Sesuatu yang kusuka pada Yuki adalah ketika dia mengatakan, manusia yang tak bisa menerima perbedaan, silakan tinggal saja bersama kodok, di bawah tempurung. Dunia ini adalah kumpulan perbedaan. Bahkan manusia, kembar identik sekalipun, tak ada yang benar-benar sama. Hidup adalah perbedaan. Betapa membosankannya jika hidup hanyalah kesamaan. Perbedaan itu indah. Semarak. Begitu pendapatnya. Akan tetapi, tak selalu begitu. Sesungguhnya, perbedaan itu juga menakutkan. Perbedaan itu sangat mencekam, semencekam musik keyboard listrik yang menukik tinggi di ruangan remang-remang berisi ribuan manusia yang hanya bisa menjerit-jerit histeris dan melompat lompat di ruang konser. Sepi, mencekam, melolong di antara keriuhan, meninggalkan rasa ngeri yang aku bahkan tak mengerti mengapa. Entah apa yang kurasakan. Lama aku bergumul dengan rasa mencekam. Mungkin itu kengerian akan diriku sendiri yang tak bisa menerima sesuatu yang tak bisa kuduga. Lalu perlahan musik berganti. Lolongan musik itu telah berubah menjadi buaian. Lullaby. Beberapa lirik lagu yang dinyanyikan itu diiringi dengan musik yang sungguh menyentuh kalbu. Tentu tak semua penonton ini mengerti, tapi musiknya saja pun sudah sungguh melenakan telinga, dengan nadanya yang menghanyutkan. Dan itu membuatku mengerti. Semua bangsa bisa tak saling mengerti bahasa, tapi dalam hal rasa kita sama. Ibarat rambut boleh beda, ada yang pirang, dicat, botak, tapi semua manusia memiliki perasaan. Dan cinta adalah sesuatu yang paling menyentuh dan merekatkan perbedaan itu. Kita bisa tinggal diantarai samudra, tapi mudah terhubung oleh musik, terkoneksi oleh hiburan, koneksi global. Musik telah menjadi sarana untuk saling terhubung secara global, secara internasional. Dalam keremangan, terlihat lampu sorot menimpa kilauan manik-manik swarovski di rompi vokalis band yang mengilap-kilap. Swarovski! Aku tersentak. Kau cukup peka untuk melihat tanda kehadiranku. Swarovski. Hadiah pertama yang Yuki berikan dan hadiah terakhir ketika berpisah. Mungkinkah dia berada di antara anggota band itu? Lalu alunan musik yang sudah kutunggu-tunggu itupun terdengar, menukik di antara keriuhan penonton. Alunan gitar listrik bagai menusuk sampai ke dalam sanubari terdalam, membuat seketika penonton tak bersuara. Melodi yang sepi dan sendu memenuhi aula konser, hingga suasana sepi dan dingin terasa hingga ke dada. Bahkan udara AC terasa bagai salju yang menetes di dahiku. Perlahan suara vokalis yang empuk itu terdengar dan mengembalikanku pada suatu malam ketika lirik lagu berbahasa jepang itu terdengar di telingaku sendiri... Bagaimana aku bisa hidup tanpamu--Aku bisa mati tanpamu... Karenamu aku bahagia Denganmu aku banyak tertawa karenamu aku banyak tersenyum Kau membuat hidupku sungguh bahagia
Andai bisa kureguk selamanya... sebab hal indah seperti ini mungkin takkan sering terjadi dalam hidup ini... Aku terperangah, serasa kembali ke masa lalu, ke musim gugur ketika kami berada di antara daun-daun berguguran, dan dia memungut daun dari rambutku. Saat ini aku bagai melihat scene itu dalam film-film romantis yang tidak happy ending. Hubungan kami hanya semusim, bagaikan daundaun berguguran. Ada banyak hal indah dalam hidup ini yang tak bertahan lama. Sedangkan kehidupan dengan