BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang T’es straight, t’es safe Kamu heteroseksual maka kamu aman (Garcia, 2008: 184) AIDS pertama kali muncul pada awal tahun 1980-an, tetapi mulai muncul menjadi tema yang diangkat dalam karya sastra Prancis pada awal tahun 1990-an. Hervé Guibert adalah salah seorang penulis Prancis yang menuliskan AIDS sebagai tema dalam roman autofiksi A l’ami qui ne m’a pas sauvé la vie bercerita mengenai epidemi AIDS, penderitaan mengidap AIDS dan banyaknya korban AIDS. Setelah Guibert, pada tahun 2000-an bermunculan penulis-penulis lain yang menulis tentang AIDS dan kehidupan homoseksual. Salah satunya, JeanPaul Tapie, seorang penulis Prancis dengan spesialisasi roman gay dan telah menulis dua puluhan buku, antara lain Dolko - Tome 1-4 , Ils m’appelaient Fanchette dan beberapa roman lainnya. Tapie menceritakan kehidupan gay pada zaman Paus Benedict ke-16 di dalam roman Dolko yang diterbitkan tahun 20072009. Pada tahun 2008, Tristan Garcia yang menulis La Meilleure Part des Hommes. Roman La Meilleure Part des Hommes disebut sebagai sebuah karya sastra yang merespon isu-isu homoseksual yang berkembang di Prancis tahun 2000-an. Mayoritas korban merupakan kelompok homoseksual, hal ini terjadi
1
akibat berkembangnya AIDS dan homophobia di masyarakat. Garcia berusaha mengangkat isu homoseksual dan AIDS dengan cara yang berbeda. Perseteruan kondom dipakai sebagai pusat konflik, Garcia berusaha menunjukkan bahwa penggunaan kondom mempunyai makna berbeda-beda dari kelompok maskulin. Isu kebebasan yang berkembang di tahun 1980-an disangkutpautkan dengan bebasnya tubuh dari penyakit AIDS yang memakan banyak korban, tetapi di sisi lain tubuh yang bebas adalah tubuh yang tidak dikekang oleh manusia dan ciptaannya. Roman La Meilleure Part des Hommes menarik dikaji karena menggunakan tubuh sebagai alat politik oleh kelompok homoseksual menghadapi hegemoni maskulin dan mengangkat isu-isu mengenai AIDS homoseksual. Roman La Meilleure Part des Hommes bercerita mengenai gerakan kelompok homoseksual menghadapi isu AIDS dengan William Miller dan Dominique Rossi sebagai tokoh utamanya. Dua orang homoseksual yang pada awalnya saling mencintai berubah saling bermusuhan dan menggunakan isu AIDS dan kampanye kondom untuk saling menjatuhkan. Will kontra kondom. Seks dengan memakai kondom dianggap terlalu berlebihan karena menghalangi kebebasan mereka dalam kegiatan seksual yang berarti membatasi kebebasan dan hak pribadinya. Dominique setuju dan pro kondom serta menganggap bahwa seks yang aman adalah jawaban bagi pencegahan penularan AIDS di kalangan homoseksual. Kelompok homoseksual pro kondom bekerjasama dengan pemerintah, yakni Kementerian Kesehatan, untuk berkampanye mengenai seks aman. Will membalas Dominique dengan menulis artikel-artikel yang menguatkan pendapatnya mengenai kontra kondom. Media massa digunakan oleh
2
mereka berdua sebagai arena polemik mengenai AIDS. Hal tersebut diungkapkan Garcia (2008: 57-58) dalam roman La Meilleure Part des Hommes. “ Ce qu’on veut, nous, pédés, je vais vous le dire, on veut vivre. Et ce que vous voulez, vous, je vais le dire, c’est la mort des pédés, c’est qu’il n’y ait plus de pédés, l’extinction de la race, le mot et la réalité. On nous dit d’attendre comme des petits garcons, d’être bien sages et responsables. On dit que si on meurt, nous, c’est un peu de notre faute. Mais qui êtes-vous, hein? Vous êtes l’Église pour nous dire que nous sommes coupable, et l’État pour nous dire d’ être responsables? “ Aku akan mengatakan kepada kalian tentang apa yang kami inginkan sebagai homoseksual, kami ingin hidup. Dan, yang kalian inginkan adalah kematian para homoseksual, tidak lagi ada kami secara kata-kata dan kenyataan, kepunahan ras. Kalian berkata kepada kami seperti anak kecil, bijaksana dan bertanggungjawablah. Kalian katakan jika kami mati, hal itu adalah salah kami. Tapi, siapa kalian? Apa kalian adalah Gereja yang mengatakan bahwa kamilah yang bersalah dan Negara yang menuntut kami lebih bertanggung jawab?”
