JIKA KAMU BUKAN KAMU
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2 Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulandan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima Miliar rupiah). 2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
II I Jika Kamu Bukan Kamu
JIKA KAMU BUKAN KAMU Ketika Persimpangan Jalan Memisahkan Kita
Muna Panggabean Ramadhan Syukur Denny Siregar Aline Djayasukmana Samsudin Berlian Johanna Wattimena Eko Kuntadhi Kajitow Elkayeni Amin Mudzzakir Yuli W. Sumanagara B. Irawan Endro Prasetyo Nong Darol Mahmada de Luna Monique Rijkers Nelly Maria Samosir Trisno S. Sutanto Efron Dwi Poyo Riris Siahaan Friska Medi Pardede Nicholas Lie
KOMUNITAS MAGNUM OPUS INDONESICA
Jika Kamu Bukan Kamu I III
JIKA KAMU BUKAN KAMU © 2017 Komunitas Magnum Opus Indonesica
Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Komunitas Magnum Opus Indonesica Jl. Boulevard Raya Blok QF1 No 10 Jakarta 14240 e-mail:
[email protected] Editor: Meicky Shoreamanis Panggabean Perancang Sampul: Erlon Siahaan Ilustrasi Sampul: Erlon Siahaan
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit VII+87 hlm.; 14 cm x 20 cm
IV I Jika Kamu Bukan Kamu
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………….........................................................……… Jika Kamu Bukan Kamu, Muna Panggabean …………………..….…….................................…
VII 1
Bab 1 Pencerah Ketika Pesan WA Berisikan Hanya Huruf Hidup, Ramadhan Syukur ……………….….…………………….............................
5
Kalung Mutiara Ibu Pertiwi, Denny Siregar ………………………………………………...............................
12
Runtuhlah Keangkuhan; Mari Bercinta!, Aline Djayasukmana ……………………………………...............................
15
Di Alam Sejati, Jarak Adalah Dusta, Samsudin Berlian ………..………………………………...............................
18
Pengandaian Adalah Kesia-siaan, Johanna Wattimena …………..…………………….................................
21
Memilih Pelayan, Bukan Pemimpin, Eko Kuntadhi ………….…………….......................................................
27
Indonesia Kita, Kajitow Elkayeni ………………….…………………………………………..........
33
Kebhinekaan Bukan Sekadar Fakta, Amin Mudzakkir ………………………………………………………………........
37
Catatan Kecil Teh Yuli, Yuli W. Sumanagara ………………………………………............................
41
Jika Kamu Bukan Kamu I V
Bab 2 Pesaksi Membangun Manusia, B. Irawan Endro Prasetyo ……...............................................…
46
Di Tengah Duka Menohok, Nong Darol Mahmada ….......................................................…
49
Gue Mantan Pelacur Kalijodo, de Luna ...................…………..........................................................
52
Namanya Daeng Jamal, Mantan Preman Talita Siagian dan Dinda Larasati ..........................................
55
Secuil Hati Ahok di Rusun Cibesel Bagian I, Monique Rijkers …………………………………………................………….
61
Secuil Hati Ahok di Rusun Cibesel Bagian II, Monique Rijkers ……………………………………………….................……
64
Terima Kasih, Pak Ahok, Nelly Maria Samosir ……………………………………………..…..............
67
Jangan Muna, Jangan Omdo – Empat Kesaksian tentang Ahok Bagian I, Trisno S. Sutanto ……......…………...............................................…
70
Jangan Muna, Jangan Omdo – Empat Kesaksian tentang Ahok Bagian II, Trisno S. Sutanto ……...........………...............................................
73
Dua Kesaksian Teman SMA, Efron Dwi Poyo .………………………................................................
77
Ahok, Mamak-Mamak, dan Qlue, Riris Siahaan ……………………..........................................................
80
Saat Ahok Memanjakan Eksportir, Friska Medi Pardede …..………………………………….........................
84
Ketika Masalah Orang Miskin Selesai Dalam Satu Jam Nicholas Lie .................................................................................
87
VI I Jika Kamu Bukan Kamu
KATA PENGANTAR
Kamu bukan kamu berakibat aku bukan aku dan kita bukan kita, kata si penulis syair, Muna Panggabean. Karena aku adalah aku maka kamu adalah kamu. Mungkin, maksudnya, karena aku seperti ini maka kamu seperti itu. Dengan kata lain, aku tidak punya arti tanpa kamu. Tapi buku ini tidak cuma berkisah tentang Aku dan Kamu melainkan juga Dia. Sebagian isinya malah menceritakan apa yang Kamu alami dari Dia. Karena itu, sedari awal kami tak bermaksud njlimet, sekadar menyampaikan apa yang Kamu alami dari dan bersama Dia, serta apa yang kamu pikirkan tentang Dia. Dan karena tidak punya pretensi atau tendensi apa-apa, kata pengantar ini tak perlu lebih panjang daripada baris terakhir ini: “kegiatan memilih adalah segala tentang kamu dan dia.”
Salam, Magnopia
Jika Kamu Bukan Kamu I VII
Jika Kamu Bukan Kamu Muna Panggabean
Saya belajar tentang Indonesia dari almarhum Ayah saya: Partogi Panggabean. Sore itu suaranya terdengar dari ruang tamu, memanggil kami semua. Terasa ada gelegak sukacita dalam nadanya. Ia berkabar bahwa serombongan keluarga datang bertamu. Mereka Panggabean beragama Islam, yang lama mukim di Kalimantan. Saya terkejut. Panggabean? Beragama Islam? Itu anomali. Sampai saya duduk di bangku SMA, belum pernah kedengaran ada Panggabean beragama Islam. Mereka pasti pengkhianat, pikir saya. Kami bertiga: Martin, saya, dan Adrian, melangkah ke ruang tamu. Di sana satu keluarga besar tersenyum, memperkenalkan diri satu per satu. Sebagian perempuan bertudung. Meski terasa asing, saya tak dapat menafikan ketakjuban mereka dalam memandang kami: raja dan boru Panggabean, tiga manusia yang sepohonketurunan dengan mereka, sekumpulan manusia yang menitis dari Ompunta Raja Panggabean. Saya dipeluk, diciumi, disyukuri. Tanpa sungkan mereka wartakan kebahagiaan bertemu saudara serumpun, saompu. Saya takjub, sungguh. Syak lenyap, wasangka raib — mungkin dicuri Haji Lulung.
Jika Kamu Bukan Kamu I 1
Mereka sudah nyaman di Kalimantan, hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Tapi suara tondi tak bisa disangkal: mereka raja dan boru Panggabean. Orangtua mereka berusaha menelusuri pohon silsilah — mencaritahu siapa Panggabean terdekat, untuk diperkenalkan kepada anak-anak mereka agar tak lupa: mereka, seasli-aslinya, adalah Panggabean. Kamilah Panggabean terdekat. Sayangnya, kami beragama Kristen. Sempat timbul keraguan. Bukan karena mereka sungkan menemui kami, tapi ada syak berkarat: Partogi Panggabean, Ayah saya, bakal menolak sebab mereka beragama Islam. Syak harus dilawan. Wasangka tak punya tempat dalam pohon silsilah Panggabean. Mereka seberangi lautan, merengkuh jarak seribuan kilometer, tanpa lebih dulu memberitahu. Itu perjalanan dengan seribu tandatanya: bagaimana kalau kami tak ada di rumah? bagaimana kalau kami tak bersedia mengakui mereka? bagaimana kalau suasana bakal canggung tak berujung? bagaimana…, seribu bagaimana. Dan saya nyatakan dengan tegas: mereka adalah pemenang sejati. Rasa cemas dan kuatir tak berdaya membasmi cinta di dada. Mereka datang dengan ketetapan hati, dengan rasa kangen membludak, dengan percaya penuh: kepanggabeanan jauh lebih besar daripada itu semua. Satu per satu pula mereka mandok hata, berucap belasan kata untuk mengungkapkan perasaan terdalam atas pertemuan ini,
2 I Jika Kamu Bukan Kamu
dan pengharapan sebukit bagi perjalanan di masa mendatang. Lalu Ayah saya mangampu, membalas kata sambutan, menyimpulkan semua percakapan, serta memberi berkat. Kata Ayah saya: “kalian beragama Islam, kami beragama Kristen, itu tak bisa disangkal. Tapi kita tetap Panggabean. Itu tak boleh diubah. Kita masing-masing hadir dalam kesulitan dan sukacita. Kita bersaudara. Tak ada yang berhak merampas itu dari kita.” Saya takjub. Kalau kalian pikir itu pertemuan basa-basi, allangi hamu ma gambo i, makan kalianlah singkong itu. Beberapa tempo kemudian mereka datang lagi. Kali ini di hari Natal, datang jauh-jauh ke Jakarta, sekeluarga lengkap, hadir dalam hari sukacita kami, membawa oleh-oleh, dan yang paling menggetarkan: membawa cinta sekarung, berucap selamat Natal melalui pelukan hangat (ya Allah, saya menangis mengenang mereka, beri kesempatan saya jeda sejenak). ‘ ‘ ‘ Beberapa bulan ini saya menemukan kenyataan lain. “Ahok beragama Kristen, saya beragama Islam. Ahok tak boleh memimpin kami.” Saya masygul, kecewa, dan menjerit.
Jika Kamu Bukan Kamu I 3
Saya bilang pada teman-teman: “tatap mata saya dan jelaskan kenapa Anies-Sandi lebih baik dari Ahok-Djarot. Jangan kalian bawa-bawa agama dan Al Maidah. Lakukan itu maka kalian tetap menjadi sahabat saya.” Lalu Aminoto Kosin berkirim surel, bercerita tentang kegundahan serupa. “Kak tolong bikinkan syair,” pintanya. Dalam satu jam syair Jika Kamu Bukan Kamu mengalir deras seperti kesurupan, melampaui curiga paling purba, menyelundup di antara benteng purbasangka terkokoh. Entah siapa yang kemudian diminta Aminoto untuk menggubah syair tersebut ke dalam jalinan melodi. Indonesia tak akan binasa. Ada cinta yang merawatnya. Kalian percaya? Mari bernyanyi bersama saya: syair cinta yang saya dedikasikan kepada almarhum Amanguda Munir Panggabean dan kepada Indonesia yang toleran. ***
4 I Jika Kamu Bukan Kamu
JIKA KAMU BUKAN KAMU jika kamu bukan kamu dan senja tak menjemput ragu biar kubisikkan kata yg samar, rasa yang gamang: tlah kita habiskan tinta kertas biru jarak kian panjang tuk merengkuhmu jika aku bukan aku dan pagi tak menyingsing malu ‘kan kukatakan sekuat damba, sepenuh raga: bahwa persimpangan yg memisah kita telah dengan tangkas membentuk batas dari angkuh yg gagal satu tak bisa kusangkal aku tetaplah aku dan kamulah kamu maka tegas kukata: batas-batas tak ada dan jarak adalah dusta jika kita bukan kita dan langit penuh warna jingga aku tak ragu di hadapanmu untuk mengaku: telah kita hapus huruf-huruf mati bersisa huruf hidup hadirkan sangsi kar’na akulah aku maka kamulah kamu syair ini menerus sia-sia lalu cinta mengada sebelum kata dan makna tak lagi bisa diraba
Jika Kamu Bukan Kamu I 5
PENCERAH
6 I Jika Kamu Bukan Kamu
Ketika Pesan WA Berisikan Hanya Huruf Hidup Ramadhan Syukur
TIGA puluh tahun bukanlah rentang waktu yang pendek. Atas nama reuni kami yang terserak bisa berkumpul kembali. Melepas rindu merangkai kenangan indah masa lalu. Tak ada sekat di antara kita, bisa bercanda dan berkata-kata tentang apa saja. Tak ada yang tersinggung apalagi terluka. Kita sadar bahwa kita sudah dewasa. Pertemuan tidak berakhir hanya sampai di perpisahan. Kami serasa tak ingin pernah dipisahkan. Beruntung ada teknologi
Jika Kamu Bukan Kamu I 7
bernama WA. Meski berjauhan, kami bisa serasa bersama. Kami bisa melanjutkan cerita yang belum selesai, merajut nostalgia yang seperti tak ada habisnya. Seperti kebanyakan group WA yang sudah ada. Selalu saja muncul orang-orang yang senang berkata-kata, orang-orang yang serasa mendominasi ruang sempit yang semestinya dipakai untuk bersama-sama. Tapi kami senang menanggapi atau sekedar membacanya. Bahkan ketika segelintir orang mulai mengirim humor-humor yang sudah tidak baru dan tak jarang kedaluarsa, kami masih berusaha untuk tertawa walau terpaksa. Percakapan masa lalu pelan-pelan meluruh. Pesan-pesan yang terkirim tidak lagi sekedar humor kiriman seseorang, yang kami tahu tak bisa melucu di dunia nyata. Pesan-pesan berbau agama juga mulai berseliweran dari mereka, yang juga kami tahu tak kompeten berbicara agama, terutama pesan-pesan dari temanteman muslim yang memang mayoritas di grup. Saat itulah saya merasa ada beberapa teman mulai tak nyaman lewat katakatanya. Terlebih setelah terjadi perdebatan dan gencar saling kirim pesan. Pesan, yang dari bahasanya, kami tahu itu bukan bahasa teman yang kami kenal. Suara dari beberapa teman-teman non muslim tiba-tiba menghilang. Meski berusaha menahan diri untuk tidak keluar, tapi mereka tak pernah lagi ambil bagian. Bahkan hanya untuk sekedar menyapa selamat pagi yang biasa mereka lakukan. Seorang teman, yang rajin mengirimkan postingan agama, seperti bangga luar biasa ketika beberapa orang memanggilnya
8 I Jika Kamu Bukan Kamu
ustad atau guru agama. Grup WA pun berubah jadi ajang percakapan guru dengan muridnya. Sehingga komunikasi, yang semula berlangsung dua arah, berubah jadi lurus tak terarah. Bahkan ketika ada yang mengingatkan bahwa grup kami milik bersama dan bukan ajang pembahasan agama, sang ustad tidak terima. Dan kami mulai asing bersamanya. Setelah kemasukan agama, grup kami juga mulai kerasukan politik. Agama dan politik jadi dua pembicaraan seru. Apa yang tadinya dikira bisa menambah ilmu, ternyata malah jadi debat tidak bermutu, Bahkan pada satu titik yang paling krusial, beberapa teman memutuskan keluar. Ternyata memasuki pilkada, kami sesama muslim punya pandangan politik bertolak belakang--terutama setelah ada dua calon berbeda agama. Pandangan agama dan pandangan politik kami berubah keras antara yang toleran dan sektarian. Grup WA kami akhirnya pecah. Sekelompok orang mencari jalannya sendiri. Kerinduan masa lalu, sebuah masa tanpa batas suku-ras-agama, gugur sudah. Kami akhirnya ikut-ikutan tergerus arus globalisasi: dunia seperti terbagi antara muslim dan non muslim, kafir dan non kafir. Tak ada tempat bagi mereka yang hidup penuh toleransi. Kami seperti terbagi jadi dua kelompok yang merasa paling benar, jadi kelompok yang kebenaran hanya datang dari dirinya sendiri (dan kesalahan pasti datang dari orang lain). Dan ternyata perpecahan itu juga terjadi di hampir di semua ruang grup WA yang terbawa gelombang pilkada. Pesan-pesan
Jika Kamu Bukan Kamu I 9
yang berseliweran senada dan sebangun. Isinya jauh panggang dari api. Ibarat pelangi, cuma tinggal dua warna. Ibarat warna, hanya tinggal hitam dan putih. Kata-kata seperti tak lagi bermakna. Kata tentu tak lagi bisa dibilang kata kalau huruf hidup sudah terpisah dari huruf mati. Huruf mati walau pun mayoritas di bilangan abjad, pasti tak akan bermakna apa-apa tanpa huruf hidup yang minoritas. Vokal dan konsonan tak akan pernah bisa berjalan sendiri-sendiri. Mereka baru berarti sebagai alat komunikasi jika bisa saling melengkapi. Sebagai muslim akhirnya saya mengerti kenapa Tuhan menjadikan makhluk ciptaannya berpasang-pasangan - bahkan makhluk berpasangan yang bernama manusia. Dalam firmanNya tegas-tegas Tuhan bilang: “Kujadikan manusia berbangsabangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal.” Jadi keberagaman memang diciptakan Tuhan agar kita bersahabat dan bisa menikmati keindahan ciptaanNya. Dan keindahan itu bisa ditemukan dalam kebaikan. Seperti halnya Nabi, sebelum diturunkan wahyu, dipersiapkan Tuhan lebih dulu jadi orang baik dan jujur sejak kanak-kanak, maka patokan saya memilih teman, pasangan hidup atau pemimpin yang utama dulu adalah kebaikan dan kejujurannya. Jika harus memilih di antara dua calon non muslim, atau di antara dua calon muslim, saya jelas akan memilih mana yang paling baik dan jujur. Jika track record mereka saya tahu tidak baik dan tidak jujur, saya memutuskan tidak memilih. Jika saya harus memilih calon muslim atau calon non muslim, saya tetap
10 I Jika Kamu Bukan Kamu
akan memilih yang paling baik dan jujur. Jika calon muslim atau calon non muslim itu saya tahu dua-duanya tidak baik dan jujur, maka saya lebih baik tidak memilih. Sesimpel itu. Karena buat saya orang yang baik dan jujur pasti lebih mudah dekat ke Tuhan daripada mencoba berbaik-baik pada Tuhan tapi jahat pada sesama manusia. Sesungguhnya, Tuhan itu selalu bersama orang-orang baik dan jujur. Kita tak lagi perlu beranda-andai “Jika Kamu Bukan Kamu”. Biarlah aku tetap jadi aku dan kamu tetap jadi kamu, tapi kita satu. Tabik. ***
Jika Kamu Bukan Kamu I 11
KALUNG MUTIARA IBU PERTIWI Denny Siregar
Saya punya teman yang sejak kecil menderita buta warna monokromasi, atau hanya bisa melihat semua dalam dua warna, yaitu hitam dan putih. Dia selalu bercerita tentang betapa inginnya dia melihat warna lain, selain dua warna itu. Ia sering mendengar warna hijau, biru, merah dan kuning tapi tidak bisa membayangkan seperti apa warna-warna itu. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana bisa hidup tanpa melihat warna-warna. Tentu hidup akan terasa muram dan kusam. Hati sulit nenerima keindahan, yang ada hanya perasaan marah dan tertekan.
