KRISIS GLOBAL
Kantong Kemiskinan Baru Mulai Muncul Selasa, 11 September 2012 | 07:45 WIB KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA Ilustrasi kemiskinan JAKARTA, KOMPAS.com - Kemunculan kantong kemiskinan baru di daerah pertambangan batubara dan perkebunan karet serta kelapa sawit akibat penurunan harga ketiga komoditas itu perlu diwaspadai. Kehidupan masyarakat yang bertumpu pada usaha ketiga komoditas itu mulai terdampak. Suasana Desa Pajar Bulan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin (10/9/2012), terlihat suram. Tak terlihat lagi sepeda motor berseliweran yang setahun lalu banyak bertebaran di sepanjang jalan ke kebun serta kolong-kolong rumah panggung penduduk. Jatuhnya harga karet selama beberapa bulan terakhir menyebabkan petani karet kecil dan para buruh sadap karet di daerah itu terancam jatuh dalam kemiskinan. Herman (52), petani karet, mengatakan, banyak buruh dan petani karet terpaksa mengembalikan sepeda motor karena tak mampu melanjutkan pembayaran kredit. Sepeda motor-sepeda motor itu diperoleh dengan kredit ketika harga karet di desa tersebut melambung hingga Rp 13.000 per kilogram setahun lalu. ”Ada yang baru menggunakan sepeda motornya beberapa bulan sudah harus dikembalikan,” ujar Herman. Salah satu buruh sadap karet di Desa Pajar Bulan, Amriyadi (63), mengatakan, pendapatannya dari menyadap karet saat ini hanya berkisar Rp 20.000 sehari atau maksimal Rp 500.000 sebulan. Padahal, ia masih harus menafkahi dua anak dan istrinya yang tak bekerja. Pendapatannya ini jauh berkurang dibandingkan setahun lalu ketika harga karet mencapai Rp 13.000 per kg. Saat itu pendapatannya sekitar Rp 50.000 sehari atau sekitar Rp 1,25 juta. Sekarang, harga karet di daerah itu tak lebih dari Rp 7.000 per kg. Hasil sadapan Amriyadi masih harus dibagi dua dengan pemilik kebun. Amriyadi mengaku terpaksa menumpuk utang di beberapa tempat untuk memenuhi
kebutuhan makan sehari-hari. Ia juga mengaku tak punya uang untuk membiayai sekolah anaknya. Buruh penyadap karet di Desa Pilang, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Leni, mengatakan, upah yang diterima hanya cukup untuk makan sekeluarga satu hari. ”Saya punya tiga anak. Persoalannya, karet bisa diambil sepekan tiga kali,” katanya. Karena itu, upah menjadi buruh penyadap karet tidak bisa diandalkan setiap hari. Pada hari-hari tidak menyadap, Leni harus melakukan pekerjaan lain. ”Belum lagi kalau anak sakit, bayar iuran sekolah, atau kredit sepeda motor, tentu perlu biaya lagi. Kalau harga karet tak jatuh seperti saat ini, upah baru memadai,” katanya. Sementara itu, lesunya pasar batubara di dunia internasional tidak saja berdampak pada perusahaan batubara di Kalimantan Selatan, tetapi juga usaha pendukung. Salah satunya usaha penyewaan mobil tambang. Lie Siat Pin, Kepala Cabang PT Adi Sarana Armada (ASSA Rent) Kantor Cabang Banjarmasin, salah satu perusahaan penyewaan mobil operasional tambang, mengatakan, lesunya pasar batubara berimbas pada penurunan permintaan sewa kendaraan 10-20 persen. Selain itu juga terjadi pengembalian mobil yang telah disewa sebanyak 1-2 persen. Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Bengkulu I Made Widana mengatakan, akibat jatuhnya harga jual batubara, dua perusahaan batubara di Provinsi Bengkulu berhenti berproduksi sementara waktu. Kismani (56), petani di Desa Banjaran Godang, Kecamatan Kotarih, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, mengaku terpukul dengan krisis ekonomi global yang berdampak pada penurunan harga kelapa sawit. Pemanen kelapa sawit ini biasa bekerja dengan hasil sepertiga dari total panen. Satu bagian untuk pemilik lahan, satu bagian lagi untuk pengelola, sisanya untuk dia. Kismani bekerja bersama lima pekerja lain sesama pemanen. Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Sriwijaya, Markoni Badri, mengatakan, kondisi saat ini sebenarnya belum mencemaskan dalam jangka pendek jika krisis ekonomi di Eropa segera berakhir.