Dominique sebagai salah seorang homoseksual merasa kelompok homoseksual disudutkan dengan kehadiran AIDS dan mengecam negara juga agama yang menyalahkan mereka. Pada akhirnya, Dominique memutuskan untuk bekerjasama dengan pemerintah untuk kampanye kondom karena banyak temanteman dekatnya meninggal akibat AIDS. Kampanye dilakukan untuk seks aman dan ditujukan kepada kelompok homoseksual agar terhindar dari penyebaran penyakit AIDS. Kampanye kondom selalu berhubungan dengan tubuh yang menjadi arena kontestasi politik antara hegemoni maskulin dan kelompok maskulin minoritas, homoseksual. Tubuh laki-laki didefinisikan sebagai tubuh yang bergender maskulin dan hal ini berlangsung secara kultural, sejarah dan terus menerus dalam waktu yang lama. Faktanya, maskulinitas bersifat tidak tetap dan
3
bertransformasi dalam proses sosial karena tubuh laki-laki tumbuh dan berkembang, menetapkan atau mengubah maskulinitas mereka. Tubuh tidak berperan sebagai hal terpenting dalam menentukan gender tetap seseorang. Tubuh dianggap sebagai sebuah kertas kosong, cerita dan artinya sudah dituliskan oleh budaya (Connell, 2000: 68). Gender sebagai cerita, sedangkan tubuh dibentuk secara sosial dan menjadi agen dalam hubungan bermasyarakat. Pada awal kemunculannya, roman La Meilleure Part des Hommes karya Tristan Garcia ini dianggap sebagai autofiksi peristiwa Didier Lestrade dan Guillaume Dustan yang terjadi pada tahun 1980-an. Garcia menyangkal bahwa kemiripan yang muncul dalam romannya tidak mewakili kedua tokoh nyata yang berseteru pada saat itu dan hanya terinspirasi oleh peristiwa-peristiwa yang ada saat isu AIDS menyerang kelompok homoseksual. Roman La Meilleure Part des Hommes mendapatkan penghargaan Prix de Flore pada tahun 2008 dan diadaptasi ke dalam teater pada tahun 2012 oleh Pauline Biro. Garcia adalah seorang filsuf muda Prancis dan sekarang bekerja sebagai pengajar filsafat di Universitas Amiens. Karya lainnya antara lain Memoirs de la Jungle pada tahun 2010 dan sebuah essai tentang metafisika : Forme et objet. Un Traité des choses yang diterbitkan oleh Presses Universitaire de France. Roman La Meilleure Part des Hommes berusaha membuka pemahaman masyarakat mengenai homoseksual dari isu-isu AIDS dan homophobia melalui gerakan-gerakan homoseksual yang memperjuangkan hak dan kebebasan mereka. Pada tahun 2000, AIDS menjadi sebuah epidemi di Prancis karena kasusnya meningkat. Antara 36.000 sampai 39.200 orang meninggal akibat AIDS
4
dan lebih dari 100.000 orang positif terkena AIDS 1. Epidemi AIDS mulai muncul pada tahun 1980-an di Prancis. Penyakit ini tersebar melalui hubungan seks homoseksual karena korban AIDS banyak dari kelompok homoseksual dan angka korbannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Isu homoseksual yang menjadi penyebab tersebarnya AIDS tersebut memunculkan homophobia di kalangan masyarakat. Hal ini membuat kelompok homoseksual bereaksi untuk membela hak mereka sebagai warga negara dengan membuat organisasiorganisasi yang menyuarakan aspirasi mereka, salah satunya ACT-UP (AIDS Coalition to Unleash Power) yang bertujuan membantu homoseksual mengenai penelitian-penelitian kesehatan, dan menuntut kebijakan pemerintah mengenai keputusan untuk mengakhiri epidemi AIDS. Politik adalah salah satu jalan yang ditempuh kelompok homoseksual untuk memperjuangkan kesetaraan hak. Pada tanggal 15 November 1999, Prancis melegalkan PaCS (Pacte Civil de Solidarité) sehingga pasangan homoseksual dapat hidup bersama secara legal sama seperti pasangan heteroseksual lainnya. Hegemoni maskulin yang berkuasa ternyata dapat mengopresi sebagian kaum maskulin itu sendiri yaitu, kelompok homoseksual yang mengalami stereotipe,
subordinasi
dan
marjinalisasi.
Kelompok
maskulin
dominan
menganggap homoseksual adalah sebuah hal yang menyimpang dan menjadi heteroseksual adalah hal yang normal, maka identitas sebagai homoseksual menghalangi mereka mencari pekerjaan dan bersosialisasi dalam masyarakat. Hal
1
Data diunduh pada tanggal 13 Desember 2012 http://www.doctissimo.fr/html/sante/mag_2000/mag1201/dossier/sa_3094_evolution_sida.htm
5
ini
memunculkan
homophobia
dan
masyarakat
cenderung
memandang
