perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V. PERKEMBANGAN KEMISKINAN
5.1 Perkembangan Kemiskinan pada Masa Pemerintahan Orde Baru Pemerintahan Orde Baru memulai program penanggulangan kemiskinan pada tahun 1970-an melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahunan. Repelita yang dijalankan pemerintah, khususnya Repelita I-IV ditempuh melalui program sektoral dan regional. Program sektoral merupakan program yang berorientasi pada peningkatan produksi dan pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach) sepereti sandang, pangan, kesehatan (Multifiah, 2011). Untuk mecapai tujuan tersebut, sejak Repelita II (1974-1979) pemerintah mulai menggiatkan tumbuhnya industri. Sedangkan program regional bertujuan untuk pengembangan potensi dan kemampuan sumber daya manusia khususnya daerah. Melalui tahapan pembangunan tersebut pemerintah dapat mengembalikan kondisi perekonomian nasional yang menurun akibat konflik yang terjadi pada akhir masa pemerintahan Orde Lama dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Pendapatan per kapita meningkat dari 70 dolar AS pada tahun 1968 menjadi lebih dari 1000 dolar AS pada tahun 1996, dan inflasi dapat ditekan dari 650 persen pada tahun 1966 menjadi 9,9 persen pada tahun 1969 (Multifiah, 2011). Selama kurun waktu 25 tahun angka kemiskinan turun sebesar 48,7 persen. Pada tahun 1970 persentase penduduk miskin Indonesia tercatat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
sebesar 60 persen sedangkan pada tahun 1995 turun menjadi 11,3 persen (BPS, 2014). Slamet (tanpa tahun) mengatakan bahwa kebijakan nasional dalam upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah Order Baru melalui trickle down policy kelihatannya merupakan penjelas yang paling signifikan terhadap indikator menurunnya jumlah orang miskin. Di sisi lain, kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi melalui sektor industri serta dengan menetapkan kota sebagai pusat pertumbuhan berdampak terhadap tingginya tingkat urbanisasi yang pada akhirnya berdampak meningkatnya persentase penduduk miskin di perkotaan. Pada tahun 1980 tingkat urbanisasi di Indonesia tercatat 22,3 persen, dan pada tahun 1990 meningkat menjadi 30,9 persen. Kemudian angka ini meningkat kembali menjadi 35,9 persen pada 1995 (Chotib dalam Saefuloh, tanpa tahun). Urbanisasi terjadi dikarenakan daerah pedesaan dengan sektor pertanian memiliki surplus tenaga kerja sedangkan daerah perkotaan dengan sektor industri mengalami kekurangan tenaga kerja (Zhang dalam Saefuloh, tanpa tahun). Begitu juga tingkat pengangguran yang tinggi di daerah asal akan mendorong tenaga kerja pindah ke kota. Karena itu, kesempatan memperoleh pekerjaan baru di kota telah menggerakan perpindahan penduduk secara masal dari daerah (United Nation dalam saefuloh, tanpa tahun). Singarimbun (1996) berpendapat bahwa urbanisasi merupakan gejala yang menarik, karena selain berkaitan dengan masalah demografis juga mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap proses pertumbuhan ekonomi yang akhirnya menimbulkan kemiskinan terhadap mereka yang kalah bersaing dengan yang lainnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
Pada awal masa pemerintahan Orde Baru, tingkat kemiskinan perkotaan di bawah angka pedesaan. Seiring dengan pertumbuhan industri, terjadi kondisi yang sebaliknya. Pada tahun 1981 hingga tahun 1990, persentase penduduk perkotaan yang berada di bawah garis kemiskinan berada di atas angka pedesaan. Persentase perkotaan pada tahun 1990 sebesar 16,8 sedangkan pedesaan sebesar 14,3 (BPS, 2014). Meskipun demikian, secara keselurahan mengalami penurunan. Gambaran perkembangan kemiskinan Indonesia terlihat pada grafik 5.1. Grafik 5.1 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Indonesia Tahun 1970-2013 70 60 50 Kota+Desa
40
Desa Kota
30 20 10 0 70 76 78 80 81 84 87 90 93 96 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 Sumber : Digambar dari BPS, 2014a
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa pola pembangunan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru mengakibatkan terjadinya disparitas pembangunan antar wilayah di Indonesia. Disparitas pembangunan antar wilayah terutama terjadi antara daerah pedesaan dan perkotaan, antara Pulau Jawa dan luar Jawa, antara pusat-pusat pertumbuhan commitdengan to userkawasan hinterland dan kawasan
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perbatasan, serta antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia (Harefa, tanpa tahun). Disparitas juga terlihat dalam hal pengentasan kemiskinan. Persentase penduduk miskin provinsi di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatra pada umumnya di bawah persentase nasional. Sedangkan kondisi yang berbeda terjadi pada provinsi lainnya. Pada tahun 1993, 8 dari 12 provinsi yang berada di luar ketiga pulau tersebut mempunyai penduduk miskin dengan persentase di atas angka nasional (13,7 persen). Bahkan 5 dari 8 provinsi tersebut bernilai di atas 20 persen, yaitu NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, dan Irian Jaya. Di sisi lain, Provinsi Jawa Tengan dan Sumatera Selatan merupakan dua dari empat belas provinsi di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera dengan nilai persentase di atas angka nasional. Seperti ditunjukkan dalam grafik 5.2. Grafik 5.2 Persentase Penduduk Miskin Indonesia menurut Provinsi Tahun 1993 30 25 20 15 10 5 11 12 13 14 15 16 17 18 31 32 33 34 35 51