12 I Jika Kamu Bukan Kamu
Jadi ketika saya melihat teman saya itu, saya berfikir bahwa dia orang hebat. Mampu mengalahkan emosinya dengan begitu kuat. Saya jelas tidak akan sanggup berada pada posisi itu. Karena itulah saya terus bersyukur bisa melihat begitu banyak warna, begitu banyak keindahan yang - bagi temanku - berani menghabiskan semua harta yang dia punya hanya untuk melihat sepertiku. Apa yang dilihat temanku, mungkin juga sama seperti perasaan mereka yang ada di Suriah sana... Bertahun-tahun
digempur
perang
yang
seperti
tidak
berkesudahan, mereka jelas kehilangan keindahan yang dulu mengisi setiap ruang. Sekarang yang ada gedung-gedung rusak, debu tebal, mayat-mayat tergeletak dijalan. Belum lagi taman yang dulu indah, sekarang menjadi onggokan kusam, rasa curiga berlebihan terhadap pendatang dan yang pasti hidup dalam ketakutan menunggu giliran kapan saatnya mereka didatangi teroris dan kehilangan kepala mereka. Bagi warga Suriah sekarang, hidup itu hanya hitam dan putih. Mereka berada pada persimpangan hidup atau mati.. Saya yakin jika warga Suriah jalan-jalan ke Indonesia, ia akan menangis. Menangis melihat betapa surga itu sebenarnya masih ada. Ia datang ke Jogya melihat malam nongkrong di pinggir jalan dengan nasi gudeg daun pisang di tangan, ia tidak akan bisa berhenti menangis.
Jika Kamu Bukan Kamu I 13
Tangisannya akan semakin keras ketika ke Bali melihat betapa masih tradisional budayanya ketika mereka sedang melakukan upacara adat. Apalagi ketika ia datang ke Raja Ampat melihat surga sesungguhnya dalam bentuk laut yang jernih dan ikanikan menari warna warni. Sulit sekali bagi kita bersyukur ketika kita sedang berada di surga. Kita jarang melihat sesuatu dari kacamata orang lain yang lebih menderita dari kita. Mereka disana ingin berada di tempat kita, tapi sebagian orang di sini malah ingin menjadikan negara kita seperti tempat mereka. Kebhinekaan
di
negeri
kita
adalah
mutiara
bagi
yang
mengenalnya. Ia menghiasi leher ibu pertiwi dengan warnawarna yang beragam dan indah. Tertaut kuat dalam benang kebersamaan dan saling menghargai antar sesama anak bangsa. Dan ketika ada yang ingin merenggut dan mencampakkannya, apakah kita rela ? Saya tidak dan tidak akan pernah. Saya tidak mau seperti rakyat Suriah yang kehilangan semua keindahan yang dulu pernah ada. Saya ingin mempertahankan rasa syukur ini sekuat tenaga. Dengan darah dan jiwa saya. Dan sambil mengangkat secangkir kopinya, temanku yang terkena buta warna itu berkata, “Jangan sampai kita baru sadar apa yang kita punya, sesudah kita kehilangannya...” ***
14 I Jika Kamu Bukan Kamu
RUNTUHLAH KEANGKUHAN; MARI BERCINTA! Aline Djayasukmana
Kata orang, cinta itu urusan hati. Dan kalau sudah bicara hati, seharusnya cinta jadi urusan pribadi karena yang namanya hati toh tak bisa dibagi. Tetapi faktanya, banyak orang suka ikut campur urusan percintaan orang lain. Kita suka ikut-ikut mengatur mana yang boleh dan tak boleh dicinta. Contohnya, di negara bertuhan ini, cinta pada Tuhan tentu saja sebuah keharusan. Tetapi urusan cinta pada ciptaan Tuhan bisa jadi ruwet ketika yang kaucinta itu mencintai Tuhan dengan cara yang berbeda denganmu. Sebut saja Bu Sakti, seorang ibu tukang lulur langganan seluruh wanita se-RT tempat tinggal saya. Di tengah sebuah sesi luluran, Bu Sakti curhat pada saya. Rupanya anaknya, Agus yang saat itu usianya dua puluhan tahun, sedang naksir Gadis, anak tetangga mereka, keluarga kaya yang beda agama dan beda suku. Bu Saktipun cuma punya satu nasihat untuk anak tercintanya: “Jangan.” Wait... What? Jangan? Menjawab kebingungan saya, Bu Sakti lantas menjelaskan, “Lho, iya. Jangan lah. Buat apa cari penyakit?” Padahal, kelakar saya, si Agus bukan cari penyakit, cuma cari pacar. Bu Sakti hanya tersenyum pahit sambil menelan kelakar garing saya. Kenyataannya, kedua orang tua Gadis memang sudah kebakaran
Jika Kamu Bukan Kamu I 15
jenggot duluan. Padahal mereka tak punya jenggot, cuma punya “nama baik keluarga” yang harus dijaga mati-matian, walaupun harus mengorbankan cinta monyet anak semata wayangnya. Padahal si anak belum juga pacaran. Padahal info bahwa si Agus naksir anak merekapun didapat cuma dari kasak-kusuk temanteman Gadis yang suka ngeceng-in Gadis dan Agus yang suka duduk sebelahan. Padahal Agus anak baik. Padahal ibunya Agus adalah teman arisan ibunya Gadis... Dan masih seribu “padahal” lainnya yang mampu dibungkam cuma dengan satu argumen yang mengatasnamakan Tuhan, yang sebenarnya mungkin tak suka dibawa-bawa tiap kali kita manusia gagap menerima perbedaan. Ibu Gadispun lantas tak tanggung-tanggung “memperingatkan” Bu Sakti agar si Agus menjauhi anak gadis kesayangannya. Suasana pertemanan ibu-ibu arisan RT ini jadi tegang. Kekusutan tak berhenti di situ. Ketika belakangan ayah si Gadis beritikad baik meminta maaf pada ayah si Agus karena sikap isterinya, ayah Agus menolak membuka pintu rumahnya untuk menerima permintaan maaf itu. Adu gengsi terus berlanjut. Tenun kebangsaan satu RT-pun terkoyak. Semua karena urusan cinta monyet yang harus diaborsi karena ada gengsi yang lebih tinggi dari cita-cita si Agus untuk jadi music composer ternama. Ketika sepuluh tahun kemudian Agus berhasil mencapai citacitanya, kedua orang tua Gadis turut mengakui kehebatannya. “Agus itu memang anak baik. Rajin. Kreatif sejak kecil. Memang pantes kalau dia jadi orang sukses sekarang.” Pujian-pujian ini biasanya diakhiri dengan serentet mantra pamungkas: “Sayang
16 I Jika Kamu Bukan Kamu
dia nggak seiman sama kita.” Mantra yang seolah mampu memvalidasi keangkugan yang disamarkan dengan kata-kata “iman” dan “Tuhan”, seakan-akan kepicikan bisa dijustifikasi dengan alasan-alasan relijius. Kita tak sadar bahwa sementara kita sibuk mengangkat dagu tinggi-tinggi, mencari-cari sorga di atas langit, di bawah kaki kita ada bibit–bibit cinta yang kita biarkan mati sebelum tumbuh. Cerita Agus ini bukan cerita baru. Ini adalah cerita yang paling klise yang sudah ada berabad-abad. Kita semua pasti kenal AgusAgus lain. Kita juga pasti pernah jadi Agus - takut mencinta, risih dicinta, dan canggung dalam bercinta. Cerita Agus adalah cerita yang sudah lama bergaung di mana-mana hingga telinga kita terbiasa mendengarnya. Kitapun jadi terbiasa berhati-hati dalam memberi dan menerima cinta, berhati-hati untuk “tidak cari penyakit”, berhati-hati menjaga ego dan gengsi yang berakar pada satu penyakit: keangkuhan. Well, I say, “Fuck gengsi. Runtuhlah semua keangkuhan. Mari bercinta!” ***
Jika Kamu Bukan Kamu I 17
Di Alam Sejati, Jarak Adalah Dusta Samsudin Berlian
Manusia hanyalah iota-nya iota, noktah-nya noktah, di dalam jagat-lengkung mahaluas kita ini. Fitrah universografis kita sejatinya tak terbayangkan. Paling-paling kita hanya bisa berimajinasi dengan susah payah di dalam ruang tiga dimensi. Padahal dimensi jagat kita lebih dari tiga. Karena itu, apa yang disebut lengkung jagat tak sama dengan lengkung yang kita kenal. Bahkan, indra dan instrumen kita sama sekali tidak dapat mendeteksi kelengkungan itu secara langsung; kita
18 I Jika Kamu Bukan Kamu
mengetahuinya hanya via matematika atau pembuktian tak langsung. Bagi kita, garis atau bidang yang sejatinya lengkung itu sih luruslurus saja. Tapi, apa yang tak terbayangkan secara sempurna toh masih bisa dibayangkan secara parsial. Bayangkan seekor semut bergerak mengikuti garis terpendek di atas permukaan balon dari titik berangkat ke titik akhir yang berada persis di baliknya. Bagi si semut jalannya lurus-lurus saja. Tapi kita tahu bahwa jalan yang ditempuh si semut sebetulnya melengkung dan lebih jauh daripada jarak terpendek antara kedua titik itu. Demikianlah juga pengalaman kita, si semutnya semut jagat raya. Ketika kita ukur jarak terpendek di antara dua titik, sebetulnya di alam supernyata apa yang kita kira lurus itu melengkung. Jarak sejatinya lebih lurus dan dekat. Cuma sayang, seperti si semut tak bisa menembus balon, demikianlah sampai kini jarak yang lebih pendek itu hanya bisa kita nikmati di alam fiksi, sebagai worm hole, warp speed, atau hyperspace. Dari perhitungan-perhitungan Einsteinian kita tahu jarak itu relatif. Tapi, mekanika quantum —yang tidak disukai Einstein— pun mengajarkan kepada kita bahwa jarak bukanlah realitas seperti yang kita kira. Apa yang bagi kita berjarak, entah jauh atau dekat, ternyata bisa tak berjarak di level subatomik. Di realitas quantum, jarak dan tempat bukan hanya relatif, melainkan bahkan tidak bermakna. Dalam jargon fisika: nonlokalitas. Di jagat subatomik itu bisa terjadi dua partikel terikat seperti sepasang penari Tango. Apa yang terjadi pada yang satu tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi pada yang lain—biarpun kedua penari itu memisah
Jika Kamu Bukan Kamu I 19
