BAB I AKU DAN DIA Tuing tuing tuing bunyi BBM dari hp ku yang makin ramai karena dari siang sudah mati seperti robot yang keabisan energi. Beberapa bbm broadcase gak penting dan bbm dari Putra ! Yeah, Sabrian Ramadhan Bramaputra pacar tersayang yang kira-kira hampir dua bulan resmi jadian. “jadi nitip hpe blackberry nya?” “jadi dong , demi keseriusan belajar ! nanti aku pakai hpe Nokia aja” jawabku dengan semangat 45 “aku mau kita putus!” “hah ? hahahhahha lucu banget” ku ketik dengan tangan yang setengah gemetar “ga lucu, aku serius” “eh sini deh aku kasih tau, ini sengaja sok-sok ga mood ya ? udah deh ga mempan, sekarang otak aku udah full sama hal yang positif-positif.” aku masih berharap ini semua hanya lelucon di awal senja. “kamu aja sampe rela gak mau pake hpe kamu demi mau serius belajar untuk memperbaiki nilai kamu yang jelek, kamu sadar selama ini kamu main hpe untuk apa ? Cuma untuk BBM sama aku kan ? berarti secara gak langsung aku jadi penyebab rusak nya nilai kamu” “ya ga gitu lah, aku gak mau pakai hpe itu biar aku lebih konsen, biar gak main hpe berlama-lama hanya untuk buka twitter atau buka FB. Ga ada hubungannya sama kamu” “tapi ini salah aku, aku ada dibalik kamu yang sekarang, itu karena aku ! aku nyesel sumpah” “Put ! udah deh sekarang aku lagi down jangan malah kamu tambahin” “ini semua demi kamu” “aku lagi down ! seharusnya kamu bantu aku buat menghibur aku ! buat bantu aku bangkit ! bukan malah ngebuat aku makin ancur” “ini ga akan ngancurin kamu, aku lakuin ini karna aku sayang kamu” “kalo sayang bukan gini caranya !” “ayolah please , ini demi kebaikan kamu”
“enggak ! aku ga mau putus !” “udah terlanjur, kita putus! Aku udah terlanjur jahat sama kamu. Lebih baik kamu nangis sekali ini aja dari pada terus-terusan” “aku masih butuh orang yang sayang sama aku, yang peduli sama aku, yang bantu aku, aku masih butuh kamu banget. Kalo kamu pikir pergi dari aku adalah cara terbaik itu salah. Ada banyak cara orang menghadapi masalah, ada yang bener-bener butuh sendiri, ada yang butuh bantuan orang lain. Dan aku orang yang ke dua” “aku bisa di posisi itu walau aku bukan pacar kamu. Ini hanya akan merubah status kita, aku gak bisa bawa status „pacar‟ tapi aku gak bisa berbuat apa-apa untuk kamu” “terserah ! aku capek ngejelasin, gak tau mau bilang apa lagi. Yang jelas aku gak pernah bilang „iya‟ kalo kita putus” 3 Oktober 2011 , yeah malam itu langit bagaikan runtuh seketika, petir besar yang menyambar otak ini dan sengatan listrik yang membuat seluruh tubuh bergetar tanpa irama yang jelas. Air mata ku jatuh tanpa henti. Aku benar-benar tak tau harus apa dan berbuat apa setelah baca BBM dari Putra. Entah ini antara nyata atau maya, kalau bukan di kosan mungkin aku sudah triak dan nangis sekencang-kencangnya. Entah apa yang salah dari semua ini, entah apa yang sudah berubah dan membuatnya terubah, yang jelas kini ia pergi dengan sebuah alasan yang di anggap mulia baginya, tapi tidak untuku . Aku tak pernah berfikir sedikitpun ingin meninggalkanya dengan alasan yang terlalu clasik. Apalagi mengatas namakan „demi kebaikan‟. Entah lah aku masih sangat berharap bahwa ini hanya mimpi buruk yang sebenarnya tak perlu aku mimpikan. Atau bahkan ini hanya bagian cerita sebuah novel yang tak masuk akal. Dan aku lebih berharap kalo ternyata dia kemasukan setan. Mungkin itu alasan yang lebih masuk akal di banding yang lainnya. Dan seperti biasa, kalau lagi sedih, kamar mandilah tempat yang paling nyaman untuk menangis dan berfikir jangka pendek. Puluhan menit aku habiskan waktu hanya untuk duduk, menangis, berfikir dan membiarkan air mengalir hingga jatuh melewati pipa-pipa kecil menuju tanah. Baiklah sepertinya aku menemukan ide yang tidak begitu jelek untuk beberapa jam kedepan. Aku memutuskan keluar kosan, melewati malam untuk sekedar menghabiskan waktu atau menemukan sesuatu yang bisa mengisi perut yang kosong. Aku berjalan menyusuri malam setelah patah hatiku …. Lagu Sheila on 7 tiba tiba mengusik otaku Tuing tuing tuing bunyi BBM . Mataku langsung tak bertenaga saat melihat kontak BBM Putra yang terpajang jelas di homescreen menunjukan ada pesan masuk.
