FAITH
“Aku tidak tahu kamu memiliki history apa tentang dia. Tak ada lagi yang ingin kututupi, Fal. Aku memang ingin mengenalmu lebih dekat lagi. Jika bisa aku ingin membuatmu tersenyum, walau itu menyakitiku. Jika aku salah, aku minta maaf. Ya, aku suka kamu, tapi semua juga kembali ke kamu lagi kan?”
Kata-kata Lucky terngiang kembali di pikiranku. Ya. Dia memang tidak mengerti siapa Lucky yang pernah hadir dalam hidupku. Cinta pertama yang terkadang datang tidak tepat, tapi sulit untuk dihapus dari hati. Kembali kutatap agenda biru yang banyak berisikan namanya. Kali ini aku tidak ingin menyebut namanya. Aku hanya ingin mengenang untuk melupakannya.
Jam 02.30 pagi di kamar tidurku. Saat jangkrik berteriak-teriak berisik mengingatkanku akan dia. Bumi kembali sunyi dan keadaan berjalan pelan seperti waktu yang berjalan dalam gema. Semua tentang waktu itu. Semua tentang kisah kayu Salib dan Sajadah yang tak sejalan. Semua tentang kesalahpahaman yang menjadi palu keputusan alasanmu meninggalkanku. Kamu dan aku menyimpan kata-kata. Mungkin pula ini yang terbaik untuk kita. Tapi apakah kamu rela? Dan aku juga? Kau dan aku sama-sama menderita, kita sama-sama sedang menyimpan airmata. Terkadang jendela itu kubiarkan terbuka dan berharap angin mengeringkan airmataku setelah kau putuskan kita tak mungkin lagi bersama. Aku sering kali bertanya, “Mengapa?” Dulu aku begitu takut Tuhan memisahkan kita dengan memberikan dinding tebal keyakinan yang berbeda, bukankah sekarang sama saja? Kepada sahabatku, semua ini bisa kucurahkan dan setelah itu aku menangisi kebodohanku karena telah kehilanganmu. Jika semua harus berlalu, ya biarkan saja. Namun mengapa airmata ini masih tak bisa kuhentikan dari mataku. Harusnya cukup kamu yang terluka melihatku jalan berdua dengannya, mengapa aku juga? Selimut
tebal di kamarku tak bisa lagi menghangatkan hatiku yang tergolek kedinginan tanpamu. Aku tak bisa mengingkari apa yang kurasa. Aku sedang patah hati. Aku sedang kehilangan. Hari-hariku begitu berat. Semakin berat bagiku untuk bisa berpikir dengan sehat. Aku sendiri seperti juga kau merasa. Entah kau tahu atau tidak kita sedang dalam agenda kehidupan yang harus saling berpihak pada airmata. Aku tahu yang membuatmu sangat membenciku adalah ketidaksetiaanku. Jika saja kau tahu, aku masih setia padamu. Aku selalu ingin menjadi bagianmu. Jika harus ke neraka, aku akan mencobanya. Sayangnya kau lebih meyakini apa yang tampak di matamu. Aku tak bisa menjelaskan apapun yang telah kau lihat sebelumnya.
Kita berputar dalam muara yang aneh…. Jika musim semi telah berlalu, katakanlah… Haruskah kugugurkan cintaku dan tenggelam Mencoba berdiri melalui musim yang sedingin ini Jiwaku tak sekuat yang kau kira Aku butuh udara untuk bernyawa Jika itu kamu dan menjadi tiada
Kurasa nisan inilah akhirnya… Aku masih sama seperti dulu, hanya waktu yang berkata tidak untuk kita. Tuhan kita sama. Tuhan dari semua manusia dan kita juga manusia. Untuk apa berkata, “TIDAK”? cukup gelengkan kepala atau menganggukkannya, cinta akan menemukan jalannya. Jika kita bertemu lagi di lain waktu, kuharap kau membacanya. Kuharap kau mengerti selalu ada tempat yang sama di hati ini, walau Bumi tak memberi ruang untuk kita. Jika mungkin, aku ingin menunggumu. Aku ingin kau tahu tidak selamanya yang tampak oleh mata itu sebuah kebenaran. Aku berharap kau bahagia. Hidupmu, hidupku, semua yang Tuhan telah lakukan terasa adil bila kita merenungkannya. Salibmu atau sajadahku bukan penyebabnya. Semua masalah hati manusia, benar atau salah itu saja.