sampai ke ujung-ujung panggung. Demikianlah apa yang terjadi pada satu partikel akan berpengaruh pada partikel pasangannya tanpa kontak apa pun yang bisa dideteksi di antara keduanya, sejauh apa pun jarak yang memisahkan mereka di alam raya! Bagi kedua partikel itu, jarak tak punya arti. Dalam bahasa tradisional, ada relasi yang magis. Seperti cerita emak-emak, entah benar atau khayal, tentang bayi yang sedang tidur di Medan tiba-tiba tertawa seolah-olah bermimpi indah persis pada saat kembarannya sedang diajak bercanda oleh paman manis di Jakarta. Di jagat publik-politik, jarak antara rakyat dengan politikus, dengan partai politik, dengan pejabat, sering terasa sangat jauh. Rakyat tinggal di bumi, elite politik hidup di Andromeda. Apa yang terjadi di sini dan apa yang berlaku di sana tidak punya kaitan substansial. Itulah kenyataan yang sudah terlalu sering kita alami. Tapi itu bukan kenyataan sejati! Kadang-kadang, jarang-jarang, seolah-olah di alam fiksi—karena sulit dipercaya, lahir nyata di antara kita relasi politik yang terasa magis ketika kebijakan politik maujud dalam kehidupan publik yang lebih indah dan sejahtera; ketika semut-nya semut menjadi penting tersorot di panggung pertunjukan utama; ketika relasi publik-politik menjadi bermakna; ketika rakyat kecil tidak dianggap bayi tak berdaya untuk dipermainkan dan ditertawakan; ketika dibuktikan bahwa, seperti halnya jarak relativitas dan jarak quantum, jarak politik adalah dusta. ***
20 I Jika Kamu Bukan Kamu
PENGANDAIAN ADALAH KESIA-SIAAN Johanna Wattimena
Satu-satunya hal yang pasti dalam kehidupan ini adalah kematian. Tidak ada yang tahu apa ia akan datang 50 tahun lagi saat rambutmu putih dan matamu berkatarak, atau nanti malam karena tersedak popcorn di bioskop tepat saat si pacar mencoba menciummu. Jarak antara nafas kita yang sekarang dan nafas yang terakhir dipenuhi beragam variabel kemungkinan yang tidak pasti. Dasar manusia, kita selalu butuh kepastian. Lewat andaiandai kita mencoba menerawang ke masa depan, berusaha mengontrol dan merencanakan hidup seakan naskahnya sudah tertulis. Tinggal memakai kostum, naik ke atas panggung, jadilah bintang kehidupan. News flash, kepastian yang kita pikirkan itu adalah perkiraan, sebuah pengandaian. Coba pikirkan cara kita berencana. Kita bertanya, “andai besok aku masih hidup, andai besok dunia belum berakhir, apa yang akan aku lakukan?” Namun, karena menarik dan menghembuskan nafas itu mudah sehingga kematian tidak pernah terpikirkan, pertanyaan yang panjang tadi otomatis memendek menjadi “besok ngapain ya?” Kau mulai memikirkan hal-hal yang ada dalam batas kebiasaanmu sehari-hari. Berandai kalau besok kehidupanmu akan berputar
Jika Kamu Bukan Kamu I 21
seperti biasa; berangkat kerja, beli gorengan, duduk di depan komputer, berbagi cerita dengan teman kerjamu, dan seterusnya. Kau melakukan ini hari demi hari hingga tiba-tiba seseorang berceletuk menanyakan apa impian hidupmu dalam 5 tahun kedepan. Kau pun berandai lagi. Kali ini jauh kedepan. Kau menentukan target, merencanakan langkah-langkah, lalu melakukannya. Saat kita hidup dalam dunia yang tidak pasti, pengandaian menjadi langkah awal membayangkan harapan, dan menentukan rencana. Masalahnya berencana dan berandai-andai adalah dua hal yang berbeda. Pengandaian Tak Bisa Menjadikan Rencana adalah pengandaian terperinci dengan action plan yang jelas dan terjadwal. Walau tidak mungkin memastikan semua rencana akan terjadi sesuai jadwal, setidaknya ada langkahlangkah taktis untuk merealisasikan pengandaian tersebut. Bandingkanlah saya dengan teman saya, Mei, yang akan menikah di tengah tahun nanti. Mei telah memastikan semua vendor akan siap di hari yang ditentukan. Setahun yang lalu ia sudah membayar DP ini itu, membuat baju, menentukan kartu undangan, menu makanan, pemain band. Ia telah merencanakan semuanya. Sedangkan saya? Saya hanya berandai-andai akan menikah suatu hari nanti. Tanpa urgensi, tanpa rencana. Walau saya dan Mei sama-sama ingin menikah, tapi siapa yang benar-benar akan mendapat keinginannya? Jelas saya. Apalagi
22 I Jika Kamu Bukan Kamu
kalau sang soulmate tiba-tiba jatuh dari langit membawa surat nikah bermeterai yang siap ditanda-tangani. Tidak ada yang mustahil! Bukankah kita hidup dalam dunia yang penuh probabilitas? Pengandaian Tak Bisa Menerawang Bicara soal probabilitas, mari kita melihat kehidupan dari lensa kamera yang lebih lebar. Kita tidak hidup sendirian. Kehidupan kita berkoneksi dengan kehidupan orang-orang lain. Rentetan
Jika Kamu Bukan Kamu I 23
kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan satu orang pasti akan bersenggolan dan mempengaruhi kemungkinan-kemungkinan di kehidupan orang lain. Misalkan Gita, seorang remaja yang sedang buru-buru berjalan ke sekolah karena takut terlambat. Ia memiliki dua pilihan: memohon tebengan dari tetangga, atau mulai berlari secepat tenaga. Di sisi lain, Jeki, tetangga Gita yang juga takut terlambat, memiliki ekosistem kemungkinannya sendiri. Jika ia naik motor, ia harus pergi mengisi bensin yang mungkin akan membuatnya terlambat sampai sekolah. Jika ia berlari, ia akan menghancurkan kesempurnaan bentuk rambut yang telah ia pomade susahsusah sejak pagi. Pilihan yang sulit. Dalam beberapa detik Gita dan Jeki akan memilih solusi mereka masing-masing. Saat pilihan mereka bertubrukan dan bersinergi hasilnya bisa sangat berbeda dari yang dibayangkan. Apapun yang terjadi kisah tersebut telah menjadi realitas. Mereka harus menerima hasil kombinasi pilihan mereka. Katakanlah Gita memilih berlari dan Jeki memilih naik motor. Gita tidak terima Jeki main pergi begitu saja, tidak menawarkan boncengan ke sekolah. Alhasil, Gita berlari secepat kuda liar dan sampai sekolah tepat waktu. Di momen tersebut ia akan menyadari potensinya sebagai atlit lari. Sedangkan Jeki akan di strap karena terlambat masuk sekolah. Dalam 1 tahun kisah ini tidak akan berarti buat mereka. Berbeda hasilnya kalau Jeki memilih naik motor saat Gita meminta tebengan. Mereka akan mendapat memori manis
24 I Jika Kamu Bukan Kamu
berboncengan menuju pom bensin. Walau terlambat ke sekolah mereka akan mengingat indahnya distrap bersama cinta pertama di lapangan upacara, rasanya bertukar senyum walau pomade meleleh dan kuping panas diteriaki guru. Dalam 1 tahun memori ini akan mereka tangisi saat hubungan keduanya pupus, dan mungkin akan tetap membekas sampai mereka tua layaknya semua kisah cinta pertama. Sadar atau tidak pilihan orang lain ikut menentukan bentuk realitas kita. Kita tidak bisa mengontrol laju kehidupan kita sendiri. Ini adalah fakta hidup setiap makhluk sosial. Maka tidak aneh mendengar Elsa berteriak, “let it go!” Biarkan saja yang terjadi terjadi. Kita hanya bisa berharap telah memilih yang terbaik, dan siap-siap berimprovisasi jika kebalikannya yang terjadi. Pengandaian Tak Bisa Merubah Hobi berandai-andai juga saya temukan dalam celetukan gaul belakangan ini, di kata ‘baper’ dan ‘gagal move-on’. Keduanya digerakan oleh pengandaian yang sarat perasaan. “Andai dia pacarku,” si Baper berharap sambil menonton drama korea. “Andai dia masih pacarku,” si Gagal Move-On memandangi foto mantannya. Apa kesamaan antara keduanya? Keduanya samasama lebay. Tidak ada gunanya stuck dalam dunia imajiner, berandai-andai akan sesuatu yang tidak bisa diubah, apalagi tidak bisa diraih. Jika kamu membutuhkan mesin waktu agar pengandaianmu bisa terjadi, mari lupakan mimpi kosong itu. Kamu bukan Dr. Who. Jika kamu butuh ibu peri untuk mengabulkan andai-andaimu,
Jika Kamu Bukan Kamu I 25
silahkan kembali ke tahun 2000-an dan tontonlah sinetron Bidadari. Oh, tapi butuh mesin waktu... All jokes aside, ada 1 jenis baper yang bisa saya tolelir: baper saat membayangkan rasanya menjadi orang lain. Baper jenis ini menumbuhkan level empati, memastikan hati tetap manusiawi, dan ego diri tak setinggi langit. Saat kita menerapkan latihan ini pada orang-orang disekitar khususnya orang-orang dari sisi kehidupan yang berbeda, perlahan kita bisa memahami cara pandang mereka. Ada rasa sepenanggungan yang bisa tumbuh, atau setidaknya rasa hormat akan pilihan mereka. Inilah baper yang bonafit. Pengandaian yang pandai. Sebagai kesimpulan pengandaian adalah cara kita membayangkan kepastian dalam kehidupan yang tidak pasti. Saat pengandaian ini dirinci dengan langkah-langkah terjadwal, kata ‘pengandaian’ berubah menjadi ‘rencana’. Namun, pengandaian dan rencana tidaklah sama. Pengandaian tidak bisa merealisasikan keinginan. Pengandaian tidak bisa memastikan hasil di masa depan. Pengandaian juga tidak bisa mengembalikan kita ke masa lalu. Ada baiknya kita menambahkan kepandaian pada pengandaian dengan menggunakannya sebagai doping empati. Selebihnya tak guna hidup dalam andai-andai. Ia hanya manis dituliskan dalam puisi-puisi untuk meratapi masa lalu dan membayangkan masa depan. ***
26 I Jika Kamu Bukan Kamu
MEMILIH PELAYAN, BUKAN PEMIMPIN Eko Kuntadhi
Kamu lebih suka Gubernur yang penantang-petenteng merasa jadi pemimpin. Apa Gubernur yang mau menjadi pelayan rakyat? Gubernur itu digaji dari uang pajak. Yang bayar pajak ya, rakyat. Rakyatlah yang menggaji Gubernur. Karena itu sesungguhnya Gubernur adalah karyawan, rakyat adalah pemilik. Rakyat yang menggaji, rakyat yang memberikan kepercayaan padanya, rakyat yang memilihnya. Masa kontrak seorang Gubernur dan wakilnya selama 5 tahun.
