1 Pertama Kali Aku Mengenalnya
A
ku berhasil menjadi kekasihnya. Laki-laki yang selama 4 tahun sudah aku kagumi dan cintai. Aku pertama kali bertemu
dengannya ketika aku duduk di bangku SMP. Saat itu hidupku dipenuhi dengan kesendirian, aku tidak mempunyai seorangpun yang bisa kusebut dengan panggilan „teman‟, gayaku yang kampungan dan wajahku yang tidak pernah tersenyum menjadi alasan utama mengapa aku dijauhi oleh orang-orang di kelasku. Seseorang masuk ke dalam kelas dengan santainya, padahal saat itu dia sudah telat 30 menit dari lonceng pertanda kegiatan kelas dimulai. “Martin, kamu pikir ini sudah jam berapa?” pak wali kelas berteriak cukup kencang. Wajar,
1
karena wajah laki-laki yang dipanggil Martin itu tidak terlihat merasa bersalah sama sekali. “Aku bertemu dengan seorang perempuan saat aku ingin menuju ke kelas, dia terlihat sakit, sehingga aku membawanya ke UKS. Apa alasanku cukup?” jawabnya dengan singkat. Sesaat aku terkesan, dia tidak seburuk yang aku pikirkan. Gayanya yang terlihat seperti laki-laki nakal dengan telinga kiri ditindik dan seragam yang tidak rapi membuatku memiliki kesan pertama yang jelek padanya. “Kalau itu, kamu boleh duduk”, pak wali kelas menyerah begitu saja, tentu saja alasannya sangat berasalan. Dia adalah domba yang berselimut kulit serigala, itu adalah kesan keduaku padanya. Waktu sekolah sangat panjang, aku selalu merasa seperti itu. Aku duduk di sudut kelas dengan kepala yang bersandar di sudut jendela samping tempat dudukku sambil melihat ke langit yang terlihat cerah. Aku sangat menyukai langit yang berwarna biru cerah karena ketika melihat warna biru langit
2
yang cerah berserta awan putih yang bergerak beriringan perasaanku akan menjadi sangat tenang. “Awannya berbentuk seperti kelinci”, pikirku yang langsung disertai aksi cepatku membuka ponselku untuk mengambil gambar awan tersebut. Aku mendengar suara cekikikan dari segala arah di ruang kelas, semua anak melihat ke arahku. Ah, tindakanku yang memotret awan pasti sangat aneh bagi mereka, lagi-lagi aku menjadi bahan ledekan mereka. Akan lebih menyenangkan jika mereka meledekku dengan terang-terangan, karena dengan begitu aku bisa melawan mereka dan melindungi diriku sendiri. “Uwah, bukankah awan itu mirip dengan kepala kelinci?” Martin tiba-tiba merebut ponselku. Aku berusaha untuk mengambilnya kembali, tapi aku gagal karena perbedaan tinggi yang kami miliki. “Hei, lihat. Bukankah Mami sangat keren? Dia bisa mengambil foto awan ini dengan sangat cepat”, aku tertegun sejenak. Apakah dia sedang berusaha untuk membantuku? Bagaimana dia bisa
3
mengetahui namaku, padahal kami belum pernah mengobrol satu sama lain, bahkan banyak teman sekelas yang tidak megetahui namaku sama sekali. “Apa ini? Bentuk awannya aneh, sama seperti orang yang mengambil foto ini”, salah seorang yang melihat foto awanku membuka suara. Ekspresinya sangat menyebalkan, aku ingin sekali memberinya kepalan tangan yang sudah aku tahan sejak pertama kali aku masuk ke sekolah ini. “Apa kamu selalu berkata seperti ini pada teman sekelasmu? Aku benar-benar merasa foto ini menakjubkan”, Martin membelaku. Kepalan tanganku yang sempat mengeras menjadi lunak, pikiran jahatku yang berharap orang yang menghinaku mendapatkan kesialan selama hidupnya menjadi hilang seketika. Saat itu aku seperti langit mendung gelap sehabis hujan yang lenyap seketika ketika matahari dari balik awan bersinar cerah disertai dengan pelangi setengah lingkaran dengan tujuh warna. “Martin, kamu tidak sedang membelanya kan?”, seseorang kembali membuka suara. Ingin
4
sekali aku menutup mata dan telingaku rapat-rapat, berlari secepat mungkin keluar kelas. Aku sangat takut mendengar jawaban Martin. “Iya, karena aku tidak suka dengan kalian yang selalu mengucilkan dan menindasnya hanya karena dia bergaya kampungan”, kalimat bergaya kampungan yang dia lontarkan benar-benar menusuk tepat di jantungku, tapi aku tanpa sadar tersenyum dengan apa yang dia katakan. Semua orang yang sedang berada di kelas terdiam sejenak, tidak ada yang berani melontarkan kalimat kasar padanya. Martin adalah laki-laki yang paling dihormati dan disenangi di kelas. Tidak peduli seberapa banyak masalah yang dia ciptakan di sekolah, dia tetap dikelilingi oleh orang-orang. Dia hidup di dunia yang berbeda denganku.
