1. SANG PENCARI TAHU
Mataku melihat apa hasil yang ditulis jemari ku. Akal budiku menalar apa yang ditangkap dalam penglihatan ku. Dalam diam aku memikirkan sesuatu. Siapakah aku. Dan langkah kakiku tiada berhenti. Membawa tubuhku ke seluruh penjuru. Aku masih terus bertanya. Siapakah aku. Hingga suatu masa kubaringkan tubuhku, Aku mencari tahu, siapakah aku ? Aku adalah sang pencari tahu, siapakah diriku ? Aku adalah sang pencari tahu. =================================================== Takengon, 30/01/2010.
2. DARI SETUMPUK NASI
Kuterima pemberian dari anak petani. Setumpuk nasi putih, seputih jiwa manusia. Kusimpan diatas daun pisang yang hijau. Tidaklah menunggu lama. Nasi putih pindah ke dalam mulutku yang menganga. Ia masuk perut entah seperti apa nasibnya. Setumpuk nasi putih telah mengusir lapar. Mendatangkan kenyang yang entah dari mana kenyang itu diambilnya. Dalam diam aku bertanya, “Siapakah Engkau yang mengatur ini semua?” 2
Dan di dalam duduk aku masih bertanya. Dan di dalam jalan aku masih terus bertanya. “Siapakah Engkau yang mengatur semua ini ?” Hingga suatu masa kubaringkan diri ini. Aku masih bertanya,” siapakah Engkau yang mengatur semua ini ?” Dan seperti kilat aku bisa mendengar suara di dalam hatiku. Akulah Sang Maha Bijaksana. Yang menggantikan laparmu menjadi kenyangmu. Akulah yang memberimu setumpuk nasi melalui anak petani itu. Sudah tahukah kamu? Dan akupun membisu, “Ampunilah aku, wahai Tuhanku”. Sujudku hanyalah untuk-MU, Sang Maha Bijaksana. ================================================== Beutong Ateuh, 04/02/2010.
3
3. DARI SELEMBAR DAUN YANG TUA
Dalam perjalanan menuju masjid tempat bersujud. Terpijak selembar daun tua tanpa ku sengaja. Melekat menempel pada sandal jepitku yang sudah tua. Daun tua itu kusimpan dan selalu ku bawa. Seperti minggu yang lalu, bulan yang lalu, dan tahun yang lalu. Aku belum mendapat jawaban dari selembar daun tua. Siapakah kamu, sedang apakah kamu, mengapakah kau bertemu denganku. Dan hingga detik ini aku mendapatkan mimpi. Aku adalah hamba, Yang saat ini berada dijalan untuk pulang. Aku adalah si pembawa pesan, Untukmu, yang juga suatu saat akan pulang. 4
Dulu tiada, menjadi ada, dan akan tiada. Aku adalah mahluk berasal dari Sang Maha Pencipta. Aku adalah hamba yang akan kembali kepada Sang Maha Kuasa. Aku adalah bukan siapa-siapa. Tak mungkin aku kembali membawa keindahan warna hijau daun yang kumiliki. Di sana adalah sumber warna, segala warna ada, tak terhingga jumlahnya. Tidak akan lebih, aku hanya akan membawa diri-ku ini saja. Karena warna adalah titipan semata. Semua materi yang fana akan kembali ke alam fana. Ruh yang suci akan kembali kepada dzat yang suci. Apakah kamu sudah mengerti ? Dan aku hanya diam saja. Air mataku keluar mengalir membasahi keangkuhanku. Dalam mimpi tidurku, aku menemukan jawaban yang aku cari. Dari selembar daun yang tua. Aku mulai mengerti sebagian kecil makna hidup ini. =================================================== Takengon, 04/02/2010.