Nama Lucky kembali menjadi topik utama di agenda biruku. Dia telah pergi. Harusnya, aku tidak lagi mengingatnya. Nama itu hanya menjadi duri di sepanjang jalanku menapaki masa depan. Mengingatnya bagai bunuh diri tak mati-mati. Hanya rasa sakit tak tertahankan yang kudapat, bukan kematian. Sejak awal harusnya aku tahu, kami takkan sejalan. Aku hanya ingin mengklarifikasi kebenaran yang terjadi. Tidak ada hubungan apapun antara aku dan
Dhimas. Itu saja. Dan semua akan terasa ringan untuk kujalani meskipun tanpanya. Harusnya Lucky tak seegois itu pergi begitu saja tanpa memberiku kesempatan menjelaskan yang sebenarnya. Jika masalah keyakinan, aku bisa memahaminya, tapi kesalahpahaman ini harus diluruskan, kan? Kehadiran sosok Lucky lain semakin membuatku nyesek. “Tituttttttttt.” Suara nada SMS masuk di ponselku. Ternyata dari Bayu. Tumben dia SMS jam segini. Pasti masalah tadi sore mengganggu pikirannya. “AKU BELUM BISA TIDUR.” SMS gaje. Ya iyalah. Kalau sudah tidur mana bisa SMS. “KENAPA?” balasku singkat. “BAGAIMANA CARAKU MINTA MAAF?” “UNTUK APA?” Kutunggu sampai hampir satu jam dia tidak membalasnya. Bayu selalu misterius. Harusnya aku marah besar padanya. Entahlah. Lagu Que Sera- Sera dan Little Princess seperti lagu Nina Bobo menidurkanku. ***
PAGI YANG DINGIN TANPA ALASAN DARI TUHAN. Kak Zahro tumben sudah berdiri di depan rumah lengkap dengan seragam SMAnya. Tidak biasanya dia datang sepagi ini. Jika alasanya untuk mengajakku berangkat bersama, itu alasan konyol. Mungkin dia ingin membahas masalah jurnalistik yang kutinggalkan. “Tumben, Kak.” Aku menghampirinya. “Ada apa nih?”
beranjak
keluar
“Tahu, kan? Jika minggu depan akan ada lomba Jurnalistik ke Semarang?” kata Kak Zahro memberiku brosur lomba tersebut. “Terus?” “Bisa tidak kamu luangkan waktu untuk bergabung kembali?” Aku terdiam beberapa menit memandangi brosur itu. Impianku dulu yang kurobek sendiri tanpa alasan yang jelas. Jurnalistik bagiku sudah menjadi bagian dari udara untuk paru-paruku. Sejujurnya aku juga ingin kembali. Tapi aku juga sadar, teman-teman di sana juga sangat mengharapkan even ini. Jika tiba-tiba
aku ikut masuk, sama juga aku merobek impian mereka. Aku harus bisa bersikap etis tanpa harus menuruti keegoisanku. “Maaf, Kak. Masih banyak talenta luar biasa di Greeza. Bisa kok, Kak Zahro pilih beberapa di antara mereka. Aku tidak memiliki bakat di bidang ini.” Aku mengembalikan brosur itu pada Kak Zahro. “Kamu hanya terlalu dini keputusanmu. Fal. Dari tulisan yang memiliki kedetailan lebih dibanding Sekarang masalah tim, bukan individu. kembali.”
menyimpulkan kubaca, kamu yang lainnya. Coba pikirkan
“Sepertinya sudah kupikirkan masak-masak. Aku hanya ingin menulis dalam pandangan luas. Cerpen mungkin. Terima kasih sudah memberi kepercayaan padaku. Denny bisa kok dijadikan pilihan utama.” “Denny terlalu banyak bercandanya, Fal. Ya sudah. Masih ada waktu berpikir sebelum hari H. Pikirkan juga tentang Greeza.” Beberapa saat kemudian, sebuah motor berhenti di depan kami. Hanya berjarak tak lebih dari 3 meter. Seorang cowok dengan berperawakan tinggi mengenakan helmdan jaket hitam, dengan celana abu-
abu. Menengok ke arah kami. Pasti pacar Kak Zahro. Saat dia melepas helmnya, kulihat jelas wajah Mas Randy melihatku penuh arti. Wah, bisa ga enak sama Kak Zahro nih, jika Mas Randy menjemputku. Kak Zahro sudah bela-belain datang pagi ke rumah hanya untuk tunjukin brosur itu, eh sekarang malah kutinggal begitu saja. “Cepet naik!” kata Mas Randy memintaku naik motornya. Kakiku bergerak antara ya dan tidak untuk melangkah. Sepertinya tidak sopan meninggalkan Kak Zahro begitu saja. Jika menolak Mas Randy, dia tuh bawaannya sensitive banget. Terakhir lihat aku diboncengin Bayu saja sudah sewot segitunya. Tunggu dulu. Kak Zahro langsung berlari naik motor Mas Randy? Apa tidak salah? “Pikirkan lagi, Fal!” teriak Kak Zahro dari atas motor sebelum mereka meninggalkanku sendiri. Apa-apaan nih? Aku jadi bingung sendiri. Apa hubungan antara Kak Zahro dan Mas Randy coba? Atau ini cara balas dendam Mas Randy padaku atas peristiwa saat itu?