52 53 61 62 63 64 71 72 73 74 81 82
0 Jawa-Bali-Sumatera 11:Aceh 15:Jambi 31: DKI Jakarta 35:Jawa Timur 61:Kalimantan Barat 71:Sulawesi Utara 81:Maluku
12:Sumatera Utara 16:Sumatera Selatan 32:Jawa Barta 51:Bali 62:Kalimantan Tengah 72:Sulawesi Tengah 82:Irian Jaya
Lainnya 13:Sumatera Barat 17:Bengkulu 33:Jawa Tenga 52:NTB 63:Kalimantan Selatan 73:Sulawesi Selatan
commit to user Sumber : Digambar dari BPS, 2014
14:Riau 18::Lampung 34:DIY 53:NTT 64:Kalimantan Timur 74:Sulawesi Tenggara : Persentase Nasional (13,7)
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tidak berbeda dengan kondisi nasional, persentase penduduk miskin Provinsi Jawa Tengah juga menujukkan tren menurun. Apabila pada tahun 1985 tercatat sebanyak 21,5 persen penduduk berada di bawah garis kemiskinan, angka itu turun menjadi 18,47 persen pada tahun 1996. Meskipun demikian, disparitas terjadi antar kabupaten/kota. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa wilayah kota merupakan kota kolonial yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dengan perdagangan dan industri sebagai sektor andalan. Oleh karenanya daerah tersebut cenderung memiliki penduduk miskin dengan persentase yang lebih kecil. Penduduk di daerah tersebut pada umumnya berpenghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar minimumnya. Di samping itu fasilitas publik, seperti pendidikan dan kesehatan tersedia dan semakin bertambah dari waktu ke waktu. Kebutuhan tenaga kerja di daerah tersebut membuka peluang penduduk daerah sekitarnya untuk bekerja di daerah tersebut dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari yang sebelumnya atau bahkan mengubah status mereka yang sebelumnya merupakan pengangguran. Dengan diperolehnya/naiknya pendapatan berdampak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka. Kondisi ini mengakibatkan rendahnya persentase penduduk miskin di daerah-daerah yang berada di sekitar kota. Sedangkan daerah-daerah yang jauh dari kota dan bukan merupakan daerah potensi indutsri cenderung memiliki penduduk miskin dengan persentase yang relatif lebih tinggi. Myrdal (1976 dalam Harun dan Maski, tanpa tahun:2) mengatakan :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
“Secara umum dapat dikatakan bahwa daya tarik suatu daerah dimulai dari sejarah masa lalu yang bersifat kebetulan : bahwa pada masa lalu pernah ada sesuatu kegiatan ekonomi yang dimulai di daerah itu dan ternyata berhasil, dan tidak dimulai di daerah lain dimana sesuatu kegiatan ekonomi tersebut sebenarnya dapat juga dimulai dan mungkin akan membawa hasil yang lebih baik. Dan di kemudian hari di daerah yang berhasil, bertambahnya keunggulankeunggulan lain – seperti terlatihnya golongan pekerja dalam berbagai macam keterampilan, mudahnya komunikasi, berkembangnya rasa bertumbuh dan terbukanya kesempatan-kesempatan yang luas, dan semangat membangun perusahaan-perusahaan baru, bertambahnya fasilitas-fasilitas publik seperti kesehatan, pendidikan, jalan dll – yang memperkuat dan menopang pertumbuhan yang terus berlanjut di daerah tersebut”. Grafik 5.3 memperlihatkan disparitas yang terjadi antar daerah. Pada tahun 1985, persentase penduduk miskin Jawa Tengah mencapai 21,5 (BPS,2014). Persentase penduduk miskin ke enam kota jauh di bawah angka provinsi. Hal yang sama terjadi pada kabupaten yang berada di sekitar kota-kota tersebut, yaitu Magelang, Temanggung, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, dan Semarang. Sedangkan kabupaten yang berada jauh dari kota memiliki persentase di atas angka provinsi. Empat kabupaten di wilayah eks Karesidenan Banyumas kesemuanya memiliki persentase di atas angka provinsi, bahkan persentase Purbalingga berada di atas 30, dan Banjarnegara mendekati angka tersebut. Hal yang sama dialami beberapa daerah, seperti Kebumen dan Wonosobo di wilayah eks Karesidenan Kedu, Wonogiri di Eks Karesidenan Surakarta, dan Grobogan di wilayah eks Karesidenan Semarang. Kondisi geografi daerah-daerah tersebut sebagian besar merupakan pegunungan dengan pertanian tadah hujan sebagai sektor andalan. Daerah pertanian lainnya dengan persentase kemiskinan relatif tinggi adalah Rembang yang merupakan daerah pantai dan Brebes yang letaknya berbatasan
commit to user dengan Provinsi Jawa Barat. Angka masing-masing daerah tersebut adalah 32,2
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan 29,1. Sedangkan Kudus dan Jepara yang merupakan daerah industri memiliki persentase yang jauh di bawah angka provinsi. Grafik 5.3 Persentase Penduduk Miskin Jawa Tengah menurut Kabupaten/Kota Tahun 1985 35 30 25 20 15 10
5 1 2 3 4
5 6 7 8 23
9 1011121314
15212224
1617181920
2526272829
Eks. Kars. Banyumas
Eks. Kars. Kedu
Eks. Kars. Surakarta
Eks. Kars. Semarang
Eks. Kars. Eks. Kars. Pati Pekalongan
717273747576
0
Eks. Kars. Banyumas 1:Kab. Cilacap 2:Kab. Banyumas 3: Kab. Purbalingga 4:Kab. Banjarnegara
Eks. Kars. Kedu 5:Kab. Kebumen 6:Kab. Purworejo 7:Kab. Wonosobo 8:Kab. Magelang 23:Kab. Temanggung
Eks. Kars. Surakarta 9:Kab. Boyolali 10:Kab. Klaten 11:Kab. Sukoharjo 12:Kab. Wonogiri 13:Kab. Karanganyar 14:Kab. Sragen Eks. Kars. Semarang 15:Kab. Grobogan 21:Kab. Demak 22:Kab. Semarang 24:Kab. Kendal
Eks. Kars. Pati 16:Kab. Blora 17:Kab. Rembang 18:Kab. Pati 19:Kab. Kudus 20:Kab. Jepara Eks. Kars. Pekalongan 25:Kab. Batang 26:Kab. Pekalongan 27:Kab. Pemalang 28:Kab. Tegal 29:Kab. Brebes
Kota
