial yang tertuang dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam adalah mentuk keakrapan antara Penangsang dengan saudara-saudaranya. Ke empat Putra Pangeran Sekar semuanya berbeda ibu. Mereka tinggal di tempat yang berbeda, tetapi dalam satu waktu mereka dikumpulkan kembali di Panti commit to user
169 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kudus oleh Sunan Kudus untuk membicarakan sebuah wasiat mereka. Walaupun mereka tidak pernah saling bertemu, keakraban mereka masih tercipta.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan 1. Pandangan dunia pengarang ( Nassirun Purwokartun) Nassirun Wijaya adalah nama asli dari
Nassirun Purwokartun.
Purwokartun adalah sebutan karena keahliannya sebelum menjadi penulis adalah seorang katunis. Kang Nass adalah panggialan akrabnya, selain menjadi kartunis dan desain grafis juga seorang penyair sekaligus cerpenis dan sekarang jadi novelis. Menurut Nassirun, Haryo Penangsang adalah salah satu sosok yang menjadi korban subjektivitas penulisan sejarah tersebut. Oleh sumber-sumber sejarah yang perpihak pada penggenggam kekuasaan masa itu, Haryo Penangsang dihadirkan sebagai sosok antgonis sarat dengan kejelekan dan kejahatan. Nassirun Purwokartun juga memunculkan cerita dendam lama Joko Tingkir terhadap kerajaan Demak. Joko Tingkir atau sering disebut juga sebagai Mas Karebet dalam novel ini dimunculkan sebagai tokoh yang sangat berbeda. Joko Tingkir dalam cerita ini dimunculkan sebagai tokoh yang jahat, licik, dan gila kekuasaan.
2.
Struktur Teks Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam
Tema adalah gagasan utama yang menjalin struktur isi karangan, Maka, commit to usermenjadi bahan utama atau latar tema merupakan pokok permasalahan yang
170
171 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
belakang cerita. Dari seluruh cerita novel Penangsang Tembang Rindu Dendam tampak permasalahan yang berada dilingkungan kerajaan Demak terutama perebutan tahta Demak. Alur dalam cerita Penangsang, Tembang Rindu Dendam bersifat campuran karena gaya penceritaan waktu peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh tidak selamanya linear ke depan, tetapi juga terdapat kilas peristiwa yang bersifat flashback “mundur ke masa belakang”. Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun menampilkan tokoh utama Haryo Penangsang, Patih Matahun, Sunan Jafar Shidiq. Nama tokoh kemuadian berkembang menjadi Pangeran Sekar, Nurullah, Ratu Mas Nyowo, Bagus Mukmin, Haryo Mataram, Haryo Panuntun, Haryo Panuntas, Mas Karebet Peristiwa dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Demak hingga perebutan Takta yang dilakukan oleh anak dan cucu pendiri kesultanan Demak. Latar tempat novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam terjadi di beberapa tempat. Tempat yang pertama adalah di Jipang Panolang, Panti Kudus, pinggiran Kali Lusi, Kesultanan Demak, Desa kedung Srengenge, Pegunungan Prawoto. Latar sosial terjadi di wilayah Kadipatern Jipang Panolang yang terletak pada aliran bengawan Solo. Dari tempat itulah tokoh Penangsang memimpin sebuah kadipaten yang melingkupi wilayah Rembang, Pati, Lasem, dan Blora. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
172 digilib.uns.ac.id
Sedangkan secara status sosial tokoh adalah seorang keturunan raja. Dalam novel ini tokoh tokoh adalah berkaitan dengan keturunan Kasultanan Demak. Tokoh Penangsang adalah cucu dari Raden Patah, sehingga dalam cerita ini selalu berkaitan dengan Kasultanan Demak beserta kerabat-kerabatnya. Sudut pandang dalam novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun, pengarang menggunakan teknik penceritaan yang disebut “omniscient narrative” atau pengarang serba tahu yang menceritakan segalanya atau memasuki berbagai peran secara bercerita, tetapi semua tokoh mendapatkan penonjolan. 