mudah menawarkan segala kepahitan yang seolah tak berujung. Duka itu murah dan gratis, sementara kebahagiaan sangat langka, mewah dan mahal. Duka. Adalah yang bertahun-tahun kuobati tanpa dia ketahui. Aku tak menyangka aku sejatuh itu. Jatuh, jatuh cinta pada seseorang yang pada akhirnya takkan kau miliki, tak kukira membuatku hidup dalam kepahitan bertahun-tahun, hingga aku kembali bisa membuka diri untuk kisah cinta yang baru. Rupanya benar, aku belum mengenal diriku sendiri. Kukira sang Salju semusim itu akan segera hilang pesonanya, terbakar oleh sengatan matahari tropis musim kemarau di Jakarta. Kukira daun-daun berguguran di musim gugur itu akan terlupakan oleh hembusan angin di musim penghujan. Aku buta terhadap diriku sendiri. Aku tahu aku merindukan salju, dan tahu bahwa aku tak memerlukan salju, tapi aku diam-diam tetap mencari-cari salju di dua musim tropis, dengan sia-sia. Dan aku tak sadar bahwa diam-diam aku mencari-cari salju itu. Dan tentu saja aku takkan pernah menemukannya. Dan sayangnya, aku pun tak menyadarinya. Pada kesempatan yang tak diduga, kami bisa bertemu lagi. Kau sudah memacari berapa orang wanita setelah aku? Tanyaku asal saja, ketika kami bertemu lagi di Tokyo kala itu. Tak ada wanita yang mau denganku, jawabnya sok pasrah. Betapa pintarnya wanita-wanita itu! sahutku bercanda. Segera diacaknya rambutku gemas, seperti kebiasaannya dulu. “Kau sudah mematahkan hati berapa orang preman di Jakarta?” Balik bertanya dia padaku. Kira-kira di lima terminal, semua sudah bunuh diri oleh karenaku,” jawabku asal. “Saat ini aku sedang memikirkan untuk memperluas jaringan sampai ke preman di Jepang. Kau ada koneksi?” Dia tertawa. “Kau pasti sangat membantu pekerjaan polisi. Sudah dianugerahi award berapa?” balasnya. Aku teringat ketika kami berada di atas Tokyo Tower, gedung tertinggi kala itu, sebelum tower terbaru ini muncul.
“Award itu sejenis bakso, ya?” ujarku asal, sambil menggigit bibir. Aku agak ketakutan karena ketinggian dan dia tertawa-tawa melihat ekspresiku yang pucat. “Padahal aku ingin mengajakmu naik gunung dan mungkin melamarmu di puncak Everest, godanya. Kau sudah gagal dalam kriteria jadi calon istriku,” sambungnya. “Kau lamar saja beruang gunung, pasti bisa survive di ketinggian, itu calon istrimu yang paling ideal!” sahutku kala itu. “Aku yakin kalian akan menjadi pasangan suami-istri yang romantis dan hidup bahagia selamanya. Atau, hmm…, kau hanya akan jadi makan malam yang romantis baginya.” Tawanya bertaut-tautan. “Kamu cerdas dan lucu sekali,” serunya. “Dalam menghina orang pun kau bisa terdengar sangat cerdas! Kok bisa ada manusia seperti kamu di dunia ini?” gelenggelengnya. “Eh, siapa tahu aku juga bukan manusia,” balasku. Dia tertawa lagi. “Kau jelmaan beruang gunung? Calon istri idealku dong...,” desisnya berpura-pura. Lalu dia merengkuhku, dari perlahan hingga menjadi erat. Sampai lama. Hingga hening menyulut jiwa. “Bagaimana aku bisa hidup tanpamu? “ bisiknya. “Aku bisa mati tanpamu... “ Aku terkesima. Tapi aku tak mau terlena, karena aku bisa saja menangis jika aku membiarkan perasaanku. “Hati-hati. Sebaliknya, kau juga bisa mati karenaku,” jawabku. “Ingat, aku jelmaan beruang gunung.” Dia tertawa dan berkata, “Aku lebih suka mati karenamu. “ Dan gilanya, aku suka kata-katanya itu. Aku menikmatinya. Dan aku memercayainya. Memang dia tak mati. Dia bisa hidup tanpaku. Hidupnya berjalan seperti biasa. Begitu juga aku. Cinta memang terkadang bisa membuat kita hiperbolik. Merasa tak bisa hidup tanpa orang yang kita kasihi, walau itu tak selalu benar. Itu hanya ucapan karena emosi sesaat. Kenapa perbedaan agama dan budaya ini menjadi alasan duka? Kau bertanya kala itu. Aku menyalahkan manusia yang pongah mendirikan menara Babel dan Tuhan mencerai-beraikan mereka dengan cara memutus komunikasi, yaitu perbedaan bahasa. Perbedaan, yang memecah-belah. Mungkin inilah salah satu penyebab perpecahan yang terjadi karena segala perbedaan itu. Nah, justru itu, komunikasi akan menjembatani perbedaan. Mestinya takkan jadi masalah, debatmu. Wah, kalau mau tahu soal perbedaan, datanglah ke Indonesia. Perbedaan aliran kepercayaan potensial jadi alasan untuk melakukan kekerasan, ujarku pahit, menahan perih dan tertawa getir. Dia tahu itu. Wawasannya luas. “Kenapa kau selalu menyebutkan yang buruk-buruk saja tentang negerimu?” tanyanya sambil tertawa. “Negara kalian sangat kaya. Kalian adalah incaran banyak negara besar pemberi investasi. Ibarat perempuan seksi, negaramu adalah incaran banyak pengusaha kaya.”
“Ya, ya, semacam para investor playboy yang doyan perempuan seksi, gitu?” Aku masih bergurau. “Dan kalian adalah warga negara yang hebat. Kalian bisa survive dengan segala bencana alam, banjir, letusan gunung berapi, tsunami, entah bagaimana kalian bisa menjalani hidup di sana,” tuturnya. “Kau, dan yang lainnya, adalah wanita hebat. Kau mungkin salah satu wanita terhebat di negerimu. Otakmu sangat encer, kalau tidak bagaimana kau mengalahkan puluhan ribu kandidat lain untuk dapat beasiswa bergengsi di universitas nomor satu di negaraku ini. Kau bahkan mengalahkan warga negara Jepang sendiri!” sambungnya. Aku melongo. Mengapa dia terdengar sangat serius? “Kalian wanita Indonesia adalah wanita hebat, kuat dan multifungsi. Kalian berkarir tapi tetap mengabdi kepada suami dan anak.” Dia terdengar seperti sedang orasi. Aku menatap dengan usil. “Jangan lupa, aku pernah melakukan riset tentang negaramu!” ucapnya dengan sedikit kerlingan jahil. Aku ingin memecah keseriusan itu. “Alaaa, risetmu nggak valid tuh. Berapa banyak sampel statistik yang kau ambil?” Dia menjawil dahiku pelan. Tapi ekspresinya kembali serius. Dengan topik yang berganti. “Kenapa kau tak diciptakan sama denganku saja, orang Jepang yang berjiwa seperti ini. Yang berbeda hanya ras nya saja. Yang lain jangan berubah. Wajahmu dan senyummu harus tetap sama seperti ini!” katanya. Aku menjawab dengan enteng. “Sayangnya aku bukan Tuhan. Aku tak bisa mengatur dunia ini.” Lagipula kita hanya sedang kasmaran. Kau akan segera lupa dan menemukan cinta yang baru setelah aku pergi, bathinku. “Kenapa bukan kamu saja yang diciptakan sebagai orang Indonesia dan terbiasa makan tempe dan naik angkutan penuh polusi di Jakarta sana?” balasku kemudian. “Dan kulitku akan menggelap,” sambarnya. ”Waw! Eksotik! Tentu aku akan terlihat lebih maskulin.” “Ya, dan kau akan dikejar-kejar oleh wanita Indonesia yang kuning langsat, hingga anak kalian akan belang-belang,” lanjutku. “Bagus. Spesies baru yang unik. Aku suka