Hasanah. S
i
Real Friend Apa pun aku dan siapa pun kamu, kita tetaplah sahabat. Selamanya ...
ii
Real Friend Penulis
: Hasanah. S
Penyunting
: Yovie Kyu
Penyelaras akhir
: Hasanah. S
Pendesain sampul
: Hasanah. S
Sumber gambar
: Pixabay.com
Diterbitkan pertama kali oleh : Kyu Digital Books
Q-Writing Consulting Kadumulya No. 35 Cihanjung Kab. Bandung Barat 40559 +62 857 2356 8011 Email:
[email protected]
Cetakan pertama, Mei 2016
Hak cipta dilindungi undang-undang
iii
“Gimana kalau suatu hari nanti ... gue menghilang?” Gadis itu masih memandang lurus ke depan, seolah pertanyaan yang dilontarkan barusan hanyalah pertanyaan retoris biasa. Sulur rambutnya berterbangan mengikuti arah angin yang berhembus lembut di rooftop SMA Karahita, tempat di mana ia berpijak saat ini. Dari samping kentara sekali jika gadis tersebut menarik sedikit sudut bibirnya. Gadis berambut sebahu satunya lagi mengernyitkan kening sesaat, kemudian mengeluarkan tawanya pelan. “Loe?! Pergi?! Imposible banget.” tegasnya sambil membalikkan badan memunggungi gemerlap kota metropolitan dengan segala kemacetannya. “Kenapa?” Gadis yang bertanya tadi ikutan berbalik. Kini mereka samasama menghadap ke barat, melihat seberkas cahaya jingga di langit sana. Gadis berambut sebahu itu tertawa mengejek. “Alasannya simple. Loe nggak akan sanggup hidup jauh dari gue.” “Ckckkkk, PD banget.”
1
“Dihhh ... udah kenyataan keles. Lo nggak bisa menyangkal lagi. Mulut boleh boong, tapi hati nggak.” Gadis berambut sebahu itu menjulurkan lidah, lalu berlalu meninggalkan gadis cantik yang tengah mendesis di belakang. “As you wish ... “ Gadis tadi menghentikan langkah. Berbalik, dan secepat kilat berlari kearah temannya. Melompat kecil, mengalungkan tangan mungilnya pada cekukan leher gadis cantik yang pertama. Mereka tertawa sambil sesekali melayangkan cubitan gemas pada tangan masing-masing. “Masih mau menyangkal lo?” cibirnya kemudian. “Ampun ... Ampun ... Iya, gue ngaku. Gue nggak bisa jauh dari ...” Tanpa sadar, gadis berambut sebahu itu menahan napas menunggu kelanjutan kata-kata apa yang akan keluar dari mulut temannya. “Dari gadis ababil nan cerewet kaya lo... hahaha ...” *** “LORIIII ...” Flora berteriak di sepanjang ujung koridor. Pandangannya menjangkau seluruh sudut tempat yang dilalui. Terkadang Flora menghentakkan kaki kesal karena tak kunjung mendapatkan apa yang ia cari. Dalam hati Flora berjanji, nggak akan melepaskan Lori jika ketemu nanti. “LORIIIII ...” teriak Flora lagi. Ia mana peduli dengan tatapan sinis dari setiap manusia yang berpapasan dengannya. “Bodo amat” Flora mencibir dalam hati. Kini yang terpenting adalah, ia harus menemukan Lori secepatnya. “Lo ... Heuummpttt ...” Seseorang membekap mulut Flora dari belakang. Menyeret Flora pada sudut bangunan yang berada di bawah tangga. Flora yang telah megap-megap kehabisan nafas, meronta meminta pertolongan – entah pada siapa. 2
