BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ekonomi pada masa orde baru membawa Indonesia untuk membuka diri bagi masuknya modal asing kedalam roda perekonomian di Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang berdiri di Indonesia baik yang berbentuk Penanaman Modal Asing, joint venture ataupun perusahaan domestik yang mendapatkan lisensi masih bergantung pada perusahaan induknya. Contohnya adalah PT Multi Bintang yang memproduksi bir, raginya harus didatangkan dari Belanda, PT Boma-Bisma Indra yang mendapat lisensi dari Deutz untuk memproduksi mesin diesel, komponenkomponennya masih harus didatangkan dari Jerman, PT Industri Pesawat Terbang Nusantara atau yang sekarang bernama PT Dirgantara Indonesia yang membuat pesawat terbang dan helikopter, sebagian besar komponennya harus diimpor, kemudian PT Food Specialities Indonesia, PT Unilever dan sebagainya, ada sebagian bahan yang harus diimpor dari negara asalnya. Contoh lain adalah perusahaan gabungan joint venture yaitu PT Astra Internasional Tbk, yang terdiri dari tujuh anak perusahaan yaitu perusahaan otomotif Bavarian Motor Works (BMW), perusahaan otomotif Pegeout, perusahaan Nissan Diesel, perusahaan otomotif lzusu, serta perusahaan otomotif Honda, perusahaan otomotif Daihatsu, perusahaan otomotif
1
2
Toyota yang melakukan alih teknologi dengan perusahaan asalnya di Jepang. 1 Bahanbahan dan komponen yang harus diimpor dari negara asal itu, tidak dapat dibeli di tempat lain karena barang substitusi akan mempunyai komposisi kimia dan karakteristik teknik yang berbeda,2 sehingga walaupun terjadi industrialisasi di Indonesia
pada
era
tersebut
dan
pembangunan
meningkat,
tetapi
terjadi
ketergantungan pada modal asing, baik investasi asing dalam bentuk multinational corporations maupun bantuan asing lain seperti pinjaman dan sebagainya. Selain capital intensive, industri pada multinational corporations juga lebih memilih untuk menggunakan teknologi tinggi, yang mengakibatkan industri di Indonesia lebih tergantung pada peralatan impor dan teknisi asing. Proyek-proyek pembangunan dan agenda ekonomi berskala besar pun sukses dijalankan, dengan bukti Indonesia dapat mencapai swasembada pangan dalam beberapa dekade. Presiden Soeharto tidak bekerja sendiri, beliau mengangkat para ahli dan teknokrat ekonomi alumni University of California, Berkeley atau yang biasa disebut dengan Mafia Berkeley yang membawa ilmu ekonomi ala Barat untuk merealisasikan
proyek-proyek
pemerintah.
Mulai
dari
sinilah
kunci
masuknya
kekuatan modal asing di Indonesia dengan kesepakatan perjanjian jangka panjang dan
1
http://www.researchgate.net/publication/42323096_Perjanjian_Lisensi_Atas_Hak_Kekayaan_Perindu strian_Dalam_Perspektif_Hukum_Bisnis_(Suatu_Studi_Pemberian_Lisensi_Toyota_Motor_Corporati on_Japan_Kepada_PT._Toyota_Astra_Motor), diakses pada tanggal 24 oktober 2012 pukul 17.00 WIB. 2 http://puslit.petra.ac.id/files/published/journals/MAN/MAN030501/MAN03050102.pdf diakses pada tanggal 24 Oktober 2012 pukul 18.01 WIB.
3
dukungan dari pemerintah melalui proteksi dengan menggunakan undang-undang sebagai payung pelindung para investor asing untuk mengamankan asetnya.3 Era reformasi merupakan perkembangan dari orde baru yaitu pada orde baru peluang untuk masuknya modal asing mulai dibuka dan kemudian pada reformasi peluang tersebut semakin terbuka seluas-luasnya. Cita-cita itu dilanjutkan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dengan bukti lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Undang-undang ini tidak ada pemisahan secara eksplisit antara investor dalam negeri dan investor asing, misalnya dalam hal proteksi pemerintah terhadap investor dalam negeri dan perlakuan terhadap keduanya. Pemerintah mengedepankan persaingan secara bebas antara investor dalam negeri dan investor asing sehingga investor dalam negeri cenderung kalah bersaing karena mengingat investor dalam negeri tidak memiliki kekuatan yang besar di sektor finansial. Selain dalam hal finansial teknologi juga merupakan hal penting untuk menunjang kegiatan ekonomi perusahaan. Sumber daya manusia di Indonesia masih belum mampu menciptakan invensi dibidang teknologi yang canggih seperti dinegara maju. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan perusahaan yang berupa teknologi salah satunya dilakukan dengan cara alih teknologi. Pengertian
alih
teknologi
menurut
United
Nations
Industrial
Development
Organization (UNIDO) adalah
3
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/04/03/dominasi-dan-cengkraman-modal-asing-sebagaikolonialisme-baru-di-indonesia/ diakses pada tanggal 24 Oktober 2012 pukul 18.38 WIB.