“dimana?” “makan” ku balas juga dengan singkat “makan di mana?” Tanya nya lagi. “ayam bakar” “ayam bakar dimana?” Aku sengaja tak langsung membalasnya, sengaja. aku tak ingin dia tau di mana aku sekarang. Memangnya dia peduli aku dimana? Dia saja tak peduli bagaimana rasanya jadi aku sekarang. Berjam-jam kemudian …. Tuing tuing .. PING PING PING “dimana? Belum selesai makannya?” BBM Putra yang ke dua kalinya. “baru selesai, otw kosan” “ngapain aja ? kok lama? “makan. Bentar lagi aku ke kosan, nitip hpe” balas ku dengan singkat, bukan sengaja, tapi tangan ini tak kuat lagi harus berlama-lama mencari tombol keypad hpe saat otakku mulai mengingat kalau aku-sudah-putus! Yeah PUTUS ! Dengan sisa tenaga yang ada dan dengan tetasan semangat yang masih tersisa aku melangkahkan kaki menuju kosan Putra yang hanya berjarak dua rumah dengan kosan ku di wilayah Salemba, Jakarta Pusat. Menaiki anak tangga yang cukup tinggi dan bruk menjatuhkan badan ku yang sudah seperti mayat hidup ke kasur busa ukuran single di kamar kos yang tak terlalu besar. Mataku memang sudah terpejam dari beberapa jam yang lalu. BBM terakhir Putra yang masih mengucapkan “Slamat Malam” menutup obrolan yang mulai asing sejak tragedi putus tadi. Yeah lagi-lagi dengan kata PU-TU-S! Mata ku memang sudah beristirahat untuk membaca rangkaian kalimat yang sebelumnya tak pernah aku bayangkan, tapi tidak dengan otak ku . Otak ku terus mencari apa yang harus aku lakukan saat keluar dari kamar ini besok pagi , apa yang akan terjadi jika aku harus melewati hari tanpa dia lagi, dan memoriku makin bekerja ekstra mengingat kenangan beberapa bulan lalu … ***
Sabrian Ramadhan Bramaputra, laki-laki tinggi, berkulit putih layaknya orang Palembang pada umumnya, dengan postur badan yang bisa di bilang ramping, dan tambut kritingnya yang baru mulai mencuat dari susunan rambut yang lainnya. Tahu dia sejak kami sama-sama siswa SMP 9 Palembang tapi kenal dia baru tahun kedua SMA 17 Palembang, SMA negeri yang katanya paling popular se-Sumatra-Selatan. Lebih tepatnya waktu aku harus menjadi partner dia di OSIS . Bahkan aku juga baru tau di akhir tahun ketiga, saat takdir mempertemukan kami dalam 1 kelas yang begitu manis, 12 ipa 1, aku baru tahu kalo ternyata dia satu SD sama aku , lebih spesifiknya letak kelas dia selalu bersebelahan dengan kelasku. Tapi sayang, aku belum kenal dia sebelumnya, ya maklum jaman SD aku masih anak pindahan dari luar kota. Dan sekarang dia punya rencana untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Public di Prancis Dan aku sendiri anak ke tiga dari tiga bersaudara. Berlinda Triandita Ibelle, Anak paling kecil di keluarga, tapi kadang aku ngerasa kalo aku lebih dewasa dari kedua kakak ku. Mungkin karena aku harus terbiasa menyelesaikan masalahku dengan lebih dewasa sejak aku kecil. Orang tuaku terlalu sibuk dengan urusannya. sejak kelas 5 SD ketika anak-anak seusiaku hanya berfikir untuk bermain dan memperebutkan peringkat di kelas, aku sudah harus belajar lebih dari itu . Belajar mengurus masalahku sendiri, mengurus masalah rumah bahkan mengatur pengeluaran belanja setiap bulannya. Mungkin itu semua yang kadang membuat aku berfikir kalau aku sudah dewasa sebelum waktunya. Dan sekarang aku sedang berjuang mendapatkan bangku perguruan tinggi di salah satu Universitas Public di Prancis. Yups aku dan Putra sama sama punya tujuan yang sama, study ekonomi di Prancis. ***
Kring…. Kring… kring… “hemmmm” sapa ku dengan malas. Entah siapa yang pagi-pagi seperti ini menelfon. Bukan karena penelfon dengan nomer asing, tapi karena mata ini yang serasa di lem dengan lem alteko paling top cer hingga tak mampu membuka mata barang sekejap saja. “Belllleee !! Ibelllleee !!!! Bangun !!!!!!” triak suara di sebrang sana. “hemmm siapa ni?” jawabku dengan sedikit tenaga “Kiki woiiii ! nomer hpe gue ga lo save?” “hemmm” “haaa hemm haa hemm doang, BANGUN ! kita ada rapat untuk video documenter angkatan untuk perpisahan dua minggu lagi !!” Triak suara di sebrang yang ternyata ketua seksi Film tahun ini.
“bukannya hari ini Minggu?” “Minggu dari Hongkong ! ini masih Sabtu geblek !” suara yang makin mirip dengan orang kebaran gigi dari pada kebakaran jenggot. “sumpah demi apa?” nyawaku sedikit terisi dan buru-buru liat di layar hpe. Dan benar saja hari ini masih hari Sabtu ! mampus gue ! ternyata hari ini belum waktunya bangun siang. “lo cuma ada waktu 20 menit untuk sampe ke sekolah sebelum gerbang di tutup dan lo mesti berurusan sama guru piket!” Tanpa berpikir 1 2 3 bahkan 4 kali, aku langsung melopat dari tempat tidur dan menarik handuk yang tergantung. Bukan… bukan.. bukan handuk mandi, tapi handuk untuk wajah . Karena biasanya butuh waktu 20 menit untuk mandi pagi, jadi aku lebih memutuskan untuk mencuci muka, gosok gigi, sedikit membasahi bagian tengkuk leher dan mengusap rambut agar sedikit terlihat sudah mandi. Memakai seragam sekolah yang semoga saja aku tak salah pakai karna tak ada waktu lagi untuk mengingat jadwal seragam hari ini. Tak lupa puluhan semprot parfum paling mahal dan paling ampuh untuk membuat sebuah tipuan yang sempurna. “gila lo Belle, 1 menit lagi tu gerbang udah nyatu dan di gembok!” triakan Kiki yang ternyata tak ada bedanya antara Belle yang masih di rumah atau Belle yang udah selamat dari guru piket hari ini. “ya penting gue di sini kan sekarang?” Berlagak sok professional sambil memasang dasi yang belum sempat di lilitkan di leher. “lo wangi pula. Gw kira lo ga mandi. Tapi kayaknya lo fine fine aja kaya biasa” sambung Rama yang entah kapan ada di belakang gue “enak aja lo ! udah ayok masuk .” Aku berjalan di antara Kiki dan Rama, sambil sedikit tersenyum yang mengartikan “baiklah ternyata gue cukup pintar membuat sebuah tipuan mata yang sem-pur-na! bravo !” ***