homoseksual dengan sudut negatif yang dikembangkan oleh negara sebagai hegemoni maskulin. Persepsi-persepsi salah mengenai homoseksual menimbulkan homophobia bagi masyarakat lainnya dan mengakibatkan teror bagi kelompok homoseksual, ketakutan masyarakat membuat orang-orang memperlakukan kelompok homoseksual dengan buruk. Kekerasan fisik, verbal dan kematian orang-orang yang dicurigai homoseksual semakin meningkat dengan adanya homophobia. Kelompok homoseksual mendapat dukungan kekuatan melalui politik dan gerakan-gerakan mengenai diskriminasi yang menimpa mereka. Pada tahun 2004, pemerintah Prancis menerapkan hukuman mengenai homophobia, pembunuhan diganjar hukuman seumur hidup (pasal 221-4-7 KUHP), pemerkosaan dihukum dua puluh tahun penjara (pasal 222-224 KUHP) dan penghinaan publik mendapat hukuman enam bulan penjara dan denda € 22.500. Pada bulan Maret 2008, Xavier Darcos, Menteri Pendidikan, mengumumkan kebijakan melawan segala bentuk diskriminasi, termasuk homofobia, di sekolah, salah satu yang pertama di dunia. Kebijakan tersebut merupakan salah satu dari 15 prioritas nasional pendidikan untuk tahun ajaran 2008-2009. The Fédération Independante et Démocratique Lycéenne (FIDL)
adalah sekolah siswa tingkat pertama di Perancis yang
meluncurkan kampanye melawan homofobia di sekolah dan di kalangan murid. Pada tahun 1985 undang-undang nasional diberlakukan untuk melarang diskriminasi berbasis orientasi seksual dalam pekerjaan, perumahan dan ketentuan
6
publik dan swasta dari sektor jasa dan barang. Gay dan lesbian juga dapat mendaftar secara terbuka dalam angkatan bersenjata. Tujuan awal dari gerakan homoseksual dianggap merupakan suara hak pribadi, tetapi kehadiran AIDS membuat mereka perlahan-lahan membentuk kelompok politik oposisi dan mengingatkan orang-orang etnis minoritas, mencari hak-hak kolektif. Negara dan hegemoni maskulin selalu didefinisikan sebagai politik maskulinitas dan heteroseksual. Laki-laki mendominasi ranah politik negara dan mengendalikan aturan-aturan masyarakat dengan kekuasannya. Hegemoni maskulin terbentuk secara budaya dan melegitimasi kekuasaan mereka atas hak-hak manusia didalamnya, kelompok maskulin heteroseksual lebih berkuasa dibandingkan dengan perempuan ataupun maskulin homoseksual. Aturan yang dibuat dalam norma dan hukum merugikan kaum minoritas, sehingga memunculkan berbagai macam opresi kepada mereka. Hegemoni maskulin sangat dipengaruhi oleh sejarah, budaya dan masyarakat setempat dimana hegemoni tersebut berlangsung. Hegemoni selalu didukung kekuasaan meskipun tidak selalu berakhir dengan kekerasan, namun hierarki maskulin merupakan sumber dari kekerasan karena kekuasaan digunakan untuk menjelaskan dan memelihara hierarki. Hegemoni maskulin menyatu di dalam institusi dan budaya yang berkembang, mengatur masyarakat secara persuasif. Hegemoni maskulin tidak selalu menjadi pola umum maskulinitas, ada pola maskulin yang muncul, yaitu homoseksual sebagai maskulinitas yang tersubordinasi dan minoritas (Connell, 2000: 30). Maskulinitas melihat adanya transformasi dalam aturan normativitas seksual,
7
persepsi orientasi seksual, gender laki-laki, pengertian tubuh, rekonstruksi nilai maskulinitas dan politik maskulinitas. 1.2. Rumusan Masalah Kebebasan tubuh laki-laki dimaknai dan diekspresikan beragam oleh para laki-laki. Di satu sisi, Negara sebagai hegemoni maskulin yang berkuasa dan beberapa kelompok laki-laki memaknai kebebasan tubuh dengan bebas dari penyakit AIDS yang menjadi epidemik dengan menggunakan kondom dan di sisi lain kebebasan dimaknai dengan kontra kondom. Tubuh dijadikan arena kontestasi oleh dua kelompok homoseksual dalam roman La Meilleure Part des Hommes. Tubuh merupakan isu utama yang menjadi alat politik gender maskulin dan dasar gerakan kelompok homoseksual berupa pembentukan organisasiorganisasi pembela hak homoseksual. Politik adalah jalan yang ditempuh kelompok homoseksual untuk mendapatkan kesetaraan hak yang sama dengan kelompok heteroseksual dan perlawanan mereka sebagai maskulinitas subordinasi melawan hegemoni maskulin. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka beberapa pertanyaan yang akan diekplorasi adalah: 1. Bagaimana bentuk maskulinitas homoseksual melawan hegemoni maskulin dalam roman La Meilleure Part des Hommes? 2. Bagaimana tubuh digunakan sebagai alat politik gender kelompok homoseksual dalam roman La Meilleure Part des Hommes? 3. Bagaimana gerakan kelompok homoseksual menyuarakan aspirasi mereka mengenai aturan seksual dalam roman La Meilleure Part des Hommes?
8
1.3. Objek Penelitian Objek formal penelitian ini adalah politik gender homoseksual dengan menggunakan sudut pandang maskulinitas yang difokuskan pada bentuk maskulinitas homoseksual, tubuh sebagai alat politik dan gerakan kebebasan homoseksual. Objek material yang digunakan dalam penelitian ini adalah roman La Meilleure Part des Hommes karya Tristan Garcia.
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, penelitian ini secara khusus bertujuan untuk menjelaskan tentang bentuk maskulinitas homoseksual, tubuh digunakan sebagai alat politik kelompok homoseksual dan gerakan kebebasan homoseksual. Tujuan umum penelitian ini memberikan wacana kepada masyarakat umum mengenai pandangan terhadap kelompok homoseksual, gerakan kebebasan, hak-hak mereka sebagai manusia dan mengurangi homophobia.