Kota 71:Kota Magelang 72:Kota Surakarta 73:Kota Salatiga 74:Kota Semarang 75:Kota Pekalongan 76:Kota Tegal
: Persentase Prov (21,5)
Sumber : Digambar dari BPS, 2014
Meskipun perkembangan tingkat kemiskinan pada tahun-tahun berikutnya menunjukkan tren yang menurun, namun variasi angkanya tidak menunjukkan adanya perubahan disparitas yang berarti. Grafik 5.4 menggambarkan sebaran persentase penduduk miskin kabupaten/kota selama tahun 1985 hingga tahun 1996 dan posisi relatifya terhadap angka provinsi. Kuadran I menggambarkan sebaran daerah dengan persentase angka commit to user kemiskinan lebih tinggi dari angka provinsi pada tahun 1985 dan 1996. Terlihat
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa lima kabupaten yaitu Brebes, Purbalingga, Kebumen, Rembang, dan Wonosobo selalu menduduki 5 peringkat tertinggi. Sementara 9 daerah lainnya terjadi sedikit perubahan posisi relatifnya. Grafik 5.4 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun 1985-1996 30 5
Kuadran III 29
25
Kuadran I 7
3 17
27 4
2
10
20 1996
26
72
23
19
10
15
Provins
28
11 22
76 75
12
6
9 13
14
16
25 18 24
8
15
1
21
20
71 Kuadran IV
Kuadran II
73 74
5
3
8 1:Kab. Cilacap 6:Kab. Purworejo 11:Kab. Sukoharjo 16:Kab. Blora 21:Kab. Demak 26:Kab. Pekalongan 72:Kota Surakarta
13
18
2:Kab. Banyumas 7:Kab. Wonosobo 12:Kab. Wonogiri 17:Kab. Rembang 22:Kab. Semarang 27:Kab. Pemalang 73:Kota Salatiga
1985
23
3:Kab. Purbalingga 8:Kab. Magelang 13:Kab. Karanganyar 18:Kab. Pati 23:Kab. Temanggung 28:Kab. Tegal 74:Kota Semarang
28 4:Kab. Banjarnegara 9:Kab. Boyolali 14:Kab. Sragen 19:Kab. Kudus 24:Kab. Kendal 29:Kab. Brebes 75:Kota Pekalongan
33
38
5:Kab. Kebumen 10:Kab. Klaten 15:Kab. Grobogan 20:Kab. Jepara 25:Kab. Batang 71:Kota Magelang 76:Kota Tegal
: Persentase provinsi
Sumber : Digambar dari BPS, 2014
Kuadran II menggambarkan sebaran daerah yang mengalami kemajuan dalam pengentasan kemiskinan. Persentase pada tahun 1985 untuk daerah tersebut lebih tinggi dari angka provini, akan tetapi pada tahun 1996 berada di di bawah angka provinsi. Kabupaten Purworejo dan Blora adalah dua daerah yang menghuni kuadran tersebut.
commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tren kenaikan tingkat kemiskinan terlihat pada daerah yang berada pada kudran III. Persentase tahun 1985 lebih rendah dari angka provinsi, akan tetapi pada tahun 1996 angka tersebut melonjak hingga melampui angka provinsi. Tidak satupun daerah yang berada pada kuadran tersebut. Daerah yang berada pada kuadran IV merupakan daerah dengan persentase tahun 1985 dan 1996 di bawah angka provinsi. Terlihat bahwa persentase empat kota yaitu Semarang, Salatiga, dan Pekalongan jauh di bawah angka provinsi. Daerah lainnya yang berada pada kuadran yang sama adalah tiga kota lainnya dan kabupaten yang berada di sekitar kota-kota tersebut serta kabupaten dengan potensi pada sektor industri yaitu Kudus dan Jepara. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun dapat menurunkan tingkan kemiskinan, namun kebijakan pembangunan yang sentralistik yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru memunculkan disparitas yang berkepanjangan. Pada tahun 1993, persentase penduduk miskin provinsi yang terletak di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera pada umumnya lebih rendah di bawah angka nasional. Dari 14 provinsi, Sumatera Selatan dan Jawa Tengah merupakan dua daerah dengan persentase di atas angka nasional. Hal yang sebaliknya pada umumnya terjadi pada provinsi di luar ketiga pulau tersebut. Delapan dari 12 provinsi mempunyai persentase di bawah angka provinsi. Di samping itu, kota sebagai pusat pertumbuhan cenderung memiliki penduduk miskin dengan persentase yang relatif jauh di bawah angka nasional yang berada di bawah garis kemiskinan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
Disparitas antar wilayah juga terjadi di Provinsi Jawa Tengah. Lima dari enam kota yang ada memiliki persentase relatif jauh di bawah angka provinsi. Surakarta merupakan satu-satunya kota dengan persentase relatih tinggi. Kondisi yang sama, kabupaten dengan potensi sektor industri yaitu Kudus dan Jepara juga memiliki persentase yang relatif jauh di bawah angka provinsi. Di sisi lain, persentase daerah yang jauh dari kota (pusat pertumbuhan) dan tidak berpotensi pada sektor industri pada umumnya jauh di atas angka provinsi. Kabupaten Brebes, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, dan Rembang merupakan lima daerah dengan persentase tertinggi. Kondisi geografi kelima daerah tersebut sebagian besar merupaan wilayah pegunungan dan pantai dengan pertanian sebagai sektor yang menonjol. 5.2 Perkembangan Kemiskinan Pasca Reformasi Meskipun dengan skala yang berbeda, namun pada dasarnya awal pemerintahan Pasca Reformasi tidak jauh berbeda dengan awal pemerintahan Orde Baru. Kesulitan ekonomi mengawali kerja keras pemerintah. Krisis ekonomi Asia Tenggara yang dimulai dari Thailand berimbas hingga Indonesia. Berbeda dengan negara lain, krisis ekonomi yang melanda Indonesia memicu krisis politik yang pada akhirnya menjatuhkan pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Kekacauan politik saat itu menambah berat jalannya perekonomian. Inflasi pada tahun 1997 mencapai 11,1 persen dan melonjak menjadi 77,6 persen pada tahun 1998 dari sebelumnya 6,5 persen pada tahun 1996. Pertumbahan ekonomi turun menjadi 4,7 persen pada tahun 1997 dari 7,82 persen pada tahun 1996. Bahkan
