Valentine’s Phobia Andre Haribawa
A
ku sangat menyukai hal apa pun yang membuatmu bahagia. Jadilah Valentine-ku... datanglah ke Skye Cafe bersamaku Sabtu malam nanti. Aku menyisipkan pesan singkat tersebut di antara untaian bunga mawar yang kubeli di Hayam Wuruk pagi ini. Mawar itu sebanyak tujuh tangkai. Berwarna merah ranum segar. Setiap helai mahkotanya menebarkan aroma wangi yang memabukan. Tangkainya berwarna hijau tanpa duri dengan daun-daunya yang menjuntai. Gadis itu kukenal tiga bulan yang lalu. Dia karyawan baru di kantor. Aku menaruh hati
padanya sejak pandangan pertama. Memang terdengar klasik, tapi itulah kenyataanya. Aku telah jatuh cinta, dan minggu ini merupakan waktu yang tepat untuk menyatakan perasaan yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Valentine’s Day. Bunga mawar merah. Kata-kata romantis. Sebenarnya aku ingin tertawa pada diriku sendiri. Tempo hari aku membaca salah satu buku Harlequen (yang sesungguhnya lebih banyak dibaca oleh kaum hawa), menyontek bagaimana cara pria idaman dalam hal mengutarakan perasaan. Jadi, muncullah ide konyol bunga mawar dan kata romantis itu hari ini.
Menembak wanita pada hari yang dianggap spesial ini mungkin juga sangat kekanakkanakan. Lebih pantas untuk anak seusia SMP atau remaja bau kencur yang ingin mencoba bagaimana rasanya memiliki kekasih. Bukan selayaknya untuk pria dewasa sepertiku. Aku bisa saja (jika aku sendiri memiliki keberanian) menyatakan perasaanku pada Tiara saat gadis itu makan siang di kantin, atau ketika dia berada di mobilku setelah jam kerja usai. Yah, kami berdua selalu pulang bersama. Aku mengantarnya ke rumah di daerah Grogol. Kami juga tidak jarang singgah untuk makan malam di restauran. Atau menikmati indahnya puncak ketika liburan bersama. Tapi, faktanya aku tidak memiliki keberanian sebesar itu. Momen-momen bersama Tiara selalu terlewatkan begitu saja dan hanya berakhir dengan ucapan selamat malam atau sampai bertemu lagi. Aku terlalu takut jika dia justru tidak memiliki perasaan yang sama. Untuk itulah aku lebih baik tidak mengetahui kenyataan sebenarnya. Mungkin aku termasuk pria pecundang. Namun sekarang dengan segenap keberanian yang kumiliki kuletakan rangkaian mawar merah di atas meja kerja gadis itu. Tentu saja dengan sebuah harapan besar ia akan menerimanya. Ruang kantor kami saat itu mulai dipenuhi para staff. Sementara aku sengaja datang lebih awal dan saat ini tengah menantikan kedatangan Tiara. Gadis itu tak kunjung tiba. Demi Tuhan meski tiap hari kami bertemu, namun setiap saat tetap saja aku merindukan wajah dan aroma tubuhnya. Tiara. Gadis itu memiliki bola mata yang indah. Aku tak mampu memandanginya berlamalama jika tidak ingin semakin menderita. Menderita menahan rasa suka yang menyesakan di dalam dada. Aku mulai gelisah. Berkali-kali melihat ke arah meja kerjanya. Mawar itu masih tergeletak di sana dengan posisi diam tak bergeming. Setelah beberapa saat aku menunggu, gadis itu akhirnya muncul dari balik pintu kaca. Tentu saja dengan penampilannya yang selalu membuatku kagum. Meski gadis itu telah menempuh perjalanan dari Grogol sampai kantor ini menggunakan bus way dan berdesak-desakan. Tiba-tiba saja aku ingin mengambil kem-