Jika Kamu Bukan Kamu I 27
Mirip seperti perusahaan. Ada professional yang menjalankan roda usaha. Mereka adalah para direksi dan eksekutif. Di bawahnya ada karyawan yang membantu tugas-tugas para direksi. Apa tujuan direksi dan semua karyawan itu bekerja? Simpel. Memberi keuntungan kepada pemegang saham atau pemilik perusahaan. Nah, Gubernur Jakarta mirip dengan Direktur Utama sebuah perusahaan. Direksi memimpin karyaan, Gubernur memimpin birokrasi Pemda. Apa target mereka dalam bekerja? Sama seperti perusahaan yang bekerja untuk memberi keuntungan pada pemiliknya, Gubernur Jakarta juga bekerja untuk memberikan manfaat maksimal pada pemilik Jakarta yaitu warga Jakarta. Kira-kira seperti itulah makna kekuasaan politik di negara demokrasi. Dengan filosofi seperti ini kita menempatkan rakyat pada posisi yang semestinya. Kita menempatkan orang yang diberi wewenang kekuasaan, juga pada format yang pas. Sebab kekuasaan harus dibatasi. Setiap penguasa harus diingatkan bahwa jabatan yang diembannya hanya meneruskan kekuasaan rakyat. Dia diberi kuasa oleh rakyat, digaji oleh rakyat, dan sudah selayaknya melayani tuannya. Masa orang yang digaji betingkah merasa lebih tinggi kedudukannya dibanding yang memberi gaji? Itu namanya kurang ajar. Masa karyawan petakilan mau memimpin owner? Sebagai rakyat, ketika kita disodorkan oleh sistem politik bahwa hakekat kekuasaan ada di tangan kita, sebaiknya jangan lagi mau dibodohi dengan jargon-jargon memilih pemimpin dalam
28 I Jika Kamu Bukan Kamu
sebuah Pemilu. Iya, benar, saat Pemilu kita memilih pemimpin pemerintahan daerah. Fungsi kepemimpinan-nya hanya sebatas menjadi manajer puncak dalam pemerintahan. Bukan menjadi pemimpin rakyat. Karena kita yang menggaji, maka selayaknya Gubernur itu adalah pelayan kita. Tugasnya membuat kehidupan rakyat lebih baik. Kalau rakyat kebanjiran, tugasnya memikirkan bagaimana agar tidak banjir lagi. Kalau angkutan umum kurang nyaman, tugasnya membangun angkutan umum yang nyaman. Kalau rakyat susah sekolah, tugasnya memastikan biar anak-anak bisa sekolah. Intinya tugas utama Gubernur dan aparatnya ya, melayani. Kalau Gubernur mau buat aturan, dia kudu konsultasi dengan DPRD, yang ditempatkan oleh rakyat untuk mengawasi. DPRD ini fungsinya mirip dengan komisaris. Kalau ternyata DPRD-nya suka nyolong, sebagai pelayan Gubernur harus menjaga harta tuannya. Sejatinya APBD itu harta rakyat. Makanya dia harus jagain APBD biar gak dicolong orang. Termasuk menjaga agar tidak dijarah anggota dewan. Dulu dijaman rekiplik, Gubernur memang dianggap pemimpin. Makanya dia merasa kedudukannya lebih tinggi dari rakyat. Dia tidak merasa harus melayani rakyat, tapi justru rakyatlah yang mesti melayani. Jika kunjungan menemui rakyat, justru orangorang di lapangan dibuat puyeng karena harus menyiapkan berbagai keperluan. Sikap pejabat tinggi yang maunya dilayani ini nular ke birokrasi
Jika Kamu Bukan Kamu I 29
di bawahnya. Akibatnya kalau butuh dengan aparat Pemda, rakyat wajib membayar upeti. Sebab mereka menganggap diri bagian dari pemimpin dan rakyat cuma abdi. Kalau rakyat mau mengurus KTP tanpa pelicin, petugas kelurahan lebih baik main catur ketimbang ngurusin KTP orang. Kita semua mengalami itu. Mengalami betapa mengesalkannya berurusan dengan pemerintahan. Kalau tidak ada duit, mana mau mereka bekerja. Padahal, gaji mereka semua itu, kita yang bayar loh. Kita ini majikan mereka. Kok bisa-bisanya mereka minta duit ketika majikannya butuh pertolongan. Jika banjir atau ada bencana, para birokrat itu melihat-lihat lokasi bersama wartawan. Mendatangi tempat pengungsian, foto-foto sambil nyengir. Setelah itu pulang, tidur di rumah dinasnya yang nyaman. Soal Jakarta masih banjir, biar waktu nanti yang akan menyelesaikan masalahnya. Ini karena selama ini kita salah menempatkan posisi seorang Gubernur atau pemimpin pemerintahan. Kita menganggapnya sebagai pemimpin dan kita adalah bagian dari abdinya. Cuma orang bodoh yang sudah diberi kekuasaan sedemikian besar oleh sistem, tapi malah mau memberikannya pada orang yang posisinya hanya orang gajian. Artinya cuma mereka yang bodoh jika berpikiran memilih Gubernur itu sama dengan memilih pemimpin. Gubernur Jakarta yang merasa sebagai pelayan rakyat adalah Gubernur yang tidak ingin merampas hak dasar rakyat sebagai pemilik syah kekuasaan di Jakarta. Sementara Gubernur yang
30 I Jika Kamu Bukan Kamu
merasa dirinya pemimpin, dalam dirinya sudah ada potensi merampok kuasa rakyat untuk dipindahkan ke tangannya. Ini jelas sangat berbahaya. Filosofi sebagai pelayan rakyat inilah yang dipahami Ahok-Djarot. Makanya mereka sangat serius melakukan perombakan birokrasi agar semua jajarannya jga memahami fungsinya sebagai pelayan. Bukan pejabat. Karena paradigma Gubernurnya adalah pelayan, otomatis semua aparatnya juga ketularan mental pelayan. Punya sikap melayani. Bukan lagi yang sedikit-sedikit minta sogok. Jadi Pilkada sebetulnya adalah kontestasi memilih pelayan terbaik buat rakyat. Bukan milih pemimpin. Dulu kita anggap Gubernur adalah pemimpin. Birokratnya bagian dari kepemimpinan. Akibatnya ngurus KTP aja harus bayar upeti. Itu akibat kebodohan kita sendiri, pelayan kok, diposisikan sebagai pemimpin. Kalau posisinya sebagai pelayan, semua keluhan rakyat wajib diperhatikan. Nah, aplikasi QLUE yanag diterapkan Pemda DKI di masa Ahok-Djarot itu menandakan Gubernur dan birokrat Pemda kembali ke khittahnya : kembali jadi pelayan. Semua rakyat bisa mengadukan masalah dan mereka berhak mendapatkan melayanan. Jadi jika Gubernurnya sudah sadar bahwa dia cuma pelayan rakyat, jangan lagi ngajarin rakyat rendah diri dengan berkoarkoar bahwa pelayan yang digajinya itu, berfungsi sebagai pemimpin. Jangan lagi meyakin-yakinkan orang bahwa memilih Gubernur itu sama dengan memilih pemimpin. Pelayan ya, pelayan. Tugasnya melayani. Kalau pelayananya kurang
Jika Kamu Bukan Kamu I 31
memuaskan, rakyat berhak komplen. Orang-orang yang menyebarkan imbauan jangan memilih pemimpin dari kalangan non-muslim, karena bertentangan dengan ayat Al Quran, sejatinya dia sedang membodohi rakyat. Imbauan keagamaan itu jelas ingin mengembalikan Gubernur yang penantang-petenteng. Gubernur yang merasa jadi imam dan rakyat adalah makmumnya. Mereka hendak merampas kekuasaan yang kini telah dinikmati rakyat. Sebab dalam logika agama, makmum wajib mengikuti apa kata imam. Justru dengan memilih Gubernur yang memposisikan diri sebagai pelayan rakyat, umat Islam bisa tetap meyakini kebenaran Al Quran khususnya Al Maidah ayat 51. Itu juga jika mereka menafsirkan maknanya sebagai tata cara pemilih pemimpin. Sebab dalam Pilkada di Negara yang demokratis seperti di Indonesia, rakyat bukan sedang memilih pemimpin. Mereka hanya memilih orang-orang yang tepat untuk melayani keperluannya. Kita belum pernah juga menemukan ada ayat dalam Al Quran yang melarang muslim untuk memilih pelayan yang seiman. Dengan memposisikan Gubenur sebagai pelayan rakyat, ada dua keuntungan yang bisa dicapai. Pertama, tidak ada pertentangan dengan dalil-dalil agama manapun. Dan kedua, secara filosofis, rakyat tetap memegang kendali kekuasaan. Jadi dalam Pilkada Jakarta ini, jangan mau dibohongi pakai kitab suci. *** 32 I Jika Kamu Bukan Kamu
Indonesia Kita Kajitow Elkayeni
Indonesia, kata ini saja sudah cukup menggetarkan. Ia menjadi istimewa karena kita ada di dalamnya. Kita adalah bagian dari sebuah identitas kebangsaan yang dibangun dengan bersusahpayah oleh leluhur. Satu narasi bulat yang tak bisa dipisahkan hanya karena perbedaan. Mengingat, yang berbeda-beda tapi satu itulah Indonesia. Itulah kita. Ada air mata kesedihan puak-puak yang dulu hendak meneguhkan kata “kami Indonesia”. Ada kegembiraan kanakkanak di berbagai pelosok. Mereka yang tak pernah menyesal terlahir di tanah ini. Indonesia memang dibangun dari banyak tragedi, mimpi yang terampas, rasa inferior di hadapan bangsa asing. Namun pendahulu kita selalu mengajarkan untuk bangkit dari keterpurukan, memperbaiki kekurangan dan memaafkan kesalahan.
Jika Kamu Bukan Kamu I 33
Tak ada bangsa yang sempurna di dunia ini, tapi tak ada bangsa seperti Indonesia. Tak ada padanan serupa di seluruh penjuru mata angin. Bangsa ini menerima anugerah tak terkira, sekaligus menanggung ujian sepanjang masa. Menjadi berkat dan kutukannya. Ada saja pihak yang tak ingin Indonesia menunaikan takdirnya sebagai bangsa yang besar. Anugerah itu menimbulkan iri hati. Beratus tahun kita mengalami masa gelap dan pertikaian. Kita diinjak dan dihinakan. Bangsa ini memahami dengan baik makna pengkhianatan. Getir dan pedih yang terus-menerus diwariskan. Saat Indonesia bergerak, bekerja, mengejar ketertinggalan, saat itu pula kita dirong-rong, diadu, dipecah-belah. Mereka membangun narasi kehancuran. Dari suku-suku yang ratusan jumlahnya itu diselipkan api. Dari agama-agama yang berbeda-beda itu mereka memasukkan duri. Dari SabangMerauke, laut-gunung-sungai, mereka menyusupkan kesumat disintegrasi. Di banyak tempat, bibit-bibit perpecahan disemai. Landasan bernegara yang telah kokoh digoyang. Orang-orang ini mendapatkan momentum saat kebebasan berpendapat terbuka lebar bersama munculnya era Reformasi. Energi yang tersimpan lama terpompa kembali. Dan mereka menemukan pintu masuk melalui gejolak politik di Jakarta. Dulu Jakarta adalah kota yang sekarat. Tidak ada harapan. Birokrasi yang lelet, manja, penuh pungli. Banjir di mana-mana, kemacetan yang jadi momok, sampah berserakan. Hidup di
34 I Jika Kamu Bukan Kamu
Jakarta adalah siksaan tersendiri. Tidak ada yang benar-benar menikmati hidup di Jakarta. Wacana memindahkan ibukota dijadikan bagian dari rencana yang mendesak. Jakarta sudah tak bisa diselamatkan. Tiba-tiba saja muncul harapan. Orang-orang keras kepala memimpin. Pungli disikat. Birokrasi semakin lancar. Titik banjir dari ribuan tinggal puluhan. Kemacetan diurai perlahan, kali dan jalan dibersihkan. Taman-taman cantik muncul di banyak tempat. Anak-anak bermain dengan riang. Namun orang ini tak disukai karena perangai kerasnya. Wataknya yang tak mau kompromi dengan maling. Apalagi ketika ada celah atas nama agama. Padahal banyak orang alim telah menberikan pembelaan. Namun amarah telah menggelapkan pandangan batin. Kerja keras untuk mengubah Jakarta itu sama sekali dilupakan. Mencintai Indonesia adalah membangkitkan kembali kenangan indah tentangnya. Masing-masing punya keluarga, sahabat, kekasih, seberapapun berat dan keras kenyataan yang dihadapi, keindahan itulah yang akan menuntun kembali. Cinta itu yang mestinya diperjuangkan. Saya meyakini, ada cinta di setiap jiwa putra-putri Indonesia. Meskipun ada orang yang fatalis dan destruktif. Cinta mereka adalah cinta yang kecewa. Dengan sedikit pemelintiran, kekecewaan itu berubah menjadi kebencian. Fanatisme, ekstremisme, sektarianisme, vandalisme, lahir dari kekecewaan ini. Mereka bagian dari satu tubuh, tapi terpisah dan tak dapat
Jika Kamu Bukan Kamu I 35
berbagi sakitnya. Menjadi kangker yang berbahaya. Rasa sakit, kecewa, benci sebenarnya adalah cambuk, dengan kesadaran bahwa tidak ada yang sempurna. Namun Indonesia tetaplah lebih patut diperjuangkan, dibangun kembali, daripada dihancurkan seperti negeri-negeri di luar sana. Mereka yang kini hidup dalam kekacauan dan ketakutan yang mungkin akan abadi. Tentu kita tak mungkin membiarkan Indonesia tercerai-berai seperti itu. Demi kedamaian, keberlangsungan cinta kasih, masa depan anak-anak bangsa. Kewarasan harus kembali mengambilalih kendali, kebhinekaan harus diselamatkan. Kita bayangkan Indonesia kita itu adalah tamansari yang indah. Setiap bunga memiliki warna dan keharuman berbeda. Di tamansari yang indah itu cinta tumbuh dalam segenap perbedaan. Sayup-sayup kita dengar bunyi lagu, “Di sana tempat lahir beta. Dibuai dibesarkan Bunda. Tempat berlindung di hari tua. Sampai akhir menutup mata....” ***
36 I Jika Kamu Bukan Kamu
Kebhinekaan Bukan Sekadar Fakta Amin Mudzakkir
Anies Baswedan keliru ketika menyatakan bahwa kebhinekaan hanya sebuah fakta, bahwa keberagaman masyarakat Indonesia adalah kenyataan yang tinggal diterima begitu saja. Seolah-olah keanekaragaman agama, etnis, bahasa, dan kedaerahan yang ada hadir dengan sendirinya. Seakan-akan semua itu adalah perkara alamiah. Dalam kenyataannya, kebhinekaan bukan sekadar fakta. Ia juga merupakan norma. Kebhinekaan sebagai fakta hanya bicara angka-angka dalam statistika, sedangkan kebhinekaan sebagai norma adalah cita-cita yang harus diperjuangkan bersama. Bagi saja, kebhinekaan mencakup keduanya.
Jika Kamu Bukan Kamu I 37
Jika kebhinekaan hanya dipahami sebagai fakta, maka ini berarti kita diminta untuk menerima apa adanya kenyataan bahwa ada juga pihak-pihak yang tidak mengakui adanya kebhinekaan. Memang pihak-pihak ini tahu bahwa penduduk Jakarta tidak hanya terdiri dari kaum Muslim, tetapi sedemikian rupa mereka percaya bahwa hanya orang Islamlah yang berhak menjadi pemimpin. Orang Kristen apalagi dari etnis Tionghoa tidak boleh menduduki posisi itu. Apakah kita hanya membiarkan fakta ini? Anies Baswedan membiarkan fakta itu lewat tanpa memberikan penilaian sama sekali. Dia tidak mengkoreksi pandangan itu. Dengan demikian kira bisa menyimpulkan bahwa jangan-jangan memang dia menyepakatinya. Tentu saja dilihat dari sudut pandang kepentingan politik tertentu, pernyataan bahwa kebhinekaan hanya sebuah fakta tidak mengejutkan. Pernyataan ini jelas sekali merupakan usaha menumpangi gelombang. Sejak fakta dibiarkan berbicara apa adanya, sejak itu pula fakta dibiarkan untuk mendukung sesuatu yang bisa terkait atau tidak dengan fakta itu sendiri. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta sekarang, beberapa kalangan memang percaya bahwa gubernur harus orang Islam. Jika diikuti, fakta ini akan menguntungkan Anies Baswedan. Persis dalam situasi kongkret inilah penyataan bahwa kebhinekaan hanya sekadar fakta harus ditempatkan. Tidak Basuki
hanya
akan
Tjahaja
merugukan
Purnama,
yang
calon
gubernur
beragama
lainnya,
Kristen
dan
beretnis Tionghoa, pernyataan Anies Baswedan di awal akan
38 I Jika Kamu Bukan Kamu
mengancam kebhinekaan itu sendiri. Pernyataan ini tidak hanya akan menurunkan tingkat elektabilitas seseorang, tetapi juga bisa membahayakan masa depan bangsa dan negara secara keseluruhan. Pernyataan tersebut menggerogoti makna kebhinekaan yangs sesungguhnya dari dalam. Oleh karena itu sejak awal saya menyatakan bahwa kebhinekaan adalah sebuah norma. Artinya ia adalah cita-cita yang tidak cukup hanya dilihat, tetapi juga diperjuangkan. Ia tidak hadir dengan sendirinya. Jika kebhinekaan dipahami sebagai sebuah norma, maka kenyataan bahwa ada sekelompok orang yang menolak gubernur karena alasan agama tidak bisa diikuti. Kenyataan bahwa ada beberapa masjid yang menolak menshalatkan jenazah yang berbeda pilihan politik tidak bisa dibiarkan. Dua contoh ini adalah kenyataan yang salah. Oleh karena itu, kebhinekaan akan manjadi kebhinekaan jika ia dilandasi oleh pandangan etika tertentu. Dalam hal ini kita perlu menengok Pancasila. Sebagai sebuah norma, Pancasila telah membekali kita pengertian tentang bagaimana seharusnya kita memahami kebhinekaaan dalam urusan agama. Sila pertama Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, telah merangkum
secara
jenius
bagaimana
seharusnya
kita
menempatkan posisi agama dalam negara dan sebaliknya. Keduanya memang tidak bisa dipisahkan, tetapi bisa dibedakan. Pembedaan ini sangat penting agar keduanya berjalan seimbang untuk saling melengkapi.