5
4. MENATAP LANGIT MENCARI DAMAI
Setan alas para penjarah hutan. Kau kuliti bumi ini dengan alasan sesuap nasi. Kau usik kedamaian ekosistem di kawasan hutan. Hatiku luka, benci dan murka untukmu si-pembabat hutan raya. Aku mewartakan kepada langit atas luka hati, benci dan murkaku. Tetapi ia membalas dengan senyuman yang membiru. Kuterima pesan darimu di dalam detak nadiku. “Apakah dengan luka hati, benci dan murkamu membuat masalah sirna?” Senyum birumu membuatku malu, Aku sadar hanya mencari muka dihadapanmu. Kukira dengan mencaci dan memaki, maka aku sudah menjadi sang pejuang. Padahal aku mengaku, bahwa aku belum berbuat apa-apa. 6
Dengan malu-malu aku menatap wajah langit yang membentang biru. Pintaku, ajarilah aku agar bisa memiliki sesnyuman damai berwarna biru. Lama ku menunggu dalam diam, tetapi tidak ada pertanda secuil jawaban. Mungkin aku terlalu hina untuk meminta, padahal aku belum berbuat apa apa. Satu dua langkah aku masih hafal akan permintaanku. Pintaku, ajarilah aku agar bisa memiliki senyuman damai berwarna biru. Sepuluh langkah dan seratus langkah aku mulai lupa akan permintaanku. Aku hanya diam dan berpuisi, tanpa bisa membagi senyum yang biru. Ternyata biru itu bukanlah milikku. Terlalu tinggi hasratku untuk menjadi biru. Hanya dia sang langit yang bisa berwarna biru. Dan aku sadar bahwa diriku belum memiliki warna. Aku menatap langit mencari damai. Ternyata bukan disitu tempatnya. Mungkin dalam hati manusia, tetapi aku belum menemukannya. Entah sampai kapan aku menemukan jawaban, hingga kini aku belum tahu. =================================================== Takengon, 09/02/2010. 7
5. DAN AKU BARU SADAR
Di sebuah taman, Ku pandang aneka warna bunga, Ku petik karena aku ingin memilikinya, Ia layu seketika Ia ku buang tidak jauh dari taman itu. Di sebuah pasar burung, Ku dengar kicau burung, Ku beli yang terbaik karena aku ingin memilikinya Ia mati setelah beberapa minggu Ia ku kubur tidak jauh dari taman itu.
8
Disebuah cafetaria Kunikmati es campur aneka rasa, Kubeli karena aku tidak puas hanya semangkuk Ia basi di atas meja makan Ia kubuang tidak jauh dari taman itu. Di sebuah trotor jalan Kubeli tasbih dari kayu cendana Harum dan halus jika diraba Ia tidak lagi kumiliki Ia terjatuh tidak jauh dari taman itu Di sebuah tempat, tidak jauh dari taman itu Aku belajar dan terus belajar Dan aku paham Akan kurawat mataku, telingaku, lidahku, hidungku dan kulitku Kurawat dengan cinta semua panca inderaku Dan pada saat ini Tanpa memetik bunga, aku bisa menikmati keindahan bunga dengan mata. Tanpa aku beli burung kicauan itu, aku bisa mendengarkan merdu suara dengan telinga. Dulu aku salah memahaminya Seharusnya aku mencintai apa yang aku punya
9
Dan tidak jauh dari taman itu Aku baru sadar semua makanan menjadi lebih lezat jika aku santap setelah aku berpuasa Aku baru sadar semua ruas jemariku bisa menjadi tasbih untuk mengingat Tuhanku Seharusnya aku lebih mencintai apa yang ada pada diriku Dan sekarang aku sadar, aku perlu belajar mencintai apa yang diberikan Tuhan pada diriku. =================================================== Wonosobo, 30/04/2011.
10
6. PUISI CINTA
Dikala balita, Aku bawa empong kemana-mana Menempel dibibir tak pernah lepas darinya Aku menjerit menangis jika empong diminta paksa Aku mau empong tetap ada bersamaku Aku mencintai empong itu Dikala Sekolah TK, Aku telah mengerti siapa ibuku Ia mahluk terbaik yang aku kenal saat itu Aku meronta ketika dipaksa masuk ke dalam kelas TK Aku mau tetap berada disisi ibuku Aku mencintai ibuku 11
Dikala Menjadi Anak, Aku tinggalkan empong dan kutinggalkan ibu Sepanjang hari bermain dengan teman teman seusiaku Aku merajuk jika dipaksa berhenti bermain bersama mereka Aku merasa diriku bagian dari teman sepermainanku Aku mencintai semua kawan-kawanku.