1.5. Tinjauan Pustaka Banyak penelitian yang telah menggunakan teori maskulinitas, salah satunya adalah disertasi Linda Wight ( 2009 ) yang berjudul Talking about men : Conversation about masculinities in recent “gender-bending” science fiction. Penelitian ini menggunakan 10 novel dan cerpen yang mendapatkan Award Tiptree. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya kesenjangan tentang ide-ide
9
maskulinitas yang ditulis para pengarangnya dan pengembangan bentuk-bentuk maskulinitas dari segi hegemonik, kelas, ras dan orientasi seksual2. Firsta Primordiyanti (2010) menulis sebuah tesis yang berjudul Maskulinitas dalam Revolutionary Karya Richard Yates dan menganalisis mengenai proses pergulatan rekontruksi maskulinitas tokoh Frank melalui femininitas tokoh April dan relasi para tokoh dalam novel tersebut. Hasil penelitian Firsta menunjukkan bahwa keseluruhan rangkaian perjalanan Frank dalam mencari, membangun, dan membentuk maskulinitasnya bukan semata-mata dilakukan untuk meraih keterpenuhan sebagai laki-laki dalam menentukan maskulinitas di luar konstruksi patriarki, tetapi juga merupakan perlawanan terhadap ideologi dominan yang memaksakan skema budaya pariarkal yang opresif. Tokoh April yang bersikap diam dan mencoba bunuh diri dengan aborsi menjadi cara yang mampu merekonstruksi maskulinitas Frank karena sikap April menunjukkan bahwa perempuan memiliki kekuatan dan hak atas rahimnya3. Sumekar Tanjung (2012) dengan tesis berjudul Makna Maskulinitas dalam Media Massa ( Analisis Semiotika tentang Makna Maskulinitas dalam Majalah Cosmopolitan Indonesia edisi Agustus 2011 - Januari 2012)4 meneliti bahwa media memperlakukan perempuan dan laki-laki sebagai komoditas. Media juga turut serta melanggengkan maskulinitas hegemonik yang berlaku dalam
2
Data diunduh pada tanggal 2 Januari 2013 dari website www.eprints.jcu.edu.au/11566
3
Data diunduh pada tanggal 2 Januari 2013 dari website lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20251440-RB00F198m...pdf 4
Data diunduh pada tanggal 14 Februari 2013 http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=ht ml&buku_id=58635&obyek_id=4
10
masyarakat, misalnya majalah Cosmopolitas Indonesia yang isinya tidak hanya berisi berita yang bersifat feminin tetapi juga maskulin. Penelitian Sumekar Tanjung menjelaskan konsep maskulinitas laki-laki dan perempuan dalam majalah Cosmopolitan Indonesia edisi Agustus 2011 hingga Januari 2012 dengan menggunakan analisis semiotika untuk menjelaskan berbagai tanda teks verbal dan teks visual dalam artikel. Penelitian ini menghasilkan temuan terkait konsep maskulinitas dalam majalah Cosmopolitan Indonesia edisi Agustus 2011 hingga Januari 2012. Pertama, laki-laki harus kuat, sehat dan gaya. Kedua, laki-laki harus mapan dan bertanggung jawab. Maskulinitas perempuan yang ditemukan adalah perempuan dengan konsep mandiri dan independen. Tesis Dewi Ariani yang berjudul Narasi Maskulinitas dalam Le Rocher de Tanios Karya Amin Maalouf (2013) mengkaji narasi maskulinitas dalam novel Le Rocher de Tanios karya Amin Maalouf. Narasi maskulinitas yang berkembang di masyarakat Arab menuntut agar laki-laki bersikap seperti yang sudah diatur oleh konstruksi masyarakat. Fenomena tersebut yang dituliskan Amin Maalouf dalam Le Rocher de Tanios. Hasil tesis Ariani menemukan adanya maskulinitas yang terbagi menjadi dua, yaitu maskulinitas hegemonik dan maskulinitas subordinat. Maskulinitas hegemonik diyakini sebagai maskulinitas dominan sekaligus sebagai maskulinitas ideal dan berhubungan erat dengan heteroseksualitas dan kekuasaan. Maskulinitas subordinat adalah bentuk maskulinitas yang tersubordinasi dibawah maskulinitas dominan. Dari semua tinjauan pustaka yang ditemukan peneliti, belum ada satupun yang menggunakan objek material sama, yaitu roman La Meilleure Parts des
11
Hommes karya Tristan Garcia. Penggunaan objek formal, teori maskulinitas ditemukan dalam beberapa tesis dan disertasi namun memiliki perbedaan rumusan masalah dengan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Penelitian berjudul Politik Gender Homoseksual dalam roman La Meilleure Part des Hommes karya Tristan Garcia akan membahas mengenai bentuk maskulinitas homoseksual, tubuh sebagai alat politik homoseksual dan gerakan kebebasan homoseksual menyuarakan aspirasi mereka.
1.6. Landasan Teori 1.6.1. Maskulinitas Sebagai Konstruksi Gender Laki-laki dan perempuan telah sejak lama dibedakan, gender juga telah dikonstruksi bahwa laki-laki itu maskulin dan perempuan bergender feminin. Connell (2002:33) menyebutkan bahwa pengertian gender berbeda dengan seks. Seks adalah fakta biologis, pembeda antara laki-laki dan perempuan. Gender adalah fakta sosial, pembeda antara peran maskulin dan feminin atau kepribadian (personality) laki-laki dan perempuan. Persepsi perempuan bersifat lemah dan bekerja di sektor domestik, sedangkan laki-laki itu kuat berkuasa dan bekerja di sektor publik mengakibatkan kelompok maskulin memperoleh kekuasaan lebih tinggi daripada perempuan. Connell (1998: 75) menjelaskan bahwa penelitian para ahli antropologi mengenai dikotomi persepsi gender yang mengungkapkan fakta bahwa gender bukanlah dikotomi dan tidak berdasarkan kriteria secara biologis, gender merupakan pilihan. Konsep gender adalah alami merupakan konstruksi budaya, masyarakat membentuk dan mempercayai konsep tersebut
12
dalam waktu yang lama sehingga membuat gender adalah hal alamiah, bukan bentukan. Morgan (via Beynon, 2001 : 7) membuat gender map laki-laki untuk melihat bahwa gender itu tidak stabil.
Laki-laki
Maskulin
Homo
Hetero
Feminin
Homo
Hetero
Diagram 1. Gender Map
Dari diagram di atas, pembentukan gender dari biologis seorang laki-laki memperlihatkan laki-laki tidak hanya bergender maskulin tetapi juga dapat bergender feminin. Orientasi seksual laki-laki juga dibagi menjadi dua, yaitu heteroseksual dan homoseksual atau gay. Gender map tersebut membuktikan bahwa jenis kelamin seseorang tidak menentukan gender dan orientasi seksualnya, contohnya laki-laki tidak selalu bergender maskulin dan heteroseksual. Ada lakilaki yang bergender feminin dan homoseksual. Maskulinitas laki-laki terbentuk oleh budaya, sejarah dan geografis, bahwa seorang laki-laki itu harus bergender maskulin, heteroseksual, berkuasa, dan kuat. Hegemoni maskulin mengonstruksi tipe-tipe tersebut secara sosial dengan banyak media yang mendukungnya, misal majalah laki-laki yang menampilkan tentang bentuk tubuh ideal laki-laki. Majalah
13
membuat kriteria laki-laki ideal dengan ciri-ciri bertubuh six pack, kekar dan kuat menjadi konvensi laki-laki di dunia, meskipun pada awalnya konsep maskulinitas tiap daerah berbeda. Beynon (2002: 2) mengatakan bahwa laki-laki tidak dilahirkan dengan maskulinitas sebagai bagian genetik mereka, tapi maskulinitas terakulturasi dan terbentuk dari kode-kode sikap yang mereka pelajari untuk mereproduksi secara budaya dengan cara-cara yang sesuai. Salah satu cara yang dikenal laki-laki adalah kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi dan mengendalikan orang lain beserta lingkungan sekitarnya. Maskulinitas terbagi menjadi dua, yaitu maskulinitas dominan dan maskulinitas
subordinat.