4
“Transfer of technology permits both immediate acces to advanced means of production and control over the means of production, that is, control over supply. Such control, however, is not always accompanied by control over technology. This is achieved only when the skills, information and the technical excellence that make up technology are transferred to the national managers, supervisors and workers of an enterproses from where it can eventually diffuse into economy.4 Pengaturan mengenai kebutuhan akan adanya alih teknologi secara tersirat terdapat di dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. ayat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Pasal ini mengandung makna pentingnya pembangunan ekonomi guna mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia, namun dalam perwujudan pembangunan ekonomi tersebut perlu didukung oleh sarana dan prasarana penunjang yang salah satunya adalah teknologi. Harus disadari bahwa Indonesia masih mengalami kekurangan baik dari segi modal, keahlian dan teknologi, oleh sebab itu alih teknologi dapat menjadi salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan akan minimnya teknologi di Indonesia. Proses pengalihan paten dan technical know how dari pemilik teknologi kepada penerima teknologi biasanya dituangkan kedalam suatu perjanjian lisensi. Melalui 4
UNIDO Guidelines for Evaluation of Transfer of Technology Agreement, (New York, United Nation, 1979), hlm. 12. UNIDO (United Nations Industrial Development Organization) adalah suatu organisasi dibawah naungan PBB dan mengkhususkan diri pada bidang pengembangan industri di negara-negara berkembang.
5
perjanjian alih teknologi ini pemberi teknologi memberikan hak kepada penerima teknologi untuk suatu jangka waktu tertentu dan dengan syarat-syarat dan kondisikondisi yang disetujui bersama, memanfaatkan dan menggunakan teknologi dari pemberi teknologi untuk suatu tujuan tertentu.5 Di Indonesia, perjanjian alih teknologi harus tunduk pada hukum perjanjian yang berlaku, antara lain ketentuan-ketentuan umum
tentang perjanjian yang diatur dalam
Buku III Burgelijk Wetboek atau yang disebut dengan KUH Perdata. KUH Perdata menganut asas kebebasan berperjanjian sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1338 ayat (1) yaitu setiap orang bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan dengan siapa akan membuat perjanjian, bebas untuk menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian, bebas menentukan bentuk perjanjian dan bebas untuk memilih hukum yang berlaku untuk perjanjian tersebut. Namun meskipun begitu perjanjian tersebut harus tetap memenuhi syarat mutlak sah-nya suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Berdasarkan asas kebebasan berperjanjian para pihak berhak menentukan isi dari perjanjian, dalam perjanjian lisensi alih teknologi terkadang ditemukan klausula restriktif atau disebut dengan Restrictive Business Practices (RBP), yaitu klausula membatasi penerima lisensi dalam menjual produk-produknya.6
Pembatasan
untuk
pasar
dalam
negeri
pemilik teknologi
menentukan daerah-daerah tertentu dimana pemegang lisensi boleh memasarkan produknya. Demikian juga
5 6
untuk
ekspor ke
luar negeri,
ada pembatasan dari
Sumantoro, 1993, Masalah Pengaturan Alih Teknologi, Alumni, Bandung, hlm. 57. Ibid.