Namun, Markoni memperingatkan, dalam 10-15 tahun ke depan, kemeriahan dari ekonomi yang terlalu bergantung pada sumber daya alam di Sumsel dapat menjadi bumerang. Saat sumber daya alam itu habis, akan tercipta kantong kemiskinan dan generasi buruh. ”Untuk batubara, misalnya, saat sumber daya alam habis, tanah tak lagi subur, tak ada lagi sumber pendapatan bagi masyarakat,” katanya. Pengamat ekonomi dari Universitas Palangkaraya, Darmae Nasir, mengatakan, harga karet di Kalteng yang berfluktuasi banyak dipengaruhi peran para pedagang perantara atau tengkulak. Karena itu, persoalan harga karet harus diatasi dengan menekan peran mereka. Sementara itu, kualitas kredit perbankan untuk produsen komoditas perkebunan masih terjaga baik. Perbankan belum terlalu khawatir karena pembayaran cicilan kredit komoditas tidak macet. Direktur Strategi dan Keuangan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Pahala N Mansury menyampaikan, kredit Bank Mandiri yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit cukup besar. Namun, sejauh ini, komoditas minyak kelapa sawit masih terjaga. ”Begitu juga dalam komoditas hasil pertambangan. Kualitas masih baik sehingga kami tidak terlalu khawatir,” katanya. Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti mengatakan, perbankan sebaiknya memang selektif dan menahan diri mengucurkan kredit untuk komoditas. (IDR/MHF/ADH/BAY/IRE/WER) Sumber :Kompas Cetak
Kesenjangan Ekonomi dan Upah Murah Akan jadi ’Bom Waktu’ Senin, 10 September 2012 | 12:55 Ilustrasi kesenjangan ekonomi [koranjakarta] [JAKARTA] Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 6,4 % tahun ini, belum dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak masyarakat, terutama kalangan bawah, masih hidup di bawah garis kemiskinan dengan biaya kurang dari US$ 2 setara Rp 20.000 per hari, atau sekitar Rp 600.000 sebulan. Koordinator ITF (International Transport worker’s Federation) di Indonesia, Hanafi Rustandi
di Jakarta, mengatakan, di sisi lain, rendahnya upah minimum (di Jakarta sebesar Rp1,5 juta per bulan), yang hanya cukup untuk hidup dua minggu, menunjukkan tingkat kesejahteraan pekerja masih sangat memprihatinkan. ”Terutama pekerja di sektor transportasi, termasuk pelaut di kapal antar pulau, buruh pelabuhan, dan supir truk kontainer/trailer,” kata dia. Dikatakan, pembiaran pemerintah terhadap kondisi masyarakat tingkat bawah tersebut akan menyebabkan kesenjangan ekonomi dan sosial semakin melebar. Bila masalah tersebut tidak segera diatasi dengan baik, dikhawatirkan akan menimbulkan ’bom waktu’ di masa mendatang. Untuk itu, kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah harus berpihak kepada rakyat kecil, agar kesenjangan antara rakyat kecil dengan masyarakat menengah/atas tidak semakin melebar. Hanafi menunjuk rencana pembangunan pelabuhan Kalibaru sebagai pengembangan pelabuhan Tanjung Priok dengan perkiraan biaya hampir US$ 2,4 miliar. Demikian pula dengan rencana pemerintah untuk membangun pelabuhan lainnya di wilayah Sumatera dan Papua. “Penambahan fasilitas dan peralatan pelabuhan harus diikuti dengan SDM yang trampil untuk mengoperasikan alat-alat berteknologi tinggi dan terjaminnya kesejahteraan pekerja,” ujarnya. Ia mengingatkan, tanpa disertai SDM yang handal, pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan kelancaran distribusi logistik itu tidak akan mampu memacu produktivitas kerja. ”Dengan peningkatan ketrampilan, pekerja pelabuhan dapat menikmati hasil pembangunan infrastruktur dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Upah buruh pelabuhan di Indonesia saat ini terendah di Asia Tenggara. Hanya Rp 40.000 sehari dengan 15 jam kerja dalam sebulan,” kata Hanafi. Kondisi tersebut, lanjut Hanafi, akan lebih parah jika pemerintah tahun depan jadi menaikkan tarif dasar listrik (TDL). ”Masyarakat kecil, termasuk buruh, akan lebih menjerit jika kenaikan TDL juga diberlakukan kepada pelanggan 450 watt, seperti saran Ketua Apindo Sofyan Wanandi yang menolak jika kenaikan TDL hanya dikenakan terhadap industri,” kata Hanafi yang juga anggota Dewan Pembina Konfederasi SPSI. Di sisi lain, Hanafi juga mempertanyakan rencana pembangunan jembatan Selat Sunda yang memakan biaya besar. “Mengapa pemerintah tidak memprioritaskan untuk memperkuat armada kapal antar pulau sesuai Inpres 5/2005 tentang Pemberdayaaan
Industri Pelayaran Nasional,” ujarnya. Dengan demikian, mobilitas transportasi barang maupun penumpang dapat diangkut dengan kapal dalam jumlah lebih banyak dan mengurangi beban kepadatan jalan raya yang belakangan semakin macet. “Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, tapi 70% dari pengiriman barang dan 82% dari penumpang diangkut melalui darat. Kita perlu mengembalikan angkutan penumpang dan pengiriman barang dari angkutan darat ke kapal,” tandasnya. Hanafi juga menyoroti rendahnya upah buruh di sektor transportasi, karena jauh di bawah upah minimum buruh pabrik.”Kita sudah sering mengajukan konsep upah minimum sektor transportasi tapi tak pernah digubris pemerintah,” tegasnya. Ditambahkan, standar minimal upah pokok di sektor transportasi seharusnya Rp 3,5 juta sebulan, dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak pekerja. [E-8]