Maskulinitas
dominan
dominan
atau
maskulin
hegemonik adalah laki-laki dengan orientasi seksual heteroseksual dan laki-laki yang berorientasi selain itu dianggap sebagai maskulin subordinat, contohnya homoseksual. Connell (1995: 143) menambahkan bahwa budaya patriarkal mengartikan laki-laki homoseksual sebagai laki-laki yang kekurangan nilai maskulin. Penafsiran ini terkait dengan pemikiran heteronormatif masyarakat mengenai ketertarikan seksual yang berlawanan gender. Seandainya seseorang tertarik dengan gender maskulin, maka dipastikan dia bergender feminin, jika tidak terlihat dari tubuhnya maka hal tersebut ada di dalam pikirannya. Pasangan homoseksual laki-laki tidak selalu mempunyai gender yang berlawanan, tetapi dapat juga tertarik dengan laki-laki yang bergender sama. Ketika hal tersebut terjadi, laki-laki homoseksual tidak memandang ketertarikan dengan gender yang berbeda sebagai sebuah aturan seksual yang harus dilakukan.
14
Hegemoni maskulin dan maskulini subordinat berada dalam posisi sebuah hierarki. Connell ( 1998: 184) meminjam istilah hegemoni Gramsci untuk menjelaskan mengenai hegemoni maskulin, yaitu sebuah kekuatan sosial yang dicapai tanpa melakukan kekerasan terhadap proses budaya dan grup. Connell (1995: 77) menambahkan bahwa hegemoni maskulin dapat didefinisikan sebagai sebuah konfigurasi praktek gender yang mewujudkan jawaban masalah legitimasi patriarkhi yang menjamin atau sebagai penjamin posisi dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan. Hegemoni maskulin tidak serta merta membuat semua laki-laki mempunyai hak yang sama. Ada kelompok laki-laki yang sulit mendapatkan pekerjaan karena tidak berada dalam umur yang produktif atau lakilaki muda yang dianggap tidak profesional dari laki-laki senior yang lebih tua, etnisitas, orientasi seksual, agama atau kelas sosial. Bourdieu (2010:168) berbicara tentang dominasi atau tentang kekerasan simbolik adalah sama saja dengan mengatakan bahwa si terdominasi cenderung menggunakan sudut pandang dominan atas diri mereka sendiri, kecuali kalau ada pemberontakan subversif yang menyebabkan pembalikan kategori-kategori persepsi dan apresiasi. Seseorang yang didominasi dapat saja melakukan suatu gerakan subversif radikal dengan memobilisasi kelompok korban hegemoni maskulin. Hegemoni maskulin menurut Demetriou (melalui Connell, 2005: 844) dibagi menjadi dua, yaitu hegemoni eksternal (laki-laki vs perempuan) dan hegemoni internal (laki-laki vs laki-laki). Hegemoni eksternal adalah hegemoni yang ditentang kaum feminis untuk memperjuangkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki, sedangkan hegemoni internal adalah hegemoni maskulin
15
yang ditentang oleh bagian dari hegemoni tersebut, yaitu laki-laki yang merasa teropresi oleh hegemoni maskulin dan menginginkan keseteraan hak juga seperti halnya perempuan melalui gerakan feminis. Laki-laki dapat memposisikan lakilaki lain dengan cara mendominasi, menyubordinasi atau memarjinalkan mereka untuk melegitimasi hegemoni maskulin dominan. Maskulinitas merupakan bentuk representasi yang telah dibuat oleh lakilaki untuk menunjukkan identitas mereka. Maskulinitas dapat dipaparkan sebagai nilai-nilai yang membangun identitas laki-laki dalam masyarakat dan juga sebagai pembatas tentang nilai-nilai yang bukan feminin. Maskulinitas itu bersifat kultural sama seperti femininitas, yaitu terikat pada tempat berkembangnya sifat tersebut. Sikap-sikap maskulinitas dan femininitas diterapkan pada pembagian pekerjaan, hal ini dilihat sebagai karakteristik konstruksi laki-laki dan perempuan secara sosiokultural dan bukannya sebagai diri mereka sendiri. Beynon (2001:30) mengatakan bahwa laki-laki diharapkan untuk menjadi kuat, disiplin, dan berkuasa dan hal ini masih menjadi acuan utama untuk menjadi kriteria laki-laki ideal. Laki-laki yang sudah mengonstruksi diri mereka sendiri dengan batasanbatasan maskulinitas dan bersikap tidak menerima laki-laki yang tidak memenuhi kriteria laki-laki maskulin, misalkan saja laki-laki yang bersikap feminin atau laki-laki yang berorientasi homoseksual. Laki-laki yang berada diluar kriteria maskulinitas umum dianggap merusak citra laki-laki maskulin yang telah dibentuk. Hegemoni maskulin juga mengatur mengenai orientasi seksual yang dianggap normal yaitu heteroseksual, hal ini tentu saja mengopresi laki-laki yang
16