“Le ... pass ...” Flora menghirup udara sebanyak-banyaknya. Beruntung di dekatnya tak ada pepohonan, sehingga Flora tak perlu repot-repot bersaing dengan tanaman berdaun itu untuk mendapatkan senyawa oksigen. Meskipun pembekapan itu hanya berlangsung beberapa detik, tetap saja Flora merasa sesak nafas. Flora mengepalkan kedua tangan, bersiap menumpahkan seluruh serapah yang ditahannya sejak tadi. Namun kenyataannya adalah; ia malah memekik tatkala berbalik dan melihat si pelaku tengah memandangnya sambil berkacak pinggang. Aliran darah yang telah sampai ke otak, langsung surut ketika melihat wajah si pelaku. “Loriiiii ...” rengek Flora mengeratkan gigi-giginya gemas. “ Rese’ banget sih lo. Kalau gue mati karena jantungan gimana?” “Justru bagus. Biar nggak ada lagi yang nge-toa di siang bolong kaya gini. Lo teriak di koridor aja kedengaran sampe taman belakang. Untung ikan-ikan yang ada di kolam sana nggak mendadak budek denger suara lo.” “Idihhh ... Toa teriak toa.” sunggut Flora tak terima. Lori mendesis. Ia menepis tangan Flora yang kini melingkar di bahunya. “Gue serius Flora Ametisya. Lo nggak malu apa teriak-teriak kaya tadi.” “Ngapain malu? Orang gue nyari sahabat sendiri kok. Atau jangan-jangan ... “ Flora mendekatkan wajahnya pada Lori. Menatap sahabatnya penuh selidik. “Lo yang malu jadi sahabat gue?” Lori yang mulai jengah, memutar bola matanya malas. “Semerdeka lo deh Flo. Tau ah, mending gue ke kelas aja deh. Ntar anak-anak pada ngira gue penganut LGBT lagi, nongkrong sama cabe-cabean dimari.” “What?! Cabe-cabean?! Loriii ... woyy ...” Lori cekikikan. Berpura-pura acuh, dan tetap melangkah kecil menuju kelas meninggalkan Flora dengan serentetan kalimat nyinyirnya. Flora dan Lori memang kerap kali bertingkah absurd, namun di luar itu mereka adalah sepasang sahabat yang sulit dipisahkan. Ibarat sendal; Lori adalah sendal kiri, sedangkan Flora sendal kanan. Dua benda yang penggunaannya tak dapat dipisahkan. Siapa sih tidak 3
mengenal mereka di Karahita, mungkin jika boleh disebutkan - hanya tikus penghuni loteng yang tidak tahu-menahu tentang mereka. Sepasang sahabat yang malah terlihat seperti tokoh kartun Tom and Jerry. “Lo kok nggak cerita sih soal party-nya Revan?” tanya Flora setelah berhasil menyejajarkan langkahnya dengan Lori. “Bukannya lo juga diundang?” Alih-alih menjawab, Lori malah bertanya balik. “Ih, lo itu nggak peka, apa pura-pura polos sih Ri?” “Apaan sih Flo, geje banget deh.” “Sini deh ... Sini!” Flora meraih pergelangan tangan Lori, membawanya pada sebuah bangku yang berada tak jauh dari jangkauan. “Daritadi gue nyari lo tuh bukan nggak ada tujuan Ri, lo-nya aja yang sensi duluan. Jadi, gosip yang gue denger itu hanya sebatas kabar burung, atau emang beneran akan terjadi?” Flora langsung berceloteh. “Lo lagi ngomongin apa sih Flo, gue bingung deh.” Lori menilik jam karet yang berada di pergelangan tangan kirinya. “Masih sepuluh menit lagi. Mending lo kantin deh, dari pada makin ngaco. Yuk! Gue anter.” “Loriii ... gue serius.” “Dan gue nggak paham maksud yang lo bilang serius itu apa? Kabar burung apa? Dan yang akan terjadi apa? Jangan biasakan hidup ribet Flo. Kalau masih bisa ditanyakan langsung, nggak usah muter-muter.” Menghela nafas, Flora memperbaiki letak duduknya. Ia menghadap Lori, kemudian memegang pundak sahabatnya. “Bukan gue yang ribet say, tapi kayaknya memang lo deh yang kudet sampe nggak tahu apa-apa. Tapi seharusnya lo emang nggak perlu tau sih.Ok deh miss simple lanjutkan kebingunganmu.” Bergantian. Kini Flora beranjak meninggalkan Lori dengan sejuta rencana yang bersarang di kepalanya. 4
Manusia tak akan pernah tahu, jika apa yang direncanakan hari ini bisa menjadi bomerang di masa mendatang ... Sama halnya dengan misteri kehidupan, yang terjadi hari ini belum tentu akan terulang kembali di esok hari.