3. Struktur Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam a. Proses Kreatif Novel Penangsang, tembang Rindu Dendam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam dikarang oleh Nassirun Purwokatun. Novel ini membawa sebuah pandangan baru yang memandang sebuah literatur-literatur sejarah tidak selalu berkata jujur tentang jejak-jejak peristiwa yang direkamnya. Kerap kali, kitab-kitab sejarah tidak menuliskan fakta-fakta yang terjadi. b. Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat dalam Novel Penangsang, tembang Rindu Dendam Latar belakang yang ditampilkan meliputi: tata cara kehidupan, adat-istiadat, kebiasaan, sikap, upacara adat dan agama, konvensi-konvensi lokal, sopan santun, hubungan kekerabatan dalam masyarakat, dalam cara commit to user berpikir, cara memandang sesuatu, dan sebagainya. Latar belakang sosial
173 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
budaya tersebut menjadi deskripsi permasalahan yang diangkat dalam cerita novel. 4. Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam Analisis nilai-nilai pendidikan dalam novel Penangsang, tembang Rindu Dendam meliputi analisis nilai pendidikan : (a). agama; (b) moral; (c). adat/budaya; dan (d) sosial
B. Implikasi Penelitian ini melakukan pengkajian terhadap karya sastra novel berjudul Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun. Hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut 1. Menjadi alternatif bahan materi pengajaran sastra Pada aspek pendidikan, penelitian ini dapat memberikan alternatif bahan materi pengajaran sastra. Pengajaran sastra seharusnya difokuskan pada upaya untuk memiliki kemampuan apresiasi, kemampuan untuk memiliki sikap dan nilai, tidak terbatas hanya pada pengetahuan atau menghafal judul dan pengarang karya sastra. Di dalam hal tersebut tercakup masalah pemberian tanggapan terhadap karya sastra. Dalam pengajaran sastra, siswa harus diarahkan pada penilaian karya sastra secara objektif. Maka, hal ini akan membentuk jiwa sastra yang tidak hanya menampilkan prestasi akademis, tetapi juga mengembangkan karakter diri yang potensial. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
174 digilib.uns.ac.id
2. Pencapaian dalam proses pengajaran sastra Penelitian ini mengkaji objek karya sastra berbentuk novel berjudul Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun. Memang, karya novel memiliki jumlah halaman yang banyak sehingga diperlukan waktu banyak dalam proses apresiasi karya. Meskipun demikian, hasil analisis pada aspek struktur pada novel tersebut telah memberikan gambaran awal yang sederhana terhadap kandungan novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun. Pemahaman struktur merupakan tahapan kelanjutan atas pengenalan aspek fisik sastra berupa wujud buku. Struktur sastra terbentuk di dalam karya sastra, bukan di luar karya sastra. Oleh karena itu, pendidik harus memberikan arahan jelas terhadap aspek pencapaian pembelajaran apresiasi sastra. Dengan begitu ada persiapan berupa bahan materi yang telah disederhanakan sehingga dapat dipahami siswa secara baik. 3. Pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik Bagi guru, pengkajian terhadap karya sastra novel melalui pendekatan strukturalisme genetik bisa dikembangkan dalam pola pengajaran apresiasi karya sastra kepada siswa. Kajian ini memberikan fakta sastra dari dalam karya itu sendiri juga dari luar karya sastra, berupa pengarang kreatifnya dan latar sosial budaya masyarakat pembentuknya. Dalam hal ini patokan pengajaran bukan hanya pada aspek kognitif, melainkan juga pada aspek afektif bahkan psikomotoriknya. Hal tersebut dapat dicapai dengan peran pendidik yang tidak hanya menyampaikan kaidah pemahaman struktur, tetapi commit to user
175 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
juga pada aspek nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Artinya, pendidik juga menggugah kesadaran siswa sebagai manusia dengan memberikan gambaran keteladanan dari nilai-nilai edukatif cerita sastra tersebut.