berorientasi homoseksual sehingga menimbulkan isu-isu homophobia dan seksisme. Kelompok homoseksual juga mengalami opresi dari hegemoni maskulin dalam berbagai bidang akibat isu homophobia dan AIDS, berupa kekerasan verbal dan fisik, juga ancaman pembunuhan. Isu-isu maskulinitas yang berkembang mulai direspon oleh masyarakat, salah satunya oleh para satrawan. Mereka mulai menuliskan tema-tema maskulin di dalam karya mereka. Tema maskulinitas berkaitan erat dengan sistem patriarkhi yang dianut masyarakat. Gerakan feminisme memicu reaksi para sastrawan untuk menuliskan karya sastra yang mengritik sisi maskulinitas dari patriarkhi sebagai sistem yang didominasi dan dikuasa laki-laki. Connel (1995: 68) menjelaskan bahwa konsep maskulinitas tidak dapat berdiri sendiri, selalu direlevansikan dengan femininitas sebagai dikotomi. Hegemoni maskulin memerlukan subordinat untuk mengakui kekuasaan mereka. Heteronormativitas membuat laki-laki memiliki kekuasaan lebih tinggi dibanding perempuan, maka muncul banyak opresi dan kekerasan yang terekam dalam karya sastra. Contohnya, Tea for Two karya Clara Ng yang menceritakan mengenai kekerasan dalam rumah tangga, karya-karya NH. Dini yang menceritakan mengenai kedudukan perempuan dalam sektor domestik. Laki-laki
heteroseksual
juga
memiliki
kekuasaan
lebih
tinggi
dibandingkan laki-laki homoseksual, hal tersebut ditandai dengan munculnya homophobia. Laki-laki homoseksual mendapatkan cibiran karena orientasi seksual yang mereka pilih tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal tersebut dapat ditemukan dalam novel karya Andrei Aksana yang berjudul Lelaki
17
Terindah. Teori maskulinitas membantu mengenali berbagai macam permasalahan masyarakat mengenai gender yang dituangkan dalam bentuk karya sastra. Ketakutan-ketakutan masyarakat mengenai homoseksual, bentuk-bentuk opresi dan upaya mereka melakukan pembelaan hak merupakan salah satu bentuk pembelajaran terhadap heteroseksual.
1.6.2. Tubuh dan Gerakan Kebebasan dalam Politik Gender Maskulin Pemaknaan tubuh selalu tidak lepas dari kontradiksi antara proses sosial dan doktrin alami biologis. Tubuh dimaknai secara sosial melalui institusi sosial, wacana dan secara biologis tubuh laki-laki selalu dimaknai bergender maskulin dengan ciri-ciri; kuat, kekar, dan berotot. Tubuh perempuan digambarkan sebagai feminin yang selalu pasif dan lemah. Pemaknaan tubuh masuk ke dalam proses sosial, menjadi bagian dari sejarah, baik personal maupun kolektif dan kemungkinan menjadi objek politik. Tubuh adalah agen dalam proses sosial yang dapat dibentuk dan bertransformasi, implikasi dari proses sosial dan melibatkan macam-macam bentuk hubungan sosial. Arena-arena sosial yang baru menciptakan pola-pola baru dalam transformasi hubungan gender, misalnya arena media dan sistem komunikasi internasional. Connell juga mengatakan (1998:77) bahwa tubuh terlibat dengan proses gender lalu terlibat dengan semua bentuk proses praktek sosial. Jadi, perkembangan gender dunia mempengaruhi perkembangan gender lokal melalui arena sosial yang tersebar.
18
Pendoktrinasian tubuh laki-laki sebagai maskulin dilakukan secara kultural, sejarah dan terus menerus dalam waktu yang lama sehingga menimbulkan adanya satu kriteria mengenai tubuh laki-laki. Doktrin tersebut diyakini sebagai sesuatu yang alamiah, bahwa laki-laki terlahir maskulin padahal maskulinitas bersifat tidak tetap dan bertransformasi dalam proses sosial karena tubuh laki-laki tumbuh dan berkembang, menetapkan atau mengubah maskulinitas mereka. Connell (2009: 67) menyebutkan bahwa pemikiran mengenai gender terbentuk secara kultural, tubuh menjadi objek praktek sosial dan agen dalam hubungan sosial. Definisi sosial mengenai laki-laki adalah sebagai pemegang kekuasaan dimaknai tidak hanya sebagai fantasi ideal mengenai tubuh laki-laki, tetapi juga secara nyata dalam pembentukan otot, postur tubuh dan cara berpakaian. Hal tersebut terjadi karena adanya kompromi antara pengertian tubuh secara biologis dan sosial. Tubuh juga didefinisikan melalui budaya media, olahraga, dan militer. Konstitusi maskulin melalui penampilan fisik telah membuat gender terlihat rentan karena ketika fisik tidak mendukung kriteria gender maka akan dianggap tidak normal. Connell (1995: 58) mengatakan bahwa tubuh dalam bidang olahraga digunakan sebagai alat bahkan senjata. Tubuh diserang atas nama kekerasan dan kesuksesan di cabang olahraga-olahraga keras ataupun ekstrim, bahkan ada beberapa mantan atlit yang harus hidup dengan penyakit kronis, badan yang rusak ataupun meninggal. Politik tubuh laki-laki secara fisik mengikuti pola pikir sosial masyarakat yang mengartikan sosok laki-laki yang ideal. Beberapa tubuh yang lebih rentan akan tersubversi di dalam lingkungan sosial, misalnya homoseksual.