Jika Kamu Bukan Kamu I 39
Sebaliknya, selama agama dan negara tidak dibedakan, maka selama itu pula akan terjadi kekacauan. Baik agama maupun negara
mempunyai
kecenderungan
absolut,
sehingga
pembedaan di antara keduanya adalah keniscayaan. Tanpa pembedaan yang jelas, agama akan menghancurkan negara dan sebaliknya negara pun akan menghancurkan agama. ***
40 I Jika Kamu Bukan Kamu
Catatan Kecil Teh Yuli Yuli W. Sumanagara
Mereka, anak-anak kehidupan... Bungsu : “Mama...dimana mukena aku?” “Dalam lemari, nak...” “Sudah masuk waktu maghrib?” “Sudah, mam” “Shalat lah, nak...” ...... Penengah : “Mam, besok setelah pulang dari Gereja, aku mau ke Gramedia yaa”
Jika Kamu Bukan Kamu I 41
“Ada buku baru yang mau dibeli?” “Ngga mam, mau beli buku2 dan alat tulis untuk anak-anak tak mampu di sekitar Gereja” “Iyaa, nak...nanti mama juga mau titip sesuatu yaa” ...... Sulung : “Gimana dengan urusan pasportmu?” “Nanti siang juga selesai kok, mam” “Berapa lama rencanamu di Tibet?” “10 hari, mama mau oleh-oleh apa?” “Segera pulang saja, nak...nanti mama kangen” ...... Apa yang kau khawatirkan, saat keragaman mengajarimu sabar dan jembar?
Gadis... Sudah 6 bulan ini Gadis menjalin hubungan dengan Lee, seorang pemuda keturunan teman kuliahnya. Gadis tau, ayahnya tidak akan pernah setuju. Karenanya, Gadis belum berani mengenalkan Lee kepada keluarga, kecuali Ibunya. Sampai satu hari...
42 I Jika Kamu Bukan Kamu
“Ayah tau dan menegurku” “Lalu?” tanya saya “Aku diam karena tak ingin konflik dengan Ayah, sebelum aku selesai dengan diriku sendiri. Waktu 6 bulan belum cukup untuk mengenal Lee, kami masih saling menjajagi. Aku dan Lee sepakat untuk menjalani dulu. Satu hari nanti, bila memang Lee yang terbaik untukku dan layak aku pertahankan, aku akan bicara baik2 dengan Ayah” “Kamu sudah siap dengan semua resikonya?” “Bukankah hidup memang pilihan, Mam?” Saya terdiam...usianya baru 23thn.Tapi dia sudah tau apa yang harus dilakukannya dengan bijak. Dan saya belajar (lagi) darinya
Cinta Kita... Sore tadi aku menemanimu berdo’a di Gereja. Menjelang maghrib kita menepi di Mesjid dekat rumah, “Shalatlah” ujarmu tersenyum damai. Lalu...cinta kita abadi selamanya. Bukankah Tuhan Maha Pengasih? ***
Jika Kamu Bukan Kamu I 43
44 I Jika Kamu Bukan Kamu
PESAKSI
Jika Kamu Bukan Kamu I 45
Membangun Manusia B. Irawan Endro Prasetyo
Saat mencari tempat parkir di kawasan Pasar Baru, ada yang menarik perhatian saya: Seorang juru parkir menolak uang tip dari pengemudi mobil mewah yang meninggalkan area parkir resmi di bahu jalan. Sewaktu saya memarkir mobil di tempat parkir tersebut, ia dengan sigap dan ramah menanyakan apakah saya memiliki kartu parkir atau e-money. Saya
mengangsurkan
mem bayarkan
biaya
e-money
parkir
di
dan
meteran
ia
membantu
parkir.
Setelah
mengembalikan e-money tersebut, ia beranjak membantu pengemudi lain yang hendak keluar area parkir. Beberapa jam kemudian, saat saya dan istri kembali hendak memasuki
mobil,
ia
dengan
sigap
menawarkan
untuk
membantu melakukan pembayaran lagi. Rupanya waktu parkir kami melebihi perkiraan waktu parkir yang telah kami bayar sebelumnya. Saya mencoba mengangsurkan uang tip saat ia mengembalikan kartu e-money, namun ia dengan ramah menolaknya. Saya lalu bertanya: “Pak, kenapa Bapak nggak mau terima duit?” JP: Wah, saya nggak boleh terima duit Pak, kecuali kalau orang nggak punya kartu parkir atau e- money baru saya terima duitnya, nanti saya bantu bayarin pakai kartu saya.
46 I Jika Kamu Bukan Kamu
S: Tapi lumayan duit tip, Pak… JP: Nggak, Pak. Sekarang kita digaji cukup. Kita sudah nggak boleh lagi minta-minta atau terima duit. Kayak gini malah tenang. S: Digaji sesuai UMR? JP: Iya Pak, masih dikasih KJS lagi, tenanglah kita. S: Mulai kapan? JP: Pokoknya mulai jaman Pak Ahok kita-kita jadi enak, Pak. Semua jadi bagus. S: Dia ‘kan didemo terus…. JP: Nggak ngerti apa maunya orang-orang itu. Gubernur kerja bener masih diubek-ubek. Kita pengennya dia terus ajalah, udah jelas kerasa… Selanjutnya
dengan
bersemangat
ia
bicara
tentang
kekagumannya terhadap Pak Ahok. Saat ia pamit untuk membantu pengemudi lain yang hendak parkir, saya mengikuti dan mengambil fotonya. Pengalaman serupa pernah saya alami di beberapa tempat parkir di pinggir jalan Boulevard Kelapa Gading namun dulu saya hanya mengapresiasi semua itu sebagai hal biasa.
Jika Kamu Bukan Kamu I 47
Bagaimanapun, saat kembali mengalami hal yang sama, saya tersadar: Tampaknya sistem perparkiran yang diterapkan di Jakarta telah berhasil mengubah mental. Para juru parkir menjalankan pekerjaan mereka dengan penuh dedikasi dan kejujuran. Semangat seperti ini tampaknya mulai terbangun dan menyebar di banyak bidang pelayanan publik di Jakarta. Di kantor kelurahan saya, misalnya, aparat melayani sejak pagi dengan sikap yang proaktif, ramah serta profesional tanpa adanya pungutan sedikitpun. Pasukan warna-warni yang kini seolah menjadi ikon kota pun menjadi bukti perubahan nyata. Jelas, saat hak-hak dasar para abdi masyarakat dipenuhi, mentalitas pelayanan mereka akan terbangun dan kejujuran mereka pun tumbuh. Saat mengamati foto, saya baru menyadari bahwa juru parkir itu bernama Bejo. Namanya terpampang jelas di topi yang dikenakannya. Sesuai namanya (dalam bahasa Jawa, bejo berarti ‘beruntung’), ia merasa beruntung bekerja sebagai juru parkir resmi karena bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Pertemuan dengan Pak Bejo membuka mata dan menyadarkan saya bahwa pembangunan menyeluruh yang sedang dilakukan di Jakarta ternyata bukan sekedar membangun fisik kota, tapi juga sungguh membangun manusia. Kita semua bejo memiliki pemimpin sekaligus pelayan warga yang sungguh memerhatikan dan menghargai manusia lewat karya-karya nyata, bukan sekedar lewat retorika. Kita –Jakarta- sungguh bejo punya Badja…. ***
48 I Jika Kamu Bukan Kamu
Di Tengah Duka Menohok Nong Darol Mahmada
Pada 15 Maret 2017, Ahok melakukan silaturahmi dengan keluarga Alm. Siti Rohbaniyah untuk mendengarkan
cerita
tentang sebuah peristiwa yang ketika itu masih simpang siur. Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, Sudaryo (56) atau Yoyo, warga RT 05/02 Kelurahan Pondok Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama, terpaksa menandatangani surat pernyataan untuk memilih Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada hari pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta
pada 19 April 2017.
Jika Kamu Bukan Kamu I 49
Hal itu wajib dilakukan Yoyo jika ingin jenazah mertuanya, Siti Rohbaniah (80), disalatkan oleh pengurus salah satu masjid di Pondok Pinang. Yoyo dan keluarganya dituding sebagai pendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Saat ditemui wartawan pada Rabu (8/3/2017) malam, Yoyo bercerita bahwa sang ibu mertua meninggal dunia karena sakit. Esok harinya, keluarga kesulitan untuk mensalatkan jenazah karena pengurus masjid tidak mau mengurusi. Jenazah baru disalatkan Kamis (9/3/2017) siang setelah jenazah terbengkalai sekitar satu jam dan sesudah Yoyo dengan terpaksa menandatangani surat pernyataan yang disodorkan Ketua RT 05, Makmun Ahyar. “Rabu malam, ibu (mertua) saya meninggal lalu saya lapor ke tetangga, ke Ketua RT. Awalnya nggak ada masalah, ketua RTnya kenal saya dengan baik,” ujar Yoyo. “Kamis pagi, udah rapi mau dikafani, dimandiin, nggak ada masalah. Siangnya, pas mau disalatin, saya disuruh tanda tangan. Tulisannya yang bikin Pak RT, isinya saya berjanji akan mendukung pasangan AniesSandi di putaran dua nanti. Ada meterainya juga,” beber Yoyo. Ia mengatakan, surat pernyataan tersebut tidak diketik, melainkan hanya berupa tulisan tangan di atas selembar kertas. Karena tak tega meihat jenazah sang ibu mertua terbengkalai, ia akhirnya membubuhkan tandatangan. “Awalnya sih, saya nggak curiga. Lagi kesusahan, nggak nyangka ada yang nggak mau nyalatin. Menurut saya mau pilih siapa, itu urusan saya sama Tuhan, yang penting ibu saya disalatin,” tutur Yoyo.
50 I Jika Kamu Bukan Kamu
Beberapa saat setelah Yoyo mengguratkan tandatangannya, barulah jenazah ibu mertuanya disalatkan dan akhirnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Dikatakan Yoyo, sebenarnya dia dan keluarganya tidak pernah mengungkapkan diri sebagai pendukung paslon tertentu. Bahkan, sang ibu mertua tidak ikut memilih dalam putaran pertama karena sudah uzur. “Saya dari dulu siapapun gubernurnya kampanye nggak pernah ikut, nempel poster juga nggak. Bahkan, saya menolak ada poster pasangan manapun di rumah saya. Makanya saya heran sampai begini,” katanya. Yoyo mengakui, dia memang pernah bergurau dengan tetangga-tetangganya seputar persaingan paslon Anies-Sandi dan Ahok-Djarot dalam Pilkada DKI, kali ini. “Saya memang kadang berkelakar ke tetangga. Saya bilang, saya nggak pilih Ahok karena dia Kristen, sementara saya Islam. Lalu, tetangga tanya, terus pilih siapa? Pilih Djarot, kata saya gitu,” ungkap Yoyo. Selain mengunjungi keluarga Ibu Rohbaniah, Ahok juga bertemu dengan Pak Haji Rasyidin sebagai pembina di Masjid Darussalam Pondok Pinang. Ia dipecat dari pengurus mesjid karena dianggap mendukung Ahok. Padahal kata H. Rasyidin, ia adalah ahli waris dari masjid Darussalam tersebut karena merupakan waqaf dari kakeknya. Di kedua pertemuan itu, Ahok mengungkapkan bahwa beliau ingin dua kejadian tersebut tidak akan terulang lagi. ***
Jika Kamu Bukan Kamu I 51
Gue Mantan Pelacur Kalijodo de Luna
Brengsek ini orang! Penghasilan besar gue dan temen-temen gue hilang dalam sekejap. Gue gak nyangka dia punya nyali ngegusur wilayah kekuasaan bos-bos perkasa puluhan tahun. Gue lebih percaya pada kekuatan centeng-centeng daerah sini dibandingkan mulut besar dia. Selama ini orang-orang ngomong gede kalau mereka mau berantas kami tapi gak ada yang berani. Ya tapi, gue dan teman-teman salah! Dia buktiin niat dia. Gue dan teman-teman benci mampus sama dia, apalagi bos-bos
52 I Jika Kamu Bukan Kamu
kami dan orang yang menikmati duit yang kami hasilkan. Bajingan! Dia paksa hidup orang-orang di sini berubah. Gue gak punya keahlian apa-apa selain merayu laki-laki hidung belang. Temen-temen gue kabur, gak berdaya melawan penggusuran. Gue nangis, gimana gue bisa hidup besok? Sakit rasanya dipaksa berubah tapi dia berkuasa, gak bisa dilawan, dia ngikutin aturan. Gue yang salah. Iya, gue mantan pelacur, dipaksa ‘tobat’ sama Ahok. Laki-laki yang datang ke sini gak ada yang berani nolong. Ahok bukan ulama yang kasih-kasih ayat. Selama ini bukannya gak ada ulama yang berusaha bikin gue dan temen-temen tobat tapi siraman rohani cuma bikin gue nangisin dosa 1 jam, setelah itu, ya udah. Agama gak bisa ngasih gue makan. Lagian kenapa gue aja yang hina? Gue kerja begini karena ada permintaan. Banyak lakilaki yang datang ke sini, jangan-jangan gubernur itu konspirasi dengan ibu-ibu supaya Kalijodo dan tempat maksiat lain digusur. Teman-teman gue masih banyak yang gak mau tobat. Mereka cari tempat lain. Di mana? Rahasialah, ya… Gue takut ibu-ibu konspirasi dengan Ahok lagi ngancurin tempat itu. Kenapa gue terpaksa tobat? Gue datang ke tempat kerja gue dulu, ya Kalijodo ini. Laki-laki itu bangun taman indah dengan berbagai fasilitas. Ternyata bukan mal atau apalah, seperti gosip yang gue denger. Gue berbaur dengan orang ‘baik-baik’, dari mulai bayi sampai kakek-nenek. Gak ada yang ngenalin gue. Gue jadi merasa sama terhormatnya
Jika Kamu Bukan Kamu I 53
dengan pengunjung lain. Hari itu gue bawa bayi gue, yang tanpa bapak itu, dan keponakan-keponakan. Mereka girang main dengan teman-teman seumuran mereka. Di tanah itu gak ada bekas sedikitpun dari gambaran kotor masa lalu. Nggak ada rasa jijik di muka orang-orang yang datang. Semua tersenyum dan saling tegur. Ada yang layanin pemeriksaan jantung, tensi, kolestrol, gratis. Ada kumpulan ibuibu yang latihan poco-poco. Gue gak tahu di sebelah mana tempat gue dulu kerja. Hidup gue tenang, gak lagi dihantui kutukan ibu-ibu yang suamisuaminya make gue. Gue menangis terharu membayangkan bayi dan keponakan-keponakan gue bakal tumbuh sehat dan bahagia. Gue gak mau mengeluh lagi. Gue sudah mulai cari usaha kecil-kecilan untuk ngelanjutin hidup. Bayi gue lahir tanpa bapak tapi gue lihat Ahok bisa jadi bapak untuk anak-anak dari orang kurang beruntung kayak anak gue. Paling nggak, gue dan anak gue kalo sakit ditanggung pemerintah. Gue sekarang punya harapan. Gue akan jadi ibu yang baik. Gue sudah bilang ke anak gue sambil gue cium pipinya yang basah dengan air mata gue, “Kamu bisa jadi apa saja yang kamu mau, Nak.” Gue yakin dengan hal itu… …karena Jakarta sudah bukan lagi kota yang jahat buat kami. (dari percakapan ‘Sari’ dengan Muna Panggabean) ***
54 I Jika Kamu Bukan Kamu
Namanya Daeng Jamal, Mantan Preman Talita Siagian dan Dinda Larasati
Siang itu ia mengenakan kaos hitam bertuliskan “❤ X JODO.” Sambil menggenggam handphone Samsung Galaxy Edge, ia menoleh ke arah kami. Dia sudah menanti kedatangan saya dan Ibu sesuai janji-temu. Di bawah payung tenda berterpal biru yang terletak di pinggir kali, kami duduk bersama. Asumsi bahwa pria yang akan kami temui memiliki wajah keras, luruh seketika. Ibu memulai percakapan dengan bercanda.