ini tepat 7 hari setelah rapat terakhir sabtu kemarin, itu berarti tepat juga 7 hari lagi video siap publish , dan itu berarti aku kan terus begadang selama 7 hari kedepan. Aku memang sangat menyukai deni perfileman, terlebih dunia fotografi, dua-dua nya memberikan ku kehidupan yang berbeda. Dan dari dua hal itu aku menemukan banyak hal yang tak pernah aku jumpai sebelumnya, keluarga baru, teman baru, pelajarn baru dan competisi baru. Lebih dari itu, aku mengerti satu hal, bahwa setiap detik yang terekam menajdi sebuah video atau foto akan terus seperti itu, tak akan pernah berubah walau kita mencoba membuatnya sama dan kedua hal itu
adalah saksi mata yak tak pernah bohong. Mungkin kita bisa melupakan sebuah kejadian yang pernah kita alami, tapi dengan video dan foto, kita akan terus mengiat semuanya dengan jelas. Itulah alasan kenapa aku begitu mencintai keduanya. Aku tak ingin melewati barang sedetikpun kejadian penting di hidupku. Termasuk kebersamaan dengan semua orang di sekelilingku. Tak heran aku punya begitu banyak file foto dan video yang tersimpan rapi di hardisk putih kesayanganku. Aku baru saja ingin membuka laptop kesayanganku dan menghidupkannya, tapi pergerakanku terhenti karena lampu LAD kecil yang menyala nyala dari handphone ku. Sebuah pesan baru. “belum tidur ?” BBM dari Putra. Yah beberapa bulan terakhir ini kami sering berkomunikasi terlebih sejak dia mengganti handphonenya yang satu merek denganku, kami jadi sering BBM-an. Untuk alasan yang sederhana, mengisi waktu. Aku tahu dia adalah pacar dari teman sekelasku, Dewi. Lantas kenapa ? tak ada hal yang special yang aku lakukan dengan Putra. Kami hanya bercerita hal yang ringan, bertukar pikiran, membuat beberapa lelucon, tertawa atau bahkan kadang kami berdiskusi tentang banyak hal , diskusi tentang Dewi atau mungkin yang lainnya, tapi tidak tentang masa depan. Karna dia sendiri tak tahu habis ini akan ke mana dan melakukan hal apa . “belom. Biasa sortir video dulu nihh” “bah ini kan udah malem” “udah bisa. Biasa jaga lilin” „hahhaha mana boleh. Cewek tu ga boleh tidur malam‟ „ia bolehnya tidur pagi. Haha. Lo sendiri kenapa belom tidur ?‟ „biasa hpe masih rame‟ „buseettttt gaya banget ! inget woy bini lo di rumah noh. Masih aja BBM junior-junior‟ „yah lo tau sendiri kan, gw sms Dewi juga percuma, pasti ga di bales. Sabar deh gw‟ „hahahha itu sih derita lo‟ Perbincangan pun berlanjut hingga larut malam, dan aku menyelesaikan pekerjaanku sambil di temani berbincangan dengannya. Begitu selanjutnya hinggal hari-hari terakhir menjelang acara perpisahan dan pemutaran video. Dengan semangat-semangat kecil yang dia berikan, dan dengan kepercayaan yang luar bisa, akhirnya aku menyelesaikan video itu tepat pada waktunya. Awal nya aku sedikit pesimis dengan hasil video ini, aku ngerasa ini film terburuk yang pernah aku buat, bukan karena limit waktu yang terbatas, karena aku harus
mengerjakan semuanya sendiri, dan aku juga harus mensortir semuanya sendiri, hal yang hanya difikirkan oleh satu kepala tak akan menghasilkan buah karya yang luar biasa dibandingkan yang di fikirkan oleh banyak ide dari tiap kepala. Tapi karena beberapa kara-kata Putra membuat aku yakin. “ah gue yakin jelek film gue” aku mengadu padanya, aneh memang tapi ya sudah lah. “ga mungkin. gue yakin bagus” “nanti kalo anak-anak ga suka gimana ya?” “hemmm siapa yang berani bilang jelek ? sini gw habisin” „hahahha lebai lo !‟ selalau ada saja hal yang ia lakukan untuk menghiburku.
BAB 2 SELAMAT DATANG JAKARTA
Aku masih berkutat dengan barang-barang pribadiku yang rencananya mereka semua akan ku susun rapi dalam sebuah koper ukuran besar berwarna pink, koper kesayangan ku yang entah sudah berapa kali menemaniku terbang ke banyak tempat di indonesia . Koper itu sudah hampir terisi penuh, hanya tinggal beberapa tumpukan t-shirt dan beberapa kotak berukuran sedang kan belum aku masukan. Sepintas aku melihat lagi 2 kotak berbentuk persegi panjangn dan 1 bujur sangkar. Dengan ragu-ragu aku membuka kotak itu satu persatu. Kotak hitam dengan sedikin disign simple bertuliskan „dyier‟ di atasnya . Aku hampir lupa apa isi kotak-kotak itu, karna sisa waktu di SMA yang semakin padat membuatku tak sempat memberishkan kamar, itu berarti semua barangku terbengkalai. Detik-detik pertama aku membuka kotak itu, entah ada angin apa membuatku diam sejenak. Memandangi beberapa potong wajah yang terlihat dari tumpukan foto box dan tiket nonton 21. Ini kotak tempat aku biasa nonton 21 dengan orang-orang di sekitarku, nonton bareng sahabat, anak-anak FINE, kakak dan orang itu. Tiket terakhir yang mengisi kotak itu, adalah tiket nonton 2 bulan yang lalu, itu berarti sudah hampir 2 bulan aku tidak pernah lagi menonton film terbaru. Diantara tumpukan tiket itu, aku temukan bebrapa lembar hasil foto box yang aku yakin jika semua foto itu di pajang, akan membutuhkan bingkai dengan ukuran besar untuk memuat semuanya. Foto box dari jaman aku masih duduk di kelas 1 SMP, foto box perdanaku dengan sahabat bernama Ishlah . Foto-fotoku ketika aku masih belum memakai jilbab sampai foto terbaruku dengan tampilan terbaru. Tapi tak satupun aku menemukan foto box berdua dengan seorang lelaki. Yah, aku memang sudah berapa kali pacaran, tapi aku masih ingat jelas, tak ada 1 orang pun yang aku ajak berfoto berdua denganku. Jangan tanya kenapa, karena aku sendiri merasa sedikit konyol dengan prinsipku waktu itu, dan kini aku sedikit merasakan penyesalan . Aku tidak punya 1 pun foto box dengan orang-orang yang setidaknya pernah singgah di hati ini. Tokk.. tokk.. tokk.. bunyi ketokan pintu itu membuyarjan lamunankun akan banyaknya ceritan yang sudah aku ukir di kota Pempek ini. „ya masuk‟ jawabku sambil menutup kotak hitam itu „dek ini tiket untuk besok. Langsung masukin tas ya biar besok ga lupa‟ Jawab tante ku yang bekerja di salah satu perusahaan penjualan tiket yang cukup ternama di Palembang. „oh oke tante, nanti aku transefer aja ya‟ „gampang‟ jawabnya singkat. Kali ini ia menutup pintu, membiarkan dirinya masuk kekamarku tanpa aku pinta, ia duduk dan sedikit melirik kea rah koperku