5
Kehidupan sekolahku mulai berubah karena efek satu kalimat yang dilontarkan Martin saat itu. Aku mulai ikut melibatkan diri di setiap kegiatan sekolah. Aku ikut menyibukkan diri dan tanpa sadar sudah berada dalam lingkaran yang selama ini selalu aku pandang dari sudut kelas. Keahlianku dalam memotret mendapatkan pengakuan dari teman-teman sekelasku dan aku mulai menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Satu per satu dari mereka mulai meyebut
namaku,
menghabiskan
waktu
memanggilku, bersama
mengajakku
saat
istirahat.
Pandanganku pada sekolah berubah drastis dari sejak aku pertama kali masuk, semuanya atas bantuan Martin. Saat itu, aku mulai menyadari setiap kali nama Martin terdengar oleh telingaku, jantungku langsung mengepakkan keempat katupnya dengan riang, aliran darahku menjadi sangat deras dan temperatur suhu tubuhku menjadi sangat panas. Aku mulai menyukainya, sekarang dia adalah pahlawanku dan seterusnya akan terus seperti itu.
6
Di suatu hari yang cerah, aku mendapatkan kabar yang tidak mengenakkan. Martin berkelahi dengan anak kelas lain yang tidak menyukainya. Anak itu terluka parah karena dihantam oleh kepalan tangan Martin yang besar. Aku mengintip dari pintu kelas, melihat wajah anak itu sudah dipenuhi dengan memar berwarna biru keungu-unguan, Martin benar-benar memukulnya dengan keras. “Anak itu yang salah, dia sudah mengejek Martin”, teman di kelasku sibuk mendiskusikan perihal kejadian tadi pagi yang masih terbayang jelas di otakku. Aku tidak melihat wajah Martin dari tadi pagi, membuat perasaanku sedikit tidak tenang. Saraf otak dan batinku mengatakan hal yang sama, aku harus bertemu dengan Martin, menjadi dinding untuk tempatnya bersandar, menjadi bayangan yang saat ini menemaninya tanpa mengusiknya sama sekali. Aku berlari ke seluruh sudut sekolah mencari sosok Martin. Tasnya masih terletak di atas mejanya, membuatku yakin dia masih berada di sekolah. Ini pertama kalinya aku tidak mempedulikan apakah
7
kelas sudah dimulai atau belum, aku tidak peduli apabila aku melewati beberapa pelajaran. Dengan napas yang terengah-engah, aku menemukannya. Dia terbaring menghadap ke langit di loteng sekolah sambil memejamkan matanya. Aku melangkahkan kakiku dengan pelan karena takut membangunkannya yang terlihat tertidur pulas. Syukurlah, dia hanya mengalami luka di bibirnya yang sepertinya tidak terlalu parah. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Martin membuka
matanya,
melihatku
yang
sudah
memandanginya dari atas tempatnya berbaring. “Menjadi
pelindung
supaya
kamu
bisa
terhindar dari sinar matahari langsung, seperti pohon”, jawabanku membuatnya diam sejenak lalu tertawa terbahak-bahak. Dengan muka tanpa ekspresi aku menatapnya bingung. Dia bangun dari tidurnya dan memberiku sinyal untuk duduk di sebelahnya dengan menepuk lantai. “Lalu sekarang apa yang akan kamu lakukan?” Martin kembali bertanya padaku.
8
“Menjadi dinding yang bertelinga, tapi tidak memiliki suara. Kamu boleh berbicara apapun padaku, aku tidak akan menghentikanmu sampai kamu ingin berhenti”, aku menjawabnya tanpa ragu. Dia hanya tersenyum kecil mendengar jawabanku. Siang itu, waktu terasa sangat lambat. Aku mendengar sesuatu yang tidak pernah aku ketahui mengenai Martin. Aku mengenal sisi Martin yang baru,
yang
mengetahuinya.
mungkin
tidak
Kenyataan
semua
bahwa
dia
orang sudah
ditinggalkan oleh ibunya sejak kecil, kenyataan bahwa dia tidak bisa mempercayai wanita karena ibunya. Aku tidak bersuara, air mata yang mengalir dari mataku menjadi jawaban apa yang aku rasakan. Martin melihatku dengan wajah yang kaget dan menepuk kepalaku dengan lembut, aku simpulkan itu sebagai tanda terima kasih karena sudah mau menjadi dinding yang bertelinga, namun tidak bersuara. Kami bersama-sama menatap langit yang tidak terlalu cerah tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Saat itu aku berharap angin yang bertiup
9
dapat menyapu bersih seluruh ingatan Martin kecil yang menyakitkan mengenai ibunya.
10