Jika Kamu Bukan Kamu I 55
“Saya pikir kamu preman disini,” kata ibu sambil tertawa. Sontak Jamal tertawa. “Nggak. Tapi saya sudah dua puluh tahun tinggal disini.” Jamal memang jadi salah satu orang yang dirujuk oleh warga apabila ingin tahu lebih lanjut mengenai Kalijodo dan berbagai interaksi di dalamnya. Kalijodo dengan sejarah kelamnya bukan lagi sesuatu yang asing bagi mereka yang sudah menghuni Jakarta selama beberapa dekade terakhir. Telusuri saja pemberitaan media selama bertahun-tahun. Kehidupan malam yang bobrok, habis dikupas wartawan. Sebagian dari kita mencibir dan menstigma Kalijodo sebagai tempat bagi para pendosa. Namun hari itu Kalijodo justru lebih terlihat seperti tempat wisata dibandingkan tempat mendosa. Tampak bus Transjakarta dua tingkat menurunkan penumpang dari berbagai umur. Sejak relokasi, Kalijodo kini berubah jadi tempat yang disebut sebagai Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA). Banyak fasilitas dibuat atas kebijakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dapat diakses umum, seperti lapangan futsal, skatepark , jogging track dan perpustakaan anak. “Dari dulu sudah ada wacana relokasi di Kalijodo. Tapi ya nggak pernah terlaksana. Sampai akhirnya tahun 2014, Pak Ahok bicara soal relokasi. Apalagi setelah ada kecelakaan mobil yang pengemudinya habis mabuk-mabukan di Kalijodo. Nggak ada yang berani menghalangi juga, soalnya ya nggak mungkin kasih
56 I Jika Kamu Bukan Kamu
Daeng Jamal (kedua dari kiri)
saran yang buruk ke Pak Ahok,” katanya sambil tersenyum. Proses relokasi memakan waktu singkat. Kala itu, Jamal menghampiri warga yang harus dipindahkan dengan sigap. “Pas direlokasi, saya yang data mereka. Kalau masih mau tinggal di sini dan punya KTP Jakarta, nanti dicarikan rusun. Ada sekitar 300 yang mendaftar untuk direlokasi ke rusun. Kalau nggak, ya akan diberikan uang buat balik ke kampungnya.” Usai relokasi, Pemda Jakarta langsung menancapkan palang pembangunan. Desas-desus bahwa Kalijodo akan dijadikan pusat perbelanjaan mewah menyeruak ke tengah publik. Rumor tersebut seketika sirna ketika--dalam hitungan bulan di bawah perintah Ahok--lahan disulap menjadi Ruang Publik Terbuka Ramah Anak terbesar dan termegah seluruh Jakarta. Pengadaan fasilitas megah meninggalkan kekosongan yang besar. Mereka yang direlokasi ke rusun kelimpungan. Hilangnya
Jika Kamu Bukan Kamu I 57
mata pencaharian membuat mereka putus asa. Jamal lagi-lagi
jadi
orang
yang
didatangi. “Habis direlokasi, ada beberapa yang dulunya pemilik kafe datang ke saya. Mereka menangis. Nggak ada kegiatan, katanya. Sekarang tinggal di rusun, tapi nggak ada kerjaan. Akhirnya saya sepakat bantu. Saya belikan minuman-minuman
buat
dagangan mereka. Yang butuh gerobak saya data, lalu saya sediakan. Kalau dulu H Bodong
kan adanya agen minuman keras, sekarang saya agen
minuman-minuman sehat,” candanya. Ibu mengangguk. “Jadi yang dulunya pemilik kafe sekarang kerja sebagai pedagang?” “Ada juga yang akhirnya jadi petugas kebersihan. Misalnya, Haji Bodong. Tadinya dia punya kafe di Kalijodo yang lama. Sekarang dia petugas kebersihan di sini,” lanjutnya. “Dia nggak sedih jadi petugas kebersihan. Malah pernah bilang, ‘kalau nggak karena direlokasi, sampai kapan gue mau hidup dosa terus?’”
58 I Jika Kamu Bukan Kamu
Usaha Jamal memugar kehidupan orang-orang yang dibantunya tidak berhenti sampai disitu. “Saya belikan mereka baju safari, kaus-kaus juga. Jadi ada harinya. Kalau hari tertentu harus pakai safari, kalau hari lain pakai kaus seragam. Supaya secara psikologis mereka senang.” “Merasa jadi bagian dari sesuatu?” tanya ibu. “Iya, mereka jadi bangga,” jawabnya. “Di sini juga saya minta mereka terlibat dalam keamanan parkir buat menjaga motormotor yang diparkir seperti menjaga motor sendiri. Sering kami lihat orang-orang yang meninggalkan kunci motor masih menempel di motornya. Kami ambil, lalu kami proses. Alhamdulillah, dari mulai RPTRA ini beroperasi sampai sekarang, belum ada sekalipun yang lapor kehilangan kendaraan,” ujarnya bangga. “Ini semua pakai duit sendiri, pak?” tanya ibu terkejut. “Iya. Ya, saya anggapnya ini ibadah. Saya mau ajak mereka hijrah, Nggak lagi hidup yang nggak bener.” Kami termenung mendengar sepak terjang Jamal di Kalijodo. Melihat upayanya bahu-membahu dengan Pemda Jakarta dalam menampilkan wajah baru di Kalijodo, dan gairahnya dalam mewarnai aktivitas di Kalijodo, seolah menyiratkan bahwa ia bergerak bersama Ahok. Ketika sang gubernur menurunkan tangan untuk membangun fasilitas megah dan mewah bagi warga, ia menggulung lengannya dan mengisi kekosongan yang ada.
Jika Kamu Bukan Kamu I 59
“Pernah ketemu dan ngobrol dengan Pak Ahok, nggak?” tanya ibu. Jamal menggelengkan kepala, “Nggak. Saya beberapa kali ketemu kalau bapak berkunjung ke sini. Saya yang komando keamanannya. Tapi saya nggak pernah mendekat ke Pak Ahok.” “Kenapa?” “Saya nggak mau cari muka. Ini semua ibadah, bu.” Pembicaraan lalu surut. Beralih dari percakapan panjang kami tentang Kalijodo, saya ajak ibu, Jamal serta pegawai-pegawainya untuk berfoto. Selepas itu Ibu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Jamal seraya berpamitan. Kami berangkat dari rumah dengan bayangan akan bertemu seorang preman. Selepas pertemuan, bayangan itu berubah wujud menjadi seorang penggerak. Pengawas. Namun coba tanyakan Jamal. Ia akan memilih menyebut dirinya sendiri sebagai ‘orang tua dari anak-anak asuhannya’. ***
60 I Jika Kamu Bukan Kamu
ilustrasi
Secuil Hati Ahok di Rusun Cibesel Bagian I Monique Rijkers
“Kami butuh orang-orang yang punya hati” (Basuki Tjahaja Purnama saat sambutan penandatanganan lembaga pemberdayaan masyarakat di rusun dan RPTRA, 18 Oktober 2016)
Cukup mudah menjangkau Rumah Susun Cipinang Besar Selatan (Cibesel) yang terletak di Jakarta Timur. Saat memasuki gerbang,
Jika Kamu Bukan Kamu I 61
bersamaan dengan kendaraan saya ada bus penghubung TransJakarta yang bolak-balik mengantar warga dari rusun ke Cawang, sekitar 3 kilometer dari lokasi. Rabu siang itu, saya ingin melihat kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pemberdayaan warga yang sengaja dilibatkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk membantu memberikan program-program edukatif bagi penghuni rusun. Rusun Cibesel dibangun oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai tempat bagi warga Jakarta yang terkena normalisasi Waduk Pluit, Bidara Cina dan pembangunan Banjir Kanal Timur di area Duren Sawit. Terdapat hampir 2000 jiwa yang menghuni unitunit rusun di lima menara atau tower berkapasitas masingmasing 100 unit. Penanggung Jawab Program Pemberdayaan Masyarakat di Rusun Cibesel adalah Pondok Kasih yang punya banyak program bermutu. Saat saya datang jam hampir menunjukkan pukul 11 siang. sebuah ruangan di lantai dasar tower E dijadikan tempat belajar Kejar Paket A untuk beberapa anak yang sudah tidak dapat bersekolah karena usia mereka sudah melewati batas usia sekolah dasar. Christine adalah tenaga pengajar yang direkrut oleh Pondok Kasih untuk mengajar setiap Rabu dan Kamis serta membimbing anak-anak belajar pada sore hari. Adapun di ruang sebelah, usai Kelas Kejar Paket A, para ibu belajar menjahit sarung bantal, taplak, membuat tas berbahan kain dan barang-baran sejenis. Seorang ibu yang dipanggil Emak Ningsih mengaku sudah bisa menjahit baju gamis dan jilbab sendiri. Meski senang belajar menjahit, Emak tetap merasa memerlukan mentor jahit yang
62 I Jika Kamu Bukan Kamu
bisa mendampingi dan mengarahkan yang bersifat tetap dan kontinu. Kesungguhan para mentor memang sangat diperlukan mengingat kontribusi mereka dalam kegiatan ini hanya berupah standar UMR DKI Jakarta ditambah uang transpor saja. Selain Emak Ningsih ada pula Rose dan Ningsih yang tekun belajar menjahit. Ningsih dengan bangga menunjukkan tas hasil karyanya setelah belajar menjahit selama setahun. Perempuan muda ini mengaku sangat senang bisa mengisi waktu dengan belajar menjahit. Selagi para ibu sibuk belajar menjahit, anak-anak SMP yang baru pulang sekolah dapat mengikuti bimbingan belajar bersama Christine dibantu Priska. Sedangkan Adi mendampingi anakanak usia pra-sekolah yang antusias mewarnai secara mandiri dan rukun tanpa berebut crayon. Markus terlihat menuntun anak yang lebih tua berlatih soal-soal matematika. Aula di lantai dasar rusun menjadi area bimbingan belajar, cukup bermodal karpet dan meja lipat saja. Beberapa anak memilih membaca buku di perpustakaan yang sangat menantikan uluran buku-buku baru. Minat baca rupanya cukup besar di sini sehingga anakanak bosan dengan koleksi buku yang ada. Guna merangsang minat belajar anak, bagi setiap anak yang ikut bimbel atau ke perpustakaan akan diberi stiker absensi dan stiker ini kelak akan dijumlah dan bagi yang rajin disediakan hadiah. Basuki Tjahaja Purnama ingin warga Jakarta menjadi manusia seutuhnya, termasuk penghuni rusun sekalipun. Pemimpin mana lagi yang punya hati seperti ini? ***
Jika Kamu Bukan Kamu I 63
Secuil Hati Ahok di Rusun Cibesel Bagian II Monique Rijkers
Rusun Cibesel bukan hanya memberi kesempatan pada warga untuk melakukan berbagai pelatihan namun juga mengajarkan anak-anak untuk mempersiapkan masa depan melalui kegiatan menabung. Anak-anak amat bersemangat menabung! “Kak, nabung. Aku mau nabung.” Beberapa anak mengerubungi Timotius Mangala dari Pondok Kasih yang akan memasukkan uang mereka ke bank. Menurut Timo, beberapa kali tabungan anak-anak ini diminta oleh orangtua yang sedang benar-benar kepepet. “Saya pinjam dulu tabungan anak saya, tapi jangan sampai anaknya tau ya, kasian,” begitu bujuk ibu yang menarik tabungan anaknya untuk beli beras. Biasanya tabungan akan dikembalikan lagi oleh orangtua agar si anak tidak kecewa. “Jadi, orangtua juga belajar nggak boros”, kata Timo. Usai bimbel, kegiatan masih berlanjut, ada kelas gitar dan tari. Markus dan Laras menjadi mentor gitar. Ada 10 gitar yang disediakan oleh Pondok Kasih untuk anak-anak belajar.
Para
mentor tidak mendapat upah selain pengganti transpor sebesar 150 ribu per kedatangan. *** Kegiatan di Rusun Cibesel berlangsung hingga malam. Jam 19, ada kelas setara SMA yaitu Program Kejar Paket C. Salah satu
64 I Jika Kamu Bukan Kamu
gurunya, Bobby Gafur, mengajar 20 murid, kebanyakan tenaga kebersihan atau Pasukan Oranye yang ingin mendapatkan ijazah SMA agar bisa memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Sayangnya, banyak yang terkendala jadwal pekerjaan (shift malam) sehingga ke depan diharapkan ada Kejar Paket C yang diadakan siang hari. Seluruh upah guru, mentor dan pendamping warga serta bahan ajar seperti Lembar Kerja Siswa (LKS) dalam program ini dibiayai Pondok Kasih. Inilah hebatnya BTP, beliau
mampu menarik
minat lembaga-lembaga sosial untuk membantu program Pemprov dan bukan Pemprov yang membiayai LSM. *** Tentu naïf jika kita tidak mengakui upaya-upaya yang dilakukan oleh BTP dalam memanusiakan warga Jakarta. Bagi warga yang datang dalam keadaan tidak memiliki rumah, tinggal, hidup di rumah susun boleh jadi adalah pilihan terbaik di tengah Jakarta. Namun, tentu mereka yang kehilangan tempat tinggal akibat program pembangunan guna mengatasi banjir atau normalisasi sungai, akan sulit beradaptasi dari lingkungan lama ke lingkungan rumah susun. Seluruh beban yang dirasakan oleh warga inilah yang menjadi kegundahan Ahok. Boleh jadi, salah satu “batu sandungan” BTP dan Djarot Saiful Hidayat adalah relokasi yang dilakukan BTP. Relokasi dari perumahan padat dan rawan banjir ke rumah susun dianggap melawan hak asasi manusia dan menambah beban warga.