„ga usah bawa banyak-banyak nanti di Jakarta beli baru‟ ujarnya sambil sedikit tertawa „hahah ini juga dikit tante, banyak bawa barang ga pentingnya‟ Jawabku sambil memasukan tumpukan baju yang terakhir. „Jangan kangen Palembang ya, jangan kangen Pempek juga, di Jakarta susah nyar pempek yang enak‟ „haha tenang aja tante, nanti aku buat pempek sendiri biar enak‟ „oke asal jangan sedih aja ya, kan mau pergi‟ itu kata-kata terakhir yang ia ucapkan sebelum mentup rapat pintu dan meninggalkan aku sendiri yang termenung mendengar satu kalimat itu. Sedih ? kenapa sekarang aku terlihat munafik ? aku membohongi diriku sendiri . Aku sedih. Aku sedih . Aku sedih. Berat untukku meninggalkan kota ini, rasanya baru kemarin aku menginjakan kaki di rumah ini, rasanya baru kemarin sore aku membongkar koperku yang aku bawa dari jakarta, dan rasanya baru kemarin malam aku tidur untuk pertama kalinya di kamar ini. Dan bahkan aku baru merasakan beberapa jam yang lalu aku mengenal teman-teman dan sahabatku. Kenapa rasanya baru sebentar sekali . Sejujurnya ada perasaan bahagia di antara rasa sedih ini, aku bahagia karna sebentar lagi aku akan meninggalkan semua masalah di sini, bukan, bukan untuk berlari dari masalah, tapi untuk menghentikan masalah baru. Aku bosan, aku penat, aku tak ingin lama-lama terperangkap dengan banyak kepura-puraan di kota ini. Tapi tak bisa dipungkiri, disinilah akau tumbub berkembang, di rumah ini lah aku merasakan kehangatan sebuah keluarga sangat bernilai mahal, dan di kota inilah aku belajar banyak hal, belajar menang belajar kalah, dan belajar mengalah. Bahkan aku di ajarkan untuk bisa memimpin dan di pimpin . Menemukan keluarga-keluarga baru yang bisa menggantikan sosok keluarga intiku yang entah kemana, sepi dimakan kesibukan masing-masing Aku mengenal sosok muslimah bernama Ishlah, gadis berparas manis bertubuh tinggi semampai dan memakai jilbab. Gadis yang aku temui di kelas 7.3 tahun pertama di bangku SMP. Dia salah satu yang terpintar di kelas, jangan tanya soal bahasa inggris, dilah jagonya. Dari pertama kali mengenalnya aku sudah merasa simpatik dengannya, entah kenapa, ada chemisty tersendiri berteman dengannya. Bahkan hingga detik ini, di masih menyandang sebagai sahabat terbaikku . Banyak cerita tentang kami, bahkan sebuah perbedaan, perdebatan dan permusuhan sempat menghiasi cerika kami. Aku masih ingat bagaimana untuk pertama kalinya kami salah paham dan berantem di masa seragam putih abu-abu. Saat itu kami sudah 2 tahun berada di salam kelas yang sama, dan kami sudah 2 tahun pula menjadi teman sebangku. Mungkin kedekatan itu yang membuat kami merasa saling ketergantungan dan kehilanga satu sama lain jika di antara kami ada yang telihat menjauh. Mungkin lebih tepatnya cemburu dengan teman sendiri . Saat itu aku mungkin sedikit terlihat lebih dekat dengan anak-anak dari kelas lain yang baru beberapa hari masuk di kelas kami, dan Manda, sebutan akrabnya, merasa aku menjauhinya
untuk beberapa alasan. Yang jelas dengan adanya kejadian itu, aku jadi mengerti bahwa ia benera-benar tulus ada di sampingku, dan kami benar-benar saling membutuhkan. Baru saja aku akan menutup koper pink itu, tetapi mataku tertuju dengan 2 kotak yang berada di belakangnya. Tumpukan kotak yang tadi, yang warnah hitam sudah mendapatkan tempat paling atas di koperitu, tidak dengan 2 lagi. Aku hampir saja lupa memasukannya. Tapi sebelum memasukan 2 benda terakhir yang aku bawa, tanpa tujuan yang jelas, ku buka 1 kotak yang lebih besar dari yang lainnya. Dan seketika aku menetaskan air mata. Kotak kardus di bungkus dengan kertas kalender berwarna putih. Didalam nya ada beberapa lipatan kertas yang membungkus isi inti dari kotak itu. 1 pasang frame foto handmade berwarna pink, 1 kaset record dengan cover putih, selembar surat dan pic gitar berwarana putih. Mal-ind. Entah kenapa membaca tulisan itu dadaku sedikit terasa sesak, aku merasakan ada kerikil kecil yang menyumbat saluran pernapasanku. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa malam itu, dengan cepat aku membungkus semuanya dengan rapi, memasukan satu kotak yang tersisa dan menutup koperku rapat-rapat, menegakkannya di samping tempat tidur. Dan memasukan kembali kotak putih itu kedalam lemari pintu tiga di kamarku. Menaruhnya di bagian paling bawah . Aku membiarkan semua kenangan itu tertinggal di kota ini, tak akan ku bawa cerita itu di tampat yang baru. Biarkan semuanya berada pada tempatnya. Biarkan nanti di kota yang baru, aku akan menemukan cerita baru yang aku harap lebih indah. *** Entah jam berapa sekarang, aku mendengar sayup sayup seseorang memanggilku dengan suara yang halus. Aku juga tak tahu itu apa, yang jelas aku merasakan nyawaku di antara dua dunia., nyata dan mimpi. Hingga aku benar-benar tersadar ada sesosok wanita muda di ambang pintu kamarku, memasukan sebagian badannya ke kamarku dan sisanya masih di bagian puntu kamar, mendongakkan kepalanya sambil berkata „Dek bangun, udah siang, nanti ketinggalan pesawat loh‟ Mendengar kata „pe-sa-wat‟ dan „ke-ting-ga-lan‟ membuat kedadaranku pulih lebih cepat dan segera melihat jam dinding yang aku beli di Malioboro menunjukan pukul 10 pagi menjelang siang. Sejenaka ku sedikit merasa lega, karena yang aku lihat bukan jam 1 siang, karna jam 1 pesawatku sudah harus lepas landas. Tapi tunggu sebentra, ini jam 10 dan hanya ada 3 jam lagi sebelum jam 1 dan aku hanya punya waktu 1jam lebih untuk siap-siap dan chek-in . Apa ? 1 jam ? itu berarti aku harus bangun detik ini juga jika tak mamu gagal pergi dari kota ini . Tepat pukul 11.30 aku sudah siap di ruang tamu rumah ku, dengan satu koper besar di ambang pintu, satu ransel berisikan laptop dan beberapa barang lainnya dan satu tas camera kesayanganku, cannon 500d . Aku mengecek sekali lagi barang-barangku, ku pastikan tak ada yang terdinggal, karna aku tak bisa memastikan kapan akan kembali ke Palembang. Mungkin 1 bulan lagi, 2 bulan lagi atau 1 tahun lagi. Entahlah.