bali bunga itu ketika melihat dia berjalan ke mejanya. Dia belum melihatku. Biasanya memang aku yang selalu menyapanya lebih dulu, tapi tidak hari ini. Tiara telah mengambil bunganya dari atas meja. Sejenak kuperhatikan ia menyesap aroma mawar tersebut dengan hidungnya yang mungil. Ketika ia menemukan secarik kertas di antara tangkai bunga, jantungku serasa meletup. Ia membacanya. Aku melihat raut wajah itu tibatiba berubah memerah. Sepertinya dia marah. Aku paham sekali reaksi Tiara jika sedang kesal, marah atau senang. Diam-diam aku berharap dia tidak mengetahui siapa pengirim mawar tersebut. Namun sayangnya dia terlalu pintar mencium gerak-geriku yang sejak tadi memerhatikannya dari sudut meja kerja. Tiara berjalan ke arahku dengan rangkaian mawar di tangan kanannya. Aku memilih berpura-pura membuang muka. Jika saja saat ini ada malaikat melintas di hadapanku, mungkin aku akan memintanya untuk mencabut nyawaku sekarang juga. Meski tak memandang langsung ke arah Tiara, namun aku bisa merasakan gelombang amarahnya yang begitu kuat. Seperti badai lautan yang mengamuk. “Billy,” dia memanggil. Suaranya terdengar seperti halilintar di kepala. Aku tahu dia pasti akan menolak. “Apa kamu bisa menjelaskan ini padaku?” Aku diam dan bangkit dari kursi dengan wajah yang sedikitpun tak berani menatapnya. “Itu ... maksudnya mawar itu adalah pemberian dariku,” ujarku dengan suara tertahan di kerongkongan. Tiara menarik napas lebih dalam untuk menahan emosinya sebelum berbicara. “Kamu adalah teman baiku, Billy. Tapi jika kamu pikir aku akan menerimanya... kamu salah besar.” Tiara meremas rangkaian mawar itu, “I HATE VALENTINE!” Tiara membanting mawar pemberian dariku ke atas meja dengan keras. Beberapa kelopak bunganya berhamburan dan terjatuh di lantai. Sungguh aku tak mengira jika dia akan bereaksi semarah itu. Dia berlalu dengan langkah cepatnya. Sementara para kolegaku memandangi kami dengan tatapan keingintahuan mereka. Tidak! Aku tak bisa membiarkannya menumbuhkan rasa benci padaku. Aku harus
mengejar. Aku berlari sembari menyambar bunga mawar yang kini sudah berubah bentuk itu. “Tiara...” aku menghentikan langkah gadis itu dengan mencengkeram lengannya, “heey... kamu sudah salah paham. Ayolah Tiara, don’t be serious... aku menginginkanmu sebagai teman untuk acara valentine nanti, itu saja... tidak lebih,” kataku berbohong dan kembali menyerahkan bunganya. Kening Tiara tampak berkedut-kedut. Nampaknya perkataanku barusan tak mampu membuat dirinya menjadi tenang. “Billy!” Nada suaranya terdengar tingi.“Aku benci Valentine, aku benci semua hadiah-hadiah pemberian hari omong kosong ini!” Bunga itu kini terbang melanting —jatuh di lantai. Ia melemparnya. Teriakan keras Tiara membuat salah satu temannya menghampiri kami. Orang tersebut adalah Yeyen. Ia menyentuh pundak gadis itu, namun langsung ditepisnya. Aku terdiam dan sedikit bergemetaran. Sungguh aku tak menyangka dia akan berkata dengan nada tinggi. Dia kini menangis di mejanya. Aku bisa mendengarkan suara isak itu dari tempatku berdiri. Yeyen sepertinya berusaha menenangkan, akan tetapi sepertinya Tiara ingin sendiri. Semantara orang-orang di sekitar masih menatap kami dengan wajah penuh tanda tanya. * Sesungguhnya aku sendiri lebih tak mengerti mengapa Tiara sampai bersikap seperti itu. Sudah beberapa hari ini ia tak masuk kantor. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya, tapi teleponku tak dijawab. Tiara yang kukenal adalah sosok wanita yang lembut. Ia begitu sopan. Pekerja keras dan disiplin. Masa training-nya di perusahaan kami akan berakhir bulan ini dan aku mendengar jika dia akan dijadikan karyawan tetap. Ia hampir tak pernah berkata kasar —paling tidak di depanku. Baiklah, aku tidak ingin berdiam diri lebih lama. Menunggu Tiara kembali ke kantor dan minta maaf padanya. Setelah mencoba berkompromi dan mendengarkan pendapat Yeyen, aku memutuskan untuk menemui gadis itu di rumahnya. “Kak Billy,” sambut seorang gadis kecil ketika pintu terbuka. Dia Stevi, adik Tiara. Stevi membawaku masuk dan menyuruhku duduk di sofa ruang tamu.
