1 Aku dan Dia
Agustus, 2002 Dia seperti pekat bagiku. Kegelapan yang menyimpan seribu misteri. Tetapi, aku menyukai malam yang penuh teka-teki. “Rey... ini Rey, kan?” Keningku berkerut memandang laki-laki yang tepat di depanku “Aku Hawy.” “Rey, kau lupa yah? Kamu ternyata sudah benarbenar melupakanku.” Aku masih termenung mencoba mengumpulkan memori yang ada di pikiranku. Aku coba merangkai serpihan-serpihan masa lalu menjadi sebuah cerita. Seolah tidak peduli dengan rusaknya memori yang ada di ingatanku. “Rey… kau ingat sekarang?” Ya aku ingat sekarang. Empat belas tahun tahun yang lalu, laki-laki ini yang pernah masuk dalam kehidupanku, yang memberikan banyak kenangan dan meninggalkanku begitu saja. Betapa susah aku menghapus dia dari ingatanku. Bertahun-tahun aku mencoba melupakannya. Semua kegiatan aku lakukan hanya untuk tidak mengingatnya.
1
Aku takut sendiri karena kesendirian membuatku semakin merasa kesepian. Rasanya setiap hari ingin aku sibukkan sehingga badanku merasa lelah dan cepat tertidur. Tidak ada waktu lagi untuk memikirkanmu dan meratapi kesedihanku. Namun, laki-laki yang mengoyak harapanku, membuat hatiku mati rasa, sekarang ada di depanku setelah sekian lama. Aku tidak bisa berkata apa-apa, tapi beribu kata banyak di hatiku. Entah apa yang kurasakan hari ini, bahagia, sedih, rindu, cinta, ah semuanya berbaur menjadi satu. Aku menatap Hawy seperti melihat orang asing. Orang yang sama sekali belum pernah aku temui sebelumnya. Ya, karena dia banyak sekali perubahannya. Rambut yang dulu panjang ala rocker kini tertata rapi. Penampilan dari ujung rambut sampai ujung kaki yang terlihat perlente, kerutan dan garis wajah yang semakin menegaskan kedewasaan. Rasanya yang di depanku bukan Hawy yang dulu. Yang aku tidak pernah lupa adalah matanya. Aku paling suka melihat kedalaman matanya. Penuh ambisi, impian, dan harapan-harapan yang indah. Ketajaman mata yang khas, mencerminkan kecerdasan. Hawy memang pandai meyakinkan orang lain melalui matanya. Aku suka sekali melihat matanya, tapi tidak pernah aku utarakan bahkan sampai detik ini pun. “Rey, aku rindu padamu.” Aku terdiam seribu bahasa. Dulu kami bertemu pada saat melihat papan pengumuman untuk kelulusan penerimaan mahasiswa baru di universitas ternama di Kota Bandung, perguruan tinggi yang menjadi incaran semua orang. Kebanggaan tersendiri kalau kita menjadi salah satu mahasiswanya. Lulusan dari
2
sini akan mudah untuk mencari kerja, bahkan rasanya tidak perlu kita melamar ke perusahaan ketika sudah lulus. Biasanya pada saat sebelum wisuda, akan ada job fair untuk merekrut lulusan terbaiknya. Untuk meneruskan kuliah di luar negeri tidak usah diragukan lagi. Dosen-dosennya mempunyai tanda tangan sakti untuk bisa menembus perguruan tinggi di dunia, karena kredibilitasnya yang sudah tidak diragukan lagi. Namun, untuk masuk perguruan tinggi ini tidak mudah. Harus melalui tes yang cukup berat, ditambah lagi pesaingnya itu seluruh anak yang baru lulus SMA di Indonesia atau yang pernah tes tapi gagal, kemudian mengulang lagi ikut tes. Untuk mempersiapkan tes ini, aku betul-betul harus ekstra keras. Selama satu minggu aku nyaris tidak melihat matahari. Mengurung diri di kamar. Orang tuaku sangat mendukung, terutama ibuku dengan setia akan selalu membawa makan pagi, siang, dan malamku. Dengan sabar beliau memperhatikan keadaanku, dan membelai rambutku ketika melihatku sangat letih. Aku melahap semua mata pelajaran yang diteskan. Selain itu, aku juga latihan untuk bisa berbahasa Inggris karena setiap siswa yang diterima harus aktif berbicara bahasa asing. Saat waktu tes tiba, semua orang dirumah sangat sibuk sekali. Adik perempuanku sibuk mencarikan baju yang pantas untuk dipakai pada saat tes. Ibuku menyiapkan bekal untuk makan siang, padahal aku sudah bilang tidak perlu membawa bekal segala. Namun, seperti biasa ibuku akan memaksa. Ya, daripada Ibu marah akhirnya aku membawa bekal makan siangku. Tes ini aku diantar oleh kakak laki-lakiku. Kami empat bersaudara. Kedua kakakku laki-laki. Aku anak ketiga