5
Lihat awan di sana, berarah mengikutiku Pasti dia pun tahu. Ingin aku lewati; lembah hidup yang tak indah, namun harus kujalani. Berdua denganmu pasti lebih baik, aku yakin itu ... bila sendiri Hati bagai langit, berselimut kalbu1 ... Flora menghentak-hentakan jari lentiknya pada kemudi mobil. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti irama music yang dinyalakan. Mulutnya komatkamit mengikuti liric lagu yang di dengarkan. Sore ini langit memang tak begitu cerah, matahari bersembunyi malu-malu di balik awan yang berarak keabu-abuan. Ramalan cuaca menyatakan sebentar lagi akan turun hujan. Meskipun demikian Flora tak terpengaruh, suasana hatinya lebih cerah dari sinar mentari sore ini. Berbeda dengan Flora. Di bangku penumpang, Lori tengah dongkol habishabisan. Seharusnya tadi ia sadar, jika aksi sakit perut Flora hanya sebatas actingsaja. Mana ada orang sakit yang masih bisa nyetir sambil geleng-geleng kepala menikmati irama lagu. Parahnya lagi Lori main percaya saja sewaktu Flora mengatakan akan mengirim orang untuk meng-handle pekerjaannya mengambil kue yang dititipkan di warung. Kini berbagai pikiran negatif memenuhi kepala Lori. Bagaimana jika orang suruhan Flora tak berhasil menemukan warungnya? Alamat besok ia tak bisa berjualan lagi karena kehabisan modal. Tiga puluh menit kemudian, audi merah milik Flora memasuki pelataran parkir luas milik Beauty Boutiqe. Setelah membuka sealt belt - Flora memberikan kunci mobilnya pada petugas parkir, kemudian menggandeng tangan Lori memasuki area butik. “Jadi motif lo dari tadi ngerengek-rengek ke gue cuma buat ini Flo? Nemenin lo belanja baju?” 1
Liric lagu “berdua denganmu pasti lebih baik” by: Acha Septriasa
6
Flora hanya mengedikkan bahu. Kemudian tangannya terangkat ketika melihat siluet seseorang yang dikenalnya dengan baik. “Mbak Ochaa ...” teriaknya. Lori yang berdiri di sampingnya otomatis mengangkat kedua tangan, menutup telinganya yang terganggu oleh teriakan Flora. “Lama-lama gue kasih label miss polusi suara ya lo ... Hobby banget teriakteriak.” “Mbak Ocha, pokoknya pilihin gaun terbaik buat sahabat saya yang kecil ini. Sekalian wedges, accesories dan ... Ah ya ... Cluth juga.” Ucapan Flora barusan membuat Lori tercengang. Flora ini kesambet jin ifrit atau bagaimana? Nggak ada angin, nggak ada hujan juga tsunami, main nyuruh orang butik buat milihin dia gaun beserta teman-temannya. Duit dari mana coba? “Bisa sih. Cuma eike nggak bisa janji cepet yacin, masalahnya ...” Pelayan yang dipanggil Mbak Ocha oleh Flora tersebut ternyata wanita setengah tulen. Padahal kalau nggak ngomong dia bener-bener mirip cewek. Ah, kekuatan make up memang amazing. Flora terkikik ketika melihat cewek setengah tulen itu meneliti sahabatnya dari atas hingga bawah. “Ukuran temen yey umayan sulit cinnn... Tipis benget, nggak ada isinya. Punya penyakit anoreksia dia cinnn?” cerocosnya dengan intonasi suara yang dibuat genit. Tawa Flora semakin meledak. Memang sih Lori ini mungil banget. Kalau berdiri berjejer dengan Flora, si Lori hanya sebatas kuping. Tapi baru kali ini ada orang yang ngomong parah tentang Lori. Meskipun ber-body tipis, sebenarnya Lori nggak segitu memprihatinkan. Si cewek setengah jadi itu saja yang berlebihan. “Jangan gitu donk mbak. Liat noh, temen saya udah cemberut tuh, monyong-monyong kaya ikan koki. Hihiiiii ...” “Hustt. Temen sendiri yey katain. Dia itu nggak kaya ikan koki.” “Terus?” 7