19
Mereka dianggap bukan bagian dari produk tubuh yang seharusnya ada tetapi homoseksual adalah salah satu fakta baru mengenai tubuh yang mengacaukan hegemoni maskulin. Proses sosial yang terjadi dapat menyulitkan, merubah, meminimalisir ataupun menyangkal bentuk tubuh laki-laki. Connel ( 2009: 67) menyebut body-reflexive practices sebagai pengalaman-pengalaman yang dialami tubuh selama proses sosial terjadi sering kali menjadi pusat memori untuk mengenali identitas sebenarnya diri kita, bahkan mempengaruhi keputusan untuk berorientasi heteroseksual ataupun homoseksual. Negara sebagai hegemoni maskulin ikut serta membatasi orientasi seksual warganya hanya sebagai heteroseksual, salah satunya dengan penggunaan kontrasepsi atau kondom. Connell (1998: 261) menjelaskan bahwa kontrol terhadap laki-laki homoseksual adalah kewenangan negara, diskriminasi dalam bidang pekerjaan dan pengekslusian di sekolah, dengan dilindungi oleh hukum, polisi dan agensi-agensi keamanan. Negara mempunyai kekuasaan untuk mengendalikan warganya dengan alasan yang dianggap wajar oleh hegemoni maskulin meskipun berakibat memarjinalkan dan menyubordinasi minoritas warganya yang lain. Connell (2009: 121) menambahkan bahwa negara merupakan satu-satunya pusat kekuasaan masyarakat. Negara berperan sebagai institusi yang memegang monopoli legitimasi yang menggunakan kekuasaan dalam wilayahnya. Laki-laki yang secara umum diuntungkan struktur sosial adalah laki-laki heteroseksual daripada laki-laki yang berorientasi seksual lainnya. Negara turut serta membangun gambaran mengenai relasi sosial gender karena negara mempunyai kekuasaan untuk membentuk pola-pola sosial masyarakat. Negara
20
yang patriarkal memiliki sebuah hegemoni maskulin dominan heteroseksual dan maskulinitas homoseksual merupakan kelompok yang tersubordinasi. Hal tersebut menjelaskan alasan negara menjadi target utama dalam politik gender homoseksual. Homoseksual laki-laki secara sosial menurut Connell (1998: 80) dianggap sebagai banci dan homoseksual perempuan dianggap sebagai perempuan tomboi. Negara telah membangun kriteria hipermaskulinitas yang ideal untuk laki-laki dengan cara dominasi dan politik gender memiliki dimensi yang mengikuti struktur gender di dalam masyarakat. Kekuasaan yang dimiliki negara sangat berpengaruh terhadap pandangan sosial mengenai gender dan tubuh karena negara menginstitusikan
hegemoni
maskulin
dan
mengontrolnya.
Kelompok
homoseksual mengalami tekanan ketika negara telah membentuk persepsi masyarakat mengenai gender dan aturan tubuh. Proses coming out tidak pernah mudah dalam lingkungan sosial yang telah terkonstruksi oleh hegemoni maskulin. Kelompok homoseksual menghadapi isu homophobia ketika mereka memutuskan untuk mengakui orientasi seksual yang berbeda dengan orientasi seksual yang berlaku dalam masyarakat. Coming out bukan hanya sebagai bentuk konstruksi pribadi tetapi juga untuk membentuk solidaritas (Connell, 1998: 233). Coming out kelompok homoseksual juga sebagai identitas mereka dan membentuk pondasi sosial yang baru. Isu AIDS selain berakibat homophobia juga pengakuan adanya kelompok homoseksual yang juga merupakan bagian dari masyarakat heteroseksual dan hegemoni maskulin. Tubuh digunakan sebagai alat politik kelompok homoseksual
21
melalui AIDS, sebagai penanda identitas dan alat pertahanan diri dari aturan seksual negara yang merugikan mereka. Proses perjuangan coming out merupakan motivasi kuat untuk membuat perubahan dalam hegemoni maskulin. Connell (2009: 138) menambahkan bahwa coming out adalah bagian dari politik homoseksual. Proses ini melewati tahapan pengenalan diri sendiri, pengakuan pada keluarga dan teman-teman atau rekan kerja. Proses coming out mengalami kendala berupa homophobia yang terlebih dahulu mempengaruhi masyarakat. Kemunculan homophobia menyebabkan banyak opresi yang terjadi pada kelompok homoseksual. Kekerasan verbal, fisik, marjinalisasi, bahkan sampai pembunuhan terhadap kelompok homoseksual. Latar belakang gerakan laki-laki mengenai homoseksual dikarenakan homoseksual dianggap sebagai suatu bentuk maskulinitas yang liar dan larangan seksual antar laki-laki menjadi dasar maskulinitas homoseksual dilabeli negatif. Kelompok homoseksual laki-laki lebih sering mengalami kriminalisasi seksual daripada lesbian sehingga pada awal gerakan homoseksual, mereka mengusung slogan “ Setiap laki-laki normal adalah target gerakan gay”. Slogan tersebut digunakan hanya untuk mencoba menyubversi normativitas mengenai heteroseksual sebagai orientasi
seksual
yang
norma.