commit to usersebesar minus 13,13 persen (BPS, pada tahun 1998 terjadi kemunduran ekonomi
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2014). Kondisi tersebut menyebabkan hilangnya pekerjaan secara masal yang dikarenakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), turunnya pendapatan, dan daya beli masyarakat yang pada akhirnya berdampak naiknya jumlah penduduk miskin. Pada tahun 1998, persentase penduduk miskin meningkat pesat menjadi 24,20 dari 13,70 pada tahun 1993 (BPS, 2014). Berbagai program penanggulangan kemiskinan dilakukan pemerintah dalam menghadapi krisis dan pasca krisis seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan/PPKP (Multifiah, 2011). Program JPS merupakan upaya pemerintah untuk menyalurkan bantuan kepada masyarakat dalam wadah pengelolaan keuangan yang lebih terpadu, transparan, dapat dipertanggungjawabkan, dan memberikan akses langsung kepada masyarakat secara cepat serta berkesinambungan. PPK merupakan kelanjutan dan pengembangan dari Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). PPK adalah salah satu upaya Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
perdesaan,
memperkuat
institusi
lokal,
dan
meningkatkan kinerja pemerintah daerah. Program ini mengusung sistem pembangunan bottom up planning, program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh masyarakat. PPKP merupakan program yang mengikutkan masyarakat dalam memikirkan permasalahan kemiskinan, merencanakan, dan melaksanakan
commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sekaligus mengawasi berbagi persoalan yang dihadapi oleh lingkungan mereka sendiri. Melalui program-program tersebut serta pengendalian harga barang dan jasa pemerintah telah berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat dan daya beli masyarakat sehingga jumlah penduduk miskin menurun secara bertahap. Pada tahun 2004 persentase penduduk miskin turun menjadi 16,6. Penurunan ini merupakan
dampak
dari
hasil
transfer
pendapatan
berbagai
program
pembangunan termasuk jaring pengaman sosial yang dirancang khusus untuk mengatasi dampak negatif krisis (SNPK dalam Multifiah, 2011). Gambaran perkembangan kemiskinan terlihat dalam grafik 5.1. Dari grafik 5.1 terlihat bahwa sejak tahun 1999 persentase penduduk miskin daerah perkotaan berada di bawah angka daerah pedesaan. Hal ini menunjukkan adanya disparitas pengentasan kemiskinan antar kedua daerah tersebut. Disparitas tersebut semakin tinggi dari tahun ke tahun. Hal ini terkait dengan PPKP yang dilaksanakan secara kontinyu sejak era pemerintahan BJ Habibie hingga era Susilo Bambang Yudoyono. Di sisi lain PPK yang merupakan program penanggulangan kemiskinan untuk masyarakat pedesaan yang dimulai pada era pemerintahan BJ Habibie tidak dilanjutkan oleh pemerintah era selanjutnya. Kebijakan tersebut berdampak pada tingginya gap antara pengeluaran penduduk miskin pedesaan terhadap garis kemiskinan. Sedangkan di daerah perkotaan, gap tersebut relatif lebih kecil. Kondisi ini terlihat dari perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) masing-masing. Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II bahwa nilai P1 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
merupakan ukuran yang menggambarkan rata-rata kesenjangan/jarak pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks merefleksikan semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. Sedangkan nilai P1 yang mendekati nol mengindikasikan bahwa pengeluaran penduduk miskin pada umumnya berada di sekitar garis kemiskinan. Pada tahun 1999 nilai P1 perkotaan sebesar 3,52 dan pedesaan sebasar 4,84. Selang satu tahun berikutnya terlihat gap antar keduanya, dimana nilai P1 perkotaan turun jauh menjadi 1,89 sedangkan penurunan P1 untuk pedesaan relatif sangat kecil menjadi 4,68. Meskipun semakin mengecil, gap tersebut terjadi dari waktu ke waktu. Pada tahun 2002 nilai P1 pedesaan mengalami penurunan yang cukup drastis, yaitu dari 4,68 pada tahun 2001 menjadi 3,34. Sedangkan krisis yang melanda Indonesia pada tahun 2006 mengakibatkan kenaikan cukup tinggi nilai P1 kedua daerah, dimana nilai P1 pedesaan naik menjadi 4,22 dari 3,34 pada tahun 2005 dan nilai perkotaan menjadi 2,61 dari kondisi sebelumnya sebesar 2,05 (BPS, 2014). Grafik 5.5 memperlihatkan perkembangan P1 keduanya. Grafik 5.5 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) menurut Daerah Tahun 1999-2013 6 Kota
5
Desa
4
Kota+Desa
3 2 1 0
to user 1999 2000 2001 2002 2003 2004commit 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber : Digambar dari BPS, 2014c
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Di samping itu, disparitas juga masih terjadi antar provinsi di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera dengan provinsi di pulau lainnya. Dari grafik 5.6 terlihat bahwa pada tahun 2010 sebanyak 5 provinsi di luar Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera yaitu Papua Barat, Papua, Maluku, NTT, dan NTB menduduki persentase tertiggi dengan nilai berkisar antara 20-35 persen dan relatif jauh di atas angka nasional (13,33 persen). Tercatat 9 dari 16 provinsi di wilayah tersebut memiliki persentase di atas angka nasional. Kondisi yang berbeda terjadi di wilayah Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera. Meskipun ada 7 provinsi dengan persentase di atas angka nasional, namun damikian hanya satu daerah yang mendekati angka 20 persen yaitu Aceh sedangkan selebihnya berkisar antara 1418 persen.