“Ikan mujair. Hahaaa ... digeboy, geboy mujair ... nang ning nung... nang ning nung...” Flora semakin terpingkal, membuat sudut matanya berair. Lori yang awalnya kesal dan merasa terpojok, langsung mengalami perubahan mood yang luar biasa. Ia ikut tertawa meskipun samar. Ia memandang Flora cukup lama. Sejak bersahabat hampir selama dua tahun, baru kali ini Lori melihat Flora tertawa lepas, dan ketika mengetahui hal itu karena dirinya membuat Lori sangat merasakan senang. Awan kelabu itu mulai menguak, meskipun hanya mengalami pergeseran yang sangat sedikit. “Udah deh mbak. Mbak Ocha nih kebagusan kalau nyanyi gitu. Ayu tingting aja lewat.” Ucap Flora disela-sela tawanya. “Ciyus cyinnn? Wah moga-moga endong2produser lewat, lalu ngerekrut eike jadi penyanyi. Uhhh senangnya...” Tanpa sadar, si Ocha ngeremas-remas kemoceng yang sedari tadi dipegangnya. Hattt...cimmmmm... “Nah kapok kan daritadi ngecein orang mulu. Gih cepet pilihin gaun yang pas buat teman saya mbak. Keburu malem nih, atau mau saya laporin pak bos?” “Ah yey mah jahat amir sama eike. Dulu aja bilangnya kita cs-an.” sunggut Ocha. Ia melangkah ke depan, menggamit lengan Lori yang masih sedikit heran melihat interaksi Flora dan cewek setengah jadi bernama Ocha. “Kayaknya eike kudu make over temen yey, top to toe deh.” “Sip. Kalau hasilnya memuaskan, saya tambahin fi-nya mbak.” “Wah ciyusannnn cyinnn?” “Huuu, denger duit aja langsung berubah ijo tuh dua bola kembar yang ada di atas idung.” 2
Ada
8
Mbak Ocha mendengus. Lori melepaskan diri dari kungkungan tangan mbak Ocha yang dihiasi oleh kuku panjang kaya kaya kuntilanak. Lori jadi ngeri sendiri ngeliatin. “Flo ini maksudnya apaan sih?” tanya Lori pada akhirnya memilih mengeluarkan apa yang sejak tadi bersarang di otaknya. “Gue cuma mau malam ini lo tampil istimewa di party-nya Revan. Udah deh, lo percaya aja sama mbak Ocha. Dia emang rada liar, tapi nggak gigit kok. Hihiii ... iya kan mbak?” “Terus lo mau kemana?” “Gue ada urusan. Pokoknya lo santai aja sama mbak Ocha. Nanti ada sopir gue kok yang anter lo ke party-nya Revan. Good luck ya...” Lori hanya bisa mengangguk pasrah. *** Ramalan cuaca itu meleset. Hingga senja hilang bergantikan malam, ibu kota tetap tak tersentuh hujan. Justru malam ini bintang-bintang bergemerlapan, bulan juga bersinar terang dan berbentuk bulat sempurna. Gadis cantik bermata hazel meletakkan kembali smartphone-nya di dalam tas, sesaat setelah melihat postingan instagram dari salah satu teman di Karahita. Subuah foto gadis mungil yang nampak cantik dengan dress selutut bermotif bunga matahari. Gadis mungil tersebut berhadapan dengan cowok tampan bintang sekolah. Mereka saling melempar senyum malu-malu. Terhitung sejak malam ini, gadis bermata hazel menyatakan jika misinya telah berhasil. “Mas pulang saja yuk.” Pinta gadis itu sambil menyandarkan tubuhnya pada lengan kekar seorang laki-laki yang nampak dari segi usia sangat terpaut jauh dengannya. ***
9
Ada yang berbeda dengan Karahita pagi ini. Mading besar yang berada di koridor utama dipadati oleh kerumunan siswa. Tidak biasanya mading sekolah selaris itu. Karena penasaran, Flora turut mendekati kerumunan manusia itu sambil memutar-mutar kunci mobil yang berada di tangan kirinya. “Wuihhh ... pada rame nih. Ada apaan?” tanyanya riang. Flora mengernyitkan kening ketika teman-teman yang menyadari keadaannya malah menatap Flora dingin dan sinis. “Wah si pecun sudah datang guys...” teriak salah satu siswa berambut cepak dan bertubuh gempal. Dengan otomatis pusat perhatian kini berpindah pada Flora. “Eh jaga ya mulut lo, ngomong apa loe barusan?!” balas Flora tak kalah tinggi. “Jiah ... sok marah lo pecun.” Tangan Flora telah terangkat