„Kak udah. Ayok berangkat‟ Triakku pada kakak perempuanku sekaligus anak tertua di keluargaku. Namanya Eka, perempuan cantik tapi tak terlalu tinggi. Banyak orang yang menyuruhnya mengikuti lomba model catwalk atau bahkan kontes kecantikan, tapi ia selalu menolak . Dia akan berkata “tinggi aku 159 cm. hanya kurang 1 cm untuk memnuhi syarat semua perlombaan itu. Kalian punya obat yang bisa menambah tinggi ? 1 cm saja” Dan kami semua akan tertawa terbahak-bahak ketika mendengar itu. Dia gadis yang pintar, terkadang aku iri pada nya, ia sering mendapatkan nilai baik di kelas, di kelilingi cowok-cowok ganteng yang siap menjadi pacarnya, bahakan mama papa sering kali mengabulkan permintaan-permintaan konyolnya. Apalagi di hari ultang tahunnya, dia akan meminta barang-barang yang cukup mewah bagiku. Yah, selayaknya adik kita hanya bisa melihat dan turut meramaikan suasana saja. Tapi jauh dari perasaan iri yang terkadang muncul, aku sayang sama gadis itu. Beberapa kali ia membelikanku baju, entah dari mana asal uang itu, atau bahakan dia memberiku parfume, lip glosse, bedak, dan alat-alat kosmetik lainnya sewaktu ia masih menjadi member salah satu produk kecantikan . Dia lah tempat aku menceritakan beberapa cerita cinta ku, tempat aku meminjam barang-barang dan baju-baju, walaupun di hari aku mengembalikan barangnya aku sering sekali di mahari, karena barang yang ku pinjam rusak. Tapi apapun itu dia tetap menjadi kakak panutanku . „iya bentar lagi‟ Apa ? sebentar lagi? Sebentar lagi bagi dia adalah sangat lama bagiku, dia bisa menghabiskan waktu berjam-jam di kamar mandi atau waktu untuk make up di kamar. Aku tak tahu pasti apa yang ia kalukan, yang aku tahu semua hal itu menghabiskan waktu yang sangat banyak ! „buruan nanti telat !!!‟ „iya. Bawel !‟ Benar apa kata ku, setengah jam kemudian ia baru keluar dari kamar, dan setangah jam yang lalu aku sudah memasukan semua barang kedalam bagasi mobil, dan aku duduk manis di jok bagian depan sambil mengutak atik handphone ku. Suara pintu mobil yang terbuka, membuatku meninggalkan pandangan dari layar handphone, dan melihat sosok wanita yang sudah aku tunggu dari tadi “lama banget sih . ini udah jam berapa woy‟ ujarku dengan sedikit kesal „santai aja woy, dari rumah kebandara tinggal ngesot, 5 menit nyampe” jawabnya dengan santai “hemmmm buaruan” Untuk sekali lagi aku berpamitan pada orang rumah, mbak rohma yang beberapa bulan terakhir kerja di rumahku dan menyiapkan semua kebutuhanku, mbak Juwita sepupuku dari pihak papa yang sudah 3 tahun tinggal di rumah untuk melanjutkan kuliahnya, Emi sepupuku dari pihak mama yang baru tahun kemarin resmi menjadi penghuni baru dan Mamanya, Tante
Ris. Tante yang cukup bawel untuk urusan bangun pagi dan alaram solat subuh untuk semua penghuni rumah. “Daaaaaaaaaaa” Teriakku dari kaca mobil yang terbuka sambil melambaikan tangan “Dadaaaaa, hati-hati di jalan ya, sukses di sana” “sip laksanakan” Mobil pun berjalan perlahan meninggalkan halaman rumah, ku tutup jendela kaca yang masih sedikit terbuka, menyandarkan tubuh ke kursi yang cukup empuk dan berfikir sejenak dalam hati. Selamat tinggal Komplek Kebun Bungan, selamat tinggal Palembang , slamat tinggal teman. Dan ada sedikit perasaan sedih karena tak satupun aku melihat sosok teman-teman ku di rumah. Apakah tak ada satu orangpunn yang melepas kepergianku ? Ah lupakan, lagipula aku tak ingin menangis lagi, cukup kemarin saat perpisahan dengan mereka semua aku menetaskan air mata .