Grafik 5.6 Persentase Penduduk Miskin Indonesia Menurut Provinsi Tahun 2010 40 35 30 25 20 15 10 5 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 31 32 33 34 35 36 51
52 53 61 62 63 64 71 72 73 74 75 76 81 82 91 92
0 Jawa-Bali-Sumatera 11:Aceh 15:Jambi 19:Kep. Babel 33:Jawa Tenga 51:Bali 62:Kalimantan Selatan 72:Sulawesi Tengah 76:Sulawesi Barat 93:Papua
Lainnya
12:Sumatera Utara 16:Sumatera Selatan 20:Kep. Riau 34:DIY 52:NTB 63:Kalimantan Selatan 73:Sulawesi Selatan 81:Maluku
Sumber : Digambar dari BPS, 2011
13:Sumatera Barat 14:Riau 17:Bengkulu 18::Lampung 31: DKI Jakarta 32:Jawa Barta 35:Jawa Timur 36:Banten 53:NTT 61:Kalimantan Barat 64:Kalimantan Timur 71:Sulawesi Utara 74:Sulawesi Tenggara 75:Gorontalo 82:Maluku Utara 91:Papua Barat : Persentase Nasional (13,4)
commit to user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Meier (1968) menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai ‘proses’ yang melalui proses ini pendapatan riil per kapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat bahwa sejumlah orang yang hidup di bawah ‘garis kemiskinan mutlak’ tidak naik dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang. Kondisi ideal yang dikemukakan Meier tersebut tidak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Pada tahun 2010, Provinsi Papua dan Papua Barat dengan nilai PDRB per kapita yang tinggi (di atas 30 juta) mempunyai persentase penduduk miskin yang tinggi, meskipun mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Gini ratio kedua daerah tersebut masing-masing sebesar 0,4 dan 0,42 (BPS, 2014a). Sedangkan beberapa daerah dengan nilai PDRB per kapita relatif jauh lebih rendah, memiliki persentase kemiskinan di bawah angka nasioanal. Hal ini menunjukkan tidak sejalannya kemajuan pembangunan dengan pengentasan kemiskinan. Sen (2000) berpendapat bahwa kemajuan pembangunan dapat diukur secara lebih berimbang dengan melihat penurunan tingkat kemiskinan daripada peningkatan lebih lanjut kekayaan orang-orang yang sudah makmur. Gambaran kondisi tersebut terlihat dalam grafik 5.7.
commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Grafik 5.7 Scater PDRB Per kapita terhadap Persentase Penduduk Miskin Provinsi 40
Persentase Penduduk Miskin 2010
35
93
30
91 81
25 53
52
75
17 18 72 33
76
74 3473
11
20 15 82
10
71 61 36
35 16
32 13 15
62 63 51
5
12
14 20
64
19 31
0 0
20
40
60
80
100
PDRB Per kapita 2010 (juta rupiah) 11:Aceh 15:Jambi 19:Kep. Babel 33:Jawa Tenga 51:Bali 62:Kalimantan Selatan 72:Sulawesi Tengah 76:Sulawesi Barat 93:Papua
12:Sumatera Utara 16:Sumatera Selatan 20:Kep. Riau 34:DIY 52:NTB 63:Kalimantan Selatan 73:Sulawesi Selatan 81:Maluku
13:Sumatera Barat 14:Riau 17:Bengkulu 18::Lampung 31: DKI Jakarta 32:Jawa Barta 35:Jawa Timur 36:Banten 53:NTT 61:Kalimantan Barat 64:Kalimantan Timur 71:Sulawesi Utara 74:Sulawesi Tenggara 75:Gorontalo 82:Maluku Utara 91:Papua Barat : Persentase Nasional (13,4)
Sumber : Digambar dari BPS, 2010 dan 2014b
Sulitnya pengentasan kemiskinan di beberapa daerah seperti Maluku, Papua, dan Papua Barat juga disebabkan rendahnya tingkat pendapatan penduduk miskin yang berdampak sulitnya pemenuhan kebutuhan dasar minimum. Hal ini terlihat dari tingginya nilai P1 daerah tersebut. Rendahnya tingkat pendapatan tersebut tentu terkait dengan timpangnya pemerataan. Pada tahun 2010, nilai gini ratio ketiga daerah adalah 0,41, 0,4, dan 0,42 (BPS, 2014a).
commit to user
84 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari grafik 5.8 terlihat bahwa nilai P1 Maluku, Papua, dan Papua Barat tergolong sangat tinggi. Nilai masing-masing daerah tersebut jauh di atas angka nasional (2,21) yaitu 5,27, 7,24 dan 8,14. Begitu juga dengan Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur yang tergolong tinggi, yaitu 3,74 dan 4,04. Sedangkan untuk daerah lainnya terutama daerah di Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera pada umumnya tergolong rendah dan sedang. Provinsi dengan nilai P1 di bawah 1 adalah DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, dan Bali. Nilai masingmasing daerah tersebut adalah 0,64, 0,77, dan 0,79.