3
dan adik perempuanku. Kami dari keluarga sederhana, tapi ayah ibuku selalu menekankan walaupun kami bukan dari keluarga berada, tapi pendidikan nomor satu. Baik perempuan atau laki-laki harus menempuh pendidikan yang tinggi. Kalau perlu sampai ke luar negeri, urusan uang biar ayah dan ibu yang memikirkannya, begitu kata ayahku pada satu saat ketika aku menanyakan biaya selama aku kuliah. Selama tes aku mencoba tenang walaupun gugup sekali. Sederet soal-soal yang rasanya tidak terlalu asing bagiku. Aku begitu banyak membaca buku, mempelajari, dan menghafal. Jadi, pada saat mengisi pilihan berganda ini tidak terlalu sulit, hanya beberapa soal saja yang aku ragu tidak bisa mengisinya. Akhirnya tesnya selesai, dan aku bisa menyelesaikan dengan baik, tapi dalam hati tetap merasa tidak yakin. Aku takut tes ini gagal dan mengecewakan kedua orang tuaku yang berharap aku lulus dan bisa kuliah di sini. Setiap malam aku berdoa, semoga hasil kerja kerasku selama ini berbuah manis. Aku ingin membuat kedua orang tuaku bangga. Menunggu pengumuman ini rasanya gelisah sekali, seperti menunggu kekasih untuk kencan pertamanya. Banyak ketakutan yang menghantui. Takut kencannya gagal, takut perasaan cintanya ditolak yang artinya bertepuk sebelah tangan, yang akhirnya berujung kesedihan dan kekecewaan. Setiap malam aku tidak bisa tidur nyenyak, selalu berandai-andai. Terutama mengandaikan kalau aku tidak lulus, apa yang harus aku lakukan untuk menata masa depanku. Akan tetapi aku memercayakan semua kepada pembuat skenario hidupku, apa pun yang terjadi itu yang terbaik untukku. Aku sudah bekerja keras untuk tes ini,
4
setiap hamba-NYA yang berdoa, ikhtiar, pasti dikabulkan keinginannya. Tapi kalaupun tidak berarti itu bukan jalan hidupku. Aku mencoba hatiku mengikhlaskan, menerima apa pun yang terjadi. Dan akhirnya, tibalah saat itu. Aku bergegas ke kampus itu untuk melihat apakah namaku tertera di sana. Dengan perasaan yang tidak menentu, gelisah, aku setengah berlari menuju papan pengumunan itu. Penuh sekali dengan kerumunan orang-orang yang ingin melihat hasil tesnya. Aku agak kesulitan, mengingat tinggiku yang hanya 160 cm. Aku mencoba menerobos ke depan, sesak penuh sekali. Aku berpikir bagaimana caranya aku bisa melihat namaku ada di papan pengumuman. Rasa penasaranku semakin tinggi, hatiku semakin tidak keruan. Menebak-nebak apakah aku lulus atau tidak, apakah namaku ada namanya atau tidak. Namun, aku tidak bisa melihat papan pengumunan itu. Akhirnya aku hanya terdiam di belakang, berharap semoga orang-orang ini cepat meninggalkan papan pengumuman ini. Pada saat itu aku tidak begitu memperhatikan siapasiapa, dan waktu itu aku juga tidak begitu memperhatikan dirimu, karena fokus dengan nama-nama yang tertera, tanpa aku bisa dekati. Aku mengeluh frustrasi. “Ada
namanya?”
seseorang
menyapaku.
Aku
menatapnya, terus terang saat itu aku tidak memperhatikan penampilanmu.
Aku
hanya
langsung
melihat
tinggi
badanmu, mungkin sekitar 170 cm. Aku mulai berpikir untuk memanfaatkan tinggi badannya itu. “Aku tidak tahu, dari tadi aku ingin melihat namaku tapi agak susah, aku sudah berulang kali menerobos, tapi karena badanku lebih kecil agak susah untuk bisa melihat.”