ke atas, tetapi diurungkan ketika seluruh siswa membuka jalannya dan menghadapkan Flora pada gambar yang berada di mading sana. Emosinya semakin meledak. Dengan nafas yang memburu Flora menghampiri pusat mading yang penuh akan gambar dirinya yang mengenakan pakaian mini dan sedang bersandar pada seorang laki-laki berusia senja. “Flo gue nggak nyangka kalau lo ternyata seorang pecun. Udah berapa kali lo dipake Flo? Mending sama gue aja daripada sama om-om berperut buncit gitu Flo.” “Woi men, yang model begitu yang duitnya banyak. Emang lo ... si kantong kempes. Hahahaa ...” Flora tak menggubris olokan temannya, ia membuka kaca mading kemudian merobek gambar-gambar tentang dirinya dengan kasar. “Lorii ... Lo nggak mau bantuin sohib lo?” 10
Pergerakan tangan Flora terhenti. Ia berbalik dan mendapati Lori berdiri di sebelah Revan, menatap lurus pada dirinya. Flora serasa mendapat angin segar, setidaknya di antara kerumunan para perusuh itu masih terdapat sahabatnya. Tak apa jika seluruh dunia membenci dirinya, yang penting dia masih memiliki seorang sahabat. “Dia bukan sahabat gue.” Serentetan kalimat dingin itu ironisnya menjelma menjadi bara api yang membakar perasaan Flora tanpa perasaan. “Apa iya Ri? Bukannya semalem lo tampil modis di acara Revan karena dimodalin sama Flora,” “Gue nggak sama dengan dia. Gue kerja keras buat hidup gue sendiri, jualan kue kesana-kemari. Meskipun berpenghasilan kecil, yang penting gue dapet duit halal.Berbeda dengan dia yang menjual dirinya sendiri, hanya karena ingin dapet duit banyak secara instan.” Setetes air suci turun dari kelompak mata Flora. Satu-satunya orang yang ia harapkan berada di pihaknya ternyata memvonis dirinya jauh lebih kejam. Rasa sakit hati Flora ini bertambah beribu-ribu kali lipat. Tak tahan lagi, Flora berlari meninggalkan kerumunan manusia tak berperasaan sejauh mungkin. *** Tak terhitung lagi lamanya Lori bergeming di Rooftop ini. Beberapa minggu yang lalu masih ada seseorang yang menemaninya disini. Seseorang yang menjadi saksi hidup Lori selama dua tahun menjadi penghuni Karahita. Seseorang yang tanpa Lori sadari, menjadi penyemangat hidupnya yang sulit. Menjadi obat ketika ia merasa lelah dan jenuh dengan rutinitas yang ada. Juga seseorang yang sebenarnya telah hidup di hatinya terhitung sejak pertama kali menginjakkan kaki di Karahita. Meskipun nyatanya mereka masih menatap langit yang sama, tetapi situasinya telah berubah. Rasa kecewa itu mengikis rasa sayang Lori pada 11
Flora secara perlahan. Ia merasa dibohongi dan ditipu mentah-mentah. Pantas saja selama ini ia merasa terdapat kabut hitam yang menghalangi interaksinya lebih jauh dengan Flora. “Masih belum mau memaafkan Flora?” Revan mendekat. Ia bergabung dengan kekasihnya yang berdiri di pinggiran pembatas rooftop. “Hidup itu unik ya ... Penuh misteri yang tak terduga datangnya. Di tempat yang sama, dalam waktu yang sama kita bisa bersama dengan orang yang berbeda, Ilustrasinya gini; Di tempat ini, dengan menit yang sama pasti kamu menghabiskan waktu dengan orang yang berbeda-beda. Minggu kemarin dengan Flora misalnya, sedang hari ini – di menit yang sama dengan kemarin, kamu berdiri bersamaku di sini. Yah, siapa yang akan menduga jika minggu yang akan datang, kamu akan berdiri dengan orang yang berbeda pula.” “Apa itu maksudnya, kamu akan ninggalin aku juga?” “Who is now. Jika bukan aku, bisa jadi justru kamu yang akan ninggalin aku. Sama halnya seperti kamu yang meninggalkan Flora begitu saja. Jika pada sahabat saja, kamu setega itu, apalagi sama aku yang hanya