Jika Kamu Bukan Kamu I 65
Siapapun Gubernur Jakarta saat ini, pasti kesulitan memilih cara membangun Jakarta bebas banjir tanpa relokasi. Namun sebagai gubernur BTP tetap memikirkannya dan di tengah-tengah itu semua tetap ingat akan program pemberdayaan masyarakat yang juga adalah sebuah keharusan untuk dijalankan. Saat penandatanganan kerjasama antara Pemprov DKI Jakarta dengan delapan lembaga pemberdayaan masyarakat Oktober 2016 silam misalnya, BTP menyampaikan agar di setiap RW di Jakarta ada Ruang Publik Terbuka Ramah Anak (RPTRA). “Setiap rumah tangga punya kesusahan masing-masing. Mereka butuh sharing. Pejabat fokus di sini, jika mau bantu orang naik kelas, di sini. Kami butuh orang-orang yang punya hati.” Itulah BTP alias Ahok. Basuki Tjahaja Purnama ingin warga Jakarta menjadi manusia seutuhnya, termasuk penghuni rusun sekalipun. Pemimpin mana lagi yang punya hati seperti ini? ***
66 I Jika Kamu Bukan Kamu
Terima Kasih, Pak Ahok Nelly Maria Samosir
Saya seorang guru dan karena mendapatkan beasiswa dari Sekolah Guru Kebinekaan (SGK), saya kembali belajar bersama para guru hebat di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat. Jakarta, kota yang sudah tujuh belas tahun saya tinggalkan, dulu semrawut, kotor serta kerap menjadi bulan-bulanan warga daerah lainnya. Kini, Jakarta memikat hati rakyat. Berangkat
menuju
LBH
dari
Karawang,
saya
kadang
menggunakan travel dan turun di Halte Busway UKI Jakarta untuk lanjut ke Halte Bus Carolus, Salemba. Menikmati
Jika Kamu Bukan Kamu I 67
Transjakarta merupakan pengalaman yang mengasyikkan karena tidak sampai dua puluh menit bus sudah tiba dan kita bisa nyaman duduk atau bergelantung karena
bagian
dalamnya kini berAC, bersih dan murah meriah. Bagi saya, seorang guru SD dari daerah, biaya transportasi yang murah dan aman merupakan salah satu faktor utama untuk bisa tetap semangat belajar bersama para guru hebat di SGK. Sekedar catatan, jalur busway tidak dapat dilalui oleh kendaraan lain. Kita bisa dengan bebas menikmati pemandangan yang dilewati TransJakarta dan melihat bahwa
kini semuanya
tertata dengan baik. Lampu-lampu cantik di perempatan jalan menghiasi simpang Rawamangun-Utan Kayu dan perempatan Pemuda-Pramuka. Tidak ada pengemis atau pengamen lagi di sudut-sudut jalan. Di Halte Busway Carolus-Salemba, saya harus turun dan berjalan menyusuri trotoar menuju Jalan Diponegoro. Trotoartrotoar tersebut lebar sehingga aman bagi pejalan kaki. Tidak ada lagi sepeda motor nakal yang suka naik trotoar. Juga tidak ada pedagang kaki lima, atau motor yang parkir sembarangan. Saya menyusuri simpang Salemba-Diponegoro dan berbelok menuju gedung LBH Jakarta. Di sebelah kanan jalan berdiri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), lokasinya berdampingan dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Tampak Pasukan Oranye sibuk menyapu trotoar di depan RSCM serta trotoar dekat kampus dan sekolah yang lokasinya tak jauh dari RSCM.
68 I Jika Kamu Bukan Kamu
Beberapa waktu yang lalu, saya pernah merasa agak terganggu dengan gundukan tanah dari sebuah proyek yang rencananya akan
dijadikan
taman
kota
yaitu
Taman
Diponegoro.
Bagaimanapun, setelah saya amati, air kali lancar dan tidak ada sampah yang terbawa aliran air. Padahal dulu sebelum Ahok menjadi Gubernur DKI, setiap melewati kali tersebut, saya selalu menutup hidung. Taman Diponegoro kini sudah menjadi taman yang indah dan keluarga pasien RSCM seringkali datang ke taman tersebut untuk refreshing. Terima kasih, Pak Ahok. Sungguh, saya bangga di lahir di Jakarta dan teramat bangga melihat kota kelahiran saya diperindah Ahok melalui program-programnya yang mencerahkan. ***
Jika Kamu Bukan Kamu I 69
Jangan Muna, Jangan Omdo Bagian I Trisno S. Sutanto
APA yang sudah dilakukan Ahok tak pernah dapat disangkal Ibu Linda Purba (66 tahun). “Orang harus dinilai dari apa yang sudah dikerjakan, apa yang sudah kita rasakan,” ujarnya saat berbincang santai di Taman Pintar, Jl. Waringin, Kelurahan Kayu Putih. “Bukan soal agamanya atau etnisnya.Jangan muna (munafik) deh.” Bagi Ibu Linda, kerja nyata Ahok sangat terasa di wilayah tempat ia tinggal, tak jauh dari lokasi Taman Pintar. Walau asli dari Sumatera Utara, sejak 1970-an ia tinggal di wilayah itu bersama suaminya yang sudah almarhum, dan keenam putra-putrinya. “Daerah sini dari dulu langganan banjir, Pak,” tuturnya. “Apalagi itu di sebelah. Hujan dikit saja, airnya sudah sepinggang. Namun sejak zaman Pak Jokowi dan Ahok, banjir sudah ditangani. Waduk Rio-rio dikeruk dan kali-kali benar-benar dibersihkan, mereka nggak seperti pemimpin sebelumnya.” Cerita Ibu Linda dibenarkan oleh Ibu Endang Setyawati (63 tahun) yang, sejak 1990-an, tinggal di wilayah yang sama dengan Ibu Linda, bersama suami dan ketiga putra-putri mereka. “Saya menyaksikan sendiri bagaimana Pak Ahok memeriksa kali-kali di sekitar sini,” kenangnya. Dalam salah satu blusukannya, Ahok memang sempat mampir
70 I Jika Kamu Bukan Kamu
Ibu Endang (kiri) dan Ibu Linda di Taman Pintar
di wilayah itu. Beliau disambut dengan sangat antusias oleh warga. Ibu Endang termasuk salah satu yang rela berdesakan agar bisa mendekat dan memeluk tokoh yang dikaguminya itu. “Pak Ahok sampai nggak bisa lewat karena penuhnya warga yang menyambut, dan bajunya basah semua waktu saya peluk,” tuturnya sembari tertawa. “Pak Ahok itu teliti banget. Ia memeriksa kali-kali yang ada di sekitar sini. Juga saat ia mengunjungi Rumah Sakit Omni di Pulo Mas, ia minta saluran air yang ada dikeruk sampai tuntas,” lanjutnya.
Jika Kamu Bukan Kamu I 71
Adapun prestasi Ahok yang membuat Ibu Endang kagum adalah pembenahan transportasi massal. “Sekarang ini sudah sangat enak, tinggal naik TransJakarta bisa ke mana-mana,” ujarnya. “Sudah murah, dingin, nggak macet lagi. Sekarang setiap saya pergi, saya hanya minta diantar ke halte terdekat di Rawasari, lalu sudah aman deh.” Memang Ibu Endang menyesalkan, masih banyak orang berduit yang belum mau pindah dari naik mobil pribadi ke TransJakarta sehingga kemcaetan belum bisa dikurangi. “Perubahan harus pelan-pelan, ya Pak. Nggak bisa sekaligus,” katanya. “Saya sendiri hanya heran, kok ya mau mereka macet-macetan naik mobil.” Nah, itu dia ekspresi rasa puas warga tentang kinerja Ahok di bidang transportasi dan pengurangan titik banjir. Cerita-cerita lainnya bagaimana? ***
72 I Jika Kamu Bukan Kamu
Ibu Titi Daulay
BAGIAN-2 Kita baru saja membaca cerita warga tentang kerja keras Ahok di bidang transportasi dan pengurangan titik banjir. Kini Ibu Linda mengutarakan harapannya agar kelak Pemprov DKI membenahi sertifikat kepemilikan tanah yang sangat dibutuhkan masyarakat di wilayah itu. “Saya sendiri mengalami masalah, karena biaya untuk mengurusnya masih sangat berat,” ujarnya. “Bagaimanapun, dalam hal melayani masyarakat, di kelurahan sudah banyak kemajuan,” lanjutnya. Kemajuan dalam layanan publik di Kelurahan ini juga ditekankan Titi Daulay (44 tahun) sebagai prestasi Ahok yang membanggakan. “Sekarang kalau mengurus surat apa saja di Kelurahan enak sekali. PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) yang diterapkan sejak jaman Pak Jokowi dan Ahok membuat segalanya lancar. Tak ada lagi ‘uang pelicin’ yang dulu sangat
Jika Kamu Bukan Kamu I 73
Ibu Catur di rumahnya
banyak.” Bagi Titi, kebijakan tegas Ahok untuk memberantas korupsi sangat penting untuk didukung. Bahkan perempuan yang masih melajang itu mengusulkan agar kantor-kantor pemerintah seperti kelurahan memasang CCTV di semua ruangan. Perubahan di dalam pelayanan publik itu juga dipuji sebagai prestasi nyata Ahok oleh Ibu Catur Endang Nurhayati (43 tahun). Sebagai Sekretaris RT001/RW02 Kelurahan Jati, ibu dua putraputri itu merasakan langsung berbagai perubahan sebagai hasil kerja Ahok. “Saya kira faktor kepemimpinan Pak Ahok itulah yang sangat menentukan, Pak,” katanya saat ditemui di rumahnya, di Jl Pulo Asem Timur. “Pak Ahok itu tegas, punya visi, dan memang mau
74 I Jika Kamu Bukan Kamu
melayani masyarakat. Lalu ia membangun sistem untuk itu, misalnya lewat aplikasi QLUE.” Ada pengalaman langsung yang membuat Ibu Catur terkagum-kagum sampai sekarang. Beberapa waktu lalu, saluran air di daerah dekat rumahnya perlu dibersihkan dan juga ada sampah menumpuk di sebuah rumah yang tidak berpenghuni. Ibu Catur memfoto lokasinya dan mengirimkannya lewat aplikasi QLUE. Dalam waktu kira-kira satu minggu, PPSU (Petugas Pemeliharaan Prasarana dan Sarana Umum) atau “Pasukan Oranye” segera datang. Mereka membongkar sampah yang menumpuk serta membersihkan seluruh saluran air. “Mereka bahkan masuk ke got-got yang kecil, sampai saya ketakutan sendiri,” ujar Ibu Catur. “Saya bilang ke mereka, ‘Kalau terlalu kecil ya nggak usah.’ Tapi mereka menjawab, ‘Ini masih bisa, Bu.’ Dan mereka bersihkan semua. Profesional sekali kerja mereka.” Yang juga mengagumkan bagi Ibu Catur, semua kerja “Pasukan Oranye” itu dilakukan tanpa harus memberi bayaran ekstra. “Mereka nggak pilih-pilih. Kalau sudah ditugaskan, ya mereka tuntaskan, tanpa minta bayaran ekstra,” tuturnya. “Kalau jaman dulu ‘kan sama sekali beda.” Pemerintahan
yang
cepat
tanggap
terhadap
kebutuhan
masyarakat itulah yang, menurut Ibu Catur, menjadi visi kepemimpinan
Ahok.
Hal
itu
sudah
dibuktikan,
bukan
sekadar omdo (omong doang), dan oleh karena itulah Ibu
Jika Kamu Bukan Kamu I 75
Catur berharap Ahok akan melanjutkan pelayanannya sebagai gubernur hingga tuntas. “Sekarang ini sistem yang dibangun Ahok ‘kan belum utuh, sangat mengandalkan figur Ahok. Lihat saja, begitu ia cuti untuk kampanye, PLT-nya langsung menimbulkan masalah. Ini terasa sampai Kelurahan, Pak,” kata Ibu Catur. “Semoga Ahok terpilih lagi untuk membenahi sistem itu.” Karena itu jangan muna. Juga jangan omdo! Mari benahi Jakarta! ***
76 I Jika Kamu Bukan Kamu
Dua Kesaksian Teman SMA Efron Dwi Poyo
Saya lulusan SMA 1 Yogyakarta
pada 1986. Sekitar satu
dasawarsa dari kelulusan, beberapa teman berkeluarga dan menetap di Jakarta. Dua di antaranya adalah Rudi Rimawan dan Mustiantono. Pada Pilgub DKI Putaran I yang lalu, mereka mengaku memilih Ahok-Djarot dengan alasan yang sangat sederhana, yaitu sudah merasakan sendiri perubahan untuk menjadi lebih baik. Rudi
Rimawan
(https://www.facebook.com/rudi.rimawan),
tinggal di tempat langganan banjir, yaitu Kelapa Gading. Ia tidak percaya ada gubernur DKI yang dapat membuat Jakarta bebas banjir karena Jakarta dilalui 13 sungai besar dan hampir 40% wilayah nyaris sejajar dengan muka air laut dan bahkan beberapa tempat
beberapa di bawahnya. Bagaimanapun, sebenarnya
Jika Kamu Bukan Kamu I 77
ada yang bisa dilakukan: Mengurangi selangkah demi selangkah dampak debit air yang tinggi yang menggelontor ke Jakarta baik dari curah hujan maupun sebagai kiriman daerah lain. Cara menguranginya ada berbagai macam, intinya itu semua harus dilakukan secara berkesinambungan dan konsisten. Upaya yang bisa dilakukan adalah penertiban bantaran sungai, pengerukan sungai, pemberdayaan pompa air, pembersihan gorong gorong dan pengendalian sampah seperti apa yang
dilakukan oleh
Pasukan Oranye Dinas Kebersihan dan Pasukan Biru Dinas Tata Air DKI saat ini. “Jadi, jangan percaya kalau Jakarta bakalan berkurang banjirnya kecuali konsisten
mengontrol apa yang bisa dikontrol dan
Pemprov turun tangan langsung menjalankan apa yang harus dijalankan,” kata Rudi. “Saya mengalami sendiri pengalaman tinggal di daerah langganan banjir. Pemprov sudah on track dalam konsistensi melakukan hal di atas. Tahun 2013, banjir dengan ketinggian sepaha baru bisa normal setelah 3 hari, sekarang 12 jam sudah surut. Ini buktinya.” Pungkas Rudi sambil menunjukkan dua lembar foto. Mustiantono (https://www.facebook.com/mustiantono), ting gal di Jatipadang Utara, punya kisah berbeda tentang rasa puasnya terhadap kinerja Ahok. Ia dan keluarganya mengalami perubahan dramatis sejak Sebagai
Ahok-Djarot memimpin Jakarta.
karyawan di bank swasta, ia merasakan datang
ke kantor kelurahan tidak ubahnya seperti datang ke bank. Semua dilakukan secara profesional dengan sikap melayani. “Ini sangat jauh berbeda daripada masa ‘Pak Kumis’ dan rezim
78 I Jika Kamu Bukan Kamu
sebelumnya,” kata Mustiantono. Zaman itu ia merasa sangat malas untuk datang ke kantor kelurahan karena ketidakjelasan antrean, ketidaktepatan waktu, dan kadang ketiadaan pegawai yang berwenang. Cuti satu hari terpaksa harus diambil jika ia harus mengurus sesuatu di kantor kelurahan. Pada pengalaman terakhir ia pergi ke kantor kelurahan, urusannya terselesaikan dalam hitungan jam. “Next time kalau ada urusan di sini, nggak perlu cuti. Cukup ijin dan koordinasi. Datang agak siang saja barangkali sudah cukup.” ujarnya. Mustiantono juga merasakan perubahan yang sangat kentara di sepanjang jalan Mangga Besar (Ragunan) menuju SMA 28 Pasar Minggu. Saat berangkat kantor ia selalu berpapasan dengan pasukan oranye yang sedang membersihkan selokan. Trotoar pun menjadi bersih dan rapi. Kawasan Pasar Minggu
juga
lebih tertata dan terlihat tertib. Pedagang kaki lima di sekitar pasar dan Stasiun Pasar Minggu tidak lagi memakan jalan untuk berjualan. “Sebelum itu jalannya hanya bisa dilewati satu mobil karena diambil pedagang, itu pun saya harus saingan dengan angkot,” tambahnya. “Sekarang dua arah bisa dilalui dengan lancar,” lanjutnya.