6
pemilik teknologi, klausula ini bertentangan dengan kebijaksanaan negara-negara berkembang yang pembangunannya berorientasi pada ekspor.7 Pemberi teknologi disebut dengan licensor, sedangkan untuk penerima teknologi disebut dengan licensee. Licensee atau penerima lisensi memerlukan perlindungan dalam perjanjian alih teknologi, antara lain yaitu: a. Lisensi perlu bersifat eksklusif agar licensee tidak harus membuang energi untuk bersaing dengan pihak ketiga; b. Ruang lingkup hak yang diberikan harus lengkap, supaya licensee memang dapat menggunakannya. Jangan sampai misalnya terjadi bahwa yang diperoleh adalah hanya hak manufaktur tanpa mengenai kejelasan dalam hal pemasarannya; c. Pembatasan jenis kegiatan yang dituntut oleh licensor adalah memang “calculable” bila ditinjau dari segi teknik maupun finansial dalam menggunakan lisensi yang bersangkutan; dan d. Jaminan licencor bahwa lisensi yang diberikan adalah benar-benar lengkap dan dapat berfungsi serta mutunya terjamin jangan sampai licensee hanya memperoleh lisensi yang sebenarnya sudah usang.8 Pembatasan perdagangan pada perjanjian alih teknologi diatur dalam Pasal 71 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten yang menyatakan bahwa: Perjanjian Lisensi dilarang memuat ketentuan yang langsung maupun tidak langsung dapat menimbulkan akibat yang merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi pada umumnya dan yang berkaitan dengan penemuan yang diberi tersebut pada khususnya. Pada pasal ini jelas bahwa perdagangan restriktif yang dapat menghambat kemampuan bangsa Indonesia pada perjanjian alih teknologi dilarang secara tegas.
7
Ibid. Etty Susilowati, 2007, Perjanjian Alih Teknologi pada Industri Manufaktur, Genta Press, Yogyakarta, hlm. 159. 8
7
Pelaksanaan alih teknologi telah terjadi apabila tenaga kerja Indonesia sebagai penerima teknologi telah mampu membuat alat dan mengoperasikan sendiri teknologi yang dialihkan dari pemberi teknologi. Peran perjanjian alih teknologi sangat penting dalam membantu terciptanya peralihan teknologi yang menguntungkan kedua belah pihak bukan untuk kepentingan pemberi saja. Oleh karena itu, hukum nasional mempunyai peranan yang tidak kalah penting untuk melindungi penerima teknologi agar terhindar dari kerugian yang ditimbulkan dengan adanya alih teknologi. Berdasarkan amanat Pasal 72 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten atau selanjutnya disebut dengan UU Paten yang mengatur bahwa perjanjian lisensi harus dicatat dan diumumkan dengan dikenai biaya kemudian dalam Pasal 73 diatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian lisensi diatur dengan peraturan pemerintah, namun sampai saat ini peraturan pemerintah yang mengatur mengenai lisensi yang bersifat komersial belum disahkan sehingga hal ini tentu saja berdampak pada perlindungan hukum bagi para pihak yang melakukan perjanjian lisensi alih teknologi.
8
B. Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
sebagaimana
telah
diuraikan
di
atas,
maka
permasalahan yang ada dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana perlindungan hukum bagi penerima lisensi terhadap pelaksanaan perjanjian alih teknologi? 2. Apa hambatan dalam pelaksanaan perjanjian alih teknologi dan bagaimana upaya menanggulanginya?
C. Kerangka Teori 1. Perlindungan Hukum Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normative karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah. Jadi perlindungan hukum adalah suatu perbuatan hal melindungi subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi. 9 Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang 9
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, hlm 38
9
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga
memungkinkan
manusia
untuk
menikmati
martabatnya
sebagai
manusia.10 Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidahkaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.11 Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundangundangan memberikan
dengan
maksud
rambu-rambu
untuk atau
mencegah
suatu
pelanggaran
serta
batasan-batasan dalam melakukan sutu
kewajiban. 10
Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta; Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004) hal. 3. 11
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta; magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2003), hal. 14.