5
“Oke, aku bantu, siapa namamu?” “Rey Deepa,” kataku sambil memberikan nomor pesertaku. Dengan gesit aku melihat laki-laki itu masuk dalam kerumunan itu. Tidak sampai berapa menit aku melihatnya sudah sampai di depan. Tidak lama kemudian, laki-laki itu menyodorkan kertas tertera namaku dan nomor peserta. “Namamu ada.” “Ada?” jawabku agak ragu. “Iya, ini namamu, kan? Aku catatkan sekalian nomor pesertanya.” “Betul ini namaku.” Aku tersenyum lebar, ingin aku berteriak kalau aku lulus menjadi mahasiswa. “Namaku juga ada dan kita satu jurusan,” ujarnya, dengan mata berbinar-binar. Aku tidak menjawabnya karena aku terlalu sibuk memandang nama yang tertera di kertas itu. “Kenalkan, namaku Hawy.” “Aku, Rey.” “Kamu asli Bandung ya?” Sebelum aku menjawab, dia sudah menambahkan, “Terlihat dari logat bicara dan wajahmu.” “Kamu dari mana?” Aku menebak, pasti bukan dari Pulau Jawa seperti dari Sumatra atau Sulawesi. Pokoknya bukan dari Jawa. “Aku dari Sulawesi.” Hawy tersenyum, “Baik, Rey, kita bertemu nanti ya pas perkuliahan.” Belum aku menjawab apa-apa, kamu langsung pergi. Dalam hatiku aku lupa aku belum mengucapkan terima kasih, ah tapi terserah lah. Waktu itu aku tidak terlalu pusing dengan tingkahnya yang cuek dan tidak peduli.
6
Jujur, tidak ada kesan apa-apa tentang dia, dan tidak sama sekali berharap bahwa ternyata dia yang akan mengisi kisah selama kami menempuh perkuliahan. Senin jam 09.00 adalah kuliah pertamaku. Dengan bangga aku memasuki halaman kampus ini. Akhirnya citacitaku tercapai. Ketika SMA, aku selalu sengaja melewati kampus ini. Dalam hati aku selalu mengatakan, Suatu saat aku harus kuliah di kampus ini. Ternyata Allah mengabulkan impian besarku. Aku sangat percaya tentang impian, ada orang bijak bilang seperti ini: “Hati-hati dengan impian luar biasamu, karena satu saat pasti kenyataan.” Hari ini aku bertekad akan kuliah sangat serius. Aku ingin keluar dari kampus ini menggunakan baju toga sebagai wisudawan. Dengan semangat aku segera menduduki bangku pertama. Aku tidak ingin main-main menempuh studi ini. Susah payah aku mengikuti tes yang sangat berat, dari mulai tes potensi akademik, nilai TOEFL yang standarnya sangat tinggi dan kemampuan bahasa Inggris yang aktif. Benar sekali, hari pertama kuliah dengan mata kuliah Finance Management. Dosennya bermata dingin, konon katanya dosen ini killer dan banyak tugasnya. Tidak ada dispensasi untuk tidak masuk kuliah dengan alasan apa pun, dan bisa dengan tega memberikan nilai E kalau salah satu komponen itu tidak dipenuhi. Bu Nita, Kanita Maharani P.hD., lulusan dari Maastricht
University,
yang
merupakan
salah
satu
universitas terbesar di Belanda. Universitas yang usianya sudah 40 tahun, dan banyak melahirkan peneliti yang tidak diragukan lagi kompetensinya.