sebatas pacar.” “Aku nggak akan pergi dari dia, jika sejak awal dia jujur sama aku Rev.” “Apakah dengan Flora jujur, kamu akan mau berteman dengan dia? Bersahabat dengan dia? Ri, setiap orang punya batas privasi masing-masing. Kamu nggak bisa maksain kehendak kamu agar Flora bercerita tentang seluruh hidupnya dengan detail. Jika sejak awal Flora mengaku, aku yakin kamu juga nggak akan mau berteman dengan dia.” “Memangnya siapa yang mau berteman dengan cewek nggak bener Rev? Sekarang coba kamu posisikan diri kamu jadi aku. Dua tahun Rev... dua tahun aku sahabatan sama dia, dua tahun pula aku bagi hidup aku dengan dia, dua tahun dia bantu aku dengan segala hal. Materi, perhatian juga semuanya. Tetapi nyatanya apa? semua hal itu ia dapatkan dengan jalan nggak bener. Apa kamu akan terima? Aku juga merasakan uang haram itu Rev ... Secara nggak 12
langsung, uang haram itu mengalir ke dalam darah aku Rev.” Lori terisak. Bahunya bergerak naik turun teratur. Ingin rasanya Revan merengkuh tubuh rapuh itu. “Kalau aku jadi kamu, aku nggak akan biarkan keindahan selama dua tahun ini hilang dan lenyap dalam sehari. Memangnya kamu sudah konfrmasi jika berita itu benar? Bagaimana jika hanya gosip belaka. Bisa saja pelakunya adalah oknum nggak bertanggung jawab yang ingin persahabatan kalian hancur.” Kini nada bicara Revan terdengar lebih lembut. “Foto-foto itu sudah membuktikan semuanya.” Jawab Lori skeptis. “Sayang ... Came on. Kamu orang terdekat Flora. Hanya kamu yang ia harapkan berada di posisinya kini. Apa kamu nggak kasian melihat dia berjuang sendiri?” Berdua denganmu pasti lebih baik ... aku yakin itu bila sendiri Sepenggal bait lagu yang sering dinyanyikan Flora kembali terngiang di telinganya. Benar kata Revan, seharusnya ia berada di sisi Flora. Menguatkan Flora di keadaan tersulitnya. “Sebesar inikah sayang aku pada Flora, sehingga dengan mudahnya semua rasa kecewa itu memudar” Lori membatin. “Tingkah kamu yang seperti ini malah membuat orang berpersepsi buruk tentang kamu. Pasti mereka akan berpikir kalau kamu malu temenan sama Flora. Itu artinya mereka juga akan berpikir kalau kamu bukan teman yang baik. Karena meninggalkan Flora disaat keadaannya yang terburuk.” Atau jangan-jangan ... lo lagi yang malu sahabatan sama gue ... Lagi, ucapan Flora kembali terngiang di kepalanya. Bagaikan film yang mengantarkan kembali memori lama ke permukaan. “Lagian aku yakin kok kamu nggak akan setega itu sama Flora. Buktinya kamu masih berdiri di sini. Di tempat yang penuh dengan kenangan kalian berdua.” 13
“Kenapa kamu lakuin ini Rev? Kenapa kamu bela Flora habis-habisan. Apa kamu sebenarnya suka sama dia?” Revan terkekeh. Ia menyentuh puncak kepala gadisnya, ada nada kecemburuan yang Revan tangkap. “Karena aku nggak mau suatu hari nanti, pacarku ini menyesal. Bagaimana jika Flora pergi jauh karena merasa tak aman lagi disini?” Gimana kalau suatu hari nanti ... gue menghilang Lori tertegun. Kini ia sadar mengapa dulu Flora mengatakan hal itu kepadanya. Mungkin sejak awal Flora telah memiliki firasat jika hal ini akan terjadi. Lori semakin tergugu. Ia sadar jika ia telah bertindak bodoh. Flora benar, sebenarnya ia tak bisa hidup jauh dari Flora. “Temui Flora. Jangan biarkan kesalahan sekecil pasir, menghilangkan kebaikan seluas lautan. Flora sudah banyak membantu kamu selama ini. Asal kamu tahu, Flora-lah di balik kesuksesan party aku semalam. Ia yang mengatur sedemikian rupa, agar kamu datang dan aku berhasil menjalankan misi untuk meminta kamu menjadi pacarku.” Lori mengangguk. Air matanya tak terbendung lagi. Ia menggit bibir bawahnya kuat, menahan agar isakannya tak terdengar keras. Setelah ini ia akan berjanji menemui Flora, meminta maaf dan meminta Flora untuk tetap mau menjadi sahabatnya. ***