4. Sebagai salah satu pendidikan nilai moral Media pembelajaran dapat diambil dari berbagai sumber, termasuk dari sebuah kisah atau cerita. Cerita novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun merupakan cerita yang mengandung nilai pendidikan, terutama nilai moral. Novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam
karya
Nassirun
Purwokartun
menceritakan
manusia
dalam
menghadapi kehidupan. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel tersebut menggambarkan karakteristik manusia dengan sisi kemanusiaan yang dimiliki. Manusia merasakan suka dan duka, tertawa dan menangis, juga emosi dan pemaaf. Hal itu merupakan cerminan bagi pembaca dalam menjalani hidup dalam kehidupan masyarakat juga dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat. Novel tersebut memberikan gambaran lengkap sosok manusia dengan realitas masalah yang dihadapi dalam hidup. Sikap dan perilaku yang dilakukan dalam menangani masalah yang terjadi menjadi contoh yang bisa diteladani. Oleh karena itu, novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun dapat dijadikan sebagai sumber pengajaran.
commit to user
176 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Aspek keteladanan Bagi siswa, materi dengan objek novel yang menggambarkan realitas masyarakat memberikan variasi materi belajar terhadap apresiasi karya sastra. Siswa juga akan merasa terdorong aspek kesadarannya jati dirinya sebagai insane cendekia. Cerita yang bermakna dalam dan menggugah dari novel Penangsang, Tembang
Rindu Dendam karya
Nassirun Purwokartun
memberikan kedalaman arti tersendiri bagi siswa. Pada akhirnya siswa akan menemukan keteladanan yang utuh saat mereka menghadapi realitas kehidupan yang mereka jalani. 6. Aspek pelestarian seni budaya Jawa melalui pendidikan Wujud lain dari implikasi penelitian ini yaitu pada pelestarian budaya, khususnya dalam hal ini seni budaya Jawa sebagaimana menjadi cerita novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun. Aktivitas penelitian yang dilakukan penulis merupakan bentuk kepedulian yang secara sederhana dari tindakan yang bisa dilakukan dalam aspek pelestarian seni budaya Jawa. Sebagai hal sederhana penulis akan mencapai pemahaman dasar terhadap seni budaya yang memang harus dilestarikan yang ditampilkan dalam karya sastra tersebut. Keluhuran seni budaya Jawa perlu diwariskan dari generasi ke generasi. Aspek awal yang bisa dilakukan yaitu dengan proses show up “menunjukkan” eksistensi seni budaya tersebut. Hal itu bisa dicapai dengan pelaksanaan penelitian ini. Meluasnya efek ini ketika terjadi akumulasi dari pengaruh positif yang diperoleh oleh masyarakat pembaca karya sastra ini. commit to user
177 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setiap pembaca akan memberikan pengaruh yang lebih luas dengan penyebaran terhadap nilai-nilai seni budaya yang terkandung dalam karya sastra manakala terjadi proses interaksi yang lebih meluas. Oleh karena itu, proses pelestarian seni budaya Jawa kemudian dapat lebih dikembangkan, bahkan bisa dilakukan secara lebih sistematis. Aplikasi yang lebih mudah mengarah pada media pendidikan. Penyelenggaraan pengajaran sastra menjadi salah satu sarana yang bisa diandalkan. Sistematika yang dimiliki proses pengajaran bisa menempatkan karya sastra ini sebagai bahan ajar apresiasi karya sastra. Diharapkan proses pengajaran menjadi sarana pelestarian seni budaya yang efektif. Penanaman nilai-nilai luhur seni budaya Jawa dapat dilakukan terprogram, kontinyu, terarah, terpantau secara baik. 7. Pengembangan kualitas dan kompetensi penelitian sastra Pada aspek penelitian ilimiah, hasil penelitian ini menambah kuantitas dan kualitas penelitian ilmiah, khususnya kajian di bidang karya sastra. Secara kuantitas, penelitian ini akan menjadi dokumen sastra yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam penelitian yang akan dilakukan di masa datang. Oleh karena itu, penelitian ini juga mendorong kegiatan ilmiah karena akan memberikan motivasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan penelitian. Tumbuhnya motivasi kegiatan ilmiah juga akan meningkatkan kompetensi atau kualtas kajian terhadap penelitian. Para peneliti lain akan melakukan peningkatan kualitas penelitian mulai dari materi yang dikaji sampai ke commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
178 digilib.uns.ac.id
metodologi sehingga penelitian pada masa selanjutnya akan lebih berkembang dan bervariasi.