Grafik 5.8 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) Provinsi Tahun 2010 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 31 32 33 34 35 36 51
52 53 61 62 63 64 71 72 73 74 75 76 81 82 91 93
Jawa-Bali_Sumatera 11:Aceh 15:Jambi 31: DKI Jakarta 35:Jawa Timur 61:Kalimantan Barat 71:Sulawesi Utara 81:Maluku
12:Sumatera Utara 16:Sumatera Selatan 32:Jawa Barta 51:Bali 62:Kalimantan Selatan 72:Sulawesi Tengah 82:Irian Jaya
Lainnya 13:Sumatera Barat 17:Bengkulu 33:Jawa Tenga 52:NTB 63:Kalimantan Selatan 73:Sulawesi Selatan
14:Riau 18::Lampung 34:DIY 53:NTT 64:Kalimantan Timur 74:Sulawesi Tenggara : P! Nasional (2,21)
Sumber : Digambar dari BPS, 2014b
Pulihnya perekonomian pasca krisis berdampak terlihatnya gerak pertumbuhan di Jawa Tengah. PDRB per kapita dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun 2012 PDRB per kapita meningkat menjadi 17,1 juta dari
commit to user 4,7 juta pada tahun 2002. Namun demikian, tingginya nilai gini ratio
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengisyaratkan tidak meratanya peningkatan tersebut dinikmati penduduk. Pada tahun 2005, sebesar 41,17 persen pendapatan dinikmati oleh 20 persen penduduk berpenghasilan tertinggi dan 36,52 persen dinikmati oleh 40 persen penduduk berpenghasilan menengah. Sedangkan 40 persen penduduk berpenghasilan terendah hanya menikmati 22,31 persen (Mistha, 2009). Selama kurun waktu 2002-2012 nilai gini ratio mengalami peningkatan dari 0,28 menjadi 0,38 pada tahun 2013. Bersamaan dengan itu, penduduk miskin mengalami penurunan. Pada tahun 2002 penduduk miskin tercatat sebesar 23,06 persen, turun menjadi 14,44 persen pada tahun 2013. Meskipun demikian, penurunan tersebut dibayangi tingginya nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan. Pada tahun 2002 hingga 2013, nilai yang mencerminkan rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan tersebut berkisar antara 2,3 hingga 4. Perkembangan keempat indikator tersebut terlihat pada grafik 5.9. Grafik 5.9 Perkembangan PDRB Per Kapita, Persentase Penduduk Miskin, dan Gini Ratio Provinsi Jawa Tengah Tahun 2002-2013 0,45
25
0,4
20
0,35 0,3
15
0,25 0,2
10
0,15 0,1
5
0,05
0
0 2002
2005
2007
2008
2009
2010
2011
2012
PDRB perkapita (juta rp)
Penduduk Miskin (%)
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)
Gini Ratio (Sumbu Kanan)
commit to user Sumber : Digambar dari BPS, 2014 dan 2014b
2013
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tingginya nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan dan gini ratio tentu menjadi penghambat pengentasan kemiskinan. Selama kurun waktu 2002-2013 nilai P1 menunjukkan tren yang menurun, sedangkan nilai gini ratio menunjukkan kenaikan. Pada tahun 2002 nilai P1 sebesar 4, turun menjadi 2,37 pada tahun 2013. Di sisi lain nilai gini ratio mengalami peningkatan dari 0,28 pada tahun 2002 menjadi 0,39 pada tahun 2013. Kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan yang semakin menurun dan ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi tersebut mengindikasikan adanya disparitas antar kabupten/kota. Grafik 5.10 memperlihatkan perkembangan kedua indikator. Grafik 5.10 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Gini Ratio Jawa Tengah Tahun 2002-2013 4,500
,450
4,250 4,000 3,840
4,00
,380
,380
,387
,400
3,510 ,340
3,500 3,00
,326 ,310
,306
2,500
,350
,320
,284
2,620
,300
2,580
2,890
2,390
2,370
,250
2,00
,200
1,500
,150
1,00
Indeks Kedalaman Kemsikinan (P1)
,500
,100 ,050
Gini Ratio (sumbu kanan)
,000
,00 2002
2005
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Sumber : Digambar dari BPS, 2014a
Meskipun selama periode 2002-2013 terjadi penurunan persentase penduduk miskin di semua daerah, namun masih tampak disparitas antar daerah.
to userDaerah dengan potensi di sektor Kecepatan penurunan bervariasi commit antar daerah.
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pertanian yang memiliki persentese penduduk miskin relatif tinggi pada masa pemerintahan
Orde
Baru
seperti
Purbalingga,
Banjarnegara,
Kebumen,
Wonosobo, Rembang, dan Brebes terlihat masih dengan kondisi yang sama pada tahun 2002. Semantara persentase penduduk miskin kota relatif jauh di bawah angka provinsi. Kondisi tersebut tidak banyak mengalami perubahan hingga tahun 2013. Tidak dilanjutkannya Program Pengembangan Kecamatan (PPK) pasca pemerintahan BJ Habibe kemungkinan menjadi salah satu penyebab masih lebih tingginya persentase kabupaten dibandingkan kota. Grafik 5.11 secara jelas menunjukkan perkembangan kemiskinan kabupaten/kota. Grafik 5.11 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten/Kota Tahun 2002-2013 25 7
5 29
20
Kuadran II Provinsi
15
13
8
2013
72 23 20
10
71 19
75
76 74
5
27
2
3
4
17
Kuadran I
21 10
14
6
1 9 18
15
16
12
26
24 25 11 22
28
73
Kuadran IV
Kuadran III
0 0
5
10
15
20
25
30
35
2002 1:Kab. Cilacap 2:Kab. Banyumas 6:Kab. Purworejo 7:Kab. Wonosobo 11:Kab. Sukoharjo 12:Kab. Wonogiri 16:Kab. Blora 17:Kab. Rembang 21:Kab. Demak 22:Kab. Semarang 26:Kab. Pekalongan 27:Kab. Pemalang 72:Kota Surakarta 73:Kota Salatiga ....................................: Persentase provinsi
Sumber : Digambar dari BPS, 2014
3:Kab. Purbalingga 8::Kab. Magelang 13:Kab. Karanganyar 18:Kab. Pati 23:Kab. Temanggung 28:Kab. Tegal 74:Kota Semarang
commit to user
4:Kab. Banjarnegara 9:Kab. Boyolali 14:Kab. Sragen 19:Kab. Kudus 24:Kab. Kendal 29:Kab. Brebes 75:Kota Pekalongan
5:Kab. Kebumen 10:Kab. Klaten 15:Kab. Grobogan 20:Kab. Jepara 25:Kab. Batang 71:Kota Magelang 76:Kota Tegal
40
perpustakaan.uns.ac.id
88 digilib.uns.ac.id
Kuadran I menggambarkan sebaran daerah dengan persentase pada tahun 2002 dan 2013 di atas angka provinsi. Enam dari tiga belas kabupaten yang berada pada kuadran ini adalah Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Wonosobo, Rembang, dan Brebes merupakan daerah dengan persentase tertinggi. Pada tahun 2012, PDRB per kapita keenam daerah tersebut pada umumnya relatif jauh lebih rendah dari nilai provinsi. Kecuali Brebes, nilai kelima daerah lainnya kurang dari 10 juta, sedangkan nilai provinsi sebesar 12,8 juta. Pada saat yang sama, nilai gini ratio Kebumen dan Wonosobo di atas 0,35. Sedangkan keempat daerah lainnya meskipun tergolong rendah namun mendekati nilai tersebut. Kondisi ini kemungkinan merupakan salah satu penyebab tingginya nilai P1 yang pada umumnya di atas 3. Dengan rendahnya tingkat pendapatan dan tingginya nilai P1 mengindikasikan bahwa penduduk miskin di daerah tersebut mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar minimum. Hal tersebut menjadi penyebab lambatnya pengentasan kemiskinan di enam daerah tersebut. Daerah lain yang menghuni kuadran ini adalah Purworejo, Klaten, Demak, Sragen, Grobogan, Blora, dan Pemalang. Daerah yang mengalami penurunan persentase kemiskinan cukup tinggi adalah Sragen, Grobogan, dan Blora. Nilai ketiga daerah tersebut pada tahun 2002 relatif jauh di atas nilai provinsi sedangkan pada tahun 2013 turun menjadi di sekitar nilai provinsi. Nilai P1 daerah tersebut masing-masing kurang dari 3 namun ketiganya memiliki nilai gini ratio di atas 0,35. Sedangkan nilai persentase penduduk miskin tiga daerah lainnya yaitu Purworejo, Klaten, dan Demak pada tahun 2002 dan 2013 berada di sekitar nilai provinsi. Purworejo dan Klaten commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki nilai PDRB per kapita di atas 11 juta, sedangkan Demak hanya sebesar 6,6 juta. Namun demikian, nilai gini ratio ketiganya mendekati 0,35. Nilai ketiga indikator secara lengkap terlihat dalam grafik 5.12. Secara umum dapat dikatakan bahwa kuadran I dihuni oleh daerah dengan tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah dengan sektor pertanian sebagai andalan. Rendahnya tingkat pendapatan dan tingkat pemerataan pendapatan yang pada umumnya mendekati kategori sedang mengakibatkan tingginya indeks kedalaman kemiskinan. Hal tersebut berdampak terhadap lambatnya pengentasan kemiskinan.