itu!” Dia tertawa lebar. Matanya menyipit. Aku suka sekali memandanginya dalam keadaan seperti itu. “Menikah,” desisnya. Dia menatapku usil. “Dengan orang seperti apa kelak kau akan menikah?” Dia mencoba mengira-ngira. “Pasti mirip-mirip dengan aku. Matanya panjang dan agak kecil tapi seksi, tubuhnya tinggi tak berlemak, dan suaranya merdu seperti penyanyi romantis,” tebaknya. “Hah? Kau sedang mendeskripsikan Keanu Reeves ya?” Aku sengaja mematahkan rasa percaya dirinya yang berlebihan. “Hmm... Memangnya kamu... romantis ya?” celaku. “Hah, jadi aku kurang romantis?” bantahnya dengan mimic lucu.
“Ya, ya, untuk ukuran pria Jepang memang kamu romantis sekali,” ucapku dengan nada menyindir. “Hei! Aku ciptakan lagu untukmu, dan itu masih kurang romantis?” tuntutnya. “Hah? Lagu?” Aku bingung. “Apaaa??” Aku seketika tersadar dan langsung menentang matanya. Seketika dia menutup mulut. “Oups. Keceplosan,” desisnya. “Kau...?” Aku ternganga. Membayangkannya... menciptakan lagu untukku? “Mana? Mana?” Seketika aku menjadi agresif. Sungguh sebuah kejutan yang menggembirakan! Aku terlalu gembira. “Mana lagunya?” Aku merongrongnya seketika. Dia mengelak sambil tertawa. “Aku belum selesai. Aku keceplosan,” akuinya. Lalu kami tertawa-tawa berdua. Sebelum berpisah malam itu, dia memelukku dan berbisik, “Karenamu aku bahagia. Denganmu aku banyak tertawa. Denganmu aku banyak tersenyum. Kau membuat hidupku sungguh bahagia. Andai momen ini bisa bertahan selamanya. Bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih padamu... Hal yang begini tak mungkin sering terjadi dalam hidup ini...” Seketika aku merasa sedih. Ucapannya itu adalah ungkapan bahwa yang terjadi saat ini adalah sesuatu yang temporer. Bahwa hal ini akan segera berakhir. Bahwa kenyataan ini hanya saat ini, sementara saja. Kemudian aku merasakan bahwa aku sudah membasahi kerah bajunya dengan airmataku. Karenamu aku bahagia. Kata-kata itu terngiang terus di benakku selama bertahun-tahun. Tanpa kusadari itu telah menjadi alasan bahwa aku tak bahagia. Aku tak bahagia dengan kehadiran orang lain. Selama bertahun-tahun kebahagiaan bersamanya telah menjadi parameter yang kupakai untuk menyeleksi setiap pria yang mencoba memasuki hatiku. Dan tentu, seleksi itu terlalu sulit. Lama kemudian baru kusadari bahwa aku menjadi seseorang yang menyukai kerumitan. Seperti pekerjaanku yang terbiasa menghadapi kerumitan, aku menikmati hal itu terutama ketika benang kusut kerumitan itu berhasil kuluruskan. Bukan sekali dua kali aku tertarik pada lelaki lain, tapi kemudian kusadari aku jatuh cinta dengan pola yang sama. Aku mencari tipikal bekas kekasihku pada mereka itu dan aku tahu bahwa itu takkan berlangsung lama. Dan memang tak ada yang berlangsung lama. Mungkin, kelak aku menganalisa kembali, aku mencari kebahagiaan yang temporer seperti yang dulu pernah kunikmati bersamanya. Hubungan kami yang pendek sungguh terasa indah, membuatku berpikir bahwa barangkali hanya hubungan seperti itulah yang ada di dunia ini. Karena sebegitu indahnya kebersamaan kami di masa lalu, aku ingin menemukan dan mengulangi hal tersebut dengan orang lain. Tanpa kusadari aku menjadi orang yang tak percaya hubungan panjang dan tak yakin dunia menyediakan kebahagiaan yang berlangsung lama.