8. Memberikan paradigma positif sastra kepada masyarakat pembaca Kajian sastra merupakan alternative bagi mahasiswa atau peneliti yang memiliki sense kecenderungan terhadap dunia sastra. Paradigma pengkajian terhadap karya sastra sendiri akan mengubah persepsi masyarakat yang cenderung memandang sastra sebagai sesuatu yang abstrak dan imajinatif belaka. Fakta yang bisa dimunculkan yaitu dengan peningkatan kualitas penelitian serta hasil penelitian yang ternyata menyodorkan solusi dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan di masyarakat. 9. Cermin edukasi masyarakat Pada aspek sosial masyarakat penelitian terhadap novel Penangsang, Tembang Rindu Dendam karya Nassirun Purwokartun ini dapat menjadi cermin bagi masyarakat pembaca. Pembaca merupakan pribadi-pribadi yang hidup di masyarakat. Demikian juga tokoh-tokoh dalam novel merupakan perwujudan pribadi manusia dalam media cerita. Pengalaman-pengalaman peristiwa yang terjadi pada tokoh bisa menjadi teladan yang bijak tanpa dengan menggurui. Masyarakat pembaca pun dapat belajar dari interaksi social yang positif dari cerita yang diperlihatkan dalam novel tersebut. Dengan akal pikiranya, masyarakat pembaca akan dapat bertindak dan berperilaku dengan baik melalui hikmah yang diambil dari deskripsi peristiwa commit to user
179 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam cerita novel tersebut karena pada hakikatnya karya sastra merupakan wujud realitas yang dituangkan dalam sebuah cerita. Perwujudan sikap dan perilaku yang santun di dalam masyarakat akan membentuk sistem kemasyarakatan yang baik. C. Saran Pada penelitian ini penulis menyampaikan saran sebagai berikut: 1. Pada aspek pendidikan, pendidik bahasa dan sastra sebaiknya melakukan pengajaran dengan sistematika yang runtut dan detail agar mudah dipahami dan mendapatkan makna novel yang mendalam. Pencapaian maksimal terhadap pengajaran apresiasi sastra harus diwujudkan secara baik, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu, pengajaran tidak terpatok pada hafalan, tetapi pada proses apresiasi yang mendalam. Di samping itu, pendidik tidak boleh melupakan berkenaan penanaman nilai moral serta kesadaran pelestarian seni budaya kepada siswa. 2. Siswa sebaiknya melakukan pengalaman belajar sastra yang lebih intens karena dengan hal ini maka pencapaian prestasi siswa tidak hanya pada akademis, tetapi juga pada perubahan behaviour. 3. Peneliti yang memiliki sense terhadap kajian sastra sebaiknya senantiasa melakukan peningkatan kompetensi dan kualitas pengkajian sastra. Pengkajian sastra bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan yang ada juga dengan objek karya sastra mutakhir yang memiliki tingkat kerumitan yang kompleks. 4. Masyarakat pembaca sebaiknya melakukan implementasi yang positif sebagai hasil interaksinya dengan sastra sehingga menjadi fakta nyata yang bisa commit to user
180 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjadi pengaruh meluas terhadap perwujudan efek-efek potensial di masyarakat.
commit to user