7
Universitas dengan berbagai disiplin ilmu dengan sistem pendekatan penelitian dan pendidikan. Aku pernah googling universitas ini, dan aku punya impian yang sama ingin mengambil P.hD. di sana, tapi sama sekali tidak tertarik untuk mengambil Finance. Jurusan yang memusingkan menurutku karena sejak sekolah dasar aku sangat membenci angka-angka. Tanpa pembukaan, tanpa basa-basi Bu Nita langsung mencoretkan angka-angka. Time value of money, materi mata kuliah sekarang. Bagaimana perubahan nilai uang, nilai uang sekarang akan lebih berharga daripada nilai uang masa yang akan datang yang disebabkan karena perbedaan waktu. Nilai uang Rp5.000 yang diterima saat ini akan lebih bernilai atau lebih tinggi dibandingkan dengan Rp5.000 yang akan diterima masa yang akan datang. Following is future value formula: FV = PV ( 1 + r ) ^n To simplifly the formula we can use future value table. Following is present value formula : PV = FV ( 1 + r ) ^-n Menjelaskan finance dengan kemampuan bahasa Inggris yang luar biasa. Keningku berkerut, memakai bahasa Indonesia saja aku harus memahaminya dengan ekstra keras. “Hei, you... understand that?” tangannya menunjuk ke arahku. Aku kaget setengah mati, dengan cepat kuanggukkan kepalaku. “Do the exercised in front of the class!” Tuhan…! Aku kan belum mengerti. Aku menatap nanar. Berat kaki ini melangkah ke depan kelas, sambil
8
memegang latihan soal yang diberikan. Aku hanya menatap white board, bingung apa yang harus aku lakukan. “You can’t do that?? Its so simple.” Rasanya, muka ini terasa panas, malu. Entah seperti apa kondisiku saat itu. Tanpa memedulikanku, dosen tidak punya hati itu langsung berkata.. “Send your assigment to my email before 12 AM.” Dengan lunglai, aku berjalan menuju kursi. Rasanya setiap orang menatapku. Dalam hati aku langsung berniat, tidak akan pernah duduk di kursi yang paling depan lagi. Tiba-tiba bahuku di tepuk seseorang. “Cuekin saja dosen galak itu.” Aku menengok ke arah suara itu. Rupanya Hawy. Hatiku agak sedikit tenang. Dia langsung meraih tanganku. “Ayo, ke kantin. Aku lapar.” Aku mengikutinya tanpa berkata apa-apa, seperti anak ayam yang mengikuti induknya. Di kantin karena jam makan siang, penuh sesak dengan mahasiswa dan dosen yang sedang makan siang. Terus terang, dengan kejadian tadi perutku tidak merasa lapar. “Rey, kamu duduk di sini biar saya pesankan makanannya.” Dengan gesit, Hawy menyelinap di antara kerumunan orang-orang yang sudah tidak bisa menahan lapar. Dalam sepuluh menit, sosok jangkung itu datang dan membawa makanan di tangannya. “Eh, sorry, aku tidak bertanya kamu mau pesan makan apa? Aku menebak saja, tidak apa-apa, kan?” Aku masih melongo dengan kesigapan dan spontanitasnya dalam melayaniku. Untuk apa? Di tengah keheranan itu, dia bertanya lagi, “Rey, kamu oke?”
9
“Eh iya, aku nggak apa-apa. Santai aja,” jawabku, setengah gugup. “Tenang, aku bisa membantumu. Tugas bisa kita selesaikan, gini-gini juga aku ahli finance lah. Ayo, cepat selesaikan makannya. Kita ke perpustakaan, pinjam buku, kita kerjakan latihannya di taman saja.” Sampai di taman, Hawy langsung menjelaskan ilmu finance itu dengan kemampuan luar biasa. Dalam hati aku berkata, Coba kalau kamu yang dosen finance, pasti mengerti. “Sekarang coba kamu yang kerjain, Rey.” Aku mengerjakan soal ini, sesuai dengan apa yang dia jelaskan padaku. “Kamu nggak ngerjain?” “Ah, aku sih santai saja, nanti saja aku kerjakan. Aku sedang malas.” Tiba-tiba kami dikagetkan dengan beberapa orang yang aku juga belum begitu mengenalnya. “Hei Hawy ajarin kita juga dong.” Mereka mulai mengelilingi Hawy dan membelakangiku. “Oke, aku ajarin, tapi sudahnya traktir yah.” “Jangankan traktir makan, kita traktir nonton juga deh.” Akhirnya
mereka
berdiskusi
diselingi
dengan
lelucon Hawy dan tertawa yang bergemuruh. Aku hanya terdiam. Aku merasakan ada seseorang yang mendekatiku, kemudian berdiri di sampingku. “Kau sedang mengerjakan tugas finance.” Aku tidak menjawab, hanya memandangnya saja. “Aku tangannya.
Rio, Aku
Rio
Hardianto.”
menatap
Dia
laki-laki
mengulurkan berkacamata.
Dandanannya yang rapi, kemeja, jauh sekali dengan Hawy
10