Hari ini, senja sempurna merekah melalui kanvas langit yang memesona. Senja yang sempurna, saat langit, hujan, angin, dan debu bersatu di bawah tudung matahari. Menikmati sisa-sisa hangat terakhir yang nyaris tak akan dirasakan lagi. Segala sesuatunya tak pernah ada yang menyadari bahwa keindahan sepotong senja sejatinya adalah misteri kematian. Matinya matahari melalui rona merahnya yang siap di telan siang. Melalui hamburan debu-debu yang tiada berdaya melepas kepergian sinar melalui senja. Dan senja ini benar-benar sempurna ketika tenggelamnya mengajak jiwa manusia. Kembali memasuki tempat pemakaman ini langkah kakiku geragapan, seperti bergetar, tapi tidak. Sulit melangkah, tapi tetap bisa berjalan. Dari jarak satu meter lebih aku sudah bisa mengenali taburan bunga merah, putih, hijau, dan kuning yang kutabur bersama orang-orang kemarin. Ya, baru kemarin, sekitar dua puluhan jam yang lalu. Masih segar wangi bunganya.
Rasanya, aku masih tidak percaya bahwa kenyataannya yang bisa kulihat hanya bunga-bunga dalam gundukan itu. Tentu sama sekali tak bisa mengobati rinduku yang ingin bertemu. Dengannya, kepada gadis di bawah gundukan tanah merah itu rinduku selalu berlabuh. Kulit tubuhku terasa berkerut dan senyar, napasku mengah-mengah, tapi bisa lancar bernapas. Sementara logikaku masih berusaha meyakinkanku bahwa
gundukan tanah itu tak bisa mendengar
penjelasan apa-apa dariku. Sama sekali tidak. Tapi, bagaimana dengan doa? Aku takzim menatap sebuah nama yang terpahat rapi di atas bilah papan kayu yang berdiri tegak. Nisan. Nama yang dulu selalu hinggap di pikiranku kini dengan santainya terpampang di sana, seolah-olah sudah tak mau lagi aku pikirkan. Aku tak banyak tahu tentang kehidupannya, tidak seperti dia yang tahu banyak atas kehidupanku. Menatap namanya tercatat
2
sebagai makhluk yang pernah hidup di dunia, aku sadar: betapa egoisnya aku. Pertemanan kami mengalir begitu saja, tanpa rancangan alur yang dibuat sebelumnya. Kami satu kelas, hanya itu barangkali yang bisa aku katakan untuk menjawab sejak kapan aku mengenalnya. Kami hanya sekadar berada dalam satu ruang yang sama tanpa saling mengenal
bagaimana
berawal.
Seperti
dia
yang
terhanyut kehidupan sunyinya, aku pun tenggelam dalam kehidupanku yang kelam. Aku masih berusaha mengingat-ingat bermula,
bagaimana
bagaimana
pertemuan
kami
berjumpa,
kami
itu
bercerita,
menyapa, sampai akhirnya hadir cinta. Aku ingin merangkainya.
Aku
ingin
menjerang
kenangan
bersamanya yang cepat sekali tiada. Kepada gundukan itu aku mengadu, aku tidak ingin dia meninggal. Semahkota
mawar
yang
mulai
layu
itu
memberitahuku bagaimana pertama kali aku menyebut
3
namanya. Dulu. Ketika dia menyelamatkanku dari serangan seorang banci. Makhluk yang paling aku benci. Sore itu, ketika perjalanan pulang, di tengah jalan aku bertemu dengan seorang banci yang (bagiku) sangat menjijikan. Melihatnya, emosiku langsung naik, meletup-letup tak terkendali. Sebisa mungkin aku berusaha untuk tetap tenang, tapi jari-jemariku seolah tak
bisa
diajak
kompromi.
Stang
motor
yang
kugenggam oleng, aku tak bisa mengendalikan laju motorku dengan baik. Tanpa sengaja, atau mungkin memang sebenarnya sengaja, aku menyerempetnya. “Aduuuuh!” Banci itu meraung kesakitan. Tubuhnya terjerembab. “Ati-ati dong, Mamase....” ujarnya lagi. Gemulai ia menanap wajahku.
4
Aku
menggeragap
jijik.
“Dasar
bencong!”
umpatku kasar dalam kesal. Aku tak pernah suka banci. Aku sangat membenci. Terkadang seorang banci akan marah kalau disebut banci. Sampai sekarang belum ada yang tahu alasannya.