“Stevi senang sekali Kak Billy mau bermain ke sini.” Gadis kecil yang masih duduk di bangku SD kelas enam itu tersenyum lebar. “Terima kasih Stevi cantik,” kataku sebelum duduk. “Kak Billy pasti mau bertemu dengan Kak Tiara, kan?” “Iya, kok Stevi tahu sih?” “Kakak kan ke sini hanya untuk Kak Tiara.” Stevi memang begitu polos. Ia selalu cemburu jika aku hanya menanyakan kabar kakaknya. “Mmm, siapa bilang Kak Billy ke sini hanya untuk Kak Tiara. Kak Billy kan ingin menjenguk Stevi juga. Kak Billy kangen sama Stevi.” “Masa sih, Kak?” tanya Stevi dengan raut wajah riang. Aku pun mengangguk mantap untuk menyakinkannya. ”Iya, serius!” ujarku. “Nah, sekarang bisa nggak Stevi panggilkan Kak Tiara?” Stevi tiba-tiba saja memonyongkan bibirnya. Wajahnya berubah kecut. “Kak Stevi lagi sakit, dia nggak mau diganggu, Kak.” Aku terkejut mendengar perkataannya. Tiara sakit? Apakah penyebabnya kejadian tempo hari? Sebelum aku menanyakan Tiara sakit apa, mama Tiara muncul turun dari tangga. Perempuan paruh baya itu membawa setumpuk gaun dan beberapa bingkai foto. “Kamu berbicara dengan siapa Stevi?”
tanyanya. “Di sini ada Kak Billy, Ma. Dia ingin bertemu Kak Tiara.” Mama Tiara tampak seperti biasa. Ia mengenakan gaun panjang sederhana. Wajahnya mirip sekali dengan Tiara. Apalagi jika memerhatikan bola mata itu. “Waduh, Billy kenapa nggak telepon tante dulu kalau mau ke sini. Kan tante bisa masakin sesuatu buatmu.” Semenjak Kebiasaanku mengantar Tiara pulang sepertinya tidak sengaja membentuk jalinan keluarga antara aku dan keluarga Tiara. Apalagi seringkali aku mengunjunginya menjelang akhir pekan seperti ini. “Nggak usah repot-repot, Tante. Billy ke sini hanya ingin tahu bagaimana kabar Tiara, sudah dua hari dia nggak masuk kerja.” Mama Tiara duduk berhadapan denganku. Ia meletakan semua barang-barang itu di sampingnya. Sebelum berbicara, beliau menyuruh Stevi untuk masuk. Ia menghela napas berat lalu mengatakan sesuatu. “Tiara baik-baik saja Billy, kamu tidak perlu mengkhawatirkannya.” “Tapi, kenapa Tiara tidak masuk kerja, Tante?” Aku bertanya. Mama Tiara menghela napas berat. Ia menunjukan foto- foto Tiara bersama seorang lelaki. Aku mengira laki-laki di dalam foto tersebut adalah saudaranya yang lain. Namun, perkataannya membuatku terkejut. “Itu adalah foto mantan pacar Tiara.” Mama Tiara menunjukannya padaku. Di sana ada Tiara bersama seorang lelaki dengan wajah cukup tampan yang sejujurnya membuat hatiku dibakar api cemburu. Tapi aku mengingatkan kembali pada diriku kalau laki-laki bersamanya sudah berstatus mantan. “Itu berarti mereka sudah berpisah kan, Tante?” aku menegaskan. Mama Tiara diam untuk beberapa saat. Ia menggeser tubuhnya dan tampak semburat kegelisahan dari pancaran wajahnya. “Entahlah Billy, tante sendiri bingung. Sampai sekarang Tiara tidak bisa melupakan masa lalunya. Ia begitu mencintai Ervan.” “Lalu ke mana laki-laki itu, Tante? Kurang ajar sekali dia sampai berani menyakiti Tiara.” “Ervan sama sekali tidak menyakiti
Tiara,tapi dia pergi meninggalkan putriku untuk selamanya.” “Maksud Tante?” “Ervan sudah tiada, Billy.” Hatiku sempat mencelos mendengarnya. Meski Tiara tidak pernah menceritakan masa lalunya padaku. Mama Tiara memungut kembali foto itu dan memandanginya. “Ervan dan Tiara berpacaran selama dua tahun lebih. Kami seperti keluarga. Mereka berencana akan bertunangan. Tapi, malam Valentine itu telah merenggut kebahagian putriku. Ervan mengajak Tiara kesuatu tempat di Bandung untuk merayakan hari kasih sayang. Namun,sebuah kecelakaan telah terjadi. Ketika mereka dalam perjalanan pulang mobil mereka bertabrakan. Tiara cedera... namun Ervan tidak bisa diselamatkan... ” “Itu sebabnya Tiara trauma dan sangat membeci hari Valentine?” “Begitulah Billy. Tiara juga membicarakanmu kemarin.” Aku menduga apa yang dibicarakan mereka adalah kejadian dua hari yang lalu. “Maafkan saya Tante, jika kejadian kemarin telah mengingatkan kembali masa lalu Tiara,” ucapku dipenuhi rasa penyesalan “Kamu tak perlu meminta maaf pada Tante. Tiara hanya ingin sendiri dulu. Sekarang Dia memintaku untuk membuang semua barangbarang ini. Barang-barang ini adalah pemberian Ervan yang masih tersesia.” Aku membaca kesedihan yang terpancar dari wajah Mama Tiara. Aku mendekatinya dan memegang telapak tangannya. “Saya sangat mencintai Tiara, Tante. Saya berjanji akan selalu membuatnya bahagia dan tidak akan pernah meninggalkannya.” * Sabtu pagi aku dikejutkan oleh pesan whatsapp tak terduga. Pesan tersebut adalah dari Tiara. Billy, maafkan aku telah berlaku kasar padamu. Sekarang aku menyadari bahwa merelakan apa yang sudah pergi adalah salah satu cara menghargai masa lalu. Aku tak kuasa menahan rasa senang yang tiba-tiba menjalar daram diriku. Sepertinya Mama Tiara berhasil berbicara dan meyakinkan Tiara.