Grafik 5.12 PDRB Per kapita, Gini Ratio, dan Indeks Kedalaman Kemiskinan Kabupaten/Kota di Kuadran I Tahun 2012 14
4,5 004
12
4
004 003
003
3,5
003
10
003
003
3
003
Juta Rupiah
003
003
002
8
002
002
002
2,5 2
6
1,5 4 1 2
000
000
000
000
000
000
000
000
000
000
000
000
000
000
0
0,5 0
PDRB Perkapita
Gini Ratio (sumbu kanan)
Indeks Kedalaman Kemiskinan (sumbu kanan)
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2013, 2013a dan BPS, 2014
commit to user
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kabupaten Cilacap dan Banyumas merupakan dua daerah yang berada pada kuadran II. Dapat dikatakan kecepatan pengentasan kemiskinan kedua daerah relatif lebih lambat dari daerah lain. Meskipun menurun, pada tahun 2013 persentase penduduk miskin kedua daerah berada di atas nilai provinsi dari posisi sebelumnya yang berada di bawahnya pada tahun 2002. Nilai PDRB per kapita adalah 29,95 juta untuk Cilacap dan 8,03 juta untuk Banyumas (BPS, 2014a). Di sisi lain ketimpangan pendapatan mendekati kategori ketimpangan sedang dengan nilai gini ratio masing-masing sebesar 0,32 dan 0,34 (BPS, 2013a). Sedangkan nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan masing-masing adalah 2,2 dan 3,4 (BPS, 2014). Meningkatnya posisi relatif
Banyumas dikarenakan sejak tahun 2003
hingga 2013 nilai P1 daerah tersebut tergolong tinggi dan relatif jauh di atas nilai provinsi. Hal tersebut tentunya merupakan kendala dalam pengentasan kemiskinan. Grafik 5.13 memperlihatkan perkembangan tersebut.
Grafik 5.13 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan Kabupaten Cilacap dan Banyumas Tahun 2002-2013 6 5 4 3 2 1 0 2002
2003
2004
2005
2006
Cilacap Sumber : Digambar dari BPS, 2014
2007
2008
2009
Banyumas
commit to user
2010
2011 Provinsi
2012
2013
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tiga daerah yaitu Kabupaten Wonogiri, Kendal, dan Pekalongan yang berada pada kuadran III adalah daerah yang mengalami lompatan dalam mengejar ketertinggalan dari daerah lain dalam pengentasan kemiskinan. Persentase penduduk miskin ketiga daerah tersebut pada tahun 2002 di atas angka provinsi (23,06 persen) dengan nilai masing-masing adalah 25,22, 23,75, dan 26,27. Pada Tahun 2013, nilai ketiganya di bawah angka provinsi menjadi 14,02, 12,68, dan 13,51 sedangkan angka provinsi sebesar 14,44 persen (BPS, 2014). Pada tahun 2012, nilai PDRB per kapita ketiga daerah tersebut adalah 8,45 juta, 14,62 juta, dan 10,46 juta (BPS Provinsi Jawa Tengah, 2013a). Ketimpangan pendapatan Kendal berkategori sedang dan Wonogiri berkategori rendah namun mendekati sedang sementara Pekalongan relatif jauh lebih rendah. Lompatan ketiga daerah tersebut terjadi dikarenakan penurunan nilai P1 yang relatif lebih besar dibandingkan daerah lain. Selang waktu 2004-2013, nilai P1 Kabupaten Kendal dan Pekalongan pada umumnya jauh di bawah angka provinsi. Meskipun pada tahun sebelumya nilai Wonogiri jauh di atas angka provinsi, namun hal yang sebaliknya terjadi pada tahun 2012 dan 2013. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan kemampuan penduduk miskin untuk memenuhi
kebutuhan
dasar
minimumnya.
perkembangan nilai tersebut.