Mungkin dunia tak seindah itu. Dunia tak sebaik itu. Tak ada hubungan indah atau kebahagiaan yang indah yang gratis dan berlangsung lama. Lihatlah. Aku telah berubah menjadi senegatif itu. Hubungan terakhirku terjadi baru-baru ini. Tak pernah kusangka aku akan berhasil memikat hati seorang ekspatriat, pria idaman setiap karyawati di kantornya. Ando, seorang klien dalam perusahaan besar yang sukses dan berjiwa muda. Kantor kami hanya berbeda lantai dalam satu gedung. Awalnya dia hanya tersenyum jika berpapasan denganku di lorong gedung perkantoran, lalu setelah beberapa kali pertemuan pendek di lift, kami bertemu tanpa sengaja di depan resepsionis kantorku. Dia sedang ada janji dengan atasanku. Tapi dia juga memberikan kartu nama padaku dan meminta kartu namaku. Awalnya hanya email. Dia mengirimkan email pada atasanku dan aku sebagai CC-nya. Email berikutnya, akulah sebagai penerima emailnya. Tak ada CC. Dia bertanya, batik yang kukenakan tempo hari terlihat bagus. Bisa dibeli di mana? Dan entah pada email kesekian, dia mulai mengirimkan pesan pendek via ponsel. Lalu kami mulai makan siang bersama. Makan siang yang terasa hambar sebab reaksi kimia di otak telah mendominasi. Segala kegugupan seperti di awal kencan anak remaja kami lewati dengan mudah. Lalu makan malam, awalnya tanpa sentuhan. Hanya sebatas sentuhan lembut di punggung tangan sebelum keluar dari mobil ketika dia mengantar pulang. Lalu mulailah berkencan sehabis kantor, dan di akhir pekan. Kukira setelan jas-nyalah yang membuatku tergila-gila padanya. Rupanya dengan balutan kaos polo yang santai di luar hari kerja, dia tetap menawan. Dan pengakuannya membuatku melayang-layang, bahwa dia sudah lama menjadi pengagum rahasia, seorang asing yang hanya bisa memandangiku dari jauh. Apakah kau malaikat atau setan yang dikutuk jatuh ke bumi untuk membahagiakanku yang kesepian? Itu yang kutanyakan padanya suatu kali, dengan bahasa yang lebih santai, di masa mabuk kepayang kasmaranku. Terbalik. Bukannya kau bidadari jatuh dari langit untuk menyelamatkan hidupku? Balasnya. Kurasa aku mulai bisa melupakan Yuki ketika yang terngiang-ngiang di kepalaku hanya hangat genggaman tangan Ando, bau khas tubuhnya, tekstur kulit tangan maskulinnya. Ada sesuatu padanya. Sesuatu yang tak bisa kutolak. Aku sungguh menikmati kebersamaan dengannya. Dia seolah mengenalku dengan baik. Mengetahui sampai mana aku bisa menerima sesuatu hal, dan sampai sejauh mana bisa mentolerirnya. Dia juga suka kegemaran dan hobiku. Dia membuka diri untuk hal-hal yang membuatku gembira. Itu sungguh terasa luar biasa. Aku bahkan sempat merasakan kebahagiaan seperti dengan bekas kekasihku Yuki, jika bersamanya. Dengannya aku bahagia. Dengannya aku sering tertawa dan tersenyum. Hidupku lebih bebas, nyaman, ceria dan cerah bersinar.