10
b. Perlindungan Hukum Represif. Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. 12
2. Perjanjian Lisensi Pengalihan atau lisensi adalah penyerahan kekuatan/kekuasaan (atas suatu benda) kepada orang, badan hukum, negara (pihak lain). Penyerahan itu dapat dibedakan lagi atas “penyerahan secara nyata dan penyerahan secara yuridis”. Penyerahan secara nyata adalah mengalihkan kekuasaan atas sesuatu kebendaan scara nyata, sedangkan penyerahan secara yuridis adalah perbuatan hukum pada mana atau karena mana hak milik (atau hak kebendaan lainnya dialihkan.13 Menurut Undang-Undang Paten pemegang paten dapat memberikan lisensi kepada orang lain dengan berdasarkan perjanjian lisensi untuk menggunakan patennya. Dalam tesis ini teori yang digunakan adalah teori penegakan hukum, karena perjanjian lisensi paten tidak akan mempunyai akibat hukum kepada pihak ketigakecuali didaftarkan dan dicatat oleh Kantor Paten dan membayar biaya. Akan tetapi Kantor paten akan menolak permohonan lisensi paten apabila hal tersebut akan merugikan perekonomian Indonesia atau memuat pembatasan yang 12
Ibid, hlm 20 Vollmar.HFA, terjemahan I,S Adiwimarta, Pengantar studi Hukum Perdata (I) ,Rajawali Pres, Jakarta 1983,hlm 9 13
11
menghambat
kemampuan
mengembangakan
teknologi
bangsa pada
Indonesia umumnya
dan
untuk yang
menguasai berkaitan
dan dengan
penemuan yang diberi paten tersebut pada khususnya. Hal ini dilakukan agar terjadi alih teknologi kepada negara berkembang untuk dapat mengetahui dan mengembangkan tehnologi tersebut. Sehingga akan membawa dampak yang positif bagi perkembangan ekonomi negara penerima teknologi.
3. Alih teknologi Tentang istilah “alih” atau “pengalihan” merupakan terjemahan dari kata transfer, sedang kata transfer berasal dari bahasa latin transfere yang berarti jarak lintas (trans,across) dan ferre yang berarti memuat (besar). Selain dibutuhkan aturan yang mendasari pelaksanaan alih teknologi juga dibutuhkan teori yang dapat membantu mendiskripsikan tentang pelaksanaan perjanjian alih teknologi, diantaranya adalah: 1. Teori Struktural Fungsional dari Robert K Merton. Teori strukturalisme merupakan teori yang bernaung dibawah paradigm fakta sosial, digunakan sebagai alat untuk menganalisis terstrukturnya alih teknologi. Dari perspektif strukturalisme ini kemampuan tatanan hukum dapat menyumbang penataan alih teknologi supaya bermanfaat bagi masyarakat luas.
12
2. Teori aksi, teori ini berkaitan dengan perilaku licensor dan licensee dalam mengadakan perjanjian lisaensi paten. Teori ini menyatakan bahwa individu selaku aktor mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang dapat dicapai dengan berbagai cara yang tunduk pada nilai-nilai yang berlaku. 3. Sejalan dengan teori strukturalisme dan teori aksi, digunakan juga teori dari W.J. Chambliss dan Robert Seidman yaitu konsep bekerjanya hukum secara sosiologis yang digunakan untuk menganilisis fungsi hukum, dengan kata lain bagaimana Undang-undang dan peraturan lainnya yang mengatur tentang lisensi paten dalam perjanjian alih teknologi dapat berfungsi sesuai dengan yang dikehendaki.14
D. Keaslian Penelitian Karya ilmiah ini merupakan hasil karya yang disusun sendiri oleh penulis berdasarkan bahan dan data yang diperoleh selama penelitian ditambah dengan hasil pemikiran dari penulis sendiri. Dengan kata lain, karya ini merupakan hasil karya penulis dan bukan merupakan suatu plagiat dari karya ilmiah manapun. Adapun berdasarkan hasil penelusuran yang dilakukan oleh penulis melalui studi kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum UGM dan internet, diperoleh 2 karya tulis berupa tesis yang membahas tentang alih teknologi.