Aku tersenyum. Mengetikan jari-jariku ke layar handphone untuk membalas pesannya. + Kamu tak perlu meminta maaf padaku Tiara. Akulah yang seharusnya meminta maaf padamu. - Tapi aku telah berkata kasar dan membuang mawar itu. Semua itu karena masa laluku Billy. Dengan cepat aku membalasnya. + Sst... kamu tak perlu mengatakannya lagi padaku. - Aku mohon maafkan aku, Billy. + Baiklah ... dengan satu syarat. - Apa itu? Aku kembali mengetikan jari jemariku. + Malam ini kamu harus menemaniku dinner. Sebelum Tiara marah dengan cepat aku mengetikan kembali dan mengirim pesan berikutnya. + Jangan khawatir ini bukan perayaan Valentine’s Day kok ... hanya makan malam biasa, antara kau dan aku. Bagimana? - Baiklah... Yes! Aku berteriak dalam hati. + Baiklah aku akan menjemputmu malam ini pukul tujuh. * Malam itu Tiara mengenakan dress selutut. Ia tampak lebih cantik dari yang ku tahu. Bibirnya merah dan pipinya merona. Ia mengenakan high heel lebih tinggi dari yang dikenakannya saat di kantor, membuatnya terlihat lebih tinggi dan anggun. Malam itu merupakan malam paling berharga sepanjang hidupku. Ternyata tanpa mengajaknya untuk menjadi princess valentine’s-ku di hari yang begitu spesial bagi sebagian banyak orang ini, justru membuat momen ini lebih bermakna. Ini bukan mengenai Valentine’s Day, tapi bagaimana menunjukan rasa sayangku padanya. “Tahu nggak kalau begini, tadi aku nggak perlu pakai dress segala.” Aku tertawa ringan melihat wajah ngambek Tiara. Meski demikian mulutnya dipenuhi jagung bakar. “Ini namanya anti mainstream.” Dia menyikutku dengan lengan kirinya. “Aku pikir kamu akan mengajaku ke retaurant romantis, tahunya cuma makan jagung bakar dan
duduk di bawah tugu kayak begini.” Aku senang mendengar komentarnya. Seperti itulah Tiara yang kukenal selama ini. Sopan, riang, tapi bawel. Aku tidak ingin mengingatkanya bahwa malam ini adalah hari Valentine. Hampir semua restaurant romantis di Jakarta pasti penuh bookingan dengan pasangan kekasih yang mengawali malam-malam mereka dengan dinner. Dan aku tidak ingin dia teringat dengan masa lalu yang kelam bersama Ervan. “Tapi kamu senang, kan?” tanyaku menggodanya. Aku dan dia saat ini tengah duduk saling berpunggungan di bawah tugu dengan lantai terbuka yang cukup lebar di sudut kota Jakarta. Kami tak menghiraukan orang-orang yang sejak tadi berlalu-lalang. Yang terpenting orang-orang itu tidak sedang merayakan Valentine’s Day. Tiara melepaskan high heel-nya dan meletakannya di samping lutut.Sedangkan menu makan malam kami adalah jagung bakar, dan jus buah. Kami juga sempat menyantap semangkuk bakso sebelumnya. “Enak juga sih, sudah lama nggak makan jajanan pinggir jalan kayak begini. Paling-paling besok pagi tinggal mules-mules.” Sontak tawaku meledak. Jagung bakar yang kukunyah menyembur dari mulut dan tenggorokanku tersedak. Tiara segara memberiku gelas jus jeruk miliknya. Tanpa sadar aku menyesap sedotan bekas bibir Tiara. “Eh, maaf ini punyaku.” Aku segera menangkap tanganya yang ingin mengambil gelas itu dariku. Aku membiarkan mulutku menyesap jus tersebut hingga kosong. Mata kami beradu pandang. Saling diam dalam seribu bahasa. Dalam momen seperti ini bukanlah kata-kata yang berbicara, namun tindakan. Mataku jatuh ke bibir Tiara. Aku ingin mengecupnya. Namun seketika itu juga kami sadar. Ini adalah tempat umum. Tiara memalingkan wajahnya dan kekikukan pun melanda. “Maafkan aku,” kataku lirih. Aku berharap tidak lagi melakukan kesalahan. “Aku yang seharusnya minta maaf, Billy.” Reaksinya membuatku bernapas lega. Sesaat terjadi keheningan. Hanya suara bising kendaraan yang melintas di jalan raya. Mungkin ini bukan tempat dan waktu yang tepat, tapi aku ingin mengatakannya ...