14
Jangan biarkan kesalahan sekecil pasir, menghilangkan kebaikan seluas lautan.
15
Berteman senja, Flora meringkuk di balik selimut tebal di kamarnya. Ia merenung, meratapi kisah hidupnya yang tragis. Flora merupakan anak tunggal dari pernikahan yang broken home. Papanya selingkuh dengan gadis yang masih sangat belia, meninggalkan mamanya dan Flora yang masih kecil. Kala itu Flora baru menginjak kelas IV SD. Ia mengingat dengan jelas, bagaimana dua tahun berselang, mamanya meninggal bunuh diri dengan cara yang sangat tragis. Gantung diri. Kala itu Flora tak menangis, bahkan satu tetes pun air mata tak keluar dari kelopak matanya. Ia justru menyesalkan keputusan sang mama yang seperti orang bodoh akibat ditinggal suami. Flora benar-benar tak punya tumpuan hidup, di rumah mewah peninggalan mamanya, ia menata hidup baru bersama seorang pembantu dan supir. Beruntung Flora masih diberi bekal harta warisan yang cukup melimpah. Ketika beranjak masuk SMA. Hidup Flora berubah. Perlahan ia kembali merasakan apa itu kasih sayang dari salah seorang yang ia anggap sahabat. Takdir rupanya kembali mempermainkan Flora. Dan kali ini ia tak kuasa untuk menghentikan kesedihannya. Dalam hati Flora membandingkan dirinya dengan senja yang ia lihat dari jendela kamar besarnya. Seperti halnya senja tak akan pernah berlama-lama meninggalkan malam, kebahagiaan juga senantiasa tak menghampirinya dengan jangka waktu yang lama. “Neng, kopernya di bawah sudah siap!” lapor Bi Minah, pembantu yang telah mengasuhnya sejak kecil. Flora mengangguk, menyibak selimut bergambar Marsha and the Bearnya - lalu beranjak menuju lantai bawah. Di sana telah terdapat Mang Udin, dengan sebuah taxi yang menunggu di depan rumah. “Hanya segini aja mang?” tanya Flora. Mang Udin mengangguk. Flora melangkah menuju kaca rias yang berada di balik tembok ruang keluarga. 16
Memperbaiki penampilannya yang sedikit acak-acakan, kemudian meraih sling bag mini yang diletakkan tak jauh dari tempatnya bercermin. “Non yakin mau pergi?” Bi Minah memastikan sekali lagi. Berat rasanya membayangkan rumah sebesar ini tanpa Flora. Pasti akan terasa sangat sepi. “Satu kali lagi bertanya, bibi bakal dapet hadiah piring loh.” candanya sambil terkekeh. “Ah non ini. Masih saja sempat bercanda. Lalu bagaimana dengan non Lori? Kenapa nggak non jelasin saja yang sebenarnya?” Bi Minah memang telah tahu semuanya, karena Flora memang selalu bercerita tentang setiap hal yang dialaminya. “Nggak perlu lah Bi. Flora yakin kok, kalau memang Lori sahabat sejati Flora, dia akan kembali dengan sendirinya. Seorang sahabat akan lebih memercayai sahabatnya daripada orang lain kan Bi?’ “Bibi doakan yang terbaik buat kalian yah.” “Aamiin. Makasih ya Bi ...” “Sama-sama non. Yaudah atuh berangkat, nanti ketinggaan pesawat lagi.” Flora mengangguk, sekali lagi mereka berpelukan cukup lama. “Lo bilang, lo nggak akan pernah ninggalin gue. Tapi nyatanya?” Flora sangat kenal suara itu. Suara yang sudah dipastikan bukan milik Bi Minah, Mang Udin, apalagi sopir taxi yang dipesannya untuk mengantar ke bandara. Suara itu milik seseorang yang berarti baginya. Yang akhir-akhir ini menjaga jarak dengannya. “Loriii ...” Flora berkata lirih. Beberapa kali ia mengucek matanya, sekadar memastikan jika yang berdiri di depan sana adalah benar-benar Lori. Sahabatnya. “Apa pintu maaf udah tertutup buat gue?”