Tapi itu tak lama. Entah sudah ada kalender di dalam diriku. Bahwa satu periode dengan seorang pria sudah usai. Sebab kemudian aku sadari aku hanya ingin bernostalgia. Bernostalgia dengan kebahagiaan pendek seperti dengan kekasihku yang dulu. Bagaimana tidak, selera musik kami sama. Kami bisa menikmati musik yang sama dan jadi sangat connected. Kemudian kusadari. Aku ternyata tak betul-betul mencintainya. Aku hanya tak sadar sedang memanfaatkannya untuk mengenang masa lalu dengan mantan kekasihku di Tokyo. Aku menghentikan pertemuan kami setelah pada suatu malam ketika dia ingin menciumku dan aku tersadar bahwa aku melihat wajah bekas kekasihku padanya. Dan kukatakan padanya sebuah kebohongan, sebagai alasan untuk berpisah, aku tak ingin mengganggu kehidupan rumah tangganya (Dia sudah beristri. NB. Aku sudah tahu sejak awal dan tak pernah membahas hal itu dengan Ando). -*Dan rupanya aku masih belum mengenal diriku sendiri. Ando mungkin mengetahuinya. Meninggalkan Ando, sepertinya lebih menyakitkan bagiku daripada baginya. Suatu kali kami berpapasan di lift. Dia tersenyum, sedangkan aku menghindari tatapannya dengan gusar. Mestinya, jika benar aku tak mencintainya, aku takkan segusar itu. Itulah yang dia katakan ketika tiba-tiba dia duduk di depanku di kafetaria gedung. Senyumnya masih mampu membuat selera makanku hilang. Aku masih tergetar ketika tangannya menyentuh ujung jariku. Aku bahkan masih menikmati bau parfum yang menyeruak dari tubuhnya. “Mengapa bisa kau melawan perasaanmu?” bisik Ando. Aku diam-diam ingin menangis. Dia sepertinya telah terlalu mengenalku. “Aku tak berharap banyak,” desisnya di antara kunyahan sandwich di giginya yang rapi. “Aku hanya tahu kita gembira ketika bersama. Kita tak harus saling menjauhi, bukan?” ucapnya seolah sedang membujuk anak kecil untuk menghabiskan makan siangnya. Sikapnya sangat santun. Bahkan bahasa tubuhnya juga terlihat santai. Orang takkan mengira kami sedang ada affair. “Apa yang kau inginkan kulakukan? Akan kulakukan.” Dia berucap dengan mantap tapi lembut. “Tapi jangan tiba-tiba meninggalkanku seperti itu. Aku terlalu lambat untuk menerima halhal yang terlalu tiba-tiba menyakitkan dan tanpa alasan yang bisa kupahami,” tuturnya. Aku tak tahu apakah di dalam hati dia menangis. Tapi kutangkap isyarat kesungguhan di matanya. Kubayangkan betapa hangat dalam dekapannya. Kuingat betapa lembut suaranya. Betapa menenangkan mendengar bisikannya. Betapa semarak hidup kala bersamanya. Mengapa aku tibatiba memutuskan hubungan dengannya? Dia masih bertanya apa yang salah. Lalu aku mulai membuka mulut. Kafetaria mulai sepi. “Kau bagaikan morfin bagiku,” jawabku. Sekelebat terbayang betapa rasa rinduku padanya sering membuatku seperti orang gila yang tak tahan menunggu hari berganti. “Aku sakau, dan sebelum aku mati overdosis, aku berhenti.” Ucapanku membuatnya terdiam. Aku bahkan tak tahu darimana semua kata-kata itu muncul. Mungkinkah benar begitu, ataukah hanya alasanku semata? “Tapi aku takkan membuatmu overdosis...” desisnya.
