Bagian Dua Sepupu
Saat itu tahun terakhirku di SMA. Aku mulai kebingungan dengan apa yang ku inginkan setelah lulus. Jauh sekali di dalam hatiku aku ingin pulang kembali ke rumah kami di Jakarta. Walaupun saat aku kembali ke sana, tidak akan pernah ada suasana yang sama yang ku cari selama ini. Hari-hari berlalu begitu saja selama tiga tahun. Tanpa ku sadari aku membuat banyak kenangan selama itu, yang akhirnya mengikatku untuk selalu mengingat kota Batulicin. Salah satunya adalah Rizal. Aku bahkan mengutuki diriku sendiri, dari sekian banyak orang kenapa aku malah tanpa sadar selalu kembali kepadanya. Dia keluargaku, walaupun kami tidak memiliki hubungan darah.
Tetapi bagaimanapun dia adalah anak tiri dari pamanku. Pertama kali aku bertemu dengannya aku tidak tahu kalau kami keluarga. Dia seperti makhluk asing yang tersesat di suatu lubang kecil di sudut terpencil bumi. Dia lebih cocok berada di luar negeri daripada di kota terpencil Batulicin. Tubuhnya tinggi, hidungnya mancung, kulitnya putih, semua proporsi wajahnya merupakan ciptaan yang sempurna. Bahkan iris matanya coklat gelap, datar dan dalam, yang selalu membuatku iri. Kecuali jika orang asing harus memiliki rambut yang tidak berwarna hitam, maka baru ia tidak bisa diterima di luar negeri. Aku memang mengakui Tante Dewi cantik, tetapi juga perlu seorang ayah yang luar biasa tampan untuk menghasilkan anak seperti Rizal. Dan aku sangat penasaran bagaimana rupa mantan suami Tante Dewi. Andai saja Rizal selama hidupnya hanya berdiri sebagai patung... sayangnya ia manusia. Entah karena pengaruh lingkungan atau memang gen aslinya seperti itu, sifat Rizal benarbenar bertolak belakang dengan rupanya. Bukan ke arah negatif, tetapi cenderung menyebalkan terutama kepadaku.
Kalau pertama kali aku melihatnya dengan pandangan terpesona, ia melihatku seperti melihat serangga berisik seolah eksistensiku di dunia mengganggunya. Aku merasa Rizal selalu mendiskriminasikanku dan setiap pandangannya selalu berkata bahwa aku telah berbuat banyak dosa kepadanya. Padahal sikap Dian, adik tiri laki-lakinya yang hanya beda satu tahun darinya baik-baik saja kepadaku. Suatu ketika Rizal memaksaku untuk mencontekkan PR kepadanya. Kami memang satu kelas sejak awal tetapi aku tidak pernah secara langsung sudi berbicara kepadanya sejak ia melihatku seolah aku serangga pengganggu. Hari itu mungkin telah terjadi hujan badai di planet Mars dan ia menghampiriku untuk memerintahkanku memberikan jawaban PR kimia. Dia pintar tetapi sangat pemalas, dan itu bukan kombinasi yang baik untuk pelajaran kimia, sebenarnya untuk pelajaran yang lain juga. “Kenapa harus aku yang meminjamkan jawaban?” tanyaku dengan nada dingin kepadanya. Tidak mencoba sama sekali menutupi aura bermusuhan kami. “Karena belum ada yang selesai mengerjakannya. Dan kau adalah orang terpelit yang tidak mau bagi-bagi jawaban dan yang lain
cukup segan untuk memintanya kepadamu sehingga aku harus mengambilnya langsung darimu,” ucapnya tidak kalah sengit. “Bukannya kau lebih pintar dariku?” aku menjawab acuh, mengingatkannya kembali pada kalimat angkuhnya yang secara tidak sengaja ku curi dengar dulu. “Iya. Masih. Tentu saja. Dan hanya orangorang merepotkan yang mau mengerjakan soal kimia itu,” balasnya tidak mau kalah. Aku kemudian menyeringai sinis dan meletakkan PR kimia ku di meja dan menatapnya, “Dasar manusia sombong tidak tahu diri!” Hari itu bukan konfrontasi pertama kami. Sebelumnya telah terjadi banyak sekali konfrontasi dan sindiran serta aura bermusuhan yang kental tetapi kami tidak pernah melakukan duel urat saraf secara langsung seperti hari itu. Hasilnya, tiga hari kemudian aku dan Rizal dipanggil oleh guru BP. Bukan karena pertengkaran kami, tetapi karena ketidakprofesionalan Rizal dalam mencontek yang akhirnya ketahuan. Gara-gara itu kami harus mengerjakan proyek bersama selama satu bulan kalau tidak nilai kimia kami akan ditetapkan di bawah standar. Menyedihkan.