Aku merasakan ada getaran dari kantung celanaku, dan bisa aku pastikan ada pesan masuk ke hanphone ku. Dan benar saja, ada beberapa sms masuk “di mana ndah?” pesan dari Kiki. Ia memang janji akan kerumah kemarin, tapi ia tak kunjung datang. “dimana mah? Pesan dari Uul. Oh mingkin ibu popot, mama Uul mau menelfon aku karena dari kemarin aku belum sempat pamitan ke beliau. “dimana cin?” Kali ini pesan dari galuh. Ah gadis kecil itu selalu membuat aku kangen Dan beberapa sms atau bbm lainnya yang berisikan kata-kata selamat jalan. Ku balas tiga pesan yang aku rasa cukup penting. Karena gerbang bandara sudah beberapa meter lagi, aku memutuskan untuk mengirim jawaban yang sama ke tiga orang itu “otw bandara, ini udah mau nyampe. Kenapa ? „ Dengan hitungan menit saja, aku sudah berada di depan counter maskapai penerbangan yang akan membawaku ke Jakarta. Menyerahkan koperku dan menerima kertas chek-in. Setelah ini aku akan keluar bandara lagi, menemui teman-temanku. Ternyata mereka semua sudah ada di depan bandara menunggu. SMS yang masuk tadi hanya untuk memastikan aku belum pergi. Ketika aku keluar pintu bandara, aku mendapati mereka semua di sana, beberapa temanteman ku di Kelas XII, kami menyebut diri kami sebagai „anak KIPAS5‟. Disana juga ada galuh, Afif dan Rini. Mereka bertiga membawakan 3 tangkai mawar putih, persis dengan bungan yang aku minta beberapa hari lalu. Tak lama aku mendapati Kiki jalan menuju tempat kami berkumpul. Sahabatku yang satu itu masih sempat mengantar kepergianku walau hanya sebentar. Ia tak ingin menangis di depan ku, ujarnya. Itu yang membuat dia hanya mampir sebentar kebandara lalu pergi lagi. Dan dimana Alma ? tidak kah dia mengantarku untuk yang terakhir ? ah sudahlah, ada banyak teman dan sahabatku di sini. Untuk apa aku memikirkan orang yak tidak ada ?
Tak kuat rasanya memendung air mata di depan mereka semua, akhirnya tumpah juga bendungan air mata yang sudah aku tahan sejak melihat mereka di depan pintu masuk bandara. Isak tangis dan pelukan hangat mengantar kepergianku hari ini. Aku harap kami masih akan bertemu lagi suatu hari nanti. Menit selanjutkan, aku sudah berada di ruang tunggu keberangkatan, teman-temanku mungkin sudah dalam perjalanan meninggalkan bandara ini, dan aku sebentar lagi akan meninggalkan kota ini. Aku terduduk lemas dengan mata merah yang masih berair, memandang hamparan padang rumput yang di landasan pesawat yang melingar-lingkar seolah membentuk formasi. Lamunanku tersadarkan oleh getaran hanphone yang tah henti-henti aku rasakan. Ada super PING dari Putra. „Dimana ?‟ Tanya nya „udah di ruang tunggu‟ jawabku dengan singkat „oh bagus deh, jam berapa berangkat‟ „mungkin sebentar lagi. Put….‟ „ya?‟ “aku nangis lagi . Tadi anak-anak datang ke bandara, ada yang bawa bunga. Dan aku nangis lagi. Cengeng banget ya aku. Padahal kan aku udah janji ga akan nangis lagi” „ya enggak lah. Wajar kali, kalo aku di sana aku juga bakal nangis pasti‟ “oh ya ? nangis kenapa?” tanyaku penasaran “nangis karna kamu belum bayar utang sama aku !” “Hahah dasar orang gilak. Kamu yang banyak utang!” Hahahahaha lagi-lagi laki-laki itu membuatku tertawa dalam sisa tangisku. Menghiburku dengan caranya. Pembicaraa dengannya harus terhenti karena oprator maskapai penerbanganku sudah membangil semua penumpangnya untuk bersiap masuk ke dalam pesawa. Aku mengangkat tas dan mengantri di bagian depan . Masuk ke pesawat. Menacari nomer tempat duduk ku, menjatuhkan badanku ke kursi penumpang dan menandang keluar jendela pesawat. Meyakinka diriku sebentar lagi aku akan meninggalkan kota ini, hidup di tempat yang baru, memang bukan tempat yang asing tapi tempat yang cukup baru. *** Sejam kemudian pesawatku mendarat di Bandara Soekarno-Hata Jakarta. Aku menginjakan lagi kaki ku ke kota ini. Kota yang pernah aku tinggalkan beberapa tahun yang lalu dan kini aku kembali lagi, bukan untuk sekedar liburan seperti yang biasa aku lakukan bersama keluarga, tapi untuk tinggal beberapa bulan demi persiapanku ke Prancis . yeah PE-RAN-CI ! negara impianku.
Aku meunggu barang bagasiku dan mencari taxi kosong yang bisa membawa tubuh ini ke rumah sederhana di kawasan Rawamangun Jakarta Timur. Setelah duduk di taxi, aku baru sadar bahwa aku lupa mengaktifkan kembali handphone ku, ini sudah hampir dua jam ketika aku meninggalkan 14alembang. Aku yakin pasti ada banyak pesan yang masuk . Dan benar saja, sms dari Mama yang bertanya aku sudah sampai atau belum , BBM dari Putra yang bertanya posisiku dimana. Ku balas semua pesan yang masuk, termasuk dari putra. Setelah membalas semuanya, aku membiarkan mata ini terpejam , terasa lelah setelah menangis dan lelah dengan perjalanan ini. Sebenarnya aku sudah biasa Palembang-Jakarta atau sebaliknya sendiri, tapi kali ini aku membawa banyak barang dan sendirian, itu artinya aku menggunakan semua tenaga ku untuk menyeret semuanya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Jalanan Jakarta saat ini masih saja tak berubah, selalu macet, penuh, padat merayap. Tak ada perubahan yang membaik untuk masalah macet di Ibu kota. Alhasil aku baru sampai di rumpah sore hari menjelang Adzan magrib di kumandangkan . Masuk rumah dengan tenaga yang tinggal sedikit lagi, menyeret koper yang