“Kau tak tahu itu,” sahutku. Dia tak tahu. Apakah dia tahu betapa aku tergila-gila padanya? Bahwa sering aku mendengarkan suara orang lain dan mengira itu adalah suaranya? Tahukah dia bahwa segalanya mengingatkanku tentang dia? Mungkinkah aku hanya menjadikan bayangan Yuki sebagai alasan untuk mundur? Sebab aku tahu takkan ada masa depan bagiku dengan Ando, sebaiknya aku mencari cara untuk berhenti sebelum tak bisa mundur lagi. Atau memang benar dia sungguh mirip dengan Yuki, sebuah pesona yang kuhindari di masa lalu, dan aku merasa dejavu, hingga aku sadar harus berhenti? “Tapi, aku tak bisa hidup normal tanpamu...” desisnya. Itu adalah suaranya. Tapi aku merasa akulah yang mengucapkan kalimat itu. Kubayangkan saat-saat kemesraan kami. Bernyanyi bersahut-sahutan lagu yang kami samasama sukai, seolah kami dua anak remaja yang sedang kasmaran. Bertemu di lobi dan saling melempar senyum rahasia di antara orang-orang asing, seolah kami tak saling mengenal. Bersama dalam lift yang penuh, dan dia menyenggol ujung sepatuku dengan sengaja lalu pura-pura meminta maaf, sebelum mengeluarkan senyum nakal. Makan siang di kafetaria seolah tanpa janji, dan dia akan bertanya apakah meja di depanku kosong, lalu pelan-pelan dia menyodorkan tisu yang sudah ada tulisannya. Miss you like crazy. Atau tulisan lain. You look gorgeus today. Atau piring yang nasinya sudah dibuatnya berbentuk hati. Lalu bagaimana dengan kencan-kencan kami yang hangat? Genggaman tangan yang tak pernah lepas. Belaian rambut yang seolah tak pernah berhenti. Aroma parfumnya yang seolah menghipnotis. Apakah normal ketika tiba-tiba aku tak menikmatinya lagi? “Tapi kau sudah punya istri,” ujarku. Baru kali ini aku menyebut kata itu. Istri. “Apakah kau hanya ingin status?” tanyanya hati-hati. Aku bahkan tak tahu apa yang kuinginkan. Ternyata urusan asmara itu tak sesederhana yang kupikir ketika remaja. Jaman sekarang lebih banyak status yang dulunya tak pernah terpikirkan. Bahkan di lirik lagu atau dalam film-film sudah sangat jelas dideklarasikan bahwa cinta itu tak perlu berstatus resmi. Ada hubungan tanpa status, yang penting suka sama suka. Tak semua orang menginginkan hubungan permanen. Tak harus selalu berstatus enggaged. Yang penting kita saling suka dan saling menguntungkan, hubungan jalan terus. Yang penting kita senang. Itukah yang Ando maksudkan? Itukah yang sedang kami jalani? Kutatap wajahnya. Dia terlihat sendu. Aku tak bisa berbohong padanya. “Aku takut...” bisikku. Aku memang takut. Entah apa yang kutakuti. Tapi aku takut terus-terusan bersamanya. Ketakutan yang sama yang kualami ketika aku kembali dari Tokyo, meninggalkan Yuki. “Takut?” Ando tentu tak mengerti. Tentu saja. Aku pun tak mengerti. Aku hanya tahu aku takut. Aku kuatir. Aku tak tahu apakah aku siap dengan hari esok yang tak kumengerti jika terus bersama Ando.