*** Agustus 2004 Aku tidak pernah pergi ke gurun tetapi kira-kira panasnya tidak jauh berbeda dengan yang ku rasakan saat ini. Jum’at siang, aku bergelung di depan televisi dengan satu kipas angin listrik besar dan satu kipas manual di tangan kiri, dan segelas besar air es di tangan kanan. Aku tidak bisa tidur siang di kamar karena gelisah seperti masuk ruangan sauna. Mungkin sekarang sudah musim kemarau, tetapi seingatku baru dua hari yang lalu hujan deras sekali. Entahlah, aku tidak mengerti cuaca Batulicin. Bunyi salam dan ketukan di pintu menarik perhatianku. Hanya orang kurang kerjaan yang mau keluar rumah saat matahari begitu terik seperti saat ini. Dan orang itu juga termasuk kategori tidak sabaran karena mengetuk pintu berulang-berulang tanpa henti, padahal aku sudah menyahut untuk menyuruhnya menunggu. Aku membuka pintu rumah dan harus mendongak mendapati Rizal dengan tas ransel berdiri di hadapanku. Aku menatapnya seolah ia
tersesat. Aku mengabaikannya karena kepanasan luar biasa dan keringatku sudah sebesar biji jagung. Aku mengipas-ngipaskan tangan tidak sabar. Hal itu membuat bau matahari dan angin semilir yang bercampur debu ku rasakan menerpa wajah dan penciumanku. Rumah kakek di tepi Jalan Serongga, daerah Sungai Kecil, dan masuk ke dalam area lalu lintas kegiatan pertambangan. “Aku tidak boleh masuk?” itu sebuah pertanyaan yang diucapkan dengan nada sindiran. Aku memutar bola mataku dan menyingkir dari pintu memberinya akses masuk ke dalam rumah. Segera saja aku menutup pintu rumah, udara luar saat ini sangat beracun dan membuatku alergi. “Mau apa ke sini?” aku mengikuti Rizal dan memandangnya horor ketika ia tanpa babibu langsung menuju dapur dan membuka kulkas. Seperti maling yang sudah mendapat izin untuk menjarah rumah target operasinya. Aku langsung menarik ranselnya dan ia tersedak karena sedang minum dan tidak siap dengan tindakan waspadaku. “Apaan sih Lo?” tanyanya batuk-batuk.
“Lo tuh yang apaan! Masuk rumah orang langsung nyelonong dapur aja. Ini rumah gue! Setidaknya Lo minta izin dulu ke gue,” dahiku sudah berkerut tingkat satu. “Oh No! Sekarang Lo ngajakin gue ngomong gue elo? What on earth! Gue merasa kaya lagi diketawain partikel debu di luar,” sekarang dahiku sudah berkerut tingkat dua. Rizal hanya menatapku seperti aku sedang mengucapkan mantra dalam bahasa planet yang tidak dimengertinya dan kembali meneguk habis air es yang baru saja dicurinya. Dan aku sudah sangat kesal dengan kepala mendidih -terima kasih kepada cuaca panas dan Rizal yang memprovokasi- sekarang aku sudah bersiap menyeretnya keluar rumah tepat ketika suara nenek menghentikanku. “Rizal! Astaga, nenek pangling melihat kamu di sini. Sudah lama kamu gak main ke sini? Dian bagaimana kabarnya?” Nenek langsung mendekat dan memeluk Rizal. Aku bingung dan tidak bisa bersuara, seolah dipaksa menelan bola tenis bulat-bulat. “Rizal ini sepupu kamu, Vienna,” sekali lagi aku merasa telah terjadi hujan badai di planet Mars.
“Dia!” aku menunjuk Rizal dengan pandangan ngeri. “Sepupu aku, Nek?” aku histeris. Dan Rizal menatapku dengan pandangan, ‘Mati Lo! Gak akan selamat dari gue!’