berat itu ke dala rumah dan menjatuhkan tubuh ini di tempat tidur di kamar yang tak sebesar kamarku di Palembang. Memandangi kamar baru, melihat keseliling isi rungan , sedikit berbicara dalam hati „baiklah kamar, akan ku percanti kau. Jadilah kamar yang bersahabat untuk beberapa bulan kedepan, sebleum aku menemukan kamar kos yang lebih dekat dengan tempat Campusku nanti. Selamat Datang Jakarta ! Welcome to my new life . *** Dua bulan pertama aku di Jakarta, keseharianku di isi dengan pulang pergi tempat les, aku masih ikut bimbingan belajar yang dulu pernah aku ikuti di Palembang. Memang bukan tujuan utamaku untuk bisa lolos ujian saringan masuk pergutuan tinggi negeri di Indonesia tapi sedikit terasa buang-buang uang jika aku tak melanjutkan bimbingan belajar itu. Namun yang membuat ku makin semangat mengikuti bimbel itu, karena aku satu kelas dengan seorang cowo bernama Kamil. Aku masih ingat jelas bagaimana hari pertama aku masuk kelas, saat ini aku datang lebih pagi, hal yang selalu aku lakukan jika akan memasuki sebuah atmosfer baru. Dengan begitu aku tak akan menjadi pusat pembicaraan orang-orang di sekelilingku. Hari itu aku memutuskan untuk duduk di barisan ke dua bagian depan dari papan tulis, tempat duduk yang paling pas di dalam kelas, bukan menjadi penghuni yang paling serius dan bukan juga menjadi yang paling rebut di deretan belakang. Satu per satu siswa kelas itu masuk, dan beberapa dari mereka mnyadari kehadiranku, siswa asing yang tak pernah mereka kenal sebelumnya. Beberapa dari mereka mengambil tempat tepat di barisan depan bangku ku, ada beberapa cowo yang duduk di sampingku, waktu ini aku belum tahu siapa namanya, tapi hari selanjutnya aku tahu di bernama Ariel Menachem , dia memiliki nama belakang yang agak asing di telingaku. Dan saat itu aku sedikit menemukan kejanggalan , dia memiliki kepercayaan yang beda dengan kami semua yang
ada di ruangan itu. Notabennya ini adalah bimbingan belajar bernuansa Islami, tapi ada satu orang yang mempunya dasar kepercaayan seperti yang lainnya. Memang tak masalah, untuk belajar sesuatu tak mengenal kasta, agama, suku dan bangsa, tapi hal ini membuat aku berfikir kembali, bahwa mingkin benar bimbingan ini sangat baik, bahkan orang lain yang berbeda keyakinan pun berani masuk ke dalam lingkungan yang berbeda dengannya. Dan Kamil, saat itu ia memilih duduk tepat di bangku deretan depan, memang tak tepat di depan tempat duduk ku, dia memilih sedikit ke kanan, sehigga membuat mata ini bisa melihat wajahnya dari sisi samping. Entah kenapa dari pertama kali ia duduk di sana, ia bisa mengalihkan pandanganku dari papan tulis yang telah terisi coretan pagi itu. Manis-gantengputih, menghasilkan perpaduan wajah yang susah di jelaskan denga kata-kata. Detik gerganti menit, menit berganti jam, semakin lama aku semakin menyadari bahwa Kamil memiliki tingkat kepintaran yang cukup baik, bahkan saat itu aku tahu dia adalah anak SMA jurusan IPA tapi dia bisa menguasai dengan baik pelajaran IPS, hal itu makin membuatku kagum dengannya. Hari-hari selanjutnya aku makin semangat datang ke kelas, untuk belajar dan melihat sosoknya dari belakang, cukup dengan melihat siluet tubuhnya, melihat punggungnya dari belakang atau sesekali ia menoleh ke arah ku, semua hal itu membuat ku menemukan sesuatu yang baru. Aku harap itu akan menjadi awal baru yang indah di tempat baru. Jangan panggil aku Belle jika aku tak bisa mendapatkan info lebih tentang dirinya, tanpa harus bertanya dan menurunkan gengsi ku, aku bisa tau dengan cepat ia sekolah di mana, menemukan twitter, facebook dan beberapa social network miliknya, bahkan aku sudah tahu nomer handphone nya. Tapi kelihaianku mencar info tak sepandai nyaliku untuk berkenalan lebih dekat dengannya, setiap hari aku memikirkan cara apa dan bagaimana kau harus memulai. Akhirnya di ujung waktu ku yang semakin sedikit, aku memberanikan mem-follow twitternya, sedikit meninggalkan pesan dengan memention akunnya. Ternyata hal itu cukup membantu, aku bisa ngobrol sedikit-sedikit dengannya, tak masalah buatku setidaknya ia tahu wujudku yang mana, menyadari sosokku di kelas dan tahu nama ku. Itu saja aku rasa cukup. Sekali lagi waktu yang memisahkan sebuah cerita Hari itu hari terakhir kami di kelas, akrena lusa kami sudah akan mengikuti tes SNMPTN , sayangnya dia mendapatkan lokasi yang jauh berbeda denganku, itu artinya ini hari terakhirku di kelas. Aku berharap ada kata-kata manis sebelum kami berpisah dan entah kapan bisa bertemu lagi, tapi tampaknya waktu tak mengizinkan hal itu terjadi, kami keluar kelas seperti biasa, diiringi dengan triakan-triakan kecil penyemangat dan sedikit wejangan-wejangan khas tentor bimbingan belajar itu. Aku melakngkahkan kaki dengan gontai, menuruni anak tangga yang melingkar tanpa semangat, melihat sekali lagi kebelakang, kerumunan orang-orang seusiaku yang masih asik berbincang-bincang dengan teman sebayanya, aku mendapati Kamil di antara mereka. Sambil kupandangi lekat-lekat wajahnya, sambil ku ucapkan kata perpisahan kecil di hati ini. Cukup pengecut memang, aku hanya berani di depan diriku sendiri, tidak di depannya. Tangga terakhipun aku lewati, itu artinya ceritaku di tempat kecil nan sederhana ini akan segera berakhir.