AIDS
membuat
homophobia
semakin
mempengaruhi masyarakat karena mayoritas penderita AIDS adalah kelompok homoseksual. Masyarakat menyudutkan, menghindari, dan menolak memberikan pekerjaan kepada kelompok homoseksual karena dianggap sebagai penyebab utama penyebaran penyakit AIDS. Laki-laki homoseksual dianggap sebagai agen penginfeksi dalam diskusi HIV/AIDS sehingga perlu diberlakukan aturan untuk
22
mengatur aktivitas seksual agar tidak menyebarkan virus AIDS. Hegemoni maskulin memberlakukan kampanye kondom untuk menekan angka penyebaran AIDS yang disebabkan oleh homoseksual. Opresi dan tekanan yang semakin banyak diterima kelompok homoseksual membuat mereka mencoba mengorganisasikan dan menyatukan aspirasi dalam satu tempat menggunakan gerakan buruh dan gerakan HAM sebagai contoh. Kelompok homoseksual melihat gerakan feminis yang sukses membuat perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, kelompok homoseksual mulai membuat gerakan yang sama untuk menuntut hak yang sama tanpa diskriminasi orientasi seksual. Gerakan laki-laki yang peduli terhadap gender sudah muncul di beberapa negara, misalnya White Ribbon Campaign yang bertujuan untuk melawan kekerasan laki-laki terhadap perempuan. Ada juga beberapa grup laki-laki yang mengorganisir isu-isu seputar gender, politik homoseksual, kampanye anti diskriminasi, gerakan kebebasan gay dan komunitaskomunitas peduli epidemik HIV/AIDS. Motif gerakan kebebasan homoseksual adalah ketidaknyamanan mereka terhadap aturan gender yang berlaku, namun gerakan itu bukan hanya sekedar gerakan kebebasan yang bertujuan untuk mendapatkan persamaan hak orientasi seksual tapi gerakan untuk kebebasan potensi manusia yang teropresi lainnya. Gerakan laki-laki ini dikenal sebagai men’s movement yang mulai berusaha memperjuangkan hak mereka. Men’s Mouvement, sebuah gerakan laki-laki yang mencoba menyubversi pola maskulinitas yang telah ada.
23
Connel (2000:210) menjelaskan bahwa kita harus memikirkan perjuangan dengan berbagai macam cara berbeda, melalui jejaring sosial daripada hanya melalui mobilisasi massa atau organisasi formal. Aksi subversif ini menuntut keadilan dan yang sama di mata hukum mengenai kebijakan-kebijakan yang memihak kelompok heteroseksual dan merugikan kelompok homoseksual. Gerakan kebebasan homoseksual tidak hanya menantang kekuasaan laki-laki heteroseksual tetapi juga nilai maskulinitas mereka. Cara legal akan lebih mudah untuk mendapatkan kepercayaan publik mengenai homoseksual, misalnya melalui organisasi, LSM atau gerakan anti homophobia. Dukungan kemanusiaan terhadap kelompok
homoseksual
dan
didukung
pemberitaan
media
akan
lebih
memaksimalkan usaha kelompok homoseksual dalam memperjuangkan hak mereka. Kingdon (via Colvin, 2006: 3) menyebutkan kegunaan media sebagai berikut, it can act as a communication tool within a policy community; it can be instrumental in moving or magnifying an idea from one institutional actor to another; its influence upon public opinion can also effect policymakers, since they too are members of the public; and it may affect various policy participants differently. Media bisa berperan sebagai alat komunikasi dengan kebijaksanaan komunitas; berperan sebagai penggerak atau memperbesar sebuah ide dari sebuah institusi ke institusi yang lain; sejak media juga menjadi anggota masyarakat, pengaruhnya terhadap opini masyarakat
dapat juga berakibat pada pembuat
kebijaksanaan, dan bisa mempengaruhi berbagai kebijaksanaan secara berbedabeda. Connell ( 2009: 145) menambahkan bahwa negara bukan hanya institusi
24
yang paling penting tetapi juga merupakan ujung tombak persetujuan politik gender. Gerakan-gerakan kebebasan homoseksual yang dilakukan terus-menerus mempunyai kesempatan untuk mengarahkan atau mempengaruhi kebijakan aturan gender ke arah yang diingini mereka.
1.7. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dan langkah-langkahnya sebagai berikut: 1. Menentukan objek material, yaitu roman Les Meilleures Part des Hommes karya Tristan Garcia. Roman ini menceritakan mengenai kehidupan homoseksual pada tahun 1980-an dalam menghadapi epidemik AIDS. 2. Menentukan objek formal, yaitu teori maskulinitas yang menganalisis mengenai bentuk maskulinitas dan gerakan homoseksual. 3. Mengumpulkan sumber-sumber pustaka yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
1. 7. 1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu data yang dikumpulkan berdasarkan narasi, dialog antar tokoh atau peristiwa dalam roman La Meilleure Part des Hommes mengenai politik gender homoseksual, tubuh, AIDS, kondom dan gerakan kebebasan homoseksual.
Langkah-langkah
yang
dilakukan
adalah
melakukan
25
pembacaan roman La Meilleure Part des Hommes, lalu data-data yang berhubungan dengan maskulinitas dan politik gender homoseksual dikumpulkan dan dianalisis. 1. 7. 2. Analisis Data Analisis data akan dibagi menjadi dalam beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Pengumpulan data-data kualitatif berupa teks-teks roman yang mempresentasikan (1) bentuk maskulinitas homoseksual melawan hegemoni maskulin, (2) argumen mengenai tubuh dan (3) gerakan kebebasan kelompok homoseksual menyuarakan aspirasi mereka. 2. Data yang telah terkumpul akan dianalisis dan dielaborasikan menggunakan
teori
maskulinitas
untuk
mendapatkan
bentuk
maskulinitas homoseksual, makna tubuh sebagai alat politik dan gerakan kebebasan kelompok homoseksual yang direpresentasikan melalui teks dan konteks dalam roman oleh pengarang.
1. 8. Sistematika Penyajian Tesis ini akan dibagi menjadi empat bagian, yaitu Bab I, Bab II, Ban III dan Ban IV. Bab I berisi pendahuluan, penulis menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, objek penelitian, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Pada Bab II berisi bentuk maskulinitas homoseksual dan opresi homophobia terhadap homoseksual. Bab III pembahasan mengenai politik gender homoseksual dengan tubuh sebagai
26
alat politik kelompok homoseksual dalam roman La Meilleure Part des Hommes dan gerakan kebebasan kelompok homoseksual menyuarakan aspirasi mereka mengenai aturan seksual. Bab IV berisi kesimpulan mengenai penelitian yang telah dilakukan.
27