Banci
tadi
sontak
menguapkan
sisi
kelembutannya. Berdiri menggulung lengan gaunnya yang panjang lalu berbicara lantang. Tegas, dengan suara berat. Lantas aura kejantanannya menjadi berlipat. “Bicara apa kamu tadi? HAH!” Aku yang semula marah mendadak bisu. Dibalik kebencianku pada makhluk satu itu, aku menyimpan ketakutan mahadahsyat yang sampai sekarang sulit dijelaskan.
Aku
menatap
lekat-lekat
banci
itu.
Memandangi segenap tubuhnya yang warna-warni dari ujung rambut sampai ujung kaki. Banci itu terus marahmarah sebagai lelaki dan aku hanya terdiam. Seperti patung yang entah bernyawa entah tidak. Aku benar5
benar tak mengerti dengan apa yang kurasakan saat itu. Aku sempurna memahami bahwa aku sedang melihat orang lain di dalam tubuh banci itu. Seorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kehidupan masa laluku. “WOY! KAMU BILANG SAYA APA TADI?” katanya berubah garang. Wajahku berubah menjadi sayu, mendadak sekujur tubuhku dibanjiri keringat dingin yang berlebih. Aku takut. “Kenapa diem?! Mana kejantananmu?” Aku masih statis. Ketakutan itu mulai merayap, menyusup pelan-pelan ke seluruh aliran darahku. Ketakutan yang tertahan oleh rasa kekecewaan. Tak terceritakan alasan. “Brengsek!”
6
Melumpuh. Sudut mataku berair. “Pergi,” kataku pelan. “Pergi dari hidupku!” kenangan itu sempurna menguasaiku, membuatku tak bisa mengendalikan keadaan. Aku tahu, banci di depanku itu tidak memiliki hubungan sama sekali dengan rasa takut yang kumiliki. Aku memiliki sebilah kehidupan lain tentang ini yang membuatku
marah
semarah-marahnya
kepada
golongan mereka. Aku dikalahkan oleh rasa yang tak jelas itu. Aku menangis. Banci itu tak mengerti, terlanjur marah oleh sikapku yang menurutnya menghina kaumnya. Banci yang sama sekali tak punya perasaan untuk menengok perasaan laki-laki seperti aku. Banci itu juga laki-laki. Bug! Sebuah pukulan mengenaiku sampai sudut bibirku mengeluarkan darah. Banci itu terlanjur marah. Sementara aku hanya bisa mendengus pasrah.
7
Ketika dia siap memukul untuk yang kedua kali, tiba-tiba saja dia terhenti karena dihalangi oleh seorang gadis. Gadis itu terbatuk kecil. Melihat mata kuyu gadis itu, kemarahan banci menguap. Gadis itu tersenyum lama. Batuk-batuk kecilnya terus mengiringi. Ia kemudian menunjukkan botol minuman yang sudah kosong. Mengembalikan kepada banci itu. “Tidak perlu dikembalikan.” ucap banci dengan suara laki-laki. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Sambil tersenyum gadis itu meletakkan ujung telapak kanannya ke mulut lalu menjatuhkan ke telapak kirinya. Terima kasih. Banci tersenyum, wajah gadis itu sama sekali membuatnya lupa bahwa dia sedang marah.
8
Gadis
itu
kemudian
menyentuh
bahuku,
mengaitkan kedua telunjuknya, kemudian meletakkan telapaknya di dadanya. Dia teman saya. Isyarat gadis itu membuat banci mengerti. Mengerti bahwa gadis itu tidak bisa bicara. Bisu. Banci lalu tersenyum, kemudian menjulurkan tangan kepada gadis itu, mengajaknya berkenalan. “Tomi, biasa dipanggil Tammy Chubby....” ujarnya menggemaskan. Gadis itu menerima uluran tangan Tomi sambil terkikik. Sementara aku masih tak berkutik. Sekadar menonton sepotong adegan yang sedikit menarik. “Kamu?” Diam. Mata gadis itu mengerling, memikirkan sesuatu yang bisa membantunya memberi tahu. Dia lupa
membawa
kertas
dan
pulpen,
perantara
komunikasinya selama ini. Tomi menunggu. Sedikit 9
merasa bersalah dengan pertanyaan itu, tetapi dia benarbenar ingin tahu. “Shasa. Nama gadis itu Shasa.” kataku. Saat itulah aku ingat, bahwa dia adalah teman sekelasku. …/..../.-/.../.-
10