Hanya dalam hitungan bulan aku sudah bisa banyak belajar dari sini, dan dari sini pula cerita pertamaku, ku ukir. Lamunan singkat kali itu tersadarkan oleh getaran dari handphone ku, yang aku rasa ini sudah getaran ke sekian kalinnya. Aku menatap layar dengan seksama. Astaga ada banyak BBM masuk ternyata. Salah satunya dari Putra. Aku sampai lupa kalo dari pagi ketika aku masuk kelas dan sekarang sudah lewat dari jam 12 siang, aku belum mengabarinya. Mengabari ? aku merasakan ada kata yang salah dari kata-kata „meng-a-bar-i‟. Untuk apa aku mengabari Putra ? toh dia bukan siapa-siapa ku, kami hanya dekat karna ketidak sengajaan, aku lupa bagaimana awlanya kita menjadi lebih sering BBM-an dan saling memberi kabar, semuanya mengalir begitu saja. „baru keluar kelas. Hari ini kan hari terakhir, sedih deh ga bisa ketemu Kamil lagi‟ Aku mengetik balasan BBM itu sembari menyebrang dan mencari angkutan umum untuk pulang. Aku memang menceritakan sediikit tentang Kamil ke Putra. Aku rasa Putra sudah bisa dikatakan teman dan calon sahabat, karena mau tak mau sebentar lagi ia akan ke Jakarta, menjadi bagian dari keseharianku , dan akan menjadi satpam pribadiku selama kita masih satu tujuan . Jadi bukan masalah besar jika aku menceritakan tentang Kamil padanya, „Oh kirain kemana tadi‟ „eh aku naik angkot dulu y, nanti aku kabarin lagi‟ „oke‟ Aku memasukan handphone ku ke kantung jelana jins ku, berdiri menunggu angkutan yang lewat dan menit selanjuntnya aku sudag tiba di rumah. Menyiapkan segala keperluanku untuk 2 hari lagi, tepat hari tes SNMPTN . Apa pun hasilnya nanti, tak akan mengubah keputusanku untuk pergi merantau ke benua sebrang, Eropa-Perancis. *** SNMPTN pun sudah berlalu, selesai sudah perjuangan belajar mata pelajaran segitu banyak. Putra pun sudah beberapa bulan yang lalu tiba di Jakarta, menyewa 1 kamar kos di kawasan Salemba- Jakarta Pusat, sekitar 5 menit berjalan kaki ke Campus kami, Central Cultural Francais yang sekarang berganti nama menjadi Institut Francais en Indonesie (IFI). Aku masih sangat ingat dengan jelas bagaimana kami datang ke tempat itu untuk pertama kalinya, saat itu aku masih tinggal di rumah di daerah rawamangun , dan seperti biasa aku meminta Putra untuk datang sebelum jam 8 pagi, agar kami masih sempat mencari ruangan kelas dan mengambil buku pelajaran. Saat itu kami duduk di bangku depan ruang sekertariat pendaftaran, munggu ruangan itu di buka, aku melihat kesekeliling koridor, ada beberapa orang yang sedang berdiri tanpa tujuan yang aku tak tahu pasti, mungkin sama dengan kami yang akan masuk ke ruang sekertariat. Salah satu di antara mereka, aku melihat sesosok cowok dengan postur tubuh yang bisa di bilang kurus, tinggi badan yang melebihi standart tinggi anak muda seusia kami,
berkacamata dan memakai jaket warna biru. Aku bisa memasikan dengan pasti ia baru taman SMA sama seperti kami, dan pasti dia akan menjadi salah satu bagian dari teman baru ku. Saat tiba di kelas, aku dan Putra memutuskan untuk duduk bersebelahan, karena kami tak megenal satupun orang yang ada di kelas itu. Kami lebih memilih deretan kursi yang langsung menghadap ke papan tulis, tidak terlalu tengah, tapi sedikit ke kiri mendekati jendela. Hai itu berjalan sangat menyenangkan, pelajaran baru yang aku terima, aku belajar bahasa asing yang sebelumnya tak pernah aku tahu. Seperti perjanjian yang sudah kami buat sebelum hari itu, kami berencana akan menghabiskan waktu sampai sore setiap hari di tempat itu, entah di perpustakaan untu sekedar merapikan catatan hari itu, membaca koran atau bajalan bahakan untuk menonton dvd-dvd berbahasa Perancis. Hari pertama kali ini, kami belum menemukan letak musolah di IFI, bahkan aku mengira tak ada musolah di sini, jadi kami memutuskan untuk pergi ke Masjid Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia yang letaknya di sebrang jalan sekolalah kami. Dengan semangat 45 namun di tutupu oleh keringat yang mengucur, kami menyelesaikan kewajiban sholat zuhur hari itu. Setelahnya kami memutuskan untuk mencari makan siang di sekitar Salemba sambil menunggu perpustakaan yang buka setiap pukul 1 siang pada hari Senin. Setelah menyelesaikan acara makan siang hari itu, kami kembali ke Perpustakaan, aku merapikan kembali catatan hari pertama dan Putra sibuk membaca Koran dan majalah bola yang di sediakan di bagian depan perpustakaan. Kami berkutat dengan kesibukan maisng-masing, sesekali kami menertawakan beberapa gambar yang kami temukan di buku-buku prancis, dan mebahas hal-hal sebenarnya tak penting tapi bisa kami bungkus menjadi obrolan yang menyenangkan . Waktu pun sudah menunjukan makin sore, aku harus pulang sebelum jalanan di penuhi orang-orang yang baru saja menyelesaikan tugas mereka di kantor. Kami memutuskan menyudahi kegiatan hari itu. Aku pulang sendiri dengan menggunakan angkutan umum transjakarta, sedangkan Putra menggunakan kakinya untuk melangkah ke kosannya. Setiba di rumah, betapa terkejutnya aku melihat BBM dari Putra „Astaga laptop aku hilang !‟ satu kalimat itu yang langsung membuatku panik „hah ? kok bisa?‟ balasku dengan secepat kilat, menunggu cerita lengkap darinya „Ada maling masuk, dobrak pintu kamar. Dan ternyata malingnya menghuni baru yang minggu kemarin masuk kosan‟ „astaga kok bisa ? udah lapor ibu kos ? barang apa aja yang hilang?‟ „udah, ini di kosan lagi rame. Kamar si Fredi juga ilang, bahkan barang dia banyak yang ilang‟ „Ya ampun, sabar ya Put, udah ngabarin mama ?‟ „Ia udah kok ngabarin mama, kata mama kalo udah takdirnya ilang ya ilang, ga ada yang bisa di salahin. Nanti om yang di meruya dateng ke sini buat nyelesain masalah‟ „oh oke, Kamu sabar ya, pasti ada pelajaran yang di dapet.‟ „ia kok, aku ikhlas Cuma masih kesel aja‟
Dan malam itu aku berusaha menghibur sahabatku yang satu itu. Kehilangan memang tak pernah enak rasanya, apapun bentuk kehilangan itu. Terlebih laptop itu sudah banyak berjasa untuk Putra, bukan dia saja, laptop itu juga berjasa membantuku. Video angkatan yang aku buat, bisa sukses karena bantuan laptop itu, laptop yang sederhana namum memberikan banyak kenangan dan manfaat. Apalagi aku tahu betul di laptop itu Putra menyimpan foto-foto Dewi, mantannya yang baru saja putus tepat di hari keberangkatan Putra. Dan aku tah betul sebesar apa rasa sayang Putra ke Dewi, jadi dengan kehilangan laptop itu makin membuat Putra merasa kehilangan. Aku berusaha menghiburnya sebisaku, seperti hal ia yang selalu bisa menghiburku saat sedih. ***