commit to user
Grafik
5.14
memperlihatkan
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Grafik 5.14 Perkembangan Indeks Kedalaman Kemiskinan Tiga Kabupaten Tahun 2002-2013 7 6 5 4 3 2 1 0 2002
2003
2004
2005
2006
Wonogiri
2007 Kendal
2008
2009
2010
Pekalongan
2011
2012
2013
Provinsi
Sumber : Digambar dari BPS, 2014
Kabupaten/kota yang berada pada kuadran IV merupakan daerah dengan pengentasan kemiskinan yang relatif berhasil. Persentase penduduk miskin daerah tersebut baik pada tahun 2002 maupun 2013 berada di bawah angka provinsi. Sebanyak 17 daerah yang terdiri dari 7 kota dan 10 kabupaten berada dalam kuadran tersebut. Kota Semarang, Salatiga, Pekalongan, dan Tegal serta Kabupaten Jepara dan Kudus merupakan enam daerah dengan persentase terendah selama kurun waktu tersebut. Nilai PDRB per kapita Kabupaten Kudus tertinggi dibanding daerah lain dan jauh dari nilai provinsi, disusul Kota Semarang. Nilai gini ratio keenam daerah tersebut berkisar antara 0,33 hingga 0,35. Sedangkan nilai P1 masing-masing pada umumnya di bawah 1, kecuali Kota Pekalongan dengan nilai 1,09. Enam daerah lainnya dengan persentase kemiskinan relatif jauh di bawah commit to user angka provinsi adalah Kota Magelang dan Surakarta serta empat kabupaten yaitu
perpustakaan.uns.ac.id
93 digilib.uns.ac.id
Sukoharjo, Semarang, Tegal, dan Temanggung. Nilai PDRB per kapita kedua kota tersebut masing-masing di atas 20 juta, yaitu 21,9 juta dan 24,1 juta. Nilai Sukoharjo dan Semarang masing-masing adalah 14,57 juta dan 14,42 juta. Sedangkan Tegal dan Temanggung mempunyai nilai di bawah nilai provinsi yaitu 6,96 juta dan 8,55 juta. Kecuali Tegal yang mempunyai nilai gini ratio sebesar 0,32, ketimpangan pendapatan dari kelima daerah yang lain berkategori sedang. Sedangkan nilai P1, meskipun di atas 1 namun semuanya mempunyai nilai di bawah 2. Lima kabupaten dengan persentase penduduk miskin di sekitar angka provinsi adalah Karanganyar, Pati, Magelang, Boyolali, dan Batang. Selain Karanganyar dan Boyolali, empat daerah tersebut mempunyai nilai PDRB per kapita yang relatif rendah yaitu di bawah 10 juta. Ketimpangan pendapatan di lima daerah tersebut berkategori rendah mendekati sedang hingga sedang. Karanganyar merupakan daerah dengan ketimpangan tertinggi dengan nilai gini ratio 0,4. Empat daerah mempunyai nilai P1 di atas 2 namun di bawah 2,5, sedangkan nilai dua daerah lainnya yaitu Pati dan Batang masing-masing adalah 1,72 dan 1,89. Secara lengkap, nilai ketiga indikator tergambar dalam grafik 5.15. Pada dasarnya, daerah yang berada pada kuadran IV adalah kota dan kabupaten dengan industri sebagai sektor yang menonjol di samping pertanian. Daerah kota pada umumnya mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang relatif tinggi. Kondisi tersebut berdampak terhadap cukup tingginya kemampuan penduduk miskin dalam memenuhi kebutuhan dasar minimumnya, meskipun ketimpangan pendapatan daerah tersebut pada umumnya berkategori sedang. Nilai commit to user
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
P1 daerah tersebut relatif lebih kecil yaitu di bawah 1,5. Nilai PDRB per kapita kabupaten relatif lebih rendah sedangkan tingkat ketimpangan pendapatan pada umumnya berkategori sedang. Hal ini berdampak terhadap relatif rendahnya kemampuan penduduk miskin dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Nilai P1 pada umumnya berkisar antara 1,5 hingga 2,5.
Grafik 5.15 Nilai PDRB Per Kapita, Gini Ratio, dan Indeks Kedalaman Kemiskinan Kabupaten/Kota di Kuadran IV Tahun 2012 50
3
45
002 002
40
002
Juta Rupiah
35 30
002
001 001 001
1,5 001
001
20
001
001
1
001
10 5 0
2
002
001
25 15
002
002
002
2,5
002
0,5 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000 000
PDRB perkapita
Gini Ratio (sumbu kanan)
0
Indeks Kedalaman Kemiskinan (sumbu kanan)
Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2013, 2013a dan BPS, 2014
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah kabupaten/kota belum efektif mengurangi angka kemiskinan secara merata di Jawa Tengah. Disparitas antar daerah terjadi di Jawa Tengah. Persentase kemiskinan daerah perkotaan relatif jauh di bawah angka pedesaan. Angak commit to user kemiskinan kota dan kabupaten di sekitar serta daerah dengan sektor industri
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
yang menonjol relatif jauh di bawah angka kabupaten dengan potensi pertanian. Nilai PDRB per kapita dan tingkat ketimpangan pendapatan tampaknya berhubungan dengan nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan persentase kemiskinan. Hal lain yang kemungkinan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya nilai tersebut adalah kemudahan akses penduduk untuk bekerja dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi di kota atau kabupaten lain dengan potensi industri. Nilai P1 yang tinggi merupakan hal yang menghambat percepatan pengentasan kemiskian. Hasil analisa tersebut serupa dengan hasil beberapa penelitian sebelumnya. Suliswanto (2010) melakukan analisis tentang Pengaruh Produk Domestik Bruto (PDB) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap Angka Kemiskinan di Indonesia pada tahun 2006-2008. Ia menyimpulkan bahwa nilai PDRB di masingmasing provinsi belum terlalu besar dalam mengurangi angka kemiskinan. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum pro orang miskin atau dalam kata lain belum banyak memberikan manfaat bagi orang miskin. Permasalahan kemiskinan tampaknya tidak cukup hanya dipecahkan melalui meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata dengan mengharapkan terjadinya efek menetes ke bawah (trickle down effect). Cholili (2014) yang melakukan analisis faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Indonesia pada tahun 2008-2012 menyimpulkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) memiliki pengaruh positif namun tidak signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Indonesia. Peningkatan PDRB sebenarnya diperlukan dan menjadi pilihan, namun tidak cukup untuk mengatasi commit to user
96 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masalah kemiskinan. Permasalahannya bukan hanya bagaimana meningkatkan pertumbuhan PDRB semata, tetapi yang juga perlu diperhatikan adalah bagaimana distribusinya, sehingga hasil dari pertumbuhan itu sendiri dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
commit to user