14
Etty Susilowati, 2007, Kontrak Alih Tknologi Pada Industri Manufaktur, Genta Press, Yogyakarta, hlm 37
13
Pertama, tesis dengan judul “Keabsahan Perjanjian Lisensi Teknologi yang Memuat Klausul Restrictive Business Pravtices” yang ditulis oleh Retna Gumanti pada tahun 2009 dari Magister Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Tesis karya Retna Gumanti tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian penulis, yaitu membahas mengenai perlindungan bagi penerima lisensi dalam perjanjian lisensi teknologi, akan tetapi tesis karya Retna Guamnti tersebut membahas perlindungan penerima
lisensi
terfokus
pada
perjanjian
lisensi
teknologi
khususnya
yang
mengandung klausula Restrictive Business Pravtices, selain itu tesis ini juga mengkaji perlindungan dari sudut pandang hukum persaingan usaha serta keabsahan perjanjian lisensi teknologi yang memuat klausul Restrictive Business Pravtices. Sedangkan penulis mengkaji perlindungan penerima lisensi dalam pelaksanaan perjanjian alih teknologi yang ditinjau dari Undang-undang Paten dan BW, serta hambatan dan upaya penanggulangan dari pelaksanaan tersebut. Kedua, tesis dengan judul “Perlindungan Hukum bagi Penerima Lisensi terhadap Adanya Klausula Pembatasan Praktik Bisnis dalam Perjanjian Lisensi Alih Teknologi di Indonesia” yang ditulis oleh Fajar Susilo pada tahun 2009 dari Magister Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Tesis karya Fajar Susilowati tersebut memiliki
kesamaan
dengan
penelitian
penulis,
yaitu
membahas
mengenai
perlindungan bagi penerima lisensi dalam perjanjian lisensi teknologi, akan tetapi tesis karya Fajar Susilowati ini membahas masalah perlindungan hukum bagi penerima lisensi terhadap adanya klausula pembatasan praktik bisnis dalam perjanjian lisensi alih teknologi di Indonesia dan implementasi dari Pasal 50 UU No 5 Tahun
14
1999 Tentang Anti Monopoli terhadap pembatasan praktik bisnis. Sedangkan, penulis mengkaji perlindungan penerima lisensi dalam pelaksanaan perjanjian alih teknologi yang ditinjau dari Undang-undang Paten dan BW, serta hambatan dan upaya penanggulangan dari pelaksanaan tersebut. Penelitian
ini
dilakukan
karena
belum
efektifnya
UU
Paten
dalam
hal
memberikan perlindungan terhadap penerima lisensi dan karena peraturan pemerintah mengenai lisensi, sampai penelitian ini selesai dilakukan, belum kunjung disahkan. Selain itu, penulis mengkaji hambatan-hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan alih teknologi tersebut baik dari sisi perusahaan yang merupakan pihak penerima lisensi maupun pihak pemerintah, melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) HKI yang berkaitan langsung dengan pemberi kebijakan dalam hal melindungi para pihak pelaku lisensi. Serta Penulis juga mengkaji mengenai cara penanggulangan dari hambatan tersebut dengan harapan di kemudian hari alih teknologi dapat berjalan dengan lancar dan memberikan hal positif bagi perkembangan ekonomi di Indonesia khususnya dalam bidang investasi. Dengan
demikian
tidak
terdapat
penelitian yang
pernah
diajukan
untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi yang serupa dengan penelitian penulis, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam karya tulis ini.
15
E. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum bagi penerima lisensi terhadap pelaksanaan perjanjian alih teknologi; dan b. Untuk
mengetahui
dan
menganalisis
hambatan
dalam
pelaksanaan
perjanjian alih teknologi dan upaya menanggulanginya. 2. Tujuan Subjektif Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Magister Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
F. Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai dua manfaat, sebagai berikut : 1. Teoritis Bagi
perkembangan
memberikan
ilmu
sumbangan
pengetahuan, bagi
hasil
perkembangan
penelitian ilmu
ini
bermanfaat
hukum,
khususnya
perjanjian alih teknologi. 2. Praktis a. Bagi
perumus
peraturan
perundang-undangan,
hasil
penelitian
ini
bermanfaat memberikan masukan dalam rangka menilai isi peraturan
16
perundang undangan yang berlaku saat ini dan memberikan saran terhadap isi peraturan perundang-undangan tersebut selanjutnya dapat dijadikan masukan apabila akan dilakukan revisi peraturan perundang-undangan. b. Bagi penegak hukum, hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi penegak
hukum
dalam
hal
pembuktian
terhadap
kasus
mengenai
perjanjian lisensi alih teknologi. c. Bagi penerima lisensi dan pemberi lisensi yang melakukan perjanjian alih teknologi
agar
mempertimbangkan
klausula-klausula
yang
dituangkan
dalam perjanjian tidak menguntungkan salah satu pihak saja dan d. Bagi masyarakat luas, agar mendapatkan kepastian hukum mengenai pelaksanaan perjanjian alih teknologi.