“Apa yang bisa kulakukan untuk mengembalikan hubungan kita?” Pria menawan ini terlihat bagai malaikat yang telah rela melepaskan sayapnya demi mengejar seorang makhluk rendahan bernama manusia. Tak ada. Itu jawabannya. Sesungguhnya tak ada. Aku pun tak ingin dia berhenti menyukaiku. Aku tak siap dia berhenti memuja dan mengejarku. Aku tak rela dia kembali pada istrinya (yang tinggal terpisah di luar negeri) atau berpaling pada wanita lain selain aku. Aku tak ingin dia berhenti memberikan segala romantisme yang telah memabukkanku selama ini. Jam istirahat yang terbatas telah menyelamatkan perbincangan buntu kami. Tapi ternyata aku tak terselamatkan. Di ruang kerja pun aku hanya mengenang segala kemesraan kami. Aku ingat semua keindahan yang dia bawa dalam hidupku. Betapa manisnya menerima pesan singkat darinya sebelum tidur, seperti: Aku akan membawamu dalam mimpiku. Betapa semangatnya di pagi hari menerima pesan singkat darinya: Ketika terbangun, kaulah yang kuingat pertama kali. Alangkah degdegannya ketika memasuki lobi gedung dan berharap berpapasan dengannya. Dan ketika membuka komputer, betapa menggembirakannya membuka email dan ada namanya mencolok di antara pengirim lainnya, dan isinya hanyalah sebaris kalimat: Thank you for being there in my life. Ando adalah morfin. Nikmat dan memabukkan. Sekaligus membahayakan. Sebab aku belum mengenal diriku sendiri. Aku tak tahu sejauh mana aku mampu bersama dengannya. Mungkin itulah ketakutanku. Tapi aku menyukai ketika dia merasa tak bisa hidup tanpaku. Aku menyukai ketika dia merindukanku dan aku tak membalasnya walau dalam hati aku juga rindu hingga kesakitan. Aku menyukai kerumitan yang tak kumengerti. Hingga suatu kali dia muncul di depan rumahku. Aku tak bergerak, bahkan tak bernafas ketika tiba-tiba saja dia sudah berada di depanku. Sorot matanya yang rindu dan lelah terlihat memilukan. Aku tak berdaya. “Aku bisa mati tanpamu...” bisiknya. Lalu kami sudah saling mendekap. Aku menghirup aroma parfumnya yang sungguh kurindukan. Aku menikmati dekapan hangatnya yang nyaris telah membuatku gila karena telah lama kuabaikan. Kunikmati semua hal yang kucoba hindari beberapa waktu darinya. Dan aku sadar bahwa aku makin merindukannya. Makin tergila-gila padanya. Makin terpesona pada Ando. Makin sakau. Makin ketergantungan. Suatu kali aku tak bisa konsentrasi bekerja hanya karena aku tak sabar ingin bertemu dengannya sehabis jam kantor. Kukirimi dia pesan singkat, dan kami akhirnya bertemu di tangga darurat. Ando nyaris menciumku jika tidak karena menyadari ada orang lewat dan ada kamera pengawas. “Ini tidak boleh sering-sering,” ucapku seolah mengancam diri sendiri. Ando hanya tertawa kecil. Kami kembali ke tempat masing-masing. Dan malam harinya ternyata kami tidak jadi bertemu karena ada klien mendadak harus makan malam dengan Ando. Sepanjang malam aku uring-uringan. Lalu mengamuk. Dan dengan emosi memutuskan bahwa memang hubungan dengan Ando harus dihentikan. Tak kubalas semua pesan singkat atau telepon dan emailnya. Bahkan berpapasan di lobi pun kuhindari. Aku bahkan tidak makan di kafetaria. Dia terus mencoba menghubungiku sampai akhirnya dia berhenti.
Aku kelimpungan. Kelabakan. Tapi aku gengsi, keras-kepala dan tidak mengerti diriku sendiri. Aku menyukai kerumitan. Kubiarkan diriku merana dalam kerinduan padanya. Kubiarkan aku sengsara oleh ulahku sendiri. Kubiarkan hubungan kami menggantung hingga suatu saat mungkin waktu akan menghapusnya. Walau hatiku sakit. Teramat sakit.