Dikala Aku Remaja, Aku mengenal paras cantik bak bidadari, ia adik kelasku Dunia terasa hancur lebur jika aku tidak bersanding dengannya Aku berjanji pada diriku aku tidak akan pindah ke lain hati Engkau adalah cinta asmaraku yang pertama Aku mencitainya dengan segenap jiwa
Dan dikala aku Dewasa, Aku menangis, meronta, karena semua cinta sangat menyiksa Apa yang aku cinta meninggalkan diriku begitu saja Empongku hilang, Ibu jauh, teman pergi, cinta asmaraku layu. Aku bingung mencari tahu, adakah cinta yang lebih kekal untukku Aku mau cinta yang bukan sementara, aku mau cinta yang lebih lama
12
Disuatu tempat dikala Menjelang Senja Aku tersenyum ceria Cinta yang aku cari sudah aku punya Cintaku sekarang tidak jauh dan tidak dekat, Ia ku kenal belum lama Ia adalah Sang Pemilik, Ia pemilik dari empong yang hilang Ia pemilik dari ibuku yang saat ini jauh Ia pemilik dari semua teman-temanku Ia pemilik dari cinta asmara yang dulu aku pernah mengalaminya Ia pemilik dari diriku yang belajar mengenali cinta Ia bukan siapa-siapa, dan aku mencintai-NYA, Aku mencintai-NYA untuk selama-lamanya. =================================================== Jogja, 27/01/2013.
13
7.
Mencari Bintang.
Tadi malam kau berkata, “Aku akan mencari bintang di luar sana”. Aku tersenyum karena ku kira bintang itu adalah bintang sebenarnya. Bintang yang ada di langit, yang biasa aku lihat di alam yang gulita. Ketika kau pulang , ku kembali bertanya, “Sudahkah kau dapat bintangnya?” Dan kau menjawab, “Sudah. Aku mendapat dua bintang saja.” Dalam hati aku bertanya, “Dua bintang? Setauku banyak bintang di luar sana.” Kaupun tersenyum dan berkata, “Bintang yang kudapat adalah bukan bintang.” Kau berkata, “Yang bersinar merip bintang itu ternyata, Cahaya Hati.” “Cahaya hati itu yang menunjukan kepada kita mana yang asli dan yang palsu.” 14
“Cahaya Hati itu yang mengetahui mana yang jujur dan mana yang menipu.” “Cahaya Hati itu yang menentramkan jiwa, menjinakkan nafsu.” “Cahaya Hati itu yang menguatkan aku memberi maaf kepada siapa saja.” “Cahaya hati itu yang membuat sejuk walau badan dibakar matahari.” “Cahaya hati itu yang membuat hangat walau embun malam membekukan nyali.” “Cahaya hati itu yang meringankan langkah untuk mengambil air wudlu.” “Cahaya Hati itu yang menghibur kegelisahan nalar yang tak bertepi.” “Cahaya Hati itu yang menguatkan raga dan tangan ini untuk ber-Takbir.” “Cahaya Hati itu yang memudahkan lisan membaca ayat-ayat Qur-an dan do’a.” “Cahaya Hati itu yang menentramkan jiwa sebelum kita kembali ke asalnya.” “Cahaya Hati itu yang membuat pandangan kita Indah sebelum ada di Surga.” “Cahaya Hati itu milik Sang Maha Pencipta dan ia ada didalam jiwa manusia.” Jika semua ayah, istri dan anak-anak mereka menyala Cahaya Hatinya. 15
Jika seluruh penghuni negeri ini semuanya menyala Cahaya Hatinya. Dengan ijin Alloh, maka damai tentram dan mulia hidup kita semuanya. Mungkinkan itu terjadi? Sangat mungkin untuk terjadi. Jika ada kehendak, maka terwujudlah apa yang bisa terwujud. Hingga saat ini, Cahaya hati masih menyala. Dalam tidur malam yang sangat bersahaja. Hingga siang saat bercanda ceria. Malam itu Cahaya Hati telah aku temukan. Dan Cahaya Hati itu bukan bintang yang tadinya aku cari. Tetapi ia adalah pelita yang menyala-nyala didalam hati kita semua. Terima kasih ya Alloh. Terima kasih sahabat. Ia yang bukan bintang telah menyala di dalam hati kita semua. =================================================== Santan, 21/06/2012.
16