“Tiara ...” “Apa? Jangan bilang kamu ingin segera pergi dari sini. Aku masih menikmati jagungku.” “Aku ... aku ....” Ketika baru saja bibirku ingin mengeluarkan kata-kata tersulit untuk kuucapkan, sebuah mobil berhenti di bibir jalan tepat di hadapan kami. Dari dalam mobil tersebut berhamburan Beny dan Yeyen disusul dua orang lainnya. Mereka berempat dalam sekejap mengerubutiku bersama Tiara. Yeyen dan Sofi seolah merebutnya dariku, sedangkan Beny dan Adam menyerangku dengan sebuah pelukan kasar. “HAPPY VALENTINE’S DAY!” seru mereka dengan nada yang terlampau bersemangat. Beny dan Adam masih menyekapku—membuatku sesak napas. Aku juga melihat Tiara sedang berada dalam pelukan erat kedua temannya. “HAPPY VALENTINE”S DAY Tiaraaa..! Cieee yang udah baikan, sampai ngerayainnya diamdiam nggak ngajak kita-kita.” tawa mereka pun pecah. Oh, tidak! Aku melihat pancaran wajahnya yang memerah. Tubuhnya bergemetaran seperti ketakutan. Aku segera mendorong dan membebaskan diri dari sekapan Beny dan Adam. “Akhirnya kami menemukan kalian, Ibumu bilang kamu akan pergi ke tempat ini bersama Tiara,” tutur Beny dengan riuhnya. “Tiara... Happy Valentine’s ya, ini cokelat dariku.” “Dan Ini dariku,” ujar Sofi tak mau kalah ramai.Ia malah memberinya sebuah boneka. “Ya ampun, aku sangat senang kalian sudah berbaikan, Valentine memang hari penuh cinta.” Kemudian mereka memberondongi Tiara dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tak membutuhkan jawaban. Pada intinya mereka mengira kami telah resmi menjalin hubungan. Aku tak bisa berkata-kata. Sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan, Tiara seperti sebuah bom yang akan meledak. Ia merampas hadiah-hadiah itu dari tangan mereka. Mencabikcabiknya seperti seekor singa menghadapi mangsa. “Aku tidak butuh semua ini! Aku benci Valentine! Aku benci! Aku benci kalian semua ...!” Teriakan Tiara membuat mereka semua tercengang. Suaranya yang begitu keras kini
bercampur dengan isakan tangis. Sementara aku tak bisa meredakan lagi amarahnya. Dia sudah membabi buta seperti kesetanan. Tiara berlari. Aku berusaha mencegahnya namun tak mampu menghentikannya. “Tiaraaa! Tiara!” Aku mengeluarkan suara keras-kera disertai teriakan keempat teman kerja kami. Dia terus menerjang ke arah jalan raya sambil mencabik-cabik boneka pemberian Yeyen. “Tiaraaa! Awaaas...!” Criiit... brak! Terlambat. “Ya Tuhan, Tiara,” pekik Sofi. Pilu. Dalam sekejap orang-orang di sekitar jalan raya mengerubutinya. Aku tak percaya dengan apa yang barusan kulihat. Tubuh Tiara bersimbah darah. Otaku kosong. Tubuhku limbung. Darah di kepalaku terasa turun dengan cepat ke ujung kaki. Detik berikutnya aku sudah tak jelas mendengar teriakan-teriakan teman-temanku. “Ambulance! Cepat panggil ambulance ...! ***