17
Flora semakin tertegun, tatkala Lori semakin berjalan mendekat ke arahnya. “Ri ... gue.” “Maafin gue Flo. Pease!!!”potong Lori cepat. Flora menggeleng, ia pun berjalan mendekat ke arah Lori. Sejurus kemudian ia mendekap erat sahabat yang begitu ia rindukan ini. Mereka terdiam cukup lama. Meresapi kehadiran satu sama lain. Meresapi jika sejatinya seorang sahabat haruslah tetap bersama. Saling percaya satu sama lain. “Nggak ada yang perlu dimaafin Ri. Lo nggak pernah salah. Harusnya gue yang sejak awal jujur sama lo. Gue sama sekali nggak seperti yang kalian fikir. Gue sama sekali nggak pernah ngejual diri. Foto itu memang benar, tapi kenyataan yang sebenarnya bukan seperti itu. kalian salah paham.” “Nggak usah diteruskan Flo. Gue semakin sedih kalau ingat betapa bodohnya gue udah nggak percaya sama sahabat sebaik lo.” Dalam pelukan Lori, Flora tersenyum. Setetes air mata kembali turun ke pipi. Tetapi kali ini, air mata itu bukanlah hadir akibat reaksi dari kesedihan “Baru sadar lo. Dari dulu kemana aja neng?” candanya kemudian. Ia mengusap air matanya sambil terkekeh pelan. “Ah Flora mah ... “ “Gue kan udah bilang, kalau gue nggak bisa jauh dari cewek cerewet dan ababil kaya lo. Hahahah ...” Seperti biasa mereka kembali bercanda satu sama lain. Perang dingin itu telah cair. Tak ada lagi kesalahpahaman, kekecewaan, juga air mata. “Lalu koper itu buat apa? Kamu mau kemana?” “Mau ke Amsterdam. Kan kita libur empat hari. Gue mau cari bokap gue yang kabarnya pindah kesana. Dan cowok yang berada di foto itu adalah teman 18
bokap gue, emang sih orangnya rada genit. Makanya foto itu seolah membenarkan kalau gue emang cewek nggak bener.” Hening sesaat, Lori masih mencerna kata-kata Flora, hingga pada akhirnya. “Bi Minah resek ih. Masa dia bilang kamu mau pindah ke luar negeri, ...” Yang disebutkan namanya hanya terkekeh. Ia kemudian meninggalkan Flora dan Lori yang masih betah berpelukan. *** ~End~
19
Hasanah S. Lahir di kota Situbondo, Jawa Timur. Pada tanggal 1 Juni 1995. Masih berstatus sebagai mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi di UPBJJ-UT-JEMBER. Selain kuliah, dara satu ini juga membagi waktunya dengan bekerja dan menulis. Novel perdananya yang berjudul MY Promise, dapat di download secara gratis di Google Play. Hasanah S. Juga bisa ditemui di blog pribadinya; sariffa.blogspot.com dan wattpad; @Sariffa
20