Teman saya ini pun dapat dengan lebih
nyaman pergi berbelanja. “Lebih murah dan meratakan rejeki ke pedagang kecil,” begitu tuturnya menutup kisahnya. ***
Jika Kamu Bukan Kamu I 79
Ahok, Mamak-Mamak, dan Qlue Riris Siahaan
Kalau ditanya siapa yang paling ‘berasa’ dengan perubahan Jakarta, jawabannya adalah Mamak-mamak, lalu anak-anak, kemudian baru yang lain, he…he…he… Mamak-mamak itu kerjaannya banyak, ‘mobilitas tinggi’, istilah kerennya. Ke pasar, ke toko sekedar beli roti atau cemilan anak, antar anak ke sekolah, antar ke tempat les, urusan perbankan, urusan sekolah di luar antar jemput, menemani anak-anak ke toko beli pakaian atau buku, urusan di lingkungan rumah, urusan keluarga besar, pengajian atau kegiatan kumpulan di rumah ibadah, arisan, belum lagi bersosialisasi dengan teman dan ikut senam. Jadi, akses menuju ke tempat-tempat tersebut haruslah nyaman karena dibutuhkan kecepatan dan timing yang tepat kalau tidak mau keteteran. Kalau tidak, bisa dibayangkan mamak-mamak akan ‘merepet’ karena akses mereka terhambat atau sengaja dihambat. Syukurlah, Program Pemda DKI saat ini dirasakan sangat berpihak kepada para perempuan, khususnya mamak-mamak tadi. Ruth, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Kompleks Perhubungan di Jl. Paus, Jakarta, punya beberapa kesaksian mengenai perubahan yang ia rasakan setahun belakangan ini, setelah 15 tahun tinggal di sana.
80 I Jika Kamu Bukan Kamu
Ruth sangat kagum dengan ‘kesaktian’ Qlue. Semuanya berawal dari rasa ingin tahu mengenai apakah aplikasi Qlue benar-benar berfungsi. Ruth iseng melaporkan lampu jalan di depan rumahnya yang sudah 3 tahun mati dan tak disangka, tiba-tiba jam 6 sore petugas datang menindaklanjuti. Tradaaa….!!! Lampu menyala kembali!
Jika Kamu Bukan Kamu I 81
Ketika ditanya Ruth mengapa mereka datang demikian cepat, jawaban petugas adalah,“Gak bisa maen-maen sekarang, Bu. Kalau ada laporan harus segera ditindak lanjuti”. Pelebaran
trotoar
juga
merupakan
suatu
hal
yang
menggembirakan. Ruth kini merasa lebih nyaman dan aman saat mengantar anaknya bersekolah di Tarakanita 5. Trotoar di area tersebut sudah lebih lebar dan pejalan kaki tidak lagi bersaing atau senggolan dengan pengendara motor yang suka sekali berjalan mepet di pinggir jalan.
82 I Jika Kamu Bukan Kamu
Perpustakaan Umum DKI Jakarta yang berada di TIM (Taman Ismail Marzuki) juga menjadi obyek kekaguman Ruth. Ia menyambangi perpustakaan itu untuk pertama kali bersama anak-anak saat mengisi liburan sekolah. Ruth dan anakanak tak menyangka bahwa ruang perpustakaan yang mereka kunjungi ternyata begitu indah, menyenangkan, dan nyaman! Koleksi buku ada banyak, menarik, dan bahkan perpustakaan itu dilengkapi dengan ruang permainan anak. Alhasil, anak-anak Ruth langsung menjadwalkan kembali kunjungan berikutnya ke Perpustakaan Umum DKI itu. Sayangnya, saat-saat ini sepertinya koleksi buku sudah semakin berkurang. Penyebabnya diperkirakan karena tidak ada sanksi yang ketat bagi peminjam yang tidak mengembalikan buku. Ibu Nevy, juga seorang ibu rumah tangga, memberikan usulan yang cukup baik. Ia menyarankan agar data peminjam buku bisa online dengan pemegang KJP sehingga ketika kartu KJP akan digunakan, di layar muncul tulisan bahwa ada ‘tunggakan’ buku.
Peminjam
harus
mengembalikan
buku
sebelum
bisa menggunakan KJP kembali. Semoga saja usul ini bisa dipertimbangkan Pemda DKI. Semoga Jakarta makin menjadi kota yang humanis dan manusiawi di bawah pemerintahan yang fokus memikirkan rakyatnya. God Bless Jakarta, God Bless Badja!! ***
Jika Kamu Bukan Kamu I 83
Saat Ahok Memanjakan Eksportir Friska Medi Pardede
Pada suatu pagi, datanglah tamu pertama kami di kantor. Beliau adalah
Pak Haji Hartoyo, wakil dari PT. Suzuki.
Perusahaan ini berkantor di Cawang, kawasan yang masuk di dalam wilayah kerja kami. Pak Haji mengatakan bahwa baru kali ini beliau mendapatkan pelayanan memuaskan. Saat itu Pak Haji datang pukul 7 pagi dan urusan selesai pukul 8 walaupun ada 80 lembar kertas yang harus ditandatangi IPSKA (Instansi Penandatangan Surat Keterangan Asal). Pak Haji yakin bahwa pelayanan bisa memuaskan seperti itu karena Ahok memberikan kesejahteraan bagi bawahannya. Kami sebagai pelayan selalu mengingatkan para eksportir untuk datang cepat karena di pagi hari kami sudah siap. Tak ada lagi pegawai negeri sipil (pns) yang hadir tepat waktu tapi tak langsung bekerja melainkan sarapan terlebh dahulu sembari ngobrol. Warga harus menunggu lama dan dokumen mereka kerap ‘nyangkut’ ketika tidak memberi tips. Ya kadang terangterangan ada pegawai yang minta, sih. Biasanya, warga menyodorkan 50 ribu rupiah saat ada banyak dokumen mereka yang perlu kami tangani. Kadang sambil bercanda, kami mengatakan,”Nanti kita sama-sama dipenjara lho, hanya gara-gara uang 50 ribu.” Tunjangan Kerja Dinamis (TKD) kami sudah besar dan dengan menunjukkan
84 I Jika Kamu Bukan Kamu
bukti
seberapa banyak dokumen yang diurus dan seberapa cepat kami melayani, kami berhak memperoleh TKD sesuai peraturan yang berlaku. PT Yasulor di Jababeka, Cikarang. Perusahaan ini mengekspor bahan kosmetik untuk merek L’oreal ke beberapa negara Cerita serupa juga disampaikan oleh Firdaus. Ia bisa saja mengurus dokumen di Bekasi namun di sana belum bebas pungli (pungutan liar) dan pelayanannya lama. Adapun pelayanan kami dianggap menyenangkan, gratis, dan cepat. Jadi, walau lokasinya sangat jauh, ia tetap memilih untuk datang ke kantor kami. Warga yang datang banyak yang karyawan rendahan, mereka akan kena hukuman bila terlambat mengurus dokumen. Di masa lampau, keterlambatan terjadi karena kami manja dan merasa harus dihormati. Adapun sekarang ini kami, saya dan
Jika Kamu Bukan Kamu I 85
tim, menyadari betul bahwa orang-orang seperti membutuhkan
pelayanan
menggunakan
udara,
cepat
pengiriman
karena pasti
bila
Firdaus
ekspornya
bermasalah
jika
dokumen terlambat diurus. Kini, kami merasa malu kalau yang dilayani sudah hadir sementara kami masih ngobrol, berhahahihi dengan teman-teman. Jika dibandingkan dengan PNS lain, tingkat kesejahteraan kami jauh di atas mereka. Kami malu dengan TKD yang sudah kami dapatkan. Sebagai tambahan, saya juga menerima permohonan online eksportir. Saya kerap melakukannya di rumah seusai jam kantor. Hal ini meringankan warga karena mereka sudah dapat nomor terlebih dahulu dan bisa mengatur kapan sebaiknya mereka datang ke kantor kami. Mereka merasa sangat tertolong hingga sering terlontar ucapan terima kasih dan kami pun senang melihat mereka merasa sangat terbantu. Hal di atas kami lakukan karena kesejahteraan yang kami terima atas kebijakan Pak Ahok (entah ke mana saja uang itu selama ini), pun karena pimpinan kami sekarang yang bekerja dengan cepat. Beliau adalah Ibu Susan Jasmine, sosok yang pernah heboh diberitakan sebagai Lurah Lenteng Agung dan dulu didemo karena beragama Kristen. Beliau membawa aura yang baik sehingga kami mampu berlari sekencang Pak Ahok. Semoga hal ini akan tetap terjadi di masa yang akan datang. ***
86 I Jika Kamu Bukan Kamu
Ketika Masalah Orang Miskin Selesai Dalam Satu Jam Nicholas Lie
Nama
saya
Nicholas,
anggota Komunitas
Sant’Egidio
Indonesia di Jakarta. Komunitas kami melayani orang-orang miskin dan salah satu hal yang kami lakukan adalah menjalin persahabatan dengan orang-orang yang terpaksa tinggal di jalanan. Setiap Jumat kami mengunjungi mereka dengan membawakan sebungkus nasi. Tanggal 24 Februari 2017, kami menemukan seorang sahabat kami, Ibu Rukmini terbaring sakit di kolong meja. Usia Ibu 64
Jika Kamu Bukan Kamu I 87
tahun dan kondisinya sangat memprihatinkan. Beliau sangat kurus dan dari tubuhnya keluar bau yang kurang enak sehingga orang-orang di sekitarnya tidak mau mendekat. Ia dipinggirkan keluarga dan masyarakat. Sambil menangis, beliau menjelaskan bahwa beliau menderita ambeien dan sudah tidak berdaya. Menurut beberapa orang, sudah ada daging yang keluar dari bagian vital tubuh Ibu. Saya saat itu hanya bisa memberikan semangat. Teman saya, dr. Florentina Anna Suhartini, curiga penyakit yang diderita Ibu adalah kanker serviks. Saya dan teman-teman lalu mencari donatur untuk biaya perawatan Ibu Rukmini namu saat kembali ke lokasi semula, Ibu sudah tidak ada lagi karena telah dibawa ke rumah kontrakan anaknya. Rabu, 1 Maret 2017, saya menjumpai Ibu di kontrakan tersebut. Kondisinya memburuk. Ibu setuju untuk dirawat dan berhubung Ibu adalah warga DKI, saya lalu meminta Gubernur DKI untuk membantu. Dengan bermodalkan kartu keluarga dari Ibu, saya menemui Bapak Basuki Tjahaja Purnama. Saya katakan KTP Ibu hilang dan Pak Ahok langsung meminta asistennya untuk membantu mengurus dokumen yang diperlukan termasuk BPJS. Satu jam setelah itu, saya diSMS petugas kelurahan Keagungan (kelurahan KTP Ibu adalah Keagungan) yang menginformasikan bahwa resi KTP Ibu sudah ada. Lalu saya menanyakan ke asisten Pak Ahok, apakah sudah bisa Ibu dibawa ke puskesmas dan dijawab dengan,”Ya, sudah bisa karena sudah melapor ke Balai Kota.” Saya sangat salut dengan respon cepat dari Bapak Ahok dan asistennya.
88 I Jika Kamu Bukan Kamu
Tidak lama setelah itu, saya ditelpon Ibu Lurah Keagungan yaitu Bu Suspinah. Beliau memberitahukan bahwa Selasa 28 Februari 2017, dua anggota staff RWnya pernah menemukan Ibu Rukmini terlantar di jalan lalu Pak RW, Pak Muchlis, membawa Ibu ke puskesmas. Ibu dirawat oleh dr. Stefano. Penanganan lebih jauh tak bisa dilakukan karena Ibu tidak memiliki BPJS. Ibu Lurah Keagungan lalu mengajak saya bertemu dan setelah berdiskusi, kami pergi ke tempat Ibu Rukmini dengan Bapak Lurah, Ibu Lurah, dr. Stefano dari Puskemas Kecamatan Taman Sari dan anggota staff kelurahan. Setelah melihat kondisi Ibu Rukmini, ambulans segera dipanggil dan Ibu dibawa ke puskesmas. Kebetulan di dekat tempat Ibu ada warga yang
juga sedang
sakit, jadi ia ikut dibawa ke puskesmas. Saat tulisan ini dibuat, Ibu Rukmini telah dirawat di RSUD Cengkareng Saya berharap semoga ibu segera bisa cepat pulih kembali. Saya mewakili Komunitas Sant’Egidio mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Ahok, Bapak Nathanael (Asisten Gubernur), Ibu Suspinah (Lurah Keagungan), Pak Lurah Glodok, dr. Stefano, Pak RW Muchlis, dan semua pihak yang telah membantu dalam menangani pengobatan Ibu Rukmini. Semoga semua yang dengan rela hati bekerja keras bagi warga DKI selalu dilindungi dan diberi kesehatan oleh Tuhan dalam melayani warga. Salut untuk para pelayan masyarakat yang melayani tanpa pamrih. ***
Jika Kamu Bukan Kamu I 89
90 I Jika Kamu Bukan Kamu
LAMPIRAN
Jika Kamu Bukan Kamu I 91
92 I Jika Kamu Bukan Kamu
Jika Kamu Bukan Kamu I 93
94 I Jika Kamu Bukan Kamu
J I K A KAMU
BUKAN KAMU